You are on page 1of 90

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa

industri dan mekanisasi tumbuh dan berkembang dalam rangka

mewujudkan masyarakat industri yang maju dan mandiri. Berbagai

mesin dan peralatan canggih dipergunakan dan diproduksi oleh

industri-industri dan perusahaan-perusahaan. Mesin-mesin dan

peralatan tersebut di satu sisi sangat penting bagi pembangunan

namun juga ternyata membawa dampak negatif bagi kesehatan

manusia khususnya tenaga kerja (Depnaker, 1993).

Penggunaan teknologi yang tinggi di tempat kerja dalam hal

sarana dan prasarana yang menghasilkan suara atau bunyi atau

kegaduhan yang tidak diinginkan (bising) akan menimbulkan gangguan

kesehatan khususnya pada pekerja, yaitu terjadinya penyakit akibat

kerja. Bising yang sangat keras (di atas 85 dB untuk daerah pabrik,

industri dan sejenisnya) dapat menyebabkan kemunduran yang serius

pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya, dan bila

berlangsung lama dapat menyebabkan kehilangan pendengaran

sementara, yang lambat laun dapat menyebabkan kehilangan

pendengaran permanen. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya

gangguan pendengaran antara lain adalah intensitas kebisingan,

frekuensi kebisingan, dan lamanya orang tersebut berada di tempat

atau di dekat sumber bunyi, baik dari hari ke hari atau seumur hidup

(Azwar, 1990).

1
Masa kerja seseorang bekerja dapat mempengaruhi kinerja baik

positif maupun negatif. Akan memberi pengaruh positif pada kinerja

bila dengan semakin lamanya masa kerja personal semakin

berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya akan

memberikan pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa

kerja maka akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja (Tulus, 1992).

Kebisingan 75 dB untuk 8 jam per hari jika hanya terpapar satu

hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan. Tetapi jika

berlangsung setiap hari terus menerus minggu demi minggu, bulan

demi bulan, tahun demi tahun maka suatu saat akan melewati batas

dimana paparan kebisingan tersebut akan menyebabkan gangguan

pendengaran (Sasongko, 2000).

Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan tahun 2000 ada

sejumlah 250 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan

pendengaran dari dampak kebisingan dalam berbagai bentuk. Angka

itu diperkirakan akan terus meningkat. Di Amerika Serikat terdapat

sekitar 5-6 juta orang yang terancam menderita tuli akibat bising.

Sedangkan Belanda jumlahnya mencapai 200.000-300.000 orang, di

Inggris sekitar 0,2%, di Canada dan Swedia masing-masing sekitar

0,03% dari seluruh populasi. Dan sekitar 75 – 140 juta (50%) berada di

Asia Tenggara. Indonesia cukup dominan, yaitu nomer 4 di Asia

Tenggara sesudah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India

(6,3%) dan di Indonesia diperkirakan sedikitnya (4,6%) dan akan terus

meningkat (Budiono, 2003).

2
Kita yakini bahwa belum ada satu perusahaan atau industri pun

yang dapat mengoperasikan faktor produksi tanpa memanfaatkan

tenaga kerja. Bahkan ada semacam kecenderungan, makin besar

perusahaan dari segi kuantitas dan kualitas, makin besar jumlah

kebutuhan akan tenaga kerja. Meskipun telah ditemukan teknologi

baru berupa mesin-mesin otomatis dan komputerisasi berupa

perangkat keras maupun perangkat lunak, tetapi bagi sebagian besar

perusahaan belum dapat melaksanakan kegiatannya tanpa adanya

tenaga kerja. Justru dengan semakin modernnya peralatan produksi

(mesin-mesin), kebutuhan tenaga kerja yang profesional juga makin

meningkat (Sastrohadiwiryo, 2003).

Tenaga kerja, sebagai sumber daya manusia yang sangat penting

peranannya dalam proses produksi, perlu memperoleh perlindungan

terhadap kemungkinan bahaya kebisingan di tempat kerja. Ketulian

akibat bising merupakan cacat yang bersifat menetap (irreversible),

sehingga meskipun kelainan tersebut dikategorikan sebagai

kecelakaan kerja yang berhak memperoleh kompensasi, upaya terbaik

adalah mencegah agar tidak terjadi kerusakan pendengaran (Budiono,

2003).

Berkaitan dengan upaya penerapan kesehatan dan keselamatan

kerja, penggunaan Alat Pelindung Diri merupakan salah satu upaya

dalam pengendalian kebisingan tempat kerja sebagai pelengkap

pengendalian teknis maupun pengendalian administratif. Undang-

Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, khususnya

3
pasal 9, 12 dan 14, yang mengatur penyediaan dan penggunaan Alat

Pelindung Diri di tempat kerja, baik bagi pengusaha maupun bagi

tenaga kerja. Salah satu bentuk APD untuk pengendalian kebisingan

adalah Alat Pelindung Telinga (APT) yang terdiri dari berbagai macam

bentuk. Namun sebagian tenaga kerja merasa kurang nyaman dalam

menggunakan APT. Perasaan maupun keluhan yang dirasakan

memberikan respon yang berbeda-beda. Perasaan tidak nyaman (risih,

panas, berat, terganggu) yang timbul pada saat menggunakan APT

akan mengakibatkan keengganan tenaga kerja menggunakannya.

(Budiono, 2003)

Pemakaian APT untuk melindungi telinga dari paparan kebisingan

sebenarnya lebih praktis dalam pelaksanaannya. Akan tetapi

kesukarannya terletak pada tenaga kerja itu sendiri dan hal ini

berhubungan erat dengan faktor manusia. Selain itu, aspek perilaku

pekerja yang terkait dengan kedisiplinan penggunaan alat sesuai

prosedur dan aspek pengawasan dari pihak manajemen untuk

memaksa para pekerja untuk mematuhi prosedur operasi standar yang

ditetapkan untuk melindungi para pekerja dari gangguan kebisingan

(Sasongko, 2000).

Sebuah perusahaan pasti akan memberikan patokan minimal

tingkat pendidikan tenaga kerja yang dimilikinya. Pendidikan tenaga

kerja akan mencerminkan nilai tambah tenaga kerja yang

bersangkutan, terutama yang berhubungan dengan meningkatnya dan

4
berkembangnya pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja yang

bersangkutan (Sastrohadiwiryo, 2003).

Setiap perusahaan atau industri pasti memiliki peraturan yang

mengatur tentang prosedur atau petunjuk kerja bagi tenaga kerja.

Sedangkan pengawasan dilakukan untuk menjamin bahwa setiap

pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur

dan petunjuk kerja yang telah ditetapkan (Sastrohadiwiryo, 2003).

Data nasional jumlah perusahaan atau industri sektor informal

perbengkelan yang bergerak dalam bidang pembuatan besi-besi

stainles yang tidak ada karena tidak terkaper oleh pemerintah apalagi

pada daerah Samarinda yang industri seperti ini telah banyak berdiri

sebelumnya tetapi perhatian pemerintah yang tidak ada, hanya tertuju

sektor formal saja tetapi pada sektor informal tidak diabaikan padahal

angka kesakitan dan kecelakaan kerja cukup tinggi pada sektor

informal. Sebagai contoh pada bengkel las CV.FM Steel yang berada

di jalan kesejahteraan dan sentosa Samarinda Kalimantan Timur yang

bergerak dalam bidang pembuatan besi - besi stainles yang berdiri

pada tanggal 18 April 1986, dan CV. Yogasa Steel yang berada di

jalan Rajawali yang bergerak dalam bidang yang sama dan berdiri

pada tanggal 12 September 1998, kedua bengkel las ini berproduksi

dari hari senin sampai sabtu dari pukul 08.00 – 17.00 Wita dan waktu

istirahat selama 1 jam dari pukul 12.00 – 13.00 Wita. Tahapan –

tahapan pengerjaan dimulai dari pemotongan besi, pengelasan,

gurinda kasar, dempul, gurinda halus, cat dasar anti karat,

5
pengamplasan, cat utama, cat melamin (finishing). Dan alat – alat yang

digunakan dalam bekerja adalah Gara, vero, gangset, gurinda, boor

duduk, dan palu.

Pada pengambilan data awal yang dilakukan di CV. FM Steel

pada tanggal 19 Juli 2010 pada pukul 11.30 Wita dengan

menggunakan alat Sound Level Meter dengan satuan dbA yang

digunakan untuk mengukur kebisingan diperoleh hasil 116 dbA yang

sumber bunyi berasal dari suara mesin gurinda potong dengan jenis

kebisingan kontinue yang mesin hidup dan ada sesekali berhenti pada

waktu tertentu, Dan CV. Yogasa 90 dbA berasal dari mesin Gangset

yang hidup terus menerus selama jam bekerja, sedangkan nilai

ambang batas kebisingan yang diperbolehkan pemerintah sesuai

dengan KEPMENAKER No.51 Tahun 1999 adalah sebesar 85 dbA.

Pada observasi langsung pekerja tidak menggunakan APT pada saat

bekerja dan dengan wawancara singkat masa kerja karyawan di

bengkel tersebut rata-rata >5 tahun. Dengan nilai intensitas bising 116

dbA dan penggunaan APT pada pekerja yang tidak dilaksanakan

dengan baik serta rata-rata masa kerja karyawan diatas 5 tahun

dengan waktu bekerja >8 jam perhari dapat memungkinkan terjadi

gangguan fungsi pendengaran pada tenaga kerja di bengkel las FM

Steel tersebut.

6
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka diperoleh rumusan masalah yaitu

bagaimana perbedaaan antara Kebisingan, Masa Kerja, dan

Penggunaan APT terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja di

CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan antara Kebisingan, Masa Kerja,

dan Penggunaan APT terhadap gangguan fungsi pendengaran

pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui perbedaan antara Kebisingan terhadap

gangguan fungsi pendengaran pekerja CV. FM Steel dan CV.

Yogasa Steel.

b. Untuk mengetahui perbedaan antara Masa Kerja terhadap

gangguan fungsi pendengaran pekerja CV. FM Steel dan CV.

Yogasa Steel.

c. Untuk mengetahui perbedaan antara Penggunaan APT

terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja CV. FM Steel

dan CV. Yogasa Steel.

7
C. Manfaat Penelitian

1. Untuk Fakultas Kesehatan Masyarakat

Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat

digunakan sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lain.

2. Untuk Peneliti

Merupakan pengalaman berharga dalam menerapkan pengetahuan

teori yang telah diterima pada saat perkuliahan.

3. Untuk Instansi Terkait

Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat

digunakan sebagai masukan positif kepada pihak CV. FM Steel dan

CV. Yogasa Steel.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebisingan

1. Pengertian Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak

sesuai konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan

gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Bunyi

yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber suara yang

bergetar. Getaran sumber suara ini mengganggu keseimbangan

molekul-molekul udara disekitarnya sehingga molekul-molekul

udara ikut bergetar (Sasongko, 2000).

Bunyi merupakan suatu gelombang berupa getaran dari

molekul-molekul zat yang saling beradu satu dengan yang lain

secara terkoordinasi sehingga menimbulkan gelombang dan

meneruskan energi serta sebagian dipantulkan kembali (Salim,

2002).

Bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga

oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi

tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan.

Kualitasnya terutama ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya.

Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut

Hertz (Hz), yaitu jumlah dari golongan-golongan yang sampai di

telinga setiap detiknya. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari

campuran sejumlah gelombang-gelombang sederhana dari

9
beraneka frekuensi. Nada dari kebisingan ditentukan oleh

frekuensi-frekuensi yang ada (Suma’mur, 1996).

Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya

dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut desibel (dB)

dengan memperbandingkannya dengan kekuatan dasar 0,0002

dyne/cm2 yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz

yang tepat dapat didengar oleh telinga normal (Suma’mur P. K,

1996). Frekuensi bunyi yang dapat didengar telinga manusia

terletak antara 16 hingga 20.000 Hz. Frekuensi bicara terdapat

pada rentang 250-4000 Hz. Bunyi frekuensi tinggi adalah yang

paling berbahaya (Suyono, 1995).

Bunyi dapat dibedakan dalam 3 rentang frekuensi sebagai

berikut:

a. Infra sonic, bila suara dengan gelombang antara 0- 16 Hz.

Infra sonic tidak dapat didengar oleh telinga manusia dan

biasanya ditimbulkan oleh getaran tanah dan bangunan.

Frekuensi <16 Hz akan mengakibatkan perasaan kurang

nyaman, lesu dan kadang-kadang perubahan penglihatan.

b. Sonic, bila gelombang suara antara 16-20.000 Hz,

merupakan frekuensi yang dapat ditangkap oleh telinga

manusia.

c. Ultra sonic, bila gelombang >20.000 Hz. Frekuensi di atas

20.000 Hz sering digunakan dalam bidang kedokteran, seperti

untuk penghancuran batu ginjal, pembedahan katarak karena

10
dengan frekuensi yang tinggi bunyi mempunyai daya tembus

jaringan cukup besar, sedangkan suara dengan frekuensi

sebesar ini tidak dapat didengar oleh telinga manusia.

2. Jenis Kebisingan

Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan meliputi:

a. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas

(steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas

angin, dapur pijar dan lain-lain.

b. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady

state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas

dan lain-lain.

c. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas,

suara kapal terbang di lapangan udara.

d. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti

pukulan tukul, tembakan bedil, atau meriam, ledakan.

e. Kebisingan impulsive berulang, misalnya mesin tempa di

perusahaan (Suma’mur, 1996).

Sumber kebisingan dibedakan bentuknya atas dua jenis

sumber, yaitu:

a. Sumber titik (berasal dari sumber diam) yang penyebaran

kebisingannya dalam bentuk bola-bola konsentris dengan

sumber kebisingan sebagai pusatnya dan menyebar di udara

dengan kecepatan sekitar 360 m/detik.

11
b. Sumber garis berasal dari sumber bergerak dan penyebaran

kebisingannya dalam bentuk silinder-silinder konsentris dengan

sumber kebisingan sebagai sumbunya dan menyebar di udara

dengan kecepatan sekitar 360 m/detik,sumber kebisingan ini

umumnya berasal dari kegiatan transportasi (Sasongko, 2000).

3. Gangguan Kebisingan di Tempat Kerja

Intensitas kebisingan yang tinggi dan melebihi NAB mempunyai

efek yang merugikan kepada daya kerja meliputi:

a. Gangguan komunikasi

Kebisingan dapat menggangu percakapan sehingga akan

mempengaruhi komunikasi yang sedang berlangsung (tatap

muka/via telepon) (Sasongko, 2002). Risiko potensial kepada

pendengaran terjadi apabila komunikasi pembicaraan harus

dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi ini

menyebabkan terganggunya pekerjaan bahkan mungkin terjadi

kelelahan, terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru

(Suma’mur, 1996).

b. Gangguan Tidur

Kualitas tidur seseorang dapat dibagi menjadi beberapa

tahap mulai dari tahap terjaga sampai tidur lelap. Kebisingan

bisa menyebabkan gangguan dalam bentuk perubahan tahap

tidur, gangguan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain motivasi bangun, kenyaringan, lama kebisingan,

fluktuasi kebisingan dan umur manusia (Sasongko, 2000).

12
c. Gangguan Psikologis

Kebisingan bisa menimbulkan gangguan psikologis seperti

kejengkelan, kecemasan dan ketakutan. Tergantung pada

intensitas, frekuensi, perioda, saat dan lama kejadian,

kompleksitas spektrum/kegaduhan dan ketidakteraturan

kebisingan (Sasongko, 2000).

d. Gangguan Produktifitas Kerja

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap

pekerjaan yang sedang dilakukan seseorang melalui gangguan

psikologis dan gangguan konsentrasi sehingga menurunkan

produktifitas kerja (Sasongko, 2000).

e. Gangguan Mental Emosional

Gangguan ini berupa terganggunya kenyamanan hidup,

mudah marah dan menjadi lebih peka atau mudah tersinggung

(Sasongko, 2000).

f. Gangguan Kesehatan

Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan

manusia apabila manusia terpapar aras suara dalam suatu

periode yang lama dan terus menerus (Sasongko, 2000).

g. Gangguan Fisiologi

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap sistim

jantung dan peredaran darah melalui mekanisme hormonal

13
yaitu diproduksinya hormon adrenalin, dapat meningkatkan

frekuensi detak jantung dan tekanan darah. Kejadian ini

termasuk gangguan kardiovaskuler (Sasongko, 2000)

Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan

tugas seseorang yang bekerja di tempat kerja yang bising dan

faktor-faktor tersebut adalah:

1) Frekuensi kebisingan, nada tinggi adalah lebih

mengganggu daripada nada rendah

2) Jenis kebisingan, kebisingan terputus-putus

(intermitten noise) adalah lebih menganggu daripada

kebisingan kontinu.

3) Sifat pekerjaan, pekerjaan yang rumit atau kompleks

lebih banyak terganggu daripada pekerjaan yang sederhana

(simple work).

4) Variasi kebisingan, makin sedikit variasinya makin

sedikit juga gangguannya.

5) Sikap individu.

6) Faktor adaptasi (Siswanto, 1989).

Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah:

1) Mengurangi kenyamanan dalam bekerja, tidak semua

tenaga kerja terganggu akan kebisingan yang ada. Ini

disebabkan mereka sudah sangat terbiasa oleh kondisi yang

ada dalam jangka waktu yang cukup lama.

14
2) Mengganggu komunikasi/percakapan antar pekerja,

kesalahan informasi yang disampaikan, terutama bagi

pekerja baru dapat berakibat fatal.

3) Mengurangi konsentrasi

4) Menurunkan daya dengar, baik yang bersifat sementara

maupun permanen.

5) Tuli akibat kebisingan (Noise Induced Hearing Loss = NIHL)

(Budiono, 2003).

4. Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan di tempat kerja diukur dengan Sound

Level Meter, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Persiapan alat

1) Pasang baterai pada tempatnya.

2) Tekan tombol power.

3) Cek garis tanda pada monitor untuk mengetahui

baterai dalam keadaan baik atau tidak.

4) Kalibrasi alat dengan kalibrator, sehingga alat pada

monitor sesuai dengan angka kalibrator.3

b. Pengukuran

1) Pilih selektor pada posisi:

a) Fast : untuk jenis kebisingan kontinu

b) Slow : untuk jenis kebisingan impulsif / terputus-putus

2) Pilih selektor range intensitas kebisingan.

3) Tentukan lokasi pengukuran.

15
4) Setiap lokasi pengukuran dilakukan pengamatan selama 1-2

menit dengan kurang lebih 6 kali pembacaan. Hasil pengukuran

adalah angka yang ditunjukkan pada monitor.

5) Catat hasil pengukuran dan hitung rata-rata kebisingan (Lek)

Lek = 10 log 1/n (10 L1/10+10L2/10+10L3/10+....) dBA

(Pedoman Praktikum Laboratorium K3, 2004).

5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

NAB adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima

tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan

kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi

8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Menurut Surat Keputusan

Menteri Tenaga Kerja No Kep. 51/MEN/1999 tentang NAB Faktor

Fisik Di Tempat Kerja, NAB kebisingan yang diperkenankan di

Indonesia adalah 85 dB (Suma’mur, 1996). Akan tetapi NAB bukan

merupakan jaminan sepenuhnya bahwa tenaga kerja tidak akan

terkena risiko akibat bising tetapi hanya mengurangi risiko yang

ada. Menurut (Budiono, 2003)

Penentuan angka tersebut didasarkan atas pertimbangan:

a. Medis

1) Penelitian oleh negara-negara yang telah maju

menunjukkan bahwa intensitas suara 82-84 dBA dengan

frekuensi 3000-6000 Hz telah dapat mengakibatkan

kerusakan organon corti secara menetap untuk waktu kerja

selama lebih dari 8 jam sehari.

16
2) Penelitian yang dilakukan di dalam dan di luar negeri

menunjukkan bahwa pada frekuensi 3000-6000 Hz,

pengurangan pendengaran tersebut disebabkan oleh

kebisingan.

3) Hasil penelitian terhadap tenaga kerja yang

mengalami pengurangan pendengaran yang menetap

karena kebisingan, bekerja selama 8 jam sehari.

b. Teknis

1) Bahwa untuk menurunkan kebisingan alat-alat

produksi dari sumber suara, akan memerlukan biaya yang

sangat besar.

2) Tidak semua alat-alat produksi pada waktu kerja

dapat diturunkan intensitas suaranya sampai di bawah 85

dBA.

3) Para tenaga kerja harus mendapatkan perlindungan

secara teknis maupun medis selama waktu kerja, sehingga

suara yang diterima oleh pendengarannya tidak lebih dari 85

dBA

Tabel 1. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu pemajanan perhari Intensitas kebisingan dalam dB (A)


(1) (2)
8 jam 85
4 88
2 91
1 94
30 menit 97
15 100
7,5 103
3,75 106

17
1,88 109
0,94 112
28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
Waktu pemajanan perhari Intensitas kebisingan dalam dB (A)
0,22 136
0,11 139
Tidak boleh 140
Sumber : Ramdan, 2007

6. Upaya Pengendalian Kebisingan

a. Pengendalian pada Sumber

Pengendalian kebisingan pada sumber mencakup:

1) Perlindungan pada peralatan, struktur dan pekerja dari

dampak bising.

2) Pembatasan tingkat bising yang boleh dipancarkan sumber

(Sasongko, 2000).

b. Pengendalian Pada Media Rambatan

Pengendalian pada lintasan (media rambatan) adalah

pengendalian diantara sumber dan penerima kebisingan. Prinsip

pengendaliannya adalah dengan melemahkan intensitas

kebisingan yang merambat dari sumber kepenerima dengan cara

membuat hambatan-hambatan. Ada 2 cara pengendalian

kebisingan pada lintasan yaitu out door noise control dan indoor

noise control.

1) Outdoor Noise Control

18
Pengendalian kebisingan di luar sumber suara adalah

mengusahakan menghambat rambatan suara di luar ruangan

sedemikian rupa sehingga intensitas suaranya menjadi lemah

(Sasongko, 2000).

2) Indoor Noise Control

Pengendalian di dalam ruang sumber suara adalah usaha

menghambat rambatan suara atau kebisingan di dalam

ruangan atau gedung sehingga intensitas suara menjadi

lemah (Sasongko, 2000).

c. Pengendalian Kebisingan pada Manusia

Pengendalian kebisingan pada manusia dilakukan untuk

mereduksi tingkat kebisingan yang diterima harian, sering disebut

dengan personal hearing protection. Pengendalian ini ditujukan

pada pekerja pabrik atau mereka yang bertempat tinggal didekat

jalan raya yang ramai. Karena daerah utama kerusakan akibat

kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian

dalam), Maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat

bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke

telinga bagian luar dan bagian tengah, sebelum masuk ke telinga

bagian dalam. Cara yang biasa digunakan untuk pengendalian

kebisingan pada penerima adalah:

1) Pengendalian secara Teknis

a) Mengubah cara kerja, dari yang menimbulkan bising menjadi

berkurang suara yang menimbulkan bisingnya.

19
b) Menggunakan penyekat dinding dan langit-langit yang kedap

suara.

c) Mengisolasi mesin-mesin yang menjadi sumber kebisingan.

d) Substitusi mesin yang bising dengan mesin yang kurang

bising.

e) Menggunakan fondasi mesin yang baik agar tidak ada

sambungan yang goyang, dan mengganti bagian-bagian

logam dengan karet.

f) Modifikasi mesin atau proses.

g) Merawat mesin dan alat secara teratur dan periodik sehingga

dapat mengurangi suara bising (Budiono, 2003).

2) Pengendalian secara Administratif

Yaitu berupa kriteria atau tingkat baku kebisingan untuk

tindakan pencegahan yang menetapkan tingkat kebisingan

maksimal yang diperbolehkan dan lamanya kebisingan yang

boleh diterima dalam kaitannya dengan perlindungan

pendengaran. Pengendalian secara administratif mempunyai

tujuan untuk mengendalikan tingkat dan lama kebisingan yang

diterima oleh pekerja dengan mengatur pola kerja sesuai

lingkungannya (Sasongko, 2000).3

Pengendalian secara administratif yaitu:

a) Pengadaan ruang kontrol pada bagian tertentu (misalnya

bagian diesel). Tenaga kerja di bagian tersebut hanya

melihat dari ruang berkaca yang kedap suara dan sesekali

20
memasuki ruang berbising tinggi, dalam waktu yang telah

ditentukan, serta menggunakan APD (ear muff).

b) Pengaturan jam kerja, disesuaikan dengan NAB yang ada.

Cara ini dilakukan untuk mengurangi waktu pemajanan dan

tingkat kebisingan, sehingga suara yang diterima organ

pendengaran pekerja, masih dalam batas aman (Budiono,

2003). Di USA, telah ditentukan batas waktu pemaparan

bising yang diperkenankan, seperti yang dikeluarkan oleh

OSHA dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Kriteria Risiko Kerusakan Pendengaran


(Kriteria OSHA)
Duration per day Sound Level dBA slow
(hours) response
8 90
6 92
4 95
3 97
2 100
1.5 102
1 105
0.5 110
0.25 or less 115
Sumber : Budiono (2003)
Angka dalam tabel di atas mengikuti ‘5 dB rule’, yakni

apabila intensitas bising naik atau turun 5 dB maka lama waktu

pemaparan yang diperkenankan turun menjadi setengahnya

atau naik menjadi dua kali (Budiono, 2003).

3) Pengendalian Secara Medis

Pemeriksaan Audiometri sebaiknya dilakukan pada saat

awal masuk kerja, secara periodik, secara khusus dan pada

21
akhir masa kerja. Menurut Dewan Keselamatan dan Kesehatan

Kerja Nasional (1987) adalah sebagai berikut

a) Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja

1. Riwayat penyakit,

2. Pemeriksaan klinis secara umum,

3. Pemeriksaan klinis terhadap telinga, dan

4. Tes audiometri yang sederhana.

b) Pemeriksaan Berkala

1. Riwayat penyakit secara pendek,

2. Pemeriksaan klinis terhadap telinga,

3. Tes audiometri yang sederhana.

c) Pemeriksaan Khusus

1. Riwayat penyakit,

2. Pemeriksaan klinis secara umum,

3. Pemeriksaan klinis yang menyeluruh terhadap telinga,

hidung dan tenggorokan,

4. Tes audiometri yang kompleks.

Tes audiometri yang sederhana merupakan tes

terhadap suara mesin dengan hantaran udara yang

dilakukan secara terpisah untuk masing-masing telinga

terhadap beberapa frekuensi tertentu (500, 1000, 2000,

4000 dan 6000 Hz). Tes audiometri yang kompleks

dilakukan dalam ruangan kedap suara dan masing-

22
masing telinga terpisah terhadap beberapa frekuensi

(250, 500, 1000, 2000, 3000, 4000, 6000 dan 8000 Hz)

dan sebelumnya orang yang akan diperiksa diisolir dalam

ruang hampa suara selama 12 jam atau lebih baik 16

jam.

d) Penggunaan Alat Pelindung Diri

Apabila pengendalian secara teknis dan administratif

belum dapat mereduksi tingkat dan lama kebisingan yang

diterima maka digunakan alat pelindung kebisingan yaitu ear

plug atau ear muff.

Tindakan yang terpenting dalam pengendalian kebisingan

adalah dengan mengurangi tingkat bunyi dengan cara-cara

teknis, baik korektif (peredam bunyi, panel anti pantulan,

lapis pelindung, pelindung kepala dll) atau lebih baik dengan

merancang mesin-mesin yang kurang bising (Suyono, 1995).

Perlindungan individual memerlukan pendidikan dan

persuasi para pekerja untuk menggunakan alat pelindung

sumbat telinga plastik yang terkadang tidak mudah diterima

pemakai dan sumbat sekali pakai dari lilin, dapat mengurangi

tingkat bising antara 8–30 dB. Pelindung telinga tipe

gumpalan kapas dan headphone lebih efektif (pengurangan

20–40 dB). Walaupun alat-alat ini tidak nyaman dipakai,

tetapi penting bila ada paparan singkat terhadap tingkat

bunyi yang sangat tinggi.

23
Prinsip pencegahan ketulian dari proses bising adalah

menjauhi dari sumber bising, untuk itu dapat dilakukan

dengan:

1. Mesin atau alat-alat yang menghasilkan bising diberi

cairan pelumas.

2. Membuat tembok pemisah antara sumber bising dengan

tempat kerja.

3. Para pekerja diharapkan memakai APT seperti ear

plug/penyumbat telinga tetapi berefek pada bising yang

tingkatnya rendah. Pemakaian alat pelindung telinga

merupakan alternatif terakhir bila pengendalian yang lain

telah dilakukan. Tenaga kerja dilengkapi dengan sumbat

telinga (ear plug) atau penutup telinga (ear muff)

disesuaikan dengan jenis pekerjaan, kondisi dan

penurunan intensitas kebisingan yang diharapkan.

(Gabriel, 1995)

B. Tinjauan Masa Kerja

Masa kerja adalah perhitungan waktu kerja yang dimulai pada

saat pertama kali melakukan pekerjaan hingga habis waktu untuk dia

bekerja atau pensiun, dimana pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan

pada siang hari dan/atau malam hari (UU No: 25 tahun 1997 Tentang

Ketenaga Kerjaan).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) masa kerja

adalah seluruh rangkaian ketika proses, perbuatan atau keadaan

24
berada atau langsung. Skala waktu merupakan interval antara dua

buah kejadian atau keadaan, atau juga bisa merupakan lama

berlangsungnya suatu kejadian. Skala waktu di ukur dengan berbagai

macam satuan yaitu meliputi satuan detik, menit, jam, hari, bulan,

tahun, windu, dekade (dasawarsa, abad, dan seterusnya. Dalam dunia

fisika dimensi waktu dan dimensi ruang merupakan besaran

pengukuran yang mendasar, selain juga berat masa dari suatu benda.

Timbulnya resiko kerusakan pendengaran di perusahaan maupun

industri dengan jenis kebisingan kontinue pada tingkat kebisingan ≤

75 dB (A), Leq untuk paparan harian selama 8 jam dapat diabaikan,

bahkan pada tingkat paparan sampai 80 dB (A) tidak ada peningkatan

subyek dengan gangguan pendengaran. Akan tetapi pada >85 dB (A)

ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun bekerja, 1% pekerja akan

mengalami sedikit gangguan pendengaran, setelah 10 tahun bekerja,

3% pekerja mungkin mengalami kehilangan pendengaran, dan setelah

15 tahun bekerja meningkat menjadi 5%. Pada tingkat bising 90 dbA,

berturut-turut persentasenya adalah 4%, 10% dan 14% dan pada

tingkat kebisingan 95 dbA adalah 7%, 17% dan 24%. (Suyono, 1995).

C. Penggunaan APT

Usaha pencegahan terhadap kemungkinan Penyakit Akibat kerja

dan kecelakaan kerja harus dilakukan untuk menghindari dan

mengurangi paparan dan risiko kebisingan. Salah satu upaya

pengendalian adalah melengkapi tenaga kerja dengan Alat Pelindung

Diri. Undang-undang No.1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja,

25
khususnya pasal 9, 13, dan 14, mengatur tentang penyediaan dan

penggunaan Alat Pelindung Diri di tempat kerja, baik bagi pengusaha

maupun bagi tenaga kerja.

Fungsi dari perancangan Alat Pelindung Diri adalah untuk

mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh pekerja. Alat

Pelindung Diri merupakan seperangkat alat yang digunakan tenaga

kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya

potensi bahaya atau kecelakaan kerja (Budiono, 2003).

Alat Pelindung Telinga merupakan salah satu bentuk Alat

Pelindung Diri yang digunakan untuk melindungi telinga dari paparan

kebisingan, sering disebut sebagai personal hearing protection atau

personal protective devices. Alat Pelindung Telinga dapat menurunkan

kerasnya bising yang melalui hantaran udara sampai 40 dB, tetapi pada

umumnya tidak lebih dari 30 dB. Pemakaian Alat Pelindung telinga ini

dapat mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar

dan bagian tengah, sebelum masuk ke telinga bagian dalam. Semua

tenaga kerja yang bekerja dalam area 85 dB harus memakai alat

pelindung telinga, memperoleh pemeriksaan audiometri secara barkala,

dan memperoleh pelatihan / penyuluhan secara berkala.

Potensi bahaya yang terdapat di setiap perusahaan berbeda-beda.

Hal ini tergantung pada jenis produksi, jenis teknologi yang digunakan,

bahan produksi dan proses produksi. Alat pelindung diri yang telah

dipilih hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Dapat memberikan perlindungan terhadap bahaya

26
2. Berbobot ringan

3. Dapat dipakai secara fleksibel (tidak membedakan jenis kelamin)

4. Tidak menimbulkan bahaya tambahan

5. Tidak mudah rusak

6. Memenuhi standar dari ketentuan yang ada

7. Pemeliharan mudah

8. Penggantian suku cadang mudah37

9. Tidak membatasi gerak

10. Rasa “tidak nyaman” tidak berlebihan (rasa tidak nyaman tidak

mungkin hilang sama sekali, namun diharapkan masih dalam batas

toleransi)

11. Bentuknya cukup menarik.

12. Alat pelindung telinga berfungsi sebagai penghalang (barier) antara

sumber bising dan telinga bagian dalam, juga melindungi telinga

dari ketulian akibat kebisingan (Sasongko, 2000).

Secara umum alat pelindung telinga dibedakan menjadi :

1. Tutup telinga (ear muff)

2. Sumbat telinga (ear plug)

Biasanya ear muff atau ear plug ini terbuat dari bahan yang

tidak mudah tergores, tidak beracun dan tidak mudah menguap

serta memiliki pengerutan, pengerasan atau retakan yang

minimum.

1. Ear Muff

27
Ear muff adalah domes atau kubah plastik yang

menyelimuti telinga dan dihubungkan dengan pita pegas/per.

Pita tersebut dapat disesuaikan dengan bervariasi bentuk,

ukuran kepala dan posisi telinga serta mampu memberikan

ketegangan antara kepala dan kubah sehingga tetap terjaga

kerapatannya (Sasongko, 2000).

Alat ini dapat melindungi bagian luar telinga (daun telinga)

dan alat ini lebih efektif dari sumbat telinga, karena dapat

mengurangi intensitas suara hingga 20 s/d 30 dB. Terbuat dari

cup yang menutupi daun telinga. Agar tertutup rapat, pada tepi

cup dilapisi dengan bantalan dari busa. Tingkat attenuation

yang efektif bergantung pada kualitas bahan cup tersebut

(Budiono, 2003).

Beberapa keuntungan dan kelemahan dari ear muff adalah:

a. Keuntungannya :

1) Mempunyai daya pelemahan yang paling bagus

2) Lebih mudah dipakai

3) Lebih mudah dimonitor

4) Biasanya berumur panjang karena dapat dilakukan

penggantian spare part

5) Dapat digunakan untuk telinga yang cacat atau

terinfeksi

28
6) Baik untuk dipakai secara insidentil (misalnya untuk

personil yang sering berkunjung ke atau melewati daerah

kebisingan).

b. Kekurangannya:

1) Harganya sangat mahal

2) Membutuhkan tekanan yang ketat di kepala sehingga

kadang-kadang mengurangi kenyamanan bagi orang-

orang tertentu

3) Agak berat dan panas

4) Tidak efektif dipakai untuk orang yang berkacamata

atau bertopi keras

5) Dapat menyebabkan radang atau infeksi kulit jika

bantalan yang kontak dengan kulit tidak dibersihkan

secara memadai

6) Lebih sulit disimpan (dimensinya lebih besar

dibanding ear plug)

7) Kemampuan pelemahan suara menjadi berkurang jika

bantalan menjadi keras atau retak, kehilangan fluida

(menjadi kempes) dan ketegangan pita mengendor.

2. Ear Plug

Ear plug adalah jenis alat pelindung telinga yang dipasang

secara langsung ke kanal atau ke saluran telinga. Ear plug

mempunyai bermacam konfigurasi dan terbuat dari karet,

plastik atau cotton. Tepat atau tidaknya pemasangan

29
tergantung pada kemampuan membuat kontak sepanjang

seluruh luasan dinding saluran telinga, dan ini membutuhkan

tekanan keluar yang dilakukan alat tehadap dinding saluran.

Ear plug mempunyai beberapa konfigurasi, yaitu :

a. Pre-molded

1) Pre-molded (sized)

Ada 2 tipe pre-molded sized yaitu V51-R dan

satunya dengan desain berbentuk peluru yang halus.

Konfigurasi V51-R biasanya mempunyai 5 ukuran yaitu

extra small, small, medium, large dan extra large

sedangkan konfigurasi bentuk peluru mempunyai ukuran

small, medium dan large.

2) Pre-molded (universal)

Jenis ini dibuat dengan 2 atau lebih flange untuk

menyesuaikan berbagai macam ukuran saluran telinga.

a) Keuntungan jenis ini adalah

1. Lebih murah dibanding tipe lainnya

2. Lebih ringan untuk dipakai, dibawa atau disimpan

3. Tidak berinterferensi dengan pemakaian

kacamata atau topi yang keras

4. Baik untuk dipakai di daerah atau ruang kerja

yang panas

5. Tersedia untuk beberapa bentuk dan ukuran

30
6. Mudah dibersihkan.

b) Kekurangannya:

1. Memerlukan tekanan yang ketat pada saluran

telinga, sehingga mengurangi kenyamanan

2. Cepat mengeras atau mengkerut jika tidak

diganti atau dilepas pada interval tertentu

3. Dapat merangsang batuk saat pemakaian

b. Superaural (Canals Caps)

Pelemahan bunyi jenis penutup saluran ini diperoleh

dengan cara menutup lubang luar pada saluran telinga.

Penutup yang terbuat dari karet ini dijepit oleh pita pegas

kepala.

Ear plug dapat mengurangi intensitas suara 10 s/d 15

dB. Dibedakan oleh 2 jenis yaitu:

1) Ear Plug sekali pakai (Disposable Plugs) Ear plug

jenis ini biasanya disediakan beberapa buah untuk satu

periode, bagi seorang pekerja.

2) Ear Plug yang dapat dipakai kembali (Reusable

Plugs) Terbuat dari plastik yang dibentuk permanen

(permanen moulded plastic) atau karet. Untuk jenis ini

ear plug dicuci setiap selesai digunakan dan disimpan

dalam tempat yang steril.

Kelebihan ear plug dibanding ear muff adalah mudah

untuk dibawa dan disimpan karena kepraktisannya. Dan ear

31
plug tidak mengganggu apabila digunakan bersama-sama

dengan kacamata dan helm.

Tingkat perlindungan (degree of protection) yang akan

diberikan oleh alat pelindung telinga ditentukan oleh:

1) Jenis alat pelindung yang dipakai

2) Keadaan dari alat

3) Cara pemakaian

4) Cara pemeliharaan

5) Lamanya alat tersebut dipakai waktu kerja.

(Sasongko, 2000).

D. Gangguan Pendengaran

Kerusakan pendengaran karena kebisingan sebenarnya adalah

kerusakan pada indera pendengaran dengan risiko penurunan daya

dengar yang akhirnya dapat menjadi tuli menetap yang tidak dapat

disembuhkan. Oleh karena itu, menghindari kebisingan yang

berlebihan adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mencegah

kerusakan pendengaran. Namun dalam suatu proses produksi hal ini

tidak dapat dilaksanakan. Pengaruh kebisingan terhadap manusia

tergantung pada karakteristik fisis, waktu berlangsung dan waktu

kejadiannya. Pengaruh tersebut berbentuk gangguan yang dapat

menurunkan kesehatan, kenyamanan, dan rasa aman manusia.

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang

berhubungan dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang

32
berbentuk telinga berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu

merespons suara pada kisaran antara 0-140 dB tanpa menimbulkan

rasa sakit. Frekuensi yang dapat direspons oleh telinga manusia

antara 20-20000 Hz dan sangat sensitif pada frekuensi antara 1000-

4000 Hz. Kerusakan pendengaran (dalam bentuk ketulian) merupakan

penurunan sensitifitas yang berlangsung secara terus menerus

(Sasongko, 2000).

Menurut Suma’mur P. K (1996) mula-mula efek kebisingan pada

pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara cepat

sesudah dihentikan kerja di tempat bising. Tetapi kerja terus menerus

di tempat bising berakibat kehilangan daya dengar yang menetap dan

tidak bisa pulih kembali. Biasanya di mulai pada frekuensi-frekuensi

sekitar 4000 Hz dan kemudian menghebat dan meluas ke frekuensi

sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi-frekuensi yang digunakan

untuk percakapan. Kehilangan pendengaran dapat bersifat sementara

atau permanen. Pergeseran ambang sementara yang diinduksi bising

(NITTS, Noise Induced Temporary Treshold Shift, atau kelelahan

pendengaran) adalah kehilangan tajam pendengaran sementara

setelah paparan yang relatif singkat terhadap bising yang berlebihan,

pendengaran pulih cukup cepat setelah bising dihentikan. Pergeseran

ambang permanen yang diinduksi bising (NIPTS, Noise Induced

Permanent Treshold Shift) adalah kehilangan pendengaran irreversible

yang disebabkan paparan jangka lama terhadap bising. Pergeseran

ambang yang diinduksi bising adalah kuantitas kehilangan

33
pendengaran yang dapat dikaitkan dengan bising saja (setelah

dikurangi nilai-nilai untuk presbiakusis). Gangguan pendengaran

umumnya mengacu pada tingkat pendengaran dimana individu

tersebut mengalami kesulitan untuk melaksanakan kehidupan normal,

biasanya dalam hal memahami pembicaraan (Suyono, 1995).

Dalam proses terjadinya ketulian/kurang pendengaran yang

menetap (permanen), beberapa tahap akan dialami oleh penderita.

Merluzzi (1983), membedakannya dalam 4 tahap, yakni tahap

pertama, yang terjadi pada 10-20 hari pertama terpapar bising.

Sesudah bekerja telinga penderita terasa penuh, berdenging, sakit

kepala ringan, pusing dan terasa capai. Pada tahap selanjutnya, yakni

bila pemaparan terjadi selama beberapa bulan sampai beberapa

tahun, semua gejala subyektif akan menghilang kecuali telinga yang

berdenging secara intermitten. Pada tahap ketiga penderita merasa

bahwa pendengarannya tidak normal lagi, ditandai dengan

ketidakmampuan mendengar suara detik jarum jam, tidak dapat

menangkap komponen pembicaraan, lebih-lebih jika terdapat bising

latar belakang. Pada tahap terakhir, komunikasi melalui pendengaran

penderita menjadi sangat sukar atau bahkan tidak mungkin sama

sekali. Pada tahap ini sering pula disertai tinnitus yang terus menerus,

sebagai petunjuk akan terjadinya kerusakan saraf pada koklea

(Budiono, 2003).

Seseorang yang terpapar kebisingan secara terus menerus dapat

menyebabkan dirinya menderita ketulian. Ketulian akibat kebisingan

34
yang ditimbulkan akibat pemaparan terus manerus tersebut dapat

dibagi menjadi dua:

1. Temporary deafness, yaitu kehilangan pendengaran

sementara

2. Permanent deafness, yaitu kehilangan pendengaran secara

permanen atau disebut ketulian saraf, yang harus dapat

dikompensasi oleh jamsostek atas rekomendasi dari dokter

pemeriksa kesehatan (Salim, 2002).

Kelainan pendengaran berupa tuli dibagi menjadi dua tipe yaitu:

1. Tuli saraf yang disebabkan oleh kerusakan koklea atau

nervus auditorius, dimana orang tersebut mengalami penurunan

atau kehilangan kemampuan total untuk mendengar suara seperti

pada pengujian konduksi udara dan konduksi tulang. Pola lain tuli

saraf seringkali terjadi sebagai berikut:

a. Tuli untuk suara berfrekuensi rendah yang disebabkan oleh

paparan berlebihan dan berkepanjangan terhadap suara yang

sangat keras karena suara berfrekuensi rendah biasanya lebih

keras dan lebih merusak organ corti.

b. Tuli untuk semua frekuensi yang disebabkan oleh sensitifitas

obat terhadap organ corti khususnya sensitifitas terhadap

beberapa antibiotik seperti streptomisin, kanamisin dan

kloramfenikol.

2. Tuli konduksi yang disebabkan oleh kerusakan mekanisme untuk

menjalarkan suara ke dalam koklea. Tipe tuli yang sering

35
ditemukan adalah tuli yang disebabkan oleh fibrosis telinga tengah

setelah infeksi berulang pada telinga tengah atau fibrosis yang

terjadi pada penyakit herediter, yang disebut otoklerosis. Dalam

kasus ini gelombang suara tidak dapat dijalarkan secara mudah

melalui osikel dari membran timpani ke fenestra ovalis (Ganong,

1995).

Tuli konduksi disebabkan karena vibrasi suara tidak dapat

mencapai telinga bagian tengah. Tuli ini sifatnya sementara oleh

karena adanya malam/wax/serumen atau adanya cairan di dalam

telinga tengah. Apabila tuli konduksi tidak pulih kembali dapat

menggunakan hearing aid (alat pembantu pendengaran) (Gabriel,

1995). Reaksi orang terhadap kebisingan tergantung pada

beberapa faktor seperti kenyaringan, lama, frekuensi dan interaksi

kebisingan dengan sumber kebisingan lain (Sasongko, 2000).

Penurunan pendengaran akibat kebisingan dipengaruhi oleh:

a. Intensitas total (overall) dari kebisingan

b. Spektrum frekuensi dari suara

c. Jenis kebisingan

d. Masa kerja

e. Lama pemaparan setiap hari terhadap kebisingan yang ada

f. Kerentanan (susceptibility) tenaga kerja.

Tingkat kemampuan mendengar dibagi dalam:

36
a. Pendengaran normal, bila tidak terdapat kesukaran

mendengar pembicaraan dengan suara biasa maupun suara

perlahan. Pada pemeriksaan audiometri tidak lebih dari 25 dB.

b. Tuli ringan, bila tidak terdapat kesukaran mendengar suara

biasa, tetapi sudah ada kesukaran mendengar pembicaraan

dengan suara perlahan. Pada pemeriksaan audiometri 26-40 dB.

c. Tuli sedang, bila seringkali terdapat kesukaran mendengar

suara biasa. Pada pemeriksaan audiometri 41-60 dB.

d. Tuli berat, bila sudah terdapat kesukaran mendengar suara

biasa, sehingga harus dengan suara keras. Pada pemeriksaan

audiometri 61-90 dB.

e. Tuli sangat berat, meskipun dengan suara keras, komunikasi

tidak lancar. Pada pemeriksaan audiometri lebih dari 90 dB.

Ciri-ciri kehilangan pendengaran yang ditimbulkan paparan

bising akibat kerja adalah sebagai berikut:

a. Gangguan pendengaran telinga dalam, dengan superposisi

konduksi dan rekruitmen udara dan tulang

b. Kehilangan pendengaran bilateral dan sedikit banyak

simetris

c. Kehilangannya mulai pada frekuensi 4000 Hz.stadium ini

ada takik bentuk V yang khas pada audiogram. Kondisi ini

bersifat laten, identifikasi memerlukan prosedur deteksi yang

sistematik. Setelah periode paparan lebih lanjut kehilangan

37
pendengaran memburuk dan meluas ke rentang frekuensi yang

lebih besar, dan gangguannya menjadi nyata. Bila paparan tidak

dihentikan kehilangan pendengaran memburuk dan dapat

mendekati tuli.

d. Ketulian terjadi, Akan permanen dan stabil meskipun bahaya

akustik sudah dijauhkan (Suyono, 1995).

1. Mekanisme Pendengaran

Suara ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai

gelombang suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda.

Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar yang

menyebabkan membrana tympani bergetar. Getaran tersebut

selanjutnya diteruskan menuju inkus dan stapes, melalui malleus

yang terikat pada membrana itu. Karena gerakan-gerakan yang

timbul pada setiap tulang ini sendiri, maka tulang-tulang itu

memperbesar getaran. Yang kemudian disalurkan melalui fenestra

vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan melalui

membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea dan

rangsangan mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ corti,

untuk kemudian diantarkan menuju otak oleh nervus auditorius

(Pearce, 2002).

Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang

enak atau tidak enak, hingar bingar atau musikal. Istilah-istilah ini

38
digunakan dalam artinya yang seluas-luasnya. Gelombang suara

yang tidak teratur menghasilkan keributan atau kehingarbingaran,

sementara gelombang suara berirama teratur menghasilkan bunyi

musikal enak. Suara merambat dengan kecepatan 343 m/detik

dalam udara tenang pada suhu 15, 50 C.

Menurut Budiono (2003) apabila telinga memperoleh rangsang

suara, maka menurut Ballantyne dan Groves (1972), sesuai

dengan besarnya rangsangan akan terjadi proses:

a. Adaptasi, yang berlangsung 0-3 menit, yakni berupa

kenaikan ambang dengar sesaat. Jika rangsangan berhenti,

ambang dengar akan kembali seperti semula.

b. Pergeseran ambang dengar sementara (temporary threshold

shift), sebagai kelanjutan proses adaptasi akibat rangsang

suara yang lebih kuat dan dapat dibedakan dalam dua tahap

yakni kelelahan (fatigue) dan tuli sementara terhadap

rangsangan (temporary stimulation deafness). Kelelahan

tersebut, akan pulih kembali secara lambat dan akan semakin

bertambah lambat lagi jika tingkat kelelahan semakin tinggi.

Sedang tuli sementara akibat rangsang suara terjadi akibat

pengaruh mekanisme vibrasi pada kokhlea yang mengalami

rangsang suara dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama.

c. Pergeseran ambang dengar yang persisten (persistent

treshold shift), yang masih ada setelah 40 jam rangsang suara

berhenti.

39
d. Pergeseran ambang suara yang menetap (permanent

threshold shift), meskipun rangsang suara sudah tidak ada.

Pada keadaan ini sudah terjadi kelainan patologis yang

permanen pada koklea, umumnya pada kasus trauma akustik

dan akibat kebisingan di tempat kerja.

Proses pendengaran sangatlah menakjubkan. Getaran

sumber bunyi dihantarkan melalui media udara menggetarkan

gendang dan tulang-tulang kecil yang terletak dalam rongga

telinga bagian tengah, yang kemudian menghantarkan getaran

ke dalam suatu sistem cairan yang terletak dalam putaran

rongga bangunan menyerupai rumah siput atau lebih dikenal

sebagai kokhlea, yang terletak bersebelahan dengan alat

keseimbangan di dalam tulang temporalis. Di dalam telinga

bagian tengah juga terdapat sebuah otot terkecil dalam tubuh

manusia, yaitu tensor timpani, yang bertugas membuat tegang

rangkaian tulang pendengaran pada saat bunyi yang mencapai

sistem pendengaran kita berkekuatan lebih dari 70 dB, untuk

meredam getaran yang mencapai sel-sel rambut reseptor

pendengaran manusia. Namun, otot ini yang bekerja terus

menerus juga tak mampu bertahan pada keadaan bising yang

terlalu kuat dan kontinu, dan terjadilah stimulasi berlebih yang

merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat

bersifat sementara saja pada awalnya sehingga dapat terjadi

ketulian sementara. Akan tetapi, kemudian bila terjadi

40
rangsangan terus menerus, terjadi kerusakan permanen, sel

rambut berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian

menetap.

Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris

dengan mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam

frekuensi 3000 sampai 6000 Hz. Sering kali juga terjadi

penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4000 Hz, yang

sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena

yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada

percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak

dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas

gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama (Djelantik,

2004).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ambang Pendengaran

a. Penggunaan Obat-Obatan

Penggunaan obat-obatan lebih dari 14 hari baik diminum

maupun melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan

pendengaran. Obat-obatan yang mempengaruhi organ

pendengaran pada umumnya adalah jenis antibiotik aminoglikosid

yang mempunyai efek ototoksik. Obat-obatan tersebut adalah

neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin yang

berpengaruh pada komponen akustik.

Gangguan akustik ini tidak selalu terjadi pada kedua telinga

sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap gelombang frekuensi

41
tinggi akan berkurang dan tidak disadari. Gejala dini berupa tinitus

bernada tinggi dapat bertahan sampai dua minggu setelah

pemberian aminoglikosid dihentikan. Patologi kerusakan akustik

terutama berupa degenerasi berat sel rambut organ corti mulai di

bagian basilar menjalar ke apeks.

Gangguan akustik akibat streptomisin bila terapi lebih dari satu

minggu, gentamisin, tobramisin dan amikasin tergantung dosis dan

faktor lain. Neomisin paling mudah menyebabkan tuli saraf, dan

amikasin menyebabkan gangguan pendengaran terutama bila

pengobatan lebih dari 14 hari (Gan, 1999).

b. Umur

Pada usia lanjut, sedang sakit atau anak berumur antara 4

sampai 6 tahun, dipandang lebih sensitif terhadap gangguan

kebisingan dibanding kelompok usia lain (Sasongko, 2000).

Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli

akibat bising (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990).

Pada orang lanjut usia, gangguan pendengaran biasanya

disebabkan oleh fungsi organ pendengaran yang menurun atau

disebut presbiakusis (sekitar 1,8 –5%) (Annie, 2000).

c. Penyakit

1) Otitis Media

42
Yaitu suatu peradangan telinga tengah yang terjadi akibat

infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemopilus

influenzae, atau Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat

timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang

biasanya diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi

(otitis media serosa) yang dapat diobati dengan antihistamin

dengan atau tanpa antibiotik.

Peradangan telinga tengah terjadi apabila tuba eustakhius

yang secara normal mengalirkan sekresi telinga tengah ke

tenggorokan tersumbat. Hal ini menyebabkan penimbunan

sekresi telinga tengah. Sewaktu tuba tersebut membuka

kembali, tekanan di telinga yang mengalami kongesti tersebut

dapat menarik sekresi hidung yang tercemar melalui tuba

eustakhius untuk masuk ke telinga tengah sehingga terjadi

infeksi telinga tengah. Infeksi telinga tengah yang terjadi

berulang-ulang dapat menyebabkan pembentukan jaringan

parut di gendang telinga dan hilangnya pendengaran secara

permanen.

2) Tinnitus

Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau kedua

telinga. Tinnitus dapat timbul pada penimbunan kotoran telinga

atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga (Corwin,

2000).

3) Hipertensi

43
Para penderita penyakit darah tinggi, dimana sel-sel

pembuluh darah sekitar telinga ikut tegang dan mengeras, juga

harus selalu memperhatikan kesehatan telinganya. Sebab,

berkurangnya oksigen yang masuk lebih memudahkan sel-sel

pendengaran mati.

4) Influenza

Penyakit influenza dapat menyebabkan gangguan pada

telinga karena lubang yang menghubungkan telinga bagian

tengah dengan hidung (tuba eustakius) mengalami peradangan

atau bahkan mampet (Yusuf, 2000).

d. Masa Kerja

Risiko kerusakan pendengaran pada tingkat kebisingan ≤ 75

dB (A), Leq untuk paparan harian selama 8 jam dapat diabaikan,

bahkan pada tingkat paparan sampai 80 dB (A) tidak ada

peningkatan subyek dengan gangguan pendengaran. Akan tetapi

pada 85 dB (A) ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun bekerja,

1% pekerja akan mengalami gangguan pendengaran (Suyono,

1995).

e. Jenis Kebisingan

Kebisingan bernada tinggi lebih mengganggu daripada

kebisingan bernada rendah, lebih-lebih yang terputus-putus atau

yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak terduga. Kebisingan

impulsif yang berintensitas tinggi dapat menyebabkan rusaknya alat

44
pendengar. Kerusakan dapat terjadi pada gendang pendengar atau

tulang-tulang halus di telinga tengah (Suma’mur, 1996).

f. Alat Pelindung Telinga

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka

yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah

utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah

pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode

pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa

mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar

dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam

(Sasongko, 2000).

Alat pelindung telinga berupa tutup telinga (Ear Muff) lebih

efektif daripada tipe sumbat telinga (Ear Plug), karena dapat

mengurangi intensitas suara hingga 20 s/d 30 dB. Namun

pelindung telinga tipe Ear Muff kurang efektif dipakai untuk orang

yang berkacamata dan bertopi keras, agak berat dan panas

dibanding pelindung telinga tipe Ear Plug (Budiono, 2003)

g. Ruangan Tempat Pengukuran

Pemeriksaan harus dilakukan dalam ruangan kedap suara

atau di tempat yang sunyi dengan intensitas suara yang sesuai

dengan persyaratan, yaitu latar belakang kebisingan tidak lebih dari

40 dB (A) (Darmanto, 1995).

3. Pemeriksaan Pendengaran

45
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan berbagai

teknik dan alat. Diantaranya dengan menggunakan audiometer. Hasil

pemeriksaan audiometer berupa gambar disebut audiogram (Pedoman

Praktikum laboratorium:2004).

a. Tujuan pemeriksaan adalah:

1) Untuk mengetahui keadaan ambang pendengaran dari para

pekerja atau calon pekerja.

2) Untuk mengetahui secara dini gangguan pendengaran

pekerja dan mencegah agar gangguan pendengaran tersebut

tidak menjadi tambah lebih parah.44

3) Untuk menunjukkan kepada manajemen perusahaan dan

para pekerja tentang manfaat pengendalian kebisingan

khususnya pemakaian Alat Pelindung Diri.

4) Untuk mengidentifikasi pekerja yang sensitif terhadap

kebisingan.

b. Persyaratan Pemeriksaan

Adapun persyaratan penunjang pemeriksaan pendengaran

yang harus dipenuhi agar mendapatkan hasil yang benar-benar

menggambarkan keadaan ambang pendengaran sebenarnya

adalah sebagai berikut:

1) Pemeriksaan harus dilakukan dalam ruang kedap suara.

2) Bila tidak dilakukan dalam ruang kedap suara, latar belakang

kebisingan tidak lebih dari 40 dB (A).

46
3) Alat audiometer yang digunakan terjamin reabilitas

pengukurannya.

4) Sebelum dilakukan pemeriksaan, pekerja dihindarkan dari

kebisingan selama 8-12 jam (Darmanto, 1995).

c. Teknik Pemeriksaan

1) Sebelum pemeriksaan sampel harus terbebas dari paparan

bising selama 16 jam agar didapatkan gambaran audiogram

yang dapat dipercaya.

2) Pengenalan nada pada sampel, sampel diminta menekan

tombol bila mendengar nada.

3) Pemeriksaan pendengaran dilaksanakan berturut-turut dari

frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000

Hz dan 8000 Hz. Frekuensi 1000 Hz didahulukan karena paling

mudah untuk menentukan nilai ambangnya.

4) Pada tiap-tiap frekuensi diberikan intensitas bunyi mulai dari

40-50 dB untuk pasien normal, kemudian dinaikkan secara

bertahap dan diturunkan lagi hingga batas dimana sampel

terakhir masih bisa mendengar nada yang diberikan.

5) Pemeriksaan dilakukan pada telinga kanan selanjutnya

telinga kiri.

6) Mencatat hasil pemeriksaan pada lembar data.

7) Untuk mengetahui gangguan pendengaran dipergunakan

rumus perhitungan hantaran udara pada frekuensi 500 Hz,

47
1000 Hz dan 2000 Hz dirata-rata (Pedoman Praktikum

Laboratorium K3: 2004).

d. Analisis Hasil

Menurut Standar American Academy of Ophtalmology and

Otalaringology, tajam pendengaran diklasifikasikan:

Tabel 3. Klasifikasi tajam pendengaran menurut standar


American Academy of Ophtalmology and
Otalaringology
Rata-rata pengukuran (dBA) Kategori
≤ 25 Normal
26-40 Gangguan ringan
41-60 Gangguan sedang
61-90 Gangguan berat
>90 Gangguan sangat berat
Sumber: Pedoman Praktikum Laboratorium K3: 2004

E. KERANGKA TEORI

Faktor Manusia (Internal)


- Umur
- Masa kerja
- Kondisi kesehatan
- Riwayat penyakit
- Penggunaan obat-obatan
- Penggunaan APT

Faktor Lingkungan
(Eksternal) Gangguan Fungsi
- Ketersediaan APT Pendengaran
- Lama paparan

Faktor Lingkungan Fisik


- Kebisingan

48
Sumber: Suma’mur (1996), Darmanto (1995), dan Corwin (2001)

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A . Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelituan ini adalah survei

analitik dengan melihat hubungan variabel bebas terhadap variabel

terikat pada saat bersamaan (cross sectional study) (Notoatmodjo,

2005).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan

bulan Oktober 2010, tahapan-tahapan penelitian ini meliputi :

kegiatan studi pustaka, orientasi lapangan, pengukuran,

49
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan penulisan

hasil akhir penelitian.

2. Tempat Penelitian

Lokasi atau tempat yang merupakan obyek penelitian ini adalah

di Bengkel Las CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek

yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini

adalah semua pekerja yang berada di bagian produksi yang

berjumlah 35 orang di CV. FM Steel dan 20 orang di CV. Yogasa.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek

yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi disebut sampel

penelitian (Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini menggunakan

Total Sampling dimana sampel adalah seluruh populasi yang

berjumlah 55 orang.

D. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur

melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005).

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat disajikan

sebagai berikut :
INDEPENDEN DEPENDEN

50

Gangguan fungsi
Penggunaan
Masa kerjaAPT pendengaran
Kebisingan

Variabel pengganggu:
• Umur
• Kondisi kesehatan
• Riwayat penyakit
• Penggunaan obat-
obatan

Ket: : Variabel yang diteliti


: Variabel yang tidak diteliti

E. Hipotesis Penelitian

1. Ada perbedaan Kebisingan terhadap Gangguan fungsi

pendengaran pada pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

2. Ada perbedaan Masa Kerja terhadap Gangguan fungsi

pendengaran pada pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

3. Ada perbedaan Penggunaan APT terhadap Gangguan fungsi

pendengaran pada pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

F. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti

1. Variabel terikat (dependent variable) : Gangguan Fungsi

Pendengaran pada pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

51
2. Variabel bebas (independent variable) : Kebisingan, Masa Kerja,

Penggunaan APT di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

G. Definisi Operasional

Tabel. Definisi Operasional

Skala data
Definisi Cara ukur dan
Variabel dan hasil
Operasional kriteria objektif
ukur
Gangguan Gangguan fungsi Audiometri Ordinal
fungsi pendengaran 1. Normal jika
pendengaran pekerja diketahui ≤ 25 dB
dengan melakukan 2.Tidak Normal
pengukuran fungsi jika >25 dB
pendengaran tenaga
kerjanya.
Kebisingan Kebisingan dapat Sound Level Ordinal
diketahui dengan Meter
melakukan ≤ 85 dbA =
pengukuran tidak bising
kebisingan >85 dbA =
lingkungan fisik Bising
ditempat bekerja. 

52
Masa Kerja Masa kerja pekerja Kuisioner Ordinal
dihitung mulai dari
pertama kali bekerja ≤ 5 tahun tidak
di FM Steel hingga beresiko
penelitian ini selesai mengalami
diakukan. gangguan
fungsi
pendengaran

>5 tahun
beresiko
mengalami
gangguan
fungsi
pendengaran

Penggunaan APT pada pekerja Observasi dan Ordinal


APT dilihat dari kuisioner
penggunaan ear
plug (sumbat 1.Menggunakan
telinga), dan ear APT (tidak
muff (tutup telinga) beresiko)
atau tidak 2.Tidak
menggunakan APT menggunakan
APT (beresiko)

H. Teknik pengambilan Data

1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan observasi atau pengamatan di

lapangan pada waktu tenaga kerja bekerja, pengumpulan data

melalui kuisioner dan wawancara dengan responden serta

pengukuran lingkungan fisik kebisingan dan gangguan fungsi

pendengaran pekerja.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari CV. FM Steel dan CV. Yogasa

Steel berupa daftar nama dan masa kerja karyawan.

53
I. Analisis data

Dilakukan dalam bentuk tabel dan grafik serta dinarasikan sesuai

hasil yang digambarkan.

1. Analisis Univariat

Yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil setiap

penelitian. Dalam analisis ini hanya perhitungan mean, median,

modus, standar deviasi dan distribusi dan persentase dari tiap

variabel.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat ini digunakan untuk menguji perbedaan nilai rata –

rata dari 2 pengukuran yang sama pada kelompok yang berbeda

(tidak terkait satu sama lain). Uji yang digunakan dalam penelitian

ini adalah uji T – Independent dengan menggunakan perangkat

lunak pengolah statistik.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. CV. FM Steel Samarinda

CV. FM Steel mempunyai 2 tempat produksi yang terletak di

jalan Kesejahteraan dan jalan Sentosa Samarinda, kalimantan

timur. Industri ini berdiri pada tanggal 18 April 1986. Yang bergerak

dalam bidang pembuatan besi-besi stainlees. Industri ini

berproduksi dari hari senin sampai dengan hari sabtu dari pukul

54
08.00 – 17.00 Wita dan waktu istirahat selama kurang lebih 1 jam

dari pukul 12.00 – 13.00 Wita.

Tahapan – tahapan pengerjaan dimulai dari pengukuran,

pemotongan besi, pengelasan, gurinda kasar, dempul, gurinda

halus, cat dasar anti karat, pengamplasan, cat utama, cat melamin

(finihing). Alat – alat yang digunakan dalam bekerja berupa

Gangset, gara, vero, gurinda, boor duduk, dan palu.

Jumlah tenaga kerja di CV. FM Steel berjumlah 35 orang

dan berjenis kelamin laki – laki, yang secara keseluruhan bekerja

langsung pada bagian produksi pembuatan besi stainless.

b. CV. Yogasa Steel Samarinda

CV. Yogasa Steel terletak di jalan Rajawali Samarinda,

kalimantan timur. Industri ini berdiri pada tanggal 12 September

1998. Yang bergerak dalam bidang yang sama yaitu pembuatan

besi-besi stainlees. Industri ini berproduksi dari hari senin sampai

dengan hari sabtu dari pukul 08.00 – 17.00 Wita dan waktu istirahat

selama kurang lebih 1 jam dari pukul 12.00 – 13.00 Wita.

Tahapan – tahapan pengerjaan dimulai dari pengukuran,

pemotongan besi, pengelasan, gurinda kasar, dempul, gurinda

halus, cat dasar anti karat, pengamplasan, cat utama, cat melamin

55
(finihing). Alat – alat yang digunakan dalam bekerja berupa

Gangset, gara, vero, gurinda, boor duduk, dan palu.

Jumlah tenaga kerja di CV. Yogasa Steel berjumlah 20

orang dan berjenis kelamin laki – laki, yang secara keseluruhan

bekerja langsung pada bagian produksi pembuatan besi stainless.

Tabel 4.1
Jumlah Responden Berdasarkan Lokasi Perusahaan

No Lokasi Jumlah Persentase (%)


1. CV. FM Steel 35 orang 63,6%
2. CV. Yogasa Steel 20 orang 36,4%
Jumlah 55 orang 100%
Sumber : Data Sekunder

2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi

kelompok Umur dan pendidikan responden.

a. Karakteristik responden berdasarkan kelompok umur

Karakteristik responden berdasarkan umur Tenaga Kerja

CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda ditunjukkan pada

tabel di bawah ini :

Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di
CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda Tahun 2010

No Umur FM Steel Yogasa

56
(Tahun) n % n %
1 17-23 8 22,8 9 45
2 24-30 22 62,8 7 35
3 31-37 4 4 3 15
4 38-44 0 0 1 5
5 45-49 1 2,9 0 0
Jumlah 35 100 20 100
Sumber : Data primer

Tabel 4 di atas menunjukan bahwa responden yang ada di

CV. FM Steel memiliki usia 17-23 tahun sebanyak 22,8%, usia 24-

30 tahun sebanyak 62,8%, usia 31-37 tahun sebanyak 11,5%, usia

38-44 sebanyak 0%, dan usia 45-49 tahun sebanyak 2,9%,

Sedangkan CV. Yogasa Steel memiliki usia 17-23 tahun sebanyak

45%, usia 24-30 tahun sebanyak 35%, usia 31-37 tahun sebanyak

15%, usia 38-44 tahun sebanyak 1%, dan usia 45-49 tahun

sebanyak 0%.

b. Karakteristik responden berdasarkan kelompok pendidikan

Karakteristik responden berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tenaga Kerja CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda

ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.3
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Pendidikan di
CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda Tahun 2010

FM Steel Yogasa
No Pendidikan
n % n %
1 tamat SD 1 2,9 1 5
2 tamat SLTP 15 42,8 8 40

57
3 tamat SLTA 19 54,3 11 55
Perguruan
4 0 0 0 0
Tinggi
Jumlah 35 100 20 100
Sumber : Data primer

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan

responden yang ada di CV. FM Steel dengan tingkat pendidikan lulus

SD sebanyak 1 orang, lulus SLTP sebanyak 15 orang, lulus SLTA

sebanyak 19 orang, dan perguruan tinggi tidak ada, Sedangkan

responden yang berada di CV. Yogasa Steel dengan tingkat

pendidikan lulus SD sebanyak 1 orang, lulus SLTP sebanyak 8

orang, lulus SLTA sebanyak 11 orang, dan perguruan tinggi tidak

ada.

3. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan untuk

memperoleh gambaran dari tiap-tiap variabel yang digunakan dalam

penelitian dan data yang dianalisis merupakan data yang berasal

dari hasil dan distribusi setiap variabel.

a. Kebisingan

Kebisingan merupakan suara yang tidak dikehendaki karena

tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat

58
menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan

manusia.

Berdasarkan hasil pengukuran intensitas kebisingan dengan

satuan dBA di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel dengan

menggunakan alat Sound Level meter di dapatkan hasil sebagai

berikut :

Tabel 4.4
Hasil Pengukuran Intensitas Kebisingan Dengan Menggunakan
Sound Level Meter di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda
FM. Steel Yogasa
Titik
No 09.00 13.00 16.00 dBA Ket 09.00 13.00 16.00 dBA Ket
pengukuran
Wita Wita Wita Wita Wita Wita
pojok kanan 88 90 82 86 90 98 97 95
1 B B
atas dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA
pojok kanan 89 92 86 89 89 90 89 89
2 B B
bawah dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA
pojok kiri 86 91 89 88 90 90 92 90
3 B B
atas dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA
pojok kiri 87 82 85 84 92 92 90 91
4 TB B
bawah dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA
90 91 89 90 116 109 97 107
5 tengah B B
dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA dBA
Ket : B = Bising,
TB = Tidak Bising

Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa intensitas kebisingan

yang di ukur dengan menggunakan alat Sound Level Meter

dengan satuan dBA pada CV. FM Steel mengalami keadaan

yang tidak normal atau diatas Nilai Ambang Batas (NAB) yang

berada pada titk pengukuran pojok kanan atas, pojok kanan

bawah, pojok kiri atas dan tengah dengan nilai intensitas bising

lebih dari 85 dbA atau melebihi NAB yang ditetapkan pemerintah

menurut Kep.Menaker No. 51 tahun 1999 tentang NAB faktor

fisik kebisingan di tempat kerja dan hanya pada titik pengukuran

59
pojok kiri bawah yang nilai intensitas kebisingannya tidak

melebihi NAB yang ditetapkan pemerintah, Sedangkan pada

lokasi CV. Yogasa Steel hampir keseluruhan titik pengukuran

kebisingan lingkungan kerja yang dilakukan melebihi NAB yang

di tetapkan oleh pemerintah sesuai surat Kep.Menaker No. 51

tahun 1999 tentang NAB faktor kebisingan ditempat kerja.

Tabel 4.5
Hasil Pendapat RespondenTentang Kebisingan Dengan
Menggunakan Quisioner di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel
Samarinda

FM. Steel Yogasa


No. Lingkungan Kerja
n % n %
ya 35 100 20 100
1 Berada pada tempat bising
tidak 0 0 0 0
ya 34 97,1 19 95
2 Dekat dengan mesin
tidak 1 2,9 1 5
ya 35 100 19 95
3 Perasaan bising di tempat kerja
tidak 0 0 1 5
ya 34 97,1 19 95
4 Terbiasa dengan suara bising
tidak 1 2,9 1 5
ya 35 100 6 30
5 Terganggu dengan suara bising
tidak 0 0 14 70

60
ya 32 97,4 4 20
6 Sulit berkonsentrasi
tidak 3 8,6 16 80
Lama bekerja dalam hitungan ≤ 8 jam 5 14,3 6 30
7 jam
>8jam 30 85,7 14 70
ya 33 94,3 20 100
8 Waktu istirahat di tempat kerja
tidak 2 5,7 0 0
ya 34 97,1 20 100
9 Hari libur di tempat kerja
tidak 1 2,9 0 0
Anggapan kebisingan ya 34 97,1 14 70
10 berbahaya
tidak 1 2,9 6 30
Sumber : Data primer

Berdasarkan data kuisioner diatas diketahui bahwa

sebanyak 100% responden pada CV. FM Steel dan CV. Yogasa

Steel berada pada tempat yang bising pada saat bekerja, dekat

dengan mesin sebesar 97,1 % pada CV. FM Steel dan 95%

pada CV. Yogasa Steel mengatakan ya, perasaan bising di

tempat bekerja sebesar 100% pada CV. FM Steel dan 95% pada

CV. Yogasa Steel mengatakan ya, terbiasa dengan suara bising

sebesar 97,1 % pada CV. FM Steel dan 95% pada CV. Yogasa

Steel mengatakan ya, terganggu dengan suara bising sebesar

100% pada CV. FM Steel dan 30% pada CV. Yogasa Steel

mengatakan ya, Sulit berkonsentrasi sebesar 97,4 % pada CV.

FM Steel dan 20% pada CV. Yogasa Steel mengatakan ya, lama

bekerja sebesar 85,7% bekerja >8jam sehari pada CV. FM Steel

dan 70% bekerja >8jam sehari pada CV. Yogasa Steel, waktu

istirahat bekerja 94,3% pada CV. FM Steel dan 100% pada CV.

Yogasa Steel mengatakan ada, hari libur pada tempat bekerja

sebesar 97,1% pada CV. FM Steel dan 100% pada CV. Yogasa

Steel mengatakan ada, anggapan kebisingan itu berbahaya

61
sebesar 97,1% pada CV. FM Steel dan 70% pada CV. Yogasa

Steel mengatakan ya.

b. Masa kerja

Masa kerja adalah perhitungan waktu kerja yang dimulai

pada saat pertama kali melakukan pekerjaan hingga habis waktu

untuk dia bekerja atau pensiun dimana perhitungan masa kerja

responden pada kali ini dihitung dari pertama kali responden

bekerja pada tempat tersebut hingga akhir penelitian ini

berlangsung dan didapatkan hasil dari CV. FM Steel dan CV.

Yogasa Steel sebagai berikut:

Tabel 4.6
Hasil Perhitungan Masa Kerja Responden pada CV. FM Steel dan CV.
Yogasa Steel Samarinda Tahun 2010

FM Steel Yogasa
No Masa Kerja
n % n %
1 1 - 3 tahun 5 14,3 11 55
2 4 - 6 tahun 16 45,7 6 30
3 7 - 10 tahun 10 28,6 3 15
4 11 - 13 tahun 2 5,7 0 0
5 14 - 15 tahun 2 5,7 0 0
Jumlah 35 100 20 100
Sumber : Data primer

Berdasarkan tabel hasil diatas diketahui bahwa sebanyak

45,7% atau 16 orang responden yang bekerja di CV. FM Steel

62
mempunyai masa kerja selama 4 – 6 tahun terbanyak dan

sekitar 5,7% atau 4 orang mempunyai masa kerja selama 11 -15

tahun paling sedikit, Sedangkan responden yang bekerja di CV.

Yogasa Steel sebanyak 55% atau 11 orang mempunyai masa

kerja selama 1 – 3 tahun terbanyak dan 0% atau tidak ada satu

pun yang mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun.

c. Penggunaan APT

Alat Pelindung Telinga (APT) adalah Alat yang berfungsi

untuk melindungi telinga dari paparan kebisingan, sering disebut

juga Personal hearing Protection yang dapat berupa Ear Plug

(Sumbat Telinga) dan Ear muff (Penutup Telinga) dan berikut

hasil yang didapatkan dari CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel :

Tabel 4.7
Hasil Perhitungan Penggunaan APT Responden pada CV. FM Steel
dan CV. Yogasa Steel Samarinda Tahun 2010

FM Steel Yogasa
No Penggunaan APT
n % n %
1 menggunakan 6 17,4 1 5
2 tidak menggunakan 29 82,86 19 95
Jumlah 35 100 20 100
Sumber : Data primer

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden

pada CV. FM Steel diperoleh sedikitnya 17,4% atau 6 orang

menggunakan APT (Alat Pelindung Telinga) dan sebanyak

82,86% atau 29 orang yang tidak menggunakan APT (Alat

63
Pelindung Telinga) pada saat bekerja, Sedangkan responden

pada CV. Yogasa Steel diperoleh sedikitnya 5% atau 1 orang

menggunakan APT (Alat pelindung Telinga) dan sebanyak 95%

atau 19 orang yang tidak menggunakan APT (Alat Pelindung

Telinga) pada saat bekerja

Tabel 4.8
Hasil Quisioner Pengetahuan Penggunaan APT Responden pada CV.
FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda Tahun 2010

Penggunaan APT FM. Steel Yogasa


No
(Alat pelindung Telinga) n % n %
ya 20 57,1 11 55
1 Tahukah anda mengenai APT
tidak 15 42,9 9 45
ya 20 57,1 11 55
2 Tahukah anda cara penggunaan APT
tidak 15 42,9 9 45
Apakah di tempat bekerja disediakan ya 0 0 0 0
3
APT tidak 35 100 20 100
ya 6 17,1 1 5
4 Apakah anda menggunakan APT
tidak 29 82,9 19 95
Ear
6 17,1 1 5
5 Jenis APT apa yang anda gunakan plug
tidak 29 82,9 19 95
ya 1 2,9 1 5
6 Penyuluhan pemakaian APT
tidak 34 97,1 19 95
Apakah anda di anjurkan memakai ya 4 11,4 2 10
7
APT tidak 31 88,6 18 90
ya 0 0 0 0
8 APT yang digunakan menggangu
tidak 35 100 20 100
Sumber : Data primer

Dari data hasil kuisioner diatas sebesar 57,1% pada CV. FM

Steel dan 55% pada CV. Yogasa Steel mengenal atau tau apa

yang disebut dengan APT, pengetahuan cara penggunaan APT

sebesar 57,1% pada CV. FM Steel dan 55% pada CV. Yogasa

Steel mengatakan ya tau cara menggunakan APT, ketersediaan

64
APT di tempat kerja sebesar 100% pada CV. FM Steel dan CV.

Yogasa Steel mengatakan tidak ada disediakan APT pada

tempat mereka bekerja, penggunaan APT sebesar 82,9% pada

CV. FM Steel dan 95% pada CV. Yogasa Steel mengatakan

tidak menggunakan APT pada saat bekerja, jenis APT yang

digunakan responden yang memakai APT berupa ear plug

sebesar 17,1% pada CV. FM Steel dan 5% pada CV. Yogasa

Steel, penyuluhan atau sosialisasi pentingnya pemakaian APT

pada saat bekerja di tempat bising yang dilakukan pihak

perusahaan sebesar 97,1% pada CV. FM Steel dan 95% pada

CV. Yogasa Steel mengatakan tidak ada penyuluhan atau

sosialisasi dari pihak perusahaan tentang pentingnya

penggunaan APT apabila bekerja pada tempat yang bising,

anjuran atau keharusan pemakaian APT di tempat kerja oleh

perusahaan sebesar 88,6% pada CV. FM Steel dan 90% pada

CV. Yogasa Steel mengatakan tidak ada anjuran yang

mengharuskan responden memakai APT pada saat bekerja,

apakah APT yang digunakan oleh responden yang

menggunakan APT pada saat bekerja menganggu pada saat

beraktifitas bekerja sebesar 100% pada CV. FM Steel dan CV.

Yogasa mengatakan tidak menganggu dalam beraktifitas

bekerja.

d. Gangguan Fungsi Pendengaran

65
Gangguan fungsi pendengaran adalah penurunan daya

pendengaran yang dapat di akibatkan oleh suara bising yang

lebih dari NAB ( >85 dBA), penurunan daya pendengaran

tersebut dapat diketahui dengan melakukan pengukuran fungsi

pendengaran dengan menggunakan alat Audiometer.

Berdasarkan hasil pengukuran Audiometri pada CV. FM

Steel dan CV. Yogasa Steel didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.9
Hasil Pengukuran Audiometri dengan menggunakan alat Audiometer
di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda

FM Steel Yogasa Ke
No Audiometri Ket
n % n % t
1 10 - 15 dBA 2 5,7 N 2 10 N
2 16 - 20 dBA 21 60 N 4 20 N
3 21 - 25 dBA 5 14,3 N 6 30 N
4 26 - 30 dBA 6 17,1 G 6 30 G
5 31 - 36 dBA 1 2,9 G 2 10 G
Jumlah 35 100 20 100
Ket: N= Normal
G= Gangguan
Sumber : Data primer

Dari hasil pengukuran di atas diperoleh audiometri pada

responden CV. FM Steel adalah 5,7% atau 2 orang dengan nilai

66
10 – 15 dBA, dan terbanyak 60% atau 21 orang dengan nilai 16

– 20 dBA, 14,3% atau 5 orang dengan nilai 21 – 25 orang,

17,1% atau 6 orang dengan nilai 26 – 30 dBA (diatas NAB), dan

terendah 2,9% atau 1 orang dengan nilai 31 - 36 dBA (diatas

NAB), Sedangkan pada responden CV. Yogasa Steel adalah

10% atau 2 orang dengan nilai 10 – 15 dBA, 20% atau 4 orang

dengan nilai 16 – 20 dBA, 30% atau 6 orang dengan nilai 21 –

25 dBA, 30% atau 6 orang dengan nilai 26 – 30 dBA (diatas

NAB), dan 10% atau 2 orang dengan nilai 31 – 36 dBA (diatas

NAB). Yang dimana terdapat 7 orang pada responden CV. FM

Steel yang mengalami gangguan fungsi pendengaran, dan 8

orang responden CV. Yogasa yang mengalami gangguan fungsi

pendengaran.

Tabel 4.10
Hasil Pengamatan Audiometri dengan menggunakan Quisioner di
CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda

Pengamatan keluhan FM. Steel Yogasa


No kemampuan
pendengaran n % n %
Gangguan komunikasi ya 34 97,1 20 100
1
tidak 1 2,9 0 0
Gangguan aktivitas ya 1 2,9 2 10
2
tidak 34 97,1 18 90
Gangguan konsentrasi ya 9 25,7 5 25
3
tidak 26 74,3 15 75
Gangguan kenyamanan ya 12 34,3 5 25
4
tidak 23 65,7 15 75
Gangguan terhadap ya 35 100 20 100
5 telinga tidak 0 0 0 0
Keluhan terhadap ya 35 100 20 100
6 pendengaran tidak 0 0 0 0
Sumber : Data primer

67
Dari hasil pengamatan keluhan kemampuan pendengaran

yang di rasakan responden diatas adalah sebesar 97,1% pada

CV. FM Steel dan 100% pada CV. Yogasa Steel mengatakan

merasakan gangguan pada komunikasi pada saat bekerja, pada

gangguan aktivitas sebesar 97,1% pda CV. FM Steel dan 90%

pada CV. Yogasa Steel mengatakan tidak merasa terganggu

dalam hal beraktivitas bekerja, gangguan konsentrasi sebesar

74,3% pada CV. FM Steel dan 75% pada CV. Yogasa Steel

mengatakan tidak merasakan gangguan pada konsentrasi

bekerja, gangguan kenyamanan sebesar 65,7% pada CV. FM

Steel dan 75% pada CV. Yogasa Steel mengatakan tidak

merasakan gangguan kenyamanan pada saat bekerja,

gangguan terhadap telinga sebesar 100% pada CV. FM Steel

dan CV. Yogasa Steel mengatakan merasakan gangguan

terhadap telinga, keluhan terhadap pendengaran sebesar 100%

pada CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel mengatakan keluhan

yang dirasakan terhadap pendengaran mereka.

4. Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan nilai rata-

rata antara variabel bebas dan variabel terikat. Dalam hal ini adalah

mencari hubungan antara kebisingan, masa kerja, dan penggunaan

APT terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja di CV. FM

Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda.

68
a. Perbedaan kebisingan antara CV. FM Steel dan CV. Yogasa

Steel terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja

Perbedaan rata-rata kebisingan terhadap gangguan fungsi

pendengaran pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.11
Hasil Distribusi Rata-rata Kebisingan Antara
CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda

Lokasi Mean Max Min P value


Kebisingan FM. Steel 88,43 98 82
0,041
Yogasa 91,00 98 85

Rata-rata kebisingan pada CV. FM Steel adalah 88,43

dengan nilai minimum 82 dBA dan Maksimum 98 dBA,

sedangkan untuk CV. Yogasa Steel rata-rata kebisingannya

adalah 91 dengan nilai minimum 85 dBA dan maksimum 98 dBA.

Hasil uji statistik didapatkan nilai P= 0,041 (lebih kecil dari α =

0,05) yang terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata

kebisingan antara CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

b. Perbedaan masa kerja antara CV. FM Steel dan CV. Yogasa

Steel terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja

Perbedaan rata-rata masa kerja terhadap gangguan fungsi

pendengaran pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.12
Hasil Distribusi Rata-rata Masa Kerja pekerja Antara

69
CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda

Lokasi Mean Max Min P value


Masa
Kerja FM. Steel 6,43 15 1
0,01
Yogasa 4,00 10 1

Rata-rata masa kerja pekerja di CV. FM Steel adalah 6,43

dengan nilai minimum 1 tahun dan maksimum 15 tahun,

sedangkan untuk CV. Yogasa Steel adalah 4 dengan nilai

minimum 1 tahun dan maksimum 10 tahun. Hasil uji statistik

didapatkan nilai P= 0,01 (lebih kecil dari α = 0,05) yang terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata – rata masa kerja pekerja di

CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

c. Perbedaan penggunaan APT antara CV. FM Steel dan CV.

Yogasa Steel terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja

Perbedaan rata-rata penggunaan APT terhadap gangguan

fungsi pendengaran pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa

Steel dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.13
Hasil Distribusi Rata-rata Penggunaan APT pekerja Antara
CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda

Lokasi Mean Max Min P value


Penggunaan
APT FM. Steel 27,34 6 0
0,046
Yogasa 25,65 1 0

70
Rata – rata penggunaan APT pekerja di CV. FM Steel

adalah 27,34 dengan nilai minimum 0 (tidak ada) dan maksimum

6 orang, sedangkan untuk CV. Yogasa Steel adalah 25,65

dengan nilai minimum 0 (tidak ada) dan maksimum 1 orang.

Hasil uji statistik didapatkan nilai P= 0,046 (lebih kecil dari α =

0,05) yang terlihat ada perbedaan yang signifikan rata – rata

penggunaan APT pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa

Steel.

B. Pembahasan

Berdasarakan hasil pengolahan dan analisa data maka dilakukan

pembahasan hasil penelitian sesuai dengan variabel yang di teliti.

1. Kebisingan

Kebisingan merupakan bunyi yang tidak dikehendaki karena

tidak sesuai konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan

gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Bunyi

yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber suara yang

bergetar. Getaran sumber suara ini mengganggu keseimbangan

molekul-molekul udara disekitarnya sehingga molekul-molekul

udara ikut bergetar (Sasongko, 2000).

Menurut Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No Kep.

51/MEN/1999 tentang NAB Faktor Fisik Di Tempat Kerja, NAB

71
kebisingan yang diperkenankan di Indonesia adalah 85 dB

(Suma’mur, 1996).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di CV. FM Steel dan

CV. Yogasa Steel didapatkan hasil rata – rata kebisingan di CV.

FM Steel adalah 88,43 dengan nilai minimum 82 dBA dan

Maksimum 98 dBA, sedangkan untuk CV. Yogasa Steel rata-rata

kebisingannya adalah 91 dengan nilai minimum 85 dBA dan

maksimum 98 dBA. Hasil uji statistik didapatkan nilai P= 0,041

(lebih besar dari α = 0,05) terlihat ada perbedaan yang signifikan

rata-rata kebisingan antara CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa rata-

rata kebisingan di CV. Yogasa Steel lebih tinggi di banding dengan

CV. FM Steel sehingga gangguan fungsi pendengaran pekerja

lebih banyak di CV. Yogasa Steel. Perbedaan rata-rata kebisingan

antara CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel terhadap gangguan

fungsi pendengaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

yaitu dari faktor alat mesin yang digunakan pada umumnya sama

tetapi karena tidak adanya ketersediaan sumber listrik yang

mencukupi mengharuskan pada CV. Yogasa Steel menggunakan

mesin gangset yang intensitasnya sebesar 90 dBA yang

dihidupkan terus-menerus selama proses produksi masih berjalan

untuk sumber tenaga yang dipakai untuk menjalankan mesin-mesin

produksi lainya seperti gara, vero, gurinda, boor duduk, dan

kompresor, berbeda dengan CV. FM Steel yang sumber tenaga

72
listriknya berasal langsung dari PLN sehingga intensitas kebisingan

yang dihasilkan dari setiap perusahaan berbeda.

Jika dilihat dari faktor lokasi tempat dimana ke dua

perusahaan itu berdiri yang pada CV. FM Steel tepat di pinggir

jalan raya yang sering dilalui kendaraan bermotor dan pada CV.

Yogasa Steel yang juga bertempat di pinggir jalan raya tetapi

jarang atau sedikit dari kendaraan bermotor yang lewat pada

perusahaan tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan

pada intensitas kebisingan yang di hasilkan oleh ke dua

perusahaan tersebut karena jika di ukur dengan alat Sound Level

Meter tidak lebih dari 80 dBA. Jadi kebisingan yang berbeda

antara ke dua perusahaan tersebut dapat dilihat dari mesin gangset

yang dihidupkan secara terus – menerus selama proses produksi

berlangsung.

Hasil sebuah penelitian oleh negara-negara yang telah maju

menunjukkan bahwa intensitas suara 82-84 dBA dengan frekuensi

3000-6000 Hz telah dapat mengakibatkan kerusakan organ Corti

secara menetap untuk waktu kerja selama lebih dari 8 jam sehari.

Penelitian yang dilakukan di dalam dan di luar negeri

menunjukkan bahwa pada frekuensi 300-6000 Hz, pengurangan

pendengaran tersebut disebabkan oleh kebisingan. Pengurangan

pendengaran diawali dengan pergeseran ambang dengar

sementara. (Budiono, 2003).

73
Hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Eva Yulia Arini

(2005) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

gangguan pendengaran tipe sensorineural tenaga kerja unit

produksi PT. Kurnia Jati Utama semarang didapatkan hasil analisis

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas

kebisingan dengan gangguan pendengaran tipe sensorineural p =

0,001 (p < 0,05). Tenaga kerja yang terpapar intensitas kebisingan

> 85 dB (A) mempunyai risiko sebesar 11,846 kali ( RP = 11,846)

dibandingkan tenaga kerja yang terpapar kebisingan ≤ 85 dB(A).

Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan

pada tenaga kerja, terutama mempengaruhi indera

pendengarannya. Mereka mengalami resiko penurunan daya

pendengaran yang terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama

dan tanpa mereka sadari.

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka

yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah

utama kerusakan akibat kebisingan oada manusia adalah

pendengaran (telinga bagian dalam) maka metode

pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa

mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar

dan bagian tengah sebelum masuk ke bagian dalam (Sasongko,

2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siti Rocmah

(2006) mengenai pengaruh kebisingan terhadapa perbedaan

74
ketajaman pendengaran tenaga kerja di unit weaving iii (loom iii)

dan weaving denim (loom v) PT. Apac Inti Corpora Bawen tahun

2006 didapatkan Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan uji

t-test independent dengan taraf kepercayaan 95% untuk telinga

kanan, diperoleh nilai Signifikansi p = 0,033 yang berarti p < 0,05,

artinya ada perbedaan rata-rata ketajaman pendengaran di Unit

Weaving III (Loom III) dan Weaving Denim (Loom V), dengan

demikian Ha diterima.

Bila dibandingkan dengan kebisingan yang berada pada CV.

FM Steel adalah 88,43 dengan nilai minimum 82 dBA dan

Maksimum 98 dBA, sedangkan untuk CV. Yogasa Steel rata-rata

kebisingannya adalah 91 dengan nilai minimum 85 dBA dan

maksimum 98 dBA. Hasil uji statistik didapatkan nilai P= 0,041

(lebih besar dari α = 0,05) terlihat ada perbedaan yang signifikan

rata-rata kebisingan antara CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

Jika dilihat dari keterbiasaan pekerja yang bekerja di tempat

bising dengan menggunakan hasil kuisioner diperoleh 100%

pekerja di CV. FM Steel sudah merasa terbiasa dengan suara

bising dari tempat mereka bekerja tersebut, yang dimana sekitar

80% pekerja bekerja selama lebih dari 8 jam sehari, sedangkan di

CV. Yogasa Steel pekerja yang merasa terbiasa dengan suara

bising hampir keseluruhan merasa bising hanya satu orang saja

merasa tidak terbiasa dengan suara bising tersebut dikarenakan

masa kerja nya baru 1 tahun, yang dimana sekitar 70% pekerja

75
bekerja selama lebih dari 8 jam sehari sehingga memungkinkan

akan mengakibatkan kemunduran fungsi pendengaran yang

apabila tidak di kendalikan secara dini akan berakibat fatal bagi

pekerjanya.

Untuk mengurangi tingkat intensitas kebisingan tersebut dapat

dikendalikan dengan cara melemahkan atau mereduksi intensitas

kebisingan yang merambat dari sumber ke penerima dengan

membuat hambatan-hambatan seperti sekat antar ruangan dan

peredam bising, merawat atau mengganti mesin-mesin yang dapat

menimbulkan suara bising, mengisolasi mesin yang menjadi

sumber kebisingan contohnya mesin gangset, dan pada personal

pekerjanya dapat dengan menggunakan APT berupa ear plug dan

ear muff yang layak untuk digunakan dan memberikan penyuluhan

atau sosialisasi kepada para pekerja agar pengetahuan mereka

mengenai bahaya kebisingan dan arti pentingnya menggunakan

alat pelindung telinga.

2. Masa Kerja

Masa kerja merupakan perhitungan waktu kerja yang dimulai

pada saat pertama kali melakukan pekerjaan hingga habis waktu

untuk dia bekerja atau pensiun, dimana pekerjaan tersebut dapat

dilaksanakan pada siang hari dan/atau malam hari (UU No: 25

tahun 1997 Tentang Ketenaga Kerjaan).

76
Timbulnya resiko kerusakan pendengaran di perusahaan

maupun industri dengan jenis kebisingan kontinue pada tingkat

kebisingan ≤ 75 dB (A), Leq untuk paparan harian selama 8 jam

dapat diabaikan, bahkan pada tingkat paparan sampai 80 dB (A)

tidak ada peningkatan subyek dengan gangguan pendengaran.

Akan tetapi pada >85 dB (A) ada kemungkinan bahwa setelah 5

tahun bekerja, 1% pekerja akan mengalami sedikit gangguan

pendengaran, setelah 10 tahun bekerja, 3% pekerja mungkin

mengalami kehilangan pendengaran, dan setelah 15 tahun bekerja

meningkat menjadi 5%. Pada tingkat bising 90 dbA, berturut-turut

persentasenya adalah 4%, 10% dan 14% dan pada tingkat

kebisingan 95 dbA adalah 7%, 17% dan 24%. (Suyono, 1995).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di CV. FM Steel dan

CV. Yogasa Steel didapatkan hasil rata – rata masa kerja pekerja di

CV. FM Steel adalah 6,43 dengan nilai minimum 1 tahun dan

maksimum 15 tahun, sedangkan untuk CV. Yogasa Steel adalah 4

dengan nilai minimum 1 tahun dan maksimum 10 tahun. Hasil uji

statistik didapatkan nilai P= 0,01 (lebih besar dari α = 0,05)

sehingga terlihat ada perbedaan yang signifikan rata – rata masa

kerja pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

Hasil penelitian diatas menunjukan bahwa rata – rata masa

kerja pekerja di CV. FM Steel lebih tinggi dibanding dengan rata –

rata CV. Yogasa Steel ini di karenakan lama berdirinya perusahaan

FM. Steel lebih lama yaitu sekitar 24 tahun silam di banding dengan

77
CV. Yogasa Steel yang berdiri sekitar 12 tahun yang silam maka

memungkinkan terdapat perbedaan masa kerja pekerja di ke dua

tempat tersebut dengan masa kerja pekerja paling lama di CV. FM

Steel adalah 15 tahun dan di CV. Yogasa Steel 10 tahun.

Hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Eva Yulia Arini

(2005) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

gangguan pendengaran tipe sensorineural tenaga kerja unit

produksi PT. Kurnia Jati Utama semarang didapatkan hasil analisis

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara masa kerja

dengan gangguan pendengaran tipe sensorineural p = 0,001 (p<

0,05. Tenaga kerja yang mempunyai masa kerja 11-20 tahun

berisiko mengalami gangguan pendengaran tipe sensorineural

sebesar 7,125 kali (RP = 7,125 ) dibandingkan tenaga kerja yang

mempunyai masa kerja 0-10 tahun. Tenaga kerja setelah menerima

paparan dengan intensitas kebisingan selama 10 sampai 15 tahun

dapat mengakibatkan gangguan pendengaran.

Hal ini disebabkan kepekaan seseorang dan waktu di luar

lingkungan bising antara satu orang dengan orang dengan yang

lainnya berbeda. Umur Orang yang berumur lebih dari 40 tahun

akan lebih mudah tuli akibat bising (Depkes RI, 2003).

Kepekaan seseorang mempunyai kisaran luas, secara teliti

hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiogram secara

berulang-ulang.

78
Hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh L. Sunu

Waspadha (2005) mengenai pengaruh masa kerja terhadap daya

dengar pekerja di lingkungan mesin assembling PT. Kubota

Indonesia Hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan “Ada

hubungan masa kerja terhadap daya dengar pekerja di lingkungan

mesin assembling PT. KUBOTA Indonesia Semarang”

Jika di bandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan di

CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel diperoleh hasil masa kerja

pekerja di CV. FM Steel yang telah bekerja selama lebih dari 5

tahun adalah sebanyak 57% (20 orang) dari 43% (15 orang) atau

lebih banyak di bandingkan dengan CV. Yogasa Steel yang hanya

30% (6 orang) saja dari 70% (14 orang) yang memungkinkan

pekerja dari ke dua tempat tersebut rentan mengalami gangguan

fungsi pendengaran sementara bahkan menetap.

3. Penggunaan APT

Alat Pelindung Telinga merupakan salah satu bentuk Alat

Pelindung Diri yang digunakan untuk melindungi telinga dari

paparan kebisingan, sering disebut sebagai personal hearing

protection atau personal protective devices. Alat Pelindung Telinga

dapat menurunkan kerasnya bising yang melalui hantaran udara

sampai 40 dB, tetapi pada umumnya tidak lebih dari 30 dB.

Pemakaian Alat Pelindung telinga ini dapat mereduksi tingkat

kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah,

79
sebelum masuk ke telinga bagian dalam. Semua tenaga kerja yang

bekerja dalam area 85 dB harus memakai alat pelindung telinga,

memperoleh pemeriksaan audiometri secara barkala, dan

memperoleh pelatihan / penyuluhan secara berkala.

Salah satu upaya pengendalian adalah melengkapi tenaga

kerja dengan Alat Pelindung Diri. Undang-undang No.1 tahun 1970

Tentang Keselamatan Kerja, khususnya pasal 9, 13, dan 14,

mengatur tentang penyediaan dan penggunaan Alat Pelindung Diri

di tempat kerja, baik bagi pengusaha maupun bagi tenaga kerja.

Fungsi dari perancangan Alat Pelindung Diri digunakan untuk

mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh pekerja. Alat

Pelindung Diri merupakan seperangkat alat yang digunakan tenaga

kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya

potensi bahaya atau kecelakaan kerja (Budiono, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada CV. FM Steel

dan CV. Yogasa Steel didapatkan hasil bahwa rata-rata

penggunaan APT pekerja di CV. FM Steel adalah adalah 27,34

dengan nilai minimum 0 (tidak ada) dan maksimum 6 orang,

sedangkan untuk CV. Yogasa Steel adalah 25,65 dengan nilai

minimum 0 (tidak ada) dan maksimum 1 orang. Hasil uji statistik

didapatkan nilai P= 0,046 (lebih kecil dari α = 0,05) sehingga

terlihat ada perbedaan yang signifikan rata – rata penggunaan APT

pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel.

80
Hasil diatas menunjukan bahwa penggunaan APT lebih

banyak dilakukan oleh pekerja di CV. FM Steel, terlihat dengan

rata-rata penggunaan APT yang lebih besar pada pekerja FM Steel

dibandingkan dengan pekerja CV. Yogasa Steel. Hal ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengetahuan pada APT

yaitu jika dilihat dari hasil kuisioner pengetahuan tentang APT

didapatkan sebesar 57,1% (20 orang) pekerja di CV. FM Steel

mengetahui mengenai APT dan pada CV. Yogasa Steel sebesar

55% (11 orang) pekerja di CV. Yogasa Steel mengetahui mengenai

APT sehingga terlihat perbedaan yang signifikan dari ke dua

perusahaan tersebut.

Dilihat dari data kuisioner ketersediaan APT ditempat kerja

diperoleh sebesar 17,1% ( 6 orang) pekerja di CV. FM Steel yang

memiliki ketersediaan APT sedangkan pada CV. Yogasa Steel

diperoleh sebesar 5% (1 orang) pekerja yang hanya memiliki APT

yang disediakan sendiri oleh pekerjanya sendiri. Dan jika dilihat dari

data apakah pernah dilaksanakan penyuluhan tentang pemakaian

APT diperoleh sebesar 97,1% (34 orang) pekerja di CV. FM Steel

dan 95% (19 orang) Mengatakan tidak pernah dilaksanakan

penyuluhan mengenai pentingnya pemakaian APT pada tempat

yang bising oleh perusahaan ataupun instansi terkait yang

bertanggung jawab.

Hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Eva Yulia Arini

(2005) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

81
gangguan pendengaran tipe sensorineural tenaga kerja unit

produksi PT. Kurnia Jati Utama semarang didapatkan hasil analisis

menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara alat

pelindung diri dengan gangguan pendengaran tipe sensorineural p

= 0,480 (p>0,05). Tenaga kerja yang tidak memakai alat pelindung

diri pendengaran berisiko mengalami gangguan pendengaran tipe

sensorineural sebesar 1,853 kali ( RP = 1,853) di bandingkan

dengan tenaga kerja yang memakai alat pelindung diri

pendengaran. Ear muffs hanya mampu mengurangi intensitas

kebisingan 10-15 dB, pada industri tersebut memakai ear caps

yang masih mempunyai celah sehingga kebisingan masih dapat

masuk telinga, ear caps perlindungannya terhadap intensitas

kebisingan tidak sebaik ear muffs dan ear plugs.

Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya

cara pemakaian earplug yang salah dan kedisiplinan pemakaian

earplug.

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka

yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah

utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah

pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode

pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa

mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar

dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam

(Sasongko, 2000).

82
Alat pelindung telinga berupa tutup telinga (earmuff) lebih

efektif dari pada tipe sumbat telinga (earplug), karena dapat

mengurangi intensitas suara hingga 20 sampai dengan 30 dB.

Namun pelindung telinga tipe earmuff kurang efektif dipakai untuk

orang yang berkacamata dan bertopi keras, agak berat dan panas

dibanding pelindung telinga tipe earplug (Budiono, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Meilany Astining

Asih (2005) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

pemakaian alat pelindung telinga (ear plug) pada tenaga kerja

bagian produksi divisi pm 6 PT. Pura Barutama Kudus tahun 2005

didapatkan Hubungan pengetahuan responden dengan pemakaian

APT (ear plug) Hasil uji statistik Kendall’s tau antara tingkat

pengetahuan dengan pemakaian APT (ear plug) diperoleh nilai p =

0,821. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara tingkat pengetahuan dengan pemakaian APT (ear

plug).

Pengetahuan dapat memberi keyakinan untuk berperilaku dan

bisa juga untuk tidak berperilaku. Pada responden yang memiliki

pengetahuan yang baik, bisa juga memiliki praktik yang buruk

dalam hal pemakaian APT. Hal ini dapat disebabkan karena

mereka belum memiliki sikap yang positif terhadap APT. Ini

didukung dengan pengalaman pribadi yang selama ini tidak

memakai APT namun tidak mengalami gangguan pendengaran

akibat kebisingan. Dari hasil penelitian disebutkan bahwa

83
responden tidak memerlukan APT saat bekerja karena mereka

tidak mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan. Dalam

hal ini responden belum mencapai tahap adoption dalam proses

perubahan perilaku yaitu berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus

(Notoatmodjo, 2003). Hal ini mungkin disebabkan karena frekuensi

penyuluhan masih rendah dan materi penyuluhan yang masih

dangkal.

Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan pada CV.

FM Steel dan CV. Yogasa Steel didapatkan hasil bahwa rata-rata

penggunaan APT pekerja di CV. FM Steel adalah adalah 27,34

dengan nilai minimum 0 (tidak ada) dan maksimum 6 orang,

sedangkan untuk CV. Yogasa Steel adalah 25,65 dengan nilai

minimum 0 (tidak ada) dan maksimum 1 orang. Hasil uji statistik

didapatkan nilai P= 0,046 (lebih kecil dari α = 0,05) sehingga

terlihat ada perbedaan yang signifikan rata – rata penggunaan APT

pekerja di CV. FM Steel dan CV. Yogasa Steel. Yang artinya

perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh faktor pengetahuan

mengenai APT yang masih kurang dari pekerjanya, ketersediaan

APT yang tidak di fasilitasi oleh perusahaan sehingga pekerja ada

beberapa yang memilikinya dengan membelinya sendiri di toko

safety dan dari faktor penyuluhan atau sosialisai mengenai

pentingnya pemakaian APT pada tempat bising yang tidak pernah

dilaksanakan di ke dua tempat tersebut.

84
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata kebisingan

terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja di CV. FM Steel

dan CV. Yogasa Steel Samarinda. Hal ini didukung oleh hasil uji

independent t-test yang diperoleh nilai P= 0,041 (lebih kecil dari α =

0,05)

85
2. Ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata masa kerja

terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja di CV. FM Steel

dan CV. Yogasa Steel Samarinda. Hal ini didukung oleh hasil uji

independent t-test yang diperoleh nilai P= 0,01 (lebih kecil dari α =

0,05)

3. Ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata penggunaan

APT terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja di CV. FM

Steel dan CV. Yogasa Steel Samarinda. Hal ini didukung oleh hasil

uji independent t-test yang diperoleh nilai P= 0,046 (lebih kecil dari

α = 0,05)

B. Saran

1. Mereduksi sumber bunyi yang berasal dari mesin produksi

dengan cara merawat dan memperbaiki atau bahkan mengganti

mesin-mesin yang mengalami keausan atau gangguan fungsi yang

diakibatkan dari faktor usia alat produksi yang semakin tua serta

apabila memungkinkan seyogyanya melengkapi mesin dan

lingkungan bekerja dengan alat peredam bising sehingga bising

tidak meluas sampai ke tempat lain.

2. Dari pihak perusahaan seyogyanya dapat memberikan atau

memfasilitasi pekerja dengan APT (Alat Pelindung Telinga) dan

memberikan sosialisasi atau penyuluhan kepada pekerjanya

mengenai akan bahaya kebisingan terhadap kesehatan terutama

terhadap ketajaman pendegaran pekerja tersebut guna

86
meningkatkan pengetahuannya dan memberikan sangsi kepada

pekerja yang melanggar atau mengabaikan faktor keamanan

penggunaan APT tersebut serta memasang papan peringatan

ataupun poster-poster tentang bahaya kebisingan dan pemakaian

APT pada saat bekerja di tempat yang terpapar bising guna

mengingatkan dan menumbuhkan kesadaran tenaga kerja dalam

melindungi dirinya dari bahaya kebisingan dan untuk meningkatkan

kesehatan dan keselamatan kerjanya.

3. Pada pekerja yang bekerja lebih dari 8 jam sehari dengan

tingkat intensitas kebisingan yang diterima lebih dari 85 dBA yang

diperbolehkan menurut UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan

Kerja khususnya pasal 9, 13, dan 14 mengatur tentang penyediaan

dan penggunaan Alat Pelindung Diri di tempat kerja, baik bagi

perusahaan maupun bagi tenaga kerja maka perusahaan atau

pekerja wajib melengkapi APT di tempat kerja.

4. Melaksanakan tes kesehatan awal dan berkala khususnya

audiometri bagi tenaga kerja baru akan memulai bekerja pada

tempat tersebut sehingga dapat diketahui dari awal hingga pekerja

berhenti bekerja atau pensuin sampai sejauh mana perubahan

yang terjadi dari fungsi pendegaran pekerja tersebut menurun.

5. Dari pemerintah seharusnya memperhatikan keselamatan

dan kesejahteraan pekerja yang tidak hanya pada sektor formal

saja tetapi sektor informal juga sehingga angka ketulian pekerja

yang ada di indonesia dapat diperkecil

87
DAFTAR PUSTAKA

Annie, Yusuf. 2000. Bising Bisa Timbulkan Tuli: http://www.kompas.com.


Diakses pada tanggal 22 Mei 2010.

Arini, Eva Yulia. 2005. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan


Gangguan Pendengaran tipe sensorineural Tenaga Kerja Unit
Produksi PT. Kurnia Jati Utama Semarang. Fakultas Kesehatan
Lingkungan. Universitas Dipenogoro. (Skripsi tidak dipublikasikan)

Asih, Meilany Astining. 2005. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


pemakaian alat pelindung telinga (ear plug) pada tenaga kerja
bagian produksi divisi pm 6 PT. Pura Barutama Kudus. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang. (Skripsi tidak
dipublikasikan)

Azwar, Azrul. 1990. Pengantar ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta:


Mutiara sumber Widya.

88
Balai Hiperkes. 2004. Buku Pedoman Praktikum Laboratorium K3.
Samarinda: Balai Hiperkes Kalimantan Timur.

Budiono, A.M. Sugeng. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK.


Semarang: Universitas Diponegoro.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Darmanto, R. 1995. Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan Di


Perusahaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Departemen Tenaga kerja, 1993. Pedoman keselamatan dan Kesehatan


kerja Bidang Kesehatan kerja, Proyek Peningkatan Pengawasan
Norma Kesehatan Dan keselamatan Kerja. Jakarta: Depnaker.

Djelantik-Soejoto, Ayu Bulantrisna. 2001. Memelihara Pendengaran,


Menjaga Kesehatan: http://www.kompas.com. Diakses pada tanggal
22 Mei 2010

Gabriel, J. F. 1995. Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC.

Gan, Sulistia. 1999. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.


Ganong, W. F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan Petrus
Andrianto. Jakarta: FKUI.

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2010. Pedoman Penyusunan


Skripsi Mahasiswa program Strata 1. Samarinda: Universitas Negeri
Mulawarman.

Nototatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta:


PT. Rineka Cipta.

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:


PT. Gramedia.

Ramdan, Iwan M. 2006. Dasar-dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja,


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman.

Rocmah, Siti. 2006. Perbedaan Ketajaman Pendengaran Tenagan Kerja


Di Unit Weaping III (Loom III) Dan Weaping Denim (Loom V) PT.
Apac Inti Corpora Bawen. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Negeri Semarang. (Skripsi tidak dipublikasikan)

89
Salim, Emil. 2002. Green Company. Jakarta: PT. Astra International Tbk.

Sasongko, Dwi P. 2000. Kebisingan Lingkungan. Semarang: Universitas


Diponegoro.

Sastrohadiwiryo, Siswanto. 2003. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia,


Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Siswanto. 1991. Kebisingan. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jawa


Timur.

Suma’mur P. K. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.Jakarta:


PT. Toko Gunung Agung.

Suyono, Joko. 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: EGC.

Tulus, M. A. 1992, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi


Aksara

Waspadha, L. Sunu. 2005. Pengaruh Masa Kerja Terhadap Daya Dengar


Pekerja Di Lingkungan Mesin Assembling PT. Kubota Indonesia.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang.
(Skripsi tidak dipublikasikan)

Yakub. 1998. Perbedaan Ambang Pendengaran Tenaga Kerja Sebelum


dan Sesudah Bekerja Pada Intensitas Kebisingan Di Atas NAB di
Pabrik Batako UD. Berkat Kabupaten Dili Tahun 1998. Skripsi.
Semarang: FKM UNDIP.

90

You might also like