You are on page 1of 73

dari redaksi

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL

Berbagai pemeringkatan perguruan tinggi di lingkungan internasional sudah sering dilakukan secara periodik.
Metode pemeringkatan saat ini yang masih sering dijadikan acuan adalah Academic Ranking of World
Universities (ARWU) dari Shanghai Jia Tong University, Webometrics Ranking of World Universities (WRWU),
Performance Ranking of Scientific Papers for World Universiteis (SPWU) dari National Taiwan University, dan
Times Higher Education Supplement (THES) QS World Universities Rankings (THES-QS).

Kriteria the Times Higher Education Supplement-Quacquarelli Symonds (THES-QS) World University Rankings
didasarkan kepada: 1. Research Quality (indikatornya adalah Peer Reviev bobotnya sebesar 40% dan Citations
per Faculty bobotnya 20%). 2. Graduate Employability (indikatornya adalah Recruiter Review bobotnya sebesar
10%). 3. International Outlook (indikatornya adalah International Faculty bobotnya sebesar 5% dan International
Students bobotnya sebesar 5%). 4. Teaching Quality (indikatornya adalah Student Faculty bobotnya sebesar
20%). Total skor 100%.

Peringkat dunia versi THES-QS menyebutkan hanya tiga PT di Indonesia yang masuk Top 400 tahun 2007,
yaitu Universitas Gadjah Mada yang menempati posisi 360 bersama-sama dengan University of Toulouse III
Paul Sabiter dari Perancis, Institut Teknologi Bandung yang menempati posisi ke-369 bersama Universite Paris I
Pantheon Sorbonne juga dari Perancis, serta Universitas Indonesia yang menempati posisi ke-395. Negara
ASEAN lainnya yang masuk Top 400 versi THES-QS adalah Singapura dan Thailand yang menempati masing-
masing dua wakilnya, Malaysia dengan empat wakilnya, serta Filipina dengan satu wakilnya.

Jika dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi yang sudah mencapai 2800-an, maka pencapaian
perguruan tinggi di Indonesia masih dikatakan tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain termasuk
negara-negara ASEAN.

Momen peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional 20 Mei yang baru saja diperingati merupakan tonggak
bangkitnya kembali semangat nasionalisme. Seluruh elemen bangsa diharapkan punya motivasi yang tinggi
untuk mengangkat harkat martabat bangsa di mata internasional sesuai bidangnya masing-masing. Dalam hal
ini, mutu riset suatu universitas menjadi yang utama. Tidak hanya itu, karya-karya ilmiah yang dipublikasikan
pun harus diakui secara internasional dan bisa menjadi rujukan bagi kalangan akademis di seluruh dunia.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 ii2


3 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008
petunjuk untuk penulis

Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk
seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original dan relevan dengan bidang kesehatan,
kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus,
penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah, dan surat kepada redaksi.
1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun
terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang,
masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan
sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular,
atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar tetapi jangan
mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil
penelitian yang ditemukan. Bandingkan hasil tersebut dengan hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa
yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya.
Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.
2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan
kesehatan yang mutakhir.
3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di
kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.
4. Penyegar Ilmu Kedokteran: Berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan
perlu disebarluaskan.
5. Ceramah: Tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu
disebarluaskan.
6. Editorial: Berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini
sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk Umum
Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak
menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus
memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah.
Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-
review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk
diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada
manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent).

Penulisan Makalah
Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas
A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan
dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh
makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan
gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus
disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis.

Halaman Judul
Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi
penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan
jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati
sampai 4 orang.

Abstrak dan Kata Kunci


Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan
penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan
pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah.

Teks Makalah
Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil
(Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 iv 4


Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak
baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan
panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat
dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf.

Tabel
Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel
diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul.
Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah.

Gambar
Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto.
Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254
mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda
penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat
dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor
urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah.

Metode Statistik
Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci
berikut rujukan metode tersebut.

Ucapan Terimakasih
Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan
teknis, dana, dan dukungan umum dari suatu institusi.

Rujukan
Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan
teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang
penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada
tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform
Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical
Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus.
Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum
diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished
observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan
sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh:

Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996.

Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak
mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis
dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi.

Makalah dikirimkan pada:


Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara
Jl. dr. Mansur No. 5
Medan 20155
Indonesia

v5 Majalah
Majalah Kedokteran
Kedokteran Nusantara
Nusantara Volume
Volume 41
41 yy No.
No. 2
2 yy Juni
Juni 2008
2008
DAFTAR ISI

Majalah Kedokteran Nusantara


Volume 41 y No. 2 y Juni 2008
ISSN: 0216-325X

Susunan Redaksi i
Dari Redaksi ii
Petunjuk untuk Penulis iv
Daftar Isi vi
y KARANGAN ASLI
1. Kombinasi Kina-Klindamisin 3 Hari pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa 88
Komplikasi
Lambok Siahaan
2. Kajian Molekular Mutant Del-SEA Thalassemia-α pada Populasi Medan 93
Ratna Akbari Ganie
3. Correlation Between Daytime Sleepiness and Antiepileptic Drugs in Generalized Tonic 99
Clonic Epilepsy Patients in Epilepsy Outpatient Clinic at Neurology Department
University of Sumatera Utara, Medan, Indonesia
Silvana Asrini, Aldy S. Rambe, dan Darulkutni Nasution
4. Incidence of Acute Myeloid Leukemia in Children in Haji Adam Malik Hospital 104
Medan
Selvi Nafianti, Nelly Rosdiana, dan Bidasari Lubis
5. Trombositosis Sekunder pada Anak Sekolah Dasar Usia 9-12 Tahun yang Menderita 112
Anemia Defisiensi Besi
Nelly Rosdiana, Dedy G., Bidasari Lubis, Adi Sutjipto, dan Ridwan M. Daulay
6. Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia (α & β) dan Hemoglobin-E pada Penduduk 117
Medan
Ratna Akbari Ganie
y TINJAUAN PUSTAKA
7. Korioamnionitis sebagai Faktor Risiko Terjadinya Palsi Serebral 123
Siska Mayasari Lubis
8. Elektroensefalografi (EEG): Patofisiologi Timbulnya Gelombang dan Beberapa Jenis 128
Gelombang Normal pada EEG
Aldy S. Rambe
9. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek 133
Akhyar H. Nasution
10. Pendekatan Diagnosis Pucat pada Anak 139
Nelly Rosdiana
y LAPORAN KASUS
11. Femur Metastase Papillary Carcinoma of The Thyroid 144
T. Ibnu Alferraly
12. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS 151
Dalton Silaban, Kiking Ritarwan, dan Rusli Dhanu

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 vi


6
KARANGAN ASLI

Kombinasi Kina-Klindamisin 3 Hari


pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi
Lambok Siahaan
Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Nias Selatan mulai bulan Agustus sampai
dengan Desember tahun 2006. Pemberian Kombinasi Kina-Klindamisin selama 3 hari diberikan
pada penderita malaria falciparum, setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan apusan darah.
Pada akhir penelitian, 2 orang dikeluarkan karena tidak bersedia ikut pemeriksaan ulangan.
Sehingga jumlah sampel diakhir penelitian adalah 31 orang. Tidak dijumpai adanya Kegagalan
Pengobatan baik Kegagalan Pengobatan Dini ataupun Kegagalan Pengobatan Kasep. Hal ini
dikarenakan terjadi penurunan Kepadatan Parasit sejak H1 dan tidak lagi dijumpai pada H28.
Efek samping yang muncul lebih ringan, sehingga mengurangi ketidakpatuhan dalam
menyelesaikan pengobatan.
Kata kunci: malaria falciparum tanpa komplikasi, kombinasi kina-klindamisin, kepadatan parasit,
efek samping obat, efikasi

Abstract: The research was conducted in South of Nias, Nias Island, from August to December
2006. Blood examination was done to the patients and then all of them were given Quinine-
Clindamycin combination for 3 days. At the end of the research, 2 persons were excluded from
the study because of reject to continue the follow up. So there were only 31 persons who finished
the research. There were no treatment failure. The parasite density was declined from D1 and did
not appear again in D28. There were minimun side effect of the drugs that made patients’s
compliance to complete the treatment.
Keywords: uncomplicated falciparum malaria, quinine-clindamycin combination, parasite
density, side effect, efficacy

PENDAHULUAN dan aditif. Selain kombinasi berbasiskan


Resistensi antimalaria, terutama klorokuin Artemisinin, WHO juga menganjurkan
telah banyak dilaporkan walau penyebarannya penggunaan kombinasi antimalaria lainya,
tidak merata, namun semua propinsi telah terutama obat antimalaria yang sudah cukup
melaporkan kasus resistensi obat tersebut, dikenal masyarakat dan masih memiliki efikasi
3
termasuk Provinsi Sumatera Utara. yang baik di daerah tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara Kina merupakan obat antimalaria yang
in vivo pada tahun 2001, dijumpai kasus sudah lama dikenal masyarakat, mudah
resistensi terhadap klorokuin di Siabu diperoleh dan relatif murah serta masih
Kabupaten Mandailing Natal sebesar 47,5% memiliki efikasi yang tinggi di Indonesia,
1
dan Sulfadoksin-Pirimetamin sebesar 50%. walau di beberapa negara sudah pernah
Begitu pula penelitian yang dilakukan di dilaporkan penurunan efikasinya. Penggunaan
Kabupaten Langkat, telah dijumpai resistensi Kina secara monoterapi, minimal 5 - 7 hari,
2
klorokuin. menyebabkan efek samping yang tidak
Penggunaan obat secara kombinasi dapat menyenangkan, sehingga dapat menyebabkan
mengurangi cepatnya perkembangan resistensi ketidakpatuhan penderita dalam menyelesaikan
serta meningkatkan efek obat secara sinergis pengobatan. Selain itu pemberian obat

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 88


Karangan Asli

antimalaria secara monoterapi tidak Darah diambil pada ujung jari penderita yang
4
disarankan lagi. ditusuk dengan menggunakan lancet steril
Klindamisin, antibiotik yang juga bersifat setelah terlebih dahulu dibersihkan dengan
skizontosida darah, merupakan salah satu memakai kapas alkohol. Darah tetes pertama
pilihan pasangan untuk Kina. Kombinasi Kina dibuang dan selanjutnya diletakkan pada dua
dan Klindamisin dapat mengurangi frekuensi object glass, masing-masing di bagian
dan durasi pengobatan tanpa mengurangi tengahnya sebanyak ± 2 tetes. Untuk apusan
efikasinya, sehingga mengurangi darah tebal tetesan darah tersebut diaduk
ketidakpatuhan penderita. Klindamisin cukup dengan menggunakan ujung object glass yang
tersedia di banyak tempat, juga relatif lebih lain. Sementara itu untuk apusan darah tipis
murah bila dibandingkan dengan derivat diratakan dengan menggunakan tepi sisi object
artemisinin, serta relatif lebih aman bagi anak- glass dengan cara mendorong dari satu arah ke
3
anak dan ibu hamil. arah yang berlawanan. Kemudian dikeringkan
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pada suhu kamar. Setelah kering, apusan
efikasi kombinasi Kina-Klindamisin yang darah tipis di-fiksasi dengan metanol sebelum
diberikan selama 3 hari pada malaria diberi pewarnaan, sementara apusan darah
falciparum tanpa komplikasi, serta mengamati tebal langsung diberi pewarnaan. Pewarnaan
efek samping obat yang muncul. dilakukan dengan menggunakan Giemsa 10%
selama 10-15 menit, lalu dibilas dengan air
BAHAN DAN CARA kran yang mengalir. Setelah kering, siap untuk
Penelitian ini dilakukan secara uji klinis diperiksa dengan pembesaran mikroskop
terbuka dan dilaksanakan di Kabupaten Nias sebesar 1000x, untuk melihat ada tidaknya
Selatan mulai bulan Agustus sampai dengan Plasmodium falciparum serta menghitung
Desember 2006. Populasi penelitian adalah kepadatannya.
5

penduduk yang bertempat tinggal di tempat Sampel diperoleh melalui beberapa cara,
penelitian. Populasi terjangkau adalah pasien yaitu sampel datang untuk berobat di pos
dengan keluhan demam atau riwayat demam pemeriksaan atau pemeriksaan dilakukan di
satu minggu terakhir. Diagnosa malaria rumah. Sampel yang memenuhi kriteria, akan
ditentukan dengan pemeriksaan apusan darah diberikan pengobatan dengan Kina Sulfat 10
(mikroskopis). mg/kgBB/kali, tiga kali sehari selama 3 hari
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi dan Klindamisin Hidroklorida 15
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan mg/kgBB/kali, tiga kali sehari selama 3 hari.
6

apusan darah. Sebelum pemeriksaan Pengamatan lanjutan dilakukan pada hari


dilakukan, peneliti memberi penjelasan pertama (H1), hari ke-2 (H2), hari ke-3 (H3),
tentang apa yang akan dilakukan sambil hari ke-7 (H7), hari ke-14 (H14) dan hari ke-
menanyakan kesediaan pasien untuk ikut 28 (H28) setelah pengobatan. Pengamatan
dalam penelitian. Kesediaan pasien untuk ikut dilakukan dengan cara mendatangi penderita
penelitian ditandai dengan penandatanganan ke rumah. Hal yang diamati antara lain gejala
informed consent. dan tanda klinis malaria, kepadatan parasit
Anamnesa pribadi meliputi identitas dan efek samping obat serta komplikasi
pasien, keluhan penyakit saat ini, riwayat malaria ataupun keadaan klinis lain yang
penyakit-penyakit kronik terdahulu, riwayat dianggap penting. Penilaian pasien dilakukan
penyakit malaria dan riwayat penggunaan obat sesuai dengan kriteria WHO.
7

antimalaria.
Pemeriksaan fisik diagnostik yang HASIL PENELITIAN
dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi Dari 33 orang yang mengikuti dari awal
dan auskultasi untuk mendapatkan tanda penelitian ini, 2 orang dikeluarkan karena
objektif mengenai kondisi pasien dan tidak bersedia lagi mengikuti pemeriksaan
dikaitkan dengan kebutuhan pada penelitian. darah pada H14. Sehingga jumlah sampel
Pemeriksaan apusan darah meliputi yang mengikuti penelitian sampai pada H28
pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis. adalah 31 orang (Gambar 1).

89 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Lambok Siahaan Kombinasi Kina-Klindamisin…

Periksa Darah semakin menghilang pada H2. Sejak dari H3


tidak lagi dijumpai adanya parasit pada apusan
Pasien Malaria darah, sampai dengan H28.

Tabel 3. Kepadatan parasit


Plasmodium falciparum
Hari Pengamatan Kepadatan Parasit (/mm3)
Mean SD
Awal Penelitian:
Kombinasi Kina-Klindamisin 3 Hari H0 496,77 413,51
33 orang H1 67,1 89,08
H2 9,03 28,68
H3 0 -
Exclusi 2 orang
H7 0 -
Akhir Penelitian: H14 0 -
Kombinasi Kina-Klindamisin 3 Hari H28 0 -
31orang

Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan bahwa


Gambar 1. Alur pemeriksaan
efek samping yang paling banyak muncul pada
pemberian kombinasi Kina-Klindamisin adalah
Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok telinga berdengung, pusing dan gangguan
umur yang terbanyak ikut dalam penelitian ini pencernaan. Telinga berdengung paling banyak
adalah kelompok umur 35-44 tahun. muncul pada H3 (45,8%) dan masih terus
Sementara itu, lebih banyak perempuan yang dirasakan oleh 6,4% penderita sampai pada H7.
menderita malaria daripada laki-laki. Namun efek samping tersebut tidak lagi dirasakan
pada H14.
Tabel 1. Karakteristik penderita malaria
Karakteristik
Pengobatan Kombinasi Kina Tabel 4. Efek samping obat
( n=31)
Pengobatan Kombinasi Kina
Kelompok Umur Efek Samping Obat
a.15-24 tahun 2 (6,5%) ( n=31)
b.25-34 tahun 5 (16,1%) Telinga Berdengung 24 (77,4%)
c.35-44 tahun 11 (35,5%) Pusing 13 (41,9%)
d.45-54 tahun 9 (29%)
e.> 55 tahun 4 (12,9%) Gangguan Pencernaan 10 (32,3%)
Jenis Kelamin
a.Laki-laki 6 (19,4%)
b.Perempuan 25 (80,6%) Tabel 5. Telinga berdengung
Telinga Berdengung
Tabel 2 menunjukkan bahwa gejala klinis Waktu Muncul
( n=24)
yang paling banyak muncul adalah pusing (48,4%) Muncul pada H1 4 (16,7%)
dan demam (41,9%). Pada pemeriksaan tanda
Muncul pada H2 9 (37,5%)
klinis, yang dijumpai hanyalah kenaikan suhu
Muncul pada H3 11 (45,8%)
tubuh pada 80,7% penderita malaria, tanpa ada
Tetap ada pada H7 2 (8,3%)
pembesaran limfa pada semua penderita malaria.
Tetap ada pada H14 0 (0%)
Tabel 2. Gejala klinis dan tanda klinis
Karakteristik
Pengobatan Kombinasi Kina DISKUSI
( n=31)
Gejala Klinis Peluang terjadinya penyakit malaria
a. Demam 13 (41,9%) sangat ditentukan oleh seberapa besar
b. Menggigil 3 (9,7%)
c. Pusing 15 (48,4%)
penderita kontak dengan vektor pembawa
d. Badan Pegal 9 (29%) penyakit, yang lebih banyak beraktivitas pada
e. Lemas 1 (3,2%)
f. Gangguan Pencernaan 3 (9,7%)
malam hari. Pada penelitian ini, kasus malaria
terbanyak dijumpai pada kelompok umur 35-
Tanda Klinis
a.Kenaikan Suhu Tubuh 25 (80,7%)
44 tahun, yang tentunya sangat berhubungan
b.Pembesaran Limfa 0 (0%) dengan aktivitas pada malam hari atau
pekerjaan yang berpeluang untuk kontak
Tabel 3 menunjukkan bahwa penurunan dengan vektor. Sementara itu, tingginya kasus
kepadatan parasit mulai terjadi pada H1 dan malaria pada perempuan lebih dimungkinkan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 90


Karangan Asli

karena komposisi penduduk yang memang Klindamisin yang sangat baik yaitu 100%.
lebih banyak perempuan dibandingkan dengan Sementara pada intention to treat analysis
laki-laki.
8
(tetap mengikutkan sampel drop out), efikasi
Gejala klinis yang dijumpai umumnya masih tetap baik, yaitu sebesar 94%. Hal ini
adalah demam, menggigil, badan pegal, tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
pusing, gangguan pencernaan dan lemas. yang dilakukan Metzger dkk di daerah
Demam sebagai salah satu gejala klasik endemis malaria di Afrika, dengan efikasi
10 15
malaria, tidak selalu harus ada pada penderita sebesar 92% , Ramharter dkk sebesar 94%
malaria, terutama di daerah endemis malaria. dan 97% pada penelitian yang dilakukan oleh
16
Sementara itu tanda klinis yang ada hanyalah Vailant dkk.
kenaikan suhu tubuh, tanpa ada pembesaran
limfa. Hal ini dapat saja terjadi oleh karena KESIMPULAN
perbedaan sistem imunitas tubuh.
9 Kombinasi Kina-Klindamisin mempunyai
Kepadatan parasit mulai menurun pada kemampuan yang sangat baik dalam menurunkan
kepadatan parasit. Pemberian kombinasi Kina-
H1, menghilang pada H3 dan tidak dijumpai
Klindamisin selama 3 hari lebih ekonomis dan
lagi pada H28. Hal ini juga diikuti dengan
efek samping yang muncul lebih ringan, sehingga
menghilangnya gejala klinis mulai pada H2
semakin meningkatkan kepatuhan penderita
dan tidak dijumpai lagi sampai pada H28.
dalam menyelesaikan pengobatan.
Penurunan kepadatan parasit bersifat
Jika dibandingkan dengan kombinasi
individual dan bergantung pada sistem derivat artemisinin, kombinasi kina
imunitas tubuh. Hasil ini menunjukkan bahwa merupakan alternatif yang cukup baik,
tidak dijumpai Kegagalan Pengobatan, baik mengingat derivat artemisinin masih sangat
Kegagalan Pengobatan Dini ataupun langka dan mahal.
Kegagalan Pengobatan Kasep. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa efikasi pemberian
kombinasi Kina dan Klindamisin pada DAFTAR PUSTAKA
penderita malaria masih cukup baik. 1. Ginting Y, Tarigan MB, Zein U,
Pusing dan gangguan pencernaan, sulit Pandjaitan B, 2001: The Comparison of
dibedakan kemunculannya sebagai akibat Resistance of Chloroquine and
penyakit malaria atau sebagai efek samping Pyrimethamine - sulfadoxine in
obat, terutama bila keluhan tersebut sudah Uncomplicated Malaria falciparum in
ada sejak awal pengobatan dan tetap ada Siabu District, Mandailing Natal Regency
selama pengobatan. Efek samping obat seperti Sumatera Utara Province, Kongres
Telinga Berdengung (Tinnitus) dan Gangguan Bersama PETRI, Yogyakarta.
Pencernaan, lebih dominan diakibatkan oleh 2. Khairina NA, Siahaan L, Zein U,
Kina. Hal yang sama didapatkan juga dalam Resistensi Plasmodium vivax terhadap
penelitian yang dilakukan Parola dan Klorokuin di Kecamatan Tanjung Pura
10,11
Meztger. Kabupaten Langkat Sumatera Utara,
Tinnitus paling banyak muncul pada H3 dan 2003.
semakin mengganggu terutama pada H4.
Penggunaan Kina dalam waktu yang lama, akan 3. World Health Organization, 2006,
menimbulkan efek samping yang semakin Guidelines For The Treatment of Malaria,
mengganggu.
3,4,12
Efek samping yang Geneva
berkepanjangan akan menyebabkan ketidak- 4. Tracy JW, Webster LT, 1996, Drugs Used
patuhan penderita dalam menyelesaikan In The Chemotherapy Of Protozoal
pengobatan. Ketidakpatuhan penderita dalam Infections. In: Goodman & Gilman’s The
menyelesaikan pengobatan karena efek samping Pharmacological Basis of Therapeutics,
obat, banyak dijumpai pada pemberian kina McGraw-Hill, Ninth Edition: 965-983.
selama 5 hari atau lebih, seperti yang banyak 5. Departemen Kesehatan Republik
13,14
dijumpai pada penelitian kina. Indonesia, Pedoman Penatalaksanaan
Pada on treatment analysis (tidak Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen
mengikutkan sampel drop out dalam analisa), Pemberantasan Penyakit Menular dan
didapatkan efikasi kombinasi Kina- Penyehatan Lingkungan, 2006.

91 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Lambok Siahaan Kombinasi Kina-Klindamisin…

6. Lell B, Kremsner PG, 2002, Clindamycin 12. Katzung BG, 1998, Chloramphenicol,
as an Antimalarial Drug: Review of Tetracyclines, Macrolides, Clindamycin &
Clinical Trials, Antimicrobial Agents and Streptogramins ; Antiprotozoal Drugs In :
Chemotherapy, Vol. 46, No. 8 : 2315– Basic & Clinical Pharmacology, Lange
2320. Medical Books, Seventh Edition : 748-
751; 838-853.
7. World Health Organization, 2003,
Assessment and Monitoring of 13. Jouan LMV, Jullien E, Tetanye A, Tran E,
Antimalarial Drug Efficacy for the Rey, Treluyer JMM, Tod G, Pons, 2005,
Treatment of Uncomplicated Falciparum Quinine Pharmacokinetics and
Malaria. World Health Organization. Pharmacodynamics in Children with
Geneva: 10-12, 50-51, 55-56, 60-65. Malaria Caused by Plasmodium
falciparum, Antimicrobial Agents and
8. Hakim L, Laporan Akhir Pendampingan
Chemotherapy, Vol. 49, No.9 : 3658–
Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias
3662.
Selatan Propinsi Sumatera Utara, Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan 14. Rogier C, Brau R, Tall A, Cisse B, Trape
Penyehatan Lingkungan, Departemen JF, 1996, Reducing the oral quinine-
Kesehatan Republik Indonesia, 2006. quinidine-cinchonin (Quinimax)
treatment of uncomplicated malaria to
9. Harijanto PN, Gejala Klinik Malaria,
three days does not increase the
Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria,
recurrence of attacks among children
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
living in a highly endemic area of Senegal,
Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit
Trans R Soc Trop Med Hyg, 90(2): 175-8.
Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 151-
160. 15. Ramharter M, Oyakhirome S,
Klouwenberg PK, Adegnika AA, Agnandji
10. Metzger W, Mordmuller B, Graninger W,
ST, Missinou MA, Matsiegui PB,
Bienzle U, Kremner PG, 1995, High
Mordmuller B, Borrmann S, Kun JF, Lell
Efficacy of Short-Term Quinine-
B, Krishna S, Graninger W, Issifou S,
Antibiotic Combinations for Treating
Kremsner PG, 2005, Artesunate-
Adult Malaria Patients in an Area in
Clindamycin versus Quinine-Clindamycin
Which Malaria is Hyperendemic,
in the Treatment of Plasmodium
Antimicrobial Agents and Chemotherapy,
falciparum Malaria: A Randomized
Vol. 39, No. 1 : 245–246.
Controlled Trial, Clinical Infectious
11. Parola P, Ranque S, Badiaga S, Niang M, Diseases, Volume 40 : 1777 – 1784.
Blin O, Charbit JJ, Delmont J, Brouqui P,
16. Vaillant M, Millet P, Luty A, Tshopamba
2001, Controlled Trial of 3-Day Quinine-
P, Lekoulou F, Mayombo J, Georges AJ,
Clindamycin Treatment versus 7-Day
Deloron P, 1997, Therapeutic efficacy of
Quinine Treatment for Adult Travelers
clindamycin in combination with quinine
with Uncomplicated Falciparum Malaria
for treating uncomplicated malaria in a
Imported from the Tropics, Antimicrobial
village dispensary in gabon, Tropical
Agents and Chemotherapy, Vol. 45, No.
Medicine & International Health, Volume
3 : 932–935.
2, Number 9 : 917-919.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 92


Kajian Molekular Mutant Del-SEA Thalassemia-α pada Populasi Medan
Ratna Akbari Ganie
Departemen Patologi Klini, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstrak: Jumlah total dari 1.521 merupakan individu dewasa sehat dari tujuh kelompok etnik
berbeda yang hidup di kota Medan yang tersaring pembawa α thalessemia dengan hemoglobin
electrophoresis. Diantara semua sampel, 51 orang dicurigai terdapat ciri thalassemia, mutasi DNA
dideteksi dengan metode PCR. Mutasi 21 del-SEA ditemukan pada suku Aceh sebanyak 3.5%,
2.97% di suku Melayu, 2,69% Cina, 1,71% suku Jawa, 1.19% suku Batak dan tidak ditemukan
pada suku Minangkabau dan Nias. Mutasi 21 del-SEA biasanya juga ditemukan pada populasi di
Asia Tenggara dan Pasifik atau gen Mongoloid dan Malenesian sepanjang 17.5 kb pada gen globin
α1 maupun α1. Penggolongan subjek homozigot dengan cara menurunkan atau menghilangkan gen
globin pada hipokromik, anemia hemolitik, dan ketergantungan pada tranfusi darah untuk
memperpanjang hidup orang yang terjangkit thalassemia-α. Berdasarkan pada pembiayaan ini,
dapat dipahami bahwa semua kelompok etnik yang ada di Medan secara genetik termasuk ke
dalam bagian gen Mongolia dan Malanesia.
Kata kunci: α-thalassemia, mutan del-SEA, kelompok etnik di Medan

Abstract: A total number of 1.521 apparently healthy adult individuals from seven mayor
different ethnic groups who habited Medan were screened for α-thalassemia carrier by
hemoglobin electrophoresis. Among these, 51 subjects were suspected as α-thalassemia trait; the
DNA mutation were determined using PCR method to detect the del-SEA mutation performance.
During this study, 21 del-SEA mutations have been identified by specific olygonucleotides primers
in descending frequencies, 3.5% in Aceh; 2.97% in Malay; 2,69% in Chinese; 1.71% in Javanese;
1,19% in Batak and absent in Minang and Nias. The del-SEA mutant was commonly found in
Southeast Asian and Pacific populations or Mongoloid and Melanesian gene pools result in about
17.5 Kb deletion along the α1 and α2 globin genes. The homozygote subject characterized by
reduced or absent of α-globin gene expression leading to hypochromic, hemolytic anemia and
dependence on blood transfusions to sustain life which was known as thalassemia-α. Based on this
funding, understandable that these Medan’s ethnic groups genetically share the Mongoloid and
Melanesian gene pools.
Keywords: α-thalassemia, del-SEA mutant, Medan’s ethnic group

PENDAHULUAN yang menyebabkan gangguan sintesis globin-α


Seperti daerah endemik malaria lainnya, ini cukup tinggi pada populasi Asia Daratan
2
keberadaan penyakit thalassemia dan dan Pasifik. WHO (1994) memperkirakan
hemoglobinopatia pada penduduk Indonesia terdapat kira-kira 13.000–16.000 bayi
cukup tinggi, sebagai seleksi positif terhadap invasi thalassemia-α baru, lahir setiap tahunnya di
1
plasmodium (Flint et al., 1993). Dari beberapa seluruh dunia dan jika mereka dapat mencapai
penelitian terdahulu telah dilaporkan bahwa usia dewasa maka diperkirakan ada 680.000
keberadaan thalassemia-β dan Hemoglobin-E penderita thalassemia-α di Asia Tenggara
cukup tinggi baik dalam skala sporadis maupun (Higgs, 1983).
3,4
Prevalensi thalasemia-α
nasional, bahkan pada beberapa populasi sangat tinggi pada ras Mongoloid terutama di
frekuensinya mencapai >15%. Sementara itu, China daratan yang pada beberapa populasi
penelitian tentang keberadaan thalassemia-α terdahulu dapat mencapai 42% ((Lie et al.,
5,6
masih sangat terbatas, walaupun telah dilaporkan 1982; Yang et al, 1985).
oleh Hill et al., (1989) bahwa prevalensi mutasi

93 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Ratna Akbari Ganie Kajian Molukuler Mutant…

Sementara itu, angka yang banyak dirujuk biaya yang sangat besar dan survival ratenya
para ahli epidemiologi genetic Indonesia maksimal 15 tahun (Kanokpongsakdi et al.,
15,16
adalah estimasi Wong (1983) yang 1990; Cao et al., 1999). Terapi gen sendiri
memperkirakan terdapat kira-kira 0,5% carrier untuk penderita thalassemia-α memang telah
thalassemia-α di Indonesia secara nasional, dilakukan di Amerika tetapi masih terbatas
jauh di bawah angka pembawa sifat pada skala penelitian belum untuk pelayanan
17
thalassemia-β yang diperkirakan mencapai (Weatherall and Clegg, 2001). Dengan
7
3,5% dan Hb-E yang mencapai 5%. Nanum demikian dapat disimpulkan bahwa tindakan
demikian banyak peneliti percaya bahwa preventif merupakan strategi yang paling tepat
angka thalassemia-α jauh di atas angka dalam managemen penyakit thalassemia.
tersebut, bahkan pada beberapa populasi Berdasarkan latar belakang di atas maka
Indonesia di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi dilakukan penelitian tentang kajian molekular
yang telah diteliti mencapai 2,5- 3-2% thalassemia-α pada penduduk kota Medan
8
(Setianingsih, 2003). Dugaan tersebut untuk mengetahui keberadaan mutasi paling
SEA
diperkuat dengan keberadaan kasus bayi umum del – pada berbagai kelompok suku
Hydrop Fetalis dan Hb-H yang dijumpai di di Medan. Data yang diperoleh diharapkan
rumah sakit-rumah sakit rujukan cukup tinggi. dapat menjadi acuan dasar dalam
Walaupun keberadaan thalassemia-α di pengembangan prenatal diagnosis dalam
Medan telah pernah dilaporkan sebelumnya managemen penyakit thalassemia di Medan
oleh Hariman et al.(1984) yaitu masing- dan sekitarnya sehingga munculnya bayi
masing sebesar 2,5% untuk thalassemia-α dan
o
hidrop fetalis dan Hb H dapat dihindari.
+
thalassemia-α , tetapi masih terbatas pada aras
Biokimiawi melalui skrining hematologis.
9
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian tingkat molekular untuk Populasi dan Sampel
mengetahui dasar molekular penyakit tersebut Sampel DNA dikoleksi dari darah vena
pada populasi Medan sampai saat ini belum 1.521 individu dewasa sehat, pendonor darah
pernah dilakukan. Sebelumnya telah dengan kisaran umur 18–59 tahun, terdiri dari
dilaporkan terdapat setidaknya 37 jenis mutan 1.306 laki-laki dan 215 perempuan. Sampel
pada gen globin-α1 dan globin-α2 sebagai darah dikoleksi dari 7 kelompok etnik
o
penyebab thalassemia-α dan thalassemia-α di
+ penduduk kota Medan yang mewakili
seluruh dunia (Huisman et al., 1997). Mutasi
10 populasi penduduk yang dominan. Komposisi
paling umum pada populasi Asia–Pasifik jumlah sampel wakil tiap suku diambil
adalah delesi 4,2 Kb dan 3,7 Kb yang sedemikian rupa sehingga mendekati keadaan
+
menyebabkan thalassemia-α (Hill et al., sebenarnya yang merupakan representasi
1989). Mutasi paling sering di Populasi Asia komposisi penduduk kota Medan berdasarkan
Tenggara yang mendapat pengaruh kuat data Sensus Penduduk tahun 2000 (Katalog
18
unggun gen Mongoloid adalah mutasi –
SEA BPS; 2110.12.).
sepanjang 17,5 Kb pada gen globin-α1 Cara Penelitian
maupun globin-α2 (Bowden et al., 1992). Terhadap 51 sampel darah dari
Mutan ini menyebabkan sintesis protein keseluruhan 1.521 sampel yang diperiksa,
globin-α gagal karena tidak terbentuknya yang terdeteksi sebagai carrier thalasemia-α,
mRNA, sehingga bentuk homozigotnya secara hematologis atau biokimiawi berdasarkan
menyebabkan bayi Hydrop Fetalis yang serangkaian hasil pemeriksaan indeks hematologis,
bersifat lethal (Pressley et al., 1980; Wasi, serum feritin dan tranferin, kuantifikasi HbA2 dan
12,13
1983). Distribusi mutan tersebar pada keberadaan badan inklusi, selanjutnya dilakukan
populasi Thailand, Malaysia dan Philipina pemeriksaan DNA.
dengan frekuensi polymorfik mencapai 5% Isolasi DNA dari buffycoat dilakukan dengan
14
(Wasi, 1981). metode modifikasi Lysis buffer Sucrose–Tris HCl-
Pengetahuan tentang dasar molekular SDS (Gibco-BRL) dilanjutkan dengan purifikasi
thalassemia-α sangat penting untuk DNA menggunakan Proteinase-K (Merck) dan
mempersiapkan prenatal diagnosis pada awal Proteinase-E (Merck). Deteksi mutan –
SEA

kehamilan, yang merupakan salah satu strategi dilakukan dengan teknik Polymerase Chaín
untuk mengurangi insidensi penderita Reaction (PCR) menggunakan 3 primer Southeast
thalassemia-α yang baru. Sampai saat ini Asian Type (Nicholl et al., 1987; Chang et al.,
belum ada terapi kuratif yang memadai untuk 1991; Bowden et al, 1992) dari Sigma:
11,19,20

penderita, walaupun cangkok sumsum tulang


telah berhasil dilakukan, tetapi dibutuhkan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 94


Karangan Asli

Tabel 1. Distribusi jumlah sampel penelitian tiap suku terhadap komposisi penduduk Kota Medan pada Sensus
Penduduk 2000 dan jumlah carrier Thalassemia-α.
Jumlah Sampel Jumlah Penduduk ∑ Carrier Thal-α
Penelitian Medan SP 2000* Ratio ∑ : SP
Suku n % % n %
33,07 641.782 33,70
1. Batak 503 Relatif sama 9 1,78
30,64 628.898 33,03
2. Jawa 466 Relatif sama 17 3,64
14,66 202.839 10,65
3. Cina 223 Relatif sama 15 6,72
8,94 125.557 6,59
4. Melayu 136 Relatif sama 6 4,41
8,42 163.774 8,60
5. Minangkabau 128 Relatif sama 2 1,56
3,75 53.011 2,78
6. Aceh 57 Relatif sama 2 3,07
0,53 13,159 0,69
7. Nias 8 Relatif sama 0 0
0 0,00 75.253 3,95
8. Lain-lain suku Berbeda 0 0
Jumlah 1.521 100 1.904.273 100 51 3,35
* SP = Sensus Penduduk

A4 Forward = 5’-GGG-GCG- CCT-TGG- dalam buffer TBE 1x (Gibco-BRL) dengan


GGA-GGT-TC-3’ pengecatan ethidium bromida. Sebagai
A1B Reverse = 5’-GTT-CCC-TGA-GCC- standard digunakan DNA marker DNA 100bp
CCG-ACA-CG-3’ ladder (Amersham Pharmacia Biotech).
A9 Reverse = 5’-ATA-TAT-GGG-TCT-
GGA-AGT-GTA-TC-3’ HASIL PENELITIAN
Pola elektroforesis hasil PCR DNA mutan
Reaksi dilakukan dengan komposisi 10x del
–SEA
17 Kb Southeast Asia type dan pola
buffer PCR (Roche) 2 mM dNTPs (Perkin- DNA normal atau non-del
-SEA
pada 1,55%
Elmer), 25 mM MgCl2, 10 pmole masing- agarosa dapat dilihat pada gambar berikut:
masing primer dan 0,2 IU enzim Tag
Polymerase (Perkin Elmer) dengan 1 2 3
Termocycler Gene Amp® PCR System 2400
Perkin Elmer. Siklus PCR diawali dengan hot
start pada 95oC selama 1 menit, annealing
o
pada suhu 63 C selama 1 menit dikuti dengan
o
fase ekstensi selama 30 detik pada suhu 72 C.
Inkubasi utama dilakukan pada siklus
o
denaturasi pada suhu 95 C selama 1 menit; 570 bp
o
annealing pada suhu 63 C selama 1 menit dan
o
ekstensi pada suhu 72 C selama 1 menit
sebanyak 30 siklus. Diakhiri dengan fase 194 bp
o
terminasi dengan suhu denaturasi 95 C selama
o
30 detik; annealing pada 63 C selama 1 menit
o
dan ekstensi pada suhu 72 C selama 10 menit.
Pasangan primer A4 dan A1B akan
menghasilkan fragmen DNA sepanjang 194
bp pada sampel DNA normal maupun
SEA
mutan– , sedangkan pasangan primer A4
dengan A9 akan menghasilkan fragment DNA Gambar 1. Pola Elektroforesis 1,55% agarosa hasil
sepanjang 570 bp pada sampel DNA mutan– PCR sampel DNA del --SEA . 1= Marker
SEA
dan tidak dijumpai pada DNA normal. DNA 100 bp Ladder, 2 = DNA non-del-SEA,
3 = DNA del-SEA
Visualisasi fragment DNA hasil PCR
dilakukan dengan elektroforesis1,55% agarosa

95 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Ratna Akbari Ganie Kajian Molukuler Mutant…

Tabel 2. Distribusi Carrier Thalassemia-α0 del –SEA 17,5 Kb dan non- del--SEA 17,5 Kb pada berbagai suku
penduduk Kota Medan
∑ Sampel ∑carrier ∑carrier ∑carrier
Penelitian thal-α Del-SEA 17,5 kb Non Del-SEA 17,5 Kb
Suku n % n % n % n %

33,07
1. Batak 503 9 1,78 6 1,19 3 0,59
30,64
2. Jawa 466 17 3,64 8 1,71 9 1,93
14,66
3. Cina 223 15 6,72 6 2,69 9 4,03
8,94
4. Melayu 136 6 4,41 4 2,94 2 1,47
8,42
5. Minangkabau 128 2 1,56 0 0,00 2 1,56
3,75
6. Aceh 57 2 3,07 2 3,50 0 0,00
0,53
7. Nias 8 0 0 0 0,00 0 0,00
1.521 100
Jumlah 51 3,35 26 1,70 25 1,64

Tabel 3. Persentase carrier thal-α del-SEA terhadap seluruh carrier thal-α pada bebagai suku di Medan
∑carrier ∑carrier ∑carrier
thal-α Del-SEA 17,5 kb Non Del-SEA 17,5 Kb
Suku n % n % n %

1. Batak 9 100 6 66,7 3 33,3

2. Jawa 17 100 8 47,0 9 53,0

3. Cina 15 100 6 40,0 9 60,0

4. Melayu 6 100 4 66,7 2 33,3

5. Minangkabau 2 100 0 0,0 2 100,0

6. Aceh 2 100 2 100,0 0 0,0

7. Nias 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Jumlah 51 26 50,98 25 49,02

SEA
Deteksi mutasi gen delesi – 17,5 Kb sering dijumpai pada populasi Filipina,
13
terhadap 51 sampel DNA carrier thalassemia- Thailand dan Hawai (Wasi, 1983).
α pada penduduk kota Medan menunjukkan
SEA
Mutasi – diakibatkan delesi sepanjang
hasil seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. kira-kira 17,5 Kb yang mengakibatkan
sebagian fragmen kedua gen globin-α, baik α1
PEMBAHASAN maupun α2 ikut hilang, sehingga sintesis
Analisis molekular terhadap 51 sampel globin-α tidak terjadi atau thalassemia-α0
21
DNA yang dicurigai sebagai pembawa sifat (Liebhaber et al., 1985). Mutan ini banyak
(carrier) thalassemia-α, 26 sampel (51%) di dijumpai pada populasi yang mendapat kuat
antaranya ternyata positif mengalami mutasi unggun gen Mongoloid misalnya Asia Timur
delesi del
-SEA
sepanjang 17,5 Kb pada maupun Asia Tenggara. Keberadaan gen ini
dalam suatu populasi perlu diwaspadai karena
kromosom 11. Hasil penelitian ini tidak
bentuk homozigotnya menghasilkan bayi
mengejutkan karena sebelumnya telah
-SEA hydrop fetalis yang bersifat lethal. Jika gen
dilaporkan bahwa mutasi del merupakan tersebut berkombinasi dengan alel lainnya
mutasi utama pada populasi Asia Tenggara yang juga sering dijumpai pada populasi Asia
dan Pasifik di samping mutasi delesi utama 4,2
Tenggara seperti del (α) , del (α) dan
3,7
4,2 3,7
lainnya seperti del (α) dan del (α) dan Constant spring (CS) maka akan
Fil Thai HW
mutasi minor delesi – , -- dan – yang menghasilkan bayi Hb-H yang secara klinik

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 96


Karangan Asli

sama dengan thalassemia Intermedia atau DAFTAR PUSTAKA


Mayor yang membutuhkan transfusi darah 1. Flint J, Harding R, Clegg JB and Boyce A
rutin seumur hidupnya (Bowden et al., (1993). Why are some genetic diseases so
11
1997). common? Distinguishing selection from
Hasil penelitian menunjukkan bahwa other process by molecular analysis of
SEA
mutan del– dominan (>50%) ditemukan globin gene variants. Hum Genet. 91:91-
pada total carrier thalassemia-α dibanding 117.
dengan mutan lainnya pada populasi Batak 2. Hill, A.V.S., O’Shaughnessy, D.F. and
dan Melayu (66,7%), dan Aceh (100%).
Clegg, J.B. 1989. Haemoglobin and globin
Mutan ini ditemukan dengan frekuensi lebih gene variants in the Pacific. In: Hill
rendah pada populasi Medan non-Melayu
A.V.S. and Serjeantson S.W. (eds); The
yaitu 47% dan 40% pada populasi Jawa dan
Colonization of the Pacific; a genetic trial.
China. Angka tersebut relevan dengan hasil
Clarendon Press. Oxford. UK.
penelitian sebelumnya. George (1994)
SEA
melaporkan bahwa frekuensi gen del– pada 3. WHO (1994) Guidelines for the control
populasi Melayu di Semenanjung Malaya of haemoglobin disorders. Report of the
mencapai 4,5% atau 61,3% dari keseluruhan VIth annual Meeting of the WHO
22
kasus thalassemia-α. Laporan lainnya juga Working Group on Haemoglobinopathies.
menyebutkan bahwa mutasi yang sering Cagliari. Sardinia, 8-9 April 1989. Word
dijumpai pada populasi China adalah del Health Organization, Geneva.
5,6
(α)((Lie et al., 1982; Yang et al, 1985). Dan
4,2 3,7 4. Higgs D.R, Wood WG., Jarman A.P.,
pada populasi Jawa del (α) , del (α)
8 Vickers M.A., Wilkie A.O., Lamb J., Vyas
(Setianingsih et al., 2003). Jika dilihat dari
P and Bannett J.P. (1990) The alpha
frekuensi gen dalam populasi secara
thalassenias. Ann.N.Y. Acad.Sci. 612:15-
keseluruhan maka mutant ini paling banyak
22.
dijumpai berturut-turut pada populasi Aceh
(3.5%); Melayu (2.97%); China (2,69%); Jawa 5. Li, AMC, Lee, FT and Tood D (1982)
(1.71%) dan Batak (1,19%) dan tidak The screening of Chinese blood cord
dijumpai pada populasi Minangkabau and blood for hemoglobinopathies. Hum
Nias. Hered 32 : 62-65
Hasil penelitian ini sangat berguna dalam
pengembangan prenatal diagnosis untuk 6. Yang TY, Yang XY and Chen WC (1985)
populasi Medan, dengan menetapkan mutasi Thalassemia in China. Ann N.Y. Acad.
SEA
del– menjadi prioritas utama dalam skrining Sci 445: 92-97.
prenatal diagnosis pada pasangan pembawa 7. Wong H.B (1983) Thalassemia as
sifat thalassemia-α, terutama jika mereka community health in Southeast Asia.
berasal dari etnik Batak, Melayu, Aceh, Jawa, Naskah Lengkap Kongres National
dan China. PHDTI. Yogyakarta 24-26 September
1983.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan 8. Setianingsih, I., Harahap, A. and
bahwa: Nainggolan, I.M. 2003. Alpha
- Mutant thalassemia-α paling sering thalassaemia in Indonesia: phenotypes and
dijumpai pada populasi Medan adalah del
- molecular defects. Tropical Diseases,
SEA
Edited by Marzuki, Verhoef, and Snippe.
-
-SEA
Mutan del dijumpai terutama pada suku Kluwer Academic/Plenum Publishers,
Aceh, Batak dan Jawa melebihi 50% dari New York. 47-56.
total kasus thalassemia-αyang ada. 9. Hariman, H., Abdullah, I., Nasution, B.
- Hasil penelitian dapat dilakukan sebagai 1984. Some aspects of alpha-thalassamias
acuan untuk pengembangan Prenatal
in the region. Medika X(1). 54: 24-28.
Diagnosis thalassemia-α untuk populasi
-SEA
Medan dengan menetapkan mutan del 10. Huisman, T.H.J., Carver, M.F.H. and
sebagai prioritas utama deteksi. Baysal, E. 1997. A Syllabus of
Thalassemia Mutations. The Sickle Cell
Anemia Foundation, Augusta. GA. P 235.

97 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Ratna Akbari Ganie Kajian Molukuler Mutant…

11. Bowden, D.K., Vickers, M.A. and Higgs, 17. Weatherall DJ and Clegg JB (2001) The
D.R. 1992. A PCR-based strategy to Thalassemia Syndromes, 4th eds. Blackwell
detect the common severe determinants Scientific Publ. Oxford. P 31-32
of α-thalassemia. Br. J. Haematol. 81:
18. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera
104-108.
Utara. 2001. Angka Sementara Penduduk
12. Pressley, L., Higgs, D.R., Clegg, J.B. and Sumatera Utara : Hasil Sensus Penduduk
Weatherall, D.J. 1980. Gene deletions in 2000. Katalog BPS: 2110.12.
an α thalassemia prove that the 5’ξ locus
is functional. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 19. Nicholls, R.D., Fischel-Ghodsian, N.,
77: 3586-3589. Higgs, D.R. 1987. Recombination at the
human α-globin gene cluster: sequence
13. Wasi, P. 1983. Population Screening. In: features and topological constraints. Cell.
Weatherall, D.J. (ed). Method in 49: 369-374.
Hematology. The Thalassemias. London.
Churchill Livingstone. 134-144. 20. Liebhaber S.A, Goorsens M and Kan Y.W
(1981) Cloning ang complete nucleotide
14. Wasi, P. 1981. Haemoglobinopathies sequence of the human 5’α-globin gene.
including thalassemia. Clin. Haematol. Proc. Natl.Acad.Scid USA 77:7054-7063.
10: 707-729.
21. Chang, J.G., L.S., Lin, C.P and Chen C.P.
15. Kanokpongsakdi, S., Winichagoon, P. and 1991. Rapid diagnosis of -thalassaemia-1
Fucharoen, S. 1990. Control of
of Southeast Asia type and hydrops fetalis
thalassaemia in Southeast Asia. Journal of
by polymerase chain reaction. Blood. 78:
Paediatrics, Obstetrics and Gynaecology.
853-854
Thailand. 9-14.
22. George, E., 1994. Diagnosis Pranatal
16. Cao, A., Galanello, R. and Rosatelli, M.C.
Talasemia di Malaysia. Universiti
1999. Prenatal diagnosis and screening of
the haemaglobinopathies. The Electronic
Kebangsaan Malaysia. 10-26.
Journal Of the International Federation
Of Clinical Chemistry And Laboratory
Medicine. Italy. 3: 1-11.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 98


Correlation between Daytime Sleepiness and Antiepileptic Drugs in
Generalized Tonic Clonic Epilepsy Patients in Epilepsy Outpatient Clinic at
Neurology Department University of Sumatera Utara, Medan, Indonesia
Silvana Asrini, Aldy S. Rambe, dan Darulkutni Nasution
Department of Neurology, North Sumatera Medical Faculty
And Haji Adam Malik Hospital
Medan, Indonesia

Abstract: Drowsiness is frequently reported in patients taking antiepileptic drugs (AEDs), but it
seems more prominent with some AEDs, and it is invariably enhanced by drug combination. This
study was aimed to assess correlation between daytime sleepiness and AEDs in generalized tonic
clonic epilepsy patients. A cross sectional study with subjects consisted of 40 consecutive adult
patients with generalized tonic clonic epilepsy, receiving AEDs monotherapy or polytherapy was
performed. Each patient was asked regarding the type and the dose of AEDs. Patients were self-
rated their own degree of sleepiness by using Epworth Sleepiness Scale and Stanford Sleepiness
Scale. In this research, 27 (67.5%) patients took monotherapy (phenytoin or carbamazepine), 13
(32.5%) patients took polytherapy (phenytoin-carbamazepine, phenytoin-phenobarbital or
phenytoin-valproic acid). Correlation between daytime sleepiness and AEDs in generalized tonic
clonic epilepsy patients was significant (p < 0.05). Epworth Sleepiness Scale and Stanford
Sleepiness Scale showed that there was a different level of sleepiness in each kind of AED. Most
subjects reported that they had moderate and severe daytime sleepiness after taking combination
of phenytoin and carbamazepine. Daytime sleepiness in patients receiving AEDs polytherapy
was higher than monotherapy (p < 0,05). There is a significant relationship between AEDs and
daytime sleepiness in patients with generalized tonic clonic epilepsy (p < 0.05). Sleepiness is
relatively higher in AEDs polytherapy than in monotherapy.
Keywords: antiepileptic drugs - daytime sleepiness – epilepsy

Abstrak: Mengantuk sering dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi obat anti epilepsi (OAE),
tetapi terlihat lebih menonjol pada beberapa OAE, dan bertambah lagi dengan kombinasi obat.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara daytime sleepiness dan OAE pada pasien
epilepsi umum tonik klonik. Suatu penelitian potong lintang dengan subjek yang terdiri dari 40
pasien dewasa epilepsi umum tonik klonik secara konsekutif, yang mendapat OAE monoterapi
atau politerapi. Setiap pasien ditanya mengenai tipe dan dosis OAE. Pasien disuruh menilai
sendiri tingkat mengantuknya dengan menggunakan Epworth Sleepiness Scale dan Stanford
Sleepiness Scale. Pada penelitian ini, 27 (67,5%) pasien menggunakan monoterapi (fenitoin atau
karbamazepin), 13(32,5%) pasien menggunakan politerapi (fenitoin-karbamazepin, fenitoin-
fenobarbital atau fenitoin-asam valproat). Hubungan antara daytime sleepiness dan OAE pada
epilepsi umum tonik klonik adalah signifikan (p < 0.05). Epworth Sleepiness Scale dan Stanford
Sleepiness Scale telah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat rasa mengantuk pada
masing-masing OAE. Kebanyakan subjek melaporkan bahwa mereka memiliki daytime sleepiness
yang sedang dan berat setelah mengkonsumsi kombinasi antara fenitoin dan karbamazepin.
Daytime sleepiness pada pasien yang mendapat OAE politerapi lebih tinggi dibanding monoterapi
(p < 0,05). Terdapat hubungan yang signifikan antara OAE dan daytime sleepiness pada pasien
epilepsi umum tonik klonik. Rasa mengantuk relatif lebih tinggi pada OAE politerapi dibanding
monoterapi.
Kata kunci: obat anti epilepsi – daytime sleepiness – epilepsi

99 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Silvana Asrini dkk. Correlation between Daytimes Sleepiness…

INTRODUCTION Procedure
Sleep is important for the general health of After giving written informed consent,
all, but is particularly essential for individuals with subjects were interviewed by physician. Each
epilepsy. In these patients, a complex relationship subject was asked to fill up questionnaire which
1
exists between seizures and sleep. Historically, adaptation from Epworth Sleepiness Scale (ESS)
Hippocrates and Aristotle, the interrelationship and Stanford Sleepiness Scale (SSS). The ESS is an
2
between epilepsy and sleep has been noted. eight-item survey designed to ascertain sleep
Individuals with epilepsy commonly report propensity during activities of daily living. Subjects
excessive daytime sleepiness (EDS) and fatigue rate the chance of dozing in each of eight activities
that are typically attributed to the effects of of daily living from 0 (never) to 3 (high). The
seizure or antiepileptic drugs (AEDs). However, scores for the eight activities are tallied, producing
in patients with epilepsy, sleep is disrupted by a total score ranging from 0 to 24, with a score
frequent arousals, awakenings, and stage shift, until 6-7 (normal), 8-12 (mild), 13-17 (moderate)
3-5
even in the absence of seizures and AEDs. and score > 18 indicating severe daytime
3
Drowsiness is frequently reported in patients sleepiness. The SSS is an eight-item survey
taking antiepileptic drugs (AEDs), but it seems designed to ascertain sleep propensity during
more prominent with some AEDs, and it is subject was interviewed. Subjects was asked to
invariably enhanced by drug combination. It is choose one of the item. Score > 3 (severe) and <3
8
well known that sleepiness is highly related to indicating mild daytime sleepiness.
6
polipharmacy, particularly with older AEDs.
A number of the older epilepsy drugs have Statistical analysis
adverse effects on sleep and daytime vigilance. A nonparametric statistical analysis of data
Recent studies suggest that some of the newer was performed. Description of drowsiness in
AEDs may be neutral or even have positive effects epilepsy patients was present in tabulation and
on sleep consolidation and alertness. Whether description type. The chi square test was used to
primary sleep disorders are a significant cause of analyze the correlation between AEDs and
EDS in patients with epilepsy remains to be daytime sleepiness; and to analyze the correlation
7
determined. between daytime sleepiness severity with AEDs
This study was aimed to assess correlation monotherapy and polytherapy. A p value of
between daytime sleepiness and AEDs in <0.05 was considered to be statistically significant.
generalized tonic clonic epilepsy patients. All analyses were performed by using SPSS 12.0
for Windows.
METHODS
Subjects RESULTS
A cross sectional study with subjects Ages of the 40 patients ranged from 15-74
consisted of 40 consecutive adult patients with years (mean, 31.15 years). Twenty- seven were
generalized tonic clonic epilepsy, who visited male, and 13 were female patients. Twenty-seven
Epilepsy Outpatient Clinic Haji Adam Malik (67.5%) patients took monotherapy (phenytoin or
Hospital, Tembakau Deli Hospital and Kesdam I carbamazepine), 13 (32.5%) patients took
Putri Hijau Hospital, from December 2005 polytherapy. Seventeen (42.5%) patients used
through March 2006. All subjects fulfilled carbamazepine, 10 (25%) patients used
inclusion criteria: (a) age > 15 years: (b) have been phenytoin, 10 (25%) patients used combination of
used AEDs more than 3 months: (c) seizure-free phenytoin and carbamazepine, 1 (2.5%) patient
more than 3 months. Exclusion criteria included used combination of phenytoin and valproic acid,
(a) use of sedatives, hypnotics, anxiolitics and and 2 (5%) patients used combination of
antihistamines drugs: (b) evidence of sleep phenytoin and Phenobarbital. Patients’
disorders: (c) epilepsy patients with alcoholic and characteristics are shown in Table 1.
other drug abuse: (d) psychiatric disorders: and (e)
patients with consciousness, auditory, aphasia and
visual disorders.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 100


Karangan Asli

Table 1. Demographic characteristic of patients


Variable n %
Sex
• Male 27 67.5
• Female 13 32.5
Age (yr)
• 15-24 18 45
• 25-34 10 25
• 35-44 5 12.5
• 45-54 2 5
• 55-64 4 10
• 65-74 1 2.5
Education
• Illiterate 1 2.5
• Elementary school 2 5
• Junior high school 4 10
• Senior high school 17 42.5
• Academic/University 16 40
Occupation
• Entrepreneur 9 22.5
• Government employee 7 17.5
• Private employee 5 12.5
• Housewife 3 7.5
• Student/University student 12 30
• Others 4 10
Ethnic Group
• Batak-Tobanese 15 37.5
• Javanese 10 25
• Malayans 4 10
• Mandailingnese 4 10
• Batak-Karonese 7 17.5
Number of drug
• Monotherapy 27 67.5
• Politherapy 13 32.5

Correlation between daytime sleepiness of phenytoin and valproic acid or


and AEDs in generalized tonic clonic epilepsy Phenobarbital not significantly caused daytime
patients was significant with p<0.05 (not sleepiness (Table 2).
shown). ESS and SSS showed that there was a In Epworth Sleepiness Scale, 20 (50%)
different level of sleepiness in each kind of subjects have no daytime sleepiness while
AED. sitting and talking to someone or as passenger
In this study, carbamazepine 600 mg on the car during one hour without stopping.
daily caused daytime sleepiness significantly Seventeen (42.5%) subjects had tendency
(p=0.006 in ESS and 0.020 in SSS). Patients moderate to fall asleep while sitting and
using this carbamazepine doses showed reading and 30% while watching television.
tendency to have daytime sleepiness. But Twenty-two (55%) subjects had tendency
subjects using phenytoin have tendency to fall severe daytime sleepiness and 18 (45%0
more severe daytime sleepiness but not subject had mild daytime sleepiness when
significant. In the other hand, combination of subjects were interviewed, based on Stanford
phenytoin and carbamazepine significantly Sleepiness Scale.
caused daytime sleepiness (p=0.022 in ESS; Daytime sleepiness in patients receiving
p=0.001 in SSS). Most subjects reported that AEDs polytherapy was higher than
they had moderate and severe daytime monotherapy significantly (p =0.001 in ESS
sleepiness after taking combination of and SSS).
phenytoin and carbamazepine. Combination

101 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Silvana Asrini dkk. Correlation between Daytimes Sleepiness…

Table 2. Correlation between daytime sleepiness and type of anti-epileptic drugs


ESS SSS
AED p Mild Severe p
Normal Mild Moderate Severe
sleepiness sleepiness
Carbamazepine 200mg 2x1 4 0 0 0 0.008 4 0 0.020
Carbamazepine 100mg 3x1 5 6 1 0 0.066 8 4 0.071
Carbamazepine 200mg 3x1 0 0 1 0 0.592 0 1 0.360
Phenytoin 100mg 3x1 0 3 6 1 0.225 5 5 0.714
Phenytoin 100mg 3x1 +
0 2 7 1 0.022 0 10 0.001
carbamazepine 200mg 3x1
Phenytoin 100mg 3x1 +
0 0 1 0 0.592 0 1 0.360
valproic acid 250mg 2x1
Phenytoin 100mg 3x1 +
0 0 2 0 0.271 1 1 0.884
Phenobarbital 30 mg 3X1
AED, anti-epileptic drugs; ESS, epworth sleepiness scale; SSS, stanford sleepiness scale

Table 3. Comparison daytime sleepiness in tonic clonic epilepsy patients with monotherapy and
polytherapy
ESS SSS
AED p Mild Severe p
Normal Mild moderate Severe
sleepiness sleepiness
Monotherapy 11 11 4 1 17 10
0.001 0.001
Polytherapy 0 2 10 1 1 12
AED, anti-epileptic drugs; ESS, epworth sleepiness scale; SSS, stanford sleepiness scale

DISCUSSION fragmentation that was no longer observed


In the present study, we found that after 1 month of treatment. Prolonged
carbamazepine 600 mg daily caused daytime carbamazepine treatment has been shown to
sleepiness significantly (p=0.006 in ESS and reduce REM sleep in patients with temporal
0.020 in SSS). But subjects that using lobe epilepsy. The effects of valproate on
phenytoin have tendency more severe daytime sleep range from a reduction in REM and
3
sleepiness but not significant. increase in SWS to none. Chronic
The interpretation of prior studies carbamazepine and valproate treatment do
9
addressing the effect of AEDs on sleep is not seem to affect sleep.
limited because of methodologic variations, It is well known that sleepiness is highly
including composition of the study related to polypharmacy, particularly with
population, dose, timing and duration older AEDs, where as a reduction number of
treatment, and failure to control seizure and concomitant medications is associated with a
concomitant AEDs. The older AEDs have subjective increase of alertness in epilepsy
9
been shown to have a variety of effects on patients.
3
sleep. Drowsiness is increased in patients This study demonstrates daytime
taking carbamazepine, phenytoin, valproic sleepiness in patients receiving AEDs
acid and Phenobarbital by the maintenance of polytherapy was higher than monotherapy
wakefulness test, although this study could significantly (p<0.05), while most subjects
1
not distinguish between the drugs. reported that they had moderate and severe
Phenobarbital reduces sleep latency and Rapid daytime sleepiness after taking combination of
Eye Movement (REM) sleep and increases phenytoin and carbamazepine. Where as
sleep efficiency and light (stage 1 and 2) non combination of phenytoin and valproic acid or
REM sleep. The effect of phenytoin and Phenobarbital not significantly caused daytime
carbamazepine appear to vary with treatment sleepiness.
duration. Short–term phenytoin therapy Using the Epworth Sleepiness Scale, a
produces a reduction of sleep latency and widely used, validated subjective measure of
stage 1 and increases in SWS and arousals, daytime sleepiness, Mallow and colleagues
which reverses after several months of reported that 28% of 158 adult epilepsy
treatment. Similarly, a single dose of patients surveyed had an elevated score
controlled-release carbamazepine produced a (higher than 10 points). Specifically, 44% of
reduction in REM and increase in REM subjects reported a moderate or high tendency

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 102


Karangan Asli

to fall asleep while wathing television and 4. Schaefer NF. Sleep Complaints and
10
41% while sitting or reading. Epilepsy: The Role of Seizures,
This study demonstrates 20 (50%) Antiepileptic Drugs and Sleep Disorders.
subjects have no daytime sleepiness while Clin Neurophysiology 2002; 19(6): 514-
sitting and talking to someone or as passenger 21.
on the car during one hour without stopping.
5. Foldvary N. Sleep and Epilepsy. Current
Seventeen (42.5%) subjects had tendency
Treatment Option in Neurology 2002; 4:
moderate to fall asleep while sitting and
129-35.
reading and 30% while watching television.
This result have resemblance with Mallow’s 6. Bonanni E, Galli R, Maestri M, Pizzanelli
study. C, Fabbrini M, Manca ML, et al. Daytime
In conclusion, our study demonstrates Sleepiness in Epilepsy Patients Receiving
that There is a significant relationship Topiramate Monotherapy. Epilepsia
between AEDs and daytime sleepiness in 2004; 45(4): 333-7.
patients with generalized tonic clonic epilepsy 7. Schaefer NF. Sleep Complaints and
(p < 0.05). Sleepiness is relatively higher in Epilepsy: The Role of Sleep Disorders.
AEDs polytherapy than in monotherapy. Available from: http://www.
clevelendclini.org/neuroscience/profession
als/nwews/sleep/sleep.htm23:37:45GMT
REFERENCES
1. Bazil CW. Sleep-Related Epilepsy. 8. Lumbantobing SM. Gangguan Tidur.
Current Neurology and Neuroscience Jakarta: FK-UI; 2004.
Reports 2003; 3: 57-72. 9. Bazil C. Antiepileptic Drugs and Sleep.
2. Marzec ML. Epilepsy’s Effect on Sleep Available from: http://www.epilepsy.
Disorders. Michigan. 2005. Available com/epilepsy/sleep_aeds.html
from: http://www.sleepreviewmag.com/ 10. Malow BA, Vaughn BV. Sleep Disorders
articles.asp?articleid=S0505F01 and Epilepsy. In: Ettinger AB, Devinsky
3. Schaefer NF, Sanchez IDL, Karafa M, O, editors. Managing Epilepsy and Co-
Mascha E, Dinner D, Morris HH. existing disorders. Boston: Butterworth-
Gabapentin Increases Slow-Wave Sleep in Heineman; 2002. p 239-54.
Normal Adults. Epilepsia 2002; 43(2):
1493-7.

103 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Selvi Nafianti dkk. Insidence of Acute Myeloid…

Incidence of Acute Myeloid Leukemia in Children in Haji Adam Malik


Hospital Medan
Selvi Nafianti, Nelly Rosdiana, dan Bidasari Lubis
Division Hematology-Oncology Child Health Department Medical Faculty
University of Sumatera Utara / Haji Adam Malik Hospital Medan Indonesia

ackground: Leukemia is the most common malignancy in childhood and about 15


percent of childhood leukemia cases are acute myelogenous leukemia (AML). It is reported in
more than 13,000 people newly diagnosed each year. The overall survival rate has reached a
plateau at approximately 60%, suggesting that further intensification of therapy per se will not
substantially improve survival rates. Methods: This study was retrospective with all the children
who came to Division Hematology-Oncology Haji Adam Malik Hospital during January 2001 -
December 2006 with diagnosis Acute Myeloid Leukemia (AML) were enrolled to this study. The
diagnosis of AML was established based on morphology. There were 45 children meet the
criteria. Results: in our study there were 25 boys and 20 girls. Age range 1-14 years (median age 9
yrs). Most patient were in group age more than 10 years old, followed by group age 1-5 and 5-10
years as much as 13 cases each. There were 14 children suffered from severe malnutrition, 13
mild malnutrition and 13 moderate malnutrition. There were total of 39 patient had
chemotherapy, and 6 patient refused to have chemotherapy with one and another reason. Only 6
from 45 were survival, death in 20 cases mostly in induction phase 10 cases, consolidation 7 cases
and maintenance 3 cases. There were 19 cases who refused to follow the chemotherapy protocol.
Conclusion: AML is remain a major problem in developing countries. Incidence may vary due to
the limitation of diagnostic tool and prognosis was still bad.
Keywords: acute myeloid leukemia, children

INTRODUCTION develop the disease. The median age at


Acute myeloid leukemia (AML), also diagnosis is 67. Of those with AML, less than
known as acute myelogenous or acute 6 percent are younger than 20 when
myeloblastic leukemia, is a type of cancer that diagnosed; more than 55 percent are
starts from cells that normally develop into diagnosed at 65 or older. About 0.38 percent
1-5
blood cells. AML mainly develops from two of people will be diagnosed with AML during
9-12
types of white blood cells: granulocytes or their lifetimes.
monocytes. AML is caused by genetic damage Each year in the United States 500 to 600
to these developing cells in the bone marrow. individuals younger than 21 years develop
The result is uncontrolled growth and acute myeloid leukemia (AML). Current
accumulation of undeveloped cells called treatment for AML typically consists of 3 or 4
"leukemic blasts," which fail to function as courses of intensive, myelosuppressive
normal blood cells. As these cells accumulate, chemotherapy with or without bone marrow
they block the production of normal marrow transplantation from a histocompatible family
cells, leading to a deficiency of red cells, donor.This therapy cures about half the
blood-clotting platelets and normal infection- children with AML; of the other half, most
6-8
fighting white cells. Acute myelogenous succumb to AML-related causes, but 5% to
13-16
leukemia (AML) is the most common form of 15% die from toxic effects of treatment.
17-23
leukemia with more than 13,000 people The cause of AML is unknown. It is not
diagnosed each year, according to National contagious and is not inherited, but several
Cancer Institute estimates. About 15 percent factors have been linked to increased risk of
of childhood leukemia cases are AML. Older the disease. These include exposure to very
individuals, however, are more likely to high doses of radiation, exposure to the

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 104


Karangan Asli

chemical benzene and exposure to expression profiling studies demonstrated


chemotherapy. Smoking is another proven distinct expression signatures for each of the
risk factor, which causes about 1 in 5 cases of known prognostic subtypes of AML.
AML. Uncommon genetic disorders, such as Importantly, some of the pediatric AML
Fanconi anemia and Down syndrome, are subtype specific expression signatures were
associated with an increased risk of AML. essentially the same as those of selected adult
Identifying risk factors for childhood leukemia AML cases, suggesting a shared
8-14 11
(e.g., environmental, genetic, infectious) is an leukemogenesis. Creutzig U et al , Stem
important step in the reduction of the overall cell transplantation (SCT), as applied in high-
burden of the disease. In general, benzene and risk patients with a matched related donor,
ionizing radiation are two environmental did not significantly improve the outcome
exposures strongly associated with the compared to chemotherapy alone. In spite of
development of childhood AML or ALL. treatment intensification, the therapy related
Future studies, when appropriate, should death rate decreased from trial to trial, mainly
attempt to use common questionnaires, during induction. The future aim is to reduce
address timing and route of exposure, long-term sequelae, especially cardiotoxicity,
document evidence that exposure has actually by administration of less cardiotoxic drugs,
been transferred from the workplace to the and toxicity of SCT by risk-adapted
child, and store biological samples when indications. The AML-BFM studies performed
3
possible. Scheneider et al , reported in in three European countries with >70
patients with AML after treatment for Germ cooperating centers have significantly
cell tumor (GCT), several pathogenetic improved the outcome in AML children;
mechanisms must be considered. AML might nevertheless, increasing experience with these
evolve from a malignant transformation of intensive treatment is of fundamental
6-12
GCT components without any influence of importance to reduce fatal complications.
the chemotherapy. On the other hand, the Despite several strategies to increase the
use of alkylators and topoisomerase II intensity of therapy, the overall survival rate
inhibitors is associated with an increased risk has reached a plateau at approximately 60%,
of t-AML. Future studies will show if the suggesting that further intensification of
reduction of treatment intensity in the current therapy per se will not substantially improve
protocol reduces the risk of secondary survival rates. It appears that the “one-size-
5-8
leukemia in these patients. fits-all” treatment strategy will not further
A combination of morphologic, improve current AML survival rates. The
immunophenotypic, and cytogenetic studies is merit of individualized therapy for AML has
usually required to establish the diagnosis of been clearly demonstrated in the treatment of
AML. Immunophenotype is important, APL. The introduction of ATRA and the
particularly in establishing a diagnosis of acute tailored use of specific treatment components
megakaryoblastic leukemia (AMKL), myeloid (increased dose-intensity of anthracycline
leukemia with minimal differentiation, and during induction and consolidation; use of
myeloid/lymphoid (mixed, biphenotypic) ATRA plus 6-mercaptopurine and methotrexate
leukemia. Recently, the World Health during maintenance) has resulted in
Organization (WHO), in conjunction with reproducible 5-year survival rates exceeding
the Society for Hematopathology and the 80%. Despite intensive induction and
European Association of Hematopathology, postremission chemotherapy, 5-year event-
has proposed a new classification for free survival (EFS) of children with acute
hematopoietic neoplasms. The WHO myeloid leukemia (AML) is only 40% to 50%.
classification defines subsets of AML on the Bone marrow transplantation (BMT) from
basis of both morphologic and cytogenetic HLA-matched sibling donors is associated
characteristics. Although the current AML with lower relapse risk and superior overall
classification schemes, including the WHO survival (OS) compared with other types of
scheme, have been developed for adult AML, postremission therapy, including consolidation
the concepts underlying these classifications therapy, maintenance chemotherapy, and
can be applied to pediatric AML. Recent gene autologous BMT. Drug resistance is a major

105 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Selvi Nafianti dkk. Insidence of Acute Myeloid…

obstacle to effective AML treatment. The METHODS


rates of early death (ED) and treatment- This was a retrospective study, we review
related mortality (TRM) are unacceptably all the children who came to Division
high in children undergoing intensive Hematology-Oncology Haji Adam Malik
chemotherapy for acute myeloid leukemia Hospital during January 2001 - December
(AML). Better strategies of supportive care 2006 with diagnosis Acute Myeloid Leukemia
might help to improve overall survival in (AML) were enrolled to this study. The
7-13
these children. diagnosis of AML was established based on
morphology. There were 45 children meet the
criteria.

RESULTS
Table 1. Characteristic of study subject
N=45

Sex
Boys 25
Girls 20

Age group (years)

<1 2

1–5 13

5 – 10 13

> 10 17

Nutritional State

Normal 5

Mild 13

Moderate 13

Severe 14

Table 2. Distribution sample based on FAB Classification

N=45

FAB Classification

M1 28

M2 2

M3 0

M4 10

M5 1

M6 4
M7 0

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 106


Karangan Asli

Table 3. Chemotherapy

N=45

Chemotherapy phase

Induction 17

Consolidation 12

Maintenance 10

Discontinued 6

Table 4. Treatment outcome

N=45

Survival 6

Death

Induction 10

Consolidation 7

Maintenance 3

Drop out

Before chemotherapy 6

During chemotherapy 13

Table 1 showed that in our study there DISCUSSION


were 25 boys and 20 girls. Most patient were The effect of BMI on outcome in
in group age more than 10 years old, followed pediatric AML is not a trivial problem: the
by group age 1-5 and 5-10 years as much as reduced survival in underweight and
13 cases each. There were 14 children overweight patients is roughly equal to the
suffered from severe malnutrition, 13 mild improved survival accomplished by 10 years
malnutrition and 13 moderate malnutrition. of progress in pediatric AML. Treatment-
From table 3, found that there were total related mortality is the worst possible
of 39 patient had chemotherapy, and 6 outcome for an individual enrolled in a clinical
trial, and if treatment-related mortality is not
patient refused to have chemotherapy with
countered by a net gain in survival, excess
one and another reason
treatment related mortality is also the worst
Only 6 from 45 were survival, death in
possible outcome for a clinical trial. These
20 cases mostly in induction phase 10 cases, results have implications for clinicians and
consolidation 7 cases and maintenance 3 cases. clinical investigators. This is the first example
There were 19 cases who refused to follow of immediate rather than impending life-
the chemotherapy protocol. shortening effects of excess weight in the
young and a confirmation of the risks of

107 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Selvi Nafianti dkk. Insidence of Acute Myeloid…

undernutrition in other pediatric cancers. Creutzig et al, found that idarubicin


Interventions currently available that could when used for remission induction in
reduce the treatment related mortality in childhood AML was associated with more
underweight and overweight groups include bone marrow toxicity, with a greater number
formal nutritional and immunologic of days to neutrophil recovery, than patients
assessment at diagnosis. Underweight patients treated with daunorubicin. The study shown
could benefit from preemptive nutritional that greater renal, gastrointestinal, and
intervention or intravenousglobulin. In pulmonary toxicity occurred in patients
overweight patients, correction of persistent receiving idarubicin during remission
moderate hyperglycemia and hypertension induction. Gastrointestinal toxicity in our
may remediate 2 important comorbidities. patient group was dose related and entailed
15
Lange et al , in their study to compare significantly more toxicity in patients
survival rates in children with AML who at receiving the higher dosage of idarubicin. This
diagnosis are underweight (body mass index may reflect different pharmacokinetic
[BMI] _10th percentile), overweight (BMI parameters in pediatric patients than those
_95th percentile), or middleweight (BMI = used in previously published studies in adults.
11th-94th percentiles). Eighty-four of 768 No difference in acute cardiotoxicity was
patients (10.9%) were underweight and 114 noted, but long-term follow-up is needed to
(14.8%) were overweight. After adjustment establish any evidence of benefit that
for potentially confounding variables of age, idarubicin may provide in that regard.
race, leukocyte count, cytogenetics, and bone Bone marrow transplantation from a
marrow transplantation, compared with matched sibling donor for patients in first
middleweight patients, underweight patients complete remission is now established as the
were less likely to survive and more likely to treatment of choice for high-risk AML. The
experience treatment related mortality. cytogenetic profile of the leukaemic cells at
Similarly, overweight patients were less likely diagnosis is important in defining high- and
to survive and more likely to have treatment- low-risk subgroups. For most children with
related mortality than middleweight patients. standard-risk AML in first remission without a
Infections incurred during the first 2 courses fully matched sibling donor, either autologous
of chemotherapy caused most treatment- transplantation or further intensive post-
related deaths. The study noted that remission chemotherapy is used. Some studies
treatment-related complications significantly have shown a survival advantage for patients
reduce survival in overweight and undergoing autologous transplantation.
underweight children with AML. Becton et However, several recent studies have shown
16
al , reported that intensifying induction with that intensive chemotherapy is just as
high-dose DAT and the addition of CsA to effective, with the issue remaining unresolved.
consolidation chemotherapy did not prolong Unrelated allogeneic transplants result in
the durations of remission or improve overall lower relapse rates but higher treatment-
survival for children with AML. O’Brian et related mortality, making this option suitable
17
al , found that improvements in remission- for high-risk patients only. Since only 15% to
induction rates, decreased treatment related 20% of children with AML have suitable
toxicity, and improved outcomes with related donors, other strategies are necessary
allogeneic sibling transplantation have to improve overall survival. Several adult and
contributed to higher survival rates. pediatric studies explored the benefits of
Nevertheless, further improvements are modifying induction therapy in AML. Some
needed. Unlike AML trials in adults, AML in included substituting idarubicin or
children results do not support an advantage mitoxantrone for daunorubicin, increasing the
of idarubicin over daunorubicin in the dose or duration of cytarabine, and
treatment of pediatric AML in terms of administering the second course of induction
remission induction or overall survival rates. chemotherapy on days 10 to 14.13,14. The
In addition, it’s found greater toxicity with latter approach is referred to as timed
idarubicin than with daunorubicin. sequential therapy and theoretically may
recruit residual leukemic cells into cell cycle,

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 108


Karangan Asli

making them more susceptible to cytarabine for further individualisation of therapy to


and other cell-cycle–specific agents. enhance efficacy and reduce toxicity. Perel et
20
AML is the most common leukaemia al , reported that more than 50% of patients
seen in children with Down’s syndrome. The can be cured of AML in childhood. Either
risk of increased deaths from infection during drug intensity or each of the induction and
induction and remission means that there has postremission phases may have contributed to
to be very good supportive and nursing care. the outstanding improvement in outcome.
There must also be extreme vigilance as these Lowdose MT is not recommended. Exposure
children are vulnerable to life-threatening to this lowdose MT may contribute to clinical
infections during their treatment although drug resistance and treatment failure in
they do have a very good chance of cure and a patients who experience relapse.
21
very low risk of relapse. AML in children with Abrahamsson et al found the survival was
Down’s syndrome is quite an indolent disease. 62±6% in 64 children given stem cell
Clinical problems may be slow to children transplantation (SCT) as part of their relapse
with Down’s syndrome and AML respond therapy. A significant proportion of children
unusually well to intensive treatment. The with relapsed AML can be cured, even those
need for aggressive cytotoxic chemotherapy with early relapse. Children who receive re-
has been questioned and debated worldwide. induction therapy, enter remission and
Some do well on less intensive regimens but proceed to SCT can achieve a cure rate of
some die. An international trial would be 60%.
22
necessary to establish whether it is indeed safe Creutzig et al , found that late
to use less intensive protocols. In the early subclinical cardiomyopathy occurred
days of the AML trials, four children with temporarily in seven patients. The risk of
Down’s syndrome had bone marrow developing late clinical cardiotoxicity was
transplants (BMT). However the excellent highest in patients with early cardiotoxicity
response to intensive cytotoxic therapy which and in patients with secondary malignancy.
is now reported suggests that BMT should no The investigators concluded that the
longer be necessary for any child with Down’s frequency of anthracycline- associated
syndrome. Children with Down’s syndrome cardiomyopathy was low in patients treated
23
get a unique form of myeloid leukaemia – on the AML-BFM protocols. Leung et al
megakaryoblastic leukaemia – which is concluded that late sequelae are common in
extremely rare in other children. It is very long-term survivors of childhood AML. Our
sensitive to agressive chemotherapy, which findings should be useful in defining areas for
gives a high chance of cure. BMT is not surveillance of and intervention for late
needed as these children do very well on sequelae and in assessing the risk of individual
18
chemotherapy. Gujral et al , concluded that late effects on the basis of age and history of
diagnostic work-up of proptosis must include treatment. To reduce the high incidence of
a full haemogram, meticulous peripheral ED and TRM in children with AML, early
blood smear examination, repeated if diagnosis and adequate treatment of
necessary, and bone marrow examination complications are needed. Children with
where relevant. Refractory anaemia with AML should be treated in specialized
excess blasts in transformation (RAEB-t ) pediatric cancer centres only. Prophylactic and
cases with extramedullary myeloid cell therapeutic regimens for better treatment
tumour should be classified as acute myeloid management of bleeding disorders and
leukaemia. infectious complications have to be assessed in
19
Ziegler et al , suggested that much has future trials to ultimately improve overall
changed over the past decade in front-line survival in children with AML.
treatment, identifying relapse risk and in our
understanding of leukaemogenesis in AML.
The genome revolution, molecular drug REFERENCE
targeting and computer-aided drug design 1. Pui CH. Childhood leukemias. NEMJ
techniques will reshape this field yet again 1995;332(24):1618-30.
over the next decade in ways which may allow

109 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Selvi Nafianti dkk. Insidence of Acute Myeloid…

2. Hjalgrim LL, Rostgaard K, Schmiegelow 13. Locatelli F, Labopin M, Ortega J, Meloni


K, So¨derha¨ll K, Kolmannskog K, G, Dini G, Messina C, et al. Factors
Vettenranta K, et al. Age- and Sex- influencing outcome and incidence of
Specific Incidence of Childhood long-term complications in children who
Leukemia by Immunophenotype in the underwent autologous stem cell
Nordic Countries. J Natl Cancer Inst transplantation for acute myeloid
2003; 95:1539–44. leukemia in first complete remission for
the European Blood and Marrow
3. Scneider DT, Hilgenfeld E, Schwabe D,
Transplantation Acute Leukemia Working
Behnisch W, Zoubek A, Wessalowski R,
Party. Blood. 2003; 101:1611-1619.
Go’’bel. Acute myelogenous leukaemia
after treatment for malignant germ cell 14. Creutzig U, Zimmermann M, Reinhardt
tumors in children. J Clin Oncol D, Dworzak M, Stary J, Lehrnbecher T.
1999;17:3226-33. Early deaths and treatment realted
mortality in children undergoing therapy
4. Xie Y, Davies SM, Xiang Y, Robinson LL,
for acute myeloid leukemia: Analysis of
Ross JA. Trends in leukaemia incidence
the multicenter clinical trials AML-BFM
and survival in the United States (1973-
93 and AML-BFM 98. J Clin Oncol 2004;
1998). Cancer 2003;97:2229-35.
22:4384-93.
5. Mejía-Aranguré JM, Bonilla M, Lorenzana 15. Lange BJ, Gerbing RB, Feusner J, Skolnik
R, Juárez-Ocaña S, de Reyes G, Pérez- J, Sacks N, Smith FO, Alonzo TA.
Saldivar ML, et al. Incidence of leukemias Mortality in overweight and underweight
in children from El Salvador and Mexico children with acute myeloid leukemia.
City between 1996 and 2000: Population- JAMA 2005; 293:203-211.
based data. BMC Cancer 2005; 5:33.
16. Becton D, Dahl GV, Ravindranath Y,
6. Chessells J. Blood disorder in children Chang MN, Behm FG, Raimondi SC, et
with Down’s syndrome: overview and al. Randomized used of cyclosporine A
update. Presented in Blood Disorder (CsA) to modulate P-glycoprotein in
th
Conference. London 26 April 2001.
children with AML in remission: Pediatric
7. Belson M, Kingsley B, Holmes A. Risk oncology group study 9421. Blood 2006;
factors for acute leukemia in children: A 107:1315-24.
review. Environ Health Perspect
2006;115:138-45. 17. O’Brien TA, Russel SJ, Vowels MR,
Oswald CM, Tiedemann K, Shaw PJ, et
8. Hegedus CM, Gunn L, Skibola CF, Zhang
al. Results of consecutive trials for
L, Shiao R, Fu S, et al. Proteomic analysis
of childhood leukemia. Leukemia 2005; children newly diagnosed with acute
19:1713-8. myeloid leukemia from the Australian and
New Zeland chlidren’s cancer study
9. Pui CH, Schrappe M, Ribeiro RC,
group. Blood 2002; 100:2708-16.
Niemeyer CM. Childhood and adolescent
lymphoid and myeloid leukemia. Hematol 18. Gujral S, Bhattari S, Mohan A, Jain Y,
2004:118-45. Arya LS, Ghose S, et al. Brief report.
10. Lowenberg B, Downing JR, Burnett A. Ocular extramedullary myeloid cell
Acute myeloid leukemia. NEMJ 1999; tumour in children: an Indian study. J
341(14):1051-62. Trop Paediatr 1999; 45(2):112-5.
11. Creutzig U. Treatment strategy and long- 19. Perel Y, Auvrignon A, Leblanc T, Vannier
term results in pediatric patients treated JP, Michel G, Nelken B, et al. Impact of
in four consecutive AML-BFM trials. addition of maintenance therapy to
Leukemia 2005; 19: 2030–42. intensive induction and consolidation
chemotherapy for childhood acute
12. Weinstein HJ. Acute myeloid leukemia. myeloblastic leukaemia: Results of a
In: Pui CH, ed. Childhood leukemias.
prospective randomized trial, LAME
Cambridge: Cambridge University Press,
89/91. J Clin Oncol 2002; 20:2774-82.
1999. p. 322-5.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 110


Karangan Asli

20. Ziegler DS, Pozza LD, Waters KD, 22. Creutzig U, Zimmerman DS.
Marshall GM. Advances in childhood Longitudinal evaluation of early and late
leukaemia: successful clinical-trials anthracycline cardiotoxicity in children
research leads to individualised therapy. with AML. Pedaitr Blood Cancer 2007;
MJA 2005; 182 (2): 78-81. 48:651-62.
21. Abrahamsson J, Clausen N, Gustafsson G, 23. Leung W, Hudson MM, Strickland DK,
Hovi L, Jonmundsson G, Zeller B, et al. Phipps S, Srivasta DK, Ribeiro JE, et al.
Improved outcome after relapse in Late effects of treatment survivors of
children with acute myeloid leukemia. B J childhood acute myeloid leukaemia. J
Haematol 2007; 136(2):229-36. Clin Oncol 2000;18:3273-9

111 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Nelly Rosdiana dkk. Trombositosis Sekunder pada Anak…

9-12 Tahun yang Menderita Anemia Defisiensi Besi


Nelly Rosdiana, Dedy G., Bidasari Lubis, Adi Sutjipto, dan Ridwan M. Daulay
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSUP. Haji Adam Malik Medan

anemia defisiensi besi bila Hb< 12 gr/dl (sesuai criteria WHO), MCV< 70fl, RDW>
16%, Indeks Mentzer>13, Indeks RDW >220. Anak yang menderita anemia defisiensi besi (n=
106) diberi besi oral 5 mg besi elemental/kg BB/hari. Pengolahan data menggunakan SPSS for
window 13
Hasil: Sebanyak 97 anak dapat menyelesaikan penelitian. Terdapat perubahan yang bermakna
pada jumlah trombosit pada anak yang menderita anemia defisiensi besi (p<0,05)
Simpulan: Trombositosis sekunder masih tetap walaupun sudah diberi terapi besi secara oral
selama 30 hari, keadaan ini mungkin terjadi karena cadangan besi yang masih kurang.
Kata kunci: trombosit, trombositosis sekunder, anemia defisiensi besi.

Abstract: Background: Iron deficiency anemia usually associated with elevated thrombocyte
count, which is the mechanism still unclear. Hopely, in iron-fortifed administration could
decrease trombosit count to normal.
Aim: to compare the thrombocyte in iron deficiency anemia patient in 9-12 years old that have
given iron fortified orally.
Methoda: Descriptive analytic study Elementary school children age 9-12 years old in Kecamatan
Bilah Hulu Kabupaten Rantau Prapat on November –December 2006. We established iron
deficiency anemia if HB <12 gr % (according to WHO) MCV < 70 fl, RDW > 16% , Mentzer
Index > 13, RDW Index . 220. Children have been diagnosed with iron deficiency anemia (n
=106) where given iron elemental 5 mg/ kg BW/day orally. Statistic analyzed using by SPSS for
window 13.
Result: 97 children have jointed the study.There was the significant changing thrombosit in iron
deficiency anemia child.(p<0,05)
Conclusion: Secunder thrombocytosis still exist event they have received iron fortified orally for
30 days, this condition might be caused by iron storaged not enough.
Keywords: thrombocyte, secunder thrombocytosis, iron deficiency anemia

PENDAHULUAN anak balita adalah 55,5%. WHO menyatakan


Anemia defisiensi besi masih merupakan anemia defisiensi besi pada bayi dan anak di
masalah nutrisi di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang dihubungkan
negara berkembang. Anemia nutrisi yang dengan kemiskinan, malnutrisi, infestasi
terbanyak di Indonesia adalah anemia cacingan tambang, HIV, defisiensi vitamin A,
1,2
defisiensi besi disamping kekurangan protein, dan asam folat.
vitamin A dan yodium. Dri SKRT tahun 1992 Zat besi selain dibutuhkan untuk
didapati prevalensi anemia defisiensi besi pada pembentukan hemoglobin yang berperan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 112


Karangan Asli

dalam penyimpanan dan pengankutan besi. Namun bagaimana hal ini terjadi
8,11,12
oksigen, juga terdapat dalam beberapa enzim mekanisme belum jelas .
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, Pada penelitian ini kami ingin melihat
sintesis DNA, neurotransmitter dan proses apakah ada perbedaan jumlah trombosit pada
katabolisme yang dalam kerjanya pemberian besi pada anak-anak usia 9-12
membutuhkan dan perkembangan anak, tahun yang menderita anemia defisiensi besi.
menurunkan daya tahan tubuh dan
1
menurunkan konsentrasi belajar. METODE
Saat ini di Indonesia anemia defisiensi Bilah Hulu kabupaten Rantau Prapat.
besi masih merupakan salah satu masalah gizi Sampel Penelitian ini bersifat Deskriptif-
utama disamping kekurangan kalori protein, Analitik yang dilakukan selama 30 hari pada
vitamin A dan yodium. Insiden anemia bulan Nopember-Desember 2006 di
defisiensi besi di Indonesia adalah 40,5% pada kecamatan penelitian diambil dari anak
balita, 47,2% pada usia sekolah, 57,1% pada sekolah dasar negeri yang berada di lokasi
remaja putri dan 50,9% pada ibu hamil. penelitian dan diambil darah kapiler dari
Penelitian pada 1000 anak sekolah yang ujung jari sebanyak 0,5 ml. Bila didapati hasil
dilakukan oleh IDAI di 11 provinsi pemeriksaan sesuai dengan kriteria inklusi, di
menunjukkan prevalensi anemia sebanyak 20- masukkan dalam penelitian. Kriteria inklusi
25%. Jumlah anak yang mengalami defisiensi yaitu anak sekolah dasar negeri berusia 9-12
3
besi tampa anemia jauh lebih banyak. tahun yang menderita anemia defisiensi besi,
Dikatakan Anemia apabila didapati mengikuti penelitian sampai selesai dan
keadaan berkurangnya sel darah merah atau persetujuan tertulis dari orang tua. Kriteria
konsentrasi hemoglobin di bawah 2 SD dari ekslusi: adalah anak menderita anemia berat,
rerata hemoglobin sesuai usia dan jenis infeksi berat dan gizi buruk.
kelamin. Disebut anemia defisiensi besi Anak dimasukkan ke dalam satu dari dua
apabila ditemukan rata-rata volume sel darah kelompok perlakuan yaitu yang mendapat besi
merah rendah, berkurangnya kadar besi dan mendapat placebo. Besi diberikan setiap
serum, peninggian protoporphyrn sel darah hari dalam bentuk kapsul yang berisi sulfas
merah, peningkatan distribusi sel darah merah ferosus dengan dosis 6 mg besi elemental
dan peningkatan konsentrasi hemoglobin perkilogram berat badan perhari. Plasebo
4
setelah pemberian terapi besi. berupa sakarum laktis yang dimasukkan ke
Pada anemia defisiensi besi bisa terjadi dalam kapsul. Kapsul yang mengandung besi
5,6
trombositopenia dan trombositosis . dan plasebo mempunyai ukuran dan warna
Kejadian trombositopenia dihubungkan yang sama dan diminum setiap hari
7
dengan anemia yang sangat berat . Angka dihadapkan guru/orang tua.
kejadian pasti dari trombositosis tidak Penentuan anemia pada penelitian ini
diketahui, namun Sutor dalam beberapa menggunakan kriteria WHO, yaitu kadar Hb
penelitian menjumpai trombositosis pada anak untuk anak usia 6-14 tahun adalah kurang dari
3-31% yang dirawat dirumah sakit dan 1,5% 12 gr/dl. Dikatakan menderita anemia
8
pada anak yang berobat jalan . Schloesser dkk defisiensi besi bila didapati Hb <12 gr/dl,
dalam penelitiannya mendapatkan adanya MCV < 70 fl,RDW > 16%, Indexs Menster >
hubungan trombositosis dengan anemia defisiensi 13 dan Indexs RDW > 220.
9
besi baik pada manusia dan binatang . Darah kapiler diambil sebanyak 0,5 ml dari
Berdasarkan etiologi, trombositosis dibagi dalam2 sampel penelitian sebelum dan setelah 30 hari
kelompok, yaitu: trombositosis Primer/autonum terapi besi. Kemudian dilakukan pemeriksaan
(Essensial) dan trombositosis Sekunder hemoglobin, hematokrit,trombosit, eritrosit, mean
6,8
(Reaktif) . corpuscular volume (MCV), mean corpuscular
Hubungan antara trombositosis dan hemoglobin (MCH), mean corpuscular
anemia defisiensi besi pernah dilaporkan pada hemoglobin consentration (MCHC), dan red cel
anak dewasa, namun masih sedikit data distribution with (RDW). Pemeriksaan ini diukur
mengenai hal ini. Kondisi trombositopenia dengan fotometer (ABX Mikros-60, France).
dan trombositosis pada anemia defisiensi besi Data diolah dengan SPSS for WINDOW 13
akan kembali normal sesudah mendapat terapi (SPSS Inc, Chicago). Analisa data untuk

113 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Nelly Rosdiana dkk. Trombositosis Sekunder pada Anak…

mengetahui rerata hasil laboratorium pada HASIL


kedua kelompok sebelum dan sesudah terapi Dari 300 anak sekolah dasar yang
besi dengan uji independent atau Mann dilakukan skrining didapati sebanyak 156
Withney test, dan untuk mengetahui orang (52%) menderita anemia defisiensi besi.
perbedaan rerata sebelum dan sesudah terapi Ada 106 anak yang mendapat terapi besi,
dengan uji berpasangan atau Wilcoxon signed namun hanya 97 anak yang menyelesaikan
ranks test. Uji bermakna bila p< 0,05. penelitian dan 55 orang anak mendapat
placebo.

Tabel 1. Karakteristik sampel


Karakteristik Fe Placebo p
Mean, SD Mean, SD

Age (Years) 9,67 (1,3) 9,87 (1,29) 0,4


Hb (g/dL) 10,07 (1,28) 10,01 (1,4) 0,84

Ht (%) 31,51 (4,58) 31,62 (5,09) 0.89

Thrombocyte (x103/mm3) 259,86 (66,32) 270,04 (91,09)

Erythrocyte (x106/mm3) 4,33 (0,7) 4,39 (0,71) 0,656

MCV (L μm3) 72,18 (6,94) 72,69 (4,19) 0,651

MCH (L pg) 23,59 (3,26) 23,25 (2,49) 1,45

MCHC (L g/dL) 32,25 (3,66) 32,21 (3,14) 0,95

RDW (%) 15,65 (1,23) 15,7 (2,08) 0,67

Tabel 2. Perbedaan rerata parameter hematology sesudah terapi pada kedua kelompok
Fe (30 d ) p Placebo (30 d) p
Lab Results Mean, SD Mean, SD

Hb (g/dL) 12,97 (0,73) 0,00* 11,67 (1,4) 0,00*

Ht (%) 37,44 (4,69) 0,00* 33,44 (3,64) 0,04*

Trombocyte (x103/mm3) 250,6 (65,2) 0,00* 594 (381,24) 0,00*

Erythrocyte (x106/mm3) 5,16 (0,93) 0,00* 4,66 (0,58) 0,05

MCV (L μm3) 72,89 (4,06) 0,52 71,89 (4,62) 0,36

MCH (L pg) 25,99 (3,17) 0,02* 25,22 (2,33) 0,00*

MCHC (L g/dL) 35,31 (3,40) 0,01* 35,08 (2,48) 0,00*

RDW (%) 16,13 (2,22) 0,28 16,45 (2,68) 0,18*

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 114


Karangan Asli

Fig.1. Scattergram showing distribution of platelet and hemoglobin IDA

DISKUSI jaringan dan faktor lain. Trombopoetin (TPO)


Jumlah trombosit normal berkisar antara dan interleukin 6, suatu sitokin primer untuk
150.000-450.000 x106 sel / mm3. Bila jumlah pembentukkan trombosit, akan meningkat
trombosit lebih besar dari 2 SD di atas rata- sebagai respons awal dan merangsang
6 6,13
rata disebut trombositosis. Jumlah trombosit peningkatan produksi trombosit .
yang berlebihan dapat disebabkan oleh banyak Pada penelitian ini kami menggunakan
faktor, tetapi dapat dikelompokkan dalam 3 pemeriksaan yang sederhana dalam
keadaan yaitu: menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi
- Gangguan primer, seperti mieloproliferatif yaitu Hb, Ht, MCV, RDW, Mentser Indeks
atau sindroma displasia. dan RDW indeks, dimana pemeriksaan ini
- Peningkatan produksi yang disebabkan relatif murah dan dapat dilaksanakan di
oleh rangsangan (usia trombosit yang daerah dengan sarana yang terbatas.
memanjang yang menyebabkan Dari 97 anak anemia defisiensi besi yang
trombositosis tidak dapat dijelaskan) telah diberi terapi besi, terdapat perubahan
- Pergeseran trombosit dari splenic pool ke yang bermakna pada jumlah trombosit (p <
dalam sirkulasi perifer. 0,05), namun jumlah trombosit masih tetap
walaupun sudah diberi terapi besi secara oral
Pada anemia defisiensi besi jumlah selama 30 hari, keadaan ini mungkin saja
trombosit dapat meningkatkan 2-4 kali dari terjadi oleh karena cadangan besi yang masih
1
nilai normal . Trombositosis sekunder (reaktif) kurang, sedang pada anak-anak yang hanya
sering terjadi pada bayi premature dan setelah mendapat plasebo setelah 30 hari kita melihat
infeksi. Faktor predisposisi untuk terjadinya perubahan yang bermakna pada jumlah
trombositosis sekunder adalah proses infeksi trombosit (p < 0,05), trombosit terus
akut atau kronik, hipoksemia, pembedahan, bertambah karena sampel tidak mendapat
trauma, penyakit keganasan, perdarahan, terapi besi untuk meningkatkan hemoglobin.Pada
6
defisiensi besi . Pada umumnya terjadi kasus Transient erythroblastemia, trombositosis di
peningkatan pelepasan sitokin sebagai respon duga disebabkan meningkatnya eritropoitin, yang
terhadap infeksi, inflamasi, vaskulitis, trauma

115 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Nelly Rosdiana dkk. Trombositosis Sekunder pada Anak…

diketahui mempunyai struktural homolog 6. Lubis B, Rosdiana N. Trombositosis.


12
yang hampir sama dengan trombopoitin. Dalam: Permono B,Sutaryo, Ugrasena
Dalam penelitian ini beberapa faktor IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
confounding seperti: infeksi parasit, malaria, Penyunting. Buku ajar hematology
sosial ekonomi dll, seharusnya dapat diambil onkologi anak. Badan penerbit
dan akan mempengaruhi hasil penelitian.
IDAI.2005.h.169-73.
Pemberian preparat besi pada sampel
diteruskan selama 2 bulan untuk mengisi 7. Gupta MK, Joseph G. Severe
cadangan besi. Trombocytosis Associated with Iron
Sebagai kesimpulan, Trombositosis sekunder Deficiency. Hospital Physician, August
masih tetap walaupun sudah diberi terapi besi
2001.h.49-51.
secara oral setelah 30 hari, keadaan ini
mungkin terjadi oleh karena cadangan besi 8. Sutor AH. Thrombocytosis. Dalam:
yang masih kurang. Lilleyman JS, Hann IM, Blanchette VS,
Penyunting. Pediatric Hematology. Edisi
ke-2. London: Churchill Livingstone;
DAFTAR PUSTAKA
2000.h.455-62.
1. Raspati H. Reniarti L. Susanah S. Anemia
defisiensi besi. Dalam: Permono B, 9. Schloesser L, Kipp MA, Wenzel FW.
Sutaryo, Ugrasena IGD, Windiastuti E, Thrombocytosis in iron deficiency
Abdul Salam M, Penyunting. Buku ajar anemia. Clinical Research XI, 295,
hematologi onkologi anak. Badan penerbit
October, 1963.
IDAI.2005.h.30-4
2. Lukens JN. Iron metabolisme and Iron 10. Choi SI, Simone JV. Platelet production
deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner in experimental iron deficiency anemia,
RI, Penyunting. Blood diseases of infancy Blood, 42,2, 1973.219-28.
and childhood. Edisi ke 7. St. Louis: 11. Wintrobe MM, penyunting. Clinical
Mosby, 1995.h.193-219.
Hematology. Edisi ke 7. Philadelphia: Lea
3. Pusponegoro HD. Tumbuh kembang & Febiger, 1974.h.635-70.
otak, pengaruh malnutrisi dan defisiensi
besi. Jakarta. Fakultas Kedokteran 12. Glader B. Iron deficiency anemia. Dalam:
Universitas Indonesia.2004. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Penyunting. Nelson Textbook of
4. Dallman PR. Nutrisi Anemia. Dalam:
Rudolf AM, Hoffman JIE, Rudolf CD, pediatrics. Edisi-17, Philadelphia: WB
penyunting. Rudolps pediatrics. Edisi ke Saunders, 2004.h.1614-16.
20. Connecticut: Appleton & Lange, 13. Araneda M, Krishnan V, Hall K at
1996.h.1176-80. all.Reactive and Clonal Thrombocytosis:
5. Gross S. Keefer V. Newman AJ: The Proinflammatory and Hematopoitic
Platelets in iron deficiency anemia.I. The Cytokines and Acute Phase Proteins.
respon to oral and parenteral iron; South Med J 2001, 94(4);417-20.
Pediatrics. 1964; 34; h. 315-23.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 116


Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia (α & β) dan Hemoglobin-E pada
Penduduk Medan
Ratna Akbari Ganie
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran USU, Medan, Sumatera Utara

α β

α β

α β

α β
variant were commonly found in Medan as 3,35%, 4,07% and 0, 26% respectively. From the
public health of view, this finding seems to be important as basic recommendation for hereditary
blood disorders management based on preventive effort both premarital genetic counseling or
prenatal diagnosis. Premarital genetic counseling and prenatal diagnosis should be socialized in
the near future to prevent the upcoming new high risk couples who could potentially produce
new thalassemia babies.
Keywords: hereditary blood disorders, thalassaemia carrier, hemoglobin variants, premarital
genetic conseling, prenatal diagnosis

PENDAHULUAN Cina, Minang, Aceh, Nias dan lain-lain. Secara


Seperti Kota besar lainnya, Medan yang geografis Medan sangat dekat dengan Asia
terletak di Sumatera Utara, mempunyai daratan dan terletak di area sabuk thalassemia
penduduk yang heterogen terdiri dari berbagai (thalassemic belt) yang berpotensi besar untuk
suku antara lain suku Batak, Melayu, Jawa, mengemban sifat thalassemia dan hemoglobin

117 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Ratna Akbari Ganie Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia...

variant lainnya (Cavalli Sforza, et al., 1994; related genetic seperti yang ditunjukkan pada
1
Bowie LJ, et al, 1997). Sama seperti daerah penelitian di atas (Flint et al., 1993; Weiss,
9,10
endemik malaria lainnya, diduga populasi di 1993).
Medan juga mempunyai seleksi positif Dengan demikian maka dapat dipastikan
berbagai gen unggul terhadap invasi bahwa penduduk kota Medan yang menurut
Plasmodium, seperti kelainan hemoglobin; Sensus Penduduk tahun 2000, sebagian besar
thalassemia-α, thalassemia-β dan hemoglobin- terdiri dari kelompok etnik di atas, sangat
E (Hb-E) maupun kelainan eritrosit lainnya berpotensial menjadi pengemban kelainan
seperti Defisiensi enzim Glucose-6-Phosphat darah heriditer. Bertolak pada latar belakang
Dehydrogenase (G-6-PD) dan ovalositosis permasalahan di atas, maka dilakukan
(Lie-Injoe, 1959; Flazt, 1967; Luzatto, penelitian terhadap 1.521 sampel darah
1979).
2,3,4
penduduk kota Medan yang berasal dari
Penyakit Thalassemia-α, Thalassemia-β berbagai kelompok suku untuk mengetahui
dan Hb-E adalah kelainan genetic paling jumlah pengemban sifat thalassemia-α,
umum dijumpai pada penduduk Asia thalassemia-β dan hemoglobin-E. Hasil
Tenggara termasuk Indonesia (Weatherall and penelitian ini sangat penting sebagai acuan
Clegg, 2001). Wong (1983) memperkirakan untuk menetapkan perioritas pelayanan
frekuensi pengemban sifat (carrier) kesehatan di era MDGs dengan pendekatan
thalassemia-α pada populasi Indonesia secara race-related medicine (Ruel, 2006) dengan
keseluruhan sebesar 0,5%, thalasemia-β melakukan konseling genetik pranikah maupun
6
sebesar 3,5%, dan Hb-E sebesar 4%. prenatal diagnosis untuk menurunkan insidensi
Penelitian yang lebih komprehensif telah penyakit darah herediter di Indonesia
dilakukan pada 17 populasi di Indonesia oleh khususnya di kota Medan.
11

Lanni (2002), mendapatkan nilai yang lebih


tinggi pada beberapa populasi seperti BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Palembang, Melayu Sumatera pengemban Populasi dan Sampel
sifat thalassemia-β yaitu > 7% demikian pula Sampel darah dikoleksi dari darah vena
dengan pengemban gen Hb-E pada beberapa 1.512 individu dewasa sehat, pendonor darah
Populasi di Sunda Kecil mencapai 20% dengan kisaran umur 18 – 59 tahun, terdiri
bahkan pada penduduk Sumba Timur dari 1.306 laki-laki dan 215 perempuan.
7
mencapai 30%. Kadar hemoglobin probandus di atas 12g%.
Walaupun penelitian sebelumnya telah Komposisi jumlah sampel wakil tiap suku
pernah melaporkan keberadaan kelainan darah diambil sedemikian rupa sehingga mendekati
herediter terkait malaria pada populasi Medan
2,3 keadaan sebenarnya dari komposisi penduduk
(Lie-Injoe, 1959; Flazt, 1967), namun
kota Medan berdasarkan data Sensus
seberapa besar frekuensinya di antara
Penduduk tahun 2000.
kelompok etnik penghuni kota Medan belum
pernah dilaporkan. Apalagi secara terpisah
Cara Penelitian
telah dilaporkan bahwa kelompok etnik
Terhadap semua sampel darah di atas
seperti yang Batak, Melayu, Cina, India, Jawa
dilakukan penapisan awal berdasarkan indeks
mempunyai risiko tinggi untuk carrier gen
hematologis yang meliputi kadar Hb, RBC,
thalassemia-α, thalassemia-β dan Hb-E. Lanni
WBC, HCT, MCV, MCH. MCHC dengan
et al., (2004) telah melaporkan prevalensi electronic cell counter Cell-Dyn 3500. Nilai
carrier thalassemia-β dan Hb-E untuk MCV < 80% dan MCH < 27% sebagai
masyarakat Batak sebesar 1,5% dan 0%, kreteria untuk penegakkan diagnosis
7
Melayu 5,2% dan 4,3%, Jawa 3,2% dan 4,8%. Hemoglobinopati dan Thalassemia. Selanjutnya
Selain thalassemia-α, jumlah pembawa sifat semua sampel yang tersaring sebagai
thalassemia-β pada masyarakat China daratan Hemoglobinopati dan Thalassemia dilakukan
juga cukup tinggi berkisar antara 2,6 %, pemeriksaan sediaan apus darah tepi dengan
sampai 5%, sedangkan pembawa sifat pengecatan Giemsa untuk mendapatkan
thalassemia-α dijumpai berkisar antara 3,8 % gambaran morfologi eritrosit mikrositer
sampai 14,95% (Lie et al., 1982; Yang et al, hipokrom.
2,8
1985). Prevalensi penyakit genetik memang Pemeriksaan kadar Serum feritin
erat hubungannya dengan etnik atau ethnic diperiksa dengan metode ELISA dan Saturasi

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 118


Karangan Asli

transferin untuk menapis kemungkinan Pemeriksaan kadar HbA2 dapat juga


anemia defisiensi besi. Pemeriksaan kadar dilakukan dengan cara kromatografi HPLC
HbA2 juga dilakukan dengan elektroforesis untuk menetapkan sampel pengemban
hemoglobin pada pH alkali dalam media thalassemia-α, thalassemia-β dan Hb-E.
membran selulosa asetat (CAM) dengan
memakai kit Helena dan kemudian diberi HASIL PENELITIAN
pewarnaan Ponceau. Fraksi Hb-A lebih ke Hasil penelitian terhadap 1.521 sampel
arah anoda dibandingkan dengan fraksi HbA2. darah penduduk kota Medan menunjukkan
Fraksi hemoglobin secara relatif dapat diukur hasil pada Tabel 2.
dengan alat densitometer dengan panjang Penapisan indeks hematologis terhadap
gelombang λ 525nm. Nilai kuantitasi HbA2 seluruh sampel darah, telah dijumpai 117 sampel
normal adalah 1,5% - 3,5%. Pada thalassemia- di antaranya terdiagnosis sebagai Mikrositer
α nilai kuantitasi adalah HbA2<3,5% dan pada Hipokrom dengan nilai MCV < 80 fl, dan MCH <
thalassemia-β HbA2>3,5%. Nilai kuantitasi 27 pg (Tabel.2). Selanjutnya setelah dilakukan
HbA2 dibedakan dari Hb-E heterizigot jika pemeriksaan pemeriksaan mikroskopik morfologi
nilai kuantitasi HbA2 terhitung > 10%. Untuk eritrosit sediaan apus darah ternyata semua (117)
memperkuat diagnosis thalassemia-α, selain sampel darah yang dinyatakan Mikrositer
pemeriksaan kadar HbA2, dilakukan juga Hipokrom tersebut adalah carrier
pemeriksaan keberadaan badan inklusi secara Hemoglobinopati / Thalassemia (Tabel 3).
mikroskopik pada preparat sediaan apus darah
tepi.

Tabel 1. Distribusi ratio pengambilan sampel tiap suku terhadap jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan data
sensus penduduk tahun 2000
Jumlah Sampel Jumlah Penduduk Medan
Penelitian SP 2000*
Suku n % n % Ratio Jumlah
33,07 641.782 33,70
1. Batak 503 Relatif sama
30,64 628.898 33,03
2. Jawa 466 Relatif sama
14,66 202.839 10,65
3. Cina 223 Relatif sama
8,94 125.557 6,59
4. Melayu 136 Relatif sama
8,42 163.774 8,60
5. Minangkabau 128 Relatif sama
3,75 53.011 2,78
6. Aceh 57 Relatif sama
0,53 13,159 0,69
7. Nias 8 Relatif sama
0 0,00 75.253 3,95
8. Lain-lain suku Berbeda
Jumlah 1.521 1.904.273
* SP = Sensus Penduduk

Tabel 2. Distribusi sampel darah normal dan mikrositer hipokrom berdasarkan skrining indeks hematologis
dengan Electronic Cell Counter Cell Dyn 3500
Subjek Frekuensi HGB WBC RBC HCT MCV MCH MCHC RDW PLT
(g/dl) (k/ul) (M/ul) (%) (fl) (pg) (g/dl) (%) (k/ul)
MCV < 80 fl,
MCH < 27 pg 117 13,69 ± 6,26 ± 6,05 ± 41,27 ± 68,42 ± 22,75 ± 33,27 ± 15,45 ± 265,69 ±
1,24 2,38 0,75 4,45 4,71 1,79 1,79 1,73 90,34

MCV > 80 fl,


MCH > 27 pg 1.404 13,69 ± 6,22 ± 4,48 ± 41,87 ± 93,53 ± 30,69 ± 32,88 ± 15,59 ± 228,98 ±
1,05 1,91 0,45 4,42 5,91 2,27 2,44 1,73 56,93

Tabel 3. Distribusi sampel darah hemoglobinopati/thalassemia dan mikrositer hipokrom berdasarkan


pemeriksaan mikroskopik sediaan apus darah tepi dengan pengecatan giemsa

119 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Ratna Akbari Ganie Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia...

Suku ∑ Sampel ∑ Sampel ∑ Sampel Persentase


yang diperiksa Hemog / Thal Mikrositik Hipokrom
(%)

1. Batak 503 29 29 5,76

2. Jawa 466 32 32 7,17

3. Cina 223 32 32 14,34

4. Melayu 136 11 11 8,08

5. Minangkabau 128 4 4 3,12

6. Aceh 57 8 8 14,03

7. Nias 8 1 1 12,50

Jumlah 1.521 117 117 7,69

Hasil pemeriksaan lanjutan terhadap kadar Tabel 4. Hasil pemeriksaan nilai serum feritin pada
Serum Feritin dan Saturasi Transferin (Tabel 4 117 sampel darah mikrositer hipokrom
dengan kit abbot diagnostic
dan Tabel 5) menunjukkan kadar Feritin maupun
Nilai Jenis Kelamin
Saturasi Transferin pada 117 sampel darah
mikrositik hipokrom tersebut dalam kisaran Serum Feritin Laki-Laki Perempuan
normal. Artinya semua sampel (117) tersebut
adalah suspect Hemoglobinopati/Thalassemia 20 – < 110 10 10

akibat kelainan hemoglobin herediter. 110 – < 200 73 23


Hasil pemeriksaan lanjutan terhadap kadar
HbA2 menunjukkan dari 117 sampel suspect 200 – 290 1 0
kelainan hemoglobin herediter tersebut, 51
Jumlah 84 33
sampel di antaranya mempunyai kadar HbA2nya
kurang dari 3,5% (carrier thalassemia-α) 62
sampel dengan kadar HbA2nya > 3,5 < 15% Tabel 5. Hasil pemeriksaan nilai saturasi transferin
(carrier thalassemia-β) dan 4 sampel kadar terhadap 117 sampel darah mikrositer
hipokrom
HbA2nya > 15% (carrier HbE) seperti tertera
Nilai Jenis Kelamin
pada Tabel 6.
Saturasi Laki-Laki Perempuan
Transferin
PEMBAHASAN 20 – < 30 2 1
Dari hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pemeriksaan indeks hematologis 30 – < 40 67 27
menggunakan Electronic Cell Counter dengan
40 – 50 15 5
patokan nilai MCV < 80fl dan MCH <27
cukup efektif untuk penapisan (screening) Jumlah 84 33
awal kelainan hemoglobin herediter dalam
populasi besar seperti yang telah
direkomendasikan sebelumnya oleh WHO Hasil penelitian ini juga menunjukkan
12
(1994). Hasil penelitian ini, diperkuat lagi bahwa pemeriksaan kadar HbA2 cukup efektif
dengan pemeriksaan morfologi eritrosit secara untuk membedakan antara carrier
mikroskopik, kadar feritin serum dan saturasi thalassemia-α dari carrier thalassemia-β
transferin sebagai langkah penapisan kedua, maupun carrier Hb-E. Jumlah carrier
ternyata hasilnya cukup signifikan karena thalassemia-α, pada populasi Medan cukup
seluruh sampel (117) yang terjaring pada tinggi, mencapai 3,35% bahkan pada etnik
penapisan indeks hematologis benar-benar Cina mencapai 6,72%. Hasil tersebut tidaklah
merupakan suspect kelainan hemoglobin mengejutkan karena sebelumnya Weatherall &
herediter. Clegg (2001) telah memprediksi angka
pembawa sifat thalassemia-α pada berbagai
Tabel 6. Distribusi Carrier thalassemia-α , thalassemia-β dan Hb-E berdasarkan pemeriksaan kadar HbA2 dengan
Elektroforesis Hemoglobin (Helena)

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 120


Karangan Asli

Jumlah
Sampel ∑ Suspect ∑ Carrier ∑ Carrier ∑ Carrier
Kelainan Thalassemia-α Thalassemia-β HB-E
Suku yang diperiksa Hemoglobin (%) (%) (%)

1. Batak 503 29 (5,76%) 9 (1,78) 18 (3,57) 2 (0,39)

2. Jawa 466 32 (7,17%) 17 (3,64) 14 (3,00) 1(0,21)

3. Cina 223 32 (14,34%) 15 (6,72) 17(7,62) 0

4. Melayu 136 11 (8,08%) 6 (4,41) 4 (2,94) 1(0,73)

5. Minangkabau 128 4 (3,12%) 2 (1,56) 2 (1,56) 0

6. Aceh 57 8 (14,03%) 2 (3,07 6 (10,52) 0

7. Nias 8 1 (7,69%) 0 1 (12,50) 0

Jumlah 1.521 117 (7,69%) 51 (3,35) 62 (4,07) 4 (0,26)

populasi di Indonesia berkisar 1 – 10%, masyarakat secara keseluruhan dalam konteks


bahkan pada penduduk Cina sendiri race related medicine yang berbasis pada
jumlahnya mencapai 3,8 % sampai 14,95% ethnic related genetic (Wadman, 2005; Ruel,
(Lie et al., 1982; Yang et al, 1985).8,13 2006).
15,11
Seperti daerah Asia Tenggara dan
Jumlah carrier thalassemia-β yang Indonesia lainnya, prevalensi carrier
teridentifikasi adalah 4,07% dan carrier Hb-E thalassemia-α, thalassemia-β dan Hb-E cukup
sebesar 0,26%. Hemoglobin-E merupakan tinggi memungkinkan terjadinya kasus
salah satu varian hemoglobin yang paling thalassemia mayor cukup besar akibat
umum dijumpai pada populasi di kawasan
kombinasi antara sesama carrier thalassemia-α
Asia Tenggara (Fucharoen & Winichagoon,
6,14 atau dengan carrier thalassemia-β maupun
1987). 5
Secara umum prevalensi pengemban sifat carrier Hb-E (Weatherall and Clegg, 2001).
Kombinasi pada kasus di atas dapat
(carrier) thalassemia-α, thalassemia-β dan Hb-
menghasilkan bayi thalassemia mayor, dengan
E yang dijumpai dalam penelitian ini cukup
manifestasi klinis dapat dari ringan sampai
representatif dan tidak jauh berbeda jika
berat (Bunn and Forget, 1986; Bowie et al.,
dibandingkan dengan laporan penelitian 16,17
1997; )
sebelumnya seperti Weatherall and Clegg
Seperti negara berkembang lainnya,
(2001) yang memperkirakan keseluruhan
managemen klinis penyakit thalassemia di
jumlah carrier thalassemia-β pada populasi
Indonesia belum memadai, sehingga penderita
Indonesia adalah 3,7%, Hb-E sebesar 2,7%
biasanya meninggal pada usia anak-anak dan
dan thalassemia-α kira-kira 1% -10%. Data
jarang yang mencapai usia dewasa. Oleh
lebih rinci tentang prevalensi carrier
karena itu tindakan preventif mutlak
thalassemia-β dan Hb-E juga dilaporkan oleh
dilakukan sesuai dengan anjuran WHO (1994)
Lanni et al., (2004) secara komprehensif pada
untuk mengurangi insidensi thalassemia dan
berbagai suku di Sumatera dan Jawa antara
hemoglobinopati. Artinya dari hasil penelitian
lain pada suku Batak di Medan sebesar 1,5%
ini yang menunjukkan prevalensi carrier
dan 0%; Minangkabau di Padang sebesar 3,7%
penyakit tersebut > 3%, merupakan alasan
dan 2,9%; Melayu di Pekanbaru sebesar 5,2%
yang kuat untuk melakukan tindakan
dan 4,3%; dan Jawa di Yogyakarta adalah
preventif di kota Medan baik melalui
3,2% dan 4,8%.
konseling genetik pranikah maupun prenatal
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka
diagnosis.
prevalensi carrier thalassemia-α dan
thalassemia-β cukup tinggi pada populasi di KESIMPULAN
kota Medan. Keadaan ini juga mempunyai Dari hasil penelitian di atas dapat
arti penting dalam manajemen kesehatan disimpulkan bahwa:

121 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Ratna Akbari Ganie Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia...

1. Prevalensi carrier thalassemia α dan 8. Yang TY, Yang XY and Chen WC (1985)
thalassemia-β pada populasi Medan Thalassemia in China. Ann N.Y. Acad.
cukup tinggi masing-masing 3,35% dan Sci 445: 92-97.
4,07%. 9. Flint J, Harding R, Clegg JB and Boyce A
2. Pembawa sifat thalassemia α pada etnik (1993). Why are some genetic diseases so
Cina di Medan mencapai 6,72% common? Distinguishing selection from
3. Hasil penelitian dapat dilakukan sebagai other process by molecular analysis of
acuan untuk melakukan usaha preventif globin gene variants. Hum Genet. 91:91-
untuk mengurangi insidensi penyakit 117.
thalassemia baik melalui Konseling
Genetik Pranikah maupun Prenatal 10. Weiss, KM (1993). Genetic Variation and
Diagnosis. Human Disease. Cambridge University
Press. UK.
11. Ruel MD (2006) Using race in clinical
DAFTAR PUSTAKA research to develop tailored medications.
1. Cavalli-Sforza LL, Menozzi P and Piazza Is the FDA encouraging discrimination or
A (1994). The History and Geography of eliminating traditional disparities in health
Human Genes. Princeton University care for African-Americans? J. Leg Med
Press. Princeton. New Jersey. 60-121. 27: 225-241.
2. Lie Injoe L E (1959). Phatological 12. WHO (1994) Guidelines for the control
Haemoglobin in Indonesia. In Abnormal of haemoglobin disorders report of the
Haemoglobins (eds. JHP Jonxis & JF. VIth Annual Meeting of the WHO
Delafresnaye) Blackwell Scientific Working Group on Haemoglobinopathies,
Publication, Oxford. UK. p 210-216. Cagliari, Sardinia, 8-9 April 1989, World
3. Flatz G (1967) Hemoglobin-E: Health Organization, GenevaBowie LJ,
Distribution and Population Dynamics. Reddy PL and Beck KR (1997). Alpha
Hum. Genet. 3: 189-234. thalassemia and its impact on other
clinical conditions. Clinics in Laboratory
4. Luzatto L (1079). Genetics of red cells Medicine. 17 (1) :97-108.
and susceptibility to malaria. Blood
54:961-976. 13. Li, AMC, Lee, FT and Tood D (1982)
The screening of Chinese blood cord
5. Weatherall DJ and Clegg JB (2001) The blood for hemoglobinopathies. Hum
Thalassemia Syndromes, 4th eds. Blackwell Hered 32: 62-65.
Scientific Publ. Oxford. 422-439.
14. Fucharoon S and Winichagoon P (1987)
6. Wong, HB. Thalassemia as community Hemoglobinopathies in Southeast Asia:
health in Southeast Asia. Naskah Lengkap molecular biology and clinical medicine.
Kongres National PHDTI. Yogyakarta 24- Hemoglobin 11:65-69.
26 September 1983.
15. Wadman M (2005) Drug targeting: is race
7. Lanni F., Sofro ASM, Ismadi M, Marzuki enough? Nature 435:1008-1009.
S (2004). ISVI-5 (GÆC): The most
Commom β-thalassemia mutation found 16. Bunn HF and Forget BG (1986)
in the Island of Sumatera. Indonesian Hemoglobin: Molecular, Genetic and
Journal of Biotechnology 6: 571-577. Clinical Aspects. WB Saundres Pulb.
Phylladelphia. 61, 172, 175, 267, 403,
172.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 122


TINJAUAN PUSTAKA

Korioamnionitis sebagai Faktor Risiko Terjadinya


Palsi Serebral
Siska Mayasari Lubis
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik, Medan

123 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Kariomnionitis sebagai Faktor...

belum diketahui sepenuhnya. Beberapa bukti Gejala korioamnionitis dapat


memperlihatkan bahwa 70-80% kasus terjadi asimtomatik dan berbeda-beda pada setiap
akibat faktor prenatal sedangkan asfiksia lahir wanita, meskipun demikian, gejala yang
6
mempunyai peranan yang kecil. umum didapati dapat berupa demam,
Korioamnionitis berperan sebagai peningkatan denyut jantung ibu dan janin,
penyebab penting terjadinya palsi serebral. uterus yang lembut dan nyeri, serta cairan
6,9
Sejumlah penelitian memperlihatkan hubungan amnion yang bau.
yang bermakna antara korioamnionitis dengan Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
palsi serebral pada bayi prematur. anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
Korioamnionitis dapat menyebabkan fetal laboratorium. Selama periode intrapartum
inflammatory response, dan inflamasi ini diagnosis korioamnionitis biasanya berdasarkan
dapat menyebabkan cedera otak pada gejala klinis, selain itu juga dilakukan kultur
neonatus yang dapat mengakibatkan cairan amnion dan sekret urogenital untuk
6 7
terjadinya palsi serebral. mengetahui kuman penyebab. Pemeriksaan
cairan amnion dilakukan dengan cara
6
Korioamnionitis amniosentesis.
Korioamnionitis merupakan infeksi yang
terjadi pada membran (korion) dan cairan Jalur Ascending Infeksi Intrauterin
amnion. Beberapa buku obstetri Mikroorganisme dapat memasuki kantong
10
memperlihatkan insidens berkisar 1% dari amnion dan fetus melalui jalur :
seluruh persalinan. Di negara berkembang 1. Naik dari vagina dan serviks
dimana asuhan prenatal dan nutrisi ibu yang 2. Penyebaran hematogen melalui plasenta
buruk selama kehamilan mempunyai insidens (infeksi transplasenta)
yang lebih tinggi dalam hal terjadinya 3. Retrograde dari rongga peritoneum
7
korioamnionitis. melalui tuba falopi
Korioamnionitis dapat terjadi akibat 4. Accidental pada waktu melakukan
invasi mikroba ke cairan amnion dimana prosedur invasif, seperti amniosentesis,
bakteri yang mencapai rongga amnion percutaneus fetal blood sampling,
menyebabkan terjadinya infeksi serta inflamasi chorionic villous sampling, atau shunting
8,9
di membran plasenta dan umbilical cord.
Infeksi amnion dapat terjadi baik pada Penyebab tersering infeksi intrauterin
membran yang masih utuh maupun pada adalah melalui jalur pertama yaitu bakteri naik
10
membran yang telah ruptur dan lamanya dari vagina dan serviks. Korioamnionitis
ruptur dari membran secara langsung secara histologi didapati lebih sering dan lebih
berhubungan dengan perkembangan berat pada daerah dimana terjadi ruptur
9
korioamnionitis. membran dibandingkan dengan daerah
Korioamnionitis dapat menyebabkan lainnya, seperti placental chorionic plate atau
bakteremia pada ibu, menyebabkan kelahiran umbilical cord. Identifikasi bakteri pada kasus
7
prematur dan infeksi yang serius pada bayi. ini mirip dengan bakteri yang terdapat di
Penyebab tersering infeksi intrauterin adalah saluran genital bagian bawah. Bila terjadi
8,10
bakteri yang ascending dari saluran kemih infeksi kantong amnion selalu terlibat.
8
ataupun genital bagian bawah atau vaginitis.
Organisme penyebab terjadinya Stadium Ascending Infeksi Intrauterin
korioamnionitis adalah organisme normal di Infeksi intrauterin secara ascending dibagi
10
vagina, termasuk Eschericia coli, selain itu atas 4 stadium:
Streptokokus grup B juga sering berperan 1. Terjadi perubahan flora normal di
8
sebagai penyebab infeksi. Chlamydia vagina/serviks atau adanya organisme
trachomatis sebagai salah satu bakteri patologis (cth: Neisseria gonorrhoea) di
penyebab cervicitis juga berperan sebagai serviks. Beberapa bentuk bacterial
bakteri penyebab infeksi intrauterin dan vaginosis juga dapat dijumpai pada
10
berhasil diisolasi dari cairan amnion. Peran manifestasi awal stadium 1.
virus sebagai penyebab korioamnionitis 2. Organisme sudah masuk ke rongga
10
sampai dengan saat ini belum jelas diketahui. intrauterin dan berada di desidua, terjadi

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 124


Tinjauan Pustaka

reaksi inflamasi lokal yang menyebabkan factor, macrophage activation protein-1-α,


desiduitis. dan platelet-activating factor di dalam cairan
8
3. Mikroorganisme selanjutnya masuk ke amnion selama infeksi intrauterin.
korion dan amnion. Infeksi selanjutnya Beberapa analisis univariat telah
menyebar ke pembuluh darah fetus memperlihatkan bahwa kadar IL-6 yang tinggi
(koriovaskulitis) atau melalui amnion merupakan faktor risiko utama untuk
(amnionitis) ke dalam ruang amnion, terjadinya morbiditas yang berat pada
8,11
menyebabkan invasi mikroba pada ruang neonatus. Pada korioamnionitis, IL-8 juga
amnion atau infeksi intra amnion. Ruptur mempunyai kadar yang tinggi di cairan
membran bukan menjadi syarat untuk amnion. Meskipun demikian, tingginya kadar
bisa terjadi infeksi intra amnion oleh IL-6 dan TNF-α di cairan amnion telah
karena mikroorganisme mampu melewati dilaporkan lebih reliabel bila dibandingkan
8
membran yang utuh. dengan tingginya kadar IL-8.
4. Setelah masuk ke kantong amnion, bakteri
dapat masuk ke fetus melalui berbagai B. Fagosit
jalur. Respons inflamasi pada korioamnionitis
juga melibatkan fagosit yang diaktivasi oleh
Aspirasi cairan yang terinfeksi oleh fetus lipopolisakarida, dan terutama oleh
dapat menyebabkan pneumonia kongenital. lipopolisakarida yang berikatan dengan protein
Otitis, konjungtivitis, dan omphalitis juga dapat dan larut di cairan amnion. Lipokalin, marker
terjadi akibat penyebaran mikroorganisme dari aktivasi neutrofil, dan lisozim, marker aktivasi
cairan amnion yang terinfeksi. Penyebaran monosit dan makrofag, didapati secara
infeksi dari daerah yang tersebut di atas juga bermakna lebih tinggi di plasma bayi yang
8
dapat menyebabkan terjadinya fetal lahir dari ibu dengan korioamnionitis.
1
bakteremia dan sepsis. Interaksi antara sitokin dan fagosit dapat
diikuti oleh produksi radikal bebas dan produk
aktivasi fagosit lainnya yang terlibat dalam
8
kerusakan jaringan pada berbagai organ.

C. Metalloproteinases
Metalloproteinases (MMPs) merupakan
golongan zinc-dependent enzymes yang
mampu mendegradasikan komponen matriks
ekstraseluler. Beberapa diantaranya, seperti
MMP-7 dan MMP-9 terlihat di uterus,
amnion, korion, secara bersamaan dengan
inhibitornya. Peningkatan konsentrasi MMP-7
dan MP-9 terjadi selama invasi mikroba ke
rongga amnion selama kehamilan. MMP-8
yang berperan saat inflamasi terutama di
cairan serebrospinal, juga terlihat di amnion
selama invasi mikroba, tidak hanya berperan
sebagai indikator invasi mikroba ke amnion
Gambar 1: Stadium ascending infeksi intrauterin tetapi juga merupakan indikator yang baik
Dikutip dari: NeoReviews 2002;3:e73-84 tentang kondisi janin, dan tingginya kadar
MMP-8 berhubungan dengan prognosis yang
Korioamnionitis dan Mediator Inflamasi buruk..
8

A. Sitokin
Peningkatan pelepasan sitokin sebagai Hubungan Korioamnionitis dengan Palsi
akibat infeksi cairan amnion selama ini sudah Serebral
diketahui, terutama didapati kadar yang tinggi Infeksi maternal sebagai suatu marker
dari interleukin 1 (IL-1), IL-6, tumor necrosis untuk cedera otak neonatus masih menjadi
factor-α (TNF-α), IL-8, colony-stimulating problema oleh karena sulitnya dalam

125 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Siska Mayasari Lubis Kariomnionitis sebagai Faktor...

11
mendiagnosis korioamnionitis. Namun, ada Peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 di SSP
banyak bukti yang mendukung adanya pada bayi baru lahir berkaitan dengan derajat
hubungan antara infeksi/inflamasi plasenta ensefalopati, dan IL-6 berkaitan dengan
12,13
dengan terjadinya palsi serebral pada anak. outcome. Meskipun demikian, apakah sitokin
Hubungan ini pertama sekali ditemukan inflamasi secara langsung mempengaruhi
oleh Eastman dkk tahun 1950, mendapati patogenesis cedera otak neonatus atau hasil dari
demam intrapartum 7 kali lebih sering terjadi cedera otak sendiri, sampai dengan saat ini
16
pada ibu-ibu dengan anak palsi serebral belum dimengerti sepenuhnya.
dibandingkan dengan anak lain sebagai Kolaborasi multisenter antara ahli obstetri,
kontrol. Penelitian berikutnya menemukan neonatologi, dan neurodevelopmental dibutuhkan
peningkatan konsentrasi sitokin pada sampel dalam hal pencegahan dan tatalaksana masalah
6
darah anak-anak penderita palsi serebral, ini. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
menambah dugaan bahwa proses inflamasi untuk memahami mekanisme terjadinya
perinatal merupakan penyebab penting cedera otak pada bayi setelah terjadi
12 11
terjadinya palsi serebral. korioamnionitis.
Beberapa bukti memperlihatkan bahwa
inflamasi terlibat dalam patogenesis cedera Prognosis Palsi Serebral
otak iskemik. Reaksi inflamasi dicetuskan oleh Prognosis anak dengan palsi serebral
iskemik pada sistem susunan saraf pusat (SSP) tergantung pada luas atau beratnya defisit
17
yang terdiri dari peningkatan jumlah leukosit, motorik. Lokasi dan tipe palsi serebral,
termasuk sel polimorfonuklear (PMN) yang adanya epilepsi, derajat gangguan kognitif, dan
diikuti oleh monosit, aktivasi mikroglia, dan penyebab palsi serebral juga mempengaruhi
18
membutuhkan ekspresi molekul adhesi spesifik prognosis penderita palsi serebral.
14
dan faktor kemotaktik. Morbiditas dan mortalitas berhubungan
Penelitian terbaru memperlihatkan dengan beratnya palsi serebral dan juga
bahwa IL-1β dan TNF-α, kedua sitokin ini komplikasi yang terjadi (cth: gangguan
dapat merangsang reaksi inflamasi di SSP. IL-6 respirasi dan saluran cerna). Dengan
merupakan suatu sitokin pleiotropic yang penatalaksanaan yang adekuat penderita dapat
mempengaruhi reaksi proinflamasi dan anti bersosialisasi dalam lingkungan akademis
19
inflamasi, produksinya ditingkatkan oleh maupun lingkungan sosialnya.
15
sitokin lain, termasuk IL-1β dan TNF-α.
Yoon dkk mendapati hubungan yang kuat RINGKASAN
antara beberapa sitokin (IL-6, IL-1β, IL-8, Palsi serebral menggambarkan berbagai
TNF-α) di cairan amnion dengan palsi serebral gangguan fungsi motorik bersifat kronik, non
pada satu studi kohort bayi sampai dengan progresif, dan dikarakteristikkan dengan
berusia 3 tahun.
15
adanya perubahan pada tonus otot serta
TNF-α dan IL-6 dilepaskan dari sel T, mempengaruhi gerakan, kekuatan otot,
makrofag, mikroglia, dan astrosit, yang keseimbangan, dan koordinasi.
merupakan faktor penting untuk regulasi tidak Banyak bukti yang mendukung adanya
hanya untuk maturasi dan pertumbuhan sel hubungan antara korioamnionitis dengan
tetapi juga dalam hal respons terhadap cedera terjadinya palsi serebral pada anak. Didapati
dan fungsi proteksi intraneural. Infeksi/inflamasi hubungan yang kuat antara beberapa sitokin
dapat menyebabkan deregulasi pelepasan (IL-6, IL-1β, IL-8, TNF-α) di cairan amnion
sitokin dari sel-sel CNS dan menginfiltrasi sel- dengan terjadinya palsi serebral. Namun,
sel imun, menyebabkan kerusakan otak dan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
jaringan lainnya. Penelitian pada hewan untuk memahami mekanisme terjadinya palsi
percobaan telah memperlihatkan bahwa serebral pada anak setelah terjadi
lipopolisakarida merangsang mikroglia untuk korioamnionitis.
melepaskan sejumlah besar IL-1β, TNF-α, dan Prognosis anak dengan palsi serebral
IL-6. Tingginya kadar sitokin proinflamasi ini tergantung pada luas atau beratnya defisit
seperti yang didapati pada korioamnionitis motorik. Dengan penatalaksanaan yang
bertanggung jawab untuk terjadinya cedera adekuat penderita dapat bersosialisasi dalam
otak.
8
lingkugan akademis maupun lingkungan
sosialnya.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 126


Tinjauan Pustaka

DAFTAR PUSTAKA 11. Shalak LF, Laptook AR, Jafri HS, Ramilo
1. Swaiman KF, Russman BS. Cerebral O, Perlman JM. Clinical chorioamnionitis,
palsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, elevated cytokines, and brain injury in
penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke- term infants. Pediatrics 2002;110:673-80
3. St. Louis: Mosby, 1999.h.312-22
12. Ferriero DM. Neonatal Brain Injury. N
2. Wollack JB, Nichter CA. Static Eng J Med 2004;351:1985-95
encephalopathies. Dalam: Rudolph CD,
13. Redline RW, Riordan MA. Placental
Rudolph AM, penyunting. Rudolph’s
lesions associated with cerebral palsy and
pediatrics. Edisi ke-21. New York:
neurologic impairment following term
McGraw-Hill, 2003.h.2197-202
birth. Arch Pathol Lab Med
3. Glass RM. Cerebral palsy. JAMA 2000;124:1785-91
2003;290:2760
14. Ancel AM, Alix AG, Salcedo DP,
4. Johnston MV. Encephalopathies. Dalam: Cabanas F, Valcarce M, Quero J.
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Interleukin-6 in the cerebrospinal fluid
penyunting. Nelson textbook of after perinatal asphyxia is related to early
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: and late neurological manifestations.
Saunders, 2004.h.2024-5 Pediatrics 1997;100:789-94
5. Perinatal asphyxia and trauma. Dalam: 15. Paneth N, Korzeniewski S. The role of the
Menkes JH, penyunting. Textbook of intrauterine and perinatal environment in
child neurology. Edisi ke-5. Baltimore: cerebral palsy. NeoReviews 2005;6:e133-
Williams & Wilkin, 1995.h.325-61 40
6. Wu YW, Colford JM. Chorioamnionitis as 16. Bartha AI, Barber AF, Miller SP, Vigneron
a risk factor for cerebral palsy. JAMA DB, Glidden DV, Barkovich AJ, et al.
2000;284:1417-24 Neonatal encephalopathy: Association of
cytokines with MR spectroscopy and
7. Sherman MP. Maternal choriamnionitis.
outcome. Pediatrics 2004;56:960-6
Diunduh dari: URL: http://www.-
emedicine.com/PED/topic89.htm 17. Moe PG, Seay AR. Neurologic &
Muscular disorders. Dalam: Hay WW,
8. Bracci R, Buonocore G. Chorioamnionitis:
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM,
a risk factor for fetal and neonatal
penyunting. Current pediatric diagnosis &
morbidity. Biol Neonate 2003;83:85-96
treatment. Edisi ke-16. New York: Lange
9. Stoll BJ. Infections of the neonatal infant. Medical books/McGraw-Hill, 2003.p.791
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
18. Wu YW, Day SM, Strauss DJ, Shavelle
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook
RM. Prognosis for ambulation in cerebral
of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
palsy: a population-based study. Pediatrics
Saunders, 2004.h.623-5
2004;114:1264-71.
10. Romero R. Preterm Labor, intrauterine
19. Ratanawongsa B. Cerebral palsy. Diunduh
infection, and the fetal inflammatory
dari: URL: http://www.emedicine.com/-
respons syndrome. NeoReviews
neuro/topic533.htm.
2002;3:e73-84

127 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Siska Mayasari Lubis Kariomnionitis sebagai Faktor...

:
Patofisiologi Timbulnya Gelombang dan Beberapa
Jenis Gelombang Normal pada EEG
Aldy S. Rambe
Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 128


mmol/L) bila dibanding di dalam sel (15
+
mmol/L). Sebaliknya ion K lebih banyak di
dalam sel (150 mmol/L) daripada di luar sel
(5,5 mmol/L). Perbedaan konsentrasi dapat
dipertahankan karena adanya pompa ion pada
membran sel. Pompa yang mempertahankan
konsentrasi ion Na dan K adalah Na-K-
ATPase, suatu molekul protein khusus yang
bekerja mengeluarkan ion Na dari intra ke
ekstrael serta memasukkan ion K dari ekstra
ke intrasel. Selain itu juga terdapat perbedaan
konsentrasi ion Cl intrasel (9 mmol/L) dengan
ekstrasel (125 mmol/L) yang dipertahankan
4
oleh pompa ion Cl .
Apabila timbul stimulus, saluran ion Na
terbuka sehingga ion Na berdifusi ke intrasel.
Hal ini menyebabkan intrasel menjadi lebih
positif dan terjadi depolarisasi. Sebaliknya bila
terjadi inhibisi, saluran ion K dan Cl akan
terbuka sehingga ion K berdifusi ke luar sel dan
ion Cl masuk ke dalam sel. Akibatnya bagian
dalam sel menjadi lebih negatif dan terjadilah
hiperpolarisasi.

Aktivitas sel glia


Sekalipun potensial kortikal merupakan
sumber gelombang EEG, sel glia mempunyai
peranan penting dalam hal penyebaran
potensial ekstraseluler, yang berarti juga
berperan penting dalam menghasilkan
gelombang EEG. Berbeda dengan neuron, sel
glia tidak membentuk sinaps, tidak
menghasilkan potensial aksi dan tidak
menghasilkan potensial gradasi seperti
Aktivitas neuron Potensial Inhibisi Post Sinaptik (PIPS)
Struktur membran sel, termasuk sel saraf, maupun Potensial Eksitasi Post Sinaptik
menyebabkan terdapatnya perbedaan (PEPS). Pada dinding sel glia terdapat pompa
potensial listrik di antara bagian dalam sel Na-K-ATPase yang unik yang bekerja
(negatif) dan bagian luarnya (positif). Keadaan memasukkan ion K ke dalam sel dan
ini menyebabkan terdapatnya potensial mengeluarkan ion Na ke luar sel. Mekanisme
membran, yang pada saat istirahat besarnya – ini berperan sebagai “buffer” terhadap sel
4
70 mV . Dengan adanya aktivitas pada sinaps neuron karena dapat menyangga peninggian
akan terjadi fluktuasi pada potensial membran konsentrasi ion K ekstrasel selama aktivitas
ini. Bila stimulus yang diberikan menghasilkan neuron. Hal ini membuat sel glia memiliki
potensial aksi dan sampai pada sinaps eksitasi kemampuan yang unik untuk merespon
maka akan terjadi potensial eksitasi perubahan ion yang terjadi di ekstrasel.
postsinaptik. Beberapa potensial aksi yang Misalnya, pada keadaan seizure akan terjadi
timbul secara bersamaan dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi ion K ekstrasel secara
terjadinya sumasi dari potensial tersebut. dramatis. Ion K yang berlebihan ini akan
Apabila yang terjadi potensial inhibisi maka diambil oleh sel glia sehingga merubah
akan terjadi hiperpolarisasi. polaritas permukaan sel glia dan menyebabkan
Dalam keadaan istirahat ion Na jauh
+
keadaan depolarisasi lokal pada membran sel
lebih banyak terdapat di luar sel (150 glia. Karena polaritas membran ini menyebar

129 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Aldy S. Rambe Elektroensefalografi (EEG)...

lebih lambat dibanding pada sel neuron, sel secara sinkron akan menentukan intensitas
glia dapat berada dalam keadaan depolarisasi gelombang yang terekam pada EEG. Intensitas
3
jauh lebih lama daripada sel neuron . Selain gelombang ini tidak ditentukan oleh aktivitas
berfungsi sebagai “buffer” sel glia juga listrik neuron secara total, sebab sekalipun
berperan memperkuat (amplifikasi) medan aktivitas totalnya besar tetapi bila timbulnya
5
potensial ekstrasel . tidak secara sinkron akan mengakibatkan
potensial aksi yang terjadi saling meniadakan.
Elektrofisiologi pembentukan potensial Akibatnya gelombang yang dihasilkan
Rekaman EEG secara simultan pada sel mempunyai voltase rendah. Hal ini terlihat bila
neuron dan pada kulit kepala menunjukan mata ditutup. Dalam keadaan mata tertutup,
bahwa aktivitas piramidal kortikal banyak neuron yang mempunyai aktivitas yang
berkorespondensi dengan pembentukan sinkron sehingga menghasilkan gelombang
gelombang EEG. Diduga bahwa lamanya dengan frekuensi 8-13 spd. Bila mata dibuka,
potensial aksi yang hanya beberapa milidetik terjadi peningkatan aktivitas otak tetapi tidak
dan depolarisasi membran yang dihasilkan terjadi secara sinkron. Akibatnya gelombang
potensial aksi tidak dapat menghasilkan yang dihasilkan semakin tinggi frekuensinya
potensial yang dapat direkam oleh elektrode dengan voltase yang rendah.
di kulit kepala. Potensial Post Sinaptik (PSP)
mempunyai durasi yang lebih panjang dan Gelombang alfa
melibatkan lebih banyak membran sehingga Sekalipun gelombang alfa telah
diduga menghasilkan potensial tersebut. dideskripsikan oleh Hans Berger pada tahun
Pengamatan ini mengarah kepada hipotesa 1929, sampai saat ini pengetahuan tentang
bahwa PEPS dan PIPS yang sinkron dari sel-sel patofisiologinya masih terbatas. Andersen dan
piramidal di korteks menghasilkan potensial Andersson mengajukan teori klasik yang
yang dapat direkam di kulit kepala. Karena menyatakan bahwa talamus adalah pacemaker
penelitian dengan menggunakan elektrode utama gelombang alfa. Hipotesa lain
mikro intrasel tidak dapat menganalisa menyatakan bahwa timbulnya gelombang ini
peranan sel-sel non piramidal akibat kesulitan terjadi melalui thalamic-processed retinal
teknis, maka kontribusi sel-sel ini belum dapat noise. Menurut hipotesa ini, stimulus random
3
diketahui . yang berasal dari retina diproses melalui
3
Neuron di korteks umumnya homogen, talamus dan diproyeksikan ke korteks . Penulis
saling berbagi beberapa properti membran lain menyatakan bahwa gelombang alfa dan
yang mirip dan voltage-dependent ion channel gelombang lain yang berfrekuensi lebih rendah
conductances. Ada 2 ion conductances yang timbul akibat adanya sekelompok masukan
berpartisipasi menentukan “kecepatan’ stimulus yang sinkron ke sistem serabut aferen
kortikal, yaitu: struktur generator superfisial. Bila stimulus ini
1. The “rebound” calcium conductance, terjadi secara berurutan dan periodik, rekaman
yang juga dijumpai pada sel-sel talamus. potensial medan menunjukkan fluktuasi potensial
2. An inactivating sodium conductance, sinusoidal (alfa) dan lengkung umpan balik
5
yang memungkinkan sel-sel piramidal talamokortikal memegang peranan penting .
mengalami repetitive firing. Gelombang alfa berfrekuensi 8-13 spd,
bervoltase 10-150 mV dengan lokasi di daerah
Kedua hal ini memperkuat kemampuan sel oksipital dan parietal. Gelombang ini
piramidal kortikal untuk merespon masukan berbentuk sinusoid, bilateral, sinkron dan
yang ritmis dari subkortikal. relatif simetris sekalipun amplitudonya dapat
sedikit lebih rendah pada hemisfer dominan.
GELOMBANG PADA EEG Gelombang ini muncul pada orang sadar
Potensial listrik yang direkam oleh elektrode dalam keadaan istirahat dengan mata tertutup
EEG di kulit kepala bukan merupakan gambaran dan mengecil sampai menghilang bila mata
aktivitas satu atau beberapa neuron, melainkan dibuka atau bila ada stimulus sensorik
merupakan sumasi dari ribuan sampai jutaan maupun mental seperti berhitung atau
1,6-8
neuron yang mengalami penggalakan secara berpikir .
bersamaan. Banyaknya neuron yang digalakkan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 130


Tinjauan Pustaka

Gelombang beta bervariasi. Gelombang theta merupakan


Pengetahuan mengenai lokasi komponen normal dari EEG orang tidur
terbentuknya gelombang beta serta proses semua usia. Gelombang ini abnormal bila
pembentukannya masih sangat terbatas ditemukan pada orang dewasa normal dalam
walaupun diketahui bahwa neuron kortikal keadaan bangun dan menunjukkan adanya
dapat menghasilkan gelombang dengan penyakit otak organik yang serius. Lokasinya
3
frekuensi 40 spd . Bila stimulus ke sistem bisa difus atau terlokalisir tergantung kelainan
1,6
serabut aferen berfrekuensi tinggi dengan yang mendasarinya .
periode yang lebih panjang dan sinkron maka Gelombang delta diduga dihasilkan oleh
akan dihasilkan potensial medan negatif kerjasama sel-sel piramidal kortikal pada
3
dengan fluktuasi kecil. EEG akan merekam lamina II, III dan V . Pada orang normal
gelombang dengan amplitudo rendah dalam keadaan bangun, gelombang delta
berfrekuensi tinggi saja, yaitu gelombang beta ditutupi oleh stimulasi retikular mesensefalon
5
dan gelombang berfrekuensi tinggi lainnya . sehingga tidak terekam di EEG. Bila jaras
Gelombang beta berfrekuensi ≥ 14 spd, talamokortikal dipotong sehingga aktivitas
bervoltase sampai 25 mV walaupun pada talamus terhadap korteks terputus maka
keadaan tertentu dapat lebih tinggi. Dalam gelombang alfa akan menghilang dan pada
7
keadaan normal gelombang ini didapati di EEG akan muncul gelombang delta .
daerah frontal atau presentral walaupun dapat
juga mendominasi daerah posterior baik secara Irama Mu
fokal maupun global pada keadaan abnormal. Irama Mu juga dikenal sebagai Irama
Gelombang ini timbul pada saat membuka Arceau, Irama Wicket atau Aktivitas
mata dan oleh penggunaan barbiturat, “Alphoid”. Gelombang ini secara khas
1,6
benzodiazepin dan kloralhidrat . dijumpai di daerah sentral di dekat area
motorik. Gambaran gelombangnya seperti
Gelombang theta mata gergaji (saw-toothed) dengan
Gelombang theta berfrekuensi 4-7 spd kecenderungan fase negatif yang tajam dan
dengan amplitudo yang bervariasi. Lokasinya fase positif yang melengkung. Irama ini dapat
juga bervariasi dan interpretasinya tergantung ditemukan secara sinkron maupun tidak di
pada usia serta derajat kewaspadaan seseorang. kedua sisi hemisfer dengan frekuensi 6-12 spd
Sedikit gelombang theta di daerah temporo- dalam keadaan mata terbuka maupun
oksipital atau verteks orang dewasa normal, yang tertutup. Dalam keadaan normal, aktivitas Mu
tidak terpengaruh dengan membuka mata tetapi dapat dihilangkan secara unilateral oleh
menjadi jelas bila mengantuk, masih dapat gerakan tangan kontralateral. Irama Mu non
dianggap normal. Pada orang dewasa dapat reaktif mungkin menunjukkan adanya
timbul pada keadaan hiperventilasi, mengantuk, kelainan tetapi irama Mu unilateral dan reaktif
1,6
stres emosional khususnya kecewa atau frustasi. dapat dijumpai pada keadaan normal .
Intoksikasi dosis tinggi oleh barbiturat,
benzodiazepin atau sedatif lainnya dapat Gelombang Lambda
1,6,7
menyebabkan timbulnya gelombang ini . Gelombang ini dapat dijumpai di daerah
Gelombang theta bervoltase rendah di daerah oksipital dengan mata terbuka terutama bila
temporal dapat dijumpai pada orang dewasa memperhatikan sesuatu dengan penuh
muda (< 25 tahun) dan usia lanjut (> 50 tahun) perhatian di tempat yang terang atau selama
6
yang normal . Hasil dari beberapa penelitian fase tidur non-REM. Gelombang ini dapat
menunjukkan bahwa kontrol utama terhadap diperjelas dengan meminta pasien untuk
aktivitas theta terdapat di sistem kolinergik memperhatikan gambar atau struktur
septohipokampal yang berasal dari inti retikuler geometris yang bergerak. Gelombang lambda
batang otak. Septum hipokampus diduga dapat timbul sendiri atau dibangkitkan dengan
7
merupakan pacemaker gelombang theta . memberikan stimulasi visual.
Lambda merupakan gelombang tajam
Gelombang delta positif-negatif bifasik biasanya dengan
Gelombang ini berfrekuensi 3 spd atau amplitudo yang relatif rendah, yang lamanya
lebih rendah dengan amplitudo dan lokasi sampai 250 milidetik. Pada rekaman, fase

131 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Aldy S. Rambe Elektroensefalografi (EEG)...

positif biasanya lebih menonjol sehingga 2. Niedermeyer E. Historical Aspects. In:


kadang-kadang disebut gelombang tajam Niedermeyer E, Da Silva FL eds.
elektropositif. Keberadaannya dihubungkan Electroencephalography Basic Principles,
dengan gerakan-gerakan kecil bola mata untuk Clinical Applications and Related Fields.
rd
mempertahankan posisi mata agar bayangan 3 ed. Baltimore: Williams&Wilkins;
yang masuk dapat menstimulasi retina secara 1997.p.1-14.
maksimal. Lambda merupakan gelombang
3. Swanson TH. Basic Cellular and Synaptic
normal. Bila gelombang ini tidak dijumpai
1,6 Mechanisms Underlying the
bukan merupakan suatu keadaan abnormal .
Electroencephalogram. In: Levin KH,
Luders HO.eds. Comprehensive Clinical
KESIMPULAN
Neurophysiology. Philadelphia: W.B.
Peranan EEG sebagai penunjang Saunders Company; 2000.p.349-57.
diagnostik di bidang Ilmu Penyakit Saraf
masih cukup vital sekalipun perkembangan 4. Waxman SG. Correlative Neuroanatomy.
rd
ilmu pengetahuan yang sangat pesat telah 23 ed. New Jersey: Prentice Hall; 1996.
menemukan alat bantu diagnostik lain yang 5. Speckmann EJ, Elger CE. Introduction to
lebih canggih. Informasi yang diperoleh the Neurophysiological Basis of the EEG
melalui rekaman EEG, dengan segala and DC Potentials. In: Niedermeyer E,
keterbatasannya, masih merupakan masukan Da Silva FL.eds. Electroencephalography
yang bermanfaat dalam upaya penegakan Basic Principles, Clinical Applications
diagnosa secara akurat. rd
and Related Fields. 3 ed. Baltimore:
Sekalipun telah lama ditemukan, Williams&Wilkins ; 1997.p.15-26
sayangnya pengetahuan tentang patofisiologi
timbulnya gelombang listrik yang dapat 6. Craib AR, Most M. Neuro the Manual.
direkam pada EEG masih relatif terbatas. Vancouver: Beckman Instruments Inc;
Sulitnya melakukan penelitian pada manusia 1973.
dengan menggunakan elektrode intraserebral 7. Steriade M. Cellular Substrates of Brain
mengakibatkan data yang diperoleh hanyalah Rhythms. In: Niedermeyer E, Da Silva
dari elektrode di kulit kepala ataupun dari FL.eds. Electroencephalography Basic
penelitian pada hewan. Agar segala keterbatasan Principles, Clinical Applications and
ini tidak mengurangi keakuratan diagnosa, Related Fields. 3
rd
ed. Baltimore:
pemahaman yang memadai terhadap Williams & Wilkins; 1997 .p. 27-62.
pengetahuan mengenai potensial listrik yang
masih terbatas ini mutlak diperlukan sehingga 8. Kellaway P. An Orderly Approach to
interpretasi hasil pemeriksaan EEG dapat Visual Analysis: Parameters of the
dilakukan dengan baik. Normal EEG in Adults and Children. In:
Klass DW, Daly DD. eds. Current
Practice of Clinical Electroencephalography.
KEPUSTAKAAN New York: Raven Press; 1979.p.73-143.
1. Permadi P. Pedoman Praktis
Elektroensefalografi. Edisi Pertama. Jakarta:
Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa;
1977.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 132


Anestesi pada Ventrikel Septal Defek
Akhyar H. Nasution
Departemen/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran USU
RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan jantung bawaan yang sering
ditemukan, jumlahnya lebih dari 25 – 35% dari penyakit jantung bawaan. Defek tersebut sering
pada pars membranous septum interventrikuler (membranous atau infracristal VSD) pada bagian
posterior dan anterior dari lembaran septum dari katup trikuspidal. Muskularis VSD terjadi lebih
sedikit dan lokasinya pada bagian tengah dan apical dari septum interventrikuler, dimana dapat
merupakan defek yang tunggal atau dapat berupa lubang yang multiple (resembling Swiss
cheese). Defek pada septum subpulmonal (supracristal) sering berhubungan dengan adanya aortic
regurgitation sebab ujung arteri koronaria kanan dapat prolaps kedalam VSD.
Kata kunci: Ventricular Septal Defect (VSD), Pars membranous septum interventrikuler, Shunt
left-to-right

Abstract: Ventricular Septal Defect (VSD) is the most common Congenital heart disease,it was
more than 25-30% of congenital heart disease.Most common defect is at pars membranous
septum interventrikuler (membranous or infracristal VSD) at posterior and anterior from the
septum of tricuspidal valve.VSD musculans happen less often and its location is at middle and
apical of interventriculer septum,where the defect single or multiple (resembling Swiss
cheese).Defect at subpulmonal septum (supracristal) often related to aortic regurgitation because
of the end of right coronaria can prolaps to the VSD.
Keywords: Ventricular Septal Defect (VSD), Pars membranous septum interventrikuler, Shunt
left-to-right

PENDAHULUAN
Besarnya ukuran VSD dan derajat
beratnya hipertensi pulmonal menentukan
perjalanan pasien dengan VSD. Ventrikel
septal defek pada sebagian besar pasien
dewasa biasanya kecil, dengan gejala minimal
left-to-right shunt, pulmonary hypertension
yang tidak terlalu besar dan tanpa gejala.
Kehamilan dengan keadaan seperti ini
biasanya tidak banyak ditemukan, yang lebih
jarang lagi adalah ditemukannya komplikasi
berupa bacterial endocarditis atau dapat
1,2
berupa gagal jantung kongestif.
Beberapa pasien dengan VSD yang besar
tidak terkoreksi biasanya mengalami gangguan
pertumbuhan, infeksi pernafasan berulang,
hipertenis pulmonal, dan gangguan ventrikel
kanan dan kiri. Komplikasi yang utama adalah
kegagalan ventrikel kanan yang berat dengan
terjadinya shunting yang reversal
1,2
(Eisenmenger’s syndrome)

133 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Akhyar H. Nasution Anestesi pada Ventrikel Septal Defek

Manifestasi Klinik
Ventrikel septal defek yang kecil akan
menimbulkan bising pansistolik yang ringan
pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks
yang normal dan gambaran elektrokardiogram
right bundle branch. Tekanan intrakardial
masih normal dengan shunting left-to-right
yang minimal. Ventrikel septal defek yang
sedang sampai besar menimbulkan murmur
pansistolik yang keras dengan expiratory
splitting pada suara jantung kedua dan adanya
pembesaran jantung kiri, akhirnya bisa juga
terjadi pembesaran jantung kanan. Saturasi
oksigen pada ventrikel kanan meningkat
sebagai akibat adanya left-to-right shunt.
Tekanan end diastolic ventrikel kanan,
tekanan arteri pulmonal dan tekanan end
Patofisiologi diastolic ventrikel kiri juga meningkat.
Shunt left-to-right berhubungan dengan Ventrikel septal defek yang sedang biasanya
VSD yang kecil yang awalnya meningkatkan
menyebabkan penurunan tahanan vascular
aliran darah pulmonal dan secara sekunder
menurunkan tahanan vaskuler pulmonal, pulmonal, sedangkan VSD yang besar
sehingga menyebabkan tekanan arteri menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler
pulmonal yang normal. Peningkatan volume pulmonal tersebut. Peningkatan tahanan
kerja ventrikel kiri masih dapat ditoleransi. vaskuler pulmonal yang berlangsung lama
Dengan adanya VSD yang lebih besar, terjadi menyebabkan shunting yang biridectional dan
shunting left-to-right yang lebih besar yang akhirnya right-to-left shunt yang disertai
1,2
menyebabkan peningkatan aliran darah dengan sianosis dan clubbing.
pulmonal, tetapi tahan vaskuler pulmonal
tidak dapat mengkompensasi peningkatan
aliran ini sehingga terjadi hipertensi pulmonal.
Peningkatan volume kerja ventrikel kiri
menyebabkan disfungsi ventrikel kiri,
peningkatan tekanan PCW, dan
memburuknya hipertensi pulmonal.
Kemudian terjadi kegagalan ventrikel kanan,
yang akhirnya terjadi keseimbangan tekanan
antara ventrikel kanan dan kiri, dan diikuti
dengan shunting yang bidirectional atau
1,2
reverse sehingga terjadi sianosis perifer.
Gambar EKG pada VSD

PROSEDUR ANESTESI DAN PERAWATAN


OPERATIF
Panduan dalam premedikasi, monitoring,
induksi, dan penatalaksanaan intraoperatif
dapat diaplikasikan untuk seluruh tipe defek
3
septum.
Problem khusus pada pasien defek septum
ventrikel diantaranya adalah: peningkatan
PBF, CHF, dan penurunan fungsi ventrikuler.
Pada pasien dengan defek septrum ventrikel
supracristal, insufisiensi aorta merupakan
problem tambahan. Pada defek septum

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 134


Tinjauan Pustaka

ventrikel kecil akan membebani ventrikel kiri, terjadinya dilusi tambahan oleh darah yang
sedangkan defek septum ventrikel besar akan mengalami resirkulasi. Anestesiolog dapat
4
membebani kedua ventrikel. mengkompensai dampak adanya pintasan
dengan meningkatkan konsentrasi agen intra
Premedikasi vena; meskipun terdapat risiko overdosis.
Tujuan premedikasi pada pasien dengan Faktor–faktor tersebut, meskipun nyata,
defek septum tidak berbeda dengan prosedur namun memiliki aspek kepentingan klinis
premedikasi pada pasien yang menjalani yang kecil dalam induksi anestesi
operasi lain baik operasi umum ataupun dibandingkan dengan faktor lain, seperti
operasi jantung, yaitu pasien yang tersedasi misalnya kecukupan premedikasi dan
secara adekuat dan kooperatif, disertai dengan mempertahankan volume ventilasi yang
4,5
rumatan stabilitas kardiovaskular dan respirasi. adekuat.
Preparat oral, rektal, ataupun intramuskular Teknik induksi pada pasien dengan
dapat digunakan, bergantung pada kondisi, pintasan kiri-ke-kanan bukanlah hal yang
pilihan, dan tingkat kooperatif pasien; serta bersifat kritis dan dapat disesuaikan menurut
prosedur operatif yang direncanakan. keinginan pasien, tingkat kooperativitas, atau
Pemberian pentobarbital 2 – 4 mg/kg per oral ada-tidaknya jalur infus intravena pre-induksi.
atau per rektum 2 jam sebelum operasi, Pasien yang telah terpasang infus ataupun
ditambah dengan meperidine 2 mg/kg atau menginginkan induksi intravena dapat dengan
morfin 0,1 mg/kg, dan scopolamine 0,1 mg aman diinduksi dengan menggunakan
intramuskular 1 jam sebelum operasi akan thiopental 2 – 4 mg/kg atau preparat induksi
menghasilkan tingkat sedasi dan hipnosis yang intravena lainnya, diikuti dengan pemberian
adekuat. Pada pasien berusia kurang dari 1 suksinilkolin atau pancuronium sebagai agen
tahun, dan pada pasien dengan derajat blokade neuromuscular sebelum dilakukan
kegagalan jantung yang signifikan, serta pada intubasi. Pada pasien dengan penyakit yang
pasien dengan curah jantung yang rendah, lebih parah (hipertensi pulmoner dengan gagal
maka dosis yang dipergunakan dapat jantung kanan) dapat diberikan fentanyl 5 –
diturunkan, atau kadang dapat dihilangkan. 10 μg/kg atau ketamin 1 – 2 mg/kg untuk
Sianosis pada pasien dengan defek septum menggantikan thiopental sebagai agen induksi
murni mengindikasikan terjadinya “shunt intravena. Setelah dilakukan induksi,
reversal”, bentuk stadium lanjut dari penyakit kemudian ditambahkan agen inhalasi sesuai
4,5
ini dimana merupakan lesi yang relatif tidak dengan kebutuhan situasi klinis.
dapat diterapi dengan prosedur pembedahan Anak yang lebih kecil biasanya
dan membutuhkan perhatian khusus dalam membutuhkan tindakan induksi inhalasi.
4
premedikasi. Premedikasi yang adekuat pada pasien
tersebut akan menghasilkan induksi tanpa
Teknik Induksi perlawanan. Setelah induksi, dapat dimulai
Sebagian besar pasien dengan defek pemberian infus intravena, kemudian
septum mengalami pintasan kiri-ke-kanan diberikan pelumpuh otot sebelum dilakukan
yang akan cenderung menurunkan waktu intubasi endotrakeal. Pilihan pelumpuh otot
induksi pada penggunaan agen inhalasi yang sering kali tetap pada pancuronium karena
relative soluble, seperti misalnya halothane. durasi kerja yang panjang, dan efek vagolitik,
Karena darah yang melewati pintasan mengakibatkan takikardia, yang sering
kemudian mengalami resirkulasi melalui paru, menguntungkan bagi neonatus dan bayi yang
sebagian akan mengalami saturasi oleh agen bergantung pada denyut jantung yang adekuat
anestesi, oleh sebab itu konsentrasi alveolar untuk mempertahankan cardiac output.
akan meningkat dengan lebih cepat, akibatnya Rocuronium, agen penghambat neuromuskular
induksi anestesi akan terjadi lebih cepat. nondepolarisasi dengan onset yang relatif
Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous cepat, telah menunjukkan efektivitasnya jika
oksida relatif lebih tidak terpengaruh oleh diberikan intramuskuler dengan dosis 2
mekanisme ini, sehingga tidak terjadi mg/kg, dengan kondisi intubasi yang sangat
akselerasi induksi. Agen intravena dikatakan baik dapat dicapai dalam 2,5 sampai 3 menit
memiliki efek onset yang lebih lambat, karena pada bayi dan anak–anak ini merupakan

135 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Akhyar H. Nasution Anestesi pada Ventrikel Septal Defek

pilihan baru yang penting pada pasien tanpa berikatan dengan kompleks troponin-aktin-
akses intravena induksi, pada mereka yang miosin yang akan menghasilkan kontraksi
dengan suksinilkolin intramuskuler adalah miosit. Mekanisme lain adalah halothane,
kontraindikasi atau tidak diinginkan.
4,5
tetapi bukan isofluran, secara langsung
++
Pada bayi, anestesi juga dilakukan dengan mengaktivasi saluran Ca retikulum
teknik inhalasi, jika pasien stabil. Namun, sarkoplasmik (RS) sensitive-ryanodin, dengan
++
sebagian besar pasien bayi yang menjalani demikian menurunkan cadangan Ca di dalam
++
operasi koreksi, mengalami gagal jantung RS dan mengakibatkan berkurangnya Ca
derajat sedang dan telah memiliki jalur untuk dilepaskan selama kontraksi. Detail dari
++
intravena pre-operatif, sehingga digunakan efek sevofluran dan desfluran pada aliran Ca
teknik induksi intravena. Diantara agen–agen tidak banyak diteliti, tetapi diantisipasi bahwa
5
indukai intravena, ketamin dan etomidat mereka mirip dengan halothane.
adalah agen pilihan bagi pasien dengan fungsi Penggunaan dukungan inotropik, inhibitor
ventrikuler yang lemah atau yang sebaliknya fosfodiesterase, yang paling baru milrinone
memiliki risiko hemodinamik yang berbahaya dan enoxsimone, telah diteliti dan digunakan
dengan induksi anestesi. Harus dicatat bahwa lebih sering pada bayi dan anak – anak.
pada pasien yang ketergantungan terhadap Penelitian–penelitian yang telah dipublikasikan
katekolamin tinggi, misalnya pasein pra- dan pengalaman klinis dengan milrinone
transplantasi jantung yang mendapatkan agen menunjukkan bahwa agen tersebut secara
inotropik dalam jangka panjang, ketamin rutin meningkatkan CO sebesar 30 - 50%, dan
dapat bekerja langsung sebagai depresan menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan
miokardial dan menyebabkan bahaya pulmonal sebesar 30 – 40% dengan perubahan
hemodinamik pada saat induksi. Etomidat minimal pada HR. Juga dilaporkan bahwa
tampaknya jauh lebih dapat ditoleransi pada milrinone memiliki insiden trombositopenia
pasien–pasien tersebut, dan oleh karena itu, yang lebih rendah dibandingkan dengan amrinone,
menjadi agen pilihan untuk banyak keadaan yang penggunaannya pada pasien pediatri telah
seperti ini. Propofol dan thiopental akan dibatasi. Hipotensi sistemik sering terjadi jika
5
menyebabkan hipotensi, dan/atau depresi dosis loading diinfus terlalu cepat.
miokardial dan bradikardia, dan tidak boleh
digunakan pada semua pasien CHD dengan Pemantauan
fungsi ventrikel yang baik dan hemodinamik Pemantauan dasar untuk perbaikan ASD
yang stabil kecuali yang paling “sehat”.
4,5
atau VSD adalah sama dengan sebagian besar
Teknik inhalasi dengan agen yang poten prosedur operasi kardiovaskuler: EKG,
secara teoritis memiliki kelemahan, yaitu tekanan darah (invasif dan non-invasif),
menurunkan curah jantung dan resistensi oksimetri nadi, kapnografi, tekanan vena
vaskular sistemik; serta memiliki potensi sentral/CVP, temperatur, produksi urin,
membalik arah pintasan kiri-ke-kanan. Shunt pemeriksaan laboratoris berupa analisis gas
reversal biasanya tidak terjadi jika tidak darh dan elektrolit. CVP merupakan panduan
didapatkan hipertensi pulmoner dan hipertrofi yang baik untuk memberikan terapi cairan.
ventrikel kanan yang nyata. Dengan memandang Namun, hasilnya dapat meragukan paling
agen–agen anestesi inhalasi, penelitian in vitro tidak dalam 2 situasi berikut:
mengenai efek–efek pada kontraktilitas, 1. Segera setelah ventrikulotomi, tekanan
mengindikasikan bahwa susunan efek jantung kanan akan cenderung tinggi
depresan kontraktilitas miokard langsung sebagai akibat dari penurunan fungsi
adalah halothane >> sevoluran = isofluran = jantung kanan, sedangkan fungsi jantung
desfluran. Perbedaan diantara agen–agen kiri normal.
tersebut terjadi karena efek yang berbeda 2. Setelah penutupan ASD, tekanan atrium
++
dalam aliran kalsium melalui saluran Ca tipe- kiri untuk sementara waktu akan lebih
L, keduanya transarkolema (melalui tinggi dibandingkan tekanan atrial kanan.
membrane plasma), dan dalam retikulum Pemasangan kanula pada atrium kiri bias
sarkoplasmik. Halothane menurunkan aliran jadi berguna pada beberapa kasus, namun
Ca
++
melalui sarkolema lebih banyak tidak diperlukan secara rutin.
dibandingkan isofluran, dengan hasil bersih Kateter arteri pulmonalis yang dipasang
++
yaitu kurangnya Ca intraseluler yang akan dengan tujuan untuk mengukur tekanan atau

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 136


Tinjauan Pustaka

curah jantung digunakan pada beberapa untuk pasien pediatrik. Perawatan yang
sentra, namun hingga saat ini belum diterima cermat dapat mencegah masuknya gelembung
secara luas karena adanya penyulit berupa udara saat menyambung selang ke kateter dan
4
insersi pada anak kecil, perubahan letak yang saat injeksi obat.
terjadi saat kanulasi atau perbaikan, Potensi kedua sumber emboli udara
kemungkinan menembus defek septum, biaya adalah kanulasi atrium kanan untuk bypass
yang harus dikeluarkan, dan sejauh mana kardiopalmuner. Jika CVP rendah, udara
perannya dalam mempengaruhi outcome dapat terperangkap dalam atrium saat insersi
penderita belumlah diketahui.
4,6 kanula vena. Tekanan udara positif selama
Popularitas penggunaan echokardiografi intra insersi dapat membantu mencegah
operatif semakin meningkat akhir–akhir ini dan terperangkapnya udara. Setelah kanula vena
merupakan prosedur rutin yang dilakukan pada terpasang, terisi darah, dan terhubung dengan
beberapa sentra untuk operasi spesifik. aliran vena, udara dapat nampak pada
Ditempatkan kedua probe baik transofageal konektor “Y”. sebelum bypass, udara ini dapat
ataupun epikardial. Tujuan utamanya dalam mengalir balik ke pasien jika kanula caval
perbaikan defek septum adalah untuk tidak diklem. Jika asisten bedah yang
mendeteksi pintasan residual yang signifikan, berpengalaman melepas klem caval sementara
dan juga untuk mengukur fungsi ventrikular jalur vena masih diklem, maka udara akan
dan/atau valvular.
4,6 terhisap kembali ke atrium kanan jika CVP
rendah dan dapat terjadi emboli aradoxical”.
Penatalaksanaan pada Bypass Kardiopulmoner Pengawasan ketat selama kanulasi pembuluh
Pertimbangan sirkulasi pre-bypass dan darh besar oleh anestesiolog dan tim bedah
4
ekstrakorporeal pada pasien dengan defek akan mencegah komplikasi pembedahan.
septum tidak berbeda dengan pasien yang Udara selalu ada dalam ruang jantung jika
menjalani operasi perbaikan untuk defek ruang jantung manapun telah dibuka untuk
kongenital jantung lainnya. Pada bayi atau pembedahan perbaikan defek septum.
anak kecil, ahli bedah dapat mempersiapkan Berbagai metode dipergunakan untuk
untuk menggunakan hipotermia dalam dengan menghilangkan udara tersebut, sebelum
penghentian sirkulasi untuk memperbaiki sirkulasi alami dijalankan kembali, namun
kanal AV atau VSD yang besar. Persiapan tidak ada metode yang mempu menghilangkan
4
untuk hipotermia dalam dan penghentian keseluruhan udara yang ada.
sirkulasi melibatkan persiapan farmakologis
ekstra dan peralatan untuk pendinginan.
4 Perawatan Post Operatif
Komplikasi post-operatif terbesar pada
Emboli Udara tindakan perbaikan VSD adalah terjadinya
Pada pasien dengan hubungan abnormal blokade jantung yang diakibatkan oleh trauma
antara jantung kanan dan kiri, selalu terdapat pada jaringan konduksi. Baik nodus AV atau
risiko terjadinya emboli, khususnya emboli Bundel His dapat mengalami trauma,
udara, yang mencapai jantung kiri dan bergantung pada lokasi defek. Blokade
kemudian diedarkan ke sirkulasi sistemik, sementara yang disebabkan oleh terjadinya
khususnya sirkulasi serebral. Karena jumlah edema karena penjahitan, dapat muncul
volume udara yang dibutuhkan untuk belakangan di ICU; pada semua pasien
menyebabkan terjadinya infark serebri belum sebaiknya dipasang ventricular pacing electrode.
diketahui hingga sekarang, maka upaya untuk Pada pasien yang dilakukan prosedur
menghindari udara apapun harus dilakukan.
4 ventrikulotomi, dibutuhkan pemberian terapi
Sumber tersering udara adalah selang penunjang berupa pemberian preparat
5
intravena, termasuk side pots, tubing inotropik post-operatif.
connections, dan stopcocks. Gelembung udara Pintasan residual yang memiliki dampak
cenderung untuk menempel pada area dimana signifikan terhadap hemodinamik terjadi pada
terjadi perubahan diameter lumen. Sebelum sekitar 6 – 10% pasien dan dapat diakibatkan
memulai pemberian infus, selang harus oleh adanya defek tambahan yang tidak
diperiksa ulang oleh karena gelembung udara terdiagnosis sebelumnya, khususnya pada
yang kecil dapat keluar dari larutan dan akan septum muskularis; atau adanya kebocoran
saling bergabung saat tidak terjadi aliran, pada jahitan. Kejadian ini dapat didiagnosis
khususnya pada kamar operasi yang hangat

137 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Akhyar H. Nasution Anestesi pada Ventrikel Septal Defek

dengan menggunakan color flow Doppler atau 2. Morgan, GE, Mikhail, MS & Murray, MJ
4
echokardiografi dengan zat kontras. (editors): Anesthesia for Patients With
Pada sebagian besar anak dengan Cardiovascular Disease. In: Clinical
uncomplicated VSD, ekstubasi endotrakel Anesthesiology, third edition, McGraw-
dapat dilakukan di dalam kamar operasi atau Hill Companies, New York. 2002, p424-
segera setelah pasien tiba di ICU. Pada pasien
5
dengan defek septum yang lebih berat atau
pada pasien dengan hipertensi pulmoner, 3. Michael V, Charles B, Bertrand R, Daniel
sebaiknya tidak dengan segera dilakukan S, Ventricular septal defect. (On Line):
ekstubasi. Sebagian besar pasien–pasien ini URL.
membutuhkan preparat vasoaktif untuk terapi http://www.chkd.com/cardiology/vsd.20
kegagalan ventrikel kanan atau defek
04
konduksi. Preparat isoprotenol, sodium
nitroprusside, nitrogliserin, atau preparat 4. Cooper JR. Setal and endocardial cushion
vasodilator lainnya digunakan untuk defects. In: Pediatric Cardiac Anesthesia.
menurunkan tekanan arteri pulmonalis dan nd
Lake CL, 2 edition Connecticut :
untuk mengurangi terjadinya regurgitasi mitral Appleton & Lange; 1993, p235-6
setelah perbaikan celah pada katup mitral.
Isopretenol intravena juga berguna untuk 5. Dean B, Andropoulus. Update in
memperbaiki blokade jantung yang terjadi pediatric anesthesia. Texas Children’s
setelah bypass, menjadi ritme sinus atau Hospital. Baylor College of Medicine.
4
atrial. (On Line) :
URL.http://anesnet.bcm.tmc.edu/tchv/ht
m.2003
DAFTAR PUSTAKA
1. Crowder, CM & Evers, AS. General 6. Chang AC, Jacobs J. Ventricular Septal
Anesthetics .In: The Pharmacological Defect. In: Pediatric Cardiac Intensive
Basis of Therapeutic, tenth Care. Philadelphia: Williams & Wilkins;
edition.Editors; Joel G. Hardman, Lee E. 1998, p212-16.
Limbird & Alferd Goodman Gilman. The
McGraw-Hill Companies, New York.
2001, p352

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 138


Tinjauan Pustaka

Nelly Rosdiana
Divisi Hemato - Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU / RS H. Adam Malik Medan

Abstrak: Anemia merupan suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel darah
merah di bawah normal. Prevalensinya pada bayi berkisar 5,7%, remaja putri 5,9%, wanita muda
5,8%, dan 4,4% pada pria berusia lanjut. Penyebab terjadinya anemia pada anak sangat bervariasi
sehingga jika seorang pucat, diperlukan langkah-langkah pendekatan diagnostik berupa anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang tepat serta terperinci, pemeriksaan darah lengkap, morfologi darah,
aspirasi sumsung tulang serta mencari penyakit yang mendasari anemia tersebut.
Kata kunci: anemia-MCV-RDw-Aspirasi sumsung tulang

Abstract: Anemia is the condition in which the concentration of hemoglobin or the red cell mass
is reduced below normal. The incidence of anemia in infants, teenagers, women, and men are
approximately 5.7%, 5.9%, 5.8%, and 4.4%, prespectively. The cause of anemia for the children is
varied, so if a child suffered the pallor, we need the steps for the diagnostic approach are the
including, the medical history of the anemic child, detailed physical examination with particular
attention acute and chronic effects of anemia, complete blood counts, morphology cells, bone
marrow puncture and underlying diseases.
Keywords: anemia – MCV – RDW – bone marrow puncture

PENDAHULUAN DEFINISI ANEMIA


Secara tradisional, pucat pada anak selain Anemia didefinisikan sebagai
diketahui melalui pemeriksaan fisik, juga berkurangnya volume sel darah merah atau
ditegakkan melalui hasil pemeriksaan konsentrasi hemoglobin di bawah nilai
3,4
normal. Batas yang membedakan anemia
laboratorium yang abnormal yaitu kadar
dari kondisi normal pada umumnya adalah
hemoglobin (Hb) kurang dari normal nilai Hb dibawah -2 SD rata-rata populasi
berdasarkan usia, dengan fokus perlu tidaknya normal.
3
1
pucat diberikan terapi. Anemia Dikelompokkan dalam mild,
Anemia merupakan suatu kondisi dimana moderate dan severe anemia berdasarkan
konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel darah konsentrasi hemoglobin (80%, 60-80%, < 60%
5
merah di bawah normal. Anemia berdasarkan cutt-off level).
menyebabkan menurunnya kemampuan
pengangkutan oksigen yang fisiologis di dalam PENYEBAB
Penyebab terjadinya anemia pada anak
darah dan berkurangnya suplai oksigen ke
2 sangat bervariasi, bisa oleh karena gangguan
jaringan. produksi sel darah merah atau rusaknya
Berdasarkan hasil survey di Amerika jumlah eritrosit yang bermakna.
4,3

Serikat yang dilakukan oleh the Second Jika seorang anak terlihat pucat, penting
National Health and Nutrition Survey menentukan inti permasalahannya, baik itu
(NHANES) didapati prevalensi anemia pada disatu alur sel (misalnya sel darah merah, sel
bayi berkisar 5,7% , remaja putri 5,9%, wanita darah putih atau trombosit). Jika dua atau tiga
muda 5,8% dan 4,4% pada pria berusia alur sel terganggu, kemungkinan
1 menunjukkan adanya keterlibatan sumsum
lanjut.
tulang (misalnya leukemia, penyakit
1-3, 6
metastase, anemia aplastik).

139 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Nelly Rosdiana Pendekatan Diagnosis Pucat pada Anak

Tabel 1. Normal red blood cell values in children


Hemoglobin (g/dl) MCV (fl)
AGE Mean - 2 SD Mean - 2 SD
Birth (cord blood) 16.5 13.5 108 98
1-3 days (capillary) 18.5 14.5 108 95
1 week 17.5 13.5 107 88
2 weeks 16.5 12.5 105 86
1 month 14.0 10.0 104 85
2 months 11.5 9.0 96 77
3-6 months 11.5 9.5 91 74
0.5-2 years 12.0 10.5 78 70
2-6 years 12.5 11.5 81 75
6-12 years 13.5 11.5 86 77
12-18 years, female 14.0 12.0 90 78
12-18 years, male 14.5 13.0 88 78
18-49 years, female 14.0 12.0 90 80
18-49 years, male 15.5 13.5 90 80
Complied from several sources; the mean ± s SD can be expected to include 95% of the observations in a normal
population. Adapted from Hastings CA. Lubin BH. Blood. In: Rudolph AM. Kamei RK (eds), Rudolph,s Fundamental of
Pediatrics, 2 nd ed. Norwalk. CT : Appleton & Lange. 1998. pp 441-490.
MCV = mean corpuscular volume.

Langkah-langkah pendekatan diagnostik: • Pada daerah kepala dapat


I. Anamnesis dinilai apakah ada dijumpai
II. Pemeriksaan fisik sklera ikterik, stomatitis
III. Laboratorium angularis, glossitis.
• Di daerah dada terutama pada
I. Anamnesis pemeriksaan auskultasi jantung
Dalam anamnesis kita perlu menanyakan dapat dijumpai irama gallop
2,3
hal-hal tersebut di bawah ini. dan desah.
• Usia, jenis kelamin, ras, status • Pada ekstremitas dapat
sosioekonomi keluarga. dijumpai displagia tulang
• Riwayat perdarahan, sejak radial, kuku seperti bentuk
kapan terjadi perdarahan, triphalangeal thumbs.
durasi, frekuensi, jenis • Adanya pembesaran organ di
perdarahan dan volume yang abdomen seperti pembesaran
terjadi. limpa dan hepar.
• Riwayat kelainan anak, Hb ibu
semasa hamil. III. Laboratorium
• Pemakaian obat-obatan Pemeriksaan laboratorium haruslah dilakukan
(seperti sulfa, anti kejang, atas indikasi karena pemeriksaan laboratorium
kloramfenikol). seringkali menyebabkan membengkaknya biaya
1,3,6
• Riwayat pemberian makanan, pengobatan. Dengan mengurangi jenis
riwayat penyakit terdahul dan pemeriksaan yang tidak diperlukan, biaya dapat
riwayat penyakit keluarga. dikurangi. Pemilihan jenis pemeriksaan dipilih
berdasarkan seleksi yang rasional menurut
7
II. Pemeriksaan fisik protokol yang ada.
Penderita Anemia pada umumnya jarang The American Academy of Pediatrics
memberikan gejala dan tidak ditemukan merekomendasikan agar dilakukan pemeriksaan
kelainan pada pemeriksaan fisiknya sampai kadar Hb ataupun hematokrit rutin untuk skrining
nilai hematokrit kurang dari 25%. Beberapa anemia defisiensi besi yaitu dilakukan saat usia 9 –
8
pemeriksaan fisik yang dapat membantu 12 bulan, selanjutnya 6 bulan berikutnya.
2,3
antara lain adalah: Pada pemeriksaan slide darah tepi sangat
• Warna kulit terutama di membantu dalam menegakkan diagnosis anemia,
telapak tangan dapat dijumpai melalui pemeriksaan ini dapat ditentukan apakah
pucat, ikterik, petechie, termasuk anemia hipokromik mikrositik,
purpura. normositik, makrositik atau gambaran

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 140


Tinjauan Pustaka

abnormalitas morfologi lainnya (misalnya sferosit, RINGKASAN


sickle cell, sel target). Adapun langkah-langkah pendekatan
Mean corpuscular volume (MCV) diagnostik pucat pada anak:
mengkonfirmasikan temuan pada apusan 1. Catat anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengenai ukuran sel darah merah: mikrositik (< 7 dengan tepat dan terperinci.
μm), makrositik (> 8μm) atau normositik (7,2 – 2. Pemeriksaan darah lengkap
7,9 μm). Jumlah retikulosit dan MCV membantu Apakah anemia disebabkan dari satu alur
dalam mendiagnosis banding anemia. Jumlah sel (sel darah merah) atau melibatkan
retikulosit normal atau menurun menunjukkan ketiga alur sel (sel darah merah, sel darah
gangguan bentuk sel darah merah, peningkatan putih, dan jumlah trombosit).
jumlah retikulosit menunjukkan kehilangan darah 3. Menentukan karakteristik morfologi
kronis atau hemolisis. anemia berdasarkan apusan darah tepi,
Red cell distribution width (RDW) dan MCV, RDW dan morfologi sel darah
MCV menunjukkan morfologi dan klasifikasi putih dan trombosit.
anemia. Nilai normal RDW anak yaitu 11,5 % 4. Aspirasi sumsum tulang, jika diperlukan
- 14,5%. untuk menganalisa morfologi eritroid,
Pada beberapa kasus anemia berulang, myeloid, dan megakariositik.
diindikasikan pemeriksaan sumsum tulang, 5. Mencari penyakit yang mendasari
pada apusan sumsum tulang sebaiknya terjadinya anemia.
diwarnai dengan perwarnaan untuk besi agar
dapat menilai cadangan besi dan mendiagnosis
adanya anemia sideroblastik.

Tabel 2. Classification of nature of the anemia based on MCV and RDW


MCV Low MCV Normal MCV High
RDW Normal Microcytic Homogenous Normocytic Homogeneous Macrocytic Homogeneous
Heterozygous Normal Aplastic anemia
Thalassemia Chronic disease Preleukemia
Chronic disease Chronic liver disease
Nonanemic
Hemoglobinopathy
(e.g., AS, AC)
Transfusion
Chemotherapy
Chronis myelocytic leukemia
Hemorrhage
Hereditary
spherocytosis
RDW high Micricytic Heterogeneous Normocytic Heterogeneous Macrocytic
Heterogeneous
Iron deficiency Early iron of folate deficiency Folate deficiency
S ß-yhalassemia Mixed deficiencies Vitamin B12 deficiency
Hemoglobin H Hemoglobinopathy Immune hemolytic anemia
Red cell fragmentation (e.g., AS. AC) Cold agglutinins
Myelofibrosis
Sideroblastic anemia

Abbreviations: MCV, mean coposcular volume; RDW, red cell distribution width, which is coefficient of variation of RBC
volume distribution (normal, 11.5%-14.5%).

141 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Nelly Rosdiana Pendekatan Diagnosis Pucat pada Anak

ANEMIA

Low MCV High

Normal
Folate deficiency
Iron deficiency Vit. B12 deficiency
Thalassemia Aplastic anemia
Lead poisoning Preleukemia
Chronic diseases Immune hemolytic anemia
Liver diseases

RETICULOCYTE COUNT

High Low

WHITE CELL AND


BILIRUBIN PLATETET COUNT

Normal High
Increased
Low Normal

Hemorrhage Hemolytic anemia

Bone marrow depression Fure red cell aplasia Infection


Malignancy Diamond Blackfan
Aplastic anemia Transient
COOMB TEST erythroblastopenia of
Congenital
Acquired childhood (TEC)

Negative Positive

a. Corpuscular Extracorpuscular

Hemoglobinophaties
Hb electrophoresis Autoimmune hemolytic anemia
Enzymophaties Primary
Enzym assay Secondary (e.g., connective tissue
Membrane defects disease, drug)
Morphology Isoimmune hemolytic disease
Autohemolysis Rh, ABO mismatched transfusion
Osmotic fragility

b. Extracorpuscular

Idiopathic
Secondary
Drugs
Infection
Microorganism

Gambar 1. Pendekatan diagnostik anemia terhadap nilai MCV dan jumlah retikulosit

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 142


Tinjauan Pustaka

DAFTAR PUSTAKA 5. De Maeyer EM. Preventing and


1. Nissenson AR, Goodnough LT, Dubois controlling iron deficiency anemia
RB. Anemia.Arch Intern Med 2003; through primary health care. WHO.
163:1400-05. Geneva, 1989. h. 25-6.
2. Diamond CA. Anemia. Dalam: Hastings 6. Lanzkowsky P, Shende A. Classification
C, penyunting. The children’s hospital and diagnosis of anemia during
Oakland hematology/oncology handbook. childhood. Dalam: Lanzkowsky P,
St. Louis: Mosby, 2002. h.161-69. penyunting. Pediatric oncology. MC.
Graw Hill: New York , 1983. h. 24-87.
3. Oski FA, Brugnara C, Nathan DG. A
diagnostic approach to the anemia 7. Green R. Anemia diagnosis at the end of
patient. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, the second millennium. Blood 2005; 11:
penyunting. Hematology at infancy and 101-4.
childhood. Edisi ke-5. WB. Saunders,
8. Bogen LD, Krause PJ, Serwint RJ.
1998. h. 375-80.
Outcome of children identified as anemic
4. Glader B. The anemias. Dalam: Behrman by routine screening in an Tanner-city
RE, Kliegman RM, Jewson HB, clinic. Arch Pediatr Adolesc Med 2001;
penyuntig. Nelson text book of pediatric. 155: 366-71.
Edisi ke-17. WB. Saunders, 2004. h.
1604-6.

143 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


T. Ibnu Alferraly Femur Metastase Papillary...
LAPORAN KASUS

T. Ibnu Alferraly
Departement of Patology Anatomi Medical Faculty of North Sumatera University

Abstract: We report a case of a 47-year-old woman who presented with a diffuse mass on her left
thigh. FNAB was done and resulted in a bloody aspirate, approximately ± 5 cc. The preparation
is stained with MGG and appeared in microscopic of micropapillary cluster with some rosetting
structure. The cytologic featured nuclear enlargement and anisokaryosis that was relevant with
metastases of papillary carcinoma of the thyroid. A papillary carcinoma of the thyroid with bone
metastases is a rare case because distant metastases are less frequent in papillary carcinoma of the
thyroid than with other thyroid carcinomas (only 5% to 7%), especially in femur. There are
multiple criteria must be observed before making a confident cytological diagnosis of papillary
carcinoma of the thyroid. Analysis of various criteria suggested that a combination of intranuclear
cytoplasmic inclusions, papillary structures and dense cytoplasm were the three most important
variables. With sensitivity and predictive value of cytological diagnosis ranged from 60% to 90%.
But we should not forget, always confirm with the histopathology for the final diagnosis because
cytology is not one definitive diagnosis.
Keywords: papillary carcinoma, thyroid, FNAB, bone metastases

BACKGROUND all patients have clinically evident disease in


(1,2,3,4,5)
In the United States, thyroid carcinoma the neck when they are first seen.
comprises about 1% of all cancers and Before the advent of fine-needle
accounts for 0,4% of cancer related-deaths. It aspiration, the definitive diagnosis of a thyroid
is therefore clear that only a very small nodule required open biopsy, often with the
proportion of clinically evident thyroid resection of a significant portion of the gland
nodules are malignant. Nevertheless, thyroid and consequent morbidity. Today, fine-needle
carcinoma is the most common malignancy of biopsy of thyroid nodules is a safe and rapid
the endocrine system. Papillary carcinoma is procedure that provides a diagnosis in the
(4)
the most common type of thyroid malignancy majority of cases.
and thus they present most often as a painless Primary mode of spread in papillary
mass in the neck. These tumor tend to be carcinoma is lymphatic. Blood-borne
biologically indolent and have an excellent metastasis to distant sites is rare. However,
prognosis. Females are more affected than when occurs it is usually to lung, bone, brain,
males. It can present in any age group, the and soft tissue. Involvement of other
mean age at the time of initial diagnosis being structures in neck is mainly due to direct
(5)
approximately 40 years. Papillary carcinoma infiltration of tumor into these structures.
accounts for more than 90% of thyroid We report a case of papillary carcinoma of
malignancies in children. In 5% to 10% of the the thyroid with bone metastases in femur,
cases, there is a history of irradiation exposure that we diagnosed with performed FNAB.
to the neck, and the non-neoplastic gland may This is a rare case, because distant metastases
show nuclear aberrations as a result. There is are less frequent in papillary carcinoma of the
an increase in the incidence of papillary thyroid than with other thyroid carcinomas
carcinoma in Hashimoto’s thyroiditis. Nearly (only 5% to 7%), especially in femur.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 144


Laporan Kasus

(1,2,3,4)
PATHOGENESIS true papillae) and/or characteristic nuclear
Although the etiology of papillary changes. The papillae are usually complex,
carcinoma of the thyroid remains to be branching, and randomly oriented, with a
establish, a number of associations have been central fibrovascular core and a single or
identified. stratified lining of cuboidal cells. The stroma
• Iodine excess. In endemic goiter of the papillae may be edematous or hyaline,
regions, the addition of iodine to the and it may contain lymphocytes, foamy
diet has increased the proportion of macrophages, hemosiderin, or-exceptionally-
papillary carcinoma compared with adipose tissue. These papillae are nearly
follicular carcinoma. always associated with the formation of
• Radiation. External radiation to the follicles. The follicles tend to be irregularly
neck of children and adults increase shaped, often tubular and branching. Mitoses
the incidence of later papillary are very scanty or absent. Psammoma bodies
carcinoma of the thyroid. are seen in approximately half of the cases.
• Genetic factors. Somatic Their presence strongly suggests the diagnosis
rearrangements of the RET of papillary carcinoma.
protooncogene on chromosome
10q11.2 are common in papillary
carcinoma of the thyroid, and 60% of
such tumors in children exposed to
radiation from the Chernobyl accident
displayed this mutation. These
rearrangement cause the fusion of the
tyrosine kinase domain of RET to
various other genes, creating the
RET/PTC fusion oncogenes. The
fusion product is constitutively
activated by phosphorylation of a
tyrosine residue. RET/PTC 1 and 3 are
the most common forms that occur in
sporadic papillary carcinoma.
Area with a solid/trabecular pattern of
MACROSCOPIC FEATURES growth and foci of squamous metaplasia are
Papillary carcinomas may present as present in 20% of the cases; these two
solitary or multifocal lesions within the patterns often merge. Lymphocytic infiltration
thyroid. In some cases, they may be well of the stroma is seen in a fourth of cases; it is
circumscribed and even encapsulated; in other ot clear wheather this represents a reaction to
instances, they infiltrate the adjacent the tumor or the expression of pre-existing
parenchyma with ill-defined margins. The thyroiditis.
lesions may contain areas of fibrosis and The nuclei of papillary carcinoma cells
calcification and are often cystic. On the cut contain very finely dispered chromatin, which
surface, they may appear granular and may imparts an optically clear appearance, giving
sometimes contain grossly discernible rise to the designation “ground-glass” or
papillary foci. The size of the primary tumor “Orphan Annie” nuclei. In addition,
ranges from microscopic to huge. A very high invaginations of the cytoplasm my cross-
proportion of thyroid cancers measuring less sections give the appearance of intranuclear
than 1 cm in diameter are of papillary inclusions (hence the term pseudo-inclusions).
type.
(1,2,4,5) Another characteristic of the papillary
carcinoma nucleus is the nuclear groove.
(1,2,3,4,5,6,7)
MICROSCOPIC FEATURES (1,3)
Microscopically, the diagnosis of papillary VARIANTS
carcinoma depends on the presence of certain • Papillary microcarcinoma. This is
architectural features (mainly in the form of defined as a papillary carcinoma

145 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


T. Ibnu Alferraly Femur Metastase Papillary...

measuring 1 cm or less in diameter. It pattern of growth is usually highly


is a common incidental finding in papillary. This variant tends to affect
thyroid glands removed for other older patients and the clinical course is
reasons and in population-based said to be more aggressive. In the
autopsy studies. It is associated with columnar variant, there is prominent
cervical node metastases in about one stratification, and the cytoplasm is
third of cases, but distant metastases clear (sometimes with subnuclear
are exceptionally rare, and the vaculization) rather than acidophilic.
prognosis is generally excellent. The prognosis in the few reported
• Follicular variant. This is a papillary patients has been very poor.
carcinoma composed of follicles. The Occasionally cases have been seen in
diagnosis is largely based on the which tall and columnar features
presence of the set of nuclear features coexisted.
classically associated with papillary
carcinoma. Supportive features for the SITOLOGI
diagnosis are an invasive pattern of FNA specimens from papillary carcinomas
growth, fibrous trabeculation, shows a wide range of cytologic pattern. High
psammoma bodies, strongly cellularity is a common feature, and coloid
eosinophilic coloid with scalloped usually scant. The epithelium may appear as
edges, and the presence of abortive true papillary fragments, but more commonly
papillae. The prognosis of the is arranged in multilayered syncytial fragments
follicular variant is apparently similar or branched sheets. Nuclear enlargement and
to usual papillary carcinoma, although pleomorphism are present, along with nuclear
there may be a greater risk for this crowding, fine powdery chromatin, nuclear
variant metastasize outside the neck grooves, and sharply defined intranuclear
and for vascular invasion; regional cytoplasmic inclusions. The cytoplasm is
nodal metastases are less common than usually dense and cyanophilic.
(3)

in classic papillary carcinoma. Criteria for diagnosis:


(8)

• Diffuse sclerosing variant. • Cellular smears


Representing only aproximately 3% of • Syncytial aggregates and sheets of cells
all papillary carcinomas. The tumor, with a distinct ‘anatomical’ border,
which most often affects children and focally nuclear crowding and
yaoung adults, may present as bilateral overlapping.
goiter. Tumor papillae have associated • Papillary tissue fragments with or
areas of squamous metaplasia. without a fibrovascular core.
Numerous psammoma bodies are • Enlarged, ovoid, strikingly pale nuclei,
found. Lymphocytic infiltrate are finely granular, powdery chromatin
found around the tumor foci. (Pap)
Clinically, it may be misdiagnosed as • Multiple distinct nucleoli; intranuclear
Hashimoto’s thyroiditis. Nodal cytoplasmic inclusions; nuclear
metastases are nearly always present, grooves.
lung metastases are common, and the
• Dense cytoplasm, distinct cell border
disease-free survival rate is lower than
(single cells)
for conventional papillary carcinoma.
• Scanty, viscous, stringy colloid
• Tall cell and columnar variants. The (‘chewing gum colloid’)
tall cell variant is a type of papillary
• Squamoid or histiocyte-like,
carcinoma characterized by papillae
‘metaplastic’ epithelial cells
lined by a single layer of “tall” cells and
• Psammoma bodies
a bundant acidophilic, quasi-oncocytic
• Macrophages and debris (evidence of
cytoplasm. These features should be
cystic degeneration), multinucleate
present in at least half of the tumor for
giant cells and lymphocytes variable.
it to be placed into this category. The

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 146


Laporan Kasus

resembling squamous metaplastic cells are also


a common finding. Macrophages and cell
debris may be very prominent, especially
when there is associated cystic change.
Psammoma bodies are infrequently found in
(8)
smears.

IMMUNOHISTOCHEMICAL FEATURES
Immunohistochemically, the cells of
papillary carcinoma are reactive for low-as
well as for high-molecular-weight keratin; the
latter is of some diagnostic importance,
because normal and hyperplastic follicles and
follicular neoplasms usually show positivity
A true papillary micro-architecture may only for the low-molecular-weight types.
be difficult to identify in smears. Most There is also positivity for S-100 protein,
papillae are not removed intact by the needle EMA, CEA (occasionally), vimentin, and
but appear as flat sheets. The shees partly ceruplasmin. Estrogen reseptor proteins are
have a well-defined ‘anatomical’ edge formed usually present.
(1,3)

by a row of cuboidal or columnar cells. The


‘anatomical’ edge and focal crowding and STAGING
(5)

overlapping of nuclei distinguish sheets of The American Joint Committee on


papillary carcinoma from those representing Cancer (AJCC) has designated staging by
benign macrofollicles. The tip of a papillae TNM classification.
may be seen as a finger-like aggregate of cells
with a similar edge. True papillae with a TNM Definitions
fibrovascular core may be found in smears, Primary tumor (T)
but less frequently. Trabecular fragments are All categories may be subdivided into (a)
also represented in smears by cohesive finger- solitary tumor or (b) multifocal tumor (the
like structures and must not be mistaken for largest determines the classification).
papillae. They occur in folicular neoplasms, • TX: Primary tumor cannot be assessed
benign or malignant. In some cases, smears • T0: No evidence of primary tumor
show only dispersed single cells and syncytial • T1: Tumor 2 cm or less in greatest
aggregates similar to a follicular neoplasm. dimension, limited to the thyroid
The diagnosis then relies mainly on the • T2: Tumor larger than 2 cm but 4 cm
identification of nuclear features of papillary or smaller in greatest dimension,
(8)
carcinoma. limited to the thyroid
In smears, a pale, very fine powdery • T3: Tumor larger than 4 cm in greatest
nuclear chromatin is equally characteristic and dimension limited to the thyroid or
is one of the most important diagnostic any tumor with minimal extrathyroid
criteria. Intranuclear cytoplasmic inclusions extension (e.g., extension to
are a characteristic but not spesific feature of sternothyroid muscle or perithyroid
papillary carcinoma, seen in up to 90% of soft tissues)
cases and in up to 5% of the cells. Intranuclear • T4a: Tumor of any size extending
inclusions have a sharp, well-defined, beyond the thyroid capsule to invade
membrane-like margin and are not optically subcutaneous soft tissues, larynx,
clear but similar in colour and texture to trachea, esophagus, or recurrent
cytoplasm. Irregularity of nuclear shape and laryngeal nerve
convolution of nuclei is another feature seen • T4b: Tumor invades prevertebral
in cells of papillary carcinoma. Cells with fascia or encases carotid artery or
abundant vacuolated cytoplasm resembling mediastinal vessels
histiocytes or with dense cytoplasm

147 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


T. Ibnu Alferraly Femur Metastase Papillary...

All anaplastic carcinomas are considered T4 ƒ T3, N1b, M0


tumors. ƒ T4a, N1b, M0
• T4a: Intrathyroidal anaplastic o Stage IVB
carcinoma—surgically resectable ƒ T4b, any N, M0
• T4b: Extrathyroidal anaplastic o Stage IVC
carcinoma—surgically unresectable ƒ Any T, any N, M1

Regional lymph nodes (N) SPREAD AND METASTASES


Papillary carcinoma thyroid typically
Regional lymph nodes are the central
invades lymphatics and spread to the regional
compartment, lateral cervical, and upper
cervical lymph nodes and they are seen in as
mediastinal lymph nodes. many as 40% of all patients with papillary
• NX: Regional lymph nodes cannot be carcinoma, and it may be the first
assessed manifestation of the disease (particularly in
• N0: No regional lymph node younger patients). These metastases may not
metastasis be clinically apparent because of their small
• N1: Regional lymph node metastasis size and also because their consistency may
o N1a: Metastasis to level VI not differ from that of a normal node.
(pretracheal, paratracheal, and Extrathyroid extension into the soft tissues of
prelaryngeal/Delphian lymph the neck is found in about one fourth of cases.
nodes) Blood borne metastases are less frequent than
with other thyroid carcinomas (5% to 7%),
o N1b: Metastasis to unilateral or
but when they occurs, the common sites
bilateral cervical or superior
including lungs, bone, the central nervous
mediastinal lymph nodes system, and other organs.
(1,3,4,5)

Distant metastases (M) PROGNOSIS


• MX: Distant metastasis cannot be The overall outcome of patients with
assessed papillary carcinoma is excellent, with 10-year
(1,2,3,4,6,9)
• M0: No distant metastasis survival rates of up to 85%. Factors
• M1: Distant metastasis relating to prognosis are:
• Age. Nearly all the deaths from
AJCC Stage Groupings. papillary carcinomas occur when the
tumor manifests itself after the age of
Papillary or follicular thyroid cancer 40 years.
• Younger than 45 years • Sex. Females have a better prognosis
o Stage I than males.
ƒ Any T, any N, M0 • History of previous irradiation. The
o Stage II prognosis of tumors in which this
ƒ Any T, any N, M1 antecedent is present does not seem to
• Age 45 years and older differ significantly from the others.
o Stage I • Extrathyroid extension. This features
ƒ T1, N0, M0 affects adversely the prognosis in a
o Stage II very significant fashion.
ƒ T2, N0, M0 • Microscopic variants.
o Stage III
• Tumor size. A rough inverse
correlation is present between tumor
ƒ T3, N0, M0
size and prognosis.
ƒ T1, N1a, M0
• Capsule and margins.
ƒ T2, N1a, M0
• Distant metastases.
ƒ T3, N1a, M0 • Poorly differentiated, squamous, or
o Stage IVA anaplastic foci. These features have a
ƒ T4a, N0, M0 markedly detrimental effect on
ƒ T4a, N1a, M0 prognosis. Fortunately, they are
ƒ T1, N1b, M0 present in fewer than 5% of the cases.
ƒ T2, N1b, M0

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 148


Laporan Kasus

(5)
TREATMENT
Standart treatment options in papillary
carcinoma of the thyroid:
• Lobectomy/thyroidectomy
• I
131

• External-beam radiation therapy


• Resection of limited metastases
• Thyroid-stimulating hormone suppression.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Solitary benign encapsulated nodules with
a striking papillary growth pattern but
without nuclear features of papillary
carcinoma, particularly in young patients.
These are sometimes referred as ‘adenomas’ or
as ‘hyperplastic papillary nodules’. Hyalinising
trabecular adenoma can mimic papillary
carcinoma cytologically, showing similar
(8)
nuclear features.

A CASE REPORT
We report a case of a 47-year-old woman
who presented with a diffuse mass on her left
thigh. Then we preformed FNAB. The aspirat
contain a bloody liquid, volume ± 5 cc. The
preparation is staining with MGG.

Microscopic: The smear consists of sheet of cells


with uniform large, pale nuclei and powdery
chromatin, some nuclear crowding and
overlapping; and dense cytoplasm. There is poorly
cohesive cells and a micropapillary cluster. The
background of smear consists of red blood cells. At
another point of view, there is a cluster with some
rosetting; bland nuclear chromatin, mild nuclear
enlargement and anisokaryosis.
Conclusion: A metastases of papillary carcinoma
of the thyroid.

DISCUSSION
Papillary carcinoma is the most common
type of thyroid malignancy. Lymphogen is
primary mode of spread in papillary
carcinoma of the thyroid. Distant metastases
(hematogen) is rare, when occurs usually to
lung, bone, brain and soft tissue.
A papillary carcinoma of the thyroid with
bone metastases is a rare case. A woman with
an older age is suitable for the criteria of
papillary carcinoma of the thyroid. Theere are

149 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


T. Ibnu Alferraly Femur Metastase Papillary...

multiple criteria must be observed before 3. Mills, Stacey E, M.D, et al. Sternberg’s
th
making a confident cytological diagnosis of Diagnostic Surgical Pathology. 4 ed.
papillary carcinoma of the thyroid. Analysis of Vol.1.A. Lippincott, Philadelphia. 2004.
various criteria suggested that a combination p: 564- 572, 593, 594.
of intranuclear cytoplasmic inclusions, rd
4. Rubin Emanuel et al. Pathology. 3 ed.
papillary structures and dense cytoplasm were
Vol.II. Philadelphia. 1999. p: 1174-1176.
the three most important variables. With
sensitivity and predictive value of cytological 5. Download from F:\ Thyroid Cancer.
diagnosis ranged from 60% to 90%. And do 6. De Vita, Jr, Vincent T,et al. Cancer
not to forget, always confirm with the “Principles & Practice of Oncology”. 7
th

histopathology for the final diagnosis. ed. Lippincott, Philadelphia. 2005. p:


Immunostaining for Cytokeratin 19 and 1508, 1509.
for CD44 is specific and has been show to be
value in the diagnosis of papillary carcinoma 7. Chandrasoma P, Taylor C.R. Concise
rd
of the thyroid. Pathology.3 ed. Singapore. 2001. p:851
8. Orell Svante R, et al. Fine Needle
th
Aspiration Cytology. 4 ed. Elsevier.
REFERENCES London. 2005. p: 144-151.
1. Rosai J. Ackerman’s Surgical Pathology.
th
8 ed. Mosby. St Louis. 1996. p: 514, 9. Cotton R.E. Lecture Notes on Pathology.
518, 519, 524, 525. 4th ed. Blackwell Scientific Publications,
London. 1992. p: 136.
2. Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L.
th
Robbins Basic Pathology. 7 ed.
Saunders. Philadelphia. 2003. p:735,
736.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 150


Dalton Silaban, Kiking Ritarwan, dan Rusli Dhanu
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Ensefalitis Toksoplasmosis merupakan manifestasi utama pada penderita HIV-AIDS.


Manifestasi sistemik lainnya, retinitis dan peneumonitis jarang ditemukan. Toxoplasma gondii
merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada manusia sehat. Pada
penderita HIV-AIDS terjadinya ensefalitis toksoplasmosis lebih sering disebabkan reaktivasi dari
infeksi laten yang sudah ada sebelumnya dibanding infeksi yang baru didapat. Diagnosis ensefalitis
toksoplasmosis didasarkan pada gambaran klinis neurologis, pemeriksaan neuroimaging, serologis
dan biopsi. Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak. Biopsi terutama dianjurkan untuk
kasus-kasus dengan pemeriksaan imajing yang tidak jelas atau pada keadaan terapi presumtif yang
menunjukkan kegagalan. Penatalaksanaan ensefalitis toksoplasmosis pada penderita HIV-AIDS
adalah pemberian anti toksoplasmosis dan sebagai terapi standar adalah pirimetamin dan
sulfadiazin.
Kata kunci: ensefalitis toksoplasmosis, toxoplasma gondii, HIV-AIDS

Abstract: Toxoplasmosis encephalitis is the main manifestation in HIV-AIDS patients. Other


sistemic manifestations, retinitis and pneumonitis are rare. Toxoplasma gondii is an intracellular
paracite that can cause asymptomatic infection on healthy humans. In HIV-AIDS patients,
toxoplasmosis encephalitis is more often caused by reactivation of laten infection that is already
exist before, compare to newly aquired infection. The diagnosis of toxoplasmosis is based on
clinical neurologic feature, neuroimaging, serologic and biopsy examination. The defenite
diagnosis is made by brain biopsy. Biopsy is specially recomennded on cases with unclear imaging
examination or on condition where presumtive therapy showed failure. The management of
toxoplasmosis encephalitis in HIV-AIDS patients is administration of anti toxoplasmosis, and as
standard therapy is primethamine and sulphadiazine.
Keywords: toxoplasmosis encephalitis, toxoplasma gondii, sulphadiazine

PENDAHULUAN dengan jumlah total 7098 dengan jumlah


4
Aquired Immune Deficiency Syndrome kematian 1028 penderita.
(AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun Berdasarkan data kasus HIV-AIDS dari
1981, dan Human Immunodeficiency Virus Dinas Kesehatan Sumatera Utara menunjukkan
(HIV) telah diketahui sebagai penyebab pada peningkatan yang signifikan. Dari jumlah kasus
tahun 1984. Pada bulan Desember 2002, World HIV-AIDS di bulan Juli 286 penderita meningkat
Health Organization (WHO) memperkirakan pada bulan Oktober menjadi 301 penderita
bahwa 42 juta penduduk hidup dengan HIV. dengan perincian 177 HIV positif dan 124 AIDS.
Dalam tahun 2002, dtemukan 5 juta penderita Peningkatan penemuan kasus juga meningkat
baru yang terinfeksi HIV dan 3,1 juta meninggal di RSU. H. Adam Malik Medan sampai bulan
1
dunia. Oktober 2005 ditemukan 132 kasus
5
Kasus pertama HIV/AIDS di Indonesia HIV/AIDS.
2,3
ditemukan pada tahun 1987 di Bali. Secara Keterlibatan sistim saraf pada infeksi HIV
kumulatif pengidap infeksi dan kasus HIV- dapat terjadi secara langsung karena virus
AIDS 1 April 1987 sampai 30 September tersebut dan tidak langsung akibat infeksi
2005, terdiri dari 4065 HIV dan 4186 AIDS oportunistik immunocompromised. Studi di
negara barat melaporkan komplikasi pada

151 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Dalton Silaban dkk. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS

sistim saraf terjadi pada 30-70% penderita Pemeriksaan neurologis dijumpai


HIV, bahkan terdapat laporan neuropatologik sensorium apatis, tanda peninggian tekanan
yang mendapat kelainan pada 90 spesimen intrakranial, dari saraf kranial dijumpai pupil
post mortem dari penderita HIV yang di anisokor, refleks cahaya (+) menurun pada
6
periksa. mata kiri, mata kiri tidak bisa dibuka, dan
Infeksi oportunistik terhadap sistim saraf digerakkan. Sudut mulut kesan tertarik ke kiri.
pada AIDS bisa oleh patogen viral atau non Hipertonus, kekuatan motorik sulit dinilai
viral. Infeksi non viral tersering adalah kesan parese ke empat ekstremitas didapati
ensefalitis toksolasmosis (ET) yang disebabkan peninggian refleks biceps, APR/KPR. Refleks
7
oleh Toxoplasma gondii (T.gondii). patologis Babinski kiri dan kanan (+).
Secara klinik ET dijumpai pada 30-40 % Pemeriksaan laboratorium darah
penderita AIDS, dimana penyakit ini lebih dijumpai Hb 11, 7 gr/dl. LED 45 mm/jam.
sering disebabkan reaktivasi dari infeksi laten Pemeriksaan test narkoba (-), pemeriksaan
yang sudah ada sebelumnya dibanding infeksi Imuno-Serologi HIV Test: Positif 20,21. Ig M
6,8
yang baru di dapat. Anti Toksoplasma Negatif 0,0, Ig G Anti
Toksoplasma Positif >300 UI/mL.
LAPORAN KASUS Pemeriksaan penunjang lain pada foto
Seorang pria (RN) usia 37 tahun, suku thorax dijumpai infltrat pada paru kanan
Tionghoa, Budha, belum menikah, tidak ada tengah. Pada Head CT Scan dijumpai kesan
pekerjaan, alamat Jalan Pahlawan Gg. Sesama sesuai gambaran ensefalitis. Pasien diberi
No. 26 Binjai. Datang ke RS. H. Adam Malik terapi dengan injeksi Ceftriaxon 2 gr/12 jam/
Medan, dengan keluhan penurunan kesadaran IV, injeksi deksamethason 2 ampul bolus
yang dialami penderita sejak 1 minggu kemudian di-taffering off, Fansidar 3 X tab
sebelum masuk rumah sakit, berlangsung 1, Klindamisin 4 X 300 mg, Asam folat 3 X
perlahan-lahan. Keadaan ini disertai demam tab 1.
turun naik dan mencret-mencret yang sudah
berlangsung 3 minggu. DISKUSI KASUS
Riwayat sakit kepala sudah dialami T. gondii merupakan parasit intraselluler
penderita sejak 1 bulan yang lalu, pada yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada
seluruh kepala, hilang timbul dan sejak 1 80% manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya
minggu ini semakin memberat dan tidak pada penderita HIV-AIDS. ET merupakan
hilang lagi dengan obat-obat sakit kepala. manifestasi utama toksoplasmosis pada penderita
8, 9, 10
Riwayat jalan terseret dijumpai pada sisi HIV-AIDS.
tubuh sebelah kanan sudah berlangsung sejak Pada kasus ini dilaporkan seorang
1 bulan yang lalu. Riwayat kejang ditemukan penderita Pria, RN, 37 tahun, Tionghoa,
satu minggu sebelum masuk rumah sakit didiagnosa ET dengan HIV-AIDS berdasarkan
seluruh tubuh menghentak-hentak frekwensi anamnese, pemeriksaan fisik, neurologis dan
2 kali per hari, berlangsung kira-kira 5 menit, pemeriksaan penunjang serologis dan imajing.
muntah menyembur ditemukan. Ada 4 kategori prosedur diagnostik dalam
Riwayat pemakaian narkoba dijumpai mendiagnosa ET. Pemeriksaan neuroradiologi,
11
sejak 8 tahun yang lalu, dengan menggunakan histologi, serologi, dan PCR based assays.
jarum suntik. Pada kasus ini pasien datang dengan
Riwayat perilaku seksual bebas tidak keluhan penurunan kesadaran yang
jelas. Riwayat batuk-batuk sudah. Dialami berlangsung perlahan-lahan. Keadanan ini
penderita sejak 2 minggu belakangan ini. disertai nyeri kepala pada seluruh kepala yang
Riwayat penurunan berat badan drastis semakin memberat sejak 1 minggu ini dan
dijumpai. tidak hilang dengan obat-obatan, muntah
Dari pemeriksaan fisik dijumpai menyembur juga ditemukan. Hal ini
sensorium apatis, tekanan darah 100/60 menunjukkan adanya peninggian tekanan
mmHg, nadi 88 X/menit, pernafasan 28 intrakranial. Keadaan-keadaan ini umumnya
X/menit dan temperatur febris. Pemeriksaan muncul pada pasien-pasien dengan kelainan
fisik paru dijumpai ronkhi basah pada kedua non fokal yang biasanya berkembang dari
lapangan paru.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 152


Laporan Kasus

tanda neurologik fokal sebagai akibat proses 300 UI/ml. Meskipun sebenarnya pemeriksaan
1
infeksi yang progresif. kadar CD4 sangat diperlukan, dimana
Riwayat pemakaian narkoba jarum suntik biasanya nilai CD4 dibawah 100 sel/μL untuk
6.9
ditemukan pada pasien ini yang mungkin ET sebagai diagnosa presumtif.
sebagai penularan HIV. Diagnosa banding dengan SOL (limfoma
Pada pemeriksaan neurologis pada pasien SSP, abses, tumor) dibuat karena gambaran
ditemukan simptom dan tanda neurologis klinis, radiologis yang menyerupai ET.
fokal berupa hemiparese dupleks, kranial Limfoma SSP merupakan neoplasma yang
nerve palsi, seizure. AIDS dengan lazim dijumpai pada penderita HIV-AIDS.
toksoplasmosis SSP dijumpai defisit neurologis Pemeriksaan SPECT, PET, dan MR
dalam 50-89 % dari pasien, seizure dalam 15-25 % spektroskopi dapat digunakan untuk
9
pasien, perubahan status mental dan peninggian membedakan lesi ET dengan limfoma SSP.
12
tekanan intrakranial. Toksoplasmosis harus selalu Diagnosa banding dengan stroke iskemik
dipertimbangkan pada penderita AIDS bila dibuat, karena AIDS sendiri merupkan faktor
risiko untuk terjadinya stroke iskemik, adanya
ditemukan defisit neurologis fokal terutama
defisit neurologis fokal. Meskipun dapat
jika ditemukan seizure, nyeri kepala dan
12 disingkirkan dengan onsetnya yang perlahan-
demam.
lahan, dan tidak adanya riwayat penyakit
Pemeriksaan laboratorium didapatkan
metabolik.
hasil imunoserologi HIV test positif 20,21
Penanganan kasus ini dilakukan melalui
(ELISA). Pemeriksaan serologis ini memiliki diagnosis presumtif dengan memberikan
13
sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 98%. terapi anti toksoplasmosis. European
Pemeriksaan serologis lainnya yang dijumpai Federation of Neurological Societes (EFNS)
pada pasien ini adalah Ig M anti toksoplasma mengeluarkan paduan tatalaksana yaitu secara
dengan hasil negatif 0,0 dan Ig G anti praktis pada semua penderita HIV-AIDS
Toksoplasma positif > 300 IU / ml. Di RSCM dengan massa intrakranial dapat diberikan
titer Ig G anti Toksoplasma yang dianggap terapi empiris anti toksoplasmosis selama 2
6
positif bila lebih besar dari 300 IU/ml. minggu, walaupun serologisnya negatif atau
Pemeriksaan head CT scan tanpa kontras lesinya tunggal. Bila tidak terdapat perbaikan
pada pasien ini menunjukkan lesi hipodens klinis ataupun radiologis berulang dianjurkan
yang luas sesuai gambaran ensefalitis. Hasil ini biopsi.
9

tidak banyak membantu untuk menegakkan Diagnosis defenitif pada penderita ini
diagnosa ET sebab tidak dilakukan kontras. hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
Pemeriksaan imajing pada pasien ET histopatologi jaringan otak, atau
memperlihatkan lesi otak multipel dengan ditemukannya DNA toksoplasma melalui
cincin atau penyengatan homogen dan disertai metode PCR.
6
edema vasogenik pada jaringan disekitarnya. Prognosis pasien ini adalah jelek dimana
Ensefalitis toksoplasmosis jarang muncul penderita meninggal setelah dirawat selama 2
dengan lesi tunggal atau tanpa lesi. MRI lebih minggu. ET yang berat sering terjadi pada
sensitif dibanding CT scan, sehingga teknik ini penderita immunocompromised, dan sering
13
lebih disukai, khususnya pada pasien-pasien menimbulkan kematian.
tanpa gangguan neurologik fokal. Pasien-
pasien dengan hanya satu lesi atau tidak KESIMPULAN
tampak pada CT scan harus dilakukan MRI 1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan
untuk menentukan apakah lebih dari satu lesi anamnese, gambaran klinis, pemeriksaan
muncul.
14,15 neurologi, pemeriksaan penunjang/
Pada saat masuk rumah sakit pasien serologis.
didiagnosa banding dengan ensefalitis HIV, 2. Diagnosa pada pasien ini adalah diagnosa
SOL (abses serebri, limfoma, tumor) dan presumtif mengingat pemeriksaan
stroke berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan histopatologi dan PCR tidak dilakukan.
radiologis, pemeriksaan laboratorium. 3. Dengan semakin banyaknya kasus infeksi
Diagnosa banding dengan HIV HIV, maka komplikasi yang mengenai SSP
disingkirkan dengan pemeriksaan serologis akan lebih sering dijumpai dalam praktek
ditemukannya IgG anti toksoplasma positif > klinis.

153 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008


Dalton Silaban dkk. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS

SARAN 7. Saanin S. Sindroma Imunodefisiensi


1. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang didapat (AIDS). Available
ulang Head CT Scan kontrast, CD4, from:http://www.angelfire.com/nc/neuro
untuk keperluan diagnostik dan evaluasi surgery/AIDS.html
pengobatan.
8. Cabre P, Smadja D, Cable A, Newton
2. Perlu dilakukan biopsi histopatologi/PCR
CRJC. Neurological aspects of Tropical
untuk diagnosa pasti pada kasus ini.
disease: HTLV-1 and HIV infections of
3. Untuk para klinisi perlu dipertimbangkan
the CNS in tropical areas. J. Neurol.
jika terdapat lesi massa intraserebral pada
Neurosurg.Psychiatry 2000; 68:550-57.
penderita HIV-AIDS, sebaiknya toksoplasma
serebri menjadi salah satu diagnosa 9. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,
banding. editors. Infeksi oportunistik pada AIDS.
Jakarta: Balai penerbit Fakultas
Kedokteran UI; 2005.
KEPUSTAKAAN 10. Gilroy J. Basic Neurology. 3
nd
ed. New
1. Luft B J, Sivadas R. Toxoplasmosis. In: York: Mc Graw-Hill; 2000.
Scheld WM, Whitely RJ, Marra CM,
editorss. Infections of The Central 11. Chaison RE, Bishai W. The Management
Nervous System.
rd
3 ed.Philadelphia: of Pneumocytis carinii, toxoplasmosis,
Lippincott Williams & Wilkins; and HSV Infections in patients With HIV
2004.p.755-76. Disease. Available from:https://profreg.
medscape.com/px/getlogin
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Nasional Perawatan, dukungan dan 12. Chaison RE, Bishai W. The Management
pengobatan bagi ODHA.Jakarta: of Pneumocytis carinii, toxoplasmosis,
Direktorat Jenderal Pemberantasan and HSV Infections in patients With HIV
Penyakit Menular & Penyehatan Disease. Available from:https://profreg.
Lingkungan DepKes RI;2003. medscape.com/px/getlogin
3. Djauzi S, Djoerban.Penatalaksanaan 13. Britton CB. Merrit,s Neurology.
HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan In:Rowland LP, editors.Aquired
th
Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; Immunodeficiency Syndrome.10 ed.
2002. New York: Lippincott Williams &
Wilkins; 2000.p.163-79.
4. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik
Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Available 14. Subauste CS. Toxoplasmosis and HIV.
from:http://www.lp3y.org/content/AIDS/ HIV In Site Knowledge Base Chapter.
sti.htm UCSF Center for HIV Information.
January 2004. Available from:
5. Harian Analisa. Sumut Peringkat ke-6 http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-
Penyebaran HIV-AIDS. Medan: Harian 05-04-03
Analisa 1 Desember 2005; halaman 1
kol 2-5. 15. Sze G, Lee HS. Cranial MRI and CT. In:
Lee HS, Rao KCVG, Zimmerman
6. Jofisal J. Komplikasi Neurologik HIV RA.Infectious diseases.4
th
Ed.
Aspek Patofisiologi. Diagnostik dan Philadhelphia: McGraw- Hill; 1999.p.
Terapi Neurona 2004; 21(4): 17-23. 453-516.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008 154

You might also like