You are on page 1of 25

Spondylitis TB….

Spondilitis tuberkulosa atau dikenal juga dengan

Tuberkulosis tulang belakang adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman Micobacterium tuberculosis
yang menyerang tulang belakang. Kuman ini menyerang terutama di daerah paru yang penderitanya
banyak sekali kita temui di Indonesia. Ternyata dalam perjalanannya, kuman ini tidak hanya menyerang
paru, tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai
penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan bagi Pervical Pott seorang ahli
bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat tentang penyakit tersebut.
Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia (Kelumpuhan) terbanyak setelah trauma, dan banyak
dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling
jarang pada vertebra C1-2.

Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. (saluran pernapasan). Basil
TB dapat tersangkut di paru, hati, usus, limpa, ginjal dan tulang. Kuman ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit
tuberkulosis tulang.

Tuberkulosis pada vertebra (tulang belakang) dapat pula memberikan komplikasi, ialah paraplegia
(kelumpuhan pada bagian bawah badan), umumnya disebut Pott’s Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan
karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis. Adapun pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan
sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis (saluran
tempat keluarnya saraf). Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberculose yang terletak pada corpus
bagian belakang yang merupakan dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan
pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun
nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan yang hebat pada Medulla Spinalis.

Gejala-gejala klinik :

badan lemah atau lesu


Nafsu makan berkurang
Berat badan menurun
Suhu sedikit meningkat terutama di malam hari
Sakit pada punggung yang terlokalisir
Bengkak pada daerah paravertebral
Paraplegia (kelumpuhan/kelemahan pada bagian bawah tubuh), gangguan fungsi buli-buli dan anus

afrisusnawatirauf.wordpress.com/2010/07/ - Tembolok
Pendahuluan

Spondilitis tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifak kronik destruktif yang
disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini disebut juga Penyakit Pott (bila
disertai paraplegia atau defisit neurologis). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3
dan paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra,
jarang arkus vertebra.

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang
sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara
maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita
hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.

Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu bentuk sentral, paradiskus, dan anterior. Pada
bentuk sentral, destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk paradiskus terletak di bagian
korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral. Pada bentuk anterior, lokus awal
terletak di bagian anterior korpus vertebra dan merupakan penjalaran per kontinuatum dari vertebra di
atasnya.

Patogenesis :

Infeksi tuberkulosis merupakan infeksi granulomatosa yang spesifik, dengan karakteristik destruksi
tulang progresif lambat (osteolisis lokal) pada bagian anterior korpus vertebra yang disertai dengan
osteoporosis setempat.

Penyebaran tuberkulosis biasanya terjadi karena kelenjar hilus yang mengalami perkijuan memecah dan
basil tuberkulosis masuk kedalam pembuluh darah. Infeksi bermula pada korpus vertebra dengan
terbentukya ruangan yang berisi bahan perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang yang atrofi.
Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis
ini bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah pembentukan tulang dan
membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul tuberculous sequstra. Jaringan granulasi
tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas
hingga ke beberapa vertebra, ke atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior.

Pada vertebra, kerusakan terjadi pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya.
Kerusakan pada bagian depan korpus akan menyebabkan kompresi vertebra sehingga terjadi kifosis
yang dikenal sebagai gibbus. Pada bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat
terjadi kompresi vertebra. Bentuk paradiskal yang disertai destruksi korpus vertebra yang bersebelahan
dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus, yang pada foto Rontgen
akan tampak gambaran penyempitan diskus intervertebra. Bila proses terus berlanjut, akan terjadi
osteoporosis dan penyebaran ke seluruh korpus vertebra sehingga timbul kompresi vertebra. Proses ini
bisa menyerang lebih dari satu korpus vertebra. Jaringan granulasi tuberkulosis dapat pula menembus
korteks korpus vertebra, yang akan membentuk abses paravertebra yang dapat menyebar dari satu
vertebra ke vertebra lainnya. Diskus intervertebra yang avaskular relatif resisten terhadap infeksi
tuberkulosis, namun diskus yang berdekatan dengan tempat infeksi dapat menyempit karena dehidrasi
atau yang lebih sering karena dirusak oleh jaringan granulasi.

Selain merusak vertebra, abses dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di
sepanjang garis ligamen yang lemah. Di vertebra lumbal, abses akan turun ke bawah melalui sela
aponeurosis otot psoas dan nanahnya akan dikeluarkan melalui fasia otot psoas sehingga terbentuk
abses psoas. Abses dapat turun ke regio inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses dingin di daerah
torakal dapat menembus rongga pleura sampai terjadi abses pleura, atau ke paru bila parunya
melengket pada pleura. Di daerah servikal, abses dapat menembus dan berkumpul di antara vertebra
dan faring.

Abses dapat pula berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula spinalis dan
mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. Paraplegia awal selain karena tekanan
abses dapat juga disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskuler. Namun keadaan
ini sangat jarang ditemukan pada tuberkulosis karena merupakan proses kronik sehingga telah
membentuk pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga disebabkan oleh tuberkulosis pada
medula spinalis.

Gambaran Klinis :

Secara klinik gejala spondilitis tuberkulosis hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya,
yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat
(subfebril) terutama pada malam hari. Pasien biasanya anak-anak, dengan keluhan utama berupa nyeri
punggung atau nyeri pinggang bawah. Pada umumnya nyeri meningkat pada malam hari, makin lama
makin berat, terutama pada pergerakan. Pada pemeriksaan fisik tulang belakang dapat ditemukan
kifosis (gibbus), abses retroperitoneal atau abses inguinal. Selain itu, dapat ditemukan gangguan medula
spinalis berupa paresis dan gangguan sensibilitas.

Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku atau
lemah, atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi otot
tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya kontraktur. Pada
permulaan, paraplegi terjadi karena udem sekitar abses paraspinal, tetapi akhirnya karena kompresi.
Karena tekanan timbul terutama dari depan, gangguan pada paraplegia ini umumnya terbatas pada
traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal dan bukan lumbal, karena kanalis
lumbalis agak longgar dan kauda ekuina tidak mudah tertekan.

Berdasarkan defisit neurologisnya, Frankel mengklasifikasikan spondilitis tuberkulosis menjadi beberapa


tipe, yaitu:

Frankel A (complete paraplegia)

Frankel B (preserved sensation)


Frankel C (useless motor)

Frankel D (useful motor)

Frankel E (normal)

Pemeriksaan Penunjang :

Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan laju endap darah meningkat, sedangkan kadar hemoglobin
rendah. Pemeriksaan imunologi dengan uji tuberkulin dapat membantu menegakkan diagnosis. Untuk
melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat
melalui pembedahan.

Diagnsosis dapat dipastikan dengan aspirasi pus paravertebra, yaitu dengan melakukan pemeriksaan
mikroskopik untuk menemukan basil tuberkulosis serta ditanam di media agar (guinea pig). Sensitivitas
basil tuberkulosis terhadap obat-obat antituberkulosis harus diperiksa. Jaringan yang diperoleh baik
melalui biopsi tertutup atau biopsi terbuka saat pembedahan dapat menunjukkan gambaran histologi
infeksi tuberkulosis yang khas, termasuk histiosit dan giant cells.

Pada pemeriksaan rontgen stadium awal ditemukan lesi osteolitik pada pars anterior korpus vertebra,
osteoporosis regional dan penyempitan diskus intervertebralis. Sementara pada stadium lanjut
ditemukan destruksi pars anterior korpus vertebra yang menyebar ke vertebra dan gambaran bayangan
otot psoas yang melebar karena adanya abses psoas ataupun bayangan paravertebra karena
terbentuknya abses paravertebra.

Pada CT Scan dan MRI, gambaran di atas akan tampak lebih jelas. CT scan dapat memberi gambaran
tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, sklerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
CT Scan juga dapat mendeteksi lebih awal serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi
dari abses jaringan lunak. MRI baik untuk mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis
tulang belakang, menunjukkan adanya penekanan saraf, serta membedakan spondilitis tuberkulosis dari
spondilitis piogenik dari gambaran absesnya.

Tatalaksana :

Tujuan penatalaksanaan tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk menghilangkan kuman penyebab
dan mencegah deformitas dan komplikasi paraplegi. Terapi konservatif berupa istirahat serta diet tinggi
kalori dan protein. Tuberkulostatik diberikan untuk mengatasi sumber infeksinya. Pemberian
tuberkulostatik dilakukan sebelum, sewaktu, dan sesudah pembedahan untuk mencegah kekambuhan.
Selain itu, perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari dekubitus serta kesulitan miksi dan
defekasi.

Tindakan pembedahan dilakukan setelah 3 minggu pemberian tuberkulostatik. Terapi bedah dilakukan
untuk menghilangkan pus dan sequestra, serta untuk menggabungkan segmen-segmen vertebra yang
terkena, terutama bagian anterior dengan menggunakan autogenous bone grafts. Biasanya dilakukan
bedah kostotransversektomi, berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan
tulang spongiosa atau kortikospongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi menjembatani vertebra yang
sehat, yaitu di atas dan di bawah yang terkena tuberkulosis. Pada paraplegia, terapi ini dilakukan untuk
dekompresi medula spinalis. Disamping itu, akhir-akhir ini dilakukan tindakan stabilisasi posterior tulang
belakang untuk koreksi deformitas.

Di negara dimana fasilitas pembedahan masih kurang, dapat dilakukan terapi alternatif dengan
kemoterapi antituberkulosis jangka panjang dikombinasikan dengan spinal brace atau cast.

Komplikasi :

Komplikasi yang paling serius dari spondilitis tuberkulosis adalah paraplegia (paraplegia Pott), yang
dapat terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit. Paraplegia of active disease muncul lebih cepat,
terjadi karena penekanan ekstradural (pus, sequestra, sequestrated intervertebral disc) atau
keterlibatan langsung medulla spinalis oleh jaringan granulasi. Paraplegia of healed disease selalu
muncul lebih lambat, terjadi karena perluasan tulang yang mempengaruhi kanalis spinalis atau fibrosis
jaringan granulasi. Mielografi atau MRI dapat membantu membedakan paraplegia tipe tekanan (dapat
diatasi dengan pembedahan) dengan paraplegia karena invasi ke dura dan medulla spinalis.

Paraplegia yang terjadi karena penekanan selama perjalanan penyakit tuberkulosis sendiri relatif
merupakan suatu kegawatan yang harus diatasi dengan pembedahan dekompresi medula spinalis dan
akar-akar saraf.

Komplikasi yang lebih jarang adalah ruptur abses paravertebra torakal kedalam pleura yang
menyebabkan empiema tuberkulosis. Di regio lumbal, abses dapat masuk ke otot iliopsoas dan
menyebar sebagai abses psoas, yang merupakan salah satu contoh abses dingin.

Prognosis :

Prognosis spondilitis tuberkulosis bergantung pada cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya
komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya
lebih baik. Sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir prognosis biasanya kurang baik. Penyakit
dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan, karena dapat menyebabkan
terjadinya resistensi terhadap obat antituberkulosis.

www.exomedindonesia.com/.../spondilytis-tuberkulosis/ - Tembolok

Paresis ( Yunani paresis πάρεσις "melorot") adalah identik dengan kelumpuhan . Seringkali kata
digunakan, bagaimanapun, membatasi dalam hal "pengurangan kekuatan tidak lengkap". Sebuah
kelumpuhan fisik lengkap juga dikenal sebagai kelumpuhan atau plegia , suatu rasa kelumpuhan - yang
mati rasa yang - sebagai penurunan sensorik .
Palsies disebabkan di sebagian saraf gangguan, seperti yang pertama motor neuron , yang otak ke
sumsum tulang belakang dan meluas saklar ada di sana.

Paraparese :

adalah kelemahan tonus otot pada ekstrimitas bawah

SPONDILITIS TUBERKULOSA

PENDAHULUAN

Spondilltis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan ditemukan
dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru'-2. Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan
penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis tuberkulosa dikenal juga
sebagai penyaldt Pott (Port's disease). Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara
berkembang karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah
kontributor pasien tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000
kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan
tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. (1,2)

Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan penyebaran
sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena
Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosa setelah instilasi BCG (Bacillus Calmelle Guerin)
intravesical pada karsirnoma buli-buli. Juga telah dilaporkan kasus osteomyelitis tuberkulosa sebagai
komplikasi dari vaksinasi BCG . Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang
berbeda. Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis
memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dan kelompok tersebut 78% adalah anak-anak,
sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah
dewasa. (1,2)

Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskular sehingga Iebih resisten terhadap infeksi dan
kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra. Pada anak-anak karena diskus intervertebralis
masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Penyempitan diskus intervertebralis terjadi
akibat destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami herniasi ke dalam korpus
vertebra yang telah rusak. Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik
maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh akumulasi cairan akibat edema,
abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus. (1,2)

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI :

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang
sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara
maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita
hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Ujung
Pandang spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.
Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah. (3)

ETIOLOGI :

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-
95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan
5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama
beberapa tahun. (1,3)

PATOLOGI :

Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun yang terbanyak menyerang
bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan akhirnya vertebra cervicalis pun tidak
terlepas dari serangan ini. focus yang pertama dapat terletak pada centrum corpus vertebrae atau pada
metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga
akhirnya corpus vertebrae tidak lagi kuat untuk menahan berat badan dan seakan-akan hancur sehingga
dengan demikian columna vertebralis membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan
terdapat pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu proses dapat
menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama semakin
banyak, nanah ini dapat menjalar menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat berupa : (2)

1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-kanan columna vertebralis.

2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasi dan kulit di sebelah belakang
dan di luar columna vertebralis merupakan suatu abscess akan tetapi tidak panas. Umumnya abscess ini
dinamakan abscess dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.

3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan senkung’s abscess yang
terlihat di bagian dada penderita.

4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empyme.

5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam pharynx sehingga merupakan
retropharyngeal abscess.

6. Dapat pula abscess terlihat sebagai supraclavicular abscess.

7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang kemudian menurun sampai
terjadi abscess besar yang terletak di bagian dalam dari paha.

Semua abscess tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel yang
bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada vertebrae dapat pula
memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut Pott’s Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan
karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis. Adapun pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan
sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis. Jika di dalam
canalis spinalis ada proses tuberculose yang terletak pada corpus bagian belakang yang merupakan
dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan granulasi
langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup
untuk memberikan tekanan yang hebat pada Medulla Spinalis. (2,4)

Dapat pula proses tuberculosa menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis membengkok dan
menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan paraplegia. Kemungkinan lain ialah
terdapat sequestra dan pus di sekeliling canalis spinalis tadi yang juga menekan pada medulla spinalis.
Dengan demikian banyak sebab-sebab yang dapat menekan medulla spinalis dengan keras sehingga
menimbulkan gejala paraplegia. Secara klinis paraplegia dapat dibagi menjadi early onset, ialah jika
paraplegia segera timbul sebagai kelanjutan dari proses spondylitis tuberculose. Type kedua adalah
paraplegia late onset, paraplegia ini terjadi setelah penyakit spondylitis sifatnya tenang untuk beberapa
waktu lamanya kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan. (1,2)

Lesi Spondilitis tuberkulosa berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat, bersifat osteolisis
lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian superior atau inferior anterior dari korpus vertebra .
Proses infeksi Myobacterium tuberkulosis akan mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan stimulator
poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi destruksi korpus vertebra dianterior. Proses
perkijuan yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan
segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi
progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah
kifosis ( angulasi posterior ) tulang belakang.Proses terjadinya kifosis dapat terus berlangsung walaupun
telah terjadi resolusi dari proses infeksi.Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem respirasi
dan paraplegi. (1,3)

Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra dan membentuk abses paravertebral. Diseminasi lokal
terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung dibawah ligamentum longitudinal
anterior.Apabila telah terbentuk abses paravertebral , lesi dapat turun mengikuti alur fascia muskulus
psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis.

Pada usia dewasa , diskus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap infeksi dan
kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra.Pada anak–anak karena diskus intervertebralis
masih bersifat avaskular,infeksi diskus dapat terjadi primer. Gejala utama adalah nyeri tulang belakang,
nyeri biasanya bersifat kronis dapat lokal maupun radikular.Pasien dengan keterlibatan vertebra segmen
servikal dan thorakal cenderung menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan
lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri radikular.Selain nyeri terdapat gejala sistemik berupa
demam , malaise , keringat malam , peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat
badan . Tulang belakang terasa nyeri dan kaku pada pergerakan. (1,4)
PATOFISIOLOGI :

Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi
primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara
hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu
kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian
menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit
tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya
mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah
epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan
vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang
dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang
bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. (3)

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil
tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran
darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah
di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia
paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses
dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada
vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral,
berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis
sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat
menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada
trigonum skarpei atau regio glutea. (1,3)

Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis
atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra torakalis 12 dan bila
dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada
vertebra torakalis10 sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini
sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering
terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan
paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan
kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10,
sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis
vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari
bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi
setinggi vertebra torakal 10. (3)
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :

1. Penekanan oleh abses dingin


2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak

Discitis
Infeksi
Osteomilitis Pott’s disease
abses

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :

1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan
ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.

2. Stadium destruksi awal, Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat
kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10%
dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan
neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan


aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan
tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai
angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah
depan. (3)

GAMBARAN KLINIS :

Gambaran Spondilitis Tuberkulosa antara lain : :


- Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun,
- Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada anak-anak sering disertai
dengan menangis pada malam hari.
- Pada awal dapat dijumpai nyeri interkostal yaitu nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis
tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal ini karena tertekannya radiks dorsalis ditingkat torakal
- Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut berupa :

- Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan medulla spinalis yang
menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri,
- Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya batas deficit sensorik setinggi
tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal
Pemeriksaan pisik :

- Adanya gibus dan nyeri setempat

- Spastisitas

- Hiperreflesia tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah sisi

- Batas deficit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang dijumpai (1,3,5,6,7)
Spondylitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :

1. Pada bentuk sentral.


Detruksi awal terletak di sentral korpus vertebra, bentuk ini sering ditemukan pada anak.
2. Bentuk paradikus.
Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral, bentuk ini sering
ditemukan pada orang dewasa.
3. Bentuk anterior.
Dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per kontinuitatum dari
vertebra di atasnya.

DIAGNOSIS :

diagnose dari penyakit ini dapat kita ambil melalui bebertapa tanda khas dibawah ini,

Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :


o Nyeri punggung yang terlokalisir
o Bengkak pada daerah paravertebral
o Tanda dan gejala sistemik dari TB
o Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia
Pemeriksaan Laboratorium :

o Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis.
Al-marri melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33 % anak dengan laju endap
darah yang normal.
o Uji Mantoux positif
o Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
o Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
o Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
o Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses dingin
yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test
Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein
likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
o Peningkatan CRP ( C-Reaktif Protein ) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang
berhubungan dengan pembentukan abses.
o Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
o Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay ) dilaporkan memiliki sensitivitas
60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi
dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus
tuberkulosis aktif.

o Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut
meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA ,
amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi
dengan gel. (2,3)

Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter
spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam
menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh
setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai
dipergunakan system BATEC ( Becton Dickinson Diagnostic Instrument System ), Dengan system ini
identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman
lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan
bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya.

Pemeriksaan Radiologis:

o Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
o Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal
berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis.
o Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu
kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur
patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra
itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan
tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
o “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
o Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
o Abses dingin. (2,3,7)
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan
(“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra
C1-2.

Pemeriksaan CT scan :
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses
soft-tissue (panah putih)
Pemeriksaan MRI :
o Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang.
o Menunjukkan adanya penekanan saraf.

Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-Scan dan MRI
yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-Scan efektif mendeteksi
kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat digunakan untuk memandu prosedur
biopsi.

PENATALAKSANAAN :

Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi , memberikan stabilitas pada
tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis. Kriteria kesembuhan sebagian besar
ditekankan pada tercapainya favourable status yang didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas
penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system
saraf pusat , focus infeksi yang tenang secara klinis maupun secara radiologis. (3,4,7)

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk
menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.

Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :


1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :


1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :

v Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg. Obat ini
diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54
kali).
v Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita dengan
BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
o Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan
Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali)
dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
o Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali
seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap
darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran
radiologik ditemukan adanya union pada vertebra. (1,3)

2. Terapi operatif

Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang
rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.

Indikasi operasi yaitu:

· Bila dengan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap
spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
· Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman
serta bone graft.
· Abses besar segmen servikal pada pasien dengan obstruksi saluran respirasi .
· Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI
ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang
belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila
terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis progresif atau hernasi tulang
atau diskus pada kanalis neuralis. (1,2,3,4)

Abses Dingin (Cold Abses) :

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan
dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara
menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

a. Debrideman fokal

b. Kosto-transveresektomi

c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.


Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis :

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk
bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui
operasi radikal.

DIAGNOSIS BANDING:

1. Osteitis Piogen : khasnya demam lebih cepat timbul


2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis
3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis
4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit
5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma prostat
6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka (3)

PROGNOSIS :

Prognosa dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi
neurologic, unutk paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan
spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya biasanya kurang baik. Bila paraplegia disebabkan oleh
mielitis tuberkulosa proggnosisnya ad functionam juga buruk. (3,4)

akbarpai.blogspot.com/2008/.../spondylitis-tuberkulosa.html – Tembo

Spondilitis tbc :

Spondilitis tbc ialah suatu osteomielitis kronik tulang belakang yang disebabkan oleh kuman tbc. Infeksi
umumnya mulai dari korpus vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah
yang paling sering terkena, berturut-turut ialah daerah torakal terutama bagian bawah, daerah lumbal
dan servikal 1 – 4 . Akibat perkejuan akan terbentuk abses yang dapat meluas ke sekitamya dan mencari
jalan ke luar. Paling sering mengikuti fasia otot psoas, berkumpul dalam fosa iliaka sampai terjadi fistel
kulit. Abses di daerah servikal akan menyebar sebagalabses retrofaringeal 1,5Makalah melaporkan satu
kasus spondilitis tbc dengan abses retrofaringeal, lokasi abses dingin yang paling jarang dibanding
dengan lokasi yang lain

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the
spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh
dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.Penyakit
ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan
antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak
dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun
1882,sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas().Di waktu yang lampau, spondilitis
tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama
berusia 3 – 5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini
mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering

terkena dibandingkan anak-anak.

2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah disajikan di atas, maka penyusun dapat merumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Apaka yang dimaksud dengan Spondilitis tuberkulosa?
b. Bagaimana mekanisme dan penyebab terjadinya Spondilitis tuberkulosa?
c. Apa diagnosis Spondilitis tuberkulosa,manifestasi dan penatalaksanaannya?
d. Apa saja gejala klinis Spondilitis tuberkulosa?
e. Apa saja pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dari Spondilitis tuberkulosa?
f. Bagaimana cara penatalaksanannya?

3. Tujuan
Pembuatan laporan ini bertujuan untuk:
a. Mampu menjelaskan tentang mekanisme seseorang terkena Spondilitis tuberkulosa dan
mengetahui gejala klinis dari Spondilitis tuberkulosa
b. Mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dari Spondilitis tuberkulosa dan cara
penatalaksanannya.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian

Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di sebabkan
oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et
al 1994; 144 )
2.ETIOLOGI

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-
95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan
5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Namun, Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan
sinar ultraviolet, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. Basil tipe bovin berada
dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis dan bila diminum akan menyebabkan tuberkulosis
usus. Basil tipe human berada dalam bercak ludah (droplet) orang yang terinfeksi tuberkulosis.

3.. Patofisiologi

Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat
lain di tubuh. Penyebarannya secara hematogen, di duga terjadinya penyakit tersebut sering karena
penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra di
tandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body).
Penyebaran dari jaringan yang mengalami pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang
sehingga berbentuk "tuberculos squestra". Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan
terbentuk abses para vertebral yang dapat menjalar ke atas / bawah lewat ligamentum longitudinal
anterior dan posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh karena avaskular lebih resisten tetapi akan
mengalami dehidrasi dan terjadi penyempitan oleh karena dirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan
progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kiposis.

Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :

1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama
6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal


Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis


Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh
komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil
sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia
dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan
tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai
angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.

Penyebaran basil ke vertebra menyebabkan spondilitis yang mengenai korpus vertebra. Spondilitis
tuberkulosis ditandai dengan destruksi progresif yang lambat pada bagian anterior corpus vertebra
disertai osteoporosis regional. Spondilitis korpus vertebra ini dibagi menjadi 3 bentuk:

bentuk sentral dengan destruksi awal pada sentral korpus vertebra yang dekat dengan lempeng
subkondral (biasanya ditemukan pada anak-anak)
bentuk paradiskus terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebralis
(biasanya ditemukan pada orang dewasa)

bentuk anterior dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior yang merupakan perjalanan per
kontinuitatum dari vertebra di atasnya

Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis
ini bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah pembentukan tulang dan
membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul tuberculous sequstra. Jaringan granulasi
tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas
hingga ke beberapa vertebra, ke atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior.

Sering juga terjadi fistel tunggal atau multiple di kulit dari limfadenitis tuberkulosis di leher atau di lipat
paha. Bila spondilitis sudah mengenai vertebra torakal atau lumbal maka nanahnya akan dikeluarkan
melalui fasia otot psoas yang merupakan locus minoris resistance sehingga terbentuk abses psoas. Abses
ini dapat turun ke region inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses yang terbentuk merupakan abses
dingin tanpa disertai tanda-tanda radang.

Abses juga dapat berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medulla spinalis dan
mengakibatkan Pott’s paraplegia. Gejala awal paraplegia dimulai dengan kaki terasa kaku, lemah atau
penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dari penurunan daya kontraksi otot tungkai dan
peningkatan tonusnya sehingga terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya terjadi kontraktur.

Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal, bukan lumbal karena kanalis lumbalis agak longgar
dan kauda equine tidak mudah tertekan. Diskus intervertebralis yang avaskuler resisten terhadap infeksi
tuberkulosis, namun diskus di sekitarnya menyempit karena dehidrasi bahkan dapat dirusak oleh
jaringan granulasi tuberkulosis. Destruksi progresif bagian anterior korpus vertebra menyebabkan
kolapsnya bagian tersebut sehingga terjadi kifosis.

4.GEJALA KLINIS

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada
umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit
meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering
disertai dengan menangis pada malam hari.(1,5)

Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian diikuti dengan
paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus,, hiper-refleksia dan refleks Babinski
bilateral.

Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri
ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan
komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis
terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan
paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah
adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti
yang sudah disebutkan di atas.

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan
menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring.(1)

Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul
terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian
posterior tulang juga terlibat.

Secara umun Gejala klinis yang timbul berupa:


nyeri pinggang atau punggung
nyeri tekan lokal disertai spasme otot
abses paravertebra dan abses psoas yang merupakan abses dingin
gibbus bila ada kompresi vertebra
parestesi dan kelemahan pada ekstremitas inferior

5.PEMERIKSAAN PENCITRAAN

Pada pemeriksaan roentgen ditemukan lesi osteolitik pada pars anterior korpus vertebra, osteoporosis
regional dan penyempitan diskus intervertebralis akibat destruksi korpus vertebra yang mengenai diskus
sehingga diskus iskemi dan menjadi nekrosis pada stadium awal, sementara pada stadium lanjut
ditemukan destruksi pars anterior korpus vertebra yang menyebar ke vertebra dan gambaran bayangan
otot psoas yang melebar karena adanya abses psoas ataupun bayangan paravertebra karena
terbentuknya abses paravertebra. Pada CT Scan dan MRI, gambaran di atas akan tampak lebih jelas.

6.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tes tuberculin positif.
LED meningkat.
Pemeriksaan sedimen meningkat.

7.DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dari gejala klinik, pemeriksaan pencitraan dan aspirasi pus abses
paravertebra, yaitu ditemukannya basil tuberkulosis.

Klinis
Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :
v Nyeri punggung yang terlokalisir
v Bengkak pada daerah paravertebral
v Tanda dan gejala sistemik dari TB
v Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia
Pemeriksaan Laboratorium :
v Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis
v Uji Mantoux positif
v Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
v Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
v Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
v Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati ,karena jarum dapat menembus masuk abses dingin
yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test
Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein
likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.

Pemeriksaan Radiologis :
v Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru.
v Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal
berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis.
v Pemeriksaan CT scan :
- CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
- Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak.
Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih)
v Pemeriksaan MRI :
- Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang.
- Menunjukkan adanya penekanan saraf.

8.PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan terhadap tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk menghilangkan kuman
penyebab, mencegah deformitas dan komplikasi berupa paraplegi.

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk
menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia

Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :


1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :(1)
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :

- Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg. Obat ini
diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54
kali).
- Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita dengan
BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
v Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan
Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali)
dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
v Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali
seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap
darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran
radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

2. Terapi operatif
Indikasi operasi yaitu:
v Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya
tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat
tuberkulostatik.
v Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman
serta bone graft.
v Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI
ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis. Walaupun pengobatan kemoterapi
merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif
masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Abses Dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan
dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara
menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

a. Debrideman fokal

b. Kosto-transveresektomi

c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikalOsteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

bangkitarie.blogspot.com/2010/11/spondilitis-tbc.html

You might also like