You are on page 1of 23

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KUALITAS PELAYANAN JASA RUMAH

SAKIT TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN DENGAN


MENGGUNAKAN PENDEKATAN PROSES BISNIS (STUDI KASUS RUMAH
SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG)

Perusahaan yang bergerak dalam bidang layanan jasa, seperti Rumah Sakit sudah harus
mengetahui bagaimana kualitas pelayanan mereka dapat diterima oleh konsumennya, baik para
pasien rawat inap maupun rawat jalan. Namun pengukuran indikator layanan konsumen juga
harus mempertimbangkan aspek-aspek proses bisnis yang berkaitan karena kinerja layanan
terhadap konsumen sangat dipengaruhi oleh baik buruknya proses bisnis. Kepuasan konsumen
hanya merupakan dampak dari kinerja proses bisnis, sehingga indikator keberhasilan proses
bisnis harus relevan dengan indikator keberhasilan pelayanan konsumen.Penelitian ini bertujuan
untuk:
Mengidentifikasi variabel-variabel kualitas pelayanan Rumah Sakit yang diturunkan dari proses
bisnis.Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang harus diperbaiki oleh Rumah Sakit guna
meningkatkan kepuasan pasien. Mengukur tingkat kepuasan pasien yang dilihat dari tiap-tiap
variabel kualitas pelayanan yang diberikan. Metodologi penelitian yang dipakai mencakup tapan-
tahapan berikut ini: Perumusan Proses Bisnis Pelayanan Rumah Sakit, Identifikasi Key Success
Factors Proses Pelayanan, Identifikasi "Key Performance Indicators", Penyusunan factor atau
variabel pengukuran proses bisnis pelayanan dengan mempergunakan pendekatan "Cut-off
Point" (Tam2001), penyebaran kuesioner serta pengolahan data secara statistik. Perumusan
indikator pelayanan pasien didasarkan kepada tiga kelompok proses bisnis, yaitu kelompok
proses bisnis pra pemeriksaan, kelompok proses bisnis pemeriksaan dan kelompok proses bisnis
pasca pemeriksaan yang seluruhnya terdid dari 10 aktifitas pelayanan pasien dan terdid dari 112
indikator pelayanan pasien.
Dengan dukungan pendekatan "Cut-off Point", maka variabel penelitian yang jumlahnya sangat
banyak (112 indikator) dapat diseleksi secara rasional, sehingga dapat diperoleh varabel yang
benar-benar relevan dengan kepentingan pasien serta relevan dengan kebutuhan peningkatan
kinerja proses bisnis (menjadi 68 indikator).Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung, Unit Rawat Jalan, khususnya pada Poliklinik THT, Kebidanan dan Kandungan, Gigi
dan Mulut, serta Kesehatan Anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pasien
dapat secara langsung dijadikan sebagai masukan untuk peningkatan kinerja masing-masing
proses bisnis yang terkait. Hal ini disebabkan oleh karena masing-masing indikator pelayanan
pasien secara langsung.

Deskripsi Alternatif :

Perusahaan yang bergerak dalam bidang layanan jasa, seperti Rumah Sakit sudah harus
mengetahui bagaimana kualitas pelayanan mereka dapat diterima oleh konsumennya, baik para
pasien rawat inap maupun rawat jalan. Namun pengukuran indikator layanan konsumen juga
harus mempertimbangkan aspek-aspek proses bisnis yang berkaitan karena kinerja layanan
terhadap konsumen sangat dipengaruhi oleh baik buruknya proses bisnis. Kepuasan konsumen
hanya merupakan dampak dari kinerja proses bisnis, sehingga indikator keberhasilan proses
bisnis harus relevan dengan indikator keberhasilan pelayanan konsumen.Penelitian ini
bertujuan untuk:
Mengidentifikasi variabel-variabel kualitas pelayanan Rumah Sakit yang diturunkan dari proses
bisnis.Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang harus diperbaiki oleh Rumah Sakit guna
meningkatkan kepuasan pasien. Mengukur tingkat kepuasan pasien yang dilihat dari tiap-tiap
variabel kualitas pelayanan yang diberikan. Metodologi penelitian yang dipakai mencakup
tapan-tahapan berikut ini: Perumusan Proses Bisnis Pelayanan Rumah Sakit, Identifikasi Key
Success Factors Proses Pelayanan, Identifikasi "Key Performance Indicators", Penyusunan
factor atau variabel pengukuran proses bisnis pelayanan dengan mempergunakan pendekatan
"Cut-off Point" (Tam2001), penyebaran kuesioner serta pengolahan data secara statistik.
Perumusan indikator pelayanan pasien didasarkan kepada tiga kelompok proses bisnis, yaitu
kelompok proses bisnis pra pemeriksaan, kelompok proses bisnis pemeriksaan dan kelompok
proses bisnis pasca pemeriksaan yang seluruhnya terdid dari 10 aktifitas pelayanan pasien dan
terdid dari 112 indikator pelayanan pasien.
Dengan dukungan pendekatan "Cut-off Point", maka variabel penelitian yang jumlahnya sangat
banyak (112 indikator) dapat diseleksi secara rasional, sehingga dapat diperoleh varabel yang
benar-benar relevan dengan kepentingan pasien serta relevan dengan kebutuhan peningkatan
kinerja proses bisnis (menjadi 68 indikator).Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung, Unit Rawat Jalan, khususnya pada Poliklinik THT, Kebidanan dan Kandungan, Gigi
dan Mulut, serta Kesehatan Anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pasien
dapat secara langsung dijadikan sebagai masukan untuk peningkatan kinerja masing-masing
proses bisnis yang terkait. Hal ini disebabkan oleh karena masing-masing indikator pelayanan
pasien secara langsung.
MUTU PELAYANAN YANG BERORIENTASI PADA PATIENT
SAFETY

PENDAHULUAN

Hampir setiap tindakan medik menyimpan potensi risiko. Hal ini paling tidak telah dibuktikan
dari laporan the IOM (Institute of Medicine) yang menyebutkan bahwa setiap tahun sekitar
48.000 hingga 100.000 pasien meninggal dunia di Amerika Serikat akibat medical error yang
terjadi di pusat-pusat pelayanan kesehatan.

Studi paling ekstensif mengenai adverse event telah dilakukan oleh the Harvard Medical Practice
yang melibatkan lebih dari 30.000 pasien yang dipilih secara acak dari 51 rumah sakit di New
York pada tahun 1984 (Brennan et al, 1991). Adverse events yang manifestasinya antara lain
berupa perpanjangan masa rawat inap atau timbulnya kecacatan pasien saat meninggalkan rumah
sakit pasca perawatan, terjadi pada 3,7% pasien rawat inap. Analisis lebih lanjut menunjukkan
bahwa lebih dari 58% adverse event tersebut sebetulnya dapat dicegah (preventable adverse
events), sedangkan 27,6% terjadi akibat kelalaian klinik (clinical negligence).

Meskipun pelacakan berikutnya mengisyaratkan bahwa kecacatan akibat adverse event tersebut
umumnya berlangsung tidak lebih dari 6 bulan namun 13,6% di antaranya akhirnya meninggal
dan 2,6% mengalami kecacatan permanen. Komplikasi akibat obat relatif paling sering
dilaporkan (19%), disusul oleh infeksi luka operasi (14%) dan komplikasi akibat timbulnya
masalah teknis selama tindakan operasi (13%) (Brennan et al, 1991).

Temuan tersebut kemudian juga dikuatkan oleh studi di Utah dan Colorado pada tahun 1992
yang melaporkan bahwa adverse event terjadi pada 2,9% pasien rawat inap. Studi ini
membukukan angka kelalaian klinik yang lebih besar (29,2%) dengan adverse event yang dapat
dicegah mendekati 53% (Thomas et al, 1999).

Robert and Robert (1988) melakukan telaah terhadap pasien rawat inap dengan infark myokard
atau komplikasi pasca operasi. Di antara 182 kematian yang dialami oleh penderita pneumonia,
infark myokard, dan gangguan serebrovaskular, sekitar 27%nya sebetulnya dapat dicegah
(Dubois, 1988).

Dari studi yang dilakukan McGuire et al (1992) terhadap lebih dari 44 ribu pasien yang
menjalani tindakan operatif mulai tahun 1977 hingga 1990 dilaporkan bahwa 5,4% pasien
mengalami komplikasi dan hampir setengahnya terjadi akibat error. Diantara 749 kematian yang
terjadi di rumah sakit yang sama pada kurun waktu tersebut disimpulkan bahwa 7,5% kematian
disebabkan oleh medical error.

Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan
fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan
secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau
justru luput dari perhatian kita semua.

Classen et al. (1997) misalnya hanya berhasil mengidentifikasi 731 medication error pada 648
pasien di antara 36.653 pasien yang menjalani rawat inap. Dari angka tersebut ternyata hanya
sebagian kecil saja yang dilaporkan oleh dokter, perawat, maupun farmasis, sedangkan sebagian
besar kasus dapat terdeteksi melalui automated signals yang dikembangkan oleh rumah sakit.

DEFINISI DAN DAMPAK DARI MEDICAL ERROR

Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a
planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to
achieve an aim (i.e., error of planning). kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan
tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan
( yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu.,
kesalahan perencanaan).

Definisi tersebut menggambarkan bahwa setiap tindakan medik yang dilaksanakan tetapi tidak
sesuai dengan rencana atau prosedur sudah dianggap sebagai medical error. Di sisi lain
melakukan upaya medik melalui prosedur yang keliru juga dianggap sebagai medical error.
Sedangkan menurut Bhasale et al (1998) medical error didefinisikan sebagai “an unintended
event . . . that could have harmed or did harm a patient.”

Data pasti mengenai medical error relatif sulit diperoleh, karena sebagian tidak dikenali,
dianggap biasa (bukan suatu event), atau terjadi tetapi tidak dicatat. Salah satu studi yang relatif
cukup representatif adalah yang dilaporkan oleh Brennan et al (1991) terhadap medical record
dari 30.121 pasien yang yang masuk ke 51 rumah sakit di New York tahun 1984. Laporan
tersebut menunjukkan bahwa efek samping terjadi pada 3,7% pasien, yang 69% di antaranya
terjadi akibat medical error. Angka yang jauh lebih besar dilaporkan oleh Wilson et al (1995) di
Australia. Dari 14.179 catatan medik pasien yang berasal dari 28 rumah sakit di New South
Wales, medical error terjadi pada 16,6% pasien, yang mengakibatkan terjadinya kecacatan tetap
(permanent disability) pada 13,7% pasien dan kematian sekitar 4,9%. Analisis selanjutnya
menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya sebetulnya bisa dicegah (preventable)

Studi yang dilakukan oleh Bates et al8 mencatat angka kejadian efek samping 6,5% di dua rumah
sakit di Boston yang 28% di antaranya terjadi akibat medical error. Sementara itu suatu studi
observasional yang dlaporkan oleh Andrew et al (1997) menemukan angka medical error yang
jauh lebih tinggi, yaitu 45,8%. Di antara semua kasus medical error yang dilaporkan tersebut
diketahui bahwa 18%nya tergolong serius, yang antara lain berakibat terjadinya kecacatan
sementara (temporary disability).

Masalah medical error di ICU ternyata juga tidak sedikit. Sekitar seperempat pasien ICU yang
tergolong critically ill dan terpaksa menggunakan ventilator, mengalami ventilator associated
pneumonia (VAP), yang angka kematian pada kelompok ini memberikan kontribusi sebesar 60%
untuk kematian akibat hospital acquired infection. Akibat VAP ini pasien terpaksa harus dirawat
rata-rata lebih lama 6 hari dengan biaya terapi yang meningkat hingga US$ 40.000 per pasien
(Weber et al, 2002; CDC, 2004).

Studi lainnya juga menemukan bahwa setiap tahun, dari sekitar 80.000 pasien ICU di Amerika
yang menggunakan central-line catheter, 20.000 di antaranya meninggal, dengan dampak
peningkatan biaya rata-rata sekitar US$ 56.00 per kasus (Mermel 2000; O’Grady et al, 2002)

DAMPAK MEDICAL ERROR DALAM PELAYANAN KESEHATAN


Dampak dari medical error sangat beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya reversible
hingga yang berat berupa kecacatan atau bahkan kematian. Sebagian penderita terpaksa harus
dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization) yang akhirnya berdampak pada
biaya perawatan yang lebih besar. Classen et al13 melaporkan bahwa untuk mengatasi masalah
medical error pada 2,4% pasien yang masuk ke rumah sakit selain diperlukan biaya ekstra
sebesar US$ 2262 (atau hampir Rp 23 juta) per pasien juga diperlukan perpanjangan hari rawat
rata-rata 1,9 hari.

Hasil yang hampir sama juga dilaporkan melalui the Harvard study of adverse drug events.
Dalam temuannya terbukti bahwa biaya yang harus dikeluarkan per pasien akibat adanya
medical error adalah sekitar US $ 2595 (lebih dari Rp 25 juta) dengan perpanjangan masa rawat
di rumah sakit rata-rata 2,2 hari. Namun demikian jika dilakukan analisis lebih rinci maka untuk
kasus-kasus yang sifatnya bisa dicegah (preventable) biaya ekstra yang harus dikeluarkan hampir
2 kalinya, yaitu US $ 4685 (hampir Rp 50 juta) sedangkan perpanjangan masa rawat inap rata-
rata 4.6 hari.14 Perkiraan lebih lanjut menunjukkan bahwa untuk rumah sakit pendidikan dengan
700 tempat tidur maka rata-rata biaya yang harus dikeluarkan per tahun untuk mengatasi medical
error adalah sekitar US 5,6 juta (sekitar Rp 56 milyar rupiah)

Johnson et al, melakukan kalkulasi terhadap biaya obat yang erat kaitannya dengan terjadinya
efek samping. Hasil kalkulasi menunjukkan bahwa medical error yang berkaitan dengan obat
menyebabkan terjadinya 116 juta kunjungan ekstra ke dokter per tahun, berdampak pada
penulisan resep secara ekstra sebanyak 76 juta lembar, 17 juta kunjungan pasien ke unit gawat
darurat, 3 juta ekstra perawatan jangka panjang, dengan total biaya sebesar US$ 76,6 miliar, atau
jauh lebih besar daripada anggaran yang diusulkan Presiden George W Bush ke Kongres untuk
menggempur Afganistan.

Dari uraian di atas sebetulnya terlihat bahwa medical error merupakan fenomena gunung es.
Hanya kasus-kasus yang serius dan mengancam jiwa (life threatening) yang secara mudah
terdeteksi dan tampak di permukaan, sedangkan kasus-kasus yang sifatnya ringan sampai sedang
umumnya tidak terdeteksi, tidak dicatat, ataupun tidak dilaporkan (apalagi yang gejalanya hilang
dengan penghentian pemberian terapi yang dicurigai sebagai penyebab efek samping)

PERLUNYA DIKEMBANGKAN STANDAR DAN INDIKATOR UNTUK PATIENT


SAFETY
sejak masalah medical error menggema di seluruh belahan bumi melalui berbagai media baik
cetak maupun elektronik hingga ke journal-journal ilmiah ternama, dunia kesehatan mulai
menaruh kepedulian yang tinggi terhadap isu patient safety. Di Amerika Serikat misalnya,
laporan yang diterbitkan oleh the Institute of Medicine merupakan pemicu yang efektif bagi
gerakan patient safety ini (Kohn et al, 2000). Dalam laporan tersebut secara eksplisit disebutkan
bahwa biaya nasional akibat medical error mencapai 17 milyar dollar per tahun. Di Australia,
gerakan patient safety dimulai dari publikasi hasil studi the Quality in Australian Health Care
Study yang menemukan bahwa adverse event dialami oleh 16,6% pasien yang dirawat di rumah
sakit, dengan total biaya untuk mengatasinya yang mencapai lebih dari 1 milyar dolar per tahun
(Wilson et al, 1995).

Beberapa institusi kemudian mulai mengembangkan upaya-upaya patient safety seperti misalnya
yang diawali oleh the ACHS (the Australian Council on Healthcare Standards), the Council for
Safety and Quality in Health Care, the Institute for Clinical Excellence dan the National Institute
for Clinical Studies. Di Inggris yang mengawali konsep clinical governance melalui the National
Institute for Clinical Excellence (NICE), patient safety juga telah menjadi prioritas bagi upaya
peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara berkesinambungan (continuous quality
improvement).

Berbagai definisi mutu yang dikaitkan dengan patient safety selanjutnya diajukan, dan salah satu
definisi yang umum digunakan antara lain menyebutkan bahwa mutu pelayanan kesehatan
adalah “tingkat di mana pelayanan kesehatan untuk individu maupun populasi mampu
menghasilkan outcome pelayanan sesuai dengan yang diharapkan dan konsisten dengan
pengetahuan profesional terkini” (IOM, 2001). Namun demikian mengingat definisi tersebut
dianggap terlalu luas, berbagai peneliti telah mencoba mengembangkannya untuk menjamin agar
pengukuran mutu pelayanan kesehatan lebih spesifik. Salah satunya adalah yang diajukan oleh
Donabedian (1980), yaitu berpedoman pada struktur, proses, dan outcome. Sementara itu the
IOM (1999) dan National Health Service menggunakan konsep mutu pelayanan kesehatan dalam
6 aspek, yaitu safety, effectiveness, timeliness, efficiency, equity, dan patient awareness.

Chassin mengusulkan metode lain yang menekankan pada 3 area utama, yaitu under use, over
use, dan misuse of health care services. Under use didefinisikan sebagai kegagalan untuk
memberikan pelayanan yang efektif padahal jika dilakukan dapat menghasilkan outcome yang
diharapkan (misalnya tidak memberikan imunisasi atau gagal untuk melakukan bedah katarak).
Disebut overuse apabila pelayanan kesehatan yang dilakukan ternyata memberi dampak risiko
yang lebih besar daripada potensi manfaat yang dapat ditimbulkan (misalnya memberikan
antibiotika untuk kasus-kasus common cold). Sedangkan misuse didefinisikan sebagai
komplikasi yang sebenarnya dapat dihindari jika pelayanan kesehatan dilakukan secara seksama.

Dari beberapa konsep tersebut kemudian dikembangkan sejumlah indikator untuk


mengkuantifikasikan mutu pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah indikator mutu pelayanan
yang disusun oleh ACHS yang merupakan instrumen untuk mengidentifikasi area pelayanan
kesehatan yang masih memerlukan perbaikan secara fundamental. Dengan metode kuantifikasi
ini selanjutnya dapat dilakukan analisis statistik untuk menilai area-area pelayanan yang
dianggap memiliki defisiensi dalam menghasilkan outcome yang diharapkan.

Upaya yang sama juga dilakukan oleh The Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ) yang mengembangkan beberapa indikator yaitu Prevention Quality Indicators, Inpatient
Quality Indicators, dan Patient Safety Indicators (PSIs).
Apa yang dimaksud dengan indikator patient safety (IPS)?

Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat
keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan bersama
dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator
patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama
dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang
berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada IPS ini maka rumah
sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak
diharapkan pada pasien.

Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area
pelayanan. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur
potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai tindakan
medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis
sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik.

Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang
didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini mencakup
diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik.

Apa tujuan penggunaan Indikator Patient Safety?

Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang
memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk menunjukkan:
adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu,
bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi sebagaimana
yang diharapkan
tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan
disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau urban vs
rural)

Apa saja yang termasuk dalam indikator patient safety?


Sesuai dengan tujuannya, IPS hendaknya memuat potensi-potensi risiko klinis yang relatif sering
menimbulkan trauma di pihak pasien atau menimbulkan dampak medik, biaya, dan organisasi
yang signifikan bagi pelayanan kesehatan/rumah sakit.

Penetapan IPS harus dilakukan melalui kajian-kajian serta analisis seksama terhadap berbagai
adverse event yang banyak ditemukan di sistem pelayanan kesehatan yang ada. Berikut disajikan
beberapa contoh IPS yang dapat digunakan untuk menilai sejauh mana konsep-konsep patient
safety telah diterapkan secara konsisten di rumah sakit.

Beberapa indikator patient safety

1.    Luka tusuk atau luka iris yang tidak disengaja


2.    Komplikasi akibat anestesi
3.    Kematian pada diagnosis yang angka kematiannya rendah
4.    Dekubitus
5.    Kegagalan dalam menyelamatkan nyawa pasien
6.    Benda asing tertinggal dalam tubuh pasca tindakan medik/bedah
7.    Pneumotorak iatrogenik
8.    Perdarahan atau hematom pasca operasi
9.    Fraktur tulang panggul pasca operasi
10.    Gangguan fisiologis dan metabolik pasca operas
11.    Emboli paru pasca operasi atau trombosis vena
12.    Kegagalan respirasi pasca operasi
13.    Sepsis pasca operasi
14.    Dehisensi luka pasca operasi
15.    Infeksi akibat tindakan medik
16.    Reaksi transfus
17.    Trauma saat lahir
18.    Trauma obstetrik pasca operasi Cesar
19.    Trauma obstetrik pasca persalinan dengan instrumen
20.    Trauma obstetrik pasca persalinan tanpa instrumen

Berdasarkan indikator-indikator yang telah disusun tersebut kemudian dibuat definisi, cara
menghitung angka kejadian serta pada tingkat mana indikator tersebut harus dicapai, serta
variabel-variabel apa saja yang harus dipertimbangkan untuk menghindari misleading dalam
interpretasinya. Berikut diberikan beberapa contoh:

Dekubitus
Definisi: Kasus dekubitus per 1000 patient discharge yang dirawat lebih dari 4 hari Numerator:
Diagnosis saat discharge adalah 7070 sesuai ICD-9 Denominator: Semua medical & surgical
discharges yang didefinisikan dengan DRG spesifik Pada pasien yang dirawat minimal 5 hari
Tidak mengikutsertakan pasien dengan diagnosis hemiplegi, paraplegi atau kuadriplegia Tidak
melibatkan pasien-pasien dari unit pelayanan long term facilities. Angka empirik 22,7 per 1000
population at risk
Risk adjustment; Umur, jenis kelamin, DRG, kategori komorbiditas

Benda asing tertinggal dalam tubuh pasien pasca prosedur medik/bedah


Definisi: Kasus benda asing tertinggal dalam tubuh secara tidak sengaja selama prosedur per
1000 pasien yang di discharg
Numerator: Diagnosis saat discharge adalah sesuai ICD-9 untuk benda asing yang tertinggal
pasca tindakan medik/operatif
Denominator: Semua medical & surgical discharges yang didefinisikan dengan DRG spesifik
Angka empirik 9 per 100.000 population at risk
Risk adjustment: Umur, jenis kelamin, DRG, kategori komorbiditas
Apa manfaat indikator patient safety?
Laporan dari ACHS menunjukkan beberapa perubahan yang signifikan setelah diterapkannya
indikator patient safety dalam sistem pelayanan kesehatan. Antara lain adalah pada area-area
berikut (ACHS, 2003):

Indikator anestesi.
Melalui indikator ini maka proporsi pasien yang menjalani pre anesthetic assessment sebelum
tindakan pembedahan, meningkat dari 79% menjadi 93,6%.
Ditemukan pula adanya peningkatan kunjungan dokter pasca tindakan pembedahan dalam 3
tahun terakhir, yang semula hanya 22% menjadi 69%.

Indikator kegawatdaruratan medik


Setelah digunakannya indikator ini proporsi pasien yang mendapatkan terapi thrombolitik dalam
periode 1 jam setelah tiba di unit gawat darurat meningkat dari 72% pada tahun 1998 menjadi
80% pada tahun 2002.

Indikator oftalmologi
Dari indikator ini diketahui bahwa proporsi pasien dirawat inap selama 3 hari atau lebih pasca
bedah katarak menurun hingga 0,3%.

Indikator pasien rawat inap dengan gangguan jiwa


Setelah diterapkannya indikator ini jumlah pasien rawat inap di bangsal psikhiatri yang
meninggal berkurang dari 0,26% menjadi 0,1%.

Indikator bedah
Ditemukan penurunan proporsi pasien dengan gambaran histologi apendiks normal pasca
apendiktomi dari 21% menjadi 15%

Selama 5 tahun terakhir angka kematian pada coronary artery bypass grafting (CABG) menurun
dari 2,1 menjadi 1,8%. Dari berbagai data di atas semakin jelas bahwa IPS sangat diperlukan
dalam sistem pelayanan kesehatan, baik dalam konteks clinical governance atau peningkatan
mutu pelayanan kesehatan berkelanjutan maupun sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan
untuk menjamin bahwa setiap tindakan medik yang dilakukan selain efficacious juga aman bagi
pasien.

KESIMPULAN

Data empirik membuktikan bahwa dalam sistem pelayanan kesehatan masalah-masalah medical
error ternyata sering terjadi dengan derajat yang beragam, mulai dari yang ringan dan tidak
menimbulkan trauma hingga yang berat dan menyebabkan kecacatan atau kematian pada pasien.
Melalui telaah-telaah ilmiah serta bukti-bukti epidemiologi mengenai medical error dan potensi
risiko tindakan medik yang ada, beberapa lembaga yang peduli terhadap masalah tersebut
kemudia menyusun berbagai upaya untuk mengantisipasi medical error. Hal ini umumnya
dilakukan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan secara berkesinambungan serta menjamin
bahwa selain efficacious, suatu tindakan medik haruslah aman bagi pasien.
Indikator patient safety (IPS) dikembangkan untuk mengidentifikasi masalah-masalah medik
yang berpotensi menimbulkan outcome yang tidak diharapkan. Atas dasar identifikasi tersebut
maka umpan balik secara berkala dapat dilakukan kepada unit-unit pelayanan kesehatan sebagai
alert agar mengubah strategi pelaksanaan tindakan medik yang lebih aman dan mampu
meminimalkan risiko bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Andrews LB, Stocking C, Krizek T, Gottlieb L, Krizek C, Vargish T, et al. (1997) An alternative
strategy for studying adverse events in medical care. Lancet; 349: 309.13.
Bates DW, Cullen DJ, Laird N, Petersen LA, Small SD, Servi D, (1995). Incidence of adverse
drug events and potential adverse drug events. JAMA; 274: 29. 34.
Bhasale AL, Miller GC, Reid SE, Britt HC. (1998) Analysing potential harm in Australian
general practice: an incident. monitoring study. Med J Aust;169:73-6.
Brennan TA, Leape LL, Laird L, et al. Incidence of adverse events and negligence in
hospitalized patients: results of the Harvard Medical Practice Study I. N Engl J Med 1991; 324 :
370. 6.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2004. Guidelines for Preventing Health-
Care–Associated Pneumonia, 2003. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention.
Chassin MR Quality of care: Time to act. JAMA 266, 3472-3473, (1991).
Classen, David C.; Pestonik, Stanley, L.; Evans, Scott; Burke, John P., (1997) Computerized
Surveillance of Adverse Drug Events in Hospital Patients. JAMA. 266(20):2847–2851.
Donabedian A Explorations in Quality Assessment and Monitoring Vol. 1 Ann Arbor, Mich.:
Health administration Press. 1980
Dubois, Robert W. and Brook, Robert H. (1988) Preventable Deaths: Who, How Often, and
Why? Ann Intern Med. 109:582–589.
Institute of Medicine (IOM). Crossing the quality chasm. Washington, DC: National Academy
Press. 2001
Kable AK, Gibberd RW and Spigelman AD Adverse events in surgical patients in Australia.
International J. for Quality in Health Care 14, 269-276, (2002)
Kohn LT, Corrian JM, and Donaldson MS (Eds).To err is human: building a safer health system.
National Academy of Sciences 2000.
McGuire, Hunter H.; Horsley, J. Shelton; Salter, David R. (1992) Measuring and Managing
Quality of Surgery: Statistical vs Incidental Approaches. Arch Surg. 127:733–737.
Mermel LA. 2000. Prevention of intravascular catheter-related infections. Annals of Internal
Medicine 132:391-402; Correction at 133:395.
O’Grady NP et al. 2002. Guidelines for the prevention of intravascular catheter-related
infections. MMWR 51(RR-10
Thomas, Eric J.; Studdert, David M.; Newhouse, Joseph P. (1999) Costs of Medical Injuries in
Utah and Colorado. Inquiry. 36:255–264.
Wilson R. McL., Runciman W.B., Gibberd R.W., Harrison B.T., Newby L., and Hamilton J.D.
The Quality in Australian Health Care Study. The Medical Journal of Australia (1995) 163(9),
458-471.
Weber DJ et al. 2002. Healthcare-acquired pneumonia. Current Treatment Options in
InfectiousDiseases 4:141-51.
Wilson RM, Runciman WB, Gibberd RW, et al. The quality in Australian healthcare study. Med
J Aust 1995;163:458.71.
Contoh Format Evaluasi
LAPORAN PROGRAM PENINGKATAN MUTU MUTU KEPERAWATAN MELALUI
PEMBERIAN ANGKET KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP

A. PENDAHULUAN

Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan, pelayanan keperawatan Rumah Sakit
………. membuat program peningkatan mutu keperawatan yang salah satu kegiatannya adalah
pemberian angket kepuasan kepada pasien. Pemberian angket kepuasan kepada pasien ini
dilakukan untuk mengetahui persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan
oleh perawat RS ……….. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien dan menilai perilaku
perawat maka dilakukan evaluasi terhadap kegiatan pemberian angket kepuasan pasien ini.

B. WAKTU EVALUASI

Evaluasi dilakukan setiap bulannya setelah pengumpulan data angket kepuasan pasien dilakukan.

C. KEGIATAN
Contoh Pembuatan SK (Surat Keputusan)

SURAT KEPUTUSAN
Nomor : …………….. .
tentang
STANDAR KETENAGAAN KEPERAWATAN TERLATIH UNIT KHUSUS
RUMAH SAKIT ……………..
___________________________________________
DIREKTUR RUMAH SAKIT ………..

Menimbang : Bahwa dalam rangka terlaksananya pelayanan rumah sakit secara terorganisir pada bidang pelayanan
keperawatan di Rumah sakit…… maka dipandang perlu untuk menetapkan standar ketenagaan keperawatan terlatih
untuk unit khusus pada setiap tugas jaga sesuai kebutuhan pasien.
Mengingat :
1. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Izin Penyelenggaraan Rumah sakit
2. SK Kepala Dinas Kesehatan nomor …..tentang ijin operasional Rumah sakit
3. Struktur Organisasi Rumah sakit…..
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
1. Standar Ketenagaan Keperawatan terlatih di unit khusus terlampir.
2. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan catatan apabila dikemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam Surat Keputusan ini, akan diadakan perubahan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :

Direktur RS

Tembusan :
Contoh Pembuatan TOR (Term Of Reference)
KERANGKA ACUAN PROGRAM PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEJADIAN
INFEKSI DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT

A. PENDAHULUAN

Rumah sakit adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat pakar, dan padat
modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di rumah sakit menyangkut berbagai
tingkatan maupun jenis disiplin. Agar rumah sakit mampu melaksanakan fungsi yang demikian
kompleks, rumah sakit harus memiliki sumber daya, manusia yang profesional baik di bidang
teknis medis maupun administrasi kesehatan. Untuk menjaga dan meningkatkan mutu, rumah
sakit harus mempunyai suatu ukuran yang menjamin peningkatan mutu di semua tingkatan.
Dalam kegiatan peningkatan mutu pelayanan keperawatan perlu ada suatu program yang
terencana dan berkesinambungan sebagai pedoman bagi pelayanan keperawatan dalam
mengevaluasi dan membuat rencana tindak lanjut sehingga tercapai peningkatan mutu pelayanan
yang diharapkan. Salah satu program yang dibuat adalah pemantauan dan evaluasi kejadian
infeksi di ruang rawat inap.

B. LATAR BELAKANG

Kejadian infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat atau timbul pada waktu pasien dirawat
di rumah sakit. Bagi pasien di rumah sakit ia merupakan persoalan serius yang dapat menjadi
penyebab langsung atau tidak dapat langsung kematian pasien. Beberapa kejadian infeksi
nosokomial mungkin tidak menyebabkan kematian pasien akan tetapi ia menjadi penyebab
penting pasien dirawat lebih lama dirumah sakit. Ini berarti pasien membayar lebih mahal dan
dalam kondisi tidak produktif, disamping pihak rumah sakit juga akan mengeluarkan biaya lebih
besar. Penyebabnya oleh kuman yang berada di lingkungan rumah sakit atau oleh kuman yang
sudah dibawa oleh paien sendiri, yaitu kuman endogen. Dari batasan ini dapat disimpulkan
bahwa kejadian infeksi nosokomial adalah infeksi yang secara potensial dapat dicegah atau
sebaliknya ia juga merupakan infeksi yang tidak dapat dicegah. Untuk itu dalam upaya
peningkatan mutu pelayanan keperawatan perlu adanya program pemantauan dan evaluasi
terhadap kejadian infeksi di ruang rawat inap dan menurunkan kejadian infeksi nosokomial di
RS. ……

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum Memberikan pelayanan pencegahan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit yang
optimal.

2. Tujuan Khusus.

a. Adanya peningkatkan kualitas Pengendalian Infeksi Nosokomial.

b. Mencegah terjadinya infeksi silang baik bagi pasien maupun petugas Rumah Sakit.

c. Meningkatkan komunikasi antar unit kerja RS. ……

d. Memantau dan mengevaluasi kejadian infeksi di ruang rawat inap.

e. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan petugas.

f. Terpenuhinya standar dan parameter pada Akreditasi Rumah Sakit.

D. KEGIATAN POKOK DAN RINCIAN KEGIATAN

1. Kegiatan Pokok Memantau dan mengevaluasi kejadian infeksi di ruang rawat inap.

2. Rincian Kegiatan a. Mencatat data pasien dengan infeksi jarum infus.

b. Mencatat data pasien dengan dekubitus.

c. Mencatat data pasien dengan infeksi luka operasi.

d. Mencatat data pasien dengan infeksi saluran kencing.

e. Mencatat data pasien dengan pneumonia.

f. Mencatat data pasien dengan sepsis.

g. Melaporkan pencatatan data infeksi nosokomial.

h. Evaluasi pelaporan data infeksi nosokomial.

E. CARA PELAKSANAAN
1. Pencatatan dilakukan cukup satu kali saja yaitu bila ditemukan kelainan sesuai jenis infeksi
nosokomial yang ada maka petugas yang pertama kali menemukan si pasien harus langsung
mencatat dan bila pindah tidak usah dicatat lagi.

2. Pencatatan dilakukan oleh perawat yang ditunjuk dengan menggunakan format harian
sederhana RS yang mencakup semua variabel (satuan) yang ada dalam formula dari seluruh jenis
infeksi nosokomial yang ada.

3. Pencatatan dengan menggunakan form sederhana, digunakan pada :

a. Angka Pasien dengan Dekubitus.

b. Angka Kejadian Infeksi dengan Jarum Infus.

c. Angka Infeksi Luka Operasi.

d. Angka infeksi Saluran Kencing.

e. Angka pasien dengan Pneumonia.

f. Angka Pasien dengan Sepsis.

4. Petunjuk Pengisian

a. Cari indikasi adanya infeksi nosokomial dengan melakukan telaah/kajian laboratorium. Dapat
pula dilakukan kunjumgan laboratorium untuk mengetahui apakah ada hasil isolasi positif pada
waktu tersebut di ruang perawatan dmana dilakukan kegiatan surveilans.

b. Kajian catatan atau status pasien untuk melihat tanda infeksi dan hasil kultur. Bila ada, pasien
infeksi nosokomial catat kapan mulai terjadi dan kapan pasien masuk rumah sakit.

c. Jika gejala atau tanggal mulainya tanda infeksi kurang jelas tanyakan dokter atau perawat
pasien yang bersangkutan. d. Kajian catatan obat untuk melihat pasien dengan antibiotika
(kemungkinan infeksi nosokomial).

e. Kajian kurva suhu untuk mengidentifikasi pasien dengan demam.

f. Tanyakan pada perawat dan dokter ruangan apakah ada pasien dengan infeksi.

g. Jika ada pasien infeksi nosokomial catat pada daftar isian.

h. Lakukan pengecekan apakah pasien infeksi nosokomial sebelumnya (kalau ada) sudah sembuh
atau belum.
i. Sambil melakukan kunjungan ruangan perhatikan apakah ada staf baik perawat, dokter maupun
keluarga pasien yang tidak melakukan standar pencegahan infeksi dengan benar jika ada catat
pada formulir checklist penerapan prosedur kewaspadaan universal.

j. Perhatikan apakah fasilitas/bahan seperti anti septik, sabun,dll tidak digunakan dengan benar.

k. Sewaktu-waktu lakukan wawancara/diskusi dengan perawat ruangan tentang ketersediaan


fasilitas untuk tindakan pencegahan infeksi meliputi kemudahan memperoleh, kecukupan
persediaan, kemudahan pemakaian dan kenyamanan.

Persiapan Akreditasi Rumah sakit


1. Persiapan organisasi

• Sebaiknya dibentuk Panitia Akreditasi, bertanggung jawab keDirektur


• Bentuk Pokja untuk masing2 Bidang Pelayanan (5/12/16 bidang)
• Pokja berasal dari unit terkait. Ketua Pokja bisa Ketua Unit / StafSenior. Pokja bertugas jangka
panjang, Ketua Pokja sebaiknya merupakan penanggung jawab QA unit tsb.

2. Persiapan bahan

• Siapkan instrumen akreditasi, gunakan edisi terakhir


• Siapkan dokumen2 tentang Standar, sesuai Bidang Pelayanan masing2
• Panitia & Pokja mempelajari, memahami & menguasai secara
rinci Instrumen Akreditasi, Dokumen standar & dokumen2 penting lainnya, agar selalu ada
kesamaan persepsi

3. Penyusunan SOP

• Bentuk Tim Inti ( 1 – 3 orang) sebagai Penyusun SOP


• Penyusunan SOP dilakukan oleh Tim Inti dibantu Staf Pokja/Unit terkait
• Gunakan format SOP yg standar
• Penomoran SOP sebaiknya sentral
• Sebaiknya dibuat daftar SOP secara sentral, dikelola oleh Panitia Akreditasi / Staf yang
ditunjuk
4. Perbaikan Struktur – Proses – Hasil (Outcome)

• Pembenahan & perbaikan struktur / proses / hasil dilakukan olehPokja & unit ybs sesuai
dengan pemahaman atas standar,
instrumen akreditasi, SOP dsb
• Setelah survei akreditasi, kegiatan ini tetap berjalan secara
kontinu & adekuat sesuai dengan kekurangan & kelemahan yang ada, serta sesuai dengan
rekomendasi surveior

5. Self Assessment

• Pembenahan & perbaikan yg dilakukan dievaluasi secara periodik secara self assessment
• Penilaian dilakukan dengan menggunakan Instrumen Akreditasi
• Hasil : Skor dan Nilai ( % ) dilaporkan secara periodik kepada
Direktur dan Self Assessment final dilaporkan ke KARS
• Penilaian dilakukan oleh Pokja ybs dengan supervisi Panitia
Akreditasi
•Cara lain : dilakukan penilaian secara silang, sesuatu Pokja
menilai Bidang Pelayanan Pokja yang lain
•Bila Skor & Nilai tdk mencapai target, dpt dimintakan Bimbingan Akreditasi kpd KARS

6. Persiapan Hari-H Survei

•Permintaan tanggal survei kepada KARS, hari I survei agar dimulai sesudah hari Senin.
•Pada hari H-1 (Senin) dilakukan Gladi Bersih secara teliti
•Persiapkan ruangan :
- Ruang Pertemuan Surveior & Pokja, 1 surveior 1 ruangan
- Ruang Surveior, untuk Rapat Tim Surveior
- Ruangan2 / lokasi di unit2 pelayanan dan siapkan para staf /petugasnya
- Ruang Pertemuan Pleno, + alat Audiovisual
•Persiapkan usulan Jadwal Survei selama 3 hari / 4 hari, diajukan kpd Ketua Tim Surveior pada
hari H survei
•Persiapan Pokja :
- Petugas Presentan : 1 – 2 orang bertugas menjawab,
menerangkan, mempresentasi hal2 yang diminta Surveior.
Petugas ini harus menguasai seluruh konteks Bidang Pelayanan ybs

7. Kegiatan 3-4 hari Survei

•Setiap hari : segera sesudah survei selesai, lakukan rapat


Koordinasi, kumpulkan semua Pokja
•Tiap Pokja melaporkan :
- Hasil suvei, kekurangan2 yg ditemukan Surveior
- PR-PR yang harus diselesaikan : data2 yg hrs dilengkapi, dll
- Gambaran tentang Surveior : apa yg dikritik, yg dipuji dsb
•Sore / Malam hari itu juga selesaikan hal2 yg didiskusikan pd RapatKoordinasi tsb
•Hal ini dilakukan tiap hari

dikutip dari Artikel (Dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro, MM) Surveyor Akreditasi Rumah
sakit.

STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT.

 1. Standar Pelayanan Rumah Sakit Daerah adalah penyelenggaraan pelayanan


manajemen rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan
keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan
oleh rumah sakit.
 2. Indikator

Merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi terjadinya
perubahan tertentu. Untuk mengukur kinerja rumah sakit ada beberapa indikator, yaitu:

 a. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang
memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap dan
lain-lain.
 b. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya kecepatan
pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-;ain.
 c. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah yang
dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.
 d. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan
sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan lain-
lain.
 e. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit maupun
penerima pelayanan atau pasien yang misal biaya pelayanan yang lebih murah,
peningkatan pendapatan rumah sakit.
 f. Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya
angka kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat,
meningkatnya kesejahteraan karyawan.
 3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam
melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan propinsi,
kabupaten/kota sesuai dengan evidence base.
 4. Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang harus
dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka harus memberikan
pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
 5. Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah
setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen di dalam rumah sakit
yaitu meliputi:

a. Manajemen Sumberdaya Manusia.

b. Manajemen Keuangan.

c. Manajemen Sistem Informasi Rumah Sakit, kedalam dan keluar rumah sakit.

d. Sarana prasarana.

e. Mutu Pelayanan.

PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (Hospital by Laws)

Dalam rangka melindungi penyelenggaraan rumah sakit, tenaga kesehatan dan


melindungi pasien maka rumah sakit perlu mempunyai peraturan internal rumah sakit yang biasa
disebut hospital by laws. Peraturan tersebut meliputi aturan-aturan berkaitan dengan pelayanan
kesehatan, ketenagaan, administrasi dan manajemen. Bentuk peraturan internal rumah sakit
(HBL) yang merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: Tata tertib rawat
inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit, informed
consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komete medik,
panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas rumah sakit,
persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan
dan rekanan.

Bentuk dari Hispital by laws dapat merupakan Peraturan Rumah Sakit, Standar Operating
Procedure (SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan dan
Perjanjian (MOU). Peraturan internal rumah akit (HBL) antara rumah sakit satu dengan yang
lainnya tidak harus sama materi muatannya, hal tersebut tergantung pada: sejarahnya,
pendiriannya, kepemilikannya, situasi dan kondisi yang ada pada rumah sakit tersebut. Namun
demikian peraturan internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya
seperti Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang.
Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.

PENGHITUNGAN EFISIENSI
Indikator penilaian efisiensi pelayanan adalah:

 - Bed occupancy rate.


 - Bed turn over.
 - Length of stay.
 - Turn over interval.

Bed occupancy rate (BOR)

atau Pemakaian Tempat Tidur dipegunakan untuk melihat berapa banyak tempat tidur di rumah
sakit yang digunakan pasien dalam suatu masa.
Jumlah hari perawatan

BOR = ————————————– x 100%

Jumlah TT x hari perawatan

Prosentase ini menunjukkan sampai berapa jauh pemakaian tempat tidur yang tersedia di rumah
sakit dalam jangka waktu tertentu. Bila nilai ini mendekati 100 berarti ideal tetapi bila BOR
Rumah Sakit 60-80% sudah bias dikatakan ideal.

BOR antara rumah sakit yang berbeda tidak bisa dibandingkan oleh karena adanya perbedaan
fasilitas rumah sakit, tindakan medik, perbedaan teknologi intervensi. Semua per bedaan tadi
disebut sebagai “case mix”.

Turn over internal (TOI),

waktu rata-rata suatu tempat tidur kosong atau waktu antara satu tempat tidur ditinggalkan oleh
pasien sampai ditempati lagi oleh pasien lain.

(Jumlah TT x 365) – hari perawatan

TOI = ——————————————– x 100%

Jumlah semua pasien keluar hidup + mati

TOI diusahakan lebih kecil daripada 5 hari.

Bed turn over (BTO), berpa kali satu tempat tidur ditempati pasien dalam satu tahun. Usahakan
BTO lebih besar dari 40.

Length of stay yang baik 5-13 hari atau maksimum 12 hari, 6-10 hari.

Infant mortality rate (angka kematian bayi). Standar 20%

Jumlah kematian bayi yang lahir di RS

IMR = ————————————————- x 100%


Jumlah bayi yang lahir di RS dalam waktu tertentu

Maternal Mortality Rate (MMR) atau angka kematian ibu melahirkan. Standard 0,25% atau
antara 0,1-0,2%

Jumlah pasien obstetri yang meninggal

MMR = —————————————————— x 100%

Jumlah pasien obstetri dalam jangka waktu tertentu

Foetal Death Rate (FDR) atau angka bayi lahir mati. Standar 2%.

Jumlah kematian bayi dengan umur kandungan 20 minggu

FDR = ————————————————————- x 100%

Jumlah semua kelahiran dalam jangka waktu tertentu

Post Operative Death Rate (FODR) atau angka kematian pasca bedah. Standar 1%.

Jumlah kematian setelah operasi dalam satu periode

FODR = —————————————————— x 100%

Jumlah pasien yang dioperasi dalam periode yang sama

Angka kematian sectio caesaria. Standar 5%.

Dalam usaha memperkecil pengaruh “case mix” untuk menilai tingkat efisiensi digunakan
indikator yang lebih tajam, indikator yang dimaksud adalah:

 Av LOS pasien prabedah

Pasien yang akan dioperasi biasanya harus menjalani pemeriksaan radiologi dan laboratorium
serta perlu observasi terhadap keadaan tertentu. Jadi sebelum operasi pasien telah menggunakan
jasa rumah sakit yang tidak sedikit. Lebih banyak pemeriksaan atau lebih lama observasi
tentunya lebih banyak menggunakan sumber daya rumah sakit. Agar efisiensi maka pemborosan
harus ditekan. Bertambah singkat Av LOS prabedah, bertambah hemat atau bertambah efisien
pelayanan yang diberikan.

 Av LOS penyakit tertentu atau tracer conditions.


Telah disusun kelompok-kelompok diagnosis penyakit yang tidak berbeda banyak cara
penganannya mediknya, tidak berbeda banyak Av LOS-nya, dan hampir sama menyerap sumber
dayanya. Kelompok penyakit ini disebut Diagnosis Related Group (DRG). Dalam DRG ini ada
83 kelompok diagnesis yang masih terbagi lagi menjadi 383 subkelompok.

INDIKATOR PENILAIAN

Untuk menilai pemanfaatan tenaga dipergunakan indikator:

 - Rasio kunjungan dengan jumlah tenaga perawat jalan.


 - Rasio jumlah hari perawatan dengan jumlah tenaga perawat inap.
 - Rasio jumlah paisien intensif dengan jumlah tenaga perawat yang melayani.
 - Rasio persalinan dengan tenaga bidan yang melayani.

Indikator untuk penilaian cakupan pelayanan adalah:

 - Rata-rata kunjungan per hari


 - Rata-rata kunjungan baru per hari
 - Rasio kunjungan baru dengan total kunjungan
 - Jumlah rata-rata pasien ugd per hari
 - Rata-rata pasien intensif per hari
 - Rata-rata pasien intensif perhari
 - Rata-rata pemeriksaan radiologi per hari
 - Prosentase r/ yang dilayani terhadap r/ rumah sakit
 - Prosentase item obat dalam formularium
 - Jumlah pelayanan ambulans
 - Rasio banyaknya cucian dengan pasien rawat inap
 - Prosentase penyediaan makanan khusus
 - Rasio pasien rawat jalan terhadap jumlah penduduk dalam, catchment area
 - Admission use rate
 - Hospitalization rate

Mutu pelayanan ditinjau dari GDR & NDR

1. Angka Kematian Kasar/CDR (%) = <45%

2. Angka Kematian Netto/NDR (%) = <25%

You might also like