Professional Documents
Culture Documents
Makin lama, api makin menjalar hebat. Rumah di sebelah gedung Markas Besar
nyaris habis. Sekarang bahkan merembet ke perumahan di sampingnya. Asap
bergulungan memasuki gedung Markas Besar sehingga menyekat per-napasan.
Dalam ruang paseban tempat perja-muan makan, bertambah pekat. Sekonyong-
konyong nampaklah suatu letik api. Dan pelita yang berada di dinding sebelah
menyala terang. Siapakah yang menyalakan? Hati ke-tujuh tokoh Himpunan
Sangkuriang mencelos dengan berbareng. Karena yang menyalakan tak lain ialah
Suryakusumah. Ternyata dia sudah memperoleh tenaganya kembali.
"Nah, sekarang datanglah saatnya. Aku mau melihat kalian mampus di tengah
ruang yang menyala terang. Dengan begitu mata kalian akan bisa menyaksikan
suatu tontonan yang menarik," kata Suryakusumah dengan tertawa terbahak-
bahak. la benar-benar pulih seperti sediakala. Matanya nampak berseri-seri dan ia
terus berjalan mengitari" dinding ruang paseban menyalakan pelita-pelita besar.
"Nah," akhirnya dia berkata memutuskan. "Siapakah yang hams berangkat dahulu?"
"Baiklah kau boleh mencincang atau mem-bakar kami hidup-hidup," kata Tatang
Sontani. "Hanya saja tolong terangkan apakah racun yang mengeram dalam diri
Dadang Wiranata berasal darimu?
"Sudah tentu. Apakah kalian tak bisa men-duga?" sahut Suryakusumah senang. la
maju selangkah mendekati Otong Surawijaya. "ltulah racun Panaitan yang
termasyhur. Tidak berbentuk dan tidak bersuara. Aku hanya cukup
menghembuskan dari sebatang pipa. Barangsiapa kena racun itu, dia akan mati ter-
hisap perlahan-lahan. Dan siapa yang berani mencoba menolong, dia akan kena
hisap pula. Hebat terlalu hebat! Biarpun dewa tidak bakal bisa menolong."
"Mulutmu itu memang jahil. Biarlah ku-sumpali dulu!" maki Suryakusumah. Dia
terus merobek bajunya. Lalu disambitkan tepat mengenai pinggir mulut Otong
Surawijaya. Otong Surawijaya tak dapat berbuat lain ke-cuali mencoba mengelak
dengan melengos. Namun hal itu sudah diperhitungkan Suryakusumah. Begitu dia
melengos, Suryakusumah terus menerjang sambil menghantam. Pada saat
pukulannya akan tiba di atas kepala Otong Surawijaya, suatu kesiur angin memo-
tong dari samping. Secara otomatis tangan kirinya menyodok. Suatu bayangan
terpental di udara, dialah Tubagus Simuntang.
Ya, dialah Sangaji. Pemuda itu terkesiap melihat ketangguhan, Tubagus Simuntang.
Melihat jubah usangnya terus saja ia berkata gugup, "Maaf, maaf... bukankah Tuan
yang mengocok Edoh Permanasari?" setelah berka-ta demikian, Sangaji
menyalurkan tenaga sak-tinya iewat punggung Tubagus Simuntang.
Pendekar ini benar-benar terhenyak. Ia tak tahu, bahwa Sangajipun melihat dirinya
pula. Tatkala hendak mengadakan suatu reaksi, tiba-tiba dadanya terasa longgar.
Suatu hawa yang nyaman luar biasa merayap masuk.
"Ah," Tubagus Simuntang kaget. Suatu sinar harapan membersit dari hatinya.
"Kalau begitu ... lihat... tolong. Aku akan bisa menolong diriku sendiri."
llmu sakti Sangaji sudah tak dapat diukur lagi tingginya. llmu itu mempunyai
kemung-kinan-kemungkinan di luar nalar manusia. Gerakan ayunan Suryakusumah
sudah cepat. Tapi ilmu sakti Sangaji lebih cepat lagi, meskipun terlontar dari jarak
jauh. Kelihatan-nya terlambat, tapi nyatanya tiba mendahului. Tiba-tiba saja,
Suryakusumah tergetar mun-dur. Ia kaget berbareng bertahan. Justru pada saat itu,
ia seperti kena dorong suatu tenaga dahsyat. Sekarang dari kaget berubah menjadi
heran. Akhirnya terpaku keheran-heranan dengan mata penuh selidik.
Melihat Suryakusumah melarikan diri, Sangaji tak ragu-ragu lagi. Pastilah orang itu
yang melukai pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang dengan racun. Kalau
bukan dia, setidak-tidaknya kawan orang yang berpakai-an mewah tadi.
Asalkan aku selalu berjaga-jaga, masakan aku sampai kena diserang secara gelap,
pikir-nya. Dan ia menajamkan inderanya. Se-konyong-konyong ia seperti melihat
berkelebatnya suatu bayangan. Terus saja ia mem-bum. Ternyata orang itu
menyelinap ke dalam gua. Dengan melindungi mukanya ia menero-bos masuk. Tak
mau ia kehilangan waktu lagi. Mendadak saja, dinding di depannya ambrol. Keruan
saja ia kaget bukan kepalang. Cepat ia menjejak dan melesat ke luar. Tepat pada
saat itu sebuah batu besar menggelinding dari atas menutupi mulut gua.
"Sungguh berbahaya!" Sangaji mengeluh. Dan pada saat itu ia mendengar suara
tertawa pelahan-lahan melalui dada. Hatinya jadi geram. Terus saja ia melesat ke
arah suara itu. Betapa gesit dan cepat gerakan Sangaji susah dibayangkan. Namun
manusia itu lebih cepat lagi. Tahu-tahu Sangaji menumbuk batu.
"Bocah! Dengan kau aku tidak bermusuhan. Apa sebab engkau mengubar-ubar
aku?" kata orang itu yang bukan lain adalah Suryakusumah. Dia sudah berada di
atas suatu keting-gian. Maka tahulah Sangaji, bahwa Suryakusumah tadi pasti
menyelinap ke sebuah gua atau lorong rahasia yang belum diketahui. Hatinya
lantas saja menjadi penasaran.
Hati Sangaji terkesiap. Teringat akan keke-jian lawan, ia tak berani berlaku
semberono. Pikirnya, rupanya dia sudah mengenal jalan. Kalau aku masuk, jangan-
jangan aku terjebak di dalamnya. Bukankah aku lantas menjadi seekor binatang
kurungan? la menyabarkan diri. Di luar kesadarannya ia membayangkan Titisari
yang cerdik. Kalau Titisari menghadapi soal macam begini apakah yang akan
dilakukan, pikirnya. Dahulu ia pernah diajak Titisari mencari jejak Pangeran Bumi
Gede. Biasanya orang pasti mengejar begitu saja. Tetapi Titisari tidaklah demikian.
Setelah mencari ubek-ubekan beberapa waktu lamanya, ia lantas berhenti dan
bersembunyi. Itulah akal yang jitu. Mencari orang yang sedang bersem-bunyi harus
dilawan dengan bersembunyi pula. Teringat hal itu, lalu ia memutuskan hendak
bersembunyi pula sambil mengintip.
Tak terasa matahari telah tersimbul di udara. Dataran ketinggian Gunung Cibugis
masih di-selimuti kabut. Hawa gunung luar biasa dingin-nya. Sangaji masih saja
mendekam di balik batu dengan memasang telinganya. Entah sudah berapa jam ia
menajamkan inderanya untuk menangkap suatu gerak atau suara. Namun
keadaannya sunyi lengang. Apakah Suryakusumah sudah menghilang dengan diam-
diam? Ah, tak mungkin. Masakan pen-dengarannya tidak dapat menangkap bunyi
langkahnya? Jangan lagi suatu langkah se-dangkan suara napas seorang lukapun
dapat ditangkap oleh pendengarannya yang tajam melebihi manusia lumrah.
Tetapi sekitar ketinggian itu, benar-benar sunyi senyap. Maka ia memberanikan diri
untuk bergerak. Dengan menggunakan ilmu-nya tingkat tinggi, ia mengendap-
endap me-masuki terowongan. Baru beberapa langkah, mendadak ia mendengar
suatu suara yang mencurigakan. Hati-hati ia melangkah maju. Pendengarannya
ditajamkan. Terang ini suara napas. Anehnya, napas seseorang yang sedang
menderita luka parah. Siapa?
Cepat ia melesat memasuki terowongan lebih jauh lagi. Dalam terowongan gelap
bukan main, la tak berani, gegabah. Setelah menimbang-nimbang dengan hati-hati,
ia memutus-kan untuk menunggu. Tapi sekian lama ia menunggu, tiada terjadi
suatu pembahan. Semuanya tenang. Terlalu tenang malah.
Tetapi begitu sampai di terowongan yang per-tama, tenaganya sudah habis ludes.
Tak dike-hendaki sendiri, ia jatuh pingsan.
Terang sekali, pemuda itu mengigau. Se-menjak Atika dibawa lari Suhanda,
pikirannya selalu ada padanya. Karena itu, begitu memperoleh kesadarannya
kembali nama Suhan-dalah yang terlintas dalam benaknya untuk yang pertama
kali. Gntung, Sangaji kenal siapa yang disebut Suhanda. Ia tahu pula ten-tang diri
Manik Angkeran sewaktu mengintip peristiwa yang terjadi di pertapaan Maulana
Ibrahim. Maka ia sudah dapat menebak seba-gian.
Ah, mengapa begini cepat terjadi suatu per-ubahan? Jangan-jangan, aku sengaja
dipan-cing ke man. Kemudian ia balik kembali ke paseban untuk membunuh
pemimpin-pemim-pin Himpunan Sangkuriang yang sudah tak dapat berkutik lagi.
Celaka, pikir Sangaji cemas.
Dalam hal mengadu suatu kelicinan, dia bukan orangnya. Maka sekali menjejak
tanah, badannya seperti terbang di udara. Gerak-geriknya gesit. Sesuatu yang tak
mungkin dapat dicapai seseorang, baginya bukan soal sulit lagi. Walaupun kini
sambil menggendong Manik Angkeran, tidaklah mengurangi kegesitannya. Seperti
burung garuda ia lari mela-yang-layang dari tempat ke tempat lainnya.
"Hai! Apakah engkau setan?" Kata-kata itu mengingatkan Sangaji kepada Fatimah.
Da-hulu ia bisa bergurau dengan gadis Fatimah yang berwatak angin-anginan. Dan
teringat pula bahwa Manik Angkeran adalah tunangan Fatimah, mendadak saja ia
bisa bergurau pula. Sahutnya, "Kebetulan bukan?"
"Kebetulan bukan."
Selamanya, Sangaji tak pandai berdusta. Apabila tadi bisa bergurau sebenarnya
hanya tahan selintasan saja. Setelah itu kembali ke-pada wataknya yang asli.
Katanya, "Aku ber-asal dari Jawa Tengah, meskipun semenjak ka-nak-kanak aku
berada di Jakarta." Baru sampai di situ, Manik Angkeran menggeliat.
"Benar. Kemudian menetap di Jakarta. Dua tahun yang laiu aku merantau di Jawa
Tengah. Secara kebetulan pula aku berkenalan dengan seorang gadis yang
menolong jiwaku. Gadis itu bernama Fatimah."
"Ya, Fatimah."
Manik Angkeran berpikir sejenak. Lalu ber-kata, "Memang banyak orang bernama
Fati-mah."
"Benar. Tapi Fatimah itu adik guruku yang bernama Wirapati," kata Sangaji.
Mendengar keterangan ini, Manik Angkeran benar-benar terkejut. Bam saja ia
hendak membuka mulut, Sangaji berkata lagi, "Secara kebetulan, aku bersahabat
dengan beberapa pendekar Him-punan Sangkuriang. Lalu aku diundangnya ke mari.
Secara kebetulan aku melihat suatu malapetaka. Tujuh orang pemimpin Himpunan
Sangkuriang nyaris dalam bahaya."
"Ya, aku tahu. Mereka kena pukulan gelap," potong Manik Angkeran.
"Dia lari, sewaktu aku tiba," kata Sangaji. "Dia kukejar. Kukira ia bersembunyi di
dalam gua. Tetapi yang kutemukan adalah engkau. Mengapa engkau sampai
berada di dalam gua?"
Bam Manik Angkeran hendak menyahut, tiba-tiba suatu kesiur angin menyerang
dari balik batu dengan dibarengi bentakan keras?"
"Siapa?"
Sangaji tak sempat meladeni. Melihat bebe-rapa orang menggeletak tak berkutik di
sana-sini, ia mencemaskan nasib pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang.
Kalau saja Inu Kertapati dan kawan-kawannya sudah berhasil mengusir kawannya
penyerbu, tak apalah. Tapi apabila tidak, itulah bahaya. Padahal Gedung Markas
Besar sudah terbakar separoh lebih. Karena mencemaskan nasib mereka, ia hanya
mengibaskan tangan. Maka terdengarlah suara jeritan sekali dan tersusul robohnya
seseorang.
Oleh bunyi seruan itu, Sangaji menghampiri orang itu. Ternyata dia adalah
Suryakusumah. Tadi ia memang geram kena dipermainkan-nya. Tetapi setelah
dengan tak sengaja mem-bunuhnya, timbullah rasa sesalnya. Maka cepat-cepat ia
menurunkan Manik Angkeran di atas tanah. Kemudian dengan membungkuk ia
mencoba menolong Suryakusumah.
Serangan itu datangnya tak terduga sama sekali. Selain itu, sangat cepat. Sangaji
tak sempat mengelak atau menangkis. Satu-satu-nya jalan yang dapat dilakukan
hanya meng-gelembungkan perutnya. Tahu-tahu tubuh Suryakusumah mencelat
sendiri dan jatuh jungkir balik menghantam sebuah batu yang mencongak di antara
rerumputan. Darah segar menyembur dari kepala dan dadanya. Dan Suryakusumah
tewas pada waktu itu juga.
Itulah akibat tenaga sakti Sangaji yang be-kerja secara wajar manakala kena
pukulan dahsyat dari luar. Hebatnya tak dapat diperkira-.kirakan. Suryakusumah
bukannya seorang pendekar murahan. Ia adik Ratu Bagus Boang. Ilmu
kepandaiannya sejajar dengan para raja muda Himpunan Sangkuriang. Namun kena
tangkisan tenaga sakti warisan Pangeran Semono, tenaga saktinya yang
dikumpulkan semenjak puluhan tahun yang lalu, tergempur hancur. Dan tubuhnya
terpental tinggi di udara. Kemudian secara kebetulan pula jatuh di atas batu. Maka
habislah riwayat seorang pendekar sakti yang pernah menggoncangkan bumi
Banten pada zaman Ratu Bagus Boang.
Pada saat itu terdengarlah sorak-sorai dan suara gemerincingnya senjata. Sangaji
tak sempat lagi mengurusi jenasah Suryaku-sumah. Ia menyambar tubuh Manik
Angkeran kembali dan melesat ke arah Gedung Markas Besar Himpunan
Sangkuriang.
Sekali pandang, Sangaji melihat Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Tubagus Simun-
tang, Otong Surawijaya, Dwijendra, Walisana dan Ratna Bumi berada di antara
orang-orang yang berebahan oleh lukanya masing-masing. Melihat keadaannya,
masih saja mereka belum bisa bergerak.
Kedua orang itu bergerak terus. Cara berta-rungnya cepat melawan cepat.
Sekonyong-ko-nyong terjadilah suatu benturan empat tangan dengan sekaligus.
Bres! Lalu berhenti tak bergerak. Dan penonton kedua belah pihak ber-sorak sorai
mengguruh.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara se-ruan salah seorang murid Gunung
Kencana.
"Hm, mana bisa?" damprat pihak Himpunan Sangkuriang. Kalau kau mengharapkan
agar Pangeran Andangkara menyerah kepada anak murid Watu Gunung, hm—itu
terlalu pagi."
Dalam pada itu kedua jago Andangkara dan Wiramanggala masih saja terlengket
kedua ta-ngannya. Masing-masing mendorong dan ber-tahan. Beberapa saat
kemudian, kedua belah pihak mengeluarkan gelembung asap. Suatu tanda bahwa
tubuhnya mulai panas, lantaran mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan di udara
pegunungan yang dingin. Itulah suatu bukti pula, bahwa kedua belah pihak
bertahan mati-matian.
Yang satu adalah raja muda Himpunan Sangkuriang, sang Andangkara. Lainnya
salah seorang murid pendekar sakti Watu Gunung yang bermukim di Gunung
Mandalagiri, Wiramanggala, namanya. Seorang pendekar berperawakan pendek
kekar.
Melihat gelagatnya sebentar lagi mereka akan bertarung lebih seru lagi. Sekarang,
me-reka sedang menunggu keputusan siapakah yang memiliki tenaga sakti paling
dahsyat. Semua penonton baik dari pihak Himpunan Sangkuriang dan ketujuh aliran
yang meluruk ke Gunung Cibugis, menahan napas. Sudah barang tentu mereka
menjagoi jagonya masing-masing.
Kedua pihak sadar, bahwa pertarungan mati-matian itu menentukan mati serta
hidup-nya Himpunan Sangkuriang. Kalau Andangkara kalah, maka mereka yang
meluruk ber-hak membasmi Gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang beserta
segenap penghu-ninya. Hal itu berarti pula bahwa semenjak itu, Himpunan
Sangkuriang tidak berhak hidup lagi di atas dunia.
Tak pernah terduga oleh siapa saja, bahwa Andangkara sesungguhnya adalah
seorang pendekar sakti yang susah dicari bandingnya pada zaman itu. Meskipun
sudah berusia lan-jut, tenaga jasmaninya tidak kalah dengan tenaga pendekar-
pendekar muda. Malahan tenaga saktinya tiada habis-habisnya seakan-akan
gelombang samudera melanda pantai.
Setelah mereka mengadu tenaga sakti beberapa saat lamanya, timbullah rasa
gelisah dalam hati Sangaji. Tadinya ia bangga dan ikut berbesar hati, menyaksikan
adanya seorang jago tua muncul di arena selagi Himpunan
Sangkuriang tinggal menunggu saatnya yang terakhir. Tetapi setelah melihat siapa
lawan Andangkara, suatu ingatan menusuk dalam lubuk hatinya. Katanya seorang
diri, "Lawan Aki Andangkara tidak hanya satu dua orang. Berpuluh-puluh jago
lawannya siap untuk bergiliran. Dapatkah Aki Andangkara melawan mereka seorang
demi seorang? Selagi samudera sendiri pada suatu waktu mengalami ke-surutan,
masakan dia tidak? Dan kalau sampai Aki Andangkara tewas kehabisan tenaga di
depan hidungku, bagaimana kelak aku mem-pertanggung-jawabkan kepada Aki
Tunjung-biru? Sebaliknya lawan Aki Andangkara se-karang ialah murid pendekar
Watu Gunung yang terkenal di seluruh Jawa Barat. Ternyata tidak hanya Gusti Ratu
Bagus Boang saja menghormati, tetapi Eyang Guru juga. Dahulu sewaktu datang
mengunjungi hari ulang tahun, Eyang Guru sampai memerlukan menjemput sendiri
di Paseban.
"llmu sakti raja muda Andangkara benar-benar tiada tandingnya. Benar-benar aku
kagum," kata Wiramenggala.
"Tidak! Aku tadi sudah tergetar mundur selangkah, Barangkali kalau Tuan
menghen-daki, pastilah aku bisa mundur terjengkang. Karena itu, akulah yang kalah
sahut Wiramenggala." Setelah berkata begitu, ia mundur ke luar arena.
Pada saat itu, melompat seorang pemuda bersenjatakan pedang panjang. Dialah
Wijaya yang sudah dikenal Sangaji sewaktu bertem-pur melawan pasukan
Himpunan Sangkuriang bersama Ida Kusuma murid tertua Edoh Permanasari yang
cantik molek.
"Andangkara! Kau boleh mengaku seorang raja muda. Kau boleh berusia tua yang
kenal pula dengan guruku. Namun sudah berapa ratus orang menjadi korban anak
buahmu, ti-dak terhitung. Hari ini aku minta pertanggung-an jawabmu," teriak
Wijaya. Setelah berteriak demikian, ia menggerincingkan pedangnya dan dihunus
dari sarungnya. Walaupun Andangkara belum bersiaga, ia maju selangkah dengan
melintangkan pedang tanda suatu tan-tangan terhadap seorang dari angkatan tua.
Wijaya sendiri tidak sudi menunggu serang-an lawan. Begitu Andangkara nampak
sudah bersenjata, ia menyabetkan pedangnya tanpa segan-segan lagi. Hebat
serangannya. Kece-patannya sukar dilukiskan. Tetapi dengan tenang, Andangkara
menangkis sambil berkata, "Gempurlah aku dengan sungguh-sungguh. Kau tak
perlu segan-segan."
Hm ... Si tua bangka ini sudah mengalahkan tiga pendekar Gunung Gembol dan
seorang pendekar perguruan Muara Binuangeun. Ke-mudian kakak Wiramenggala.
Dan kini meng-hadapi aku. Tapi mengapa tenaga saktinya tidak tergempur habis?
Malahan nampaknya tiada terjadi suatu perubahan sama sekali. Apakah dia
bernapas kuda? pikir Wijaya sam-bil beriari-larian memutar pedangnya. Kalau
sampai tak dapat memenangkan pertandingan ini sungguh nama perguruan
Mandalagiri akan turun pamornya...
Benar juga. Setelah melampaui dua puluh jurus, penonton bersorak-sorai karena
kagum.
Andangkara sendiri terpengaruh oleh gerakan pedang lwan. Kini ia tak dapat
bergerak 1am-ban-lamban lagi. Ia dipaksa untuk bergerak cepat dan berlari-larian
ke sana ke mari. Dengan demikian, pertarungan itu berubah menjadi cepat
melawan cepat.
Sekonyong-konyong pedang Wijaya ber-kelebat menusuk dada. Di luar dugaan di
tengah jalan arah tusukannya berubah. Dengan sedikit menggetarkan ujung
pedangnya, sa-sarannya berubah menusuk pundak.
Sebaliknya, Wijaya tetap berdiri tertegun, walaupun lawan memuji ilmu ciptaan
gurunya. Ia tahu, Andangkara melindungi jiwanya. Kalau bermaksud jahat,
nyawanya pada saat itu sudah terbang menjadi setan. Maka setelah tertegun-tegun
beberapa saat lamanya, ia maju membungkuk hormat seraya berkata: "Sungguh!
Dengan ini perkenankan aku menghatur-kan rasa terima kasih tak terhingga."
Andangkara tidak melayani. Tangannya yang sebelah masih saja lencang mengang-
surkan pedang rampasan kepada pemiliknya. Tetapi Wijaya tak sudi menerima
pedangnya kembali. Kata Pendekar muda itu, "Pedang sudah terampas. Itu artinya,
aku kalah secara mutlak." Setelah berkata demikian ia melom-pat ke luar
gelanggang.
Dalam pada itu, Sangaji segera merobek lengan bajunya untuk pembebat luka
Andang-kara. Tapi sebelum bergerak, Manik Angkeran sudah mendahului masuk
gelanggang. Dia adalah seorang pemuda yang belum dikenal di pihak mana ia
berdiri. Pihak pendatang mengi-ra, Manik Angkeran adalah salah seorang anggauta
Himpunan Sangkuriang yang mema-suki gelanggang untuk menolong mengobati
luka majikannya. Sebaliknya Andangkara me-ngira, bahwa pihak lawan sudah
mengirimkan jasa-jasa baiknya dengan memerintahkan salah seorang bawahannya
menolong mengobati lukanya. Dengan demikian, masuknya Manik Angkeran ke
dalam gelanggang tidak menim-bulkan masalah baru. Hanya Tatang Sontani dan
rekan-rekannya kenal siapakah dia. Melihat dia nampak sehat, hati mereka
bersyukur.
Semua orang kecuali Tatang Sontani dan rekan-rekannya tiada yang mengenal
Sangaji. Karena itu, Kusuma Winata mengira Sangaji adalah seorang pendekar
muda Himpunan Sangkuriang yang tidak termasuk hitungan untuk ikut serta
mempertahankan nasib mati dan hidupnya himpunannya. Lalu ia mengang-guk
kecil sambil berkata ramah, "(Jjar Saudara kecil benar. Memang tidak adil, kami
memak-sa tuanku Andangkara bertempur secara bergilir. Namun ini mengenai
suatu penentuan hidup dan matinya Himpunan Sangkuriang. Kalau kami kalah,
kami akan segera mening-galkan dataran ini. Entahlah saudara-saudara yang lain."
"Andangkara! Sendi kekuatan Himpunan Sangkuriang kini sudah hancur lebur. Apa
faedahnya kau menjual nyawamu? Lekaslah menyerah! Hayo kawan-kawan, kita
han-curkan sisa Gedung Markas Besar itu!"
Mendengar suara sorak gemuruh dan bunyi seruan lawan, sadarlah Andangkara
bahwa mati dan hidupnya Himpunan Sangkuriang benar-benar berada di atas
pundaknya. Maka diam-diam ia mengumpulkan tenaganya kem-bali. Tetapi luka di
lengannya itu benar-benar mulai mengganggu pernapasannya. Bahkan urat-uratnya
terasa menjadi nyeri.
Ia mengamat-amati pendekar Kusuma Winata. Dia dalam keadaan segar bugar. Se-
bagai murid tertua, pastilah sudah hampir me-warisi seluruh kepandaian gurunya.
Sayang, tenaganya sendiri sudah banyak berkurang. Sebaliknya rekan-rekannya
ketujuh raja muda Himpunan Sangkuriang terang tak dapat di-ajukan untuk
bertanding mengukur kekuatan lawan. Maka timbullah perkataannya di dalam hati:
"Kalau aku mati sudah semestinya. Apa arti selembar nyawaku. Tetapi bila matiku
membawa pula keruntuhan Himpunan Sangkuriang, benar-benar terkutuk."
"Maaf," sahut Kusuma Winata dengan sopan. Sehabis berkata demikian, ia meng-
angkat tangan kanannya dan melontarkan pukulan dari jarak jauh.
Dengan gagah, Andangkara menangkis serangan itu dengan suatu pukulan jarak
jauh pula. Kedua pendekar kelas utama itu lantas saja bertarung amat serunya.
Mereka lantas berdiam diri mengawasi gerak mata masing-masing. Dari kepala
mereka tersembullah asap putih ke udara. Itulah suatu tanda, bahwa mereka baru
saja habis mengeluarkan tenaga sakti secara berlebih-lebih-an. Kalau begini terus
cara mereka bertempur, pastilah kedua-duanya akan roboh sendiri sebelum
matahari mencapai tengah.
Sangaji jadi gejisah. Matanya yang tajam segera melihat kelelahan Andangkara.
Seba-liknya, walaupun tenaga sakti Kusuma Winata sudah terkuras habis-habisan,
namun masih saja ia nampak segar bugar.
***
Kedua tangannya naik turun dengan cepat, tapi lunak seakan-akan tak bertenaga.
Nam-paknya seperti kanak- kanak bermain-main. Sebenarnya berbahaya luar biasa.
Sebab itulah yang dinamakan pukulan lunak dari jauh. Tiada suara sama sekali,
tetapi tiba-tiba sudah menghantam sasaran yang dikehendaki.
Kusuma Winata memukul dengan telapakan terbuka dengan tangan kiri. Tetapi
yang tiba terlebih dahulu pada sasarannya ialah tangan kanan. Lalu tangan kiri
yang memukul dengan telapakan terbuka berubah mencengkeram pundak melalui
punggung. Jadi tiga macam serangan yang dilakukan dengan sekali gerakan.
Untuk menangkis serangan berbahaya itu, Andangkara tak boleh berayal lagi.
Mendadak ia menggerung dan dengan kedua kepalannya ia memukul berbarengan.
Maka bertemulah dua kepalan dengan dua telapak tangan. Ke-mudian berdiri tak
bergerak.
Orang mengira bahwa sudah datang saat-nya mereka hendak mengadu kekuatan
tenaga sakti. Memang nampaknya tiada jalan lain, kecuali hanya mengadu tenaga
sakti untuk memperoleh penentuan terakhir. Tak terduga, mendadak Kusuma
Winata melesat mundur. Kemudian berdiri tegak dengan pandang kagum. Setelah
itu membungkuk hormat se-raya berkata hormat.
"Mana bisa? Mana bisa?" sahut Andangkara dengan tertawa gelak. "Rekan Kusuma
Winata sama sekali belum kalah."
Tatang Rusmaja. Dengan pemyataan kalah Kusuma Winata itu berarti pula, bahwa
ketiga adik seperguruannya tidak perlu maju lagi ke gelanggang. Maka diam-diam
Sangaji berpikir, tak kukira, bahwa anak-murid pendekar Watu Gunung berjiwa
ksatria. Kalau mau dengan mudah Aki Andangkara dapat ditumbangkan oleh ketiga
adik seperguruannya. Tenaga sakti Aki Andangkara terang sekali sudah nyaris
habis. Kalau begitu bunyi makiannya tadi yang seolah-olah hendak menuntut
pertanggurigan jawab atas matinya rakyat Jawa Barat, sebe-narnya hanya suatu
sandiwara belaka. Dia bahkan memberi kesempatan kepada Aki Andangkara untuk
menyatakan cita-cita luhur-nya di depan para pendekar lairmya ....
Semenjak berguru kepada Wirapati, Sangaji dididik untuk menghargai jiwa ksatria.
Maka kesannya kini terhadap Kusuma Winata beser-ta adik-adiknya seakan-akan
dari kalangan-nya sendiri.
Dalam pada itu, tenaga jasmani Andangkara benar-benar sudah melampaui batas
kemam-puannya. Dari ubun-ubunnya asap putih nampak mengepul-epul kena cerah
pegunungan. Seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Ia nampak kuyu pula,
meskipun masih gagah berwibawa.
Pendekar-pendekar di pihak lawan yang masih mempunyai harga diri, merasa tidak
pantas menantang bertanding untuk menen-tukan keputusan terakhir. Seumpama
me-nangpun, rasanya tiada harganya. Tetapi ternyata tidak semua pendekar di
pihak lawan berpaham demikian.
Mendadak saja terdengarlah suara seruan nyaring, "Ha—anak-murid Mandalagiri
sudah menyerah. Nah, biarlah kini aku bermain-main dengan Andangkara."
Alisnya yang putih terus saja berdiri tegak. Meskipun ruas-ruas tulangnya kini
terasa menjadi nyeri, namun sekali tergugah semangat jantannya ia lantas
membentak, "Pengecut, hayo maju!"
Semua orang tahu, Andangkara sudah lelah. Walaupun masih garang, namun
parasnya nampak kuyu. Diam-diam Kartasasmita girang serta bersyukur dalam hati.
Seolah-olah seorang pendekar yang menggenggam kunci penentuan, ia melangkah
dengan langkah pasti. Tiba-tiba berputar berlingkaran, lalu menghantam punggung
lawan.
Sudah barang tentu, Kartasasmita girang bukan main. Dengan gelak tertawa ia
mem-bentak, "Andangkara—nah—hari ini tibalah saatmu mampus oleh pukulanku.
Lihat yang terang, supaya jangan mengira aku berlaku licik!"
Melihat keadaan Andangkara tidak mungkin dapat bergerak lagi, timbullah aksi
Kartasasmita hendak sedikit memamerkan kepandai-annya. Dengan menjejak
tanah, ia melesat ke udara dan dari atas menghantam dengan sekuat tenaga
sambil memekik keras. Semua orang terkesiap. Sangaji segera bermaksud hendak
melompat ke dalam gelanggang menolong Andangkara. Sekonyong-konyong ia
melihat Andangkara mengangkat tangan kanannya miring ke atas dengan gaya
yang sangat indah. ltulah tangkisan maut untuk menjaga serangan dari atas. Benar
juga. Kartasasmita yang sudah terlanjur mengapung di udara tak dapat menarik
serangannya kembali. Segera terdengar suara menyusul, "krak-krak krak!"
Bukan main kagum semua orang yang menyaksikan kegagahan dan keperkasaan
Andangkara. Selagi dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati saja,
ternyata ia masih sanggup mematahkan serangan lawan yang berbahaya. Maka
diam-diam, mereka memuji di dalam hati.
Sebaliknya yang kehilangan pamor adalah semua anak murid perguruan Gunung
Gembol. Sebab Kartasasmita adalah murid golongan atas. Ilmu kepandaiannya
hanya dua tingkat di bawah gurunya. Di dalam pengge-rebegan itu, ia memegang
peranan nomor tiga di samping dua kakak perguruannya. Seka-rang Kartasasmita
menggeletak di samping musuh tanpa bisa berkutik sedikitpun. Dan tiada
seorangpun yang berani mengambil atau menolong membangunkannya.
Dengan pernyataan itu, tahulah semua orang bahwa Jajang Kartamenggala dahulu
pernah kalah bertanding melawan Andang-kara. Kini untuk merebut kehormatannya
lagi, hendak membuat perhitungan di depan umum, mumpung ) Andangkara masih
hidup.
Dalam pada itu, batu yang ditendangnya tadi melesat dan menyambar dahi
Andang-kara. Tak! Dan dahi Andangkara lantas saja menyemburkan darah.
Sudah barang tentu, siapa saja akan gam-pang dikalahkan lawan apabila sedang
dalam keadaan demikian. Apalagi, kalau Jajang Kar-tamanggala terlalu panas hati,
ia bisa meng-ambil nyawa Andangkara dengan mudah. Dan nampaknya pendekar
dari Gunung Gembol itu hendak mengambil nyawa Andangkara benar-benar. Ia
melangkah mendekati. Seko-nyong-konyong melesatlah seorang pendekar muda
menghadang di depannya.
Dialah Nanang Atmaja anak murid Manda-lagiri. Salah seorang adik seperguruan
Kusu-ma Winata. Gerakannya gesit serta cekatan. Sambil menghadang di depan
Andangkara, ia berkata: "Raja muda Andangkara sudah terlu-ka parah. Seumpama
engkau dapat me-ngalahkan, rasanya akan ditertawakan juga oleh para ksatria di
seluruh Nusantara. Karena dia mempunyai utang permusuhan dengan pihak kami,
maka biarlah kami yang akan menyelesaikan utangnya."
"Kau bilang apa? Terluka parah?" bentak Kartamanggala. "Manusia itu paling pintar
berpura-pura. Bukankah dia tadi bermain tipu muslihat berpura-pura lumpuh tak
berdaya, sehingga adikku Kartasasmita masuk perang-kapnya? Nanang Atmaja!
Andangkara tidak hanya bermusuhan dengan pihakmu, tapi dengan kamipun juga.
Rasa sakit hati hams dibalas. Biarlah aku menghantamnya dengan tiga kali pukulan
saja. Kalau dia masih saja hidup, itulah keuntungannya...."
Nanang Atmaja tidak menjawab. Pendekar muda itu seperti lagi menimbang-
nimbang. Ia nampak tak menyetujui. Lantaran memper-oleh kesan demikian, Jajang
Kartamanggala berkata lagi: "Nanang Atmaja! Sebelum kita mendaki dataran tinggi
sudah terjadi suatu ikrar bersama. Mengapa kau kini malahan melindungi lawan
yang tinggal menunggu saat hancurnya?"
Terhadap anak murid Watu Gunung, Jajang Kartamanggala agak segan. Tetapi di
depan umum, betapa ia sudi memperlihatkan ke-lemahannya. Maka dengan
mengulum se-nyum merendahkan, dia menyahut: "Kau boleh mengaku sebagai ahli
waris ilmu sakti Resi Buddha Wisnu yang terkenal di seluruh jagat. Tapi masakan
kami harus bersujud takluk kepada semua keputusanmu? Mana bisa begitu?"
Dengan tak langsung, Jajang Karta-manggala sudah menyinggung nama baik Resi
Buddha Wisnu yang dianggap sebagai titisan dewa suci pada zaman itu. Tentu saja,
cucu muridnya tidak rela. Maka demi menjaga nama agung sesembahannya
Nanang Atmaja bersedia mengalah. Lalu membungkuk hormat sambil berkata
nyaring, "Maafkan... aku lupa bahwa engkau ini sebenarnya seorang ksatria tulen.
Maaf-maaf...."
Terang sekali ke mana arah sasaran ucap-an Nanang Atmaja. Itulah suatu ejekan
luar biasa terhadap Jajang Kartamanggala. Na-mun pendekar itu seolah-olah tidak
merasa diejek. Di dalam hati, sesungguhnya ia segan bercekcok dengan anak murid
Mandalagiri. Sebab akibatnya bisa runyam. Apalagi di te-ngah suasana yang sedang
hangat. Maka begitu melihat Nanang Atmaja sudah me-mundurkan diri, segera ia
maju menghampiri Andangkara yang sudah berada dalam keadaan lupa-lupa ingat.
Dalam pada itu, pendekar Gunung Gilu,' Alang-alang Cakrasasmita yang agaknya
menjadi pemimpin persekutuan penggere-began, segera berseru nyaring:
"Kawan-kawan! Sudah datang saatnya kita menyelesaikan tugas suci ini. Basmi
semua sisa anggota Himpunan Sangkuriang terkutuk itu, Hancurkan semua gedung
dan perumah-an-perumahannya. Rampas semua barang-barangnya."