Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai
euthanasia(Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri[1] sama dengan perbuatan pidana menghilangkan
nyawa seseorang. Dan halini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan
yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang
euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa
setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya
dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung
yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi
memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan
permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang
tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki
hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah
kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai
sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah
masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan
euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal
344 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP).
2
B. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
3
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan aksi atau
dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan oleh pasien,
agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya adalah disengaja,
artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka hal tersebut bukanlah
euthanasia.(Hanafi dan Amir.1999)
Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali adalah di
negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui
euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan
dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari konsep tentang kematian. Usaha manusia
untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan menggunakan
kemajuan tenaga kesehatan telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama
berkenaan terutama penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.
Bebrapa konsep tentang mati yakni:
1. mati sebagai berhentinya darah mengalir.
2. mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh.
3. hilangnya kemampuan tubuh secara permanen.
4. hilangnya manusia secara pemanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi sosial.
C. Jenis Euthanasia
4
Dillihat dari cara pelaksanaanya, Euthanasia dapat di bedakan:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga
penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan
akan meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena
bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan
yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup
dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan
bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan.
Ada kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin,
dapat memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk
menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda. Kasus ini juga
dapat dilihat dari perspektif falsafah ‘efek ganda’. Prinsip ini berasal dari filsafat
moral Immanuel Kant, yang juga dipopulerkan oleh Gereja Katholik. Falsafah ‘efek
ganda’ menekankan bahwa suatu efek tindakan tidak akan bisa diterima secara moral
ketika ia terjadi secara sengaja, namun tindakan itu akan diterima jika tidak disengaja.
6
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang
pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada
sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur
diberikan bolehkah untuk dihentikan. Tugas seorang dokter adalah untuk menolong
jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi
dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien.
Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam
tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter,
berikut adalah contoh-contoh euthanasia:
1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang
sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma
selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga
dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan.
Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti
memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan
bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai
"orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat
pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan
secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan
tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya
sebagai berikut;
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
7
disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit
paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati)
akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang
belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan
(tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit
otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk
eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit
seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan
penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Kede etik kedokteran Indonesia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa
seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi
dikter harus sesuai dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus
bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;
Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan
memberikan obat penenang,
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.[2]
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:
8
1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi
komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan
bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat
di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural
karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas
menyatakan :“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP
tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap
diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan
“pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan
tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.[3]
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP
yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan
bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya
Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,“Barang
siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah”.[4]
Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu
dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik
eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung
11
tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis
maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat
eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban
menghormati dan membela kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.
Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;
“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh-
sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan
manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai
sepuluh tahun”.
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui
hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah
kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan
kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam
hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara
eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan
hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan
dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4:
29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia),
yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si
sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
12
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .[26]
eutanasia positif ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang
yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan
penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan
penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut
kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan
yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif
tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan
si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang
hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang
dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai
dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa
mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha
dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya
berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang
mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian
ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).[28]
13
E. Alasan Dilakukan Euthanasia
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Karena itu dilakukannya
aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey negara
dan penyaringan sumber, berikut adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu
bisa dilakukan:
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut
mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan semakin
gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan
presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa
sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau
suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang
tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang
bisa dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit, tapi mereka
tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit bisa dihilangkan, adapun yang sudah sebegitu parah bisa
dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi euthanasia
bukalah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah
dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan
pada setiap pasien, apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain management” atau
cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus
bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini
terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari doketr lain. Dengan catatan dokter tersebut
haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu, bukan yang akan membunuh
sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang
tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi
14
depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa
tersebut.
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling
dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita bicarakan
di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi memberikan hak
pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain, euthanasia
bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri, hal seperti itu tidak melanggar hukum.
Bunuh diri adalah suatu tragedi, aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi,
melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Ini bisa
mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan
bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan,
melawan permintaan pasien, menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya
juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih
lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar
sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan
dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa
nyaman dengan sisa waktuny
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
17
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia
sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Setiawan Budi Utomo. (2011). Hukum Euthanasia dan Etika Kedokteran. Diakses
pada tanggal 7 April 2011, oleh endang.p. dari
18
http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hukum-euthanasia-dan-
kode-etik-kedokteran.htm
19