You are on page 1of 23

43 ANDANGKARA

Makin lama, api makin menjalar hebat. Rumah di sebelah gedung Markas Besar
nyaris habis. Sekarang bahkan merembet ke perumahan di sampingnya. Asap
bergulungan memasuki gedung Markas Besar sehingga menyekat per-napasan.
Dalam ruang paseban tempat perja-muan makan, bertambah pekat. Sekonyong-
konyong nampaklah suatu letik api. Dan pelita yang berada di dinding sebelah
menyala terang. Siapakah yang menyalakan? Hati ke-tujuh tokoh Himpunan
Sangkuriang mencelos dengan berbareng. Karena yang menyalakan tak lain ialah
Suryakusumah. Ternyata dia sudah memperoleh tenaganya kembali.

"Nah, sekarang datanglah saatnya. Aku mau melihat kalian mampus di tengah
ruang yang menyala terang. Dengan begitu mata kalian akan bisa menyaksikan
suatu tontonan yang menarik," kata Suryakusumah dengan tertawa terbahak-
bahak. la benar-benar pulih seperti sediakala. Matanya nampak berseri-seri dan ia
terus berjalan mengitari" dinding ruang paseban menyalakan pelita-pelita besar.

Tak lama kemudian terdengarlah suatu hiruk-pikuk sangat ramai. Suatu


pertempuran terjadi di luar halaman. Meskipun demikian, Suryakusumah tak
nampak terpengaruh. Malahan ia seperti memperoleh tambahan semangat.

"Nah," akhirnya dia berkata memutuskan. "Siapakah yang hams berangkat dahulu?"

Tatang Sontani dan kawan-kawannya men-dongkol. Hatinya penuh penasaran.


Memang mereka semua tahu, bahwa-Suryakusumah akan pulih tenaganya terlebih
dahulu. Hanya saja tak pernah mengira akan secepat itu. Menurut perhitungan
paling tidak akan mem-butuhkan waktu satu hari satu malam. Dengan demikian,
harapan untuk memperoleh bantu-an boleh dipastikan.

"Baiklah kau boleh mencincang atau mem-bakar kami hidup-hidup," kata Tatang
Sontani. "Hanya saja tolong terangkan apakah racun yang mengeram dalam diri
Dadang Wiranata berasal darimu?

"Sudah tentu. Apakah kalian tak bisa men-duga?" sahut Suryakusumah senang. la
maju selangkah mendekati Otong Surawijaya. "ltulah racun Panaitan yang
termasyhur. Tidak berbentuk dan tidak bersuara. Aku hanya cukup
menghembuskan dari sebatang pipa. Barangsiapa kena racun itu, dia akan mati ter-
hisap perlahan-lahan. Dan siapa yang berani mencoba menolong, dia akan kena
hisap pula. Hebat terlalu hebat! Biarpun dewa tidak bakal bisa menolong."

"Kentutmu!" lagi-lagi Otong Surawijaya memaki. "Kau memang laki-laki gagah.


Perlu apa kau meracun rekanku yang selamanya tidak pernah berlaku curang?"

Suryakusumah tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Kau memang manusia goblok.


Kalau dia kuracun, bukankah kalian akan datang menolong? Dengan begitu,
bukankah akan memudahkan pekerjaanku membasmi himpunan kalian? Kau
memang manusia berotak udang. Nah, berangkatlah kau terlebih dahulu ke neraka.
Aku sebal melihat tampang-mu!"

Setelah berkata demikian, Suryakusumah melesat menghampiri Otong Surawijaya.


Dengan sekali pukul ia hendak memam-puskan manusia bermulut jahil itu. Tak ter-
duga, pendekar itu termasuk manusia tak gen-tar menghadapi maut. Begitu merasa
dirinya terancam, mendadak saja dalam seribu kere-potan timbullah akalnya.
Mulutnya terus saja menyemprotkan liur dan ludahnya dengan bersamaan.
Terpaksalah Suryakusuma meng-uaingkan pukulannya, karena periu mengelak
dahulu. Dia tahu meskipun hanya liur dan ludah tetapi kalau disemprotkan oleh
seorang yang memiliki tenaga sakti akan merupakan senjata bidik yang ampuh
pula.

"Mulutmu itu memang jahil. Biarlah ku-sumpali dulu!" maki Suryakusumah. Dia
terus merobek bajunya. Lalu disambitkan tepat mengenai pinggir mulut Otong
Surawijaya. Otong Surawijaya tak dapat berbuat lain ke-cuali mencoba mengelak
dengan melengos. Namun hal itu sudah diperhitungkan Suryakusumah. Begitu dia
melengos, Suryakusumah terus menerjang sambil menghantam. Pada saat
pukulannya akan tiba di atas kepala Otong Surawijaya, suatu kesiur angin memo-
tong dari samping. Secara otomatis tangan kirinya menyodok. Suatu bayangan
terpental di udara, dialah Tubagus Simuntang.

Oleh petunjuk Manik Angkeran, diam-diam Tubagus Simuntang berhasil


mengumpulkan tenaganya kembali. Sayang, tenaga sakti da-lam dirinya sudah
terkuras habis. Walaupun demikian, dibandingkan dengan teman-temannya, ia
lebih beruntung. Menurut perhi-tungan pada esok fajar hari ia sudah akan
memperoleh kesegarannya kembali. Tetapi keadaan tidak mengizinkan. Melihat
Otong Surawijaya terancam maut, tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri,
lantas saja melesat memotong pukulan Suryakusumah. Sudah barang tentu, tenaga
saktinya kalah jauh dengan Suryakusumah. ltulah disebabkan, lan-taran dia belum
pulih benar-benar. Dan begitu kena gempuran tangan kiri Suryakusumah, tubuhnya
melayang tak ubah sebuah bola kena dilontarkan. Selagi melayang di udara, suatu
kesiur angin dahsyat luar biasa menghantam dari arah punggungnya. la terus me-
nangkis. Tahu-tahu ia terpental lagi sampai keluar paseban. la heran terlongong-
longong. Siapakah yang memiliki tenaga dahsyat itu, Berbareng dengan
melontakkan darah, ia me-lihat suatu bayangan dalam keadaan remang-remang.
Hai...! Bukankah orang itu pula yang ikut berlari-larian mengejar asap kuning yang
disulutnya untuk mempermainkan Edoh Per-manasari dan anak-anak Mandalagiri?

Ya, dialah Sangaji. Pemuda itu terkesiap melihat ketangguhan, Tubagus Simuntang.
Melihat jubah usangnya terus saja ia berkata gugup, "Maaf, maaf... bukankah Tuan
yang mengocok Edoh Permanasari?" setelah berka-ta demikian, Sangaji
menyalurkan tenaga sak-tinya iewat punggung Tubagus Simuntang.
Pendekar ini benar-benar terhenyak. Ia tak tahu, bahwa Sangajipun melihat dirinya
pula. Tatkala hendak mengadakan suatu reaksi, tiba-tiba dadanya terasa longgar.
Suatu hawa yang nyaman luar biasa merayap masuk.

"Kau siapa?" ia memaksa berbicara.

Sangaji telah memperoleh pengalaman pahit. Segera ia mengeluarkan logam tanda


undangan yang diterimanya dari Suhanda.

"Ah," Tubagus Simuntang kaget. Suatu sinar harapan membersit dari hatinya.
"Kalau begitu ... lihat... tolong. Aku akan bisa menolong diriku sendiri."

Sangaji melemparkan pandang ke arah paseban. Ia melihat seorang laki-laki berdiri


bengong. Berdiri mengawaskan dirinya, di antara enam orang yang rebah di atas
lantai. Teringatlah dia bahwa kepada kata-kata lnu Kertapati dan Sidi Mantera
mengkhawatirkan keadaan pemimpin-pemimpinnya. Apakah orang itu yang melukai
pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang dengan racun seperti yang dialami
sebentar tadi? Mendadak ia meli-hat laki-laki itu seperti tersadar. Tangannya di-
ayun. Terang sekali hendak membunuh mereka seorang demi seorang,
memperoleh kesan demikian, secepat kilat ia melesat sambil menggempur.

llmu sakti Sangaji sudah tak dapat diukur lagi tingginya. llmu itu mempunyai
kemung-kinan-kemungkinan di luar nalar manusia. Gerakan ayunan Suryakusumah
sudah cepat. Tapi ilmu sakti Sangaji lebih cepat lagi, meskipun terlontar dari jarak
jauh. Kelihatan-nya terlambat, tapi nyatanya tiba mendahului. Tiba-tiba saja,
Suryakusumah tergetar mun-dur. Ia kaget berbareng bertahan. Justru pada saat itu,
ia seperti kena dorong suatu tenaga dahsyat. Sekarang dari kaget berubah menjadi
heran. Akhirnya terpaku keheran-heranan dengan mata penuh selidik.

Heran! Selagi tinggal menunggu waktu han-curnya, mengapa muncul seorang


pemuda cilik yang bertenaga begitu hebat? pikir Suryakusumah. Dasar licin, terus
saja ia meng-ambil keputusan. "Bam saja aku kena dilukai Dadang Wiranata.
Tenagaku belum pulih selu-ruhnya. Dan pemuda itu nampaknya tidak berada di
bawah mereka. Baiklah kupergi dahulu. Memang Himpunan Sangkuriang masih
mempunyai bintang," katanya di dalam hati. Lalu memutar tubuh dan melesat
hilang di dalam kegelapan.

Melihat Suryakusumah melarikan diri, Sangaji tak ragu-ragu lagi. Pastilah orang itu
yang melukai pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang dengan racun. Kalau
bukan dia, setidak-tidaknya kawan orang yang berpakai-an mewah tadi.

la paling benci kepada orang yang menggu-nakan racun. ltulah disebabkan,


lantaran gurunya hampir mati kena racun dan pukulan gelap. Hatinya lantas jadi
panas. Tanpa ber-pikir panjang lagi, ia melesat mengejar.

Di hadapannya menghadang suatu lapang-an terbuka yang dipagari dinding


gunung. Suasananya hening senyap. Bulan yang me-nebarkan cahaya remang-
remangnya me-nambah suatu kisah sendiri. Kabut gunung mulai menyelimuti
persada bumi pula. Mengejar seseorang dalam keadaan demikian sebenarnya
banyak bahayanya. Apalagi orang seperti Suryakusumah. Pastilah orang demikian,
mempunyai kesempatan bagus untuk menyerang secara gelap. Namun Sangaji tak
memedulikan semuanya itu. Ia bertekat penuh hendak mengejar.

Asalkan aku selalu berjaga-jaga, masakan aku sampai kena diserang secara gelap,
pikir-nya. Dan ia menajamkan inderanya. Se-konyong-konyong ia seperti melihat
berkelebatnya suatu bayangan. Terus saja ia mem-bum. Ternyata orang itu
menyelinap ke dalam gua. Dengan melindungi mukanya ia menero-bos masuk. Tak
mau ia kehilangan waktu lagi. Mendadak saja, dinding di depannya ambrol. Keruan
saja ia kaget bukan kepalang. Cepat ia menjejak dan melesat ke luar. Tepat pada
saat itu sebuah batu besar menggelinding dari atas menutupi mulut gua.

"Sungguh berbahaya!" Sangaji mengeluh. Dan pada saat itu ia mendengar suara
tertawa pelahan-lahan melalui dada. Hatinya jadi geram. Terus saja ia melesat ke
arah suara itu. Betapa gesit dan cepat gerakan Sangaji susah dibayangkan. Namun
manusia itu lebih cepat lagi. Tahu-tahu Sangaji menumbuk batu.

"Bocah! Dengan kau aku tidak bermusuhan. Apa sebab engkau mengubar-ubar
aku?" kata orang itu yang bukan lain adalah Suryakusumah. Dia sudah berada di
atas suatu keting-gian. Maka tahulah Sangaji, bahwa Suryakusumah tadi pasti
menyelinap ke sebuah gua atau lorong rahasia yang belum diketahui. Hatinya
lantas saja menjadi penasaran.

Di dekat sebuah batu besar ia berhenti me-nyelidiki. Ia mencoba mendorong


dengan menggunakan tenaga enam bagian. Batu itu ternyata dapat digesernya.
Melihat sebuah te-rowongan, segera ia menambah tenaga. Batu itu terus tergeser
dan menggelinding ke ba-wah.

"Hebat! Sungguh hebat!" kata Suryakusu-mah di atas. "Memiliki tenaga begitu,


tidaklah mudah. Semasa mudaku seumurmu, aku belum becus mengangkat diriku
sendiri. Tapi kau... hm, apakah tidak sayang membuang nyawa sia-sia?"

Hati Sangaji terkesiap. Teringat akan keke-jian lawan, ia tak berani berlaku
semberono. Pikirnya, rupanya dia sudah mengenal jalan. Kalau aku masuk, jangan-
jangan aku terjebak di dalamnya. Bukankah aku lantas menjadi seekor binatang
kurungan? la menyabarkan diri. Di luar kesadarannya ia membayangkan Titisari
yang cerdik. Kalau Titisari menghadapi soal macam begini apakah yang akan
dilakukan, pikirnya. Dahulu ia pernah diajak Titisari mencari jejak Pangeran Bumi
Gede. Biasanya orang pasti mengejar begitu saja. Tetapi Titisari tidaklah demikian.
Setelah mencari ubek-ubekan beberapa waktu lamanya, ia lantas berhenti dan
bersembunyi. Itulah akal yang jitu. Mencari orang yang sedang bersem-bunyi harus
dilawan dengan bersembunyi pula. Teringat hal itu, lalu ia memutuskan hendak
bersembunyi pula sambil mengintip.
Tak terasa matahari telah tersimbul di udara. Dataran ketinggian Gunung Cibugis
masih di-selimuti kabut. Hawa gunung luar biasa dingin-nya. Sangaji masih saja
mendekam di balik batu dengan memasang telinganya. Entah sudah berapa jam ia
menajamkan inderanya untuk menangkap suatu gerak atau suara. Namun
keadaannya sunyi lengang. Apakah Suryakusumah sudah menghilang dengan diam-
diam? Ah, tak mungkin. Masakan pen-dengarannya tidak dapat menangkap bunyi
langkahnya? Jangan lagi suatu langkah se-dangkan suara napas seorang lukapun
dapat ditangkap oleh pendengarannya yang tajam melebihi manusia lumrah.

Tetapi sekitar ketinggian itu, benar-benar sunyi senyap. Maka ia memberanikan diri
untuk bergerak. Dengan menggunakan ilmu-nya tingkat tinggi, ia mengendap-
endap me-masuki terowongan. Baru beberapa langkah, mendadak ia mendengar
suatu suara yang mencurigakan. Hati-hati ia melangkah maju. Pendengarannya
ditajamkan. Terang ini suara napas. Anehnya, napas seseorang yang sedang
menderita luka parah. Siapa?

Cepat ia melesat memasuki terowongan lebih jauh lagi. Dalam terowongan gelap
bukan main, la tak berani, gegabah. Setelah menimbang-nimbang dengan hati-hati,
ia memutus-kan untuk menunggu. Tapi sekian lama ia menunggu, tiada terjadi
suatu pembahan. Semuanya tenang. Terlalu tenang malah.

Lambat-laun matanya dapat menembus kegelapan. Terus saja ia melangkah maju


de-ngan melindungi tubuhnya. Ia tak melihat se-suatu kecuali suara napas itu. Tiba-
tiba jauh di sana nampak suatu cahaya. Tak ragu lagi, itu-lah pintu gua sebelah
sana. Cepat-cepat ia melangkah. Tatkala hampir sampai, ia melihat sesosok tubuh
menggeletak tak berkutik. Se-kiranya napasnya tak terdengar, pastilah ia mengira
menemukan bangkai manusia.

Alangkah terkejutnya, setelah ia mengenal siapakah yang menggeletak tak berkutik


itu. Dialah Manik Angkeran. Bagaimana pemuda itu sampai berada di situ. Sangaji
tak tahu, bahwa pemuda itu semalam memegang peranan pen-ting. Setelah
merangkak-rangkak ke sana ke mari untuk mencari letikan api, ia terus mem-bakar
rumah yang berada di halaman Gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang. la
me-nunggu sampai api menyala benar. Kemudian dengan merangkak-rangkak ia
menjauhi. Da-lam hati ia sudah memutuskan hendak minggat.

Tatkala dibawa mendaki dataran tinggi, sedikit banyak ia mengenal lika-liku


jalannya.

Tetapi begitu sampai di terowongan yang per-tama, tenaganya sudah habis ludes.
Tak dike-hendaki sendiri, ia jatuh pingsan.

Sangaji terns memapahnya ke luar gua. Dengan hati-hati ia meletakkan tubuh


Manik Angkeran di atas remmputan. Kemudian me-nyalurkan hawa saktinya.
Sebentar saja, Manik Angkeran siuman kembali. Tapi, begitu menje-nakkan mata,
mendadak memekik tinggi:
"Cepat Suhanda!"

Terang sekali, pemuda itu mengigau. Se-menjak Atika dibawa lari Suhanda,
pikirannya selalu ada padanya. Karena itu, begitu memperoleh kesadarannya
kembali nama Suhan-dalah yang terlintas dalam benaknya untuk yang pertama
kali. Gntung, Sangaji kenal siapa yang disebut Suhanda. Ia tahu pula ten-tang diri
Manik Angkeran sewaktu mengintip peristiwa yang terjadi di pertapaan Maulana
Ibrahim. Maka ia sudah dapat menebak seba-gian.

"Kenapa Suhanda?" Sangaji menegas.

Manik Angkeran tak menyahut. Ia seperti kehilangan kesadarannya kembali. Terus


saja Sangaji memapahnya dan dibawa lari menuju dataran tinggi. Kira-kira seratus
meter di depannya, nampak sebuah jurang yang terlin-dung batu-batu pegunungan
dan semak belukar. Ia mengeluh. Walaupun ia bertenaga sakti, tetapi untuk terbang
melintasi rasanya tidak mungkin. Apalagi dengan membawa beban. Ia hendak balik
kembali ke gua, sewak-tu matanya melihat beberapa orang menggele-tak tak
berkutik di seberang sana.

Rupanya sudah terjadi suatu pertempuran di mana-mana, pikirnya. Memperoleh


pikiran demikian, ia tak boleh membuang-buang tempo. Terus saja ia kembali ke
gua. Setelah berlari-larian beberapa waktu lamanya, sam-pailah dia ke dataran
semula. Hatinya terke-siap. Di tengah lapangan dekat lereng sebelah barat, empat
orang menggeletak dengan golok menembus dadanya.

Ah, mengapa begini cepat terjadi suatu per-ubahan? Jangan-jangan, aku sengaja
dipan-cing ke man. Kemudian ia balik kembali ke paseban untuk membunuh
pemimpin-pemim-pin Himpunan Sangkuriang yang sudah tak dapat berkutik lagi.
Celaka, pikir Sangaji cemas.

Dalam hal mengadu suatu kelicinan, dia bukan orangnya. Maka sekali menjejak
tanah, badannya seperti terbang di udara. Gerak-geriknya gesit. Sesuatu yang tak
mungkin dapat dicapai seseorang, baginya bukan soal sulit lagi. Walaupun kini
sambil menggendong Manik Angkeran, tidaklah mengurangi kegesitannya. Seperti
burung garuda ia lari mela-yang-layang dari tempat ke tempat lainnya.

Tiba-tiba ia mendengar suara Manik Ang-keran.

"Hai! Apakah engkau setan?" Kata-kata itu mengingatkan Sangaji kepada Fatimah.
Da-hulu ia bisa bergurau dengan gadis Fatimah yang berwatak angin-anginan. Dan
teringat pula bahwa Manik Angkeran adalah tunangan Fatimah, mendadak saja ia
bisa bergurau pula. Sahutnya, "Kebetulan bukan?"

"Kalau bukan, mengapa bisa terbang seperti setan?"

"Apakah setan bisa terbang?"


Manik Angkeran tak menyahut. la seperti lagi berpikir. Lalu mengalihkan
pembicaraan.

"Apakah kau seorang anggota Himpunan Sangkuriang?"

"Kebetulan bukan," sahut Sangaji masih bernada bergurau.

"Kalau bukan, apakah musuh Himpunan Sangkuriang."

"Kebetulan bukan."

"Kalau bukan, lantas siapa?"

Selamanya, Sangaji tak pandai berdusta. Apabila tadi bisa bergurau sebenarnya
hanya tahan selintasan saja. Setelah itu kembali ke-pada wataknya yang asli.
Katanya, "Aku ber-asal dari Jawa Tengah, meskipun semenjak ka-nak-kanak aku
berada di Jakarta." Baru sampai di situ, Manik Angkeran menggeliat.

"Hai! Benarkah engkau dari Jawa Tengah?"

"Benar. Kemudian menetap di Jakarta. Dua tahun yang laiu aku merantau di Jawa
Tengah. Secara kebetulan pula aku berkenalan dengan seorang gadis yang
menolong jiwaku. Gadis itu bernama Fatimah."

Mendengar Sangaji menyebut nama Fati-mah, Manik Angkeran menggeliat kembali.


Menegas, "Fatimah?"

"Ya, Fatimah."

Manik Angkeran berpikir sejenak. Lalu ber-kata, "Memang banyak orang bernama
Fati-mah."

"Benar. Tapi Fatimah itu adik guruku yang bernama Wirapati," kata Sangaji.
Mendengar keterangan ini, Manik Angkeran benar-benar terkejut. Bam saja ia
hendak membuka mulut, Sangaji berkata lagi, "Secara kebetulan, aku bersahabat
dengan beberapa pendekar Him-punan Sangkuriang. Lalu aku diundangnya ke mari.
Secara kebetulan aku melihat suatu malapetaka. Tujuh orang pemimpin Himpunan
Sangkuriang nyaris dalam bahaya."

"Ya, aku tahu. Mereka kena pukulan gelap," potong Manik Angkeran.

"Bagaimana kau tahu?" Sangaji heran.

"Secara kebetulan aku berada di sana," sahut Manik Angkeran. Lalu ia


menceritakan pengalamannya dengan singkat tentang per-anan Suryakusumah.

"Dia lari, sewaktu aku tiba," kata Sangaji. "Dia kukejar. Kukira ia bersembunyi di
dalam gua. Tetapi yang kutemukan adalah engkau. Mengapa engkau sampai
berada di dalam gua?"
Bam Manik Angkeran hendak menyahut, tiba-tiba suatu kesiur angin menyerang
dari balik batu dengan dibarengi bentakan keras?"

"Siapa?"

Sangaji tak sempat meladeni. Melihat bebe-rapa orang menggeletak tak berkutik di
sana-sini, ia mencemaskan nasib pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang.
Kalau saja Inu Kertapati dan kawan-kawannya sudah berhasil mengusir kawannya
penyerbu, tak apalah. Tapi apabila tidak, itulah bahaya. Padahal Gedung Markas
Besar sudah terbakar separoh lebih. Karena mencemaskan nasib mereka, ia hanya
mengibaskan tangan. Maka terdengarlah suara jeritan sekali dan tersusul robohnya
seseorang.

Sangaji tercengang. la menoleh dan di sana menggeletak seorang tua berpakaian


hitam lekam. Melihat pemandangan itu, barulah Sangaji tersadar. Lantaran
pikirannya terpusat pada rasa cemas, dengan tak disadari ia sudah menggunakan
tenaga luar biasa kuat. Dan tiba-tiba Manik Angkeran yang berada dalam
gendongannya berseru nyaring sambil menu-ding: "Lihat! Bukankah dia?"

Oleh bunyi seruan itu, Sangaji menghampiri orang itu. Ternyata dia adalah
Suryakusumah. Tadi ia memang geram kena dipermainkan-nya. Tetapi setelah
dengan tak sengaja mem-bunuhnya, timbullah rasa sesalnya. Maka cepat-cepat ia
menurunkan Manik Angkeran di atas tanah. Kemudian dengan membungkuk ia
mencoba menolong Suryakusumah.

"Maaf... aku sungguh menyesal sekali. Biarlah...." la terus mengulurkan tangannya


hendak menyalurkan tenaga saktinya. Tak ter-duga Suryakusumah ternyata
tangkas. Seko-nyong-konyong kakinya mendepak perut Sangaji dengan tenaga
sekuat-kuatnya.

Serangan itu datangnya tak terduga sama sekali. Selain itu, sangat cepat. Sangaji
tak sempat mengelak atau menangkis. Satu-satu-nya jalan yang dapat dilakukan
hanya meng-gelembungkan perutnya. Tahu-tahu tubuh Suryakusumah mencelat
sendiri dan jatuh jungkir balik menghantam sebuah batu yang mencongak di antara
rerumputan. Darah segar menyembur dari kepala dan dadanya. Dan Suryakusumah
tewas pada waktu itu juga.

Itulah akibat tenaga sakti Sangaji yang be-kerja secara wajar manakala kena
pukulan dahsyat dari luar. Hebatnya tak dapat diperkira-.kirakan. Suryakusumah
bukannya seorang pendekar murahan. Ia adik Ratu Bagus Boang. Ilmu
kepandaiannya sejajar dengan para raja muda Himpunan Sangkuriang. Namun kena
tangkisan tenaga sakti warisan Pangeran Semono, tenaga saktinya yang
dikumpulkan semenjak puluhan tahun yang lalu, tergempur hancur. Dan tubuhnya
terpental tinggi di udara. Kemudian secara kebetulan pula jatuh di atas batu. Maka
habislah riwayat seorang pendekar sakti yang pernah menggoncangkan bumi
Banten pada zaman Ratu Bagus Boang.
Pada saat itu terdengarlah sorak-sorai dan suara gemerincingnya senjata. Sangaji
tak sempat lagi mengurusi jenasah Suryaku-sumah. Ia menyambar tubuh Manik
Angkeran kembali dan melesat ke arah Gedung Markas Besar Himpunan
Sangkuriang.

Gedung Markas Besar Himpunan Sangku-riang hampir termakan api seluruhnya.


Waktu itu api sudah padam. Namun asapnya masih mengepul ke udara. Apabila
angin datang melanda, dinding dan tiang yang sudah men-jadi hangus rontok
berguguran. Gedung itu sendiri terletak di atas lapangan terbuka pada suatu
dataran ketinggian, yang dipagari jurang serta tebing tinggi. Maka tidakiah
sembarang orang dapat tiba di sana. Lantaran tiada jalan penghubungnya, kecuali
terowongan-tero-wongan rahasia yang hanya diketahui oleh pemimpin-pemimpin
Himpunan Sangkuriang tertentu.

Sekarang kira-kira seratus meter di halaman paseban, ternyata penuh dengan


manusia. Terbagi menjadi dua bagian. Bagian barat ter-diri dari pihak Himpunan
Sangkuriang. Bagian timur terdiri dari mereka yang datang meluruk ke Gunung
Cibugis. Pakaian mereka berlepot-an darah. Terang mereka menderita luka. Tetapi
yang berada di bagian barat lebih menyedih-kan lagi. Hampir seluruhnya tak dapat
berdiri lagi. Mereka berebahan atau berjongkok dengan pakaian compang-camping
serta berle-potan darah yang kadang-kadang masih saja tergelimang darah segar.
Maka kini menjadi jelaslah apa sebab dataran Gedung Markas Besar bisa teraba
kaki manusia-manusia yang datang dari luar. Dalam pertempuran semalam sampai
dinihari, mereka kena desak sampai terpaksa memasuki terowongan rahasia. Dan
dari sana mereka didorong lagi memasuki da-taran Gedung Markas Besar. Melihat
hancur-nya Gedung Markas Besar, siapa saja tahu bahwa riwayat Himpunan
Sangkuriang tinggal menunggu saat ajalnya belaka. Pada keblat-keblat tertentu
nampak beberapa kelompok manusia siap dengan senjatanya masing-ma sing.
Mereka tinggal menunggu perintah pem-basmian babak terakhir.

Sekali pandang, Sangaji melihat Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Tubagus Simun-
tang, Otong Surawijaya, Dwijendra, Walisana dan Ratna Bumi berada di antara
orang-orang yang berebahan oleh lukanya masing-masing. Melihat keadaannya,
masih saja mereka belum bisa bergerak.

Di tengah lapangan nampaklah dua orang yang sedang bertarung mati-matian.


Lantaran mereka semua sedang mencurahkan segenap perhatian kepada jalannya
pertarungan, ma-suknya Sangaji dan Manik Angkeran ke lapang an itu tiada yang
mengindahkan.

Perlahan-lahan Sangaji membimbing Manik Angkeran menelusup di belakang


deretan ma-nusia yang merupakan pagar arena. Dengan seksama ia
memperhatikan mereka yang ber-tarung. Dua orang laki-laki bertangan kosong.
Meskipun demikian, pukulannya menerbitkan kesiur angin sampai menjangkau
jarak sepu-luh langkah lebih. Itulah suatu tanda bahwa mereka berdua termasuk
pendekar kelas atas.

Kedua orang itu bergerak terus. Cara berta-rungnya cepat melawan cepat.
Sekonyong-ko-nyong terjadilah suatu benturan empat tangan dengan sekaligus.
Bres! Lalu berhenti tak bergerak. Dan penonton kedua belah pihak ber-sorak sorai
mengguruh.

Sangaji memperhatikan pakaian mereka. Yang satu mengenakan pakaian abu-abu.


Dan lainnya berseragam putih. (Jsia orang ini sudah mendekati 70 tahunan. Namun
masih nampak gagah berwibawa. Pandangnya menyala dengan hidung kokoh
seumpama gunung tegak menjulang ke angkasa. Perawakannya tegap perkasa.
Langkahnya pasti dengan dada bi-dang ketat.

Diam-diam Sangaji membatin, di dalam Himpunan Sangkuriang ternyata masih ada


seorang pendekar begini gagah, garang dan berwibawa. Siapakah dia?

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara se-ruan salah seorang murid Gunung
Kencana.

"ISah, Andangkara! Meskipun kau hebat tapi kegagahanmu takkan melebihi


kakakmu Otong Darmawijaya. Lekaslah menyerah ke-pada Wiramanggala."

"Hm, mana bisa?" damprat pihak Himpunan Sangkuriang. Kalau kau mengharapkan
agar Pangeran Andangkara menyerah kepada anak murid Watu Gunung, hm—itu
terlalu pagi."

Mendengar Andangkara disebut sebagai adik Otong Darmawijaya alias Ki


Tunjungbiru, hati Sangaji terkesiap. Kiranya dia adik Aki Tunjungbiru, hati Sangaji
tergerak. Dan seketi-ka timbul rasa kagum kepada Andangkara. Teringat betapa
kasih Ki Tunjungbiru kepada-nya, ingin ia melesat masuk ke arena mem-bantu
Andangkara.

Tetapi terhadap Watu Gunung guru Wira-manggala, ia menghormati pula. Meskipun


dahulu ia pernah mengadu kepalan ) namun hal itu disebabkan lantaran terbawa
luapan nafsunya belaka. Ia mengira Watu Gunung mencelakai gurunya, Wirapati.

Dalam pada itu kedua jago Andangkara dan Wiramanggala masih saja terlengket
kedua ta-ngannya. Masing-masing mendorong dan ber-tahan. Beberapa saat
kemudian, kedua belah pihak mengeluarkan gelembung asap. Suatu tanda bahwa
tubuhnya mulai panas, lantaran mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan di udara
pegunungan yang dingin. Itulah suatu bukti pula, bahwa kedua belah pihak
bertahan mati-matian.

Yang satu adalah raja muda Himpunan Sangkuriang, sang Andangkara. Lainnya
salah seorang murid pendekar sakti Watu Gunung yang bermukim di Gunung
Mandalagiri, Wiramanggala, namanya. Seorang pendekar berperawakan pendek
kekar.

Melihat gelagatnya sebentar lagi mereka akan bertarung lebih seru lagi. Sekarang,
me-reka sedang menunggu keputusan siapakah yang memiliki tenaga sakti paling
dahsyat. Semua penonton baik dari pihak Himpunan Sangkuriang dan ketujuh aliran
yang meluruk ke Gunung Cibugis, menahan napas. Sudah barang tentu mereka
menjagoi jagonya masing-masing.

Kedua pihak sadar, bahwa pertarungan mati-matian itu menentukan mati serta
hidup-nya Himpunan Sangkuriang. Kalau Andangkara kalah, maka mereka yang
meluruk ber-hak membasmi Gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang beserta
segenap penghu-ninya. Hal itu berarti pula bahwa semenjak itu, Himpunan
Sangkuriang tidak berhak hidup lagi di atas dunia.

Tidak mengherankan, bahwa Andangkara dan Wiramenggala menggunakan seluruh


tenaga simpanannya. Tak peduli siapa di antara mereka yang kalah, pasti akan
menderita luka dalam yang hebat. Salah-salah nyawanya bisa melayang. Dengan
demikian, pertaruhan mereka tidak hanya kehormatan nama pihak masing-masing,
tapi nyawanya pula.

Andangkara dan Wiramenggala berdiri te-gak bagaikan patung. Mata Andangkara


me-nyala berwibawa, sedangkan Wiramenggala nampak garang. Dilihat sepintas
lalu, pastilah Andangkara takkan tahan lagi. Lantaran usianya sudah tua.
Sebaliknya Wiramenggala yang berusia empat puluhan tahun mempunyai harapan
lebih besar.

Tak pernah terduga oleh siapa saja, bahwa Andangkara sesungguhnya adalah
seorang pendekar sakti yang susah dicari bandingnya pada zaman itu. Meskipun
sudah berusia lan-jut, tenaga jasmaninya tidak kalah dengan tenaga pendekar-
pendekar muda. Malahan tenaga saktinya tiada habis-habisnya seakan-akan
gelombang samudera melanda pantai.

Setelah mereka mengadu tenaga sakti beberapa saat lamanya, timbullah rasa
gelisah dalam hati Sangaji. Tadinya ia bangga dan ikut berbesar hati, menyaksikan
adanya seorang jago tua muncul di arena selagi Himpunan

Sangkuriang tinggal menunggu saatnya yang terakhir. Tetapi setelah melihat siapa
lawan Andangkara, suatu ingatan menusuk dalam lubuk hatinya. Katanya seorang
diri, "Lawan Aki Andangkara tidak hanya satu dua orang. Berpuluh-puluh jago
lawannya siap untuk bergiliran. Dapatkah Aki Andangkara melawan mereka seorang
demi seorang? Selagi samudera sendiri pada suatu waktu mengalami ke-surutan,
masakan dia tidak? Dan kalau sampai Aki Andangkara tewas kehabisan tenaga di
depan hidungku, bagaimana kelak aku mem-pertanggung-jawabkan kepada Aki
Tunjung-biru? Sebaliknya lawan Aki Andangkara se-karang ialah murid pendekar
Watu Gunung yang terkenal di seluruh Jawa Barat. Ternyata tidak hanya Gusti Ratu
Bagus Boang saja menghormati, tetapi Eyang Guru juga. Dahulu sewaktu datang
mengunjungi hari ulang tahun, Eyang Guru sampai memerlukan menjemput sendiri
di Paseban.

Memperoleh ingatan demikian, diam-diam ia mencari jalan bagaimana caranya


memi-sahkan mereka. Sewaktu hendak melompat ke dalam arena, sekonyong-
konyong mereka membentak dan terus mundur dua langkah dengan berbareng.

"llmu sakti raja muda Andangkara benar-benar tiada tandingnya. Benar-benar aku
kagum," kata Wiramenggala.

Segera Andangkara menyahut dengan sua-ranya yang keras nyaring bagaikan


genta ter-palu. "Betapa mungkin begitu. Keuletan tenaga saktimu sudah mencapai
puncak kesem-purnaan. Aku harus mengaku kalah. Aku bersahabat dengan
gurumu, maka sampaikan hormatku."

"Tidak! Aku tadi sudah tergetar mundur selangkah, Barangkali kalau Tuan
menghen-daki, pastilah aku bisa mundur terjengkang. Karena itu, akulah yang kalah
sahut Wiramenggala." Setelah berkata begitu, ia mundur ke luar arena.

Pada saat itu, melompat seorang pemuda bersenjatakan pedang panjang. Dialah
Wijaya yang sudah dikenal Sangaji sewaktu bertem-pur melawan pasukan
Himpunan Sangkuriang bersama Ida Kusuma murid tertua Edoh Permanasari yang
cantik molek.

"Andangkara! Kau boleh mengaku seorang raja muda. Kau boleh berusia tua yang
kenal pula dengan guruku. Namun sudah berapa ratus orang menjadi korban anak
buahmu, ti-dak terhitung. Hari ini aku minta pertanggung-an jawabmu," teriak
Wijaya. Setelah berteriak demikian, ia menggerincingkan pedangnya dan dihunus
dari sarungnya. Walaupun Andangkara belum bersiaga, ia maju selangkah dengan
melintangkan pedang tanda suatu tan-tangan terhadap seorang dari angkatan tua.

Dengan pandang menyala Andangkara mengawaskan pedang Wijaya. Ia menghela


napas. Kemudian berkata kepada seorang ba-wahannya yang nampak memegang
tangkai besi panji-panji. "Coba carikan aku sebatang tongkat."

Dengan cepat seorang anggota Himpunan Sangkuriang mempersembahkan


sebatang tongkat terbuat dari besi bercampur baja. Panjangnya satu depa.
Andangkara menerima persembahan itu dengan berdiam diri. Tiba-tiba ia menekuk
tongkat besi baja itu dan pa-tah sebagian. Keruan saja yang menyaksikan jadi
gempar. Sama sekali mereka tak pernah mengira, bahwa pendekar berusia tua itu
mempunyai kekuatan luar biasa.

Wijaya sendiri tidak sudi menunggu serang-an lawan. Begitu Andangkara nampak
sudah bersenjata, ia menyabetkan pedangnya tanpa segan-segan lagi. Hebat
serangannya. Kece-patannya sukar dilukiskan. Tetapi dengan tenang, Andangkara
menangkis sambil berkata, "Gempurlah aku dengan sungguh-sungguh. Kau tak
perlu segan-segan."

Beberapa jurus sudah lewat. Cara mereka menggunakan senjatanya masing-masing


jauh berbeda. Pedang Wijaya bergerak sangat cepat. Indah sekali dalam
penglihatan dan menerbit-kan suara berderum sampai murid-murid Edoh
Permanasari yang biasanya bangga kepada ilmunya sendiri, diam-diam menjadi
kagum. Sebaliknya gaya Andangkara justru nampak ayal-ayalan. Gerak geriknya
lamban. Ia hanya mengemplang ke sana ke man dengan ku-tungan tongkatnya.
Kadang-kadang menyo-dok ke kiri atau ke kanan. Dua puluh jurus telah lewat.
Permainan Wijaya tidak kendor, tapi malahan menjadi semakin gesit, tangkas dan
cepat. Jurus-jurusnya sangat berbahaya. Maka pantaslah apa sebab pendekar Watu
Gunung terkenal di seluruh Jawa Barat sebagai orang sakti yang disegani lawan.
Ternyata ilmu pedang warisannya yang dimainkan oleh salah seorang muridnya
saja, begitu mengagumkan hati serta menyilaukan penglihatan.

Beda adalah gaya tipu muslihat permainan tongkat Andangkara. Gerak-geriknya


lambat, namun mantap. Nampaknya seperti tak ter-atur, tapi nyatanya setiap
serangan Wijaya yang tiba tak ubah badai dapat diusirnya dengan sekali atau dua
kali kemplangan. Bagi mata seorang ahli tahulah sudah, bahwa ilmu

Andangkara sudah mencapai tingkatan atas. Dia hanya membutuhkan gerakan-


gerakan satu atau dua langkah ke kiri dan ke kanan. Sebaliknya Wijaya harus
beriari-larian ke sana ke mari untuk menyerang atau bertahan.

Hm ... Si tua bangka ini sudah mengalahkan tiga pendekar Gunung Gembol dan
seorang pendekar perguruan Muara Binuangeun. Ke-mudian kakak Wiramenggala.
Dan kini meng-hadapi aku. Tapi mengapa tenaga saktinya tidak tergempur habis?
Malahan nampaknya tiada terjadi suatu perubahan sama sekali. Apakah dia
bernapas kuda? pikir Wijaya sam-bil beriari-larian memutar pedangnya. Kalau
sampai tak dapat memenangkan pertandingan ini sungguh nama perguruan
Mandalagiri akan turun pamornya...

Sekonyong-konyong ia bersuit panjang. Ilmu pedangnya berubah dengan tiba-tiba.


Tadi gerakan pedangnya nampak cepat dan tegang. Kini meskipun kecepatan tidak
berubah, namun gerak-geriknya lemas lunglai seakan-akan pedangnya terbuat dari
per. Itulah ilmu pedang (Jncal Wastra, ilmu sakti simpanan perguruan Mandalagiri
yang ditakuti lawan.

Benar juga. Setelah melampaui dua puluh jurus, penonton bersorak-sorai karena
kagum.

Andangkara sendiri terpengaruh oleh gerakan pedang lwan. Kini ia tak dapat
bergerak 1am-ban-lamban lagi. Ia dipaksa untuk bergerak cepat dan berlari-larian
ke sana ke mari. Dengan demikian, pertarungan itu berubah menjadi cepat
melawan cepat.
Sekonyong-konyong pedang Wijaya ber-kelebat menusuk dada. Di luar dugaan di
tengah jalan arah tusukannya berubah. Dengan sedikit menggetarkan ujung
pedangnya, sa-sarannya berubah menusuk pundak.

Andangkara kaget bukan kepalang. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu


dengan lawan yang menggunakan tipu muslihat begitu hebat. Memang itulah yang
dinamakan tipu muslihat Angin Mandalagiri. Gerakan sasaran-nya dikendalikan oleh
gerak hati seperti sese-orang mengendarai suatu kendaraan yang sudah lari
kencang. Maka cara menge-mudikannya hanya cukup dengan suatu sen-tuhan jari
selintasan saja.

Dengan cepat Andangkara melintangkan tongkatnya. Mendadak saja sekali lagi


sasaran pedang berubah haluannya. Tiba-tiba kini bergetar dan dengan suatu
kecepatan kilat berbelok menusuk lengan. Cres!

Andangkara tidak gugup, meskipun kaget. Dengan cepat pula tangannya


mencengkeram. Tongkatnya dikibaskan. Tahu-tahu pedang Wijaya terpental di
udara. Sewaktu Wijaya maju hendak menyambar pedangnya, tongkatnya
menyodok pundak. Dan pedang Wijaya dapat direbutnya.

Melihat Andangkara dapat merebut pedang Wijaya, anak murid Mandalagiri


terkejut. Me-reka kagum pula terhadap kegesitan Andang-kara. Tetapi sebaliknya,
Andangkara tiada nampak bergembira bisa merebut pedang. Dengan menghela
napas ia mengangsurkan pedang itu kepada pemiliknya. Kemudian memeriksa
lengannya yang sudah berlepotan darah. Setelah merenung-renung sejenak, ia
berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri, "Selama hidupku belum pernah aku
dika-lahkan lawan, biar sejuruspun. Tapi hari ini, lenganku kena tertusuk pedang.
Ah, Watu Gunung benar-benar tangguh. Dalam seumur itu, masih bisa mencipta
ilmu tipu muslihat luar biasa bagusnya."

Sebaliknya, Wijaya tetap berdiri tertegun, walaupun lawan memuji ilmu ciptaan
gurunya. Ia tahu, Andangkara melindungi jiwanya. Kalau bermaksud jahat,
nyawanya pada saat itu sudah terbang menjadi setan. Maka setelah tertegun-tegun
beberapa saat lamanya, ia maju membungkuk hormat seraya berkata: "Sungguh!
Dengan ini perkenankan aku menghatur-kan rasa terima kasih tak terhingga."

Andangkara tidak melayani. Tangannya yang sebelah masih saja lencang mengang-
surkan pedang rampasan kepada pemiliknya. Tetapi Wijaya tak sudi menerima
pedangnya kembali. Kata Pendekar muda itu, "Pedang sudah terampas. Itu artinya,
aku kalah secara mutlak." Setelah berkata demikian ia melom-pat ke luar
gelanggang.

Dalam pada itu, Sangaji segera merobek lengan bajunya untuk pembebat luka
Andang-kara. Tapi sebelum bergerak, Manik Angkeran sudah mendahului masuk
gelanggang. Dia adalah seorang pemuda yang belum dikenal di pihak mana ia
berdiri. Pihak pendatang mengi-ra, Manik Angkeran adalah salah seorang anggauta
Himpunan Sangkuriang yang mema-suki gelanggang untuk menolong mengobati
luka majikannya. Sebaliknya Andangkara me-ngira, bahwa pihak lawan sudah
mengirimkan jasa-jasa baiknya dengan memerintahkan salah seorang bawahannya
menolong mengobati lukanya. Dengan demikian, masuknya Manik Angkeran ke
dalam gelanggang tidak menim-bulkan masalah baru. Hanya Tatang Sontani dan
rekan-rekannya kenal siapakah dia. Melihat dia nampak sehat, hati mereka
bersyukur.

"Terima kasih" kata Andangkara kepada Manik Angkeran. Kemudian mengangguk


ke-cil kepada pihak pendatang. Terang, ia me-ngira merekalah yang mengirim
Manik Angkeran untuk menolong membebat luka-nya. Tak tahunya, anggukan kecil
itu justru diterima oleh pihak penyerang seba-gai suatu tantangan. Keruan saja,
begitu lengan Andangkara sudah terbebat serta Manik Angkeran sudah kembali ke
tempat-nya semula, melompatlah Kusuma Winata, kakak seperguruan Wijaya ke
dalam gelanggang.

Kusuma Winata adalah seorang pendekar berperawakan ramping. Orangnya


ngganteng, bermata bulat taja'm serta gerak-geriknya so-pan. Dia murid tertua
pendekar sakti Watu Gunung. Dikirim ke dataran tinggi Gunung Cibugis untuk
mewakili gurunya dalam pem-basmian Himpunan Sangkuriang sebagai suatu
pembuktian setia kawan.

Melihat masuknya seorang pendekar yang segar bugar, sedangkan Andangkara


sudah nampak payah akibat lengannya terluka, timbullah suatu gugatan dalam hati
nurani Sangaji. Terus saja ia berseru, "Ini tidak adil! Sungguh tidak adil! Masakan
seorang yang sudah berusia lanjut dipaksa untuk bertem-pur melawan deretan
lawan secara bergi-liran."

Semua orang kecuali Tatang Sontani dan rekan-rekannya tiada yang mengenal
Sangaji. Karena itu, Kusuma Winata mengira Sangaji adalah seorang pendekar
muda Himpunan Sangkuriang yang tidak termasuk hitungan untuk ikut serta
mempertahankan nasib mati dan hidupnya himpunannya. Lalu ia mengang-guk
kecil sambil berkata ramah, "(Jjar Saudara kecil benar. Memang tidak adil, kami
memak-sa tuanku Andangkara bertempur secara bergilir. Namun ini mengenai
suatu penentuan hidup dan matinya Himpunan Sangkuriang. Kalau kami kalah,
kami akan segera mening-galkan dataran ini. Entahlah saudara-saudara yang lain."

Andangkara tidak segera bersiaga. Pandang matanya beralih kepada rekan-rekan


seper-juangannya. Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Tubagus Simuntang,
Dwijendra, Walisana, Rat-na Bumi dan Otong Surawijaya lumpuh tak dapat berkutik.
Hal itu berarti, bahwa tenaga mereka tak bisa diharapkan. Kecuali dirinya seorang,
tiada lagi yang bisa diajak mempertahankan kelangsungan hidup Himpunan
Sangkuriang warisan Gusti Ratu Bagus Boang. Ia tahu, musuhnya kali ini bukan
sembarang pendekar.
Siapa yang dapat menandingi Kusuma Winata murid tertua pendekar sakti Watu
Gunung selain darinya sendiri? Tetapi ia baru saja habis ber-tanding melawan enam
orang pendekar. Benar ia dapat mengalahkan tetapi tidaklah berarti bahwa dia
sanggup mengalahkan jumlah pendekar yang menggerudug dataran tinggi
Himpunan Sangkuriang seorang demi seorang. Apalagi kini lengannya sudah
terluka. Tenaga-nyapun sudah terasa berkurang pula.

Tatkala itu terdengarlah suara nyaring seo-rang anggota perguruan Gunung


Kencana.

"Andangkara! Sendi kekuatan Himpunan Sangkuriang kini sudah hancur lebur. Apa
faedahnya kau menjual nyawamu? Lekaslah menyerah! Hayo kawan-kawan, kita
han-curkan sisa Gedung Markas Besar itu!"

Seruan anak-murid 1 Gunung Kencana segera mendapat persetujuan dari sekutu-


sekutunya. Pendekar Gunung Gilu yang bernama Alang-Alang Cakra Sasmita
menyahut, "Bagus! Mari kita basmi bersama noda dunia ini. Teman-teman
seperjuangan, dengarkan! Manakala Himpunan Sangkuriang sudah ter-sapu bersih
dari muka bumi, rakyat Jawa Barat akan bisa tidur nyenyak dan makan enak. Tidak
seperti sekarang. Mati tidak hidup pun tidak."

Anak-anak murid Gunung Aseupan, Gu-nung Gembol dan Muara Binuangeun


bersorak bergemuruh. Malahan salah seorang pe-mimpin pasukan berteriak
nyaring.

"Mengapa memberi kesempatan kepada bangsat untuk menyerah hidup-hidup.


Jangan kepalang tanggung! Basmi! Sembelih! Atau suruh mereka membunuh diri!
Dengan begitu kita tak usah bersusah payah lagi."

Mendengar suara sorak gemuruh dan bunyi seruan lawan, sadarlah Andangkara
bahwa mati dan hidupnya Himpunan Sangkuriang benar-benar berada di atas
pundaknya. Maka diam-diam ia mengumpulkan tenaganya kem-bali. Tetapi luka di
lengannya itu benar-benar mulai mengganggu pernapasannya. Bahkan urat-uratnya
terasa menjadi nyeri.

Ia mengamat-amati pendekar Kusuma Winata. Dia dalam keadaan segar bugar. Se-
bagai murid tertua, pastilah sudah hampir me-warisi seluruh kepandaian gurunya.
Sayang, tenaganya sendiri sudah banyak berkurang. Sebaliknya rekan-rekannya
ketujuh raja muda Himpunan Sangkuriang terang tak dapat di-ajukan untuk
bertanding mengukur kekuatan lawan. Maka timbullah perkataannya di dalam hati:
"Kalau aku mati sudah semestinya. Apa arti selembar nyawaku. Tetapi bila matiku
membawa pula keruntuhan Himpunan Sangkuriang, benar-benar terkutuk."

Dalam pada itu, terdengar Kusuma Winata berkata seperti menggurui:

"Tuanku Andangkara! Semenjak Ratu Fatimah bertahta di atas singgasana Kasul-


tanan Banten, Ratu Bagus Boang sudah meru-pakan duri bagi seluruh rakyat Jawa
Barat. Beberapa ribu nyawa manusia yang tewas bergelimpangan di ujung pedang
anak buah Ratu Bagus Boang, sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Hanya saja,
sepak terjang anak buah Himpunan Sangkuriang tidak dapat dipertanggung-
jawabkan kepada tuanku Andangkara seorang. Karena itu, silakan tuanku
membawa anak buah tuanku turun gunung. Kami tidak akan mengusik apalagi
mengganggu lagi. Silakan?"

Mendengar ucapan Kusuma Winata, An-dangkara -tertawa terbahak-bahak.


Sahutnya nyaring, "Maksud baik rekan Kusuma Winata kuresapkan dalam hati.
Tetapi aku adalah salah seorang di antara raja-raja muda Him-punan Sangkuriang.
Dengan sendirinya anak didik Gusti Ratu Bagus Boang rekan Kusuma Winata!
Himpunan Sangkuriang merupakan bendera kebangsaan. Tempat tumpuan hati
nurani rakyat yang sadar akan arti keadilan, kebangsaan dan agama. Sekarang
bendera kami akan kalian rusakkan. Akan kalian sapu dari muka bumi, untuk kalian
persembahkan kepada kompeni. Mana bisa aku akan bertopang dagu? Seumpama
aku hidup sendiri di antara reruntuhan bendera kebangsaan kami, apakah arti hidup
demikian? Kamipun mempunyai cita-cita. Kamipun mempunyai pengucapan hati.
Biarlah kami hidup untuk satu hari saja, asal hidup sebagai harimau dan bukan
hidup sebagai kambing sembelihan."

Setelah berkata demikian, ia menggeser kakinya. Suatu tanda bahwa ia sudah


bersiaga untuk menunggu saat mati dan hidupnya. Sikapnya gagah berwibawa
sesuai dengan ucapannya yang menggetarkan hati Sangaji.

"Mari!" tantangnya dengan suara past!.

"Maaf," sahut Kusuma Winata dengan sopan. Sehabis berkata demikian, ia meng-
angkat tangan kanannya dan melontarkan pukulan dari jarak jauh.

Dengan gagah, Andangkara menangkis serangan itu dengan suatu pukulan jarak
jauh pula. Kedua pendekar kelas utama itu lantas saja bertarung amat serunya.

Kedua-duanya adalah pendekar andalan masing-masing pihak. Dalam sekejap saja


puluhan jurus sudah terlalui. Mereka berkisar dari satu tempat ke tempat lain.
Namun tak pernah mereka mendekat. Serangan-serang-annya hanya dilakukan dari
jarak jauh. Nampaknya tidak berbahaya, tetapi se-sungguhnya bahayanya melebihi
suatu pukulan langsung. Sebab masing-masing menggu-nakan tenaga sakti
himpunan tenaga sakti mereka semenjak puluhan tahun yang lalu. Tiap pukulannya
menerbitkan angin bergu-lungan. Kedahsyatannya tak dapat diukur lagi.
Seumpama mengenai sebuah rumah, sebentar saja akan runtuh berguguran.

Tatang Sontani dan rekan-rekannya demi-kian pula Edoh Permanasari dan


sekutunya adalah pendekar-pendekar yang sudah memi-liki keahliannya masing-
masing. Selamanya mengagul-agulkan ilmu kepandaiannya sendiri lantaran
yakinnya. Tapi begitu menyaksikan pertarungan mereka, semuanya kagum.
Andangkara menggunakan pukulan-pukulan keras. Sedangkan Kusuma Winata
lembek serta lunak. Cara bertarungnya terbuka dan mengutamakan serangan
terus-menerus tiada hentinya. Suatu kali mereka berbenturan, kemudian melompat
mundur merenggang beberapa langkah.

Mereka lantas berdiam diri mengawasi gerak mata masing-masing. Dari kepala
mereka tersembullah asap putih ke udara. Itulah suatu tanda, bahwa mereka baru
saja habis mengeluarkan tenaga sakti secara berlebih-lebih-an. Kalau begini terus
cara mereka bertempur, pastilah kedua-duanya akan roboh sendiri sebelum
matahari mencapai tengah.

Sangaji jadi gejisah. Matanya yang tajam segera melihat kelelahan Andangkara.
Seba-liknya, walaupun tenaga sakti Kusuma Winata sudah terkuras habis-habisan,
namun masih saja ia nampak segar bugar.

Aki Andangkara terluka lengannya. Sedikit banyak mengganggu pemusatan tenaga,


pikir sangaji. Lagi pula dia habis bertempur secara berturut-turut. Kalau kalah
sudahlah semesti-nya. Tetapi kalau seorang ksatria semacam dia sampai tewas,
bukankah dunia akan kehi-langan sebuah ratna yang tak ternilai har-ganya. Ah, biar
bagaimana aku harus maju.

Memperoleh keputusan demikian, Sangaji segera mengencangkan ikat


pinggangnya. Lengan bajunya yang tadi kena robek, digu-lungnya rapih. la sudah
hendak melesat turun ke dalam gelanggang, tiba-tiba terjadilah suatu perubahan.

***

DI TENGAH sorak sorai bergemuruh, se-rangan Kusuma Winata tiba-tiba berubah.

Kedua tangannya naik turun dengan cepat, tapi lunak seakan-akan tak bertenaga.
Nam-paknya seperti kanak- kanak bermain-main. Sebenarnya berbahaya luar biasa.
Sebab itulah yang dinamakan pukulan lunak dari jauh. Tiada suara sama sekali,
tetapi tiba-tiba sudah menghantam sasaran yang dikehendaki.

Untuk menangkis pukulan tanpa suara itu, Andangkara menggunakan bentakan-


ben-takan dengan disertai pukulan keras. Selanjut-nya mereka bertarung melalui
beberapa puluh jurus dengan mempertunjukkan kemahiran serta keahliannya
masing-masing. Sampai pada suatu saat tibalah pada babak penentuan.

Kusuma Winata memukul dengan telapakan terbuka dengan tangan kiri. Tetapi
yang tiba terlebih dahulu pada sasarannya ialah tangan kanan. Lalu tangan kiri
yang memukul dengan telapakan terbuka berubah mencengkeram pundak melalui
punggung. Jadi tiga macam serangan yang dilakukan dengan sekali gerakan.

Untuk menangkis serangan berbahaya itu, Andangkara tak boleh berayal lagi.
Mendadak ia menggerung dan dengan kedua kepalannya ia memukul berbarengan.
Maka bertemulah dua kepalan dengan dua telapak tangan. Ke-mudian berdiri tak
bergerak.
Orang mengira bahwa sudah datang saat-nya mereka hendak mengadu kekuatan
tenaga sakti. Memang nampaknya tiada jalan lain, kecuali hanya mengadu tenaga
sakti untuk memperoleh penentuan terakhir. Tak terduga, mendadak Kusuma
Winata melesat mundur. Kemudian berdiri tegak dengan pandang kagum. Setelah
itu membungkuk hormat se-raya berkata hormat.

"Benar-benar aku merasa takluk. Dengan ini terimalah hormatku."

"Mana bisa? Mana bisa?" sahut Andangkara dengan tertawa gelak. "Rekan Kusuma
Winata sama sekali belum kalah."

Dengan tersenyum Kusuma Winata berkata membalas, "Tuanku Andangkara


merasa tidak mengalahkan aku? Tidak! Dengan sebenar-nya, aku sudah kalah.
Memang nampaknya seimbang atau katakan saja sama kuat. Tetapi tuanku habis
bertempur melawan tujuh orang. Sedangkan aku dalam keadaan segar-bugar.
Kalau sama-sama kuat, bukankah aku sudah kalah seurat?"

Mendengar kata-kata Kusuma Winata, harga murid Mandalagiri naik setingkat di


depan mata Sangaji. Adik seperguruan Kusuma Winata masih tiga orang lagi yang
belum mengadu kekuatan. Nanang Atmaja, Brata Manggala dan

Tatang Rusmaja. Dengan pemyataan kalah Kusuma Winata itu berarti pula, bahwa
ketiga adik seperguruannya tidak perlu maju lagi ke gelanggang. Maka diam-diam
Sangaji berpikir, tak kukira, bahwa anak-murid pendekar Watu Gunung berjiwa
ksatria. Kalau mau dengan mudah Aki Andangkara dapat ditumbangkan oleh ketiga
adik seperguruannya. Tenaga sakti Aki Andangkara terang sekali sudah nyaris
habis. Kalau begitu bunyi makiannya tadi yang seolah-olah hendak menuntut
pertanggurigan jawab atas matinya rakyat Jawa Barat, sebe-narnya hanya suatu
sandiwara belaka. Dia bahkan memberi kesempatan kepada Aki Andangkara untuk
menyatakan cita-cita luhur-nya di depan para pendekar lairmya ....

Semenjak berguru kepada Wirapati, Sangaji dididik untuk menghargai jiwa ksatria.
Maka kesannya kini terhadap Kusuma Winata beser-ta adik-adiknya seakan-akan
dari kalangan-nya sendiri.

Dalam pada itu, tenaga jasmani Andangkara benar-benar sudah melampaui batas
kemam-puannya. Dari ubun-ubunnya asap putih nampak mengepul-epul kena cerah
pegunungan. Seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Ia nampak kuyu pula,
meskipun masih gagah berwibawa.

Pendekar-pendekar di pihak lawan yang masih mempunyai harga diri, merasa tidak
pantas menantang bertanding untuk menen-tukan keputusan terakhir. Seumpama
me-nangpun, rasanya tiada harganya. Tetapi ternyata tidak semua pendekar di
pihak lawan berpaham demikian.
Mendadak saja terdengarlah suara seruan nyaring, "Ha—anak-murid Mandalagiri
sudah menyerah. Nah, biarlah kini aku bermain-main dengan Andangkara."

Dialah yang-tadi gembar-gembor mengan-jurkan agar menyembelih semua anggota


Himpunan Sangkuriang. Namanya Kartasas-mita, pemimpin pasukan anak murid
Gunung Gembol. Perawakan orang itu pendek buntet. Bercambang tebal bermuka
kehitam-hitaman. Suaranya keras bagaikan kaleng kena ten-dang. Dan mendengar
bunyi perkataannya, semua orang menoleh kepadanya.

Andangkara mendongkol akan kelicik-annya. Ia mengerling tajam padanya. Kata-


nya di dalam hati, "Hm, kalian kurcaci-kur-caci dari Gunung Gembol masakan ada
harganya bertanding melawan aku? Tapi hari ini memang akulah yang sial. Kalau
aku tadi runtuh di tangan anak murid Mandalagiri, tak mengapalah. Tapi kalau aku
tewas di tangan manusia licik itu ... manusia yang hendak mengeduk keuntungan
selagi diriku terjepit di pojokan begini, alangkah penasaran ha-tiku."

Alisnya yang putih terus saja berdiri tegak. Meskipun ruas-ruas tulangnya kini
terasa menjadi nyeri, namun sekali tergugah semangat jantannya ia lantas
membentak, "Pengecut, hayo maju!"

Semua orang tahu, Andangkara sudah lelah. Walaupun masih garang, namun
parasnya nampak kuyu. Diam-diam Kartasasmita girang serta bersyukur dalam hati.
Seolah-olah seorang pendekar yang menggenggam kunci penentuan, ia melangkah
dengan langkah pasti. Tiba-tiba berputar berlingkaran, lalu menghantam punggung
lawan.

Andangkara memiringkan tubuhnya. Kemudian kakinya menyapu dengan dahsyat.


Ternyata dengan gesit ia dapat mengelak. Kemudian bermain berlompat-lompat
berlingkar-an sambil sekali-kali menyerang dengan pukulan-pukulan keras.

Diperlakukan demikian, lambat laun tenaga Andangkara terkuras habis. Pandang


matanya sudah mulai gelap. Dunia seolah-olah berputar balik. Telinganya menjadi
pengung. Se-konyong-konyong ia memuntahkan darah segar. Lantaran tak tahan
lagi, ia duduk sete-ngah bersirnpuh.

Sudah barang tentu, Kartasasmita girang bukan main. Dengan gelak tertawa ia
mem-bentak, "Andangkara—nah—hari ini tibalah saatmu mampus oleh pukulanku.
Lihat yang terang, supaya jangan mengira aku berlaku licik!"

Melihat keadaan Andangkara tidak mungkin dapat bergerak lagi, timbullah aksi
Kartasasmita hendak sedikit memamerkan kepandai-annya. Dengan menjejak
tanah, ia melesat ke udara dan dari atas menghantam dengan sekuat tenaga
sambil memekik keras. Semua orang terkesiap. Sangaji segera bermaksud hendak
melompat ke dalam gelanggang menolong Andangkara. Sekonyong-konyong ia
melihat Andangkara mengangkat tangan kanannya miring ke atas dengan gaya
yang sangat indah. ltulah tangkisan maut untuk menjaga serangan dari atas. Benar
juga. Kartasasmita yang sudah terlanjur mengapung di udara tak dapat menarik
serangannya kembali. Segera terdengar suara menyusul, "krak-krak krak!"

Tiga kali berturut-turut, lengan Kartasasmita kena terpatahkan dengan sekaligus


oleh ilmu cengkeraman Andangkara. Tubuhnya turun tak terkendalikan lagi.
Menyusul lagi suara krak krak! Kini tulang pahanya patah remuk. Dan dengan suara
gedebukan, Kartasasmita jatuh di samping Andangkara tak berkutik lagi.

Bukan main kagum semua orang yang menyaksikan kegagahan dan keperkasaan
Andangkara. Selagi dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati saja,
ternyata ia masih sanggup mematahkan serangan lawan yang berbahaya. Maka
diam-diam, mereka memuji di dalam hati.

Sebaliknya yang kehilangan pamor adalah semua anak murid perguruan Gunung
Gembol. Sebab Kartasasmita adalah murid golongan atas. Ilmu kepandaiannya
hanya dua tingkat di bawah gurunya. Di dalam pengge-rebegan itu, ia memegang
peranan nomor tiga di samping dua kakak perguruannya. Seka-rang Kartasasmita
menggeletak di samping musuh tanpa bisa berkutik sedikitpun. Dan tiada
seorangpun yang berani mengambil atau menolong membangunkannya.

Baru setelah berjalan beberapa waktu lamanya, seorang laki-laki berperawakan


ting-gi besar masuk ke gelanggang. Dialah kakak-seperguruan Kartasasmita nomor
dua. Bernama Jajang Kartamanggala. Matanya bulat menyala. Berbibir tebal serta
berkumis lebat. Kira-kira dua puluh langkah dari Andangkara dia berhenti
mengamat-amati. Lalu mendepak sebuah batu sambil memben-tak mengguruh,
"Bangsat Andangkara! Dahulu hari aku pernah kau malukan di hadapan umum.
Nah, hari ini biarlah aku membuat per-hitungan. Hayo maju!"

Dengan pernyataan itu, tahulah semua orang bahwa Jajang Kartamenggala dahulu
pernah kalah bertanding melawan Andang-kara. Kini untuk merebut kehormatannya
lagi, hendak membuat perhitungan di depan umum, mumpung ) Andangkara masih
hidup.

Dalam pada itu, batu yang ditendangnya tadi melesat dan menyambar dahi
Andang-kara. Tak! Dan dahi Andangkara lantas saja menyemburkan darah.

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan se-tiap orang yang menyaksikan. Kenapa


Andangkara tak dapat mengelakkan atau menangkis? Mustahil, Andangkara bisa
kena serangan batu demikian rupa. Setelah di-amat-amati, ternyata Andangkara
dalam keadaan setengah-setengah ingat. Itulah sebab-nya, ia tak dapat berkelit
atau mengelak di-sambar sebuah batu.

Sudah barang tentu, siapa saja akan gam-pang dikalahkan lawan apabila sedang
dalam keadaan demikian. Apalagi, kalau Jajang Kar-tamanggala terlalu panas hati,
ia bisa meng-ambil nyawa Andangkara dengan mudah. Dan nampaknya pendekar
dari Gunung Gembol itu hendak mengambil nyawa Andangkara benar-benar. Ia
melangkah mendekati. Seko-nyong-konyong melesatlah seorang pendekar muda
menghadang di depannya.

Dialah Nanang Atmaja anak murid Manda-lagiri. Salah seorang adik seperguruan
Kusu-ma Winata. Gerakannya gesit serta cekatan. Sambil menghadang di depan
Andangkara, ia berkata: "Raja muda Andangkara sudah terlu-ka parah. Seumpama
engkau dapat me-ngalahkan, rasanya akan ditertawakan juga oleh para ksatria di
seluruh Nusantara. Karena dia mempunyai utang permusuhan dengan pihak kami,
maka biarlah kami yang akan menyelesaikan utangnya."

"Kau bilang apa? Terluka parah?" bentak Kartamanggala. "Manusia itu paling pintar
berpura-pura. Bukankah dia tadi bermain tipu muslihat berpura-pura lumpuh tak
berdaya, sehingga adikku Kartasasmita masuk perang-kapnya? Nanang Atmaja!
Andangkara tidak hanya bermusuhan dengan pihakmu, tapi dengan kamipun juga.
Rasa sakit hati hams dibalas. Biarlah aku menghantamnya dengan tiga kali pukulan
saja. Kalau dia masih saja hidup, itulah keuntungannya...."

Tetapi Nanang Atmaja tidak menyetujui maksud Jajang Kartamanggala. Andangkara


adalah seorang raja muda. Namanya harum, gagah perkasa sehingga ditakuti lawan
dan kawan. Kalau sekarang harus tewas seperti anjing kena gebuk di depan mata
para ksatria, bukankah patut disayangkan. Maka ia berkata, "Jajang Kartamanggala!
Tiap orang tahu ilmu pukulan Gunung Gembol yang terma-syhur di seluruh jagat.
Itulah pukulan ilmu sakti Gumbala Geni. Jangan lagi raja muda Andangkara dalam
keadaan payah, seumpama dalam keadaan segar bugar kena pukulan Gumbala
Geni secara telak, dia takkan bisa menolong jiwanya iagi."

"Baik," sahut Jajang Kartamanggala setelah menimbang-nimbang sebentar. "Aku


takkan memukulnya dengan ilmu sakti Gumbala Geni kami yang termasyhur. Dia
tadi mematahkan lengan dan kaki adik seperguruanku. Karena itu, biarlah aku
mematahkan lengan dan kakinya juga. Itulah baru adil."

Nanang Atmaja tidak menjawab. Pendekar muda itu seperti lagi menimbang-
nimbang. Ia nampak tak menyetujui. Lantaran memper-oleh kesan demikian, Jajang
Kartamanggala berkata lagi: "Nanang Atmaja! Sebelum kita mendaki dataran tinggi
sudah terjadi suatu ikrar bersama. Mengapa kau kini malahan melindungi lawan
yang tinggal menunggu saat hancurnya?"

Nanang Atmaja menghela napas. Ia seperti terdorong ke pojok. Setelah berdiam


sejenak, ia menyahut: "Baiklah, kau mau menghantam, hantamlah sampai mati.
Tetapi kalau semua-nya ini sudah selesai, sebelum pulang ke perguruan kita
masing-masing aku akan belajar kenal dengan pukulan Gumbala Geni yang kau
agung-agungkan."
Mendengar ucapan Nanang Atmaja, hati Jajang Kartamenggala terkesiap. Pikirnya
dalanvhati: Heran, apa sebab dia melindungi Andangkara justru pada 'saat
Himpunan Sangkuriang akan runtuh serata tanah.

Terhadap anak murid Watu Gunung, Jajang Kartamanggala agak segan. Tetapi di
depan umum, betapa ia sudi memperlihatkan ke-lemahannya. Maka dengan
mengulum se-nyum merendahkan, dia menyahut: "Kau boleh mengaku sebagai ahli
waris ilmu sakti Resi Buddha Wisnu yang terkenal di seluruh jagat. Tapi masakan
kami harus bersujud takluk kepada semua keputusanmu? Mana bisa begitu?"

Dengan tak langsung, Jajang Karta-manggala sudah menyinggung nama baik Resi
Buddha Wisnu yang dianggap sebagai titisan dewa suci pada zaman itu. Tentu saja,
cucu muridnya tidak rela. Maka demi menjaga nama agung sesembahannya
Nanang Atmaja bersedia mengalah. Lalu membungkuk hormat sambil berkata
nyaring, "Maafkan... aku lupa bahwa engkau ini sebenarnya seorang ksatria tulen.
Maaf-maaf...."

Terang sekali ke mana arah sasaran ucap-an Nanang Atmaja. Itulah suatu ejekan
luar biasa terhadap Jajang Kartamanggala. Na-mun pendekar itu seolah-olah tidak
merasa diejek. Di dalam hati, sesungguhnya ia segan bercekcok dengan anak murid
Mandalagiri. Sebab akibatnya bisa runyam. Apalagi di te-ngah suasana yang sedang
hangat. Maka begitu melihat Nanang Atmaja sudah me-mundurkan diri, segera ia
maju menghampiri Andangkara yang sudah berada dalam keadaan lupa-lupa ingat.

Dalam pada itu, pendekar Gunung Gilu,' Alang-alang Cakrasasmita yang agaknya
menjadi pemimpin persekutuan penggere-began, segera berseru nyaring:

"Kawan-kawan! Sudah datang saatnya kita menyelesaikan tugas suci ini. Basmi
semua sisa anggota Himpunan Sangkuriang terkutuk itu, Hancurkan semua gedung
dan perumah-an-perumahannya. Rampas semua barang-barangnya."

Mendengar perintah ini, pendekar-pendekar pihak penggerebegan sorak


bergunturan. Dengan aba-aba nyaring, pemimpin pasukan-nya meneruskan
perintah Alang-alang Cakrasasmita. Dan seluruh pasukan nampak akan segera
bergerak.

You might also like