Professional Documents
Culture Documents
Berbagai pemeringkatan perguruan tinggi di lingkungan internasional sudah sering dilakukan secara periodik.
Metode pemeringkatan saat ini yang masih sering dijadikan acuan adalah Academic Ranking of World
Universities (ARWU) dari Shanghai Jia Tong University, Webometrics Ranking of World Universities (WRWU),
Performance Ranking of Scientific Papers for World Universiteis (SPWU) dari National Taiwan University, dan
Times Higher Education Supplement (THES) QS World Universities Rankings (THES-QS).
Kriteria the Times Higher Education Supplement-Quacquarelli Symonds (THES-QS) World University Rankings
didasarkan kepada: 1. Research Quality (indikatornya adalah Peer Reviev bobotnya sebesar 40% dan Citations
per Faculty bobotnya 20%). 2. Graduate Employability (indikatornya adalah Recruiter Review bobotnya sebesar
10%). 3. International Outlook (indikatornya adalah International Faculty bobotnya sebesar 5% dan International
Students bobotnya sebesar 5%). 4. Teaching Quality (indikatornya adalah Student Faculty bobotnya sebesar
20%). Total skor 100%.
Peringkat dunia versi THES-QS menyebutkan hanya tiga PT di Indonesia yang masuk Top 400 tahun 2007,
yaitu Universitas Gadjah Mada yang menempati posisi 360 bersama-sama dengan University of Toulouse III
Paul Sabiter dari Perancis, Institut Teknologi Bandung yang menempati posisi ke-369 bersama Universite Paris I
Pantheon Sorbonne juga dari Perancis, serta Universitas Indonesia yang menempati posisi ke-395. Negara
ASEAN lainnya yang masuk Top 400 versi THES-QS adalah Singapura dan Thailand yang menempati masing-
masing dua wakilnya, Malaysia dengan empat wakilnya, serta Filipina dengan satu wakilnya.
Jika dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi yang sudah mencapai 2800-an, maka pencapaian
perguruan tinggi di Indonesia masih dikatakan tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain termasuk
negara-negara ASEAN.
Momen peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional 20 Mei yang baru saja diperingati merupakan tonggak
bangkitnya kembali semangat nasionalisme. Seluruh elemen bangsa diharapkan punya motivasi yang tinggi
untuk mengangkat harkat martabat bangsa di mata internasional sesuai bidangnya masing-masing. Dalam hal
ini, mutu riset suatu universitas menjadi yang utama. Tidak hanya itu, karya-karya ilmiah yang dipublikasikan
pun harus diakui secara internasional dan bisa menjadi rujukan bagi kalangan akademis di seluruh dunia.
Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk
seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original dan relevan dengan bidang kesehatan,
kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus,
penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah, dan surat kepada redaksi.
1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun
terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang,
masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan
sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular,
atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar tetapi jangan
mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil
penelitian yang ditemukan. Bandingkan hasil tersebut dengan hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa
yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya.
Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.
2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan
kesehatan yang mutakhir.
3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di
kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.
4. Penyegar Ilmu Kedokteran: Berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan
perlu disebarluaskan.
5. Ceramah: Tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu
disebarluaskan.
6. Editorial: Berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini
sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.
Petunjuk Umum
Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak
menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus
memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah.
Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-
review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk
diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada
manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent).
Penulisan Makalah
Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas
A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan
dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh
makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan
gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus
disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis.
Halaman Judul
Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi
penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan
jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati
sampai 4 orang.
Teks Makalah
Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil
(Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.
Tabel
Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel
diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul.
Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah.
Gambar
Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto.
Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254
mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda
penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat
dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor
urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah.
Metode Statistik
Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci
berikut rujukan metode tersebut.
Ucapan Terimakasih
Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan
teknis, dana, dan dukungan umum dari suatu institusi.
Rujukan
Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan
teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang
penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada
tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform
Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical
Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus.
Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum
diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished
observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan
sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh:
Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996.
Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak
mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis
dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi.
v5 Majalah
Majalah Kedokteran
Kedokteran Nusantara
Nusantara Volume
Volume 41
41 yy No.
No. 2
2 yy Juni
Juni 2008
2008
DAFTAR ISI
Susunan Redaksi i
Dari Redaksi ii
Petunjuk untuk Penulis iv
Daftar Isi vi
y KARANGAN ASLI
1. Kombinasi Kina-Klindamisin 3 Hari pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa 88
Komplikasi
Lambok Siahaan
2. Kajian Molekular Mutant Del-SEA Thalassemia-α pada Populasi Medan 93
Ratna Akbari Ganie
3. Correlation Between Daytime Sleepiness and Antiepileptic Drugs in Generalized Tonic 99
Clonic Epilepsy Patients in Epilepsy Outpatient Clinic at Neurology Department
University of Sumatera Utara, Medan, Indonesia
Silvana Asrini, Aldy S. Rambe, dan Darulkutni Nasution
4. Incidence of Acute Myeloid Leukemia in Children in Haji Adam Malik Hospital 104
Medan
Selvi Nafianti, Nelly Rosdiana, dan Bidasari Lubis
5. Trombositosis Sekunder pada Anak Sekolah Dasar Usia 9-12 Tahun yang Menderita 112
Anemia Defisiensi Besi
Nelly Rosdiana, Dedy G., Bidasari Lubis, Adi Sutjipto, dan Ridwan M. Daulay
6. Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia (α & β) dan Hemoglobin-E pada Penduduk 117
Medan
Ratna Akbari Ganie
y TINJAUAN PUSTAKA
7. Korioamnionitis sebagai Faktor Risiko Terjadinya Palsi Serebral 123
Siska Mayasari Lubis
8. Elektroensefalografi (EEG): Patofisiologi Timbulnya Gelombang dan Beberapa Jenis 128
Gelombang Normal pada EEG
Aldy S. Rambe
9. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek 133
Akhyar H. Nasution
10. Pendekatan Diagnosis Pucat pada Anak 139
Nelly Rosdiana
y LAPORAN KASUS
11. Femur Metastase Papillary Carcinoma of The Thyroid 144
T. Ibnu Alferraly
12. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS 151
Dalton Silaban, Kiking Ritarwan, dan Rusli Dhanu
Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Nias Selatan mulai bulan Agustus sampai
dengan Desember tahun 2006. Pemberian Kombinasi Kina-Klindamisin selama 3 hari diberikan
pada penderita malaria falciparum, setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan apusan darah.
Pada akhir penelitian, 2 orang dikeluarkan karena tidak bersedia ikut pemeriksaan ulangan.
Sehingga jumlah sampel diakhir penelitian adalah 31 orang. Tidak dijumpai adanya Kegagalan
Pengobatan baik Kegagalan Pengobatan Dini ataupun Kegagalan Pengobatan Kasep. Hal ini
dikarenakan terjadi penurunan Kepadatan Parasit sejak H1 dan tidak lagi dijumpai pada H28.
Efek samping yang muncul lebih ringan, sehingga mengurangi ketidakpatuhan dalam
menyelesaikan pengobatan.
Kata kunci: malaria falciparum tanpa komplikasi, kombinasi kina-klindamisin, kepadatan parasit,
efek samping obat, efikasi
Abstract: The research was conducted in South of Nias, Nias Island, from August to December
2006. Blood examination was done to the patients and then all of them were given Quinine-
Clindamycin combination for 3 days. At the end of the research, 2 persons were excluded from
the study because of reject to continue the follow up. So there were only 31 persons who finished
the research. There were no treatment failure. The parasite density was declined from D1 and did
not appear again in D28. There were minimun side effect of the drugs that made patients’s
compliance to complete the treatment.
Keywords: uncomplicated falciparum malaria, quinine-clindamycin combination, parasite
density, side effect, efficacy
antimalaria secara monoterapi tidak Darah diambil pada ujung jari penderita yang
4
disarankan lagi. ditusuk dengan menggunakan lancet steril
Klindamisin, antibiotik yang juga bersifat setelah terlebih dahulu dibersihkan dengan
skizontosida darah, merupakan salah satu memakai kapas alkohol. Darah tetes pertama
pilihan pasangan untuk Kina. Kombinasi Kina dibuang dan selanjutnya diletakkan pada dua
dan Klindamisin dapat mengurangi frekuensi object glass, masing-masing di bagian
dan durasi pengobatan tanpa mengurangi tengahnya sebanyak ± 2 tetes. Untuk apusan
efikasinya, sehingga mengurangi darah tebal tetesan darah tersebut diaduk
ketidakpatuhan penderita. Klindamisin cukup dengan menggunakan ujung object glass yang
tersedia di banyak tempat, juga relatif lebih lain. Sementara itu untuk apusan darah tipis
murah bila dibandingkan dengan derivat diratakan dengan menggunakan tepi sisi object
artemisinin, serta relatif lebih aman bagi anak- glass dengan cara mendorong dari satu arah ke
3
anak dan ibu hamil. arah yang berlawanan. Kemudian dikeringkan
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pada suhu kamar. Setelah kering, apusan
efikasi kombinasi Kina-Klindamisin yang darah tipis di-fiksasi dengan metanol sebelum
diberikan selama 3 hari pada malaria diberi pewarnaan, sementara apusan darah
falciparum tanpa komplikasi, serta mengamati tebal langsung diberi pewarnaan. Pewarnaan
efek samping obat yang muncul. dilakukan dengan menggunakan Giemsa 10%
selama 10-15 menit, lalu dibilas dengan air
BAHAN DAN CARA kran yang mengalir. Setelah kering, siap untuk
Penelitian ini dilakukan secara uji klinis diperiksa dengan pembesaran mikroskop
terbuka dan dilaksanakan di Kabupaten Nias sebesar 1000x, untuk melihat ada tidaknya
Selatan mulai bulan Agustus sampai dengan Plasmodium falciparum serta menghitung
Desember 2006. Populasi penelitian adalah kepadatannya.
5
penduduk yang bertempat tinggal di tempat Sampel diperoleh melalui beberapa cara,
penelitian. Populasi terjangkau adalah pasien yaitu sampel datang untuk berobat di pos
dengan keluhan demam atau riwayat demam pemeriksaan atau pemeriksaan dilakukan di
satu minggu terakhir. Diagnosa malaria rumah. Sampel yang memenuhi kriteria, akan
ditentukan dengan pemeriksaan apusan darah diberikan pengobatan dengan Kina Sulfat 10
(mikroskopis). mg/kgBB/kali, tiga kali sehari selama 3 hari
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi dan Klindamisin Hidroklorida 15
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan mg/kgBB/kali, tiga kali sehari selama 3 hari.
6
antimalaria.
Pemeriksaan fisik diagnostik yang HASIL PENELITIAN
dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi Dari 33 orang yang mengikuti dari awal
dan auskultasi untuk mendapatkan tanda penelitian ini, 2 orang dikeluarkan karena
objektif mengenai kondisi pasien dan tidak bersedia lagi mengikuti pemeriksaan
dikaitkan dengan kebutuhan pada penelitian. darah pada H14. Sehingga jumlah sampel
Pemeriksaan apusan darah meliputi yang mengikuti penelitian sampai pada H28
pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis. adalah 31 orang (Gambar 1).
karena komposisi penduduk yang memang Klindamisin yang sangat baik yaitu 100%.
lebih banyak perempuan dibandingkan dengan Sementara pada intention to treat analysis
laki-laki.
8
(tetap mengikutkan sampel drop out), efikasi
Gejala klinis yang dijumpai umumnya masih tetap baik, yaitu sebesar 94%. Hal ini
adalah demam, menggigil, badan pegal, tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
pusing, gangguan pencernaan dan lemas. yang dilakukan Metzger dkk di daerah
Demam sebagai salah satu gejala klasik endemis malaria di Afrika, dengan efikasi
10 15
malaria, tidak selalu harus ada pada penderita sebesar 92% , Ramharter dkk sebesar 94%
malaria, terutama di daerah endemis malaria. dan 97% pada penelitian yang dilakukan oleh
16
Sementara itu tanda klinis yang ada hanyalah Vailant dkk.
kenaikan suhu tubuh, tanpa ada pembesaran
limfa. Hal ini dapat saja terjadi oleh karena KESIMPULAN
perbedaan sistem imunitas tubuh.
9 Kombinasi Kina-Klindamisin mempunyai
Kepadatan parasit mulai menurun pada kemampuan yang sangat baik dalam menurunkan
kepadatan parasit. Pemberian kombinasi Kina-
H1, menghilang pada H3 dan tidak dijumpai
Klindamisin selama 3 hari lebih ekonomis dan
lagi pada H28. Hal ini juga diikuti dengan
efek samping yang muncul lebih ringan, sehingga
menghilangnya gejala klinis mulai pada H2
semakin meningkatkan kepatuhan penderita
dan tidak dijumpai lagi sampai pada H28.
dalam menyelesaikan pengobatan.
Penurunan kepadatan parasit bersifat
Jika dibandingkan dengan kombinasi
individual dan bergantung pada sistem derivat artemisinin, kombinasi kina
imunitas tubuh. Hasil ini menunjukkan bahwa merupakan alternatif yang cukup baik,
tidak dijumpai Kegagalan Pengobatan, baik mengingat derivat artemisinin masih sangat
Kegagalan Pengobatan Dini ataupun langka dan mahal.
Kegagalan Pengobatan Kasep. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa efikasi pemberian
kombinasi Kina dan Klindamisin pada DAFTAR PUSTAKA
penderita malaria masih cukup baik. 1. Ginting Y, Tarigan MB, Zein U,
Pusing dan gangguan pencernaan, sulit Pandjaitan B, 2001: The Comparison of
dibedakan kemunculannya sebagai akibat Resistance of Chloroquine and
penyakit malaria atau sebagai efek samping Pyrimethamine - sulfadoxine in
obat, terutama bila keluhan tersebut sudah Uncomplicated Malaria falciparum in
ada sejak awal pengobatan dan tetap ada Siabu District, Mandailing Natal Regency
selama pengobatan. Efek samping obat seperti Sumatera Utara Province, Kongres
Telinga Berdengung (Tinnitus) dan Gangguan Bersama PETRI, Yogyakarta.
Pencernaan, lebih dominan diakibatkan oleh 2. Khairina NA, Siahaan L, Zein U,
Kina. Hal yang sama didapatkan juga dalam Resistensi Plasmodium vivax terhadap
penelitian yang dilakukan Parola dan Klorokuin di Kecamatan Tanjung Pura
10,11
Meztger. Kabupaten Langkat Sumatera Utara,
Tinnitus paling banyak muncul pada H3 dan 2003.
semakin mengganggu terutama pada H4.
Penggunaan Kina dalam waktu yang lama, akan 3. World Health Organization, 2006,
menimbulkan efek samping yang semakin Guidelines For The Treatment of Malaria,
mengganggu.
3,4,12
Efek samping yang Geneva
berkepanjangan akan menyebabkan ketidak- 4. Tracy JW, Webster LT, 1996, Drugs Used
patuhan penderita dalam menyelesaikan In The Chemotherapy Of Protozoal
pengobatan. Ketidakpatuhan penderita dalam Infections. In: Goodman & Gilman’s The
menyelesaikan pengobatan karena efek samping Pharmacological Basis of Therapeutics,
obat, banyak dijumpai pada pemberian kina McGraw-Hill, Ninth Edition: 965-983.
selama 5 hari atau lebih, seperti yang banyak 5. Departemen Kesehatan Republik
13,14
dijumpai pada penelitian kina. Indonesia, Pedoman Penatalaksanaan
Pada on treatment analysis (tidak Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen
mengikutkan sampel drop out dalam analisa), Pemberantasan Penyakit Menular dan
didapatkan efikasi kombinasi Kina- Penyehatan Lingkungan, 2006.
6. Lell B, Kremsner PG, 2002, Clindamycin 12. Katzung BG, 1998, Chloramphenicol,
as an Antimalarial Drug: Review of Tetracyclines, Macrolides, Clindamycin &
Clinical Trials, Antimicrobial Agents and Streptogramins ; Antiprotozoal Drugs In :
Chemotherapy, Vol. 46, No. 8 : 2315– Basic & Clinical Pharmacology, Lange
2320. Medical Books, Seventh Edition : 748-
751; 838-853.
7. World Health Organization, 2003,
Assessment and Monitoring of 13. Jouan LMV, Jullien E, Tetanye A, Tran E,
Antimalarial Drug Efficacy for the Rey, Treluyer JMM, Tod G, Pons, 2005,
Treatment of Uncomplicated Falciparum Quinine Pharmacokinetics and
Malaria. World Health Organization. Pharmacodynamics in Children with
Geneva: 10-12, 50-51, 55-56, 60-65. Malaria Caused by Plasmodium
falciparum, Antimicrobial Agents and
8. Hakim L, Laporan Akhir Pendampingan
Chemotherapy, Vol. 49, No.9 : 3658–
Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias
3662.
Selatan Propinsi Sumatera Utara, Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan 14. Rogier C, Brau R, Tall A, Cisse B, Trape
Penyehatan Lingkungan, Departemen JF, 1996, Reducing the oral quinine-
Kesehatan Republik Indonesia, 2006. quinidine-cinchonin (Quinimax)
treatment of uncomplicated malaria to
9. Harijanto PN, Gejala Klinik Malaria,
three days does not increase the
Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria,
recurrence of attacks among children
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
living in a highly endemic area of Senegal,
Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit
Trans R Soc Trop Med Hyg, 90(2): 175-8.
Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 151-
160. 15. Ramharter M, Oyakhirome S,
Klouwenberg PK, Adegnika AA, Agnandji
10. Metzger W, Mordmuller B, Graninger W,
ST, Missinou MA, Matsiegui PB,
Bienzle U, Kremner PG, 1995, High
Mordmuller B, Borrmann S, Kun JF, Lell
Efficacy of Short-Term Quinine-
B, Krishna S, Graninger W, Issifou S,
Antibiotic Combinations for Treating
Kremsner PG, 2005, Artesunate-
Adult Malaria Patients in an Area in
Clindamycin versus Quinine-Clindamycin
Which Malaria is Hyperendemic,
in the Treatment of Plasmodium
Antimicrobial Agents and Chemotherapy,
falciparum Malaria: A Randomized
Vol. 39, No. 1 : 245–246.
Controlled Trial, Clinical Infectious
11. Parola P, Ranque S, Badiaga S, Niang M, Diseases, Volume 40 : 1777 – 1784.
Blin O, Charbit JJ, Delmont J, Brouqui P,
16. Vaillant M, Millet P, Luty A, Tshopamba
2001, Controlled Trial of 3-Day Quinine-
P, Lekoulou F, Mayombo J, Georges AJ,
Clindamycin Treatment versus 7-Day
Deloron P, 1997, Therapeutic efficacy of
Quinine Treatment for Adult Travelers
clindamycin in combination with quinine
with Uncomplicated Falciparum Malaria
for treating uncomplicated malaria in a
Imported from the Tropics, Antimicrobial
village dispensary in gabon, Tropical
Agents and Chemotherapy, Vol. 45, No.
Medicine & International Health, Volume
3 : 932–935.
2, Number 9 : 917-919.
Abstrak: Jumlah total dari 1.521 merupakan individu dewasa sehat dari tujuh kelompok etnik
berbeda yang hidup di kota Medan yang tersaring pembawa α thalessemia dengan hemoglobin
electrophoresis. Diantara semua sampel, 51 orang dicurigai terdapat ciri thalassemia, mutasi DNA
dideteksi dengan metode PCR. Mutasi 21 del-SEA ditemukan pada suku Aceh sebanyak 3.5%,
2.97% di suku Melayu, 2,69% Cina, 1,71% suku Jawa, 1.19% suku Batak dan tidak ditemukan
pada suku Minangkabau dan Nias. Mutasi 21 del-SEA biasanya juga ditemukan pada populasi di
Asia Tenggara dan Pasifik atau gen Mongoloid dan Malenesian sepanjang 17.5 kb pada gen globin
α1 maupun α1. Penggolongan subjek homozigot dengan cara menurunkan atau menghilangkan gen
globin pada hipokromik, anemia hemolitik, dan ketergantungan pada tranfusi darah untuk
memperpanjang hidup orang yang terjangkit thalassemia-α. Berdasarkan pada pembiayaan ini,
dapat dipahami bahwa semua kelompok etnik yang ada di Medan secara genetik termasuk ke
dalam bagian gen Mongolia dan Malanesia.
Kata kunci: α-thalassemia, mutan del-SEA, kelompok etnik di Medan
Abstract: A total number of 1.521 apparently healthy adult individuals from seven mayor
different ethnic groups who habited Medan were screened for α-thalassemia carrier by
hemoglobin electrophoresis. Among these, 51 subjects were suspected as α-thalassemia trait; the
DNA mutation were determined using PCR method to detect the del-SEA mutation performance.
During this study, 21 del-SEA mutations have been identified by specific olygonucleotides primers
in descending frequencies, 3.5% in Aceh; 2.97% in Malay; 2,69% in Chinese; 1.71% in Javanese;
1,19% in Batak and absent in Minang and Nias. The del-SEA mutant was commonly found in
Southeast Asian and Pacific populations or Mongoloid and Melanesian gene pools result in about
17.5 Kb deletion along the α1 and α2 globin genes. The homozygote subject characterized by
reduced or absent of α-globin gene expression leading to hypochromic, hemolytic anemia and
dependence on blood transfusions to sustain life which was known as thalassemia-α. Based on this
funding, understandable that these Medan’s ethnic groups genetically share the Mongoloid and
Melanesian gene pools.
Keywords: α-thalassemia, del-SEA mutant, Medan’s ethnic group
Sementara itu, angka yang banyak dirujuk biaya yang sangat besar dan survival ratenya
para ahli epidemiologi genetic Indonesia maksimal 15 tahun (Kanokpongsakdi et al.,
15,16
adalah estimasi Wong (1983) yang 1990; Cao et al., 1999). Terapi gen sendiri
memperkirakan terdapat kira-kira 0,5% carrier untuk penderita thalassemia-α memang telah
thalassemia-α di Indonesia secara nasional, dilakukan di Amerika tetapi masih terbatas
jauh di bawah angka pembawa sifat pada skala penelitian belum untuk pelayanan
17
thalassemia-β yang diperkirakan mencapai (Weatherall and Clegg, 2001). Dengan
7
3,5% dan Hb-E yang mencapai 5%. Nanum demikian dapat disimpulkan bahwa tindakan
demikian banyak peneliti percaya bahwa preventif merupakan strategi yang paling tepat
angka thalassemia-α jauh di atas angka dalam managemen penyakit thalassemia.
tersebut, bahkan pada beberapa populasi Berdasarkan latar belakang di atas maka
Indonesia di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi dilakukan penelitian tentang kajian molekular
yang telah diteliti mencapai 2,5- 3-2% thalassemia-α pada penduduk kota Medan
8
(Setianingsih, 2003). Dugaan tersebut untuk mengetahui keberadaan mutasi paling
SEA
diperkuat dengan keberadaan kasus bayi umum del – pada berbagai kelompok suku
Hydrop Fetalis dan Hb-H yang dijumpai di di Medan. Data yang diperoleh diharapkan
rumah sakit-rumah sakit rujukan cukup tinggi. dapat menjadi acuan dasar dalam
Walaupun keberadaan thalassemia-α di pengembangan prenatal diagnosis dalam
Medan telah pernah dilaporkan sebelumnya managemen penyakit thalassemia di Medan
oleh Hariman et al.(1984) yaitu masing- dan sekitarnya sehingga munculnya bayi
masing sebesar 2,5% untuk thalassemia-α dan
o
hidrop fetalis dan Hb H dapat dihindari.
+
thalassemia-α , tetapi masih terbatas pada aras
Biokimiawi melalui skrining hematologis.
9
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian tingkat molekular untuk Populasi dan Sampel
mengetahui dasar molekular penyakit tersebut Sampel DNA dikoleksi dari darah vena
pada populasi Medan sampai saat ini belum 1.521 individu dewasa sehat, pendonor darah
pernah dilakukan. Sebelumnya telah dengan kisaran umur 18–59 tahun, terdiri dari
dilaporkan terdapat setidaknya 37 jenis mutan 1.306 laki-laki dan 215 perempuan. Sampel
pada gen globin-α1 dan globin-α2 sebagai darah dikoleksi dari 7 kelompok etnik
o
penyebab thalassemia-α dan thalassemia-α di
+ penduduk kota Medan yang mewakili
seluruh dunia (Huisman et al., 1997). Mutasi
10 populasi penduduk yang dominan. Komposisi
paling umum pada populasi Asia–Pasifik jumlah sampel wakil tiap suku diambil
adalah delesi 4,2 Kb dan 3,7 Kb yang sedemikian rupa sehingga mendekati keadaan
+
menyebabkan thalassemia-α (Hill et al., sebenarnya yang merupakan representasi
1989). Mutasi paling sering di Populasi Asia komposisi penduduk kota Medan berdasarkan
Tenggara yang mendapat pengaruh kuat data Sensus Penduduk tahun 2000 (Katalog
18
unggun gen Mongoloid adalah mutasi –
SEA BPS; 2110.12.).
sepanjang 17,5 Kb pada gen globin-α1 Cara Penelitian
maupun globin-α2 (Bowden et al., 1992). Terhadap 51 sampel darah dari
Mutan ini menyebabkan sintesis protein keseluruhan 1.521 sampel yang diperiksa,
globin-α gagal karena tidak terbentuknya yang terdeteksi sebagai carrier thalasemia-α,
mRNA, sehingga bentuk homozigotnya secara hematologis atau biokimiawi berdasarkan
menyebabkan bayi Hydrop Fetalis yang serangkaian hasil pemeriksaan indeks hematologis,
bersifat lethal (Pressley et al., 1980; Wasi, serum feritin dan tranferin, kuantifikasi HbA2 dan
12,13
1983). Distribusi mutan tersebar pada keberadaan badan inklusi, selanjutnya dilakukan
populasi Thailand, Malaysia dan Philipina pemeriksaan DNA.
dengan frekuensi polymorfik mencapai 5% Isolasi DNA dari buffycoat dilakukan dengan
14
(Wasi, 1981). metode modifikasi Lysis buffer Sucrose–Tris HCl-
Pengetahuan tentang dasar molekular SDS (Gibco-BRL) dilanjutkan dengan purifikasi
thalassemia-α sangat penting untuk DNA menggunakan Proteinase-K (Merck) dan
mempersiapkan prenatal diagnosis pada awal Proteinase-E (Merck). Deteksi mutan –
SEA
kehamilan, yang merupakan salah satu strategi dilakukan dengan teknik Polymerase Chaín
untuk mengurangi insidensi penderita Reaction (PCR) menggunakan 3 primer Southeast
thalassemia-α yang baru. Sampai saat ini Asian Type (Nicholl et al., 1987; Chang et al.,
belum ada terapi kuratif yang memadai untuk 1991; Bowden et al, 1992) dari Sigma:
11,19,20
Tabel 1. Distribusi jumlah sampel penelitian tiap suku terhadap komposisi penduduk Kota Medan pada Sensus
Penduduk 2000 dan jumlah carrier Thalassemia-α.
Jumlah Sampel Jumlah Penduduk ∑ Carrier Thal-α
Penelitian Medan SP 2000* Ratio ∑ : SP
Suku n % % n %
33,07 641.782 33,70
1. Batak 503 Relatif sama 9 1,78
30,64 628.898 33,03
2. Jawa 466 Relatif sama 17 3,64
14,66 202.839 10,65
3. Cina 223 Relatif sama 15 6,72
8,94 125.557 6,59
4. Melayu 136 Relatif sama 6 4,41
8,42 163.774 8,60
5. Minangkabau 128 Relatif sama 2 1,56
3,75 53.011 2,78
6. Aceh 57 Relatif sama 2 3,07
0,53 13,159 0,69
7. Nias 8 Relatif sama 0 0
0 0,00 75.253 3,95
8. Lain-lain suku Berbeda 0 0
Jumlah 1.521 100 1.904.273 100 51 3,35
* SP = Sensus Penduduk
Tabel 2. Distribusi Carrier Thalassemia-α0 del –SEA 17,5 Kb dan non- del--SEA 17,5 Kb pada berbagai suku
penduduk Kota Medan
∑ Sampel ∑carrier ∑carrier ∑carrier
Penelitian thal-α Del-SEA 17,5 kb Non Del-SEA 17,5 Kb
Suku n % n % n % n %
33,07
1. Batak 503 9 1,78 6 1,19 3 0,59
30,64
2. Jawa 466 17 3,64 8 1,71 9 1,93
14,66
3. Cina 223 15 6,72 6 2,69 9 4,03
8,94
4. Melayu 136 6 4,41 4 2,94 2 1,47
8,42
5. Minangkabau 128 2 1,56 0 0,00 2 1,56
3,75
6. Aceh 57 2 3,07 2 3,50 0 0,00
0,53
7. Nias 8 0 0 0 0,00 0 0,00
1.521 100
Jumlah 51 3,35 26 1,70 25 1,64
Tabel 3. Persentase carrier thal-α del-SEA terhadap seluruh carrier thal-α pada bebagai suku di Medan
∑carrier ∑carrier ∑carrier
thal-α Del-SEA 17,5 kb Non Del-SEA 17,5 Kb
Suku n % n % n %
SEA
Deteksi mutasi gen delesi – 17,5 Kb sering dijumpai pada populasi Filipina,
13
terhadap 51 sampel DNA carrier thalassemia- Thailand dan Hawai (Wasi, 1983).
α pada penduduk kota Medan menunjukkan
SEA
Mutasi – diakibatkan delesi sepanjang
hasil seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. kira-kira 17,5 Kb yang mengakibatkan
sebagian fragmen kedua gen globin-α, baik α1
PEMBAHASAN maupun α2 ikut hilang, sehingga sintesis
Analisis molekular terhadap 51 sampel globin-α tidak terjadi atau thalassemia-α0
21
DNA yang dicurigai sebagai pembawa sifat (Liebhaber et al., 1985). Mutan ini banyak
(carrier) thalassemia-α, 26 sampel (51%) di dijumpai pada populasi yang mendapat kuat
antaranya ternyata positif mengalami mutasi unggun gen Mongoloid misalnya Asia Timur
delesi del
-SEA
sepanjang 17,5 Kb pada maupun Asia Tenggara. Keberadaan gen ini
dalam suatu populasi perlu diwaspadai karena
kromosom 11. Hasil penelitian ini tidak
bentuk homozigotnya menghasilkan bayi
mengejutkan karena sebelumnya telah
-SEA hydrop fetalis yang bersifat lethal. Jika gen
dilaporkan bahwa mutasi del merupakan tersebut berkombinasi dengan alel lainnya
mutasi utama pada populasi Asia Tenggara yang juga sering dijumpai pada populasi Asia
dan Pasifik di samping mutasi delesi utama 4,2
Tenggara seperti del (α) , del (α) dan
3,7
4,2 3,7
lainnya seperti del (α) dan del (α) dan Constant spring (CS) maka akan
Fil Thai HW
mutasi minor delesi – , -- dan – yang menghasilkan bayi Hb-H yang secara klinik
11. Bowden, D.K., Vickers, M.A. and Higgs, 17. Weatherall DJ and Clegg JB (2001) The
D.R. 1992. A PCR-based strategy to Thalassemia Syndromes, 4th eds. Blackwell
detect the common severe determinants Scientific Publ. Oxford. P 31-32
of α-thalassemia. Br. J. Haematol. 81:
18. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera
104-108.
Utara. 2001. Angka Sementara Penduduk
12. Pressley, L., Higgs, D.R., Clegg, J.B. and Sumatera Utara : Hasil Sensus Penduduk
Weatherall, D.J. 1980. Gene deletions in 2000. Katalog BPS: 2110.12.
an α thalassemia prove that the 5’ξ locus
is functional. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 19. Nicholls, R.D., Fischel-Ghodsian, N.,
77: 3586-3589. Higgs, D.R. 1987. Recombination at the
human α-globin gene cluster: sequence
13. Wasi, P. 1983. Population Screening. In: features and topological constraints. Cell.
Weatherall, D.J. (ed). Method in 49: 369-374.
Hematology. The Thalassemias. London.
Churchill Livingstone. 134-144. 20. Liebhaber S.A, Goorsens M and Kan Y.W
(1981) Cloning ang complete nucleotide
14. Wasi, P. 1981. Haemoglobinopathies sequence of the human 5’α-globin gene.
including thalassemia. Clin. Haematol. Proc. Natl.Acad.Scid USA 77:7054-7063.
10: 707-729.
21. Chang, J.G., L.S., Lin, C.P and Chen C.P.
15. Kanokpongsakdi, S., Winichagoon, P. and 1991. Rapid diagnosis of -thalassaemia-1
Fucharoen, S. 1990. Control of
of Southeast Asia type and hydrops fetalis
thalassaemia in Southeast Asia. Journal of
by polymerase chain reaction. Blood. 78:
Paediatrics, Obstetrics and Gynaecology.
853-854
Thailand. 9-14.
22. George, E., 1994. Diagnosis Pranatal
16. Cao, A., Galanello, R. and Rosatelli, M.C.
Talasemia di Malaysia. Universiti
1999. Prenatal diagnosis and screening of
the haemaglobinopathies. The Electronic
Kebangsaan Malaysia. 10-26.
Journal Of the International Federation
Of Clinical Chemistry And Laboratory
Medicine. Italy. 3: 1-11.
Abstract: Drowsiness is frequently reported in patients taking antiepileptic drugs (AEDs), but it
seems more prominent with some AEDs, and it is invariably enhanced by drug combination. This
study was aimed to assess correlation between daytime sleepiness and AEDs in generalized tonic
clonic epilepsy patients. A cross sectional study with subjects consisted of 40 consecutive adult
patients with generalized tonic clonic epilepsy, receiving AEDs monotherapy or polytherapy was
performed. Each patient was asked regarding the type and the dose of AEDs. Patients were self-
rated their own degree of sleepiness by using Epworth Sleepiness Scale and Stanford Sleepiness
Scale. In this research, 27 (67.5%) patients took monotherapy (phenytoin or carbamazepine), 13
(32.5%) patients took polytherapy (phenytoin-carbamazepine, phenytoin-phenobarbital or
phenytoin-valproic acid). Correlation between daytime sleepiness and AEDs in generalized tonic
clonic epilepsy patients was significant (p < 0.05). Epworth Sleepiness Scale and Stanford
Sleepiness Scale showed that there was a different level of sleepiness in each kind of AED. Most
subjects reported that they had moderate and severe daytime sleepiness after taking combination
of phenytoin and carbamazepine. Daytime sleepiness in patients receiving AEDs polytherapy
was higher than monotherapy (p < 0,05). There is a significant relationship between AEDs and
daytime sleepiness in patients with generalized tonic clonic epilepsy (p < 0.05). Sleepiness is
relatively higher in AEDs polytherapy than in monotherapy.
Keywords: antiepileptic drugs - daytime sleepiness – epilepsy
Abstrak: Mengantuk sering dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi obat anti epilepsi (OAE),
tetapi terlihat lebih menonjol pada beberapa OAE, dan bertambah lagi dengan kombinasi obat.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara daytime sleepiness dan OAE pada pasien
epilepsi umum tonik klonik. Suatu penelitian potong lintang dengan subjek yang terdiri dari 40
pasien dewasa epilepsi umum tonik klonik secara konsekutif, yang mendapat OAE monoterapi
atau politerapi. Setiap pasien ditanya mengenai tipe dan dosis OAE. Pasien disuruh menilai
sendiri tingkat mengantuknya dengan menggunakan Epworth Sleepiness Scale dan Stanford
Sleepiness Scale. Pada penelitian ini, 27 (67,5%) pasien menggunakan monoterapi (fenitoin atau
karbamazepin), 13(32,5%) pasien menggunakan politerapi (fenitoin-karbamazepin, fenitoin-
fenobarbital atau fenitoin-asam valproat). Hubungan antara daytime sleepiness dan OAE pada
epilepsi umum tonik klonik adalah signifikan (p < 0.05). Epworth Sleepiness Scale dan Stanford
Sleepiness Scale telah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat rasa mengantuk pada
masing-masing OAE. Kebanyakan subjek melaporkan bahwa mereka memiliki daytime sleepiness
yang sedang dan berat setelah mengkonsumsi kombinasi antara fenitoin dan karbamazepin.
Daytime sleepiness pada pasien yang mendapat OAE politerapi lebih tinggi dibanding monoterapi
(p < 0,05). Terdapat hubungan yang signifikan antara OAE dan daytime sleepiness pada pasien
epilepsi umum tonik klonik. Rasa mengantuk relatif lebih tinggi pada OAE politerapi dibanding
monoterapi.
Kata kunci: obat anti epilepsi – daytime sleepiness – epilepsi
INTRODUCTION Procedure
Sleep is important for the general health of After giving written informed consent,
all, but is particularly essential for individuals with subjects were interviewed by physician. Each
epilepsy. In these patients, a complex relationship subject was asked to fill up questionnaire which
1
exists between seizures and sleep. Historically, adaptation from Epworth Sleepiness Scale (ESS)
Hippocrates and Aristotle, the interrelationship and Stanford Sleepiness Scale (SSS). The ESS is an
2
between epilepsy and sleep has been noted. eight-item survey designed to ascertain sleep
Individuals with epilepsy commonly report propensity during activities of daily living. Subjects
excessive daytime sleepiness (EDS) and fatigue rate the chance of dozing in each of eight activities
that are typically attributed to the effects of of daily living from 0 (never) to 3 (high). The
seizure or antiepileptic drugs (AEDs). However, scores for the eight activities are tallied, producing
in patients with epilepsy, sleep is disrupted by a total score ranging from 0 to 24, with a score
frequent arousals, awakenings, and stage shift, until 6-7 (normal), 8-12 (mild), 13-17 (moderate)
3-5
even in the absence of seizures and AEDs. and score > 18 indicating severe daytime
3
Drowsiness is frequently reported in patients sleepiness. The SSS is an eight-item survey
taking antiepileptic drugs (AEDs), but it seems designed to ascertain sleep propensity during
more prominent with some AEDs, and it is subject was interviewed. Subjects was asked to
invariably enhanced by drug combination. It is choose one of the item. Score > 3 (severe) and <3
8
well known that sleepiness is highly related to indicating mild daytime sleepiness.
6
polipharmacy, particularly with older AEDs.
A number of the older epilepsy drugs have Statistical analysis
adverse effects on sleep and daytime vigilance. A nonparametric statistical analysis of data
Recent studies suggest that some of the newer was performed. Description of drowsiness in
AEDs may be neutral or even have positive effects epilepsy patients was present in tabulation and
on sleep consolidation and alertness. Whether description type. The chi square test was used to
primary sleep disorders are a significant cause of analyze the correlation between AEDs and
EDS in patients with epilepsy remains to be daytime sleepiness; and to analyze the correlation
7
determined. between daytime sleepiness severity with AEDs
This study was aimed to assess correlation monotherapy and polytherapy. A p value of
between daytime sleepiness and AEDs in <0.05 was considered to be statistically significant.
generalized tonic clonic epilepsy patients. All analyses were performed by using SPSS 12.0
for Windows.
METHODS
Subjects RESULTS
A cross sectional study with subjects Ages of the 40 patients ranged from 15-74
consisted of 40 consecutive adult patients with years (mean, 31.15 years). Twenty- seven were
generalized tonic clonic epilepsy, who visited male, and 13 were female patients. Twenty-seven
Epilepsy Outpatient Clinic Haji Adam Malik (67.5%) patients took monotherapy (phenytoin or
Hospital, Tembakau Deli Hospital and Kesdam I carbamazepine), 13 (32.5%) patients took
Putri Hijau Hospital, from December 2005 polytherapy. Seventeen (42.5%) patients used
through March 2006. All subjects fulfilled carbamazepine, 10 (25%) patients used
inclusion criteria: (a) age > 15 years: (b) have been phenytoin, 10 (25%) patients used combination of
used AEDs more than 3 months: (c) seizure-free phenytoin and carbamazepine, 1 (2.5%) patient
more than 3 months. Exclusion criteria included used combination of phenytoin and valproic acid,
(a) use of sedatives, hypnotics, anxiolitics and and 2 (5%) patients used combination of
antihistamines drugs: (b) evidence of sleep phenytoin and Phenobarbital. Patients’
disorders: (c) epilepsy patients with alcoholic and characteristics are shown in Table 1.
other drug abuse: (d) psychiatric disorders: and (e)
patients with consciousness, auditory, aphasia and
visual disorders.
Table 3. Comparison daytime sleepiness in tonic clonic epilepsy patients with monotherapy and
polytherapy
ESS SSS
AED p Mild Severe p
Normal Mild moderate Severe
sleepiness sleepiness
Monotherapy 11 11 4 1 17 10
0.001 0.001
Polytherapy 0 2 10 1 1 12
AED, anti-epileptic drugs; ESS, epworth sleepiness scale; SSS, stanford sleepiness scale
to fall asleep while wathing television and 4. Schaefer NF. Sleep Complaints and
10
41% while sitting or reading. Epilepsy: The Role of Seizures,
This study demonstrates 20 (50%) Antiepileptic Drugs and Sleep Disorders.
subjects have no daytime sleepiness while Clin Neurophysiology 2002; 19(6): 514-
sitting and talking to someone or as passenger 21.
on the car during one hour without stopping.
5. Foldvary N. Sleep and Epilepsy. Current
Seventeen (42.5%) subjects had tendency
Treatment Option in Neurology 2002; 4:
moderate to fall asleep while sitting and
129-35.
reading and 30% while watching television.
This result have resemblance with Mallow’s 6. Bonanni E, Galli R, Maestri M, Pizzanelli
study. C, Fabbrini M, Manca ML, et al. Daytime
In conclusion, our study demonstrates Sleepiness in Epilepsy Patients Receiving
that There is a significant relationship Topiramate Monotherapy. Epilepsia
between AEDs and daytime sleepiness in 2004; 45(4): 333-7.
patients with generalized tonic clonic epilepsy 7. Schaefer NF. Sleep Complaints and
(p < 0.05). Sleepiness is relatively higher in Epilepsy: The Role of Sleep Disorders.
AEDs polytherapy than in monotherapy. Available from: http://www.
clevelendclini.org/neuroscience/profession
als/nwews/sleep/sleep.htm23:37:45GMT
REFERENCES
1. Bazil CW. Sleep-Related Epilepsy. 8. Lumbantobing SM. Gangguan Tidur.
Current Neurology and Neuroscience Jakarta: FK-UI; 2004.
Reports 2003; 3: 57-72. 9. Bazil C. Antiepileptic Drugs and Sleep.
2. Marzec ML. Epilepsy’s Effect on Sleep Available from: http://www.epilepsy.
Disorders. Michigan. 2005. Available com/epilepsy/sleep_aeds.html
from: http://www.sleepreviewmag.com/ 10. Malow BA, Vaughn BV. Sleep Disorders
articles.asp?articleid=S0505F01 and Epilepsy. In: Ettinger AB, Devinsky
3. Schaefer NF, Sanchez IDL, Karafa M, O, editors. Managing Epilepsy and Co-
Mascha E, Dinner D, Morris HH. existing disorders. Boston: Butterworth-
Gabapentin Increases Slow-Wave Sleep in Heineman; 2002. p 239-54.
Normal Adults. Epilepsia 2002; 43(2):
1493-7.
RESULTS
Table 1. Characteristic of study subject
N=45
Sex
Boys 25
Girls 20
<1 2
1–5 13
5 – 10 13
> 10 17
Nutritional State
Normal 5
Mild 13
Moderate 13
Severe 14
N=45
FAB Classification
M1 28
M2 2
M3 0
M4 10
M5 1
M6 4
M7 0
Table 3. Chemotherapy
N=45
Chemotherapy phase
Induction 17
Consolidation 12
Maintenance 10
Discontinued 6
N=45
Survival 6
Death
Induction 10
Consolidation 7
Maintenance 3
Drop out
Before chemotherapy 6
During chemotherapy 13
20. Ziegler DS, Pozza LD, Waters KD, 22. Creutzig U, Zimmerman DS.
Marshall GM. Advances in childhood Longitudinal evaluation of early and late
leukaemia: successful clinical-trials anthracycline cardiotoxicity in children
research leads to individualised therapy. with AML. Pedaitr Blood Cancer 2007;
MJA 2005; 182 (2): 78-81. 48:651-62.
21. Abrahamsson J, Clausen N, Gustafsson G, 23. Leung W, Hudson MM, Strickland DK,
Hovi L, Jonmundsson G, Zeller B, et al. Phipps S, Srivasta DK, Ribeiro JE, et al.
Improved outcome after relapse in Late effects of treatment survivors of
children with acute myeloid leukemia. B J childhood acute myeloid leukaemia. J
Haematol 2007; 136(2):229-36. Clin Oncol 2000;18:3273-9
anemia defisiensi besi bila Hb< 12 gr/dl (sesuai criteria WHO), MCV< 70fl, RDW>
16%, Indeks Mentzer>13, Indeks RDW >220. Anak yang menderita anemia defisiensi besi (n=
106) diberi besi oral 5 mg besi elemental/kg BB/hari. Pengolahan data menggunakan SPSS for
window 13
Hasil: Sebanyak 97 anak dapat menyelesaikan penelitian. Terdapat perubahan yang bermakna
pada jumlah trombosit pada anak yang menderita anemia defisiensi besi (p<0,05)
Simpulan: Trombositosis sekunder masih tetap walaupun sudah diberi terapi besi secara oral
selama 30 hari, keadaan ini mungkin terjadi karena cadangan besi yang masih kurang.
Kata kunci: trombosit, trombositosis sekunder, anemia defisiensi besi.
Abstract: Background: Iron deficiency anemia usually associated with elevated thrombocyte
count, which is the mechanism still unclear. Hopely, in iron-fortifed administration could
decrease trombosit count to normal.
Aim: to compare the thrombocyte in iron deficiency anemia patient in 9-12 years old that have
given iron fortified orally.
Methoda: Descriptive analytic study Elementary school children age 9-12 years old in Kecamatan
Bilah Hulu Kabupaten Rantau Prapat on November –December 2006. We established iron
deficiency anemia if HB <12 gr % (according to WHO) MCV < 70 fl, RDW > 16% , Mentzer
Index > 13, RDW Index . 220. Children have been diagnosed with iron deficiency anemia (n
=106) where given iron elemental 5 mg/ kg BW/day orally. Statistic analyzed using by SPSS for
window 13.
Result: 97 children have jointed the study.There was the significant changing thrombosit in iron
deficiency anemia child.(p<0,05)
Conclusion: Secunder thrombocytosis still exist event they have received iron fortified orally for
30 days, this condition might be caused by iron storaged not enough.
Keywords: thrombocyte, secunder thrombocytosis, iron deficiency anemia
dalam penyimpanan dan pengankutan besi. Namun bagaimana hal ini terjadi
8,11,12
oksigen, juga terdapat dalam beberapa enzim mekanisme belum jelas .
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, Pada penelitian ini kami ingin melihat
sintesis DNA, neurotransmitter dan proses apakah ada perbedaan jumlah trombosit pada
katabolisme yang dalam kerjanya pemberian besi pada anak-anak usia 9-12
membutuhkan dan perkembangan anak, tahun yang menderita anemia defisiensi besi.
menurunkan daya tahan tubuh dan
1
menurunkan konsentrasi belajar. METODE
Saat ini di Indonesia anemia defisiensi Bilah Hulu kabupaten Rantau Prapat.
besi masih merupakan salah satu masalah gizi Sampel Penelitian ini bersifat Deskriptif-
utama disamping kekurangan kalori protein, Analitik yang dilakukan selama 30 hari pada
vitamin A dan yodium. Insiden anemia bulan Nopember-Desember 2006 di
defisiensi besi di Indonesia adalah 40,5% pada kecamatan penelitian diambil dari anak
balita, 47,2% pada usia sekolah, 57,1% pada sekolah dasar negeri yang berada di lokasi
remaja putri dan 50,9% pada ibu hamil. penelitian dan diambil darah kapiler dari
Penelitian pada 1000 anak sekolah yang ujung jari sebanyak 0,5 ml. Bila didapati hasil
dilakukan oleh IDAI di 11 provinsi pemeriksaan sesuai dengan kriteria inklusi, di
menunjukkan prevalensi anemia sebanyak 20- masukkan dalam penelitian. Kriteria inklusi
25%. Jumlah anak yang mengalami defisiensi yaitu anak sekolah dasar negeri berusia 9-12
3
besi tampa anemia jauh lebih banyak. tahun yang menderita anemia defisiensi besi,
Dikatakan Anemia apabila didapati mengikuti penelitian sampai selesai dan
keadaan berkurangnya sel darah merah atau persetujuan tertulis dari orang tua. Kriteria
konsentrasi hemoglobin di bawah 2 SD dari ekslusi: adalah anak menderita anemia berat,
rerata hemoglobin sesuai usia dan jenis infeksi berat dan gizi buruk.
kelamin. Disebut anemia defisiensi besi Anak dimasukkan ke dalam satu dari dua
apabila ditemukan rata-rata volume sel darah kelompok perlakuan yaitu yang mendapat besi
merah rendah, berkurangnya kadar besi dan mendapat placebo. Besi diberikan setiap
serum, peninggian protoporphyrn sel darah hari dalam bentuk kapsul yang berisi sulfas
merah, peningkatan distribusi sel darah merah ferosus dengan dosis 6 mg besi elemental
dan peningkatan konsentrasi hemoglobin perkilogram berat badan perhari. Plasebo
4
setelah pemberian terapi besi. berupa sakarum laktis yang dimasukkan ke
Pada anemia defisiensi besi bisa terjadi dalam kapsul. Kapsul yang mengandung besi
5,6
trombositopenia dan trombositosis . dan plasebo mempunyai ukuran dan warna
Kejadian trombositopenia dihubungkan yang sama dan diminum setiap hari
7
dengan anemia yang sangat berat . Angka dihadapkan guru/orang tua.
kejadian pasti dari trombositosis tidak Penentuan anemia pada penelitian ini
diketahui, namun Sutor dalam beberapa menggunakan kriteria WHO, yaitu kadar Hb
penelitian menjumpai trombositosis pada anak untuk anak usia 6-14 tahun adalah kurang dari
3-31% yang dirawat dirumah sakit dan 1,5% 12 gr/dl. Dikatakan menderita anemia
8
pada anak yang berobat jalan . Schloesser dkk defisiensi besi bila didapati Hb <12 gr/dl,
dalam penelitiannya mendapatkan adanya MCV < 70 fl,RDW > 16%, Indexs Menster >
hubungan trombositosis dengan anemia defisiensi 13 dan Indexs RDW > 220.
9
besi baik pada manusia dan binatang . Darah kapiler diambil sebanyak 0,5 ml dari
Berdasarkan etiologi, trombositosis dibagi dalam2 sampel penelitian sebelum dan setelah 30 hari
kelompok, yaitu: trombositosis Primer/autonum terapi besi. Kemudian dilakukan pemeriksaan
(Essensial) dan trombositosis Sekunder hemoglobin, hematokrit,trombosit, eritrosit, mean
6,8
(Reaktif) . corpuscular volume (MCV), mean corpuscular
Hubungan antara trombositosis dan hemoglobin (MCH), mean corpuscular
anemia defisiensi besi pernah dilaporkan pada hemoglobin consentration (MCHC), dan red cel
anak dewasa, namun masih sedikit data distribution with (RDW). Pemeriksaan ini diukur
mengenai hal ini. Kondisi trombositopenia dengan fotometer (ABX Mikros-60, France).
dan trombositosis pada anemia defisiensi besi Data diolah dengan SPSS for WINDOW 13
akan kembali normal sesudah mendapat terapi (SPSS Inc, Chicago). Analisa data untuk
Tabel 2. Perbedaan rerata parameter hematology sesudah terapi pada kedua kelompok
Fe (30 d ) p Placebo (30 d) p
Lab Results Mean, SD Mean, SD
α β
α β
α β
α β
variant were commonly found in Medan as 3,35%, 4,07% and 0, 26% respectively. From the
public health of view, this finding seems to be important as basic recommendation for hereditary
blood disorders management based on preventive effort both premarital genetic counseling or
prenatal diagnosis. Premarital genetic counseling and prenatal diagnosis should be socialized in
the near future to prevent the upcoming new high risk couples who could potentially produce
new thalassemia babies.
Keywords: hereditary blood disorders, thalassaemia carrier, hemoglobin variants, premarital
genetic conseling, prenatal diagnosis
variant lainnya (Cavalli Sforza, et al., 1994; related genetic seperti yang ditunjukkan pada
1
Bowie LJ, et al, 1997). Sama seperti daerah penelitian di atas (Flint et al., 1993; Weiss,
9,10
endemik malaria lainnya, diduga populasi di 1993).
Medan juga mempunyai seleksi positif Dengan demikian maka dapat dipastikan
berbagai gen unggul terhadap invasi bahwa penduduk kota Medan yang menurut
Plasmodium, seperti kelainan hemoglobin; Sensus Penduduk tahun 2000, sebagian besar
thalassemia-α, thalassemia-β dan hemoglobin- terdiri dari kelompok etnik di atas, sangat
E (Hb-E) maupun kelainan eritrosit lainnya berpotensial menjadi pengemban kelainan
seperti Defisiensi enzim Glucose-6-Phosphat darah heriditer. Bertolak pada latar belakang
Dehydrogenase (G-6-PD) dan ovalositosis permasalahan di atas, maka dilakukan
(Lie-Injoe, 1959; Flazt, 1967; Luzatto, penelitian terhadap 1.521 sampel darah
1979).
2,3,4
penduduk kota Medan yang berasal dari
Penyakit Thalassemia-α, Thalassemia-β berbagai kelompok suku untuk mengetahui
dan Hb-E adalah kelainan genetic paling jumlah pengemban sifat thalassemia-α,
umum dijumpai pada penduduk Asia thalassemia-β dan hemoglobin-E. Hasil
Tenggara termasuk Indonesia (Weatherall and penelitian ini sangat penting sebagai acuan
Clegg, 2001). Wong (1983) memperkirakan untuk menetapkan perioritas pelayanan
frekuensi pengemban sifat (carrier) kesehatan di era MDGs dengan pendekatan
thalassemia-α pada populasi Indonesia secara race-related medicine (Ruel, 2006) dengan
keseluruhan sebesar 0,5%, thalasemia-β melakukan konseling genetik pranikah maupun
6
sebesar 3,5%, dan Hb-E sebesar 4%. prenatal diagnosis untuk menurunkan insidensi
Penelitian yang lebih komprehensif telah penyakit darah herediter di Indonesia
dilakukan pada 17 populasi di Indonesia oleh khususnya di kota Medan.
11
Tabel 1. Distribusi ratio pengambilan sampel tiap suku terhadap jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan data
sensus penduduk tahun 2000
Jumlah Sampel Jumlah Penduduk Medan
Penelitian SP 2000*
Suku n % n % Ratio Jumlah
33,07 641.782 33,70
1. Batak 503 Relatif sama
30,64 628.898 33,03
2. Jawa 466 Relatif sama
14,66 202.839 10,65
3. Cina 223 Relatif sama
8,94 125.557 6,59
4. Melayu 136 Relatif sama
8,42 163.774 8,60
5. Minangkabau 128 Relatif sama
3,75 53.011 2,78
6. Aceh 57 Relatif sama
0,53 13,159 0,69
7. Nias 8 Relatif sama
0 0,00 75.253 3,95
8. Lain-lain suku Berbeda
Jumlah 1.521 1.904.273
* SP = Sensus Penduduk
Tabel 2. Distribusi sampel darah normal dan mikrositer hipokrom berdasarkan skrining indeks hematologis
dengan Electronic Cell Counter Cell Dyn 3500
Subjek Frekuensi HGB WBC RBC HCT MCV MCH MCHC RDW PLT
(g/dl) (k/ul) (M/ul) (%) (fl) (pg) (g/dl) (%) (k/ul)
MCV < 80 fl,
MCH < 27 pg 117 13,69 ± 6,26 ± 6,05 ± 41,27 ± 68,42 ± 22,75 ± 33,27 ± 15,45 ± 265,69 ±
1,24 2,38 0,75 4,45 4,71 1,79 1,79 1,73 90,34
6. Aceh 57 8 8 14,03
7. Nias 8 1 1 12,50
Hasil pemeriksaan lanjutan terhadap kadar Tabel 4. Hasil pemeriksaan nilai serum feritin pada
Serum Feritin dan Saturasi Transferin (Tabel 4 117 sampel darah mikrositer hipokrom
dengan kit abbot diagnostic
dan Tabel 5) menunjukkan kadar Feritin maupun
Nilai Jenis Kelamin
Saturasi Transferin pada 117 sampel darah
mikrositik hipokrom tersebut dalam kisaran Serum Feritin Laki-Laki Perempuan
normal. Artinya semua sampel (117) tersebut
adalah suspect Hemoglobinopati/Thalassemia 20 – < 110 10 10
Jumlah
Sampel ∑ Suspect ∑ Carrier ∑ Carrier ∑ Carrier
Kelainan Thalassemia-α Thalassemia-β HB-E
Suku yang diperiksa Hemoglobin (%) (%) (%)
1. Prevalensi carrier thalassemia α dan 8. Yang TY, Yang XY and Chen WC (1985)
thalassemia-β pada populasi Medan Thalassemia in China. Ann N.Y. Acad.
cukup tinggi masing-masing 3,35% dan Sci 445: 92-97.
4,07%. 9. Flint J, Harding R, Clegg JB and Boyce A
2. Pembawa sifat thalassemia α pada etnik (1993). Why are some genetic diseases so
Cina di Medan mencapai 6,72% common? Distinguishing selection from
3. Hasil penelitian dapat dilakukan sebagai other process by molecular analysis of
acuan untuk melakukan usaha preventif globin gene variants. Hum Genet. 91:91-
untuk mengurangi insidensi penyakit 117.
thalassemia baik melalui Konseling
Genetik Pranikah maupun Prenatal 10. Weiss, KM (1993). Genetic Variation and
Diagnosis. Human Disease. Cambridge University
Press. UK.
11. Ruel MD (2006) Using race in clinical
DAFTAR PUSTAKA research to develop tailored medications.
1. Cavalli-Sforza LL, Menozzi P and Piazza Is the FDA encouraging discrimination or
A (1994). The History and Geography of eliminating traditional disparities in health
Human Genes. Princeton University care for African-Americans? J. Leg Med
Press. Princeton. New Jersey. 60-121. 27: 225-241.
2. Lie Injoe L E (1959). Phatological 12. WHO (1994) Guidelines for the control
Haemoglobin in Indonesia. In Abnormal of haemoglobin disorders report of the
Haemoglobins (eds. JHP Jonxis & JF. VIth Annual Meeting of the WHO
Delafresnaye) Blackwell Scientific Working Group on Haemoglobinopathies,
Publication, Oxford. UK. p 210-216. Cagliari, Sardinia, 8-9 April 1989, World
3. Flatz G (1967) Hemoglobin-E: Health Organization, GenevaBowie LJ,
Distribution and Population Dynamics. Reddy PL and Beck KR (1997). Alpha
Hum. Genet. 3: 189-234. thalassemia and its impact on other
clinical conditions. Clinics in Laboratory
4. Luzatto L (1079). Genetics of red cells Medicine. 17 (1) :97-108.
and susceptibility to malaria. Blood
54:961-976. 13. Li, AMC, Lee, FT and Tood D (1982)
The screening of Chinese blood cord
5. Weatherall DJ and Clegg JB (2001) The blood for hemoglobinopathies. Hum
Thalassemia Syndromes, 4th eds. Blackwell Hered 32: 62-65.
Scientific Publ. Oxford. 422-439.
14. Fucharoon S and Winichagoon P (1987)
6. Wong, HB. Thalassemia as community Hemoglobinopathies in Southeast Asia:
health in Southeast Asia. Naskah Lengkap molecular biology and clinical medicine.
Kongres National PHDTI. Yogyakarta 24- Hemoglobin 11:65-69.
26 September 1983.
15. Wadman M (2005) Drug targeting: is race
7. Lanni F., Sofro ASM, Ismadi M, Marzuki enough? Nature 435:1008-1009.
S (2004). ISVI-5 (GÆC): The most
Commom β-thalassemia mutation found 16. Bunn HF and Forget BG (1986)
in the Island of Sumatera. Indonesian Hemoglobin: Molecular, Genetic and
Journal of Biotechnology 6: 571-577. Clinical Aspects. WB Saundres Pulb.
Phylladelphia. 61, 172, 175, 267, 403,
172.
C. Metalloproteinases
Metalloproteinases (MMPs) merupakan
golongan zinc-dependent enzymes yang
mampu mendegradasikan komponen matriks
ekstraseluler. Beberapa diantaranya, seperti
MMP-7 dan MMP-9 terlihat di uterus,
amnion, korion, secara bersamaan dengan
inhibitornya. Peningkatan konsentrasi MMP-7
dan MP-9 terjadi selama invasi mikroba ke
rongga amnion selama kehamilan. MMP-8
yang berperan saat inflamasi terutama di
cairan serebrospinal, juga terlihat di amnion
selama invasi mikroba, tidak hanya berperan
sebagai indikator invasi mikroba ke amnion
Gambar 1: Stadium ascending infeksi intrauterin tetapi juga merupakan indikator yang baik
Dikutip dari: NeoReviews 2002;3:e73-84 tentang kondisi janin, dan tingginya kadar
MMP-8 berhubungan dengan prognosis yang
Korioamnionitis dan Mediator Inflamasi buruk..
8
A. Sitokin
Peningkatan pelepasan sitokin sebagai Hubungan Korioamnionitis dengan Palsi
akibat infeksi cairan amnion selama ini sudah Serebral
diketahui, terutama didapati kadar yang tinggi Infeksi maternal sebagai suatu marker
dari interleukin 1 (IL-1), IL-6, tumor necrosis untuk cedera otak neonatus masih menjadi
factor-α (TNF-α), IL-8, colony-stimulating problema oleh karena sulitnya dalam
11
mendiagnosis korioamnionitis. Namun, ada Peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 di SSP
banyak bukti yang mendukung adanya pada bayi baru lahir berkaitan dengan derajat
hubungan antara infeksi/inflamasi plasenta ensefalopati, dan IL-6 berkaitan dengan
12,13
dengan terjadinya palsi serebral pada anak. outcome. Meskipun demikian, apakah sitokin
Hubungan ini pertama sekali ditemukan inflamasi secara langsung mempengaruhi
oleh Eastman dkk tahun 1950, mendapati patogenesis cedera otak neonatus atau hasil dari
demam intrapartum 7 kali lebih sering terjadi cedera otak sendiri, sampai dengan saat ini
16
pada ibu-ibu dengan anak palsi serebral belum dimengerti sepenuhnya.
dibandingkan dengan anak lain sebagai Kolaborasi multisenter antara ahli obstetri,
kontrol. Penelitian berikutnya menemukan neonatologi, dan neurodevelopmental dibutuhkan
peningkatan konsentrasi sitokin pada sampel dalam hal pencegahan dan tatalaksana masalah
6
darah anak-anak penderita palsi serebral, ini. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
menambah dugaan bahwa proses inflamasi untuk memahami mekanisme terjadinya
perinatal merupakan penyebab penting cedera otak pada bayi setelah terjadi
12 11
terjadinya palsi serebral. korioamnionitis.
Beberapa bukti memperlihatkan bahwa
inflamasi terlibat dalam patogenesis cedera Prognosis Palsi Serebral
otak iskemik. Reaksi inflamasi dicetuskan oleh Prognosis anak dengan palsi serebral
iskemik pada sistem susunan saraf pusat (SSP) tergantung pada luas atau beratnya defisit
17
yang terdiri dari peningkatan jumlah leukosit, motorik. Lokasi dan tipe palsi serebral,
termasuk sel polimorfonuklear (PMN) yang adanya epilepsi, derajat gangguan kognitif, dan
diikuti oleh monosit, aktivasi mikroglia, dan penyebab palsi serebral juga mempengaruhi
18
membutuhkan ekspresi molekul adhesi spesifik prognosis penderita palsi serebral.
14
dan faktor kemotaktik. Morbiditas dan mortalitas berhubungan
Penelitian terbaru memperlihatkan dengan beratnya palsi serebral dan juga
bahwa IL-1β dan TNF-α, kedua sitokin ini komplikasi yang terjadi (cth: gangguan
dapat merangsang reaksi inflamasi di SSP. IL-6 respirasi dan saluran cerna). Dengan
merupakan suatu sitokin pleiotropic yang penatalaksanaan yang adekuat penderita dapat
mempengaruhi reaksi proinflamasi dan anti bersosialisasi dalam lingkungan akademis
19
inflamasi, produksinya ditingkatkan oleh maupun lingkungan sosialnya.
15
sitokin lain, termasuk IL-1β dan TNF-α.
Yoon dkk mendapati hubungan yang kuat RINGKASAN
antara beberapa sitokin (IL-6, IL-1β, IL-8, Palsi serebral menggambarkan berbagai
TNF-α) di cairan amnion dengan palsi serebral gangguan fungsi motorik bersifat kronik, non
pada satu studi kohort bayi sampai dengan progresif, dan dikarakteristikkan dengan
berusia 3 tahun.
15
adanya perubahan pada tonus otot serta
TNF-α dan IL-6 dilepaskan dari sel T, mempengaruhi gerakan, kekuatan otot,
makrofag, mikroglia, dan astrosit, yang keseimbangan, dan koordinasi.
merupakan faktor penting untuk regulasi tidak Banyak bukti yang mendukung adanya
hanya untuk maturasi dan pertumbuhan sel hubungan antara korioamnionitis dengan
tetapi juga dalam hal respons terhadap cedera terjadinya palsi serebral pada anak. Didapati
dan fungsi proteksi intraneural. Infeksi/inflamasi hubungan yang kuat antara beberapa sitokin
dapat menyebabkan deregulasi pelepasan (IL-6, IL-1β, IL-8, TNF-α) di cairan amnion
sitokin dari sel-sel CNS dan menginfiltrasi sel- dengan terjadinya palsi serebral. Namun,
sel imun, menyebabkan kerusakan otak dan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
jaringan lainnya. Penelitian pada hewan untuk memahami mekanisme terjadinya palsi
percobaan telah memperlihatkan bahwa serebral pada anak setelah terjadi
lipopolisakarida merangsang mikroglia untuk korioamnionitis.
melepaskan sejumlah besar IL-1β, TNF-α, dan Prognosis anak dengan palsi serebral
IL-6. Tingginya kadar sitokin proinflamasi ini tergantung pada luas atau beratnya defisit
seperti yang didapati pada korioamnionitis motorik. Dengan penatalaksanaan yang
bertanggung jawab untuk terjadinya cedera adekuat penderita dapat bersosialisasi dalam
otak.
8
lingkugan akademis maupun lingkungan
sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA 11. Shalak LF, Laptook AR, Jafri HS, Ramilo
1. Swaiman KF, Russman BS. Cerebral O, Perlman JM. Clinical chorioamnionitis,
palsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, elevated cytokines, and brain injury in
penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke- term infants. Pediatrics 2002;110:673-80
3. St. Louis: Mosby, 1999.h.312-22
12. Ferriero DM. Neonatal Brain Injury. N
2. Wollack JB, Nichter CA. Static Eng J Med 2004;351:1985-95
encephalopathies. Dalam: Rudolph CD,
13. Redline RW, Riordan MA. Placental
Rudolph AM, penyunting. Rudolph’s
lesions associated with cerebral palsy and
pediatrics. Edisi ke-21. New York:
neurologic impairment following term
McGraw-Hill, 2003.h.2197-202
birth. Arch Pathol Lab Med
3. Glass RM. Cerebral palsy. JAMA 2000;124:1785-91
2003;290:2760
14. Ancel AM, Alix AG, Salcedo DP,
4. Johnston MV. Encephalopathies. Dalam: Cabanas F, Valcarce M, Quero J.
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Interleukin-6 in the cerebrospinal fluid
penyunting. Nelson textbook of after perinatal asphyxia is related to early
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: and late neurological manifestations.
Saunders, 2004.h.2024-5 Pediatrics 1997;100:789-94
5. Perinatal asphyxia and trauma. Dalam: 15. Paneth N, Korzeniewski S. The role of the
Menkes JH, penyunting. Textbook of intrauterine and perinatal environment in
child neurology. Edisi ke-5. Baltimore: cerebral palsy. NeoReviews 2005;6:e133-
Williams & Wilkin, 1995.h.325-61 40
6. Wu YW, Colford JM. Chorioamnionitis as 16. Bartha AI, Barber AF, Miller SP, Vigneron
a risk factor for cerebral palsy. JAMA DB, Glidden DV, Barkovich AJ, et al.
2000;284:1417-24 Neonatal encephalopathy: Association of
cytokines with MR spectroscopy and
7. Sherman MP. Maternal choriamnionitis.
outcome. Pediatrics 2004;56:960-6
Diunduh dari: URL: http://www.-
emedicine.com/PED/topic89.htm 17. Moe PG, Seay AR. Neurologic &
Muscular disorders. Dalam: Hay WW,
8. Bracci R, Buonocore G. Chorioamnionitis:
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM,
a risk factor for fetal and neonatal
penyunting. Current pediatric diagnosis &
morbidity. Biol Neonate 2003;83:85-96
treatment. Edisi ke-16. New York: Lange
9. Stoll BJ. Infections of the neonatal infant. Medical books/McGraw-Hill, 2003.p.791
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
18. Wu YW, Day SM, Strauss DJ, Shavelle
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook
RM. Prognosis for ambulation in cerebral
of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
palsy: a population-based study. Pediatrics
Saunders, 2004.h.623-5
2004;114:1264-71.
10. Romero R. Preterm Labor, intrauterine
19. Ratanawongsa B. Cerebral palsy. Diunduh
infection, and the fetal inflammatory
dari: URL: http://www.emedicine.com/-
respons syndrome. NeoReviews
neuro/topic533.htm.
2002;3:e73-84
:
Patofisiologi Timbulnya Gelombang dan Beberapa
Jenis Gelombang Normal pada EEG
Aldy S. Rambe
Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan
lebih lambat dibanding pada sel neuron, sel secara sinkron akan menentukan intensitas
glia dapat berada dalam keadaan depolarisasi gelombang yang terekam pada EEG. Intensitas
3
jauh lebih lama daripada sel neuron . Selain gelombang ini tidak ditentukan oleh aktivitas
berfungsi sebagai “buffer” sel glia juga listrik neuron secara total, sebab sekalipun
berperan memperkuat (amplifikasi) medan aktivitas totalnya besar tetapi bila timbulnya
5
potensial ekstrasel . tidak secara sinkron akan mengakibatkan
potensial aksi yang terjadi saling meniadakan.
Elektrofisiologi pembentukan potensial Akibatnya gelombang yang dihasilkan
Rekaman EEG secara simultan pada sel mempunyai voltase rendah. Hal ini terlihat bila
neuron dan pada kulit kepala menunjukan mata ditutup. Dalam keadaan mata tertutup,
bahwa aktivitas piramidal kortikal banyak neuron yang mempunyai aktivitas yang
berkorespondensi dengan pembentukan sinkron sehingga menghasilkan gelombang
gelombang EEG. Diduga bahwa lamanya dengan frekuensi 8-13 spd. Bila mata dibuka,
potensial aksi yang hanya beberapa milidetik terjadi peningkatan aktivitas otak tetapi tidak
dan depolarisasi membran yang dihasilkan terjadi secara sinkron. Akibatnya gelombang
potensial aksi tidak dapat menghasilkan yang dihasilkan semakin tinggi frekuensinya
potensial yang dapat direkam oleh elektrode dengan voltase yang rendah.
di kulit kepala. Potensial Post Sinaptik (PSP)
mempunyai durasi yang lebih panjang dan Gelombang alfa
melibatkan lebih banyak membran sehingga Sekalipun gelombang alfa telah
diduga menghasilkan potensial tersebut. dideskripsikan oleh Hans Berger pada tahun
Pengamatan ini mengarah kepada hipotesa 1929, sampai saat ini pengetahuan tentang
bahwa PEPS dan PIPS yang sinkron dari sel-sel patofisiologinya masih terbatas. Andersen dan
piramidal di korteks menghasilkan potensial Andersson mengajukan teori klasik yang
yang dapat direkam di kulit kepala. Karena menyatakan bahwa talamus adalah pacemaker
penelitian dengan menggunakan elektrode utama gelombang alfa. Hipotesa lain
mikro intrasel tidak dapat menganalisa menyatakan bahwa timbulnya gelombang ini
peranan sel-sel non piramidal akibat kesulitan terjadi melalui thalamic-processed retinal
teknis, maka kontribusi sel-sel ini belum dapat noise. Menurut hipotesa ini, stimulus random
3
diketahui . yang berasal dari retina diproses melalui
3
Neuron di korteks umumnya homogen, talamus dan diproyeksikan ke korteks . Penulis
saling berbagi beberapa properti membran lain menyatakan bahwa gelombang alfa dan
yang mirip dan voltage-dependent ion channel gelombang lain yang berfrekuensi lebih rendah
conductances. Ada 2 ion conductances yang timbul akibat adanya sekelompok masukan
berpartisipasi menentukan “kecepatan’ stimulus yang sinkron ke sistem serabut aferen
kortikal, yaitu: struktur generator superfisial. Bila stimulus ini
1. The “rebound” calcium conductance, terjadi secara berurutan dan periodik, rekaman
yang juga dijumpai pada sel-sel talamus. potensial medan menunjukkan fluktuasi potensial
2. An inactivating sodium conductance, sinusoidal (alfa) dan lengkung umpan balik
5
yang memungkinkan sel-sel piramidal talamokortikal memegang peranan penting .
mengalami repetitive firing. Gelombang alfa berfrekuensi 8-13 spd,
bervoltase 10-150 mV dengan lokasi di daerah
Kedua hal ini memperkuat kemampuan sel oksipital dan parietal. Gelombang ini
piramidal kortikal untuk merespon masukan berbentuk sinusoid, bilateral, sinkron dan
yang ritmis dari subkortikal. relatif simetris sekalipun amplitudonya dapat
sedikit lebih rendah pada hemisfer dominan.
GELOMBANG PADA EEG Gelombang ini muncul pada orang sadar
Potensial listrik yang direkam oleh elektrode dalam keadaan istirahat dengan mata tertutup
EEG di kulit kepala bukan merupakan gambaran dan mengecil sampai menghilang bila mata
aktivitas satu atau beberapa neuron, melainkan dibuka atau bila ada stimulus sensorik
merupakan sumasi dari ribuan sampai jutaan maupun mental seperti berhitung atau
1,6-8
neuron yang mengalami penggalakan secara berpikir .
bersamaan. Banyaknya neuron yang digalakkan
Abstrak: Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan jantung bawaan yang sering
ditemukan, jumlahnya lebih dari 25 – 35% dari penyakit jantung bawaan. Defek tersebut sering
pada pars membranous septum interventrikuler (membranous atau infracristal VSD) pada bagian
posterior dan anterior dari lembaran septum dari katup trikuspidal. Muskularis VSD terjadi lebih
sedikit dan lokasinya pada bagian tengah dan apical dari septum interventrikuler, dimana dapat
merupakan defek yang tunggal atau dapat berupa lubang yang multiple (resembling Swiss
cheese). Defek pada septum subpulmonal (supracristal) sering berhubungan dengan adanya aortic
regurgitation sebab ujung arteri koronaria kanan dapat prolaps kedalam VSD.
Kata kunci: Ventricular Septal Defect (VSD), Pars membranous septum interventrikuler, Shunt
left-to-right
Abstract: Ventricular Septal Defect (VSD) is the most common Congenital heart disease,it was
more than 25-30% of congenital heart disease.Most common defect is at pars membranous
septum interventrikuler (membranous or infracristal VSD) at posterior and anterior from the
septum of tricuspidal valve.VSD musculans happen less often and its location is at middle and
apical of interventriculer septum,where the defect single or multiple (resembling Swiss
cheese).Defect at subpulmonal septum (supracristal) often related to aortic regurgitation because
of the end of right coronaria can prolaps to the VSD.
Keywords: Ventricular Septal Defect (VSD), Pars membranous septum interventrikuler, Shunt
left-to-right
PENDAHULUAN
Besarnya ukuran VSD dan derajat
beratnya hipertensi pulmonal menentukan
perjalanan pasien dengan VSD. Ventrikel
septal defek pada sebagian besar pasien
dewasa biasanya kecil, dengan gejala minimal
left-to-right shunt, pulmonary hypertension
yang tidak terlalu besar dan tanpa gejala.
Kehamilan dengan keadaan seperti ini
biasanya tidak banyak ditemukan, yang lebih
jarang lagi adalah ditemukannya komplikasi
berupa bacterial endocarditis atau dapat
1,2
berupa gagal jantung kongestif.
Beberapa pasien dengan VSD yang besar
tidak terkoreksi biasanya mengalami gangguan
pertumbuhan, infeksi pernafasan berulang,
hipertenis pulmonal, dan gangguan ventrikel
kanan dan kiri. Komplikasi yang utama adalah
kegagalan ventrikel kanan yang berat dengan
terjadinya shunting yang reversal
1,2
(Eisenmenger’s syndrome)
Manifestasi Klinik
Ventrikel septal defek yang kecil akan
menimbulkan bising pansistolik yang ringan
pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks
yang normal dan gambaran elektrokardiogram
right bundle branch. Tekanan intrakardial
masih normal dengan shunting left-to-right
yang minimal. Ventrikel septal defek yang
sedang sampai besar menimbulkan murmur
pansistolik yang keras dengan expiratory
splitting pada suara jantung kedua dan adanya
pembesaran jantung kiri, akhirnya bisa juga
terjadi pembesaran jantung kanan. Saturasi
oksigen pada ventrikel kanan meningkat
sebagai akibat adanya left-to-right shunt.
Tekanan end diastolic ventrikel kanan,
tekanan arteri pulmonal dan tekanan end
Patofisiologi diastolic ventrikel kiri juga meningkat.
Shunt left-to-right berhubungan dengan Ventrikel septal defek yang sedang biasanya
VSD yang kecil yang awalnya meningkatkan
menyebabkan penurunan tahanan vascular
aliran darah pulmonal dan secara sekunder
menurunkan tahanan vaskuler pulmonal, pulmonal, sedangkan VSD yang besar
sehingga menyebabkan tekanan arteri menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler
pulmonal yang normal. Peningkatan volume pulmonal tersebut. Peningkatan tahanan
kerja ventrikel kiri masih dapat ditoleransi. vaskuler pulmonal yang berlangsung lama
Dengan adanya VSD yang lebih besar, terjadi menyebabkan shunting yang biridectional dan
shunting left-to-right yang lebih besar yang akhirnya right-to-left shunt yang disertai
1,2
menyebabkan peningkatan aliran darah dengan sianosis dan clubbing.
pulmonal, tetapi tahan vaskuler pulmonal
tidak dapat mengkompensasi peningkatan
aliran ini sehingga terjadi hipertensi pulmonal.
Peningkatan volume kerja ventrikel kiri
menyebabkan disfungsi ventrikel kiri,
peningkatan tekanan PCW, dan
memburuknya hipertensi pulmonal.
Kemudian terjadi kegagalan ventrikel kanan,
yang akhirnya terjadi keseimbangan tekanan
antara ventrikel kanan dan kiri, dan diikuti
dengan shunting yang bidirectional atau
1,2
reverse sehingga terjadi sianosis perifer.
Gambar EKG pada VSD
ventrikel kecil akan membebani ventrikel kiri, terjadinya dilusi tambahan oleh darah yang
sedangkan defek septum ventrikel besar akan mengalami resirkulasi. Anestesiolog dapat
4
membebani kedua ventrikel. mengkompensai dampak adanya pintasan
dengan meningkatkan konsentrasi agen intra
Premedikasi vena; meskipun terdapat risiko overdosis.
Tujuan premedikasi pada pasien dengan Faktor–faktor tersebut, meskipun nyata,
defek septum tidak berbeda dengan prosedur namun memiliki aspek kepentingan klinis
premedikasi pada pasien yang menjalani yang kecil dalam induksi anestesi
operasi lain baik operasi umum ataupun dibandingkan dengan faktor lain, seperti
operasi jantung, yaitu pasien yang tersedasi misalnya kecukupan premedikasi dan
secara adekuat dan kooperatif, disertai dengan mempertahankan volume ventilasi yang
4,5
rumatan stabilitas kardiovaskular dan respirasi. adekuat.
Preparat oral, rektal, ataupun intramuskular Teknik induksi pada pasien dengan
dapat digunakan, bergantung pada kondisi, pintasan kiri-ke-kanan bukanlah hal yang
pilihan, dan tingkat kooperatif pasien; serta bersifat kritis dan dapat disesuaikan menurut
prosedur operatif yang direncanakan. keinginan pasien, tingkat kooperativitas, atau
Pemberian pentobarbital 2 – 4 mg/kg per oral ada-tidaknya jalur infus intravena pre-induksi.
atau per rektum 2 jam sebelum operasi, Pasien yang telah terpasang infus ataupun
ditambah dengan meperidine 2 mg/kg atau menginginkan induksi intravena dapat dengan
morfin 0,1 mg/kg, dan scopolamine 0,1 mg aman diinduksi dengan menggunakan
intramuskular 1 jam sebelum operasi akan thiopental 2 – 4 mg/kg atau preparat induksi
menghasilkan tingkat sedasi dan hipnosis yang intravena lainnya, diikuti dengan pemberian
adekuat. Pada pasien berusia kurang dari 1 suksinilkolin atau pancuronium sebagai agen
tahun, dan pada pasien dengan derajat blokade neuromuscular sebelum dilakukan
kegagalan jantung yang signifikan, serta pada intubasi. Pada pasien dengan penyakit yang
pasien dengan curah jantung yang rendah, lebih parah (hipertensi pulmoner dengan gagal
maka dosis yang dipergunakan dapat jantung kanan) dapat diberikan fentanyl 5 –
diturunkan, atau kadang dapat dihilangkan. 10 μg/kg atau ketamin 1 – 2 mg/kg untuk
Sianosis pada pasien dengan defek septum menggantikan thiopental sebagai agen induksi
murni mengindikasikan terjadinya “shunt intravena. Setelah dilakukan induksi,
reversal”, bentuk stadium lanjut dari penyakit kemudian ditambahkan agen inhalasi sesuai
4,5
ini dimana merupakan lesi yang relatif tidak dengan kebutuhan situasi klinis.
dapat diterapi dengan prosedur pembedahan Anak yang lebih kecil biasanya
dan membutuhkan perhatian khusus dalam membutuhkan tindakan induksi inhalasi.
4
premedikasi. Premedikasi yang adekuat pada pasien
tersebut akan menghasilkan induksi tanpa
Teknik Induksi perlawanan. Setelah induksi, dapat dimulai
Sebagian besar pasien dengan defek pemberian infus intravena, kemudian
septum mengalami pintasan kiri-ke-kanan diberikan pelumpuh otot sebelum dilakukan
yang akan cenderung menurunkan waktu intubasi endotrakeal. Pilihan pelumpuh otot
induksi pada penggunaan agen inhalasi yang sering kali tetap pada pancuronium karena
relative soluble, seperti misalnya halothane. durasi kerja yang panjang, dan efek vagolitik,
Karena darah yang melewati pintasan mengakibatkan takikardia, yang sering
kemudian mengalami resirkulasi melalui paru, menguntungkan bagi neonatus dan bayi yang
sebagian akan mengalami saturasi oleh agen bergantung pada denyut jantung yang adekuat
anestesi, oleh sebab itu konsentrasi alveolar untuk mempertahankan cardiac output.
akan meningkat dengan lebih cepat, akibatnya Rocuronium, agen penghambat neuromuskular
induksi anestesi akan terjadi lebih cepat. nondepolarisasi dengan onset yang relatif
Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous cepat, telah menunjukkan efektivitasnya jika
oksida relatif lebih tidak terpengaruh oleh diberikan intramuskuler dengan dosis 2
mekanisme ini, sehingga tidak terjadi mg/kg, dengan kondisi intubasi yang sangat
akselerasi induksi. Agen intravena dikatakan baik dapat dicapai dalam 2,5 sampai 3 menit
memiliki efek onset yang lebih lambat, karena pada bayi dan anak–anak ini merupakan
pilihan baru yang penting pada pasien tanpa berikatan dengan kompleks troponin-aktin-
akses intravena induksi, pada mereka yang miosin yang akan menghasilkan kontraksi
dengan suksinilkolin intramuskuler adalah miosit. Mekanisme lain adalah halothane,
kontraindikasi atau tidak diinginkan.
4,5
tetapi bukan isofluran, secara langsung
++
Pada bayi, anestesi juga dilakukan dengan mengaktivasi saluran Ca retikulum
teknik inhalasi, jika pasien stabil. Namun, sarkoplasmik (RS) sensitive-ryanodin, dengan
++
sebagian besar pasien bayi yang menjalani demikian menurunkan cadangan Ca di dalam
++
operasi koreksi, mengalami gagal jantung RS dan mengakibatkan berkurangnya Ca
derajat sedang dan telah memiliki jalur untuk dilepaskan selama kontraksi. Detail dari
++
intravena pre-operatif, sehingga digunakan efek sevofluran dan desfluran pada aliran Ca
teknik induksi intravena. Diantara agen–agen tidak banyak diteliti, tetapi diantisipasi bahwa
5
indukai intravena, ketamin dan etomidat mereka mirip dengan halothane.
adalah agen pilihan bagi pasien dengan fungsi Penggunaan dukungan inotropik, inhibitor
ventrikuler yang lemah atau yang sebaliknya fosfodiesterase, yang paling baru milrinone
memiliki risiko hemodinamik yang berbahaya dan enoxsimone, telah diteliti dan digunakan
dengan induksi anestesi. Harus dicatat bahwa lebih sering pada bayi dan anak – anak.
pada pasien yang ketergantungan terhadap Penelitian–penelitian yang telah dipublikasikan
katekolamin tinggi, misalnya pasein pra- dan pengalaman klinis dengan milrinone
transplantasi jantung yang mendapatkan agen menunjukkan bahwa agen tersebut secara
inotropik dalam jangka panjang, ketamin rutin meningkatkan CO sebesar 30 - 50%, dan
dapat bekerja langsung sebagai depresan menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan
miokardial dan menyebabkan bahaya pulmonal sebesar 30 – 40% dengan perubahan
hemodinamik pada saat induksi. Etomidat minimal pada HR. Juga dilaporkan bahwa
tampaknya jauh lebih dapat ditoleransi pada milrinone memiliki insiden trombositopenia
pasien–pasien tersebut, dan oleh karena itu, yang lebih rendah dibandingkan dengan amrinone,
menjadi agen pilihan untuk banyak keadaan yang penggunaannya pada pasien pediatri telah
seperti ini. Propofol dan thiopental akan dibatasi. Hipotensi sistemik sering terjadi jika
5
menyebabkan hipotensi, dan/atau depresi dosis loading diinfus terlalu cepat.
miokardial dan bradikardia, dan tidak boleh
digunakan pada semua pasien CHD dengan Pemantauan
fungsi ventrikel yang baik dan hemodinamik Pemantauan dasar untuk perbaikan ASD
yang stabil kecuali yang paling “sehat”.
4,5
atau VSD adalah sama dengan sebagian besar
Teknik inhalasi dengan agen yang poten prosedur operasi kardiovaskuler: EKG,
secara teoritis memiliki kelemahan, yaitu tekanan darah (invasif dan non-invasif),
menurunkan curah jantung dan resistensi oksimetri nadi, kapnografi, tekanan vena
vaskular sistemik; serta memiliki potensi sentral/CVP, temperatur, produksi urin,
membalik arah pintasan kiri-ke-kanan. Shunt pemeriksaan laboratoris berupa analisis gas
reversal biasanya tidak terjadi jika tidak darh dan elektrolit. CVP merupakan panduan
didapatkan hipertensi pulmoner dan hipertrofi yang baik untuk memberikan terapi cairan.
ventrikel kanan yang nyata. Dengan memandang Namun, hasilnya dapat meragukan paling
agen–agen anestesi inhalasi, penelitian in vitro tidak dalam 2 situasi berikut:
mengenai efek–efek pada kontraktilitas, 1. Segera setelah ventrikulotomi, tekanan
mengindikasikan bahwa susunan efek jantung kanan akan cenderung tinggi
depresan kontraktilitas miokard langsung sebagai akibat dari penurunan fungsi
adalah halothane >> sevoluran = isofluran = jantung kanan, sedangkan fungsi jantung
desfluran. Perbedaan diantara agen–agen kiri normal.
tersebut terjadi karena efek yang berbeda 2. Setelah penutupan ASD, tekanan atrium
++
dalam aliran kalsium melalui saluran Ca tipe- kiri untuk sementara waktu akan lebih
L, keduanya transarkolema (melalui tinggi dibandingkan tekanan atrial kanan.
membrane plasma), dan dalam retikulum Pemasangan kanula pada atrium kiri bias
sarkoplasmik. Halothane menurunkan aliran jadi berguna pada beberapa kasus, namun
Ca
++
melalui sarkolema lebih banyak tidak diperlukan secara rutin.
dibandingkan isofluran, dengan hasil bersih Kateter arteri pulmonalis yang dipasang
++
yaitu kurangnya Ca intraseluler yang akan dengan tujuan untuk mengukur tekanan atau
curah jantung digunakan pada beberapa untuk pasien pediatrik. Perawatan yang
sentra, namun hingga saat ini belum diterima cermat dapat mencegah masuknya gelembung
secara luas karena adanya penyulit berupa udara saat menyambung selang ke kateter dan
4
insersi pada anak kecil, perubahan letak yang saat injeksi obat.
terjadi saat kanulasi atau perbaikan, Potensi kedua sumber emboli udara
kemungkinan menembus defek septum, biaya adalah kanulasi atrium kanan untuk bypass
yang harus dikeluarkan, dan sejauh mana kardiopalmuner. Jika CVP rendah, udara
perannya dalam mempengaruhi outcome dapat terperangkap dalam atrium saat insersi
penderita belumlah diketahui.
4,6 kanula vena. Tekanan udara positif selama
Popularitas penggunaan echokardiografi intra insersi dapat membantu mencegah
operatif semakin meningkat akhir–akhir ini dan terperangkapnya udara. Setelah kanula vena
merupakan prosedur rutin yang dilakukan pada terpasang, terisi darah, dan terhubung dengan
beberapa sentra untuk operasi spesifik. aliran vena, udara dapat nampak pada
Ditempatkan kedua probe baik transofageal konektor “Y”. sebelum bypass, udara ini dapat
ataupun epikardial. Tujuan utamanya dalam mengalir balik ke pasien jika kanula caval
perbaikan defek septum adalah untuk tidak diklem. Jika asisten bedah yang
mendeteksi pintasan residual yang signifikan, berpengalaman melepas klem caval sementara
dan juga untuk mengukur fungsi ventrikular jalur vena masih diklem, maka udara akan
dan/atau valvular.
4,6 terhisap kembali ke atrium kanan jika CVP
rendah dan dapat terjadi emboli aradoxical”.
Penatalaksanaan pada Bypass Kardiopulmoner Pengawasan ketat selama kanulasi pembuluh
Pertimbangan sirkulasi pre-bypass dan darh besar oleh anestesiolog dan tim bedah
4
ekstrakorporeal pada pasien dengan defek akan mencegah komplikasi pembedahan.
septum tidak berbeda dengan pasien yang Udara selalu ada dalam ruang jantung jika
menjalani operasi perbaikan untuk defek ruang jantung manapun telah dibuka untuk
kongenital jantung lainnya. Pada bayi atau pembedahan perbaikan defek septum.
anak kecil, ahli bedah dapat mempersiapkan Berbagai metode dipergunakan untuk
untuk menggunakan hipotermia dalam dengan menghilangkan udara tersebut, sebelum
penghentian sirkulasi untuk memperbaiki sirkulasi alami dijalankan kembali, namun
kanal AV atau VSD yang besar. Persiapan tidak ada metode yang mempu menghilangkan
4
untuk hipotermia dalam dan penghentian keseluruhan udara yang ada.
sirkulasi melibatkan persiapan farmakologis
ekstra dan peralatan untuk pendinginan.
4 Perawatan Post Operatif
Komplikasi post-operatif terbesar pada
Emboli Udara tindakan perbaikan VSD adalah terjadinya
Pada pasien dengan hubungan abnormal blokade jantung yang diakibatkan oleh trauma
antara jantung kanan dan kiri, selalu terdapat pada jaringan konduksi. Baik nodus AV atau
risiko terjadinya emboli, khususnya emboli Bundel His dapat mengalami trauma,
udara, yang mencapai jantung kiri dan bergantung pada lokasi defek. Blokade
kemudian diedarkan ke sirkulasi sistemik, sementara yang disebabkan oleh terjadinya
khususnya sirkulasi serebral. Karena jumlah edema karena penjahitan, dapat muncul
volume udara yang dibutuhkan untuk belakangan di ICU; pada semua pasien
menyebabkan terjadinya infark serebri belum sebaiknya dipasang ventricular pacing electrode.
diketahui hingga sekarang, maka upaya untuk Pada pasien yang dilakukan prosedur
menghindari udara apapun harus dilakukan.
4 ventrikulotomi, dibutuhkan pemberian terapi
Sumber tersering udara adalah selang penunjang berupa pemberian preparat
5
intravena, termasuk side pots, tubing inotropik post-operatif.
connections, dan stopcocks. Gelembung udara Pintasan residual yang memiliki dampak
cenderung untuk menempel pada area dimana signifikan terhadap hemodinamik terjadi pada
terjadi perubahan diameter lumen. Sebelum sekitar 6 – 10% pasien dan dapat diakibatkan
memulai pemberian infus, selang harus oleh adanya defek tambahan yang tidak
diperiksa ulang oleh karena gelembung udara terdiagnosis sebelumnya, khususnya pada
yang kecil dapat keluar dari larutan dan akan septum muskularis; atau adanya kebocoran
saling bergabung saat tidak terjadi aliran, pada jahitan. Kejadian ini dapat didiagnosis
khususnya pada kamar operasi yang hangat
dengan menggunakan color flow Doppler atau 2. Morgan, GE, Mikhail, MS & Murray, MJ
4
echokardiografi dengan zat kontras. (editors): Anesthesia for Patients With
Pada sebagian besar anak dengan Cardiovascular Disease. In: Clinical
uncomplicated VSD, ekstubasi endotrakel Anesthesiology, third edition, McGraw-
dapat dilakukan di dalam kamar operasi atau Hill Companies, New York. 2002, p424-
segera setelah pasien tiba di ICU. Pada pasien
5
dengan defek septum yang lebih berat atau
pada pasien dengan hipertensi pulmoner, 3. Michael V, Charles B, Bertrand R, Daniel
sebaiknya tidak dengan segera dilakukan S, Ventricular septal defect. (On Line):
ekstubasi. Sebagian besar pasien–pasien ini URL.
membutuhkan preparat vasoaktif untuk terapi http://www.chkd.com/cardiology/vsd.20
kegagalan ventrikel kanan atau defek
04
konduksi. Preparat isoprotenol, sodium
nitroprusside, nitrogliserin, atau preparat 4. Cooper JR. Setal and endocardial cushion
vasodilator lainnya digunakan untuk defects. In: Pediatric Cardiac Anesthesia.
menurunkan tekanan arteri pulmonalis dan nd
Lake CL, 2 edition Connecticut :
untuk mengurangi terjadinya regurgitasi mitral Appleton & Lange; 1993, p235-6
setelah perbaikan celah pada katup mitral.
Isopretenol intravena juga berguna untuk 5. Dean B, Andropoulus. Update in
memperbaiki blokade jantung yang terjadi pediatric anesthesia. Texas Children’s
setelah bypass, menjadi ritme sinus atau Hospital. Baylor College of Medicine.
4
atrial. (On Line) :
URL.http://anesnet.bcm.tmc.edu/tchv/ht
m.2003
DAFTAR PUSTAKA
1. Crowder, CM & Evers, AS. General 6. Chang AC, Jacobs J. Ventricular Septal
Anesthetics .In: The Pharmacological Defect. In: Pediatric Cardiac Intensive
Basis of Therapeutic, tenth Care. Philadelphia: Williams & Wilkins;
edition.Editors; Joel G. Hardman, Lee E. 1998, p212-16.
Limbird & Alferd Goodman Gilman. The
McGraw-Hill Companies, New York.
2001, p352
Nelly Rosdiana
Divisi Hemato - Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU / RS H. Adam Malik Medan
Abstrak: Anemia merupan suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel darah
merah di bawah normal. Prevalensinya pada bayi berkisar 5,7%, remaja putri 5,9%, wanita muda
5,8%, dan 4,4% pada pria berusia lanjut. Penyebab terjadinya anemia pada anak sangat bervariasi
sehingga jika seorang pucat, diperlukan langkah-langkah pendekatan diagnostik berupa anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang tepat serta terperinci, pemeriksaan darah lengkap, morfologi darah,
aspirasi sumsung tulang serta mencari penyakit yang mendasari anemia tersebut.
Kata kunci: anemia-MCV-RDw-Aspirasi sumsung tulang
Abstract: Anemia is the condition in which the concentration of hemoglobin or the red cell mass
is reduced below normal. The incidence of anemia in infants, teenagers, women, and men are
approximately 5.7%, 5.9%, 5.8%, and 4.4%, prespectively. The cause of anemia for the children is
varied, so if a child suffered the pallor, we need the steps for the diagnostic approach are the
including, the medical history of the anemic child, detailed physical examination with particular
attention acute and chronic effects of anemia, complete blood counts, morphology cells, bone
marrow puncture and underlying diseases.
Keywords: anemia – MCV – RDW – bone marrow puncture
Serikat yang dilakukan oleh the Second Jika seorang anak terlihat pucat, penting
National Health and Nutrition Survey menentukan inti permasalahannya, baik itu
(NHANES) didapati prevalensi anemia pada disatu alur sel (misalnya sel darah merah, sel
bayi berkisar 5,7% , remaja putri 5,9%, wanita darah putih atau trombosit). Jika dua atau tiga
muda 5,8% dan 4,4% pada pria berusia alur sel terganggu, kemungkinan
1 menunjukkan adanya keterlibatan sumsum
lanjut.
tulang (misalnya leukemia, penyakit
1-3, 6
metastase, anemia aplastik).
Abbreviations: MCV, mean coposcular volume; RDW, red cell distribution width, which is coefficient of variation of RBC
volume distribution (normal, 11.5%-14.5%).
ANEMIA
Normal
Folate deficiency
Iron deficiency Vit. B12 deficiency
Thalassemia Aplastic anemia
Lead poisoning Preleukemia
Chronic diseases Immune hemolytic anemia
Liver diseases
RETICULOCYTE COUNT
High Low
Normal High
Increased
Low Normal
Negative Positive
a. Corpuscular Extracorpuscular
Hemoglobinophaties
Hb electrophoresis Autoimmune hemolytic anemia
Enzymophaties Primary
Enzym assay Secondary (e.g., connective tissue
Membrane defects disease, drug)
Morphology Isoimmune hemolytic disease
Autohemolysis Rh, ABO mismatched transfusion
Osmotic fragility
b. Extracorpuscular
Idiopathic
Secondary
Drugs
Infection
Microorganism
Gambar 1. Pendekatan diagnostik anemia terhadap nilai MCV dan jumlah retikulosit
T. Ibnu Alferraly
Departement of Patology Anatomi Medical Faculty of North Sumatera University
Abstract: We report a case of a 47-year-old woman who presented with a diffuse mass on her left
thigh. FNAB was done and resulted in a bloody aspirate, approximately ± 5 cc. The preparation
is stained with MGG and appeared in microscopic of micropapillary cluster with some rosetting
structure. The cytologic featured nuclear enlargement and anisokaryosis that was relevant with
metastases of papillary carcinoma of the thyroid. A papillary carcinoma of the thyroid with bone
metastases is a rare case because distant metastases are less frequent in papillary carcinoma of the
thyroid than with other thyroid carcinomas (only 5% to 7%), especially in femur. There are
multiple criteria must be observed before making a confident cytological diagnosis of papillary
carcinoma of the thyroid. Analysis of various criteria suggested that a combination of intranuclear
cytoplasmic inclusions, papillary structures and dense cytoplasm were the three most important
variables. With sensitivity and predictive value of cytological diagnosis ranged from 60% to 90%.
But we should not forget, always confirm with the histopathology for the final diagnosis because
cytology is not one definitive diagnosis.
Keywords: papillary carcinoma, thyroid, FNAB, bone metastases
(1,2,3,4)
PATHOGENESIS true papillae) and/or characteristic nuclear
Although the etiology of papillary changes. The papillae are usually complex,
carcinoma of the thyroid remains to be branching, and randomly oriented, with a
establish, a number of associations have been central fibrovascular core and a single or
identified. stratified lining of cuboidal cells. The stroma
• Iodine excess. In endemic goiter of the papillae may be edematous or hyaline,
regions, the addition of iodine to the and it may contain lymphocytes, foamy
diet has increased the proportion of macrophages, hemosiderin, or-exceptionally-
papillary carcinoma compared with adipose tissue. These papillae are nearly
follicular carcinoma. always associated with the formation of
• Radiation. External radiation to the follicles. The follicles tend to be irregularly
neck of children and adults increase shaped, often tubular and branching. Mitoses
the incidence of later papillary are very scanty or absent. Psammoma bodies
carcinoma of the thyroid. are seen in approximately half of the cases.
• Genetic factors. Somatic Their presence strongly suggests the diagnosis
rearrangements of the RET of papillary carcinoma.
protooncogene on chromosome
10q11.2 are common in papillary
carcinoma of the thyroid, and 60% of
such tumors in children exposed to
radiation from the Chernobyl accident
displayed this mutation. These
rearrangement cause the fusion of the
tyrosine kinase domain of RET to
various other genes, creating the
RET/PTC fusion oncogenes. The
fusion product is constitutively
activated by phosphorylation of a
tyrosine residue. RET/PTC 1 and 3 are
the most common forms that occur in
sporadic papillary carcinoma.
Area with a solid/trabecular pattern of
MACROSCOPIC FEATURES growth and foci of squamous metaplasia are
Papillary carcinomas may present as present in 20% of the cases; these two
solitary or multifocal lesions within the patterns often merge. Lymphocytic infiltration
thyroid. In some cases, they may be well of the stroma is seen in a fourth of cases; it is
circumscribed and even encapsulated; in other ot clear wheather this represents a reaction to
instances, they infiltrate the adjacent the tumor or the expression of pre-existing
parenchyma with ill-defined margins. The thyroiditis.
lesions may contain areas of fibrosis and The nuclei of papillary carcinoma cells
calcification and are often cystic. On the cut contain very finely dispered chromatin, which
surface, they may appear granular and may imparts an optically clear appearance, giving
sometimes contain grossly discernible rise to the designation “ground-glass” or
papillary foci. The size of the primary tumor “Orphan Annie” nuclei. In addition,
ranges from microscopic to huge. A very high invaginations of the cytoplasm my cross-
proportion of thyroid cancers measuring less sections give the appearance of intranuclear
than 1 cm in diameter are of papillary inclusions (hence the term pseudo-inclusions).
type.
(1,2,4,5) Another characteristic of the papillary
carcinoma nucleus is the nuclear groove.
(1,2,3,4,5,6,7)
MICROSCOPIC FEATURES (1,3)
Microscopically, the diagnosis of papillary VARIANTS
carcinoma depends on the presence of certain • Papillary microcarcinoma. This is
architectural features (mainly in the form of defined as a papillary carcinoma
IMMUNOHISTOCHEMICAL FEATURES
Immunohistochemically, the cells of
papillary carcinoma are reactive for low-as
well as for high-molecular-weight keratin; the
latter is of some diagnostic importance,
because normal and hyperplastic follicles and
follicular neoplasms usually show positivity
A true papillary micro-architecture may only for the low-molecular-weight types.
be difficult to identify in smears. Most There is also positivity for S-100 protein,
papillae are not removed intact by the needle EMA, CEA (occasionally), vimentin, and
but appear as flat sheets. The shees partly ceruplasmin. Estrogen reseptor proteins are
have a well-defined ‘anatomical’ edge formed usually present.
(1,3)
(5)
TREATMENT
Standart treatment options in papillary
carcinoma of the thyroid:
• Lobectomy/thyroidectomy
• I
131
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Solitary benign encapsulated nodules with
a striking papillary growth pattern but
without nuclear features of papillary
carcinoma, particularly in young patients.
These are sometimes referred as ‘adenomas’ or
as ‘hyperplastic papillary nodules’. Hyalinising
trabecular adenoma can mimic papillary
carcinoma cytologically, showing similar
(8)
nuclear features.
A CASE REPORT
We report a case of a 47-year-old woman
who presented with a diffuse mass on her left
thigh. Then we preformed FNAB. The aspirat
contain a bloody liquid, volume ± 5 cc. The
preparation is staining with MGG.
DISCUSSION
Papillary carcinoma is the most common
type of thyroid malignancy. Lymphogen is
primary mode of spread in papillary
carcinoma of the thyroid. Distant metastases
(hematogen) is rare, when occurs usually to
lung, bone, brain and soft tissue.
A papillary carcinoma of the thyroid with
bone metastases is a rare case. A woman with
an older age is suitable for the criteria of
papillary carcinoma of the thyroid. Theere are
multiple criteria must be observed before 3. Mills, Stacey E, M.D, et al. Sternberg’s
th
making a confident cytological diagnosis of Diagnostic Surgical Pathology. 4 ed.
papillary carcinoma of the thyroid. Analysis of Vol.1.A. Lippincott, Philadelphia. 2004.
various criteria suggested that a combination p: 564- 572, 593, 594.
of intranuclear cytoplasmic inclusions, rd
4. Rubin Emanuel et al. Pathology. 3 ed.
papillary structures and dense cytoplasm were
Vol.II. Philadelphia. 1999. p: 1174-1176.
the three most important variables. With
sensitivity and predictive value of cytological 5. Download from F:\ Thyroid Cancer.
diagnosis ranged from 60% to 90%. And do 6. De Vita, Jr, Vincent T,et al. Cancer
not to forget, always confirm with the “Principles & Practice of Oncology”. 7
th
tanda neurologik fokal sebagai akibat proses 300 UI/ml. Meskipun sebenarnya pemeriksaan
1
infeksi yang progresif. kadar CD4 sangat diperlukan, dimana
Riwayat pemakaian narkoba jarum suntik biasanya nilai CD4 dibawah 100 sel/μL untuk
6.9
ditemukan pada pasien ini yang mungkin ET sebagai diagnosa presumtif.
sebagai penularan HIV. Diagnosa banding dengan SOL (limfoma
Pada pemeriksaan neurologis pada pasien SSP, abses, tumor) dibuat karena gambaran
ditemukan simptom dan tanda neurologis klinis, radiologis yang menyerupai ET.
fokal berupa hemiparese dupleks, kranial Limfoma SSP merupakan neoplasma yang
nerve palsi, seizure. AIDS dengan lazim dijumpai pada penderita HIV-AIDS.
toksoplasmosis SSP dijumpai defisit neurologis Pemeriksaan SPECT, PET, dan MR
dalam 50-89 % dari pasien, seizure dalam 15-25 % spektroskopi dapat digunakan untuk
9
pasien, perubahan status mental dan peninggian membedakan lesi ET dengan limfoma SSP.
12
tekanan intrakranial. Toksoplasmosis harus selalu Diagnosa banding dengan stroke iskemik
dipertimbangkan pada penderita AIDS bila dibuat, karena AIDS sendiri merupkan faktor
risiko untuk terjadinya stroke iskemik, adanya
ditemukan defisit neurologis fokal terutama
defisit neurologis fokal. Meskipun dapat
jika ditemukan seizure, nyeri kepala dan
12 disingkirkan dengan onsetnya yang perlahan-
demam.
lahan, dan tidak adanya riwayat penyakit
Pemeriksaan laboratorium didapatkan
metabolik.
hasil imunoserologi HIV test positif 20,21
Penanganan kasus ini dilakukan melalui
(ELISA). Pemeriksaan serologis ini memiliki diagnosis presumtif dengan memberikan
13
sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 98%. terapi anti toksoplasmosis. European
Pemeriksaan serologis lainnya yang dijumpai Federation of Neurological Societes (EFNS)
pada pasien ini adalah Ig M anti toksoplasma mengeluarkan paduan tatalaksana yaitu secara
dengan hasil negatif 0,0 dan Ig G anti praktis pada semua penderita HIV-AIDS
Toksoplasma positif > 300 IU / ml. Di RSCM dengan massa intrakranial dapat diberikan
titer Ig G anti Toksoplasma yang dianggap terapi empiris anti toksoplasmosis selama 2
6
positif bila lebih besar dari 300 IU/ml. minggu, walaupun serologisnya negatif atau
Pemeriksaan head CT scan tanpa kontras lesinya tunggal. Bila tidak terdapat perbaikan
pada pasien ini menunjukkan lesi hipodens klinis ataupun radiologis berulang dianjurkan
yang luas sesuai gambaran ensefalitis. Hasil ini biopsi.
9
tidak banyak membantu untuk menegakkan Diagnosis defenitif pada penderita ini
diagnosa ET sebab tidak dilakukan kontras. hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
Pemeriksaan imajing pada pasien ET histopatologi jaringan otak, atau
memperlihatkan lesi otak multipel dengan ditemukannya DNA toksoplasma melalui
cincin atau penyengatan homogen dan disertai metode PCR.
6
edema vasogenik pada jaringan disekitarnya. Prognosis pasien ini adalah jelek dimana
Ensefalitis toksoplasmosis jarang muncul penderita meninggal setelah dirawat selama 2
dengan lesi tunggal atau tanpa lesi. MRI lebih minggu. ET yang berat sering terjadi pada
sensitif dibanding CT scan, sehingga teknik ini penderita immunocompromised, dan sering
13
lebih disukai, khususnya pada pasien-pasien menimbulkan kematian.
tanpa gangguan neurologik fokal. Pasien-
pasien dengan hanya satu lesi atau tidak KESIMPULAN
tampak pada CT scan harus dilakukan MRI 1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan
untuk menentukan apakah lebih dari satu lesi anamnese, gambaran klinis, pemeriksaan
muncul.
14,15 neurologi, pemeriksaan penunjang/
Pada saat masuk rumah sakit pasien serologis.
didiagnosa banding dengan ensefalitis HIV, 2. Diagnosa pada pasien ini adalah diagnosa
SOL (abses serebri, limfoma, tumor) dan presumtif mengingat pemeriksaan
stroke berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan histopatologi dan PCR tidak dilakukan.
radiologis, pemeriksaan laboratorium. 3. Dengan semakin banyaknya kasus infeksi
Diagnosa banding dengan HIV HIV, maka komplikasi yang mengenai SSP
disingkirkan dengan pemeriksaan serologis akan lebih sering dijumpai dalam praktek
ditemukannya IgG anti toksoplasma positif > klinis.