Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Praktek Kerja Lapang Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan pada Program Studi S-1 Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga
Oleh :
ERLINA DWI TUNGGAL SPIKADHARA
NIM. 060710177P
Mengetahui, Menyetujui,
Dekan, Dosen Pembimbing,
Fakultas Perikanan dan Kelautan
Menyetujui,
Panitia Penguji,
Ketua
Sekretaris Anggota
Ikan kerapu tikus memiliki nilai jual yang tinggi dan permintaan yang
banyak sedangkan permintaan pasar akan ikan kerapu tikus belum dapat dipenuhi
secara keseluruhan karena belum banyak pembudidaya. Ikan kerapu tikus lebih
memiliki nilai jual yang tinggi di banding dengan ikan kerapu yang lainnya.
Ketersediaan benih ikan kerapu di alam tidak akan terancam punah dengan
memanfaatkan dan mengembangkan suatu usaha untuk menghasilkan benih ikan
kerapu tikus yang dapat memenuhi permintaan pasar.
Tujuan dari Praktek kerja Lapang (PKL) untuk mengetahui tentang teknik
pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Budidaya Air Payau
di Situbondo, Jawa Timur. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui permasalahan
yang sering dihadapi pada usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis).
Praktek Kerja Lapang ini dilaksanakan pada tanggal 19 juli - 31 agustus
2010. Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah metode
dekskriptif dengan pengambilan data meliputi data primer dan data sekunder.
Pengambilan data dilakukan dengan cara partisi aktif, observasi, wawancara dan
studi pustaka.
Teknik pembenihan ikan kerapu tikus meliputi, persiapan induk, seleksi
induk, pemijahan, seleksi telur, persiapan bak pemeliharaan larva, penebaran
telur, penetasan telur, pemberian pakan sesuai dosis baik berupa pakan
alami(Nannochloropsis sp 50.000-100.000 sel/ml 1 kali/hari dan Rotifer 3-5
individu/ml 2 kali/hari) maupun pakan buatan(Nosan R-1 8 gram/pemberian 2
kali/hari, Rotifier 8 gram/pemberian 3 kali/hari, Otohime B1 10 gram/pemberian 3
kali/hari, Otohime B2 15 gram/pemberian 3 kali/hari, Otohime EP-1 15
gram/pemberian 4-6 kali/hari), pengelolaan kualitas air dengan salinitas 31-33 ppt,
suhu 30o-31oC, pH 7,8-8,3, nitrit < 1 ppm, DO > 5 ppm, Nitrat < 150 ppm,
amoniak < 0,01 ppm, pencegahan penyakit dengan menggunakan probiotik
Sanolife. Grading dilakukan apabila terlihat perbedaan ukuran yang mencolok
pada benih dan munculnya sifat kanibalisme. SR ikan kerapu tikus 12,9%.
Induk masih berasal dari alam sehingga ketersediaan induk terbatas dan
tergantung dari tangkapan nelayan. Memerlukan fasilitas penyimpanan bersuhu
dingin agar kualitas pakan ikan rucah untuk indukan tidak menurun. Kematian
massal sering terjadi pada larva yang diakibatkan oleh penyakit VNN(Viral
Nervous Necrosis), belum ada pengobatan terhadap penyakit.
SUMMARY
Polka-dot Grouper has a high selling value and demand a lot while the
demand of market for Polka-dot Grouper can not be fulfilled as a whole because
not many farmers. Polka-dot Grouper over a high selling price compared with
other groupers. The availability of grouper seed in nature will not be threatened
with extinction by exploiting and developing a business to produce panther fish
fry that can meet demand of market.
The purpose of the work practice of Field (PKL) to find out about grouper
hatchery techniques (Cromileptes altivelis) in Balai Budidaya Air Payau
Situbondo, East Java. Another aim is to discover the problems that are often
encountered in the hatchery business grouper (Cromileptes altivelis).
Field Work Practice was held on 19 July - 31 August 2010. The method
used in this Field Work Practice is dekskriptif with data collection methods
include primary data and secondary data. Data collection was performed by the
active partition, observation, interview and literature study.
Polka-dot Grouper hatchery techniques include, Broodstock preparation,
Broodstock selection, spawning, egg selection, preparation for larval rearing
tanks, stocking eggs, hatching eggs, feeding according to the dosage form of
natural food (Nannochloropsis sp 50000-100000 cells / ml 1 time / day and
rotifers 3-5 individuals / ml, 2 times / day) or artificial diets (Nosan R-1 8 g /
generous 2 times / day, Rotifier 8 grams / feeding 3 times / day, Otohime B1 10
grams / feeding 3 times / day , Otohime B2 15 grams / feeding 3 times / day,
Otohime EP-1 15 grams / administration 4-6 times / day), the management of
water quality with salinity 31-33 ppt, temperature 30o-31oC, pH 7.8 to 8. 3, nitrite
<1 ppm, DO> 5 ppm, Nitrate <150 ppm, ammonia <0.01 ppm, disease prevention
using probiotics Sanolife. Grading conducted if the striking visible differences in
seed size and appearance of cannibalism. SR of Polka-dot Grouper is 12.9%.
Broodstock still come from nature so that availability is limited and
dependent parent from the catch of fisherman. Requires cold-temperature storage
facilities for feed quality trash fish for broodstock did not decline. Mass mortality
of larvae often occur in diseases caused by VNN (Viral Nervous Necrosis), there
is no treatment against the disease.
KATA PENGANTAR
Segala puji kahadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
Payau Situbondo ini dapat terselesaikan. Laporan ini disusun berdasarkan hasil
Praktek Kerja Lapang yang dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau Situbondo
orang tua dan keluarga yang telah mendoakan, mendidik dan memberi motivasi
serta semangat hingga selesainya Praktek Kerja Lapang ini. Praktek Kerja Lapang
ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Penulis menyadari bahwa Praktek Kerja Lapang ini masih sangat jauh dari
Semoga Praktek Kerja Lapang ini bermanfaat dan dapat memberi informasi bagi
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan kali ini, tidak lupa penulis haturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya :
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan amanah dalam kehidupan ini.
2. Nabi besar Muhammad SAW semoga kita semua akan mendapatkan syafaat
Partini yang saya cintai yang telah memberikan seluruh ia punya baik
4. Kakak pertamaku Andri Bahtera Tunggal Prisma Dharana dan kakak kedua
5. Prof. Dr. Drh. Hj. Sri Subekti, B. S., DEA. selaku Dekan Fakultas Perikanan
Kerja Lapang.
8. Bapak Prayogo, S. Pi., MP dan Ir. Moch. Amin Alamsjah, M. Si., Ph. D
selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan dan saran atas
9. Dr. Ir. Slamet Subiyakto, M.Si sebagai Kepala Balai Budidaya Air Payau
Situbondo.
10. Ir. sofiati selaku pembimbing lapangan dari Balai Budidaya Air Payau
(BBAP) Situbondo.
12. Rekan-rekan yang melaksanakan magang dan PKL di BBAP Situbondo dari
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… . i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………. .. ii
RINGKASAN.......................................................................................... . iv
SUMMARY............................................................................................. . vi
DAFTAR TABEL.................................................................................... . xi
I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Tujuan............................................................................................ 2
1.3 Manfaat.......................................................................................... 3
II . TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 4
2.1 Tinjauan Umum...................................………………………….. 4
2.2 Morfologi.................................. .................................................... 5
2.3 Habitat............................................................................................ 5
2.4 Reproduksi..................................................................................... 6
2.5 Perkembangan Embrio.................................................................. 7
2.6 Kebiasaan Makan Larva ............................................................... 7
2.7 Teknik Pembenihan....................................................................... 8
2.7.1 Sarana Pembenihan.............................................................. 9
2.7.2 Metode................................................................................. . 9
2.7.3 Pemeliharaan Induk............................................................. . 9
2.7.4 Sex Reserval......................................................................... 10
2.7.5 Seleksi Induk........................................................................ 10
2.7.6 Pemijahan.............................................................................. 10
2.7.7 Penetasan Telur..................................................................... 11
2.7.8 Pemeliharaan Larva............................................................... 12
2.8 Parameter Kualitas Air Pemeliharaan............................................ 13
2.8.1 Suhu.......................................................................................... 13
2.8.2 Kecerahan................................................................................. 14
2.8.3 derajat keasaman..................................................................... 14
2.8.4 Oksigen terlarut....................................................................... 14
2.8.5 Salinitas................................................................................... 15
2.8.6 Nitrit........................................................................................ 15
2.9 Penyediaan Pakan untuk Pemeliharaan Larva............................... 16
2.9.1 Nannochloropsis oculata....................................................... 16
2.9.2 Artemia spp............................................................................ 17
2.9.3 Rotifer.................................................................................... 18
2.10 Pemberian Pakan.......................................................................... 18
2.10.1 Rasio pakan......................................................................... 19
2.10.2 Frekuensi Pemberian pakan................................................ 19
2.10.3 Waktu Pemberian Pakan..................................................... 19
2.11 Survival Rate................................................................................ 19
2.12 Penyakit........................................................................................ 20
2.12.1 Vibrio alginolyticus............................................................ 21
2.12.2 Vibrio anguillarum............................................................. 21
2.12.3 Cryptocaryonosis................................................................. 21
2.12.4 Infestasi Trichodina sp........................................................ 22
2.12.5 Caligus sp parasit golongan Crustacea................................ 23
2.12.6 Virus..................................................................................... 24
III PELAKSANAAN…………………………………………………….. 25
3.1 Waktu dan Tempat…………………………………….................. 25
3.2 Materi dan Metode Kerja…………………………………............ 25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 72
LAMPIRAN................................................................................................. 74
I PENDAHULUAN
memiliki sumber daya ikan yang melimpah. Bila potensi perikanan yang sangat
Pada saat ini Ikan kerapu tikus memiliki nilai jual yang tinggi dan
permintaan yang banyak sedangkan permintaan pasar akan ikan kerapu tikus
Ikan kerapu tikus lebih memiliki nilai jual yang tinggi di banding dengan ikan
kerapu yang lainnya. Ketersediaan benih ikan kerapu di alam tidak akan terancam
menghasilkan benih ikan kerapu tikus yang dapat memenuhi permintaan pasar
(Salim, 2009).
Pakan alami untuk larva dan benih pada budidaya ikan dalam bentuk
pakan alami dan pakan buatan (mikropartikel pelet). Kegiatan pembenihan ikan
kerapu tikus, pakan alami sangat diperlukan saat pemeliharaan larva. Pakan alami
yang digunakan harus sesuai dengan bukaan mulut larva dan alat pencernaan larva
kerapu dapat mencerna kandungan nutrisi yang ada pada pakan alami (khordi,
2005).
Kerapu lebih suka menghindar dari sinar matahari langsung, kecuali
sewaktu makan dan saat memijah. Ikan kerapu ini merupakan jenis ikan laut yang
dapat ditemukan didaerah subtropika dan tropika dari seluruh daerah lautan.
Kebanyakan ikan kerapu tinggal didaerah karang, karang mati, atau karang
berlumpur. Ikan kerapu juga sering ditemukan di daerah pasang dan di laut
Ikan Kerapu Tikus selama bertelur induk tidak boleh di beri pakan, dan
apabila induk telah memijah harus segera dipindahkan ke tangki yang lain. Telur
yang telah dibuahi berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Dari jumlah
dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan
pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan
penyakit mulut merah. Lokasi budidaya yang ideal harus memenuhi persyaratan-
persyaratan kualitas airnya. Faktor kualitas air yang perlu dipertimbangkan untuk
pemeliharaan pembenihan Kerapu tikus meliputi sifat fisika : suhu dan kecerahan,
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
Timur.
Menurut Weber and Beofort, (1940) dalam Ahmad (1991), klasifikasi ikan
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichtyes
Subclass : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Subordo : Percoidea
Genus : Cromileptes
Spesies : Cromileptes altivelis
hump-backed rocked, mempunyai tubuh agak pipih dengan warna dasar abu-abu
berbintik hitam. Pada ikan kerapu tikus yang masih muda, bintik tersebut lebih
besar dan lebih sedikit jumlahnya. Lantaran warnanya yang menarik, ikan ini
biasa ditempatkan di akuarium sebagai ikan hias (Khordi dan Andi Tamsil, 2010).
Ikan kerapu tergolong jenis ikan air laut yang berjual nilai tinggi, tetapi
yang lebih memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kerapu
jenis yang lainnya adalah ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Ikan kerapu
(compressed) dengan panjang tubuh 2,6 – 3,0 kali panjang standard ikan ( panjang
standard ikan 12 – 37 cm). Panjang kepala seperempat panjang total, leher bagian
atas cekung dan semakin tua semakin cekung. Lembaran operculum mempunyai
pinggiran yang bergerigi tajam dan halus. Lubang hidung bagian posterior besar.
Pada sirip dorsal memiliki 10 duri keras dan 17 – 19 duri lunak. Sirip punggung
semakin melebar kebelakang, sirip perut dengan 3 duri keras dan 10 duri lunak
Sedangkan sirip ekor memiliki 1 duri keras dan 70 duri lunak, sisik pada
lateral line berjumlah 54 – 60 dan pyloric 13. Sisik punggung sangat halus dan
licin (Salim. A, 2009). Warna ikan kerapu tikus coklat kehijauan dengan dengan
bintik – bintik atau bulat – bulat coklat di kepala, tubuh, dan sirip. Bintik – bintik
tersebut pada kerapu muda lebih besar dan sedikit, semakin tua bertambah
banyak. Seluruh permukaan tubuh kerapu bebek berwarna putih dilengkapi sirip
renang berbentuk melebar serta moncong kepala lancip menyerupai bebek atau
tikus. Pada kerapu bebek muda, bintik hitam lebih besar dengan jumlah bintik
yang sedikit.
2.3 Habitat
sebagai tempat bersembunyi. Kerapu lebih suka menghindar dari sinar matahari
langsung, kecuali sewaktu makan dan saat memijah. Ikan kerapu ini merupakan
jenis ikan laut yang dapat ditemukan didaerah subtropika dan tropika dari seluruh
daerah lautan. Kebanyakan ikan kerapu tinggal didaerah karang, Ikan kerapu juga
sering ditemukan di daerah pasang dan di laut dengan kedalaman sekitar 40 cm.
Dalam siklus hidupnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan
kedalaman 0,5 - 3,0 m, setelah dewasa kerapu ke daerah perairan yang lebih
2.4 Reproduksi
kelamin (change sex) dari betina ke jantan dipengaruhi oleh ukuran,umur, dan
spesiesnya. Transformasi dari dari betina ke jantan ini memerlukan waktu yang
cukup lama dalam kondisi alami. Pada kerapu tikus, transisi dari betina ke jantan
terjadi setelah mencapai umur 2,0-2,5 tahun. Pada umur 1,5-2,5 tahun biasanya
ikan masih berkelamin betina. Adapun ikan-ikan yang berumur 2,5 tahun ke atas,
Sifat kerapu tikus umumnya soliter tetapi pada saat akan memijah
berlangsung beberapa hari sebelumnya bulan purnama yaitu pada malam hari.
terjadi pada bulan Juni – September dan November – Februari. Beberapa jenis
kerapu mempunyai musim pemijahan 6 – 8 kali/tahun sedangkan pemijahan
tanpa aerasi dan kuning telur tersebar merata. Telur kerapu transparan dengan
salama 2 jam 25 menit. Setelah tahap multi sel tahap berikutnya adalah blastula,
grastula, neorula, damn embrio. Gerakan pertama embrio terjadi pada jam ke-16
setelah pembuahan selanjutnya telur menetas menjadi larva pada jam ke-19 pada
Pada kerapu tikus menetas mempunyai panjang total 1,70 – 1,78 mm, mata
mengecil. Pembentukan sirip punggung mulai terjadi pada hari pertama, pada hari
kedua sirip dada mulai terbentuk dan jaringan usus telah berkembang sampai ke
anus. Pada hari ke tiga mulai terjadi pigmentasi saluran pencernaan bagian atas
dan bukaan mulut berukuran sekitar 125 µ. Dan hari ke empat kuning telur telah
habis terabsorbsi. Pada periode perkembangan larva kerapu tikus sampai tahap
(Salim, 2009).
Setelah telur menetas sampai dengan hari ke tiga larva dapat makan secara
endragenus yaitu dengan mengabsorsi kuning telur yang di bawanya. Setelah itu
mendapatkan makan secara eksogenus pada hari ke tiga dengan mulai terbukanya
mulut. Sesuai dengan bukaan mulut ikan kerapu tikus, rotifera merupakan pakan
pertama. Kematian yang terjadi pada larva hari ke lima dan seterusnya dapat
terjadi karena disebabkan oleh suatu keadaan hanya 50 % larva yang mampu
makan pada kondisi dimana jumlah pakan optimal, sedangkan sisanya tidak
mampu lagi memangsa pakan yang tersedia, dapat pula terjadi karena kesalahan
dalam menentukan jadwal pemberian pakan dan rendahnya mutu pakan (Salim,
2009).
krustacea kecil, kopepoda, dan zooplankton. Sedangkan untuk ikan kerapu tikus
yang dewasa menyukai ikan – ikan kecil, krustacea dan cepalophoda. Ikan kerapu
sebagai ikan karnivora juga sebagai ikan pemangsa yang aktif bergerak pada
malam hari. Ikan kerapu memiliki kebiasaan makan pada siang hari dan malam
hari dan lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari. Ikan kerapu biasanya mencari
Menurut Anonim (2010) pada teknik pembenihan ada beberapa tahap untuk
melaksanakannya berupa:
2.7.1.Sarana Pembenihan
2.7.2.Metode
seperti suhu, kadar garam, kedalaman air dan lain-lain. Pemijahan mengikuti fase
peredaran bulan; pada saat bulan terang atau bulan gelap, (Anonim, 2010).
2.7.3.Pemeliharaan Induk
induk 7,5 - 10 kg/m 3 . Pakan yang diberikan berupa ikan rucah segar berkadar
lemak rendah. Diluar pemijahan ikan, takaran pakan yang diberikan sebesar 3 -
5% dari total berat badan ikan/hari, sedangkan pada musim pemijahan diturunkan
kehidupan awal belum ditentukan jenis kelaminnya. Sel kelamin betina terbentuk
setelah berumur 2 tahun dengan panjang 50 cm dan berat 5 kg. Sel kelamin betina
berubah menjadi sel kelamin jantan pada umur 4 tahun dengan panjang tubuh
sekitar 70 cm dan berat 11 kg. Ada kenyataannya lebih banyak ditemui ikan
kerapu jantan atau mempercepat perubahan kelamin dari betina ke jantan dapat
dilakukan secara oral melalui makan setiap minggu, diikuti dengan penambahan
2.7.5.Seleksi Induk
mengurut bagian perut ikan (stripping) ke arah awal sperma yang keluar warna
2.7.6. Pemijahan
sebelumnya telah diisi air laut bersih dengan ketingian 1,5 m dan salinitas
+ 32 ‰.
2. Manipulasi lingkungan dilakukan menjelang bulan gelap yaitu dengan cara
air 1,5 m). Perlakuan ini dilakukan terus menerus sampai induk memijah
secara alami.
malam hari. Pemijahan umumnya terjadi pada malam hari antara jam
Ikan Kerapu Tikus selama bertelur induk tidak boleh di beri pakan, dan
apabila induk telah memijah harus segera dipindahkan ke tangki yang lain.
sekaligus juga merupakan bak pemeliharaan larva, terbuat dari beton, berbentuk
sampai bau yang ditimbulkan oleh chlorine hilang. Air laut dengan kadar garam
dengan sistim air mengalir. Telur yang dibuahi akan mengapung dipermukaan air
dan berwarna jernih (transparan). Telur akan menetas dalam waktu 18 - 22 jam
setelah pemijahan pada suhu 27 - 28°C dan kadar garam 30 - 32 ‰. Telur yang
telah dibuahi berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Jumlah telur diperkirakan
hanya 30% saja yang dibuahi (Suria D, 2002). Telur yang telah dibuahi tidak
berwarna (transparan) sedangkan yang tidak dibuahi dan yang mati berwarna
putih susu.
kuning telur. Pakan ini akan dimanfaatkan sampai hari ke 2 (D2) setelah menetas
dan selama kurun waktu tersebut larva tidak memerlukan dari luar. Umur 3 hari
(D3) kuning telur mulai terserap habis, perlu segera diberi pakan dari luar berupa
Pemberian pakan ini sampai larva berumur 16 hari (D16). Pada hari kesembilan
(D9) mulai diberi pakan naupli artemia yang baru menetas dengan kepadatan 0,25
- 0,75 ekor/ml media. Pemberian pakan naupli artemia ini dilakukan sampai larva
ekor/ml media. Disamping itu pada hari ke tujuh belas (D17) larva mulai diberi
pakan Artemia yang telah berumur 1 hari, kemudian secara bertahap pakan yang
diberikan diubah dari Artemia umur 1 hari ke Artemia setengah dewasa dan
fisika : Suhu dan Kecerahan, dan kimia meliputi : pH, DO dan Salinitas.
Pemenuhan akan kebutuhan air harus diupayakan agar produksi benih ikan laut
yang berkualitas, dalam jumlah yang cukup, dan kontunu dapat berhasil (Ghufran,
2.8.1 Suhu
penyebaran organisme baik di lautan maupun di perairan air tawar dibatasi oleh
suhu perairan tersebut. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan
kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrem (drastis) (Kordi, 2005). Suhu
ke dasar perairan adalah indikator yang perairannya cukup jernih dan sangat baik
cocok untuk pembesaran kerapu bebek adalah lebih dari 2 meter, artinya secara
visual dapat dilihat benda-benda di dalam air yang kedalamannya hingga lebih
malah dapat membunuh ikan. Pada saat pH rendah kandungan oksigen terlarut
pernapasan naik dan selera makan akan berkurang (Kordi, 2005). Kerapu tikus
dan konversi pakan. Konsentrasi oksigen terlarut merupakan salah satu faktor
yang membatasi bagi ikan yang dibudidayakan, karena sangat diperlukan untuk
air minimal 4 ppm, sedangkan kandungan optimum antara 5-6 ppm (Kordi, 2005),
menambahkan bahwa ikan Kerapu tikus dan macan dapat hidup optimal pada
terpengaruh oleh masuknya air tawar dari sungai sehingga salinitas dapat berubah
dan akan mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan yang dipelihara.
Salinitas yang ideal untuk pembesaran ikan Kerapu tikus adalah 30-33 ppt
(Octopus, 2008).
2.8.6 Nitrit
Nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-) adalah ion-ion anorganik alami, yang
merupakan bagian dari siklus nitrogen. Aktifitas mikroba di tanah atau air
nitrat dan nitrit yang masuk bersamaan dengan makanan, maka banyaknya zat
makanan akan menghambat absorbsi dari kedua zat ini dan baru akan diabsorbsi
di traktus digestivus bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan mikroba usus
mengubah nitrat menjadi nitrit sebagai senyawa yang lebih berbahaya. Karena itu,
pembentukan nitrit pada intestinum mempunyai arti klinis yang penting terhadap
pakan buatan yang nantinya diberikan kepada larva harus siap dalam jumlah dan
Domain : Eukaryota
Kingdom : Chomalveolata
Phylum : Heterokontophyta
Class : Eustigmatophyceae
Genus : Nannochloropsis
Spesies : Nannochloropsis oculata
lainnya. Budidaya plankton dilakukan pada botol dengan volume 0,5 liter-1 liter
air yang akan disiapkan sebagai media tumbuh plankton sebelumnya disterilkan
terlebih dahulu dengan menggunakan klorine kemudian air laut di biarkan selama
3-5 hari sampai residu klorine hilang. Salinitas air laut yang diharapkan adalah 25-
28 ppt.
Mg sebagai unsure hara makro serta unsure hara mikro Fe, Mn, Zn, S dan
sebagainya. Setelah media siap bibit plankton dimsukkan 1/3 bagian dan siap
2.9.2 Artemia sp
Kingdom : Animalia
Class : Crustacea
Ordo : Anostraca
Family : Artemidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp
Penetasan kista dilakukan dengan menggunakan bak-bak kerucut yang berisi air
laut dan dipasok aerasi kuat padatingkat 10-20 liter per menit. Komposisi 5 gram
kista artemia per liter cukup untuk menetaskan kista tersebut. Jangka waktu
penetasan tergantung pada asal produk kista artemia. Ukuran panjang nauplius
artemia yang baru ditetaskan sekitar 200-300 atau tergantung pada strainnya.
Pemisahan nauplius artemia dari cangkang serta kista yang tidak menetas
dilakukan dengan cara mengumpulkan nauplii dan kotoran lalu disaring dengan
saringan 120µ. Selanjutnya, nauplii dan kotoran dicuci dengan air laut dan
dimasukkan ke dalam 15 menit. Aerasi dihentikan dan bagian bawah wadah diberi
sinar agar nauplii mengumpul didasar, sedangkan kotoran akan mengapung. Baru
setelah itu kumpulan nauplii artemia yang tampak hidup atau bergerak disipon
sambil disarin dan dicuci. Kista-kista yang tidak menetas sebaiknya tidak
dicampur dengan nauplii karena bila diberikan sebagai pakan larva maka kista
akan termakan, tetapi tidak dapat dicerna oleh larva (Siregar, Abbas. 1995).
Meskipun secara ekonomis kurang menguntungkan, tetapi secara teknis
siste atermia dapat diproduksi secara massal dalam tempat (wadah) yang
2.9.3 Rotifer
Phyllum : Avertebrata
Kelas : Eurotaria
Ordo : Ploima
Famili : Brachionidae
Genus : Brachionus
Spesies : Brachionus sp.
yaitu, kepala, badan, dan kaki / ekor. Rotifer merupakan salah satu jenis rotifer
betina memproduksi 20 butir telur atau lebih selama 7-10 hari masa hidupnya.
Kultur missal rotifera dilakukan pada bak volume 5-12 m3. Kultur dilakukan
dalam ruang terbuka yang cukup mendapatkan cahaya matahari. Secara umum
dikenal 2 metode kultur rotifera yaitu metode panen harian lebih praktis dan
mudah sedangkan pada metode transfer diperlukan bak kultur yang lebih banyak,
Pada pemberian pakan perlu beberapa hal yang diperhatikan, seperti rasio
Rasio pemberian pakan harus tepat agar pakan yang di berikan dapat
Rasio pemberian pakan yang optimal ditentukan oleh jenis ikan yang dipelihara.
dibandingkan jenis ikan yang bergerak pasif, rasio pemberian pakan kerapu 4 -
6% (Salim, 2009).
yang optimal dan penggunaan pakan yang efisien. Frekuensi pemberian pakan
yang optimal tergantung dari jenis ikan yang dipelihara. Pada ikan yang hidup di
dasar perairan dan bergerak altif pada malam hari seperti ikan kerapu, pemberian
pakan setiap dua hari sekali. Pakan yang dimakan ikan kerapu telah dicerna 95%
Tikus selama bertelur induk tidak boleh di beri pakan, dan apabila induk telah
memijah harus segera dipindahkan ke tangki yang lain. Telur yang telah dibuahi
berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Dari jumlah diperkirakan hanya 30% saja
yang dibuahi. Telur yang telah dibuahi tidak berwarna (transparan) sedangkan
yang tidak dibuahi dan yang mati berwarna putih susu. Telur yang terbuahi
melayang atau terapung pada salinitas 33 permil, sebaliknya telur yang tidak
SR = Nt/No x 100%
Keterangan :
SR : Survival Rate
2.12 Penyakit
dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan
pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan
penyakit mulut merah. Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ditemukan beberapa
jenis bakteri yang diduga berkaitan erat dengan kasus penyakit bakterial, yaitu
bakteri tersebut bakteri V alginolyticus dan V fuscus merupakan jenis yang sangat
swarm pada media padat non selektif. Ciri lain adalah gram negatif, motil, bentuk
berukuran 0.8-1.2 cm yang berwarna kuning pada media TCBS. Bakteri ini
merupakan jenis bakteri yang paling patogen pada ikan kerapu tikus dibandingkan
jenis bakteri lainnya. Kematian masal pada benih diduga disebabkan oleh infeksi
oksitetrasiklin. Sifat lain yang tidak kalah penting adalah sifat proteolitik yang
2.12.2.Vibrio anguillarum
yang kurang patogen terhadap ikan air payau. Pada uji patogenisitas ikan kerapu
tikus ukuran 5 gram yang diinfeksi bakteri dengan kepadatan tinggi hingga 108
pada media selektif TCBS akan didapatkan koloni yang kekuningan dengan
ukuran yang hampir sama dengan koloni V alginolyticus akan tetapi bakteri ini
tidak tumbuh swarm pada media padat non-selektif seperti NA (Salim, 2009).
2.12.3.Cryptocaryonosis
Penyakit ini sering ditemukan pada ikan kerapu bebek dan macan, dengan
tanda ikan yang tersering terlihat bercak putih. Stadia parasit yang menginfeksi
ikan dan menimbulkan penyakit adalah disebut trophont berbentuk seperti
kantong atau genta berukuran antara 0.3-0.5 mm, dan dilengkapi dengan silia.
Tanda klinis ikan yang terserang adalah ikan seperti ada gangguan pernafasan,
bercak putih pada kulit, produksi mukus yang berlebihan, kadang disertai dengan
hemoragi, kehilangan nafsu makan sehingga ikan menjadi kurus. Erosi (borok)
dengan melihat gejala seperti adanya bercak putih, tetapi untuk lebih
penyakit dapat diatasi dengan penjagaan kualitas air. Perlakuan bahan kimia
ppm, perendaman ikan dalam air bersalinitas 8 ppt selama beberapa jam dan
memindahkan ikan yang sudah diperlakukan ke dalam wadah baru bebas parasit
(Salim, 2009).
2.12.4.Infestasi Trichodina sp
pelekatan (substrat), sementara parasit ini mengambil partikel organik dan bakteri
yang menempel di kulit ikan. Tetapi karena pelekatan yang kuat dan terdapatnya
kait pada cakram, mengakibatkan seringkali timbul luka, terutama pada benih dan
ikan muda. Pelekatan pada insang juga seringkali disertai luka dan sering
ditemukan set darah merah dalam vakuola makanan Trichodina. Pada kondisi ini
Trichodina spp. yang didapatkan pada ikan air payau merupakan spesies
yang memiliki toleransi yang luas terhadap kisaran salinitas. Trichodina yang
warna tubuhnya terlihat pucat, produksi lendir yang berlebihan dan terlihat kurus.
parasit adalah dengan cara perendaman dalam larutan formalin 200-300 ppm
(Salim, 2009).
Parasit jenis ini sering, ditemukan baik pada induk ikan maupun di
tambak. Penempelan ektoparasit ini dapat menimbulkan luka, dan akan lebih
parah lagi karena ikan yang terinfeksi dengan parasit sering menggosok-gosokkan
tubuhnya ke dinding bak atau substrat keras lainnya. Timbulnya luka akan diikuti
dengan infeksi bakteri Caligus sp. berukuran cukup besar sehingga dapat diamati
dengan tanpa bantuan mikroskop. Perlakuan ikan terserang parasit cukup mudah,
yaitu hanya merendamnya dalam air tawar selama beberapa menit. Perlakuan
dengan formalin 200-250 ppm juga cukup efektif. Penggunaan bahan seperti
Triclorvon (Dyvon 95 SP) hingga 2 ppm dapat mematikan parasit (Salim, 2009).
2.12.6 Virus
Jenis viral atau virus yang telah teridentifikasi menyerang ikan laut adalah
jaringan ikan, menimbulkan tonjolan pada daerah sirip atau kulit (nodul)yang
dapat terjadi secara sata-satu atau kelompok. Virus lain yang menyerang ikan laut
adalah Nodavirus, yaitu virus penyebab VNN (Viral Nervous Necrosis). VNN
merupakan virus yang mematikan, terutama menyerang larva dan juwana ikan laut
(Khordi, 2010).
Hingga kini belum ditemukan obat yang efektif untuk mengatasi virus,
baik iridovirus maupun nodavirus, sehingga ikan yang terserang penyakit ini
Praktek kerja lapang ini akan dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau
Jawa Timur (Lampiran 1). Kegiatan ini dilaksanakan mulai pertengahan 19 Juli –
31 Agustus 2010.
Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapang ini adalah metode
deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan keadaan atau kejadian pada suatu
Data yang diambil dalam Praktek Kerja Lapangan ini berupa data primer
dan data sekunder yang yang diperoleh melalui beberapa metode atau cara atau
cara pengambilan.
diamati dan dicatat untuk pertama kalinya melalui prosedur dan teknik
pengambilan data yang berupa interview, observasi, partisipasi aktif maupun
A. Observasi
dengan menggunakan indera mata tanpa ada pertolongan alat standart lain untuk
keperluan tersebut (Nazir, 1998). Observasi pada Praktek Kerja Lapang ini
meliputi persiapan alat dan wadah budidaya, pengisian media, pembuatan pupuk,
B. Wawancara
peneliti dengan subyek sehingga pada akhirnya bisa didapatkan data yang dapat
wawancara yang sangat umum serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput
C. Partisipasi Aktif
pembenihan ikan Kerapu Tikus. Kegiatan tersebut diikuti secara langsung mulai
dari persiapan alat dan wadah budidaya, pengisian media, penebaran bibit,
pemeliharaan dan pemanenan serta kegiatan lainnya yang yang berkaitan dengan
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung dan
telah dikumpulkan serta dilaporkan oleh orang diluar dari penelitian itu sendiri
masyarakat dan pihak lain yang berhubungan dengan usaha pembenihan ikan
Kerapu Tikus.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Balai Budidaya Air Payau Situbondo didirikan pada tahun 1986. Pada
awalnya balai ini bernama Proyek Sub Senter Udang Windu Jawa Timur yang
pada saat itu masih berupa fasilitas pemeliharaan benur udang windu di bawah
dan merupakan cabang dari BBAP Jepara, Jawa Tengah. Sub Senter Udang
Windu ini kemudian melepaskan diri dari Balai Budidaya Air Payau Jepara dan
berganti nama menjadi Loka Balai Budidaya Air Payau Situbondo yang
ditetapkan pada tanggal 18 April 1994 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian
dari tiga divisi meliputi divisi ikan, divisi udang dan divisi budidaya.
budidaya perikanan air payau yang berada di bawah dan bertanggung jawab
tanggung jawab yang semakin berat, maka pada tanggal 1 Mei 2001 status Loka
Balai Budidaya Air Payau dinaikkan menjadi Balai Budidaya Air Payau
Situbondo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan No.
KEP. 260/MEN/2001.
Pecaron, Panarukan Situbondo, Jawa Timur. BBAP ini terdiri dari 3 divisi yaitu :
divisi udang, divisi ikan, dan divisi budidaya. Divisi ikan terletak di Dusun
luas areal 1,45 Ha. 2. Unit Gelung yang terletak di desa Gelung Kecamatan
Panarukan sekitar 25 Km ke arah Timur dari kantor utama dengan luas areal 8 Ha.
3. Unit Tuban yang terletak di Kabupaten Tuban dengan luas areal 7 Ha. Divisi
dengan luas areal 30 Ha yang merupakan areal untuk produksi rumput laut
Lokasi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo ini berbatasan dengan:
b. Sebelah Timur berbatasan dengan hatchery udang milik PT. Central Pertiwi
Bahari (CPB).
Pulau Jawa dan lokasi ini dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim penghujan
terdiri dari:
pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau maupun laut serta pelestarian
sumber daya induk atau benih sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku
pelaporan.
standar teknik dan pengawasan pembenihan dan budidaya ikan air payau dan laut,
pengendalian hama dan penyakit serta lingkungan, sumber daya induk dan benih,
pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau dan laut, pengendalian hama dan
penyakit ikan, budidaya dan penyuluhan, serta kegiatan lain yang sesuai dengan
sumberdaya manusia sebanyak 143 orang karyawan berstatus pegawai negeri sipil
A. Sarana Budidaya
pembenihan meliputi wadah tandon air yang terbuat dari beton, wadah
kultur mikroalga, kultur rotifer, dan wadah inkubasi telur yang berbentuk
akuarium kaca.
Tabel 2. Sarana Budidaya Di BBAP Situbondo
Bak/Wadah Bahan Bentuk Dimensi Volume Jumlah
3
Tandon Beton Persegi 4,2 m x 4,2 m x 2,35 m 41,454 m 3 unit
3
Bak Filter Fisik Beton Persegi 4,2 m x 4,2 m x 1,37 m 24,1668 m 5 unit
Pemeliharaan dan Pemijahan Induk
Kerapu Beton Lingkaran d = 10 m, t = 3 m 235,5 m3 4 unit
3
Bawal Bintang Beton Lingkaran d = 10 m, t = 3 m 235,5 m 1 unit
3
Bandeng Beton Lingkaran d = 15 m, t = 3 m 529,875 m 2 unit
Penetasan Telur
Akuarium Kaca Persegi 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m 0,125 m3 5 unit
3
Bak Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 24 unit
3
Pemeliharaan Larva Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 24 unit
3
Pemeliharaan Benih Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 24 unit
Kultur Pakan Alami
Rotifer Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m3 4 unit
3
Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,5 m 12,5 m 10 unit
Chlorella Beton Persegi 5 m x 3 m x 1,4 m 21 m3 8 unit
3
Beton Lingkaran d = 5 m, t = 2 m 39,25 m 1 unit
3
Bak Karantina Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 8 unit
3
Egg Collector PVC Persegi 135 cm x 50 cm x 130 cm 877500 cm 5 unit
B. Air Laut
Air laut merupakan faktor penting dalam kegiatan pembenihan. Suplai air
di BBAP Situbondo berasal dari selat Madura, yang berjarak 200 m dari balai.
ujungnya dilengkapi dengan filter hisap dan dihubungkan langsung dengan pompa
induk melalui pipa saluran berupa pipa berdiameter 4 inchi. Sedangkan untuk
mendistribusian air laut ke bak pembenihan dan bak kultur pakan alami, air laut
tersebut terlebih dahulu disaring dengan menggunakan saringna fisik atau sand
filter ukuran 225 cm x 100 cm x 100 cm. Sand filter di BBAP Situbondo tersusun
dari bawah ke atas berupa batu kali, kerikil, bungkusan arang, ijuk, waring dan
pasir. Setelah air melewati saringan tersebut, maka air akan terbebas dari kotoran
Air yang telah melalui tahap penyaringan dipompa ke tendon air laut pada
7,5 PK melalui pipa yang berdiameter 4 inchi. Tandon air laut inilah yang menjadi
inkubasi telur dan bak kultur pakan alami. Air dialirkan dengan sistem gravitasi
sebab posisi tandon berada lebih tinggi dari bak-bak yang lainnya dan dibantu
dengan menggunakan pompa. Tandon air laut untuk pembenihan timur terdapat di
bagian belakang pembenihan yang menjadi satu dengan tandon air laut
pembenihan tengah. Antara kedua tandon tersebut hanya dipisah dengan dinding
beton.
C. Air Tawar
minum, keperluan karyawan BBAP Situbondo dan asrama. Air tawar didapatkan
D. Aerasi
high blower. Udara dari blower dialirkan langsung dengan menggunakan pipa
PVC ukuran 3 inchi dan 1 inchi dengan sistem tertutup yang dilengkapi dengan
selang aerasi, batu aerasi dan pemberat yang terbuat dari timah agar selang aerasi
4.2.2 Prasarana
A. Bangunan
Jenis bangunan yang terdapat di BBAP Situbondo terdiri dari kantor utama,
kesehatan ikan dan kualitas air, mushola, perpustakaan, aula (auditorium), ruang
kuliah, pos jaga, dan perumahan untuk karyawan BBAP Situbondo. Uraian dari
B. Tenaga Listrik
BBAP Situbondo berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan daya 60
KVA. Sebagai antisipasi jika terjadi pemutusan arus listrik, BBAP Situbondo
menyediakan generator set berdaya 80 KVA. Saat terjadi pemadaman listrik, akan
terdengar tanda dari sirine secara otomatis. Setelah itu, generator set akan segera
Induk ikan kerapu yang dipijahkan dipelihara di laut dalam kurungan apung
dengan padat penebaran induk 7,5 - 10 kg/m3 . Pakan yang diberikan berupa ikan
rucah segar berkadar lemak rendah. Diluar pemijahan ikan, takaran pakan yang
diberikan sebesar 3 - 5% dari total berat badan ikan/hari, sedangkan pada musim
Situbondo berasal dari alam dan hasil budidaya. Induk yang berasal dari alam
didapatkan dari alam didapatkan dari hasil penangkapan para nelayan daerah
perairan laut bali dan Lombok. Sedangkan induk yang berasal dari budidaya
didapatkan dari hasil budidaya (F1) yang dilakukan oleh balai. Induk-induk yang
baru datang dikarantina dalam bak karantina selama 1-2 bulan untuk
BBAP Situbondo memiliki jumlah induk 65 ekor yang terdiri dari 17 ekor induk
jantan dan 48 ekor induk betina. Induk jantan memiliki ukuran bobot yang lebih
besar dibandingkan dengan induk betina. Bobot induk betina sebesar 1-3,5 kg dan
bobot induk jantan lebih dari 5 kg. ikan kerapu memiliki sifat hemaprodit
protogini yaitu pada tahap menuju perkembangan dewasa berjenis kelamin betina
kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar dan bertambah tua. Untuk
air yang terdapat dalam bak induk. Hal tersebut dilakukan dengan cara membuka
outlet seluruhnya. Bak tersebut dibersihkan dari lumut-lumut yang menempel, sisa
pakan, dan kotoran ikan dengan menggunakan sikat. Setelah bak tersebut bersih,
dilarutkan dalam 25 liter air sebagai upaya desinfeksi wadah dan disikat kembali
hingga benar-benar bersih. Selanjutnya, bak disiram kembali dengan air tawar
sampai bau kaporitnya hilang. Bak tersebut dikeringkan selama 3 – 6 hari. Setelah
itu, bak sudah dapat diisi kembali dengan air laut. Selang aerasi pun harus dicuci
dengan menggunakan detergen lalu dibilas dan dipasang kembali. Setelah semua
tahapan di atas selesai, bagian atas bak dipasang jaring yang berbahan
pemasangan jaring ini adalah untuk menjaga agar induk tidak melompat keluar
dari bak.
Induk kerapu tikus di BBAP Situbondo berasal dari hasil budidaya dan
tangkapan alam yang ditangkap oleh nelayan. Indukan tersebut ditangkap dengan
dipelihara selama hingga menjadi indukan kerapu tikus yang siap memijah. Induk
betina yang digunakan adalah yang berumur 1 – 2 tahun, sedangkan induk jantan
dahulu dan diaklimatisasikan. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan induk yang
berkualitas dan sudah dapat untuk dipijahkan. Seleksi yang dilakukan adalah
menentukan jenis kelamin induk agar rasio jantan dan betina dapat mendekati
ideal. Rasio jantan dan betina yang ideal adalah 1 : 2. Perbedaan antara jantan dan
betina dapat dibedakan dari umur, berat badan, dan pemeriksaan alat kelamin.
berubah menjadi jantan dengan jangka waktu tertentu. Induk betina kerapu tikus
dilakukan dengan cara menimbang berat badan induk. Induk betina umumnya
mempunyai berat tubuh 1–2,5 kg dengan panjang tubuh lebih dari 40 cm.
Pemeriksaan alat kelamin dilakukan dengan cara mengurut bagian perut ke arah
anus, jika keluar sperma maka induk tersebut adalah jantan, sedangkan jika tidak
keluar, dapat dilakukan dengan kanulasi. Jika terdapat telur, maka induk tersebut
adalah betina.
wadah budidaya dan dilakukan pengobatan jika induk terserang penyakit sampai
benar-benar sembuh. Proses aklimatisasi berakhir jika induk sudah mau makan
dan benar-benar terbebas dari penyakit. Induk yang telah diseleksi dan
terdapat di Balai Budidaya Air Payau Situbondo adalah 65 ekor, yang terdiri dari
kematangan kelamin induk jantan ikan kerapu diketahui dengan cara mengurut
bagian perut ikan (stripping) ke arah awal sperma yang keluar warna putih susu
kelamin induk betina diketahui dengan cara kanulasi, yaitu memasukkan selang
plastik ke dalam lubang kelamin ikan, kemudian dihisap. Telur yang diperoleh
A. Pemberian Pakan
Pada pemberian pakan perlu beberapa hal yang diperhatikan, seperti rasio
pakan, frekuensi pemberian pakan dan waktu pemberian pakan. Rasio pemberian
pakan harus tepat agar pakan yang di berikan dapat efisien dikonvesikan oleh
yang optimal ditentukan oleh jenis ikan yang dipelihara. Jenis ikan/udang yang
aktif bergerak memerlukan lebih banyak makanan dibandingkan jenis ikan yang
tikus diberi pakan rucah berupa ikan segar dengan kandungan lemak rendah dan
memiliki kadar protein yang tinggi (lebih dari 70%) seperti ikan layur, ekor
freezer. Setiap hari ikan rucah yang diberikan dibedakan jenisnya, hal ini
bertujuan agar induk tidak jenuh dengan ikan yang diberikan. Selain itu,
pergantian jenis rucah yang diberikan juga bertujuan untuk menambah nafsu
makan induk. Pemberan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 WIB
dengan frekuensi pemberian pakan 1 kali sehari yang diberikan secara perlahan
hingga induk kenyang. Pakan yang akan diberikan pada induk terlebih dahulu
direndam dalam air tawar untuk menghilangkan es, bau amis pada ikan serta
indukan kerapu tikus. Tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan ikan dan untuk
mg/kg induk, 50 mg/kg induk, dan 100 IU dengan merek dagang Natur E.
ke dalam daging ikan rucah. Cara memasukkannya adalah dengan menyayat tubuh
ikan pada bagian bawah sirip dorsal ataupun pada bagian daging atas perut.
Lokasi budidaya yang ideal, selain pertimbangan umum di atas, juga harus
fisika : Suhu dan Kecerahan, dan kimia meliputi : pH, DO dan Salinitas.
Pemenuhan akan kebutuhan air harus diupayakan agar produksi benih ikan laut
yang berkualitas, dalam jumlah yang cukup, dan kontunu dapat berhasil (Ghufran,
ikan. Oleh karena itu kualitas air sangat menentukan kelangsugan hidup ikan.
Selain itu kualitas air yang terjaga juga sangat menentukan proses pemijahan
induk dan kualitas telur yang dihasilkan oleh induk. Pergantian air untuk indukan
kerapu tikus dilakukan setiap hari. Hal ini penting untuk menjaga kualitas air tetap
baik. Pada bak induk terdapat dua buah outlet yaitu pembuangan air bawah dan
kotoran hasil metabolisme dan sisa-sisa pakan. Sedangkan pembuangan air atas
berfungsi sebagai pengatur ketinggian air pada bak dan untuk mengalirkan telur
Setelah pemberian pakan di pagi hari, air di bak indukan diturunkan sampai
dilakukan dengan cara mendorong kotoran di dasar bak menggunakan sikat yang
telah diberi kayu yang cukup panjang hingga mencapai dasar bak menuju pipa
outlet sehingga keluar bersama dengan air. Penggelontoran bak induk dilakukan
setiap 4 – 6 hari sekali atau disesuaikan dengan kondisi bak. Setelah dilakukan
setengahnya. Pada sore hari, pukul 16.00 – 17.00 WIB pipa outlet dipasang
seluruhnya. Sirkulasi dengan cara ini dapat mengganti air sebanyak 200 – 300 %
dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan
pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan
penyakit mulut merah. Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ditemukan beberapa
jenis bakteri yang diduga berkaitan erat dengan kasus penyakit bakterial, yaitu
bakteri tersebut bakteri V alginolyticus dan V fuscus merupakan jenis yang sangat
trematoda, protozoa, jamur, bakteri, dan virus. Bakteri dan virus menyerang ketika
induk terdapat luka. Virus yang sering menyerang adalah VNN (Viral Nervous
Necrosis). Jenis parasit yang sering menyerang adalah Argulus sp. Gejala yang
timbul saat induk kerapu tikus terkena Argulus adalah nafsu makan menurun,
warna kulit pucat, serta produksi lendir meningkat. Selain itu, ikan akan
permukaan air dengan tingkah laku bernafas dengan cepat dengan tutup insang
terbuka. Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan cara merendam induk
kerapu di dalam air tawar selama 15 menit. Bakteri yang menyerang induk kerapu
disebabkan oleh bakteri Vibrio sp.. Bakteri ini menyebabkan kerusakan pada sirip
ikan. Pengendalian penyakit ini adalah dengan merendam induk dalam salah satu
larutan ini yaitu Arciflavin (1–2 ppm selama 2 jam), Furazolidone (10–15 ppm
selama 2 jam), prefuran (0,3–0,5 ppm selama 2 jam), dan hidrogen peroksida (1–2
ppm selama 2 jam). Larutan yang biasa digunakan adalah Furazolidone karena
Ciri induk kerapu tikus yang akan memijah ditandai dengan berenang
vertikal dan induk jantan mengejar induk betina. Biasanya sebelum memijah nafsu
makan induk menurun. Induk betina perutnya terlihat lebih besar terutama
setengah bagian belakang. Induk jantan terlihat lebih cerah dan alat kelaminnya
menjadi kemerah-merahan.
teknik kanulasi pada induk betina. Telur yang diambil menggunakan kateter
kematangan kelamin induk jantan ikan kerapu diketahui dengan cara mengurut
bagian perut ikan (stripping) ke arah awal sperma yang keluar warna putih susu
plastik ke dalam lubang kelamin ikan, kemudian dihisap. Telur yang diperoleh
4.3.3 Pemijahan
dilakukan dengan dua cara, yaitu pemijahan alami dan pemijahan dengan
rangsangan hormon.
A. Pemijahan Alami
ini dapat menaikkan suhu air pada bak pemijahan sekitar 1 – 3 0C. Manipulasi ini
mengikuti keadaan pasang surut di alam sehingga ikan akan terangsang untuk
melakukan pemijahan.
Pemijahan ikan kerapu biasanya terjadi pada bulan gelap (antara tanggal 6–
17). Pemijahan terjadi pada malam hari antara pukul 22.00 – 02.00 WIB. Induk
pemijahan ikan kerapu diawali dengan induk betina mengeluarkan telur kemudian
Telur yang mengapung akan mengikuti arus ke pembuangan atas dan ditampung
di dalam egg collector. Menurut Cholik, et al (2005) satu induk betina dapat
menghasilkan telur rata-rata 200.000 – 300.000 butir telur pada ukuran 3-4 kg.
Hal ini sependapat dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa Metode
perkawinan antara jantan dengan induk betina matang kelamin digunakan metoda
garam, kedalaman air dan lain-lain. Pemijahan mengikuti fase peredaran bulan;
sebelumnya telah diisi air laut bersih dengan ketingian 1,5 m dan salinitas + 32
menaikkan dan menurunkan permukaan/tinggi air setiap hari. Mulai jam 09.00
sampai jam 14.00 permukaan air diturunkan sampai kedalaman 40 cm dari dasar
bak. Setelah jam 14.00 permukaan air dikembangkan ke possisi semula (tinggi air
1,5 m). Perlakuan ini dilakukan terus menerus sampai induk memijah secara
hari setelah senja sampai malam hari. Pemijahan umumnya terjadi pada malam
Penyuntikan dilakukan pada induk ikan yang diameter oocyte (bulatan telur)
mencapai 0,4 mm yang berarti induk telah mencapai tingkat kematangan gonad
dan siap untuk dikawinkan. Penyuntikan dilakukan pada pagi hari. Induk ikan
dibius, kemudian disuntik pada bagian punggung dibawah duri ketiga atau pada
bagian dibawah sirip dada terutama untuk induk yang berukuran besar dan
sekaligus juga merupakan bak pemeliharaan larva, terbuat dari beton, berbentuk
cara dibersihkan dan dicuci hamakan memakai larutan chlorine (Na OCI) 50 - 100
sampai bau yang ditimbulkan oleh chlorine hilang. Air laut dengan kadar garam
maksud agar suhu badan stabil berkisar antara 27 - 28°C. Telur hasil pemijahan
dikumpulkan dengan sistim air mengalir. Telur yang dibuahi akan mengapung
dipermukaan air dan berwarna jernih (transparan). Sebelum telur ditetaskan perlu
permukaan air, dengan pemberian arus maka telur yang melayang akan ikut
terbawa arus air menuju penampungan atas. Di ujung pipa pembuangan atas
tersebut dipasang bak penampungan telur atau yang disebut pengumpul telur (egg
collector). Egg collector terbuat dari saringan 40 mikron dengan ukuran 135 cm x
80 cm x 80 cm. Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari antara pukul 06.00 –
07.00 WIB. Telur yang baik dan terbuahi akan melayang di permukaan dan
berwarna transparan. Telur yang buruk dan tidak terbuahi akan mengendap di
menggunakan saringan yang bermata jaring 300 µm. Setelah itu, telur tersebut
berbentuk seperti setengah bola pimpong yang dapat dilihat pada gambar 3.
penghitungan telur seperti ini dikenal sebagai metode penghitungan telur secara
kering. Satu sendok tersebut dapat menampung sebanyak 25000 butir telur. Telur
yang akan dibagi ke unit pembenihan merupakan telur yang baik, telur
telur yang digunakan adalah telur yang melayang. Pemindahan telur dari akuarium
Setelah jumlah telur diketahui, maka telur telah dapat ditebar ke tiap
telur, tebar telur untuk pembenihan sebanyak 150.000 butir telur per 9 ton yang
diambil pada saat panen telur tanggal 8 agustus 2010, 100.000 butir telur per 9 ton
pada tanggal 9 agustus 2010, 100.000 butir telur per 9 ton pada tanggal 10 agustus
2010 dan 100.000 butir telur per 9 ton pada tanggal 11 agustus 2010. Data hasil
Tabel 5. Jumlah Telur Kerapu Tikus di BBAP Situbondo (Bulan Agustus 2010)
Tanggal Jumlah Telur (butir)
7 Agustus 2010 75.000
8 Agustus 2010 150.000
9 Agustus 2010 200.000
10 Agustus 2010 275.000
11 Agustus 2010 450.000
12 Agustus 2010 350.000
13 Agustus 2010 450.000
14 Agustus 2010 1.000.000
15 Agustus 2010 -
16 Agustus 2010 100.000
17 Agustus 2010 150.000
Total 3.200.000
A. Persiapan Wadah
Situbondo yaitu berupa bak beton berbentuk persegi panjang sebanyak 6 buah.
10 m3. Setiap bak dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet yang terbuat dari pipa
PVC. Saluran inlet di setiap bak terdapat 2 buah yaitu saluran pemasukan
Chlorella sp dengan ukuran pipa 3/4 inchi dan saluran pemasukan air laut dengan
ukuran pipa 2 inchi, sedangkan untuk pipa saluran outlet adalah 3,5 inchi.
Wadah yang akan digunakan untuk penetasan terlebih dahulu didesinfeksi
dengan menggunakan larutan klorin 15 ppm dan dibiakan selama 1-2 hari. Setelah
itu, bak dicuci kembali dengan detergen untuk menghilangkan sisa klorin yang
menempel pada dinding dan dasar bak lalu bak dibilas dengan menggunakan air
tawar hingga bersih dan bau klorin hilang. Bak yang telah dibersihkan lalu
dikeringkan selama 1-2 hari. Setelah itu bak diisi air laut sebanyak 9 m3 melalui
saluran inlet air laut yang telah diberi filter bag (50 mikron). Hal ini bertujuan
untuk menyaring kotoran (pasir dan partikel tanah yang halus) agar tidak ikut
formalin dengan dosis 20 ppm dan diaerasi kuat selama 24 jam selanjutnya air
dapat digunakan untuk penebaran telur. Aerai yang digunakan untuk menyuplai
oksigen dalam bak penetasan telur berjumlah 11 titik aerasi yang dilengkapi engan
selang aerasi, batu dan pemberat aerasi diletakkan di bagin dasar bak. Apabila
telur menetas aerasi dikecilkan karena larva masih bersifat planktonik yaitu
Hal ini sependapat dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa tiga hari
dahulu dengan cara dibersihkan dan dicuci hamakan memakai larutan chlorine
(Na OCI) 50 - 100 ppm. Setelah itu dinetralkan dengan penambahan larutan
Natrium thiosulfat sampai bau yang ditimbulkan oleh chlorine hilang. Air laut
dengan kadar garam 32 ‰ dimasukkan ke dalam bak, satu hari sebelum larva
dimasukkan dengan maksud agar suhu badan stabil berkisar antara 27 - 28°C.
Telur hasil pemijahan dikumpulkan dengan sistim air mengalir. Telur yang
dibuahi akan mengapung dipermukaan air dan berwarna jernih (transparan).
Sebelum telur ditetaskan perlu direndam dalam larutan 1 - 5 ppm acriflavin untuk
100.000 sel/ml untuk menjaga kualitas air. Telur akan menetas dalam waktu 18 -
22 jam setelah pemijahan pada suhu 27 - 28°C dan kadar garam 30 - 32 ‰. Telur
yang telah dibuahi berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Dari jumlah
diperkirakan hanya 30% saja yang dibuahi (Suria D, 2002). Telur yang telah
dibuahi tidak berwarna (transparan) sedangkan yang tidak dibuahi dan yang mati
dilakukan pada pagi hari yaitu antara 08.00-09.00 WIB. Untuk padat penebaran
telur saat penulis melakukan PKL yaitu sebesar 112.500 butir per bak dengan
kapasitas air dalam bak sebanyak 9 m3 dan dengan derajat penetasan (HR) 44 %.
Saat proses penetasan, media penetasan diberi erasi kecil yang bertujuan agar
suplai oksigen tetap terpenuhi serta agar telur tidak mengalami guncangan kuat
yang dapat menyebabkan gangguan fisik pada telur. Telur kerapu tikus akan
menetas dalam kisaran waktu antara 17-19 jam setelah pembuahan. Suhu
optimum untuk penetasan telur ikan kerapu yaitu antara 27-31oC. setelah larva
menetas, pada D1 media diberi aerasi kecil. Hal ini dilakukan karena larva yang
baru menetas masih bersifat planktonik yaitu larva bergerak dengan mengikuti
berumur satu hari (D1) dengan metode sampling. Sebelum melakukn sampling,
dasar bak disipon secara perlahan dan hati-hati untuk membuang telur yang tidak
menetas. Biasanya sampling larva dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul
06.00-07.00 WIB karena pada pagi hari larva yang bersifat fotoaksis positif akan
3. Pipa tersebut lalu diangkat dan air di dalam paralon segera dimasukkan ke
4. Larva yang berhasil menetas dihitung satu persatu dalam gelas beaker
tersebut.
A. Persiapan Wadah
Wadah atau bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva sama dengan bak
yang digunakan untuk penetasan telur sehinga tidak dilakukan penebaran larva.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi stress pada larva akibat proses pemindahan
dan perubahan lingkungan yang baru. Pada saat larva berumur 1 hari (D1), aerasi
diatur agak kecil karena larva bersifat planktonik (melayang di permukaan air dan
bergerak mengikuti pergerakan arus air). Untuk mencegah hal tersebut D1-D10
diberi minyak cumi sebanyak 0,1 ml/m2 atau 3-5 tetes disetiap titik aerasi agar
larva tidak naik ke permukaan air. Pemberian minyak cumi dilakukan dalam
sehari sebanyak dua kali yaitu pada hari pukul 06.00 WIB dan sore hari pada
pukul 16.00 WIB. Pada saat larva berumur D3, larva telah diberi pakan alami
kerapu yang baru menetas mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur.
Pakan ini akan dimanfaatkan sampai hari ke 2 (D2) setelah menetas dan selama
kurun waktu tersebut larva tidak memerlukan dari luar. Umur 3 hari (D3) kuning
telur mulai terserap habis, perlu segera diberi pakan dari luar berupa Rotifera
Pemberian pakan ini sampai larva berumur 16 hari (D16) dengan penambahan
2.10 sel/ml media. Pada hari kesembilan (D9) mulai diberi pakan naupli artemia
yang baru menetas dengan kepadatan 0,25 - 0,75 ekor/ml media. Pemberian pakan
naupli artemia ini dilakukan sampai larva berumur 25 hari (D25) dengan
hari ke tujuh belas (D17) larva mulai diberi pakan Artemia yang telah berumur 1
hari, kemudian secara bertahap pakan yang diberikan diubah dari Artemia umur 1
hari ke Artemia setengah dewasa dan akhirnya dewasa sampai larva berumur 50
hari.
B. Perkembangan Larva
a b c
d e f
b) D-1 Saluran pencernaan sudah mulai terlihat, akan tetapi mulut dan
plicitalis).
d) D-8 Bakal sirip punggung dari perut sudah mulai tampak berupa
tonjolan
pertama pada sirip punggung dan sirip perut pada kerapu muda.
Hal ini sependapat dengan Akbar dan Syamsul (2001) yang menyatakan
bahwa perkembangan larva hingga mencapai juvenil :
a) D-0 Telur dalam masa perkembangan hingga menetas dengan panjang
tubuh 1,69 – 1,79 mm.
b) D-1 Saluran pencernaan sudah mulai terlihat, akan tetapi mulut dan
anus masih tertutup, pakan yang dimakan masih mengandalkan kuning
telur (yolk sac)
c) D-2 Cadangan makanan pada beberapa ikan sudah mulai habis
sehingga larva membutuhkan pakan dari luar yaitu rotifera (Branchionus
plicitalis).
d) D-8 Bakal sirip punggung dari perut sudah mulai tampak berupa
tonjolan
e) D-10 Tonjolan tersebut sudah terlihat panjang dan berbentuk spina.
Pertambahan panjang spina ini berlanjut hingga D-21
f) D21 – D25 Terjadi metamorfosis, spina tereduksi menjadi duri keras
pertama pada sirip punggung dan sirip perut pada kerapu muda.
g) D-25 Mulai muncul bintik hitam dan itu akan merata di sekujur tubuh
h) D-45 Larva telah berubah sempurna menjadi juvenil dan siap untuk
Lokasi budidaya yang ideal, selain pertimbangan umum di atas, juga harus
fisika : Suhu dan Kecerahan, dan kimia meliputi : pH, DO dan Salinitas.
Pemenuhan akan kebutuhan air harus diupayakan agar produksi benih ikan laut
yang berkualitas, dalam jumlah yang cukup, dan kontunu dapat berhasil (Ghufran,
air dan penyiponan. Penambahan air dimulai ketika larva berumur 8 hari (D8).
Sebelum dilakukan pergantian air, terlebih dahulu dilakukan penyiponan.
Setelah bersih, air dikurangi hingga bersisa 8.000 L kemudian ditambah air
dilakukan hingga 9.500 L untuk menjaga kualitas air pada wadah pemeliharaan
tetap prima. Air yang digunakan untuk penambahan air berasal dari tandon yang
sebelumnya didesinfeksi terlebih dahulu dengan formalin 10-30 ppm dan diareasi
menggunakan air yang bebas dari penyakit dan kualitas air yang lebih baik
daripada menggunakan air laut yang langsung diambil dari laut. Pada larva
berumur 25 hari (D25) diganti sebanyak 3 m3 dan pada larva yang berumur lebih
dari 45 hari pergantian air dilakukan secara terus menerus. Pada larva yang
berumur 45 hari, sumber air yang diganti tidak lagi berasal dari tandon, namum
berasal dari air laut yang langsung disedot menggunakan pompa. Data kualitas air
Tabel 7. Data Kualitas Air Pemeliharaan Larva Kerapu Tikus Pembenihan Timur
BBAP Situbondo
4.3.8 Pakan
kerapu tikus ada dua macam yakni pakan alami (live feed) dan pakan buatan
(artificial feed). Pakan alami yang diberikan adalah Nannochloropsis sp, rotifera
(Branchionus sp.), naupli Artemia sp., dan udang rebon (jambret). Sedangkan
pakan buatan yang diberikan adalah Nosan R-1, Rotofier, Otohime B1, Otohime
Larva yang sudah berumur dua hari (D2) sudah diberi Nannochloropsis sp.
menggunakan pompa celup melalui pipa paralon ¾ inchi yang pada bagian
terbawa dari kultur massal Nannochloropsis sp. Selain Nannochloropsis sp, larva
D2 juga diberikan rotifer di sore hari dengan dosis 3-5 ind/ml. Tujuan dari
sp.)
A.1 Nannochloropsis sp
Selama kuning telur larva masih ada, larva kerapu tikus belum mau untuk
mengambil makanan dari luar. Larva D1-D10 sangat peka terhadap cahaya
sehingga cenderung untuk naik ke permukaan air. Maka dari itu, sejak larva
berumur D2, larva sudah mulai diberi Nannochloropsis sp. Sebelum diberikan,
sebanyak 1 kali dalam satu hari yaitu pada pagi hari. Pemberian Nannochloropsis
sp dihentikan pada saat larva berumur D30 atau dengan melihat kondisi larva.
sebagai keseimbangan media untuk mengatur kecerahan air dan juga untuk pakan
rotifer.
Pemberian rotifer pada saat di lapangan diberi pada larva berumur D3-D35
dan juga dengan melihat kondisi ikan, dalam hal ini adalah dimana dengan
pakannya. Pemberian rotifer hanya dilakukan sekali dalam sehari yaitu pada pukul
rotifer tergantung dari kepadatan rotifer maka dilakukan pengecekan setiap hari
disebarkan pada setiap titik aerasi. Sebelumnya, rotifer yang akan diberikan
10 ml (satu tutup botol Scoutt’s Emulsion) dalam 20 L air dan 0,5 gram taurin dan
dibiarkan selama 2 jam. Setelah itu, rotifer dapat diberikan pada larva. Hal ini
siste atermia dapat diproduksi secara massal dalam tempat (wadah) yang
terkendali. Untuk tujuan ini dilakukan dengan memanipulasi lingkungan hidupnya
Pemberian Naupli artemia di BBAP Situbondo pada saat berumur D18 atau
tergantung bukaan mulut larva. Pemberian naupli artemia dilakukan sebanyak tiga
kali dalam satu hari yaitu pukul 08.00, 13.00 dan 17.00 WIB. Sebelum diberikan
pada larva naupli yang berasal dari siste didekapsulasi terlebih dahulu. Proses
1. Siste direndam dalam air tawar selama 5 menit sambil diaduk dengan
cepat.
sebanyak 250 ml. Siste artemia tersebut diaduk dengan cepat. Jaga suhu
di bawah 40 0C.
5. Setelah terjadi perubahan warna, segera disaring dan dibilas dengan air
minggu
kebutuhan larva. Cara penetasannya adalah wadah plastik diisi dengan air dan
diaerasi kuat. Setelah itu, satu bungkus artemia yang telah didekapsulasi
memerlukan waktu antara 18 – 30 jam pada air laut. Untuk hasil optimum,
dalam saringan 300 µm. Sebelum diberikan ke larva, artemia disterilisasi dengan
akriflavin sebagai anti ektoparasit. Setelah itu, naupli artemia siap diberikan ke
larva.
Udang rebon mulai diberikan pada saat ikan kerapu menjelang lepas sensor
sampai awal lepas sensor (D25 sampai D45). Udang ini berfungsi sebagai pakan
ektoparasit.
Pemberian pakan buatan bagi larva kerapu tikus dilakukan saat larva telah
pada tabel 8.
15
>D50 4-6 kali EP-1
gram/pemberian
Pakan alami yang digunakan selama pemeliharaan larva dan benih ikan
Nannochloropsis sp, Rotifera (Branchionus sp) dan Artemia sp. Pakan alami
sangat penting peranannya bagi larva dan benih sebagai sumber makanan dengan
kandungan nutrisi yang sangat tinggi. Kultur pakan alami bertujuan untuk
volume 0,5 liter-1 liter air yang akan disiapkan sebagai media tumbuh plankton
air laut di biarkan selama 3-5 hari sampai residu klorine hilang. Salinitas air laut
Mg sebagai unsure hara makro serta unsure hara mikro Fe, Mn, Zn, S dan
sebagainya. Setelah media siap bibit plankton dimsukkan 1/3 bagian dan siap
(outdoor) dengan ukuran wadah 5x3x1,5 m (gambar) dengan kapasitas volume air
maksimal sebesar 18 m3. Persiapan wadah dilakukan dengan cara menyikat dasar
dan dinding wadah kemudian wadah diisi air laut sebanyak 15 m3. Setelah itu,
yang ada dalam bak dengan menggunakan pompa celup. Bibit yang digunakan
berasal dari skala intermediet atau dari bak kultur skala massal lainnya, dimana
umur Nannochloropsis sp telah mencapai 5-7 hari dengan kepadatan 1-5 juta
sel/ml.
digunakan terdiri dari Urea 40 ppm, ZA 30 ppm, dan TSP 20 ppm. Pemberian
pupuk dilakukan dengan cara dilarutkan dalam 10 liter air laut lalu disebar merata
dalam bak kultur. Chlorella sp dapat dipanen setelah berumur 5-7 hari dengan
cara disedot menggunakan pompa celup lalu dialirkan langsung kedalam bak
rotifer dan unit pembenihan melalui pipa PVC ukuran 3/4 inchi.
yaitu, kepala, badan, dan kaki / ekor. Rotifer merupakan salah satu jenis rotifer
betina memproduksi 20 butir telur atau lebih selama 7-10 hari masa hidupnya.
Kultur missal rotifera dilakukan pada bak volume 5-12 m3. Kultur dilakukan
dalam ruang terbuka yang cukup mendapatkan cahaya matahari. Secara umum
dikenal 2 metode kultur rotifera yaitu metode panen harian lebih praktis dan
mudah sedangkan pada metode transfer diperlukan bak kultur yang lebih banyak,
Kultur rotifer di BBAP Situbondo dilakukan skala massal dalam bak beton
dilakukan dengan cara menyikat dasar dan dinding bak hingga bersih dan
Chlorella sp untuk pakan rotifera sebanyak 2-3 m3 yang telah berumur 5-7 hari
kemudiam bak ditambahkan dengan air laut dengan volume yang sama
(perbandingan 1:1). Setelah itu, bibit rotifer ditebar dengan kepadatan 30-40
individu/ml yang diperoleh dari bak kultur rotifer yang lainnya yang siap panen
kepadatan 150-250 individu/ml. kepadatan kultur massal dapat dilihat dari kondisi
perairan yang bening. Metode pemanenan yang dilakukan adalah metode panen
harian. Metode ini dilakukan dengan cara mengalirkan air media kultur dengan
menggunakan selang spiral 1 inchi yang bagian ujungnya diberi planktonnet 300
mesh size sebanyak 20-30% dari volume media kultur dan ditampung dalam drum
150 liter yang diberi aerasi. Rotifer yang telah dipanen dapat langsung diberikan
kotoran tidak ikut terbawa. Pemanenan dilakukan setiap hari pada bak kultur yang
dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan
pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan
penyakit mulut merah. Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ditemukan beberapa
jenis bakteri yang diduga berkaitan erat dengan kasus penyakit bakterial, yaitu
bakteri tersebut bakteri V alginolyticus dan V fuscus merupakan jenis yang sangat
Bakteri patogen membutuhkan jumlah bakteri yang cukup untuk membuat ikan
menjadi sakit. Jika jumlah bakteri belum mencukupi untuk membuat ikan menjadi
sakit maka ikan atau larva tersebut tidak akan menjadi sakit. Bakteri yang
digunakan sebagai probiotik adalah jenis Bacillus sp. dengan merek dagang
hama penyakit, setiap unit pembenihan di BBAP Situbondo memiliki cara dan
teknik yang berbeda-beda. Namun, pada saat penulis melakukan kegiatan PKL di
menyebabkan kematian pada larva atau benih. Kematian massal sering terjadi
pada larva yang diakibatkan oleh kualitas air pada suhu yang sempat turun
pada air yang akan digunakan, dilakukan pergantian air pada pagi dan sore hari,
sirkulasi air selama 24 jam untuk benih yang sudah berukuran 2-4 cm, dan
Hal ini bertujuan untuk menyeragamkan ukuran benih yang akan dipasarkan dan
juga untuk memisahkan benih yang masuk pasaran karena cacat (abnormalitas).
Benih dapat dipanen pada umur D60 atau jika ukurannya sudah mencapai ukuran
pasar (minat pembeli). Ukuran pasar benih yang dijual biasanya berkisar antara
2,7-4 cm. proses pemanenan biasanya dilakukan pagi hari belum terlalu tinggi
sehingga tidak menyebabkan stress pada benih yang akan dipanen dan digrading.
dialiri air dari pipa paralon. Air pada bak pemeliharaan diturunkan secara perlahan
kerapu dapat dipanen dengan menggunakan keranjang plastik. Juvenil yang telah
mengurangi kematian benih pasca lepas sensor akibat sifat kanibal pada ikan
kerapu. Sifat kanibalisme pada kerapu terjadi pada saat kondisi kekurangan
makanan dan perbedaan ukuran. Ikan yang berukuran lebih besar akan selalu
Setelah kerapu tikus telah mencapai ukuran pasar, maka ikan tersebut pun
ikan kerapu, sehingga aspek pemasaran tidak boleh dianggap ringan. Informasi
(Gondol) dan Lampung. BBAP Situbondo menjual dengan harga ikan kerapu
Dewasa ini, pemasaran benih ikan kerapu tikus untuk segala ukuran (3 – 10
cm) dan berapapun jumlahnya tidak terlalu sulit. Hal ini disebabkan karena usaha
pembesaran ikan kerapu baik di Karamba Jaring Apung (KJA), bak terkontrol
Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Tenggara, Sulawesi Tengah, NTB, NTT, Irian Jaya, Malaysia, Singapura, Taiwan,
a. Induk masih berasal dari alam sehingga ketersediaan induk terbatas dan
c. Kematian massal yang sering terjadi pada larva terutama pada umur 3-5 hari
(D3-D5), 11-12 hari, dan 21-24 hari baik yang diakibatkan oleh kualitas air,
tersendiri bagi usaha kerapu jenis ini yang merupakan penyokong untuk usaha
budidaya selanjutnya (pendederan dan pembesaran). Selain itu, benih kerapu tikus
beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : peningkatan kinerja melalui penerapan
ilmuatau teknologi yang tepat tentang pembenihan kerapu tikus maupun semangat
kerja bagi para staf (peningkatan sumberdaya manusia); menjaga mutu atau
kualitas benih yang dihasilkan, perbaikan sarana dan prasarana yang memadai;
Rumah Tangga
Analisa usaha dalam produksi benih ikan kerapu tikus dalam 1 siklus,
Survival Rate (SR) mencapai 12,9 %. Perhitungan analisis usaha pada produksi
tikus skala rumah tangga sebesar Rp 215.733.900,-. Biaya tetap yang dibutuhkan
untuk usaha pembenihan kerapu tikus sebesar Rp 129.595.340 Per tahun dan
biaya variabel yang dibutuhkan sebesar 60.469.400 per tahun sehingga biaya
perhitungan R/C Ratio >1, yaitu 2,1 maka usaha produksi ikan kerapu tikus
produksi benih didapatkan sebesar 9.599,2 ekor yang artinya apabila perusahaan
mampu untuk menjual produk yang dihasilkan sebesar 9.599,2 ekor, maka kondisi
tersebut tercapai titik impas sehingga perusahaan tersebut tidak mengalami untung
maupun rugi. BEP harga benih Rp 719/cm artinya bahwa titik impas akan dicapai
pada saat harga jual benih Rp 719/cm. Hasil perhitungan analisis usaha ini maka
dapat diartikan bahwa usaha produksi ikan kerapu skala rumah tangga ini layak
Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Tenggara, Sulawesi Tengah, NTB, NTT, Irian Jaya, Malaysia, Singapura, Taiwan,
5.1 Kesimpulan
kali/hari), pengelolaan kualitas air dengan salinitas 31-33 ppt, suhu 30o-
31oC, pH 7,8-8,3, nitrit < 1 ppm, DO > 5 ppm, Nitrat < 150 ppm,
2. Induk masih berasal dari alam sehingga ketersediaan induk terbatas dan
bersuhu dingin agar kualitas pakan ikan rucah untuk indukan tidak
terhadap penyakit.
5.2 Saran
indukan.
Edhy, W.A dkk. 2003. Plankton di Lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari. PT.
Central Pertiwi Bahari, Pantai Timur. 99 hal
Kordi K., M.G.H. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta. 115 halaman
Kordi K., M.G.H. 2005. Budidaya Ikan Laut di Kramba Jaring Apung. Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta. 233 hal
Kordi K., M.G.H. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Secara Buatan.
Penerbit Lily Publisher, Yogyakarta. 188 halaman
Yuasa, Kei, dkk. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air
Tawar Jambi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA
LAMPIRAN
1 6 3 23
4
1 1 23
1
23
5
10 10
7
9 30 30 31
7
11
7 9
23
28 29
7 12 13 23
14
23
8 16
15 25 26 27
23
19 32
17 23
33 34
17
17
35 24
19 15
8
18
23 23 23
9
21
20
18
U
22
21
Keterangan :
Kepala Balai
Ir. Slamet Subyakto, M.Si.
Perekayasa Litkayasa
Fungsional Lainnya
Lampiran 4. Daftar Ukuran Pakan dan Jadwal Pemberian
a. Daftar Ukuran Pakan
Uraian Ukuran pakan
Rotemia 20 – 50 µm
NRD ½ 100 – 200 µm
NRD 2/3 200 – 300 µm
NRD 2/4 200 – 400 µm
NRD 3/5 300 – 500 µm
NRD 4/6 400 – 600 µm
NRD 5/8 500 – 800 µm
NRD G8 (8/12) 800 – 1.200 µm
NRD G12 (12/20) 1.200 – 2.000 µm
Nosan R-1 20 – 50 µm
Rotifier 50 – 100 µm
Love Larva 100 – 200 µm
Otohime B-1 200 – 300 µm
Otohime B-2 300 – 600 µm
Otohime C-1 500 – 900 µm
Otohime C-2 900 – 1.400 µm
Otohime S-1 1.000 µm
Otohime S-2 1.400 µm
Otohime EP1 1.500 µm
Otohime EP2 2.200 µm
a. . Biaya investasi
Penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh dari hasil penjualan benih.
Rincian penerimaan yang diperoleh usaha pembenihan ikan kerapu dapat dilihat
HR = 44% x 450.000
= 154.000 butir
Jumlah benih yang hidup hingga pemanenan yaitu sebanyak 20.000 ekor. Jadi
= 20.000 x 100%
154.000
= 12,9%
b. penerimaan (TR)
dengan total biaya adalah positif. Keuntungan yang diperoleh dalam produksi
= 99.000.000 – 47.516.185
= 51.483.815
pendapatan relative suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam
kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C ratio lebih dari 1
(R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C ratio, tingkat keuntungan suatu usaha akan
semakin tinggi. Nilai R/C ratio untuk pembenihan ikan kerapu tiku dapat dilihat
Hasil penjualan
R/C ratio = Total biaya per siklus
= 99.000.000
47.516.185
= Rp 2,1
R/C > 1 yaitu 2,1 sehingga usaha dalam produksi benih kerapu tikus ini
batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu
tidak untung atau rugi. Usaha dinyatakan layak apabila nilai BEP produksi lebih
besar dari jumlah unit yang sedag diproduksi saat ini. Sementara itu, nilai BEP
harga lebih rendah dari pada harga sat ini. Nilai BEP (unit) dan BEP (Rp) pada
usaha pembenihan ikan kerapu tikus dapat dilihat pada perhitungan berikut ini :
Biaya total
BEP unit = Harga Satuan
= 47.516.185
4.950
= 9.599,2 ekor
= Rp 719/cm
impas apabila telah menjual sebanyak 9.599,2 ekor benih atau dengan harga jual
pengembalian investasi yang telh ditanamkan pada suatu usaha, seperti usaha
pembenihan ikan kerapu tikus. Nilai PP pada usaha pembenihan ikan kerapu tikus
Biaya Investasi
PP = Keuntungan x 1 tahun
215.733.900 x 1 tahun
= 51.483.815
= 4,2 tahun
kerapu tikus akan kembali dalam jangka waktu 4,2 tahun atau dalam jangka 4
a. Gedung
Kerapu Tikus
a.4 Bak Pemeliharaan induk a.5 Bak Karantina Ikan a.6 Tandon Air Laut
b.1 Pakan Ikan Rucah b.2 Udang Rebon b.3 Minyak Cumi
c. Peralatan
Gonadotropin
18-Agust-10 30oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
19-Agust-10 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
20-Agust-10 29oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
21-Agust-10 29oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC
22-Agust-10 29oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC
23-Agust-10 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
24-Agust-10 30oC 31oC 30oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
25-Agust-10 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
26-Agust-10 29oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
27-Agust-10 30oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
28-Agust-10 29oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
29-Agust-10 29oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
30-Agust-10 29oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC
31-Agust-10 29oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC