You are on page 1of 105

TEKNIK PEMBENIHAN IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis)

DI BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU SITUBONDO

PRAKTEK KERJA LAPANG


PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

Oleh :

ERLINA DWI TUNGGAL SPIKADHARA


SURABAYA - JAWA TIMUR

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2010
TEKNIK PEMBENIHAN IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis)
DI BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU SITUBONDO

Praktek Kerja Lapang Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan pada Program Studi S-1 Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

Oleh :
ERLINA DWI TUNGGAL SPIKADHARA
NIM. 060710177P

Mengetahui, Menyetujui,
Dekan, Dosen Pembimbing,
Fakultas Perikanan dan Kelautan

Prof.Dr.Drh.Hj. Sri Subekti, B.S.,DEA. Muhammad Arief., Ir. M.Kes.


NIP. 19520517 197803 2 001 NIP. 19600823 198601 1 001
Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh–sungguh, kami berpendapat
bahwa Praktek Kerja Lapang (PKL) ini, baik ruang lingkup maupun kualitasnya
dapat diajukan sebagai Salah Satu untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan.

Tanggal Ujian : 25 November 2010

Menyetujui,
Panitia Penguji,
Ketua

Ir. Muhammad Arief, M.Kes


NIP. 19600823 198601 1 001

Sekretaris Anggota

Prayogo, S. Pi., MP Ir. Moch. Amin Alamsjah, M. Si., Ph. D


NIP. 19750522 200312 1 002 NIP. 19700116 199503 1 002

Surabaya, 24 Desember 2010


Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga
Dekan,

Prof.Dr.Drh.Hj. Sri Subekti, B.S.,DEA.


NIP. 19520517 197803 2 001
RINGKASAN

ERLINA DWI TUNGGAL SPIKADHARA. Teknik Pembenihan Ikan


Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Budidaya Air Payau Situbondo
Desa Pecaron Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa
Timur. Dosen Pembimbing : Ir.Muhammad Arief, M.Kes.

Ikan kerapu tikus memiliki nilai jual yang tinggi dan permintaan yang
banyak sedangkan permintaan pasar akan ikan kerapu tikus belum dapat dipenuhi
secara keseluruhan karena belum banyak pembudidaya. Ikan kerapu tikus lebih
memiliki nilai jual yang tinggi di banding dengan ikan kerapu yang lainnya.
Ketersediaan benih ikan kerapu di alam tidak akan terancam punah dengan
memanfaatkan dan mengembangkan suatu usaha untuk menghasilkan benih ikan
kerapu tikus yang dapat memenuhi permintaan pasar.
Tujuan dari Praktek kerja Lapang (PKL) untuk mengetahui tentang teknik
pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Budidaya Air Payau
di Situbondo, Jawa Timur. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui permasalahan
yang sering dihadapi pada usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis).
Praktek Kerja Lapang ini dilaksanakan pada tanggal 19 juli - 31 agustus
2010. Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah metode
dekskriptif dengan pengambilan data meliputi data primer dan data sekunder.
Pengambilan data dilakukan dengan cara partisi aktif, observasi, wawancara dan
studi pustaka.
Teknik pembenihan ikan kerapu tikus meliputi, persiapan induk, seleksi
induk, pemijahan, seleksi telur, persiapan bak pemeliharaan larva, penebaran
telur, penetasan telur, pemberian pakan sesuai dosis baik berupa pakan
alami(Nannochloropsis sp 50.000-100.000 sel/ml 1 kali/hari dan Rotifer 3-5
individu/ml 2 kali/hari) maupun pakan buatan(Nosan R-1 8 gram/pemberian 2
kali/hari, Rotifier 8 gram/pemberian 3 kali/hari, Otohime B1 10 gram/pemberian 3
kali/hari, Otohime B2 15 gram/pemberian 3 kali/hari, Otohime EP-1 15
gram/pemberian 4-6 kali/hari), pengelolaan kualitas air dengan salinitas 31-33 ppt,
suhu 30o-31oC, pH 7,8-8,3, nitrit < 1 ppm, DO > 5 ppm, Nitrat < 150 ppm,
amoniak < 0,01 ppm, pencegahan penyakit dengan menggunakan probiotik
Sanolife. Grading dilakukan apabila terlihat perbedaan ukuran yang mencolok
pada benih dan munculnya sifat kanibalisme. SR ikan kerapu tikus 12,9%.
Induk masih berasal dari alam sehingga ketersediaan induk terbatas dan
tergantung dari tangkapan nelayan. Memerlukan fasilitas penyimpanan bersuhu
dingin agar kualitas pakan ikan rucah untuk indukan tidak menurun. Kematian
massal sering terjadi pada larva yang diakibatkan oleh penyakit VNN(Viral
Nervous Necrosis), belum ada pengobatan terhadap penyakit.
SUMMARY

ERLINA DWI TUNGGAL SPIKADHARA. Polka-dot Grouper Hatchery


Techniques (Cromileptes altivelis) in Balai Budidaya Air Payau Situbondo
Pecaron Panarukan Situbondo District of East Java Province. Supervising
lecture: Ir.Muhammad Arief, M. Kes.

Polka-dot Grouper has a high selling value and demand a lot while the
demand of market for Polka-dot Grouper can not be fulfilled as a whole because
not many farmers. Polka-dot Grouper over a high selling price compared with
other groupers. The availability of grouper seed in nature will not be threatened
with extinction by exploiting and developing a business to produce panther fish
fry that can meet demand of market.
The purpose of the work practice of Field (PKL) to find out about grouper
hatchery techniques (Cromileptes altivelis) in Balai Budidaya Air Payau
Situbondo, East Java. Another aim is to discover the problems that are often
encountered in the hatchery business grouper (Cromileptes altivelis).
Field Work Practice was held on 19 July - 31 August 2010. The method
used in this Field Work Practice is dekskriptif with data collection methods
include primary data and secondary data. Data collection was performed by the
active partition, observation, interview and literature study.
Polka-dot Grouper hatchery techniques include, Broodstock preparation,
Broodstock selection, spawning, egg selection, preparation for larval rearing
tanks, stocking eggs, hatching eggs, feeding according to the dosage form of
natural food (Nannochloropsis sp 50000-100000 cells / ml 1 time / day and
rotifers 3-5 individuals / ml, 2 times / day) or artificial diets (Nosan R-1 8 g /
generous 2 times / day, Rotifier 8 grams / feeding 3 times / day, Otohime B1 10
grams / feeding 3 times / day , Otohime B2 15 grams / feeding 3 times / day,
Otohime EP-1 15 grams / administration 4-6 times / day), the management of
water quality with salinity 31-33 ppt, temperature 30o-31oC, pH 7.8 to 8. 3, nitrite
<1 ppm, DO> 5 ppm, Nitrate <150 ppm, ammonia <0.01 ppm, disease prevention
using probiotics Sanolife. Grading conducted if the striking visible differences in
seed size and appearance of cannibalism. SR of Polka-dot Grouper is 12.9%.
Broodstock still come from nature so that availability is limited and
dependent parent from the catch of fisherman. Requires cold-temperature storage
facilities for feed quality trash fish for broodstock did not decline. Mass mortality
of larvae often occur in diseases caused by VNN (Viral Nervous Necrosis), there
is no treatment against the disease.
KATA PENGANTAR

Segala puji kahadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penyusunan Praktek Kerja Lapang tentang Teknik

Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Chromileptes altivelis) di Balai Bududaya Air

Payau Situbondo ini dapat terselesaikan. Laporan ini disusun berdasarkan hasil

Praktek Kerja Lapang yang dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau Situbondo

pada tanggal 19 Juli – 31 Agustus 2010.

Penulis menghanturkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua

orang tua dan keluarga yang telah mendoakan, mendidik dan memberi motivasi

serta semangat hingga selesainya Praktek Kerja Lapang ini. Praktek Kerja Lapang

ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Program Studi S-1 Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga Surabaya.

Penulis menyadari bahwa Praktek Kerja Lapang ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis

harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan laporan atau kegiatan selanjutnya.

Semoga Praktek Kerja Lapang ini bermanfaat dan dapat memberi informasi bagi

semua pihak, khususnya Mahasiswa Program Studi S-1 Budidaya Perairan

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.

Surabaya, Desember 2010

Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan kali ini, tidak lupa penulis haturkan terima kasih yang

sebesar-besarnya :

1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan amanah dalam kehidupan ini.

2. Nabi besar Muhammad SAW semoga kita semua akan mendapatkan syafaat

di akhirat kelak.amin allahuma amin.

3. Bapak saya Anthonius Wiwiek Dwiriyantho Bayudharana Feysholly, ibu saya

Partini yang saya cintai yang telah memberikan seluruh ia punya baik

dukungan secara moril dan materi.

4. Kakak pertamaku Andri Bahtera Tunggal Prisma Dharana dan kakak kedua

Erlita Dwi Tunggal Spikadhara yang telah memberi semangat.

5. Prof. Dr. Drh. Hj. Sri Subekti, B. S., DEA. selaku Dekan Fakultas Perikanan

dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.

6. Bapak Ir.Muhammad Arief, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing yang telah

banyak membantu terlaksananya Praktek Kerja Lapang dari penyusunan

usulan proposal hingga terselesainya laporan Praktek Kerja Lapang.

7. Bapak Akhmad Taufiq, M.Si., S.Pi selaku koordinator pelaksana Praktek

Kerja Lapang.

8. Bapak Prayogo, S. Pi., MP dan Ir. Moch. Amin Alamsjah, M. Si., Ph. D

selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan dan saran atas

perbaikan Praktek Kerja Lapang ini.

9. Dr. Ir. Slamet Subiyakto, M.Si sebagai Kepala Balai Budidaya Air Payau

Situbondo.
10. Ir. sofiati selaku pembimbing lapangan dari Balai Budidaya Air Payau

(BBAP) Situbondo.

11. Seluruh pegawai BBAP Situbondo khususnya pegawai Pembenihan Timur.

12. Rekan-rekan yang melaksanakan magang dan PKL di BBAP Situbondo dari

UMI, IPB, UNSOED, Hangtuah, UNDANA.

13. Sahabatku (Yulia Kartika, Nining Khoirunniza, Nurdiana Rachmasari,

Setyana Meirnawati, Dian Respati, Adhe Puspawari Hardhanny) yang telah

banyak membantu dan memberi semangat.

14. Galih Adi Pratama yang telah banyak membantu.

15. Teman-teman BUPER’07 yang memberikan dukungan sehingga dapat

terselesaikannya laporan PKL ini.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

penulis dalam pelaksanaan maupu penyelesaian laporan PKL ini.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………… . i

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………. .. ii

HALAMAN PERSETUJUAN................................................................. . iii

RINGKASAN.......................................................................................... . iv

SUMMARY............................................................................................. . vi

KATA PENGANTAR…………………………………………………... xiii

UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................... ix

DAFTAR TABEL.................................................................................... . xi

DAFTAR GAMBAR............................................................................... . xii

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... .. xiii

I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Tujuan............................................................................................ 2
1.3 Manfaat.......................................................................................... 3
II . TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 4
2.1 Tinjauan Umum...................................………………………….. 4
2.2 Morfologi.................................. .................................................... 5
2.3 Habitat............................................................................................ 5
2.4 Reproduksi..................................................................................... 6
2.5 Perkembangan Embrio.................................................................. 7
2.6 Kebiasaan Makan Larva ............................................................... 7
2.7 Teknik Pembenihan....................................................................... 8
2.7.1 Sarana Pembenihan.............................................................. 9
2.7.2 Metode................................................................................. . 9
2.7.3 Pemeliharaan Induk............................................................. . 9
2.7.4 Sex Reserval......................................................................... 10
2.7.5 Seleksi Induk........................................................................ 10
2.7.6 Pemijahan.............................................................................. 10
2.7.7 Penetasan Telur..................................................................... 11
2.7.8 Pemeliharaan Larva............................................................... 12
2.8 Parameter Kualitas Air Pemeliharaan............................................ 13
2.8.1 Suhu.......................................................................................... 13
2.8.2 Kecerahan................................................................................. 14
2.8.3 derajat keasaman..................................................................... 14
2.8.4 Oksigen terlarut....................................................................... 14
2.8.5 Salinitas................................................................................... 15
2.8.6 Nitrit........................................................................................ 15
2.9 Penyediaan Pakan untuk Pemeliharaan Larva............................... 16
2.9.1 Nannochloropsis oculata....................................................... 16
2.9.2 Artemia spp............................................................................ 17
2.9.3 Rotifer.................................................................................... 18
2.10 Pemberian Pakan.......................................................................... 18
2.10.1 Rasio pakan......................................................................... 19
2.10.2 Frekuensi Pemberian pakan................................................ 19
2.10.3 Waktu Pemberian Pakan..................................................... 19
2.11 Survival Rate................................................................................ 19
2.12 Penyakit........................................................................................ 20
2.12.1 Vibrio alginolyticus............................................................ 21
2.12.2 Vibrio anguillarum............................................................. 21
2.12.3 Cryptocaryonosis................................................................. 21
2.12.4 Infestasi Trichodina sp........................................................ 22
2.12.5 Caligus sp parasit golongan Crustacea................................ 23
2.12.6 Virus..................................................................................... 24

III PELAKSANAAN…………………………………………………….. 25
3.1 Waktu dan Tempat…………………………………….................. 25
3.2 Materi dan Metode Kerja…………………………………............ 25

3.3 Metode pengumpulan ………………………………………......... 25

3.3.1 Data Primer…………………………………….................... 25


a. Observasi......................................................................... 26
b. Wawancara...................................................................... 26
c. Partisipasi Aktif.............................................................. 27
3.3.2 Data Sekunder……………………………………………… 27

IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………................ 28


4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang…………............. 28
4.1.1 Sejarah Berdirinya…………………………........................ 28
4.1.2 Letak dan Keadaan Lokasi.................................................... 29
4.1.3 Struktur Organisasi............................................................... 30
4.1.4 Kepegawaian......................................................................... 32
4.2 Sarana dan Prasarana Umum BBAP Situbondo............................. 32
4.2.1 Sarana Umum........................................................................ 32
A. Sarana Budidaya............................................................... 32
B. Air Laut ............................................................................ 33
C. Air Tawar.......................................................................... 34
D. Aerasi................................................................................ 34
4.2.2 Prasarana .............................................................................. 35
A. Bangunan……………….………………………………. 35
B. Sumber Tenaga Listrik..................................................... 36
4.3 Teknik Pembenihan Kerapu Tikus………………………............. 36
4.3.1 Persiapan Induk ……………………………………............ 36
4.3.2 Seleksi Induk………………………………………………. 38
a. pemberian pakan……………………………………… 40
b. pengelolaan air………………………………………… 41
c. pencegahan hama dan penyakit……………………….. 42
d. ciri-ciri induk matang gonad………………………….. 43
4.3.3 Pemijahan.............................................................................. 44
a. pemijahan alami.............................................................. 44
b. pemijahan dengan rangsangan hormon.......................... 45
4.3.4 Pemanenan Telur.................................................................... 46
4.3.5 Penetasan Telur....................................................................... 48
a. Persiapan Wadah.............................................................. 48
b.Penebaran dan Penetasan Telur........................................ 50
c. Perhitungan Derajat Penetasan(Hatcging Rate).............. 51
4.3.6 Pemeliharaan Larva dan Benih.............................................. 52
a. Persiapan Wadah............................................................. 52
b.Perkembangan Larva........................................................ 53
4.3.7 Kualitas air............................................................................ 55
4.3.8 Pakan...................................................................................... 56
a. Pemberian Pakan Alami.................................................... 57
a.1 Nannochloropsis sp..................................................... 57
a.2 Rotifera........................................................................ 57
a.3 Artemia sp................................................................... 58
a.4 Udang Rebon............................................................... 60
b. Pemberian Pakan Buatan................................................... 60
c. Kultur Pakan Alami........................................................... 61
c.1 Kultur Nannochloropsis sp.......................................... 61
c.2 Kultur Rotifer.............................................................. 63
4.3.9 Pengendalian Hama dan Penyakit.......................................... 64

4.4 Pemanenan, Produksi, dan Pemasaran............................................ 65


4.4.1 Pemanenan Benih................................................................... 65
4.4.2 Produksi dan Pemasaran........................................................ 66
4.5 Masalah dan Kemungkinan Pengembangan Usaha........................ 67
4.5.1 Masalah yang Dihadapi......................................................... 67
4.5.2 Kemungkinan Pengembangan Usaha.................................... 68
4.6 Analisis Usaha ............................................................................... 68

V SIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 70


5.1 Simpulan.......................................................................................... 70
5.2 Saran................................................................................................ 71

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 72

LAMPIRAN................................................................................................. 74
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha – usaha pengembangan perikanan yang dilakukan di Indonesia

mulai banyak dilakukan. Di Indonesia perkembangan budidaya ikan sangat

mendukung karena di Indonesia merupakan wilayah berkepulauan yang banyak

memiliki sumber daya ikan yang melimpah. Bila potensi perikanan yang sangat

melimpah ini dapat di manfaatkan secara optimal maka dapat meningkatkan

produktifitas perikanan, meningkatkan devisa negara, dan membantu menjaga

kelestarian sumber daya hayati perikanan (Salim, 2009).

Pada saat ini Ikan kerapu tikus memiliki nilai jual yang tinggi dan

permintaan yang banyak sedangkan permintaan pasar akan ikan kerapu tikus

belum dapat dipenuhi secara keseluruhan karena belum banyak pembudidaya.

Ikan kerapu tikus lebih memiliki nilai jual yang tinggi di banding dengan ikan

kerapu yang lainnya. Ketersediaan benih ikan kerapu di alam tidak akan terancam

punah dengan memanfaatkan dan mengembangkan suatu usaha untuk

menghasilkan benih ikan kerapu tikus yang dapat memenuhi permintaan pasar

(Salim, 2009).

Pakan alami untuk larva dan benih pada budidaya ikan dalam bentuk

pakan alami dan pakan buatan (mikropartikel pelet). Kegiatan pembenihan ikan

kerapu tikus, pakan alami sangat diperlukan saat pemeliharaan larva. Pakan alami

yang digunakan harus sesuai dengan bukaan mulut larva dan alat pencernaan larva

kerapu dapat mencerna kandungan nutrisi yang ada pada pakan alami (khordi,

2005).
Kerapu lebih suka menghindar dari sinar matahari langsung, kecuali

sewaktu makan dan saat memijah. Ikan kerapu ini merupakan jenis ikan laut yang

dapat ditemukan didaerah subtropika dan tropika dari seluruh daerah lautan.

Kebanyakan ikan kerapu tinggal didaerah karang, karang mati, atau karang

berlumpur. Ikan kerapu juga sering ditemukan di daerah pasang dan di laut

dengan kedalaman sekitar 40 cm (Salim, 2009).

Ikan Kerapu Tikus selama bertelur induk tidak boleh di beri pakan, dan

apabila induk telah memijah harus segera dipindahkan ke tangki yang lain. Telur

yang telah dibuahi berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Dari jumlah

diperkirakan hanya 30% saja yang dibuahi (Darwisito, 2002), sedangkan SR

kerapu tikus 5%.

Permasalahan penyakit yang paling banyak pada ikan bersirip (finfish)

dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan

pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan

penyakit mulut merah. Lokasi budidaya yang ideal harus memenuhi persyaratan-

persyaratan kualitas airnya. Faktor kualitas air yang perlu dipertimbangkan untuk

pemeliharaan pembenihan Kerapu tikus meliputi sifat fisika : suhu dan kecerahan,

dan kimia meliputi : pH, DO, nitrit dan salinitas.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktek kerja lapang ini adalah:

1. Mengetahui tentang teknik pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes

altivelis) di Balai Budidaya Air Payau di Situbondo, Jawa Timur.


2. Mengetahui permasalahan yang sering dihadapi pada usaha pembenihan

ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Budidaya Air Payau di

Situbondo, Jawa Timur.

1.3 Manfaat

Manfaat dari praktek kerja lapang ini adalah :

1. Memperoleh pengetahuan tentang teknik pembenihan ikan kerapu tikus

(Cromileptes altivelis) di Balai Budidaya Air Payau di Situbondo, Jawa

Timur.

2. Dapat memadukan teori yang diperoleh dengan kenyataan yang terjadi

dilapangan, sehingga dapat lebih memahami dan mengatasi permasalahan

yang timbul dalam usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes

altivelis) di Balai Budidaya Air Payau di Situbondo, Jawa Timur.


II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum

Menurut Weber and Beofort, (1940) dalam Ahmad (1991), klasifikasi ikan

kerapu tikus adalah :

Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichtyes
Subclass : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Subordo : Percoidea
Genus : Cromileptes
Spesies : Cromileptes altivelis

Kerapu bebek, biasa juga disebut kerapu tikus(Cromileptes altivelis),

dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama polka-dot grouper atau

hump-backed rocked, mempunyai tubuh agak pipih dengan warna dasar abu-abu

berbintik hitam. Pada ikan kerapu tikus yang masih muda, bintik tersebut lebih

besar dan lebih sedikit jumlahnya. Lantaran warnanya yang menarik, ikan ini

biasa ditempatkan di akuarium sebagai ikan hias (Khordi dan Andi Tamsil, 2010).

Gambar 1. Kerapu Tikus, Cromileptes altivelis


(Octopus, 2008)
2.2 Morfologi

Ikan kerapu tergolong jenis ikan air laut yang berjual nilai tinggi, tetapi

yang lebih memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kerapu

jenis yang lainnya adalah ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Ikan kerapu

tikus termasuk dalam famili Serranidae, tubuhnya memanjang gepeng

(compressed) dengan panjang tubuh 2,6 – 3,0 kali panjang standard ikan ( panjang

standard ikan 12 – 37 cm). Panjang kepala seperempat panjang total, leher bagian

atas cekung dan semakin tua semakin cekung. Lembaran operculum mempunyai

pinggiran yang bergerigi tajam dan halus. Lubang hidung bagian posterior besar.

Pada sirip dorsal memiliki 10 duri keras dan 17 – 19 duri lunak. Sirip punggung

semakin melebar kebelakang, sirip perut dengan 3 duri keras dan 10 duri lunak

(Khordi dan Andi Tamsil, 2010).

Sedangkan sirip ekor memiliki 1 duri keras dan 70 duri lunak, sisik pada

lateral line berjumlah 54 – 60 dan pyloric 13. Sisik punggung sangat halus dan

licin (Salim. A, 2009). Warna ikan kerapu tikus coklat kehijauan dengan dengan

bintik – bintik atau bulat – bulat coklat di kepala, tubuh, dan sirip. Bintik – bintik

tersebut pada kerapu muda lebih besar dan sedikit, semakin tua bertambah

banyak. Seluruh permukaan tubuh kerapu bebek berwarna putih dilengkapi sirip

renang berbentuk melebar serta moncong kepala lancip menyerupai bebek atau

tikus. Pada kerapu bebek muda, bintik hitam lebih besar dengan jumlah bintik

yang sedikit.
2.3 Habitat

Ikan kerapu lebih sering terlihat menyendiri dan menyukai naungan

sebagai tempat bersembunyi. Kerapu lebih suka menghindar dari sinar matahari

langsung, kecuali sewaktu makan dan saat memijah. Ikan kerapu ini merupakan

jenis ikan laut yang dapat ditemukan didaerah subtropika dan tropika dari seluruh

daerah lautan. Kebanyakan ikan kerapu tinggal didaerah karang, Ikan kerapu juga

sering ditemukan di daerah pasang dan di laut dengan kedalaman sekitar 40 cm.

Dalam siklus hidupnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan

kedalaman 0,5 - 3,0 m, setelah dewasa kerapu ke daerah perairan yang lebih

dalam yaitu antara 7,0 – 40 m.

2.4 Reproduksi

Kerapu tikus memiliki sifat hermaprodit protogini yaitu perubahan

kelamin (change sex) dari betina ke jantan dipengaruhi oleh ukuran,umur, dan

spesiesnya. Transformasi dari dari betina ke jantan ini memerlukan waktu yang

cukup lama dalam kondisi alami. Pada kerapu tikus, transisi dari betina ke jantan

terjadi setelah mencapai umur 2,0-2,5 tahun. Pada umur 1,5-2,5 tahun biasanya

ikan masih berkelamin betina. Adapun ikan-ikan yang berumur 2,5 tahun ke atas,

berkelamin jantan (Khordi dan Andi Tamsil, 2010).

Sifat kerapu tikus umumnya soliter tetapi pada saat akan memijah

berlangsung beberapa hari sebelumnya bulan purnama yaitu pada malam hari.

Dari hasil pengamatan di Indonesia, musim – musim pemijahan ikan kerapu

terjadi pada bulan Juni – September dan November – Februari. Beberapa jenis
kerapu mempunyai musim pemijahan 6 – 8 kali/tahun sedangkan pemijahan

pertama 1 – 2 kali/tahun (Salim, 2009).

2.5 Perkembangan Embrio

Berdasarkan pengamatan mikroorganisme dapat diketahui bahwa telur

kerapu berbentuk bulat tanpa kerutan, cenderung menggerombol pada kondisi

tanpa aerasi dan kuning telur tersebar merata. Telur kerapu transparan dengan

diameter ± 850 mikron dan tidak memiliki ruang perivitellin. Perkembangan

embrional telur sejak pembuahan sampai penetasan membutuhkan kurang lebih 19

jam, pembelahan sel pertama kali terjadi 40 menit setelah pembuahan.

Pembelahan sel berikutnya berlangsung 15 – 30 menit sampai mencapai multi sel

salama 2 jam 25 menit. Setelah tahap multi sel tahap berikutnya adalah blastula,

grastula, neorula, damn embrio. Gerakan pertama embrio terjadi pada jam ke-16

setelah pembuahan selanjutnya telur menetas menjadi larva pada jam ke-19 pada

suhu 27 – 29 oC (Salim, 2009).

2.6 Kebiasaan Makan Larva

Pada kerapu tikus menetas mempunyai panjang total 1,70 – 1,78 mm, mata

belum berpigmen, mulut dan anus belum terbuka. Perkembangan tubuhnya

semakin memanjang sedangkan kantong telur dan gelembung minyak semakin

mengecil. Pembentukan sirip punggung mulai terjadi pada hari pertama, pada hari

kedua sirip dada mulai terbentuk dan jaringan usus telah berkembang sampai ke

anus. Pada hari ke tiga mulai terjadi pigmentasi saluran pencernaan bagian atas

dan bukaan mulut berukuran sekitar 125 µ. Dan hari ke empat kuning telur telah
habis terabsorbsi. Pada periode perkembangan larva kerapu tikus sampai tahap

metamorfosis penuh membutuhkan waktu 35 – 40 hari pada suhu 27 - 29 ºC

(Salim, 2009).

Setelah telur menetas sampai dengan hari ke tiga larva dapat makan secara

endragenus yaitu dengan mengabsorsi kuning telur yang di bawanya. Setelah itu

mendapatkan makan secara eksogenus pada hari ke tiga dengan mulai terbukanya

mulut. Sesuai dengan bukaan mulut ikan kerapu tikus, rotifera merupakan pakan

pertama. Kematian yang terjadi pada larva hari ke lima dan seterusnya dapat

terjadi karena disebabkan oleh suatu keadaan hanya 50 % larva yang mampu

makan pada kondisi dimana jumlah pakan optimal, sedangkan sisanya tidak

mampu lagi memangsa pakan yang tersedia, dapat pula terjadi karena kesalahan

dalam menentukan jadwal pemberian pakan dan rendahnya mutu pakan (Salim,

2009).

Ikan kerapu tikus bersifat karnivora terutama larva molusca, rotifera,

krustacea kecil, kopepoda, dan zooplankton. Sedangkan untuk ikan kerapu tikus

yang dewasa menyukai ikan – ikan kecil, krustacea dan cepalophoda. Ikan kerapu

sebagai ikan karnivora juga sebagai ikan pemangsa yang aktif bergerak pada

malam hari. Ikan kerapu memiliki kebiasaan makan pada siang hari dan malam

hari dan lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari. Ikan kerapu biasanya mencari

makan dengan cara menyergap mangsanya dari tempat persembunyiannya.

2.7 Teknik pembenihan

Menurut Anonim (2010) pada teknik pembenihan ada beberapa tahap untuk

melaksanakannya berupa:
2.7.1.Sarana Pembenihan

1. Kurungan apung untuk pemeliharaan induk berukuran 3 x 3 x 3 m3.

2. Bak pemijahan dengan kapasitas 100 ton.

3. Bak penetasan sekaligus juga merupakan bak pemeliharaan larva yang

berukuran 4 x 1 x 1 m 3 terbuat dari beton, berbentuk empat persegi

panjang (Anonim, 2010).

2.7.2.Metode

Metode yang digunakan adalah manipulasi lingkungan. Untuk merangsang

terjadinya perkawinan antara jantan dengan induk betina matang kelamin

digunakan metoda manipulasi lingkungan di bak terkontrol. Teknik pemijahan

dengan manipulasi lingkungan ini dikembangkan berdasarkan pemijahan ikan

kerapu di alam, yaitu dengan rangsangan atau kejutan faktor-faktor lingkungan

seperti suhu, kadar garam, kedalaman air dan lain-lain. Pemijahan mengikuti fase

peredaran bulan; pada saat bulan terang atau bulan gelap, (Anonim, 2010).

2.7.3.Pemeliharaan Induk

Induk ikan kerapu yang dipijahkan dipelihara dengan padat penebaran

induk 7,5 - 10 kg/m 3 . Pakan yang diberikan berupa ikan rucah segar berkadar

lemak rendah. Diluar pemijahan ikan, takaran pakan yang diberikan sebesar 3 -

5% dari total berat badan ikan/hari, sedangkan pada musim pemijahan diturunkan

menjadi 1%. Disamping itu diberikan pula vitamin E dengan dosis 10 - 15

mg/ekor/minggu, (Anonim, 2010).


2.7.4.Sex reversal

Kerapu termasuk ikan yang "hermaprodit protogyni", yaitu pada

kehidupan awal belum ditentukan jenis kelaminnya. Sel kelamin betina terbentuk

setelah berumur 2 tahun dengan panjang 50 cm dan berat 5 kg. Sel kelamin betina

berubah menjadi sel kelamin jantan pada umur 4 tahun dengan panjang tubuh

sekitar 70 cm dan berat 11 kg. Ada kenyataannya lebih banyak ditemui ikan

kerapu jantan atau mempercepat perubahan kelamin dari betina ke jantan dapat

dipacu/dirangsang dengan hormon testosteron. Pemberian hormon testosteron

dilakukan secara oral melalui makan setiap minggu, diikuti dengan penambahan

multivitamin. Takaran yang diberikan adalah : Hormon testosteron 2 mg/kg induk

Multivitamin 10 mg/kg induk, (Anonim, 2010).

2.7.5.Seleksi Induk

Kematangan kelamin induk jantan ikan kerapu diketahui dengan cara

mengurut bagian perut ikan (stripping) ke arah awal sperma yang keluar warna

putih susu dan jumlahnya banyak diamati untuk menentukan kualitasnya.

Kematangannya kelamin induk betina diketahui dengan cara kanulasi, yaitu

memasukkan selang plastik ke dalam lubang kelamin ikan, kemudian dihisap.

Telur yang diperoleh diamati untuk mengetahui tingkat kematangannya, garis

tengah (diameter) telur diatas 450 mikron, (Anonim, 2010).

2.7.6. Pemijahan

1. Induk kerapu matang kelamin dipindahkan ke bak pemijahan yang

sebelumnya telah diisi air laut bersih dengan ketingian 1,5 m dan salinitas

+ 32 ‰.
2. Manipulasi lingkungan dilakukan menjelang bulan gelap yaitu dengan cara

menaikkan dan menurunkan permukaan/tinggi air setiap hari selama 5-7

jam. Setelah 7 jam permukaan air dikembangkan ke possisi semula (tinggi

air 1,5 m). Perlakuan ini dilakukan terus menerus sampai induk memijah

secara alami.

3. Rangsangan hormonal induk kerapu matang kelamin disuntik dengan

hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan Puberogen untuk

merangsang terjadinya pemijahan. Takaran hormon yang diberikan :

o HCG 1.000 - 2.000 IU/kg induk

o Puberogen 150 - 225 RU/kg induk

4. Pengamatan pemijahan ikan dilakukan setiap hari setelah senja sampai

malam hari. Pemijahan umumnya terjadi pada malam hari antara jam

22.00 - 24.00 WIB.

5. Bila diketahui telah terjadi pemijahan, telur segera dipanen dan

dipindahkan ke bak penetasan,bak pemeliharaan larva, (Anonim, 2010).

Ikan Kerapu Tikus selama bertelur induk tidak boleh di beri pakan, dan

apabila induk telah memijah harus segera dipindahkan ke tangki yang lain.

Telur yang telah dibuahi berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir.

2.7.7. Penetasan telur

Menurut (Anonim, 2010) bak yang dipergunakan untuk penetasan telur

sekaligus juga merupakan bak pemeliharaan larva, terbuat dari beton, berbentuk

empat persegi panjang dengan ukuran 4 x 1 x 1 m³ . Tiga hari sebelum bak

penetasan/bak pemeliharaan larva digunakan, perlu dipersiapkan dahulu dengan


cara dibersihkan dan dicuci hamakan memakai larutan chlorine (Na OCI) 50 - 100

ppm. Setelah itu dinetralkan dengan penambahan larutan Natrium thiosulfat

sampai bau yang ditimbulkan oleh chlorine hilang. Air laut dengan kadar garam

32 ‰ dimasukkan ke dalam bak, satu hari sebelum larva dimasukkan dengan

maksud agar suhu badan stabil berkisar antara 27 - 28°C.

Sebelum telur ditetaskan perlu direndam dalam larutan 1 - 5 ppm

acriflavin untuk mencegah serangan bakteri. Telur hasil pemijahan dikumpulkan

dengan sistim air mengalir. Telur yang dibuahi akan mengapung dipermukaan air

dan berwarna jernih (transparan). Telur akan menetas dalam waktu 18 - 22 jam

setelah pemijahan pada suhu 27 - 28°C dan kadar garam 30 - 32 ‰. Telur yang

telah dibuahi berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Jumlah telur diperkirakan

hanya 30% saja yang dibuahi (Suria D, 2002). Telur yang telah dibuahi tidak

berwarna (transparan) sedangkan yang tidak dibuahi dan yang mati berwarna

putih susu.

2.7.8 Pemeliharaan Larva

Larva kerapu yang baru menetas mempunyai cadangan makanan berupa

kuning telur. Pakan ini akan dimanfaatkan sampai hari ke 2 (D2) setelah menetas

dan selama kurun waktu tersebut larva tidak memerlukan dari luar. Umur 3 hari

(D3) kuning telur mulai terserap habis, perlu segera diberi pakan dari luar berupa

Rotifera Brachionus Plicatilis dengan kepadatan 1 - 3 ekor/ml. Disamping itu

ditambahkan pula Chlorella sp dengan kepadatan antara 50.000-100.000 sel/ml.

Pemberian pakan ini sampai larva berumur 16 hari (D16). Pada hari kesembilan

(D9) mulai diberi pakan naupli artemia yang baru menetas dengan kepadatan 0,25
- 0,75 ekor/ml media. Pemberian pakan naupli artemia ini dilakukan sampai larva

berumur 25 hari (D25) dengan peningkatan kepadatan hingga mencapai 2 - 5

ekor/ml media. Disamping itu pada hari ke tujuh belas (D17) larva mulai diberi

pakan Artemia yang telah berumur 1 hari, kemudian secara bertahap pakan yang

diberikan diubah dari Artemia umur 1 hari ke Artemia setengah dewasa dan

akhirnya dewasa sampai larva berumur 50 hari (Anonim, 2010).

2.8 Parameter Kualitas Air Pemeliharaan

Lokasi budidaya yang ideal, selain pertimbangan umum di atas, juga

harus memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas airnya. Faktor kualitas air yang

perlu diperhatikan untuk pemeliharaan pembenihan Kerapu tikus meliputi sifat

fisika : Suhu dan Kecerahan, dan kimia meliputi : pH, DO dan Salinitas.

Pemenuhan akan kebutuhan air harus diupayakan agar produksi benih ikan laut

yang berkualitas, dalam jumlah yang cukup, dan kontunu dapat berhasil (Ghufran,

M dan Andi Tamsil. 2010).

2.8.1 Suhu

Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu

penyebaran organisme baik di lautan maupun di perairan air tawar dibatasi oleh

suhu perairan tersebut. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan

kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan biota bahkan dapat menyebabkan

kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrem (drastis) (Kordi, 2005). Suhu

optimal untuk pertumbuhan kerapu tikus adalah 27oC-32oC (Octopus, 2008).


2.8.2 Kecerahan

Perairan yang memiliki tingkat kecerahan sangat tinggi dapat menembus

ke dasar perairan adalah indikator yang perairannya cukup jernih dan sangat baik

untuk digunakan sebagai lokasi pembesaran. Kecerahan perairan yang sangat

cocok untuk pembesaran kerapu bebek adalah lebih dari 2 meter, artinya secara

visual dapat dilihat benda-benda di dalam air yang kedalamannya hingga lebih

dari 2 meter (Octopus, 2008).

2.8.3 Derajat Keasaman (pH)

Pada pH air dapat mempengarui tingkat kesuburan perairan karena

mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif,

malah dapat membunuh ikan. Pada saat pH rendah kandungan oksigen terlarut

akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktifitas

pernapasan naik dan selera makan akan berkurang (Kordi, 2005). Kerapu tikus

sangat baik bila dipelihara pada air laut dengan pH 7-9.

2.8.4 Oksigen Terlarut (DO)

Konsentrasi oksigen dalam air dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan

dan konversi pakan. Konsentrasi oksigen terlarut merupakan salah satu faktor

yang membatasi bagi ikan yang dibudidayakan, karena sangat diperlukan untuk

kehidupan ikan. Pertumbuhan ikan-ikan laut, kandungan oksigen terlarut dalam

air minimal 4 ppm, sedangkan kandungan optimum antara 5-6 ppm (Kordi, 2005),

menambahkan bahwa ikan Kerapu tikus dan macan dapat hidup optimal pada

konsentrasi oksigen lebih dari 5 ppm.


2.8.5 Salinitas

Lokasi yang berdekatan dengan muara tidak dianjurkan karena

terpengaruh oleh masuknya air tawar dari sungai sehingga salinitas dapat berubah

dan akan mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan yang dipelihara.

Salinitas yang ideal untuk pembesaran ikan Kerapu tikus adalah 30-33 ppt

(Octopus, 2008).

2.8.6 Nitrit

Nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-) adalah ion-ion anorganik alami, yang

merupakan bagian dari siklus nitrogen. Aktifitas mikroba di tanah atau air

menguraikan sampah yang mengandung nitrogen organik pertama-pertama

menjadi ammonia, kemudian dioksidasikan menjadi nitrit dan nitrat. Apabila

nitrat dan nitrit yang masuk bersamaan dengan makanan, maka banyaknya zat

makanan akan menghambat absorbsi dari kedua zat ini dan baru akan diabsorbsi

di traktus digestivus bagian bawah. Hal ini akan mengakibatkan mikroba usus

mengubah nitrat menjadi nitrit sebagai senyawa yang lebih berbahaya. Karena itu,

pembentukan nitrit pada intestinum mempunyai arti klinis yang penting terhadap

keracunan. NO2- dalam darah memicu terjadinya oksidasi Fe2+, yang

menyebabkan kemampuan hemoglobil darah untuk mengikat oksigen rendah.

Konsentrasi nitrit maximum yang diperbolehkan dalam kegiatan budidaya ikan

adalah < 0.06 mg/l (Wahyudhy H, 2007).


2.9 Penyediaan Pakan untuk Pemeliharaan Larva

Sebelum mengawinkan ikan, persediaan pakan berupa jasad pakan dan

pakan buatan yang nantinya diberikan kepada larva harus siap dalam jumlah dan

mutu gizinya. Jasad pakan merupakan faktor penentu dalam keberhasilan

pemeliharaan larva. Jasad pakan untuk keperluan ini meliputi alga

(Nannochloropsis oculata), artemia, rotifera (Branchionus sp) yang dipeoleh dari

usaha kultur massal (Pramu S dan Mustahal, 2002).

2.9.1 Nannochloropsis oculata

Domain : Eukaryota
Kingdom : Chomalveolata
Phylum : Heterokontophyta
Class : Eustigmatophyceae
Genus : Nannochloropsis
Spesies : Nannochloropsis oculata

Membudidaya Chlorella dapat diambil langsung dari tambak budidaya,

dengan mengatur rasio N/P supaya Nannochloropsis dapat mendominasi yang

lainnya. Budidaya plankton dilakukan pada botol dengan volume 0,5 liter-1 liter

air yang akan disiapkan sebagai media tumbuh plankton sebelumnya disterilkan

terlebih dahulu dengan menggunakan klorine kemudian air laut di biarkan selama

3-5 hari sampai residu klorine hilang. Salinitas air laut yang diharapkan adalah 25-

28 ppt.

Air laut tersebut kemudian dimasukkan kedalam botol-botol yang telah

disiapkan, selanjutnya ditambah pupuk cair sebanyak 1 ml/lt. pupuk yang

digunakan harus mengandung unsur hara yang dibutuhkan seperti N, P, S, K dan

Mg sebagai unsure hara makro serta unsure hara mikro Fe, Mn, Zn, S dan
sebagainya. Setelah media siap bibit plankton dimsukkan 1/3 bagian dan siap

dipanen 5-6 hari (Edhy W dkk, 2003).

2.9.2 Artemia sp

Kingdom : Animalia
Class : Crustacea
Ordo : Anostraca
Family : Artemidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp

Artemia dalam bentuk nauplius mudah diperoleh, yaitu dengan cara

menetaskan kistanya yang tersedia dipasar dalam bentuk kemasan kalengan.

Penetasan kista dilakukan dengan menggunakan bak-bak kerucut yang berisi air

laut dan dipasok aerasi kuat padatingkat 10-20 liter per menit. Komposisi 5 gram

kista artemia per liter cukup untuk menetaskan kista tersebut. Jangka waktu

penetasan tergantung pada asal produk kista artemia. Ukuran panjang nauplius

artemia yang baru ditetaskan sekitar 200-300 atau tergantung pada strainnya.

Pemisahan nauplius artemia dari cangkang serta kista yang tidak menetas

dilakukan dengan cara mengumpulkan nauplii dan kotoran lalu disaring dengan

saringan 120µ. Selanjutnya, nauplii dan kotoran dicuci dengan air laut dan

dimasukkan ke dalam 15 menit. Aerasi dihentikan dan bagian bawah wadah diberi

sinar agar nauplii mengumpul didasar, sedangkan kotoran akan mengapung. Baru

setelah itu kumpulan nauplii artemia yang tampak hidup atau bergerak disipon

sambil disarin dan dicuci. Kista-kista yang tidak menetas sebaiknya tidak

dicampur dengan nauplii karena bila diberikan sebagai pakan larva maka kista

akan termakan, tetapi tidak dapat dicerna oleh larva (Siregar, Abbas. 1995).
Meskipun secara ekonomis kurang menguntungkan, tetapi secara teknis

siste atermia dapat diproduksi secara massal dalam tempat (wadah) yang

terkendali. Untuk tujuan ini dilakukan dengan memanipulasi lingkungan hidupnya

agar artemia terpaksa melangsungkan perkembangbiakan secara ovipar uang

menghasilkan telur (Siregar, Abbas. 1995).

2.9.3 Rotifer

Phyllum : Avertebrata
Kelas : Eurotaria
Ordo : Ploima
Famili : Brachionidae
Genus : Brachionus
Spesies : Brachionus sp.

Organisme rotifer berbentuk simetris bilateral manyerupai piala. Tubuh

yaitu, kepala, badan, dan kaki / ekor. Rotifer merupakan salah satu jenis rotifer

yang biasa diproduksi secara massal, Siregar, Abbas (1995). Branchionus

memiliki kecepatan pertumbuhan dan reproduksi tinggi. Pada kondisi normal,

betina memproduksi 20 butir telur atau lebih selama 7-10 hari masa hidupnya.

Kultur missal rotifera dilakukan pada bak volume 5-12 m3. Kultur dilakukan

dalam ruang terbuka yang cukup mendapatkan cahaya matahari. Secara umum

dikenal 2 metode kultur rotifera yaitu metode panen harian lebih praktis dan

mudah sedangkan pada metode transfer diperlukan bak kultur yang lebih banyak,

namun rotifera yang dihasilkan dari metode transfer lebih bersih.

2.10 Pemberian Pakan

Pada pemberian pakan perlu beberapa hal yang diperhatikan, seperti rasio

pakan, frekuensi pemberian pakan dan waktu pemberian pakan.


2.10.1. Rasio Pakan

Rasio pemberian pakan harus tepat agar pakan yang di berikan dapat

efisien dikonvesikan oleh ikan/udang sehingga kelangsungan hidup yang optimal.

Rasio pemberian pakan yang optimal ditentukan oleh jenis ikan yang dipelihara.

Jenis ikan/udang yang aktif bergerak memerlukan lebih banyak makanan

dibandingkan jenis ikan yang bergerak pasif, rasio pemberian pakan kerapu 4 -

6% (Salim, 2009).

2.10.2. Frekuensi Pemberian Pakan

Frekuensi pemberian pakan yang tepat akan menghasilkan pertumbuhan

yang optimal dan penggunaan pakan yang efisien. Frekuensi pemberian pakan

yang optimal tergantung dari jenis ikan yang dipelihara. Pada ikan yang hidup di

dasar perairan dan bergerak altif pada malam hari seperti ikan kerapu, pemberian

pakan setiap dua hari sekali. Pakan yang dimakan ikan kerapu telah dicerna 95%

setelah 36 jam (Salim, 2009).

2.10.3. Waktu Pemberian Pakan

Waktu pemberian pakan di sesuaikan dengan sifat- sifat makan organisme

yang dipelihara. Pada pemelihara ikan, waktu pemberian pakan biasanya

dilakukan pagi dan sore hari (Salim, 2009).

2.11 Survival Rate

Survival Rate atau SR adalah tingkat kelangsungan hidup. Ikan Kerapu

Tikus selama bertelur induk tidak boleh di beri pakan, dan apabila induk telah

memijah harus segera dipindahkan ke tangki yang lain. Telur yang telah dibuahi

berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Dari jumlah diperkirakan hanya 30% saja
yang dibuahi. Telur yang telah dibuahi tidak berwarna (transparan) sedangkan

yang tidak dibuahi dan yang mati berwarna putih susu. Telur yang terbuahi

melayang atau terapung pada salinitas 33 permil, sebaliknya telur yang tidak

terbuahi akan tenggelam didasar tangki. SR kerapu tikus 5% (Darwisito, 2007),

rumus untuk mencari SR adalah (Jatilaksono, 2007):

SR = Nt/No x 100%

Keterangan :

SR : Survival Rate

Nt : Jumlah ikan akhir (saat pemanenan)

No : Jumlah ikan awal (saat penebaran)

2.12 Penyakit

Permasalahan penyakit yang paling banyak pada ikan bersirip (finfish)

dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan

pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan

penyakit mulut merah. Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ditemukan beberapa

jenis bakteri yang diduga berkaitan erat dengan kasus penyakit bakterial, yaitu

Vibrio alginolyticus, V algosus, V anguillarum dan V fuscus. Diantara jenis

bakteri tersebut bakteri V alginolyticus dan V fuscus merupakan jenis yang sangat

patogen pada ikan kerapu tikus (Salim, 2009).


2.12.1.Vibrio alginolyticus

Vibrio alginolyticus dicirikan dengan pertumbuhannya yang bersifat

swarm pada media padat non selektif. Ciri lain adalah gram negatif, motil, bentuk

batang, fermentasi glukosa, laktosa, sukrosa dan maltosa, membentuk kolom

berukuran 0.8-1.2 cm yang berwarna kuning pada media TCBS. Bakteri ini

merupakan jenis bakteri yang paling patogen pada ikan kerapu tikus dibandingkan

jenis bakteri lainnya. Kematian masal pada benih diduga disebabkan oleh infeksi

bakteri V alginolyticus. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan

penggunaan berbagai jenis antibiotika seperti Chloramfenikol, eritromisina dan

oksitetrasiklin. Sifat lain yang tidak kalah penting adalah sifat proteolitik yang

berkaitan dengan mekanisme infeksi bakteri (Salim,2009).

2.12.2.Vibrio anguillarum

Dibandingkan dengan V alginolyticus, V anguillarum merupakan spesies

yang kurang patogen terhadap ikan air payau. Pada uji patogenisitas ikan kerapu

tikus ukuran 5 gram yang diinfeksi bakteri dengan kepadatan tinggi hingga 108

CFU/ikan hanya mengakibatkan mortalitas 20%. Diagnosis penyakit dapat

dilakukan dengan melakukan isolasi dan identifikasi bakteri. Penumbuhan bakteri

pada media selektif TCBS akan didapatkan koloni yang kekuningan dengan

ukuran yang hampir sama dengan koloni V alginolyticus akan tetapi bakteri ini

tidak tumbuh swarm pada media padat non-selektif seperti NA (Salim, 2009).

2.12.3.Cryptocaryonosis

Penyakit ini sering ditemukan pada ikan kerapu bebek dan macan, dengan

tanda ikan yang tersering terlihat bercak putih. Stadia parasit yang menginfeksi
ikan dan menimbulkan penyakit adalah disebut trophont berbentuk seperti

kantong atau genta berukuran antara 0.3-0.5 mm, dan dilengkapi dengan silia.

Tanda klinis ikan yang terserang adalah ikan seperti ada gangguan pernafasan,

bercak putih pada kulit, produksi mukus yang berlebihan, kadang disertai dengan

hemoragi, kehilangan nafsu makan sehingga ikan menjadi kurus. Erosi (borok)

dapat terjadi karena infeksi sekunder dari bakteri.Diagnosis dapat dilakukan

dengan melihat gejala seperti adanya bercak putih, tetapi untuk lebih

memantapkan (diagnosis definitif) perlu dilakukan pengamatan secara

mikroskopis dengan cara memotong insang, mengerok dari lendir. Serangan

penyakit dapat diatasi dengan penjagaan kualitas air. Perlakuan bahan kimia

pengendali parasit dapat dilakukan seperti perendaman dalam larutan formalin 25

ppm, perendaman ikan dalam air bersalinitas 8 ppt selama beberapa jam dan

memindahkan ikan yang sudah diperlakukan ke dalam wadah baru bebas parasit

(Salim, 2009).

2.12.4.Infestasi Trichodina sp

Penempelan Trichodina pada tubuh ikan sebenarnya hanya sebagai tempat

pelekatan (substrat), sementara parasit ini mengambil partikel organik dan bakteri

yang menempel di kulit ikan. Tetapi karena pelekatan yang kuat dan terdapatnya

kait pada cakram, mengakibatkan seringkali timbul luka, terutama pada benih dan

ikan muda. Pelekatan pada insang juga seringkali disertai luka dan sering

ditemukan set darah merah dalam vakuola makanan Trichodina. Pada kondisi ini

maka Trichodina merupakan ektoparasit sejati. Trichodina yang merupakan


ektoparasit pada ikan air laut mempakan spesies yang bersifat sebetulnya lebih

bersifat komensal daripada ektoparasit (Salim,2009).

Trichodina spp. yang didapatkan pada ikan air payau merupakan spesies

yang memiliki toleransi yang luas terhadap kisaran salinitas. Trichodina yang

menempel di insang umunmya berukuran lebih kecil dibandingkan yang hidup di

kulit, contohnya adalah Trichodinella. Ikan yang terserang Trichodina biasanya

warna tubuhnya terlihat pucat, produksi lendir yang berlebihan dan terlihat kurus.

Diagnosis dapat dilakukan dengan cara melakukan pengerokan (scraping) pada

kulit, atau mengambil lembaran insang dan melakukan pemeriksaan secara

mikroskopis.Pencegahan terhadap wabah penyakit adalah dengan cara

pengendalian kualitas lingkungan, karena mewabahnya penyakit berkaitan dengan

rendahnya kualitas lingkungan. Perlakuan terhadap ikan yang terinfeksi oleh

parasit adalah dengan cara perendaman dalam larutan formalin 200-300 ppm

(Salim, 2009).

2.12.5.Caligus sp parasit golongan Crustacea

Parasit jenis ini sering, ditemukan baik pada induk ikan maupun di

tambak. Penempelan ektoparasit ini dapat menimbulkan luka, dan akan lebih

parah lagi karena ikan yang terinfeksi dengan parasit sering menggosok-gosokkan

tubuhnya ke dinding bak atau substrat keras lainnya. Timbulnya luka akan diikuti

dengan infeksi bakteri Caligus sp. berukuran cukup besar sehingga dapat diamati

dengan tanpa bantuan mikroskop. Perlakuan ikan terserang parasit cukup mudah,

yaitu hanya merendamnya dalam air tawar selama beberapa menit. Perlakuan
dengan formalin 200-250 ppm juga cukup efektif. Penggunaan bahan seperti

Triclorvon (Dyvon 95 SP) hingga 2 ppm dapat mematikan parasit (Salim, 2009).

2.12.6 Virus

Jenis viral atau virus yang telah teridentifikasi menyerang ikan laut adalah

Iridovirus/ DNA. Virus ini menyebabkan hypertrophy(penebalan) dari sel-sel

jaringan ikan, menimbulkan tonjolan pada daerah sirip atau kulit (nodul)yang

dapat terjadi secara sata-satu atau kelompok. Virus lain yang menyerang ikan laut

adalah Nodavirus, yaitu virus penyebab VNN (Viral Nervous Necrosis). VNN

merupakan virus yang mematikan, terutama menyerang larva dan juwana ikan laut

(Khordi, 2010).

Hingga kini belum ditemukan obat yang efektif untuk mengatasi virus,

baik iridovirus maupun nodavirus, sehingga ikan yang terserang penyakit ini

sebaiknya dimusnahkan agar tidak menular ke ikan lain (Khordi, 2010).


III PELAKSANAAN

3.1 Tempat dan Waktu

Praktek kerja lapang ini akan dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau

terletak di Desa Pecaron, Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Propinsi

Jawa Timur (Lampiran 1). Kegiatan ini dilaksanakan mulai pertengahan 19 Juli –

31 Agustus 2010.

3.2 Metode Kerja

Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapang ini adalah metode

deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan keadaan atau kejadian pada suatu

daerah tertentu. Suryabrata (1993) mengatakan bahwa metode deskriptif adalah

metode untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang diambil dalam Praktek Kerja Lapangan ini berupa data primer

dan data sekunder yang yang diperoleh melalui beberapa metode atau cara atau

cara pengambilan.

3.3.1 Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya,

diamati dan dicatat untuk pertama kalinya melalui prosedur dan teknik
pengambilan data yang berupa interview, observasi, partisipasi aktif maupun

memakai instrumen pengukuran yang khusus sesuai tujuan (Azwar, 1998).

A. Observasi

Observasi atau pengamatan secara langsung adalah pengambilan data

dengan menggunakan indera mata tanpa ada pertolongan alat standart lain untuk

keperluan tersebut (Nazir, 1998). Observasi pada Praktek Kerja Lapang ini

dilakukan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan kegiatan pembenihan

meliputi persiapan alat dan wadah budidaya, pengisian media, pembuatan pupuk,

penebaran bibit, pemeliharaan dan pemanenan.

B. Wawancara

Wawancara merupakan cara mengumpulkan data dengan cara tanya jawab

sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan

penelitian. Wawancara memerlukan komunikasi yang baik dan lancar antara

peneliti dengan subyek sehingga pada akhirnya bisa didapatkan data yang dapat

dipertanggungjawabkan secara keseluruhan (Nazir, 1988).

Pada Praktek Kerja Lapang ini wawancara akan dilakukan dengan

menggunakan pedoman wawancara. Dalam proses wawancara dengan

menggunakan pedoman umum wawancara ini, interview dilengkapi pedoman

wawancara yang sangat umum serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput

tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan

yang eksplisit (Patton, 1998)

Patton dalam Poerwandari (1998) menjelaskan pedoman wawancara

digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus


dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan

tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer

harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit

dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual

saat wawancara berlangsung.

C. Partisipasi Aktif

Partisipasi aktif adalah keterlibatan dalam suatu kegiatan yang dilakukan

secara langsung di lapangan (Nazir, 1988). Kegiatan yang dilakukan adalah

pembenihan ikan Kerapu Tikus. Kegiatan tersebut diikuti secara langsung mulai

dari persiapan alat dan wadah budidaya, pengisian media, penebaran bibit,

pemeliharaan dan pemanenan serta kegiatan lainnya yang yang berkaitan dengan

Praktek Kerja Lapang yang dilakukan.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung dan

telah dikumpulkan serta dilaporkan oleh orang diluar dari penelitian itu sendiri

(Azwar,1998). Data ini dapat diperoleh dari data dokumentasi, lembaga

penelitian, dinas perikanan, pustaka-pustaka, laporan-laporan pihak swasta,

masyarakat dan pihak lain yang berhubungan dengan usaha pembenihan ikan

Kerapu Tikus.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang

4.1.1 Sejarah Berdirinya

Balai Budidaya Air Payau Situbondo didirikan pada tahun 1986. Pada

awalnya balai ini bernama Proyek Sub Senter Udang Windu Jawa Timur yang

pada saat itu masih berupa fasilitas pemeliharaan benur udang windu di bawah

naungan Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Sub Senter Udang

Windu ini terletak di Desa Blitok, Kecamatan Mlandingan, Kabupaten Situbondo

dan merupakan cabang dari BBAP Jepara, Jawa Tengah. Sub Senter Udang

Windu ini kemudian melepaskan diri dari Balai Budidaya Air Payau Jepara dan

berganti nama menjadi Loka Balai Budidaya Air Payau Situbondo yang

ditetapkan pada tanggal 18 April 1994 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian

Nomor: 264/Kpts/OT.210/4/94. Loka Balai Budidaya Air Payau Situbondo terdiri

dari tiga divisi meliputi divisi ikan, divisi udang dan divisi budidaya.

Loka Balai Budidaya Air Payau Situbondo merupakan Unit Pelaksana

Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan di bidang pengembangan produksi

budidaya perikanan air payau yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Dengan beban tugas dan

tanggung jawab yang semakin berat, maka pada tanggal 1 Mei 2001 status Loka

Balai Budidaya Air Payau dinaikkan menjadi Balai Budidaya Air Payau
Situbondo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan No.

KEP. 260/MEN/2001.

4.1.2 Letak dan Keadaan Lokasi

Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo teletak di jalan raya

Pecaron, Panarukan Situbondo, Jawa Timur. BBAP ini terdiri dari 3 divisi yaitu :

divisi udang, divisi ikan, dan divisi budidaya. Divisi ikan terletak di Dusun

Pecaron, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo yang

merupakan kantor utama dengan luas areal 4,39 Ha.

Divisi udang terletak di 3 lokasi yang berbeda yaitu : 1. Unit Blitok,

Kecamatan Mlandingan sekitar 10 Km ke arah Barat dari kantor utama dengan

luas areal 1,45 Ha. 2. Unit Gelung yang terletak di desa Gelung Kecamatan

Panarukan sekitar 25 Km ke arah Timur dari kantor utama dengan luas areal 8 Ha.

3. Unit Tuban yang terletak di Kabupaten Tuban dengan luas areal 7 Ha. Divisi

budidaya terletak di Desa Pulokerto Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan

dengan luas areal 30 Ha yang merupakan areal untuk produksi rumput laut

Glacilaria, udang, dan ikan bandeng.

Lokasi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo ini berbatasan dengan:

a. Sebelah Barat berbatasan dengan usaha pembenihan Kelola Benih Ungul

(KBU) dan pemukiman penduduk.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan hatchery udang milik PT. Central Pertiwi

Bahari (CPB).

c. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura.


d. Sebelah Selatan berbatasan dengan pemukiman desa Klatakan.

Secara geografis, BBAP Situbondo terletak pada 113o55’66”BT-114”BT

dan 07o41’32” LS-07o42’35”LS. BBAP Situbondo berada di tepi pantai utara

Pulau Jawa dan lokasi ini dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim penghujan

(November-Maret) dan musim kemarau (April-Oktober). Peta wilayah kabupaten

Situbondo, Jawa Timur dapat dilihat pada lampiran.

4.1.3 Struktur Organisasi

Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan RI,

No.Kep.260/MEM/2001 tentang organisasi dan tata kerja BBAP Situbondo,

terdiri dari:

1. Kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo

2. Kepala Bagian Tata Usaha

3. Seksi Standarisasi dan Informasi

4. Seksi Pelayan Teknis

5. Kelompok Jabatan Fungsional

Susunan organisasi BBAP Situbondo secara lengkap dapat dilihat pada

gambar 1 dengan uraian tugas sebagai berikut:

1. Kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo

Kepala BBAP Situbondo memiliki tugas dan wewenang seperti :

merumuskan kegiatan, mengkoordinasi dan mengarahkan tugas penerapan teknik

pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau maupun laut serta pelestarian

sumber daya induk atau benih sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku

untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan.


2. Kepala bagian tata usaha

Kepala bagian tata usaha bertugas melakukan administrasi keuangan,

kepegawaian, perlengkapan, persuratan, dan rumah tangga BBAP Situbondo serta

pelaporan.

3. Seksi Standarisasi dan Informasi

Seksi standarisasi dan informasi mempunyai tugas menyiapkan bahan

standar teknik dan pengawasan pembenihan dan budidaya ikan air payau dan laut,

pengendalian hama dan penyakit serta lingkungan, sumber daya induk dan benih,

serta pengelolahan jaringan informasi dan perpustakaan.

4. Seksi Pelayaan Teknik

Seksi pelayanan teknik bertugas melakukan pelayanan teknik kegiatan

pengembangan, penerapan serta pengawasan teknik pembenihan dan budidaya

ikan air payau dan laut.

5. Kelompok Jabatan Fungsional

Kelompok jabatan fungsional bertugas melaksanakan kegiatan

perekayasaan, pengujian, penerapan dan bimbingan penerapan standar/sertifikasi

pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau dan laut, pengendalian hama dan

penyakit ikan, budidaya dan penyuluhan, serta kegiatan lain yang sesuai dengan

tugas masing-masing jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.


4.1.4 Kepegawaian

Dalam melakukan tugasnya Balai Budidaya Air Payau Situbondo didukung

sumberdaya manusia sebanyak 143 orang karyawan berstatus pegawai negeri sipil

dengan berbagai tingkat pendidikan. Tabel berikut memperlihatkan dukungan

sumberdaya manusia di BBAP Situbondo.

Tabel 1. Dukungan Sumberdaya Manusia di BBAP Situbondo.


No Klasifikasi Kualifikasi Jumlah (orang)
1 Tingkat pendidikan Master (S2) 10
Sarjana (S1) 45
Lainnya 88
Jumlah 143
2 Fungsional Perekayasa 17
Litkayasa 16
Pengawas 27
Pranata Humas 3
Umum 26
Lainnya 54
Jumlah 143

4.2 Sarana dan Prasarana Umum BBAP Situbondo

4.2.1 Sarana Umum

A. Sarana Budidaya

Sarana budidaya merupakan factor utama yang mendukung kegiatan

pembenihan sehingga perlu diperhatikan bentuk dan posisisnya. Sarana Budidaya

yang digunakan di Balai Budidaya Air Payau Situbondo untuk kegiatan

pembenihan meliputi wadah tandon air yang terbuat dari beton, wadah

pemeliharaan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pemeliharaan benih,

kultur mikroalga, kultur rotifer, dan wadah inkubasi telur yang berbentuk

akuarium kaca.
Tabel 2. Sarana Budidaya Di BBAP Situbondo
Bak/Wadah Bahan Bentuk Dimensi Volume Jumlah
3
Tandon Beton Persegi 4,2 m x 4,2 m x 2,35 m 41,454 m 3 unit
3
Bak Filter Fisik Beton Persegi 4,2 m x 4,2 m x 1,37 m 24,1668 m 5 unit
Pemeliharaan dan Pemijahan Induk
Kerapu Beton Lingkaran d = 10 m, t = 3 m 235,5 m3 4 unit
3
Bawal Bintang Beton Lingkaran d = 10 m, t = 3 m 235,5 m 1 unit
3
Bandeng Beton Lingkaran d = 15 m, t = 3 m 529,875 m 2 unit
Penetasan Telur
Akuarium Kaca Persegi 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m 0,125 m3 5 unit
3
Bak Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 24 unit
3
Pemeliharaan Larva Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 24 unit
3
Pemeliharaan Benih Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 24 unit
Kultur Pakan Alami
Rotifer Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m3 4 unit
3
Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,5 m 12,5 m 10 unit
Chlorella Beton Persegi 5 m x 3 m x 1,4 m 21 m3 8 unit
3
Beton Lingkaran d = 5 m, t = 2 m 39,25 m 1 unit
3
Bak Karantina Beton Persegi 2 m x 5 m x 1,25 m 12,5 m 8 unit
3
Egg Collector PVC Persegi 135 cm x 50 cm x 130 cm 877500 cm 5 unit

B. Air Laut

Air laut merupakan faktor penting dalam kegiatan pembenihan. Suplai air

di BBAP Situbondo berasal dari selat Madura, yang berjarak 200 m dari balai.

Pengambilan air laut menggunakan pipa berdiameter 8 inchi yang bagian

ujungnya dilengkapi dengan filter hisap dan dihubungkan langsung dengan pompa

electromotor berkapasitas 21 PK. Air laut langsung dilarikan ke bak pemeliharaan

induk melalui pipa saluran berupa pipa berdiameter 4 inchi. Sedangkan untuk

mendistribusian air laut ke bak pembenihan dan bak kultur pakan alami, air laut

tersebut terlebih dahulu disaring dengan menggunakan saringna fisik atau sand

filter ukuran 225 cm x 100 cm x 100 cm. Sand filter di BBAP Situbondo tersusun

dari bawah ke atas berupa batu kali, kerikil, bungkusan arang, ijuk, waring dan
pasir. Setelah air melewati saringan tersebut, maka air akan terbebas dari kotoran

air yang berukuran besar.

Air yang telah melalui tahap penyaringan dipompa ke tendon air laut pada

ketinggian 2 m di atas permukaan tanah menggunakan pompa yang berkapasitas

7,5 PK melalui pipa yang berdiameter 4 inchi. Tandon air laut inilah yang menjadi

sumber air yag nantinya akan dialirkan ke bak-bak pembenihan, akuarium

inkubasi telur dan bak kultur pakan alami. Air dialirkan dengan sistem gravitasi

sebab posisi tandon berada lebih tinggi dari bak-bak yang lainnya dan dibantu

dengan menggunakan pompa. Tandon air laut untuk pembenihan timur terdapat di

bagian belakang pembenihan yang menjadi satu dengan tandon air laut

pembenihan tengah. Antara kedua tandon tersebut hanya dipisah dengan dinding

beton.

C. Air Tawar

Penyediaan air tawar digunakan untuk kebutuhan kegiatan pembenihan, air

minum, keperluan karyawan BBAP Situbondo dan asrama. Air tawar didapatkan

dari 3 sumber sumur dengan kedalaman 10 m. Air tersebut dipompa, lalu

ditampung dalam tandon dengan ketinggian 3 m dari permukaan tanah ke unit

pembenihan, laboratorium, kantor, perumahan karyawan, dan asrama.

D. Aerasi

Ketersediaan oksigen di BBAP Situbondo disuplai dengan menggunakan

high blower. Udara dari blower dialirkan langsung dengan menggunakan pipa

PVC ukuran 3 inchi dan 1 inchi dengan sistem tertutup yang dilengkapi dengan
selang aerasi, batu aerasi dan pemberat yang terbuat dari timah agar selang aerasi

berada di bawah permukaan air.

Tabel 3. Distribusi Sistem Aerasi di BBAP Situbondo


No Sumber Aerasi Spesifikasi Distribusi
1 Blower Vortex Daya 7 PK Bak penggelondongan dan
bak induk di pembenihan
timur.
2 Rood Blower Daya 5 PK Bak karantina, pembenihan
timur dan sebagian
pembenihan tengah dan
kultur pakan alami timur.
3 Blower Vortex Daya 7 PK Pembenihan barat, kultur
pakan alami barat, dan
pembenihan tengah.

4.2.2 Prasarana

A. Bangunan

Jenis bangunan yang terdapat di BBAP Situbondo terdiri dari kantor utama,

kantor tata usaha, laboratorium pakan alami, laboratorium nutrisi, laboratorium

kesehatan ikan dan kualitas air, mushola, perpustakaan, aula (auditorium), ruang

kuliah, pos jaga, dan perumahan untuk karyawan BBAP Situbondo. Uraian dari

fasilitas pendukung di BBAP Situbondo dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 4. Fasilitas Pendukung di BBAP Situbondo


Uraian Spesifikasi Jumlah
Listrik
PLN 60 KVA 1 unit
Genset 80 KVA 1 unit
Bangunan
Kantor Kantor Utama (Kepala Balai) 1 unit
Kantor Tata Usaha 1 unit
Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan 1 unit
Kesehatan Ikan dan Lingkungan 1 unit
Pakan Alami 1 unit
Rumah Karyawan Rumah Karyawan 1 unit
Rumah Tamu 1 unit
Rumah Genset Genset dan Panel Listrik 1 unit
Rumah Blower Blower 1 unit
Asrama Mahasiswa dan Peserta Magang 1 unit
Bangsal Pakan Tempat Pembuatan Pakan 1 unit
Lainnya Perpustakaan 1 unit
Aula (auditorium) 1 unit
Ruang Kuliah 1 unit
Alat Angkut (transportasi)
- Pick up L – 300 1 unit
- Suzuki Future 1 unit
- Isuzu Panther 1 unit
- Toyota Kijang 1 unit

B. Tenaga Listrik

Listrik merupakan komponen yang sangat vital untuk kegiatan budidaya.

Energi listrik digunakan untuk penerangan, menjalankan pompa, blower dan

peralatan lainnya yang membutuhkan energi listrik. Sumber tenaga listrik di

BBAP Situbondo berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan daya 60

KVA. Sebagai antisipasi jika terjadi pemutusan arus listrik, BBAP Situbondo

menyediakan generator set berdaya 80 KVA. Saat terjadi pemadaman listrik, akan

terdengar tanda dari sirine secara otomatis. Setelah itu, generator set akan segera

difungsikan untuk tetap mendukung suplai listrik bagi kegiatan budidaya.


4.3 Teknik Pembenihan Kerapu Tikus

4.3.1 Persiapan Induk

Induk ikan kerapu yang dipijahkan dipelihara di laut dalam kurungan apung

dengan padat penebaran induk 7,5 - 10 kg/m3 . Pakan yang diberikan berupa ikan

rucah segar berkadar lemak rendah. Diluar pemijahan ikan, takaran pakan yang

diberikan sebesar 3 - 5% dari total berat badan ikan/hari, sedangkan pada musim

pemijahan diturunkan menjadi 1%. Disamping itu diberikan pula vitamin E

dengan dosis 10 - 15 mg/ekor/minggu, (Anonim, 2010).

Induk kerapu bebek Cromileptes altivelis yang dimiliki oeh BBAP

Situbondo berasal dari alam dan hasil budidaya. Induk yang berasal dari alam

didapatkan dari alam didapatkan dari hasil penangkapan para nelayan daerah

perairan laut bali dan Lombok. Sedangkan induk yang berasal dari budidaya

didapatkan dari hasil budidaya (F1) yang dilakukan oleh balai. Induk-induk yang

baru datang dikarantina dalam bak karantina selama 1-2 bulan untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang terdapat di BBAP Situbondo.

BBAP Situbondo memiliki jumlah induk 65 ekor yang terdiri dari 17 ekor induk

jantan dan 48 ekor induk betina. Induk jantan memiliki ukuran bobot yang lebih

besar dibandingkan dengan induk betina. Bobot induk betina sebesar 1-3,5 kg dan

bobot induk jantan lebih dari 5 kg. ikan kerapu memiliki sifat hemaprodit

protogini yaitu pada tahap menuju perkembangan dewasa berjenis kelamin betina

kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar dan bertambah tua. Untuk

masa peralihan kelamin biasanya induk memiliki berat 3,5-5 kg.


Proses persiapan wadah indukan dilakukan dengan cara membuang semua

air yang terdapat dalam bak induk. Hal tersebut dilakukan dengan cara membuka

outlet seluruhnya. Bak tersebut dibersihkan dari lumut-lumut yang menempel, sisa

pakan, dan kotoran ikan dengan menggunakan sikat. Setelah bak tersebut bersih,

dinding-dinding bak disiram dengan kaporit 60% sebanyak 1,5 – 2 kg yang

dilarutkan dalam 25 liter air sebagai upaya desinfeksi wadah dan disikat kembali

hingga benar-benar bersih. Selanjutnya, bak disiram kembali dengan air tawar

sampai bau kaporitnya hilang. Bak tersebut dikeringkan selama 3 – 6 hari. Setelah

itu, bak sudah dapat diisi kembali dengan air laut. Selang aerasi pun harus dicuci

dengan menggunakan detergen lalu dibilas dan dipasang kembali. Setelah semua

tahapan di atas selesai, bagian atas bak dipasang jaring yang berbahan

polyethylene yang disanggah dengan menggunakan tiang kayu. Tujuan dari

pemasangan jaring ini adalah untuk menjaga agar induk tidak melompat keluar

dari bak.

4.3.2 Seleksi Induk

Induk kerapu tikus di BBAP Situbondo berasal dari hasil budidaya dan

tangkapan alam yang ditangkap oleh nelayan. Indukan tersebut ditangkap dengan

menggunakan bubu, jaring, ataupun pancing. Setelah ditangkap, induk tersebut

dipelihara selama hingga menjadi indukan kerapu tikus yang siap memijah. Induk

betina yang digunakan adalah yang berumur 1 – 2 tahun, sedangkan induk jantan

yang telah berumur 3 tahun.

Sebelum dilakukan penebaran, induk yang akan memijah diseleksi terlebih

dahulu dan diaklimatisasikan. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan induk yang
berkualitas dan sudah dapat untuk dipijahkan. Seleksi yang dilakukan adalah

menentukan jenis kelamin induk agar rasio jantan dan betina dapat mendekati

ideal. Rasio jantan dan betina yang ideal adalah 1 : 2. Perbedaan antara jantan dan

betina dapat dibedakan dari umur, berat badan, dan pemeriksaan alat kelamin.

Menurut Cholik, et al (2005)., Ikan kerapu tikus merupakan hewan yang

bersifat “protogynous hermaphrodite” yaitu pada awalnya berkelamin betina lalu

berubah menjadi jantan dengan jangka waktu tertentu. Induk betina kerapu tikus

berumur 1 – 3 tahun, sedangkan induk jantan lebih dari 3 tahun. Pemeriksaan

dilakukan dengan cara menimbang berat badan induk. Induk betina umumnya

mempunyai berat tubuh 1–2,5 kg dengan panjang tubuh lebih dari 40 cm.

Pemeriksaan alat kelamin dilakukan dengan cara mengurut bagian perut ke arah

anus, jika keluar sperma maka induk tersebut adalah jantan, sedangkan jika tidak

keluar, dapat dilakukan dengan kanulasi. Jika terdapat telur, maka induk tersebut

adalah betina.

Aklimatisasi induk dilakukan dengan cara memelihara induk pada wadah

yang berbeda. Tujuan aklimatisasi adalah untuk mengadaptasikan ikan pada

wadah budidaya dan dilakukan pengobatan jika induk terserang penyakit sampai

benar-benar sembuh. Proses aklimatisasi berakhir jika induk sudah mau makan

dan benar-benar terbebas dari penyakit. Induk yang telah diseleksi dan

diaklimatisasi kemudian disatukan dalam wadah pemijahan. Jumlah induk yang

terdapat di Balai Budidaya Air Payau Situbondo adalah 65 ekor, yang terdiri dari

17 ekor jantan, dan 48 ekor betina.


Hal ini sependapat dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa

kematangan kelamin induk jantan ikan kerapu diketahui dengan cara mengurut

bagian perut ikan (stripping) ke arah awal sperma yang keluar warna putih susu

dan jumlahnya banyak diamati untuk menentukan kualitasnya. Kematangannya

kelamin induk betina diketahui dengan cara kanulasi, yaitu memasukkan selang

plastik ke dalam lubang kelamin ikan, kemudian dihisap. Telur yang diperoleh

diamati untuk mengetahui tingkat kematangannya, garis tengah (diameter) telur

diatas 450 mikron.

A. Pemberian Pakan

Pada pemberian pakan perlu beberapa hal yang diperhatikan, seperti rasio

pakan, frekuensi pemberian pakan dan waktu pemberian pakan. Rasio pemberian

pakan harus tepat agar pakan yang di berikan dapat efisien dikonvesikan oleh

ikan/udang sehingga kelangsungan hidup yang optimal. Rasio pemberian pakan

yang optimal ditentukan oleh jenis ikan yang dipelihara. Jenis ikan/udang yang

aktif bergerak memerlukan lebih banyak makanan dibandingkan jenis ikan yang

bergerak pasif. (Menurut Danakusumah dan Imanishi.1986), rasio pemberian

pakan kerapu 4 - 6%.

Selama pemeliharaan ikan kerapu tikus di BBAP Situbondo, induk kerapu

tikus diberi pakan rucah berupa ikan segar dengan kandungan lemak rendah dan

memiliki kadar protein yang tinggi (lebih dari 70%) seperti ikan layur, ekor

kuning, nelanak, lemuru, kembung tongkol, dan cumi-cumi. Pakan tersebut

didapatkan dari nelayan yang menangkap langsung di laut. Untuk


mempertahankan kesegaran pakan, maka pakan tersebut disimpan di dalam

freezer. Setiap hari ikan rucah yang diberikan dibedakan jenisnya, hal ini

bertujuan agar induk tidak jenuh dengan ikan yang diberikan. Selain itu,

pergantian jenis rucah yang diberikan juga bertujuan untuk menambah nafsu

makan induk. Pemberan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 WIB

dengan frekuensi pemberian pakan 1 kali sehari yang diberikan secara perlahan

hingga induk kenyang. Pakan yang akan diberikan pada induk terlebih dahulu

direndam dalam air tawar untuk menghilangkan es, bau amis pada ikan serta

melepaskan ektoparasit yang menempel pada tubuh ikan. Kemudian ikan

dipotong-potong sesuai dengan ukuran bukaan mulut induk.

Selain pakan ikan rucah, pemberian vitamin juga dilakukan terhadap

indukan kerapu tikus. Tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan ikan dan untuk

mempercepat perkembangan dan kematangan gonad. Vitamin yang diberikan

adalah vitamin B, C dan E. Dosis vitamin tersebut masing-masing adalah 50

mg/kg induk, 50 mg/kg induk, dan 100 IU dengan merek dagang Natur E.

Pemberian vitamin B berguna untuk menambah nafsu makan ikan. Vitamin C

berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit.

Vitamin E diberikan untuk mempercepat kematangan gonad induk.

Proses pemberian vitamin adalah dengan cara memasukkan vitamin tersebut

ke dalam daging ikan rucah. Cara memasukkannya adalah dengan menyayat tubuh

ikan pada bagian bawah sirip dorsal ataupun pada bagian daging atas perut.

Pemberian vitamin tersebut dilakukan selama dua kali seminggu. Jadwal

pemberian pakan dan vitamin dapat dilihat pada tabel 6.


B. Pengelolaan Air

Lokasi budidaya yang ideal, selain pertimbangan umum di atas, juga harus

memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas airnya. Faktor kualitas air yang perlu

dipertimbangkan untuk pemeliharaan pembenihan Kerapu tikus meliputi sifat

fisika : Suhu dan Kecerahan, dan kimia meliputi : pH, DO dan Salinitas.

Pemenuhan akan kebutuhan air harus diupayakan agar produksi benih ikan laut

yang berkualitas, dalam jumlah yang cukup, dan kontunu dapat berhasil (Ghufran,

M dan Andi Tamsil. 2010).

Di BBAP Situbondo sendiri air merupakan media utama bagi kehidupan

ikan. Oleh karena itu kualitas air sangat menentukan kelangsugan hidup ikan.

Selain itu kualitas air yang terjaga juga sangat menentukan proses pemijahan

induk dan kualitas telur yang dihasilkan oleh induk. Pergantian air untuk indukan

kerapu tikus dilakukan setiap hari. Hal ini penting untuk menjaga kualitas air tetap

baik. Pada bak induk terdapat dua buah outlet yaitu pembuangan air bawah dan

pembuangan air atas. Pembuangan air bawah berfungsi sebagai pembuangan

kotoran hasil metabolisme dan sisa-sisa pakan. Sedangkan pembuangan air atas

berfungsi sebagai pengatur ketinggian air pada bak dan untuk mengalirkan telur

hasil pemijahan ke arah bak penampungan telur (egg collector).

Setelah pemberian pakan di pagi hari, air di bak indukan diturunkan sampai

ketinggian air mencapai 30 % dari volume bak. Setelah mencapai ketinggian

tersebut, dapat juga dilakukan penggelontoran pada bak induk. Penggelontoran

dilakukan dengan cara mendorong kotoran di dasar bak menggunakan sikat yang

telah diberi kayu yang cukup panjang hingga mencapai dasar bak menuju pipa
outlet sehingga keluar bersama dengan air. Penggelontoran bak induk dilakukan

setiap 4 – 6 hari sekali atau disesuaikan dengan kondisi bak. Setelah dilakukan

penggelontoran atau hanya menurunkan air hingga 30 %, pipa outlet dipasang

setengahnya. Pada sore hari, pukul 16.00 – 17.00 WIB pipa outlet dipasang

seluruhnya. Sirkulasi dengan cara ini dapat mengganti air sebanyak 200 – 300 %

dari total volume bak.

C. Pencegahan Hama dan Penyakit

Permasalahan penyakit yang paling banyak pada ikan bersirip (finfish)

dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan

pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan

penyakit mulut merah. Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ditemukan beberapa

jenis bakteri yang diduga berkaitan erat dengan kasus penyakit bakterial, yaitu

Vibrio alginolyticus, V algosus, V anguillarum dan V fuscus. Diantara jenis

bakteri tersebut bakteri V alginolyticus dan V fuscus merupakan jenis yang sangat

patogen pada ikan kerapu tikus (Salim, 2009).

Penyakit yang umumnya menyerang induk kerapu tikus disebabkan oleh

trematoda, protozoa, jamur, bakteri, dan virus. Bakteri dan virus menyerang ketika

induk terdapat luka. Virus yang sering menyerang adalah VNN (Viral Nervous

Necrosis). Jenis parasit yang sering menyerang adalah Argulus sp. Gejala yang

timbul saat induk kerapu tikus terkena Argulus adalah nafsu makan menurun,

warna kulit pucat, serta produksi lendir meningkat. Selain itu, ikan akan

cenderung mengosok-gosokan tubuhnya ke dinding bak dan berenang di

permukaan air dengan tingkah laku bernafas dengan cepat dengan tutup insang
terbuka. Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan cara merendam induk

kerapu di dalam air tawar selama 15 menit. Bakteri yang menyerang induk kerapu

disebabkan oleh bakteri Vibrio sp.. Bakteri ini menyebabkan kerusakan pada sirip

ikan. Pengendalian penyakit ini adalah dengan merendam induk dalam salah satu

larutan ini yaitu Arciflavin (1–2 ppm selama 2 jam), Furazolidone (10–15 ppm

selama 2 jam), prefuran (0,3–0,5 ppm selama 2 jam), dan hidrogen peroksida (1–2

ppm selama 2 jam). Larutan yang biasa digunakan adalah Furazolidone karena

tingkat efektifitasnya paling tinggi.

D. Ciri-ciri Induk Matang Gonad

Ciri induk kerapu tikus yang akan memijah ditandai dengan berenang

vertikal dan induk jantan mengejar induk betina. Biasanya sebelum memijah nafsu

makan induk menurun. Induk betina perutnya terlihat lebih besar terutama

setengah bagian belakang. Induk jantan terlihat lebih cerah dan alat kelaminnya

menjadi kemerah-merahan.

Pengukuran sampling tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan

teknik kanulasi pada induk betina. Telur yang diambil menggunakan kateter

diukur diameter telurnya. Sedangkan pada ikan jantan dapat dilakukan

stripping/diurut hingga mengeluarkan sperma. Kemudian kekentalan dan

pergerakkan sperma diamati.

Hal ini sependapat dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa

kematangan kelamin induk jantan ikan kerapu diketahui dengan cara mengurut

bagian perut ikan (stripping) ke arah awal sperma yang keluar warna putih susu

dan jumlahnya banyak diamati untuk menentukan kualitasnya. Kematangannya


kelamin induk betina diketahui dengan cara kanulasi, yaitu memasukkan selang

plastik ke dalam lubang kelamin ikan, kemudian dihisap. Telur yang diperoleh

diamati untuk mengetahui tingkat kematangannya, garis tengah (diameter) telur

diatas 450 mikron, (Anonim, 2010).

4.3.3 Pemijahan

Metode pemijahan induk kerapu tikus yang dilakukan di BBAP Situbondo

dilakukan dengan dua cara, yaitu pemijahan alami dan pemijahan dengan

rangsangan hormon.

A. Pemijahan Alami

Metode pemijahan alami (nature spawning) dilakukan dengan cara

memanipulasi lingkungan dengan menurunkan ketinggian air dalam bak

pemeliharaan induk sampai ± 100 cm dan dibiarkan selama 5 – 7 jam. Perlakuan

ini dapat menaikkan suhu air pada bak pemijahan sekitar 1 – 3 0C. Manipulasi ini

mengikuti keadaan pasang surut di alam sehingga ikan akan terangsang untuk

melakukan pemijahan.

Pemijahan ikan kerapu biasanya terjadi pada bulan gelap (antara tanggal 6–

17). Pemijahan terjadi pada malam hari antara pukul 22.00 – 02.00 WIB. Induk

kerapu tergolong ikan yang melakukan pemijahan sepanjang tahun. Proses

pemijahan ikan kerapu diawali dengan induk betina mengeluarkan telur kemudian

disusul induk jantan yang mengeluarkan sperma sehingga terjadi pembuahan.

Telur yang mengapung akan mengikuti arus ke pembuangan atas dan ditampung

di dalam egg collector. Menurut Cholik, et al (2005) satu induk betina dapat

menghasilkan telur rata-rata 200.000 – 300.000 butir telur pada ukuran 3-4 kg.
Hal ini sependapat dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa Metode

yang digunakan adalah manipulasi lingkungan. Untuk merangsang terjadinya

perkawinan antara jantan dengan induk betina matang kelamin digunakan metoda

manipulasi lingkungan di bak terkontrol. Teknik pemijahan dengan manipulasi

lingkungan ini dikembangkan berdasarkan pemijahan ikan kerapu di alam, yaitu

dengan rangsangan atau kejutan faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kadar

garam, kedalaman air dan lain-lain. Pemijahan mengikuti fase peredaran bulan;

pada saat bulan terang atau bulan gelap.

B. Pemijahan dengan Rangsangan Hormon

Induk kerapu matang kelamin dipindahkan ke bak pemijahan yang

sebelumnya telah diisi air laut bersih dengan ketingian 1,5 m dan salinitas + 32

‰. Manipulasi lingkungan dilakukan menjelang bulan gelap yaitu dengan cara

menaikkan dan menurunkan permukaan/tinggi air setiap hari. Mulai jam 09.00

sampai jam 14.00 permukaan air diturunkan sampai kedalaman 40 cm dari dasar

bak. Setelah jam 14.00 permukaan air dikembangkan ke possisi semula (tinggi air

1,5 m). Perlakuan ini dilakukan terus menerus sampai induk memijah secara

alami. Rangsangan hormonal induk kerapu matang kelamin disuntik dengan

hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan Puberogen untuk

merangsang terjadinya pemijahan. Pengamatan pemijahan ikan dilakukan setiap

hari setelah senja sampai malam hari. Pemijahan umumnya terjadi pada malam

hari antara jam 22.00 - 24.00 WIB.

Hasil pengamatan di lapangan, pemijahan dengan rangsangan hormon

dilakukan karena kondisi lingkungan tidak memungkinkan untuk proses


kematangn gonad dan pemijahan. Hormon yang digunakan untuk pemijahan

metode ini dengan menggunakan hormon HCG (Human Chrionic Gonadotropin).

Penyuntikan dilakukan pada induk ikan yang diameter oocyte (bulatan telur)

mencapai 0,4 mm yang berarti induk telah mencapai tingkat kematangan gonad

dan siap untuk dikawinkan. Penyuntikan dilakukan pada pagi hari. Induk ikan

dibius, kemudian disuntik pada bagian punggung dibawah duri ketiga atau pada

bagian dibawah sirip dada terutama untuk induk yang berukuran besar dan

membutuhkan hormon yang lebih banyak. Penyuntikan dilakukan dengan dosis

250 dan 50 IU per kilogram bobot badan.

4.3.4 Pemanenan Telur

Menurut (Anonim, 2010) bak yang dipergunakan untuk penetasan telur

sekaligus juga merupakan bak pemeliharaan larva, terbuat dari beton, berbentuk

empat persegi panjang dengan ukuran 4 x 1 x 1 m³ . Tiga hari sebelum bak

penetasan/bak pemeliharaan larva digunakan, perlu dipersiapkan dahulu dengan

cara dibersihkan dan dicuci hamakan memakai larutan chlorine (Na OCI) 50 - 100

ppm. Setelah itu dinetralkan dengan penambahan larutan Natrium thiosulfat

sampai bau yang ditimbulkan oleh chlorine hilang. Air laut dengan kadar garam

32 ‰ dimasukkan ke dalam bak, satu hari sebelum larva dimasukkan dengan

maksud agar suhu badan stabil berkisar antara 27 - 28°C. Telur hasil pemijahan

dikumpulkan dengan sistim air mengalir. Telur yang dibuahi akan mengapung

dipermukaan air dan berwarna jernih (transparan). Sebelum telur ditetaskan perlu

direndam dalam larutan 1 - 5 ppm acriflavin untuk mencegah serang bakteri.


Hasil pengamatan di lapangan telur ikan kerapu bersifat melayang di atas

permukaan air, dengan pemberian arus maka telur yang melayang akan ikut

terbawa arus air menuju penampungan atas. Di ujung pipa pembuangan atas

tersebut dipasang bak penampungan telur atau yang disebut pengumpul telur (egg

collector). Egg collector terbuat dari saringan 40 mikron dengan ukuran 135 cm x

80 cm x 80 cm. Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari antara pukul 06.00 –

07.00 WIB. Telur yang baik dan terbuahi akan melayang di permukaan dan

berwarna transparan. Telur yang buruk dan tidak terbuahi akan mengendap di

dasar dan bewarna putih keruh (Cholik, et al., 2005).

Telur ikan yang telah terkumpul di egg collector dipanen dengan

menggunakan saringan yang bermata jaring 300 µm. Setelah itu, telur tersebut

ditampung sementara di dalam ember, lalu ditampung kembali di akuarium

berukuran 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m untuk dihitung. Perhitungan telur dilakukan

dengan menggunakan alat sampling yang berbentuk sendok dengan ujungn

berbentuk seperti setengah bola pimpong yang dapat dilihat pada gambar 3.

penghitungan telur seperti ini dikenal sebagai metode penghitungan telur secara

kering. Satu sendok tersebut dapat menampung sebanyak 25000 butir telur. Telur

yang akan dibagi ke unit pembenihan merupakan telur yang baik, telur

mengendap yang terdapat di dalam akuarium disipon dan dibuang, sedangkan

telur yang digunakan adalah telur yang melayang. Pemindahan telur dari akuarium

menuju ember dilakukan dengan cara penyiponan.

Setelah jumlah telur diketahui, maka telur telah dapat ditebar ke tiap

pembenihan yang ada di BBAP Situbondo maupun dijual dan didistribusikan ke


pembeli. Harga tiap butir telur kerapu tikus adalah Rp 1,5. Pada saat pemanenan

telur, tebar telur untuk pembenihan sebanyak 150.000 butir telur per 9 ton yang

diambil pada saat panen telur tanggal 8 agustus 2010, 100.000 butir telur per 9 ton

pada tanggal 9 agustus 2010, 100.000 butir telur per 9 ton pada tanggal 10 agustus

2010 dan 100.000 butir telur per 9 ton pada tanggal 11 agustus 2010. Data hasil

telur selama pemijahan di bulan Agustus dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 5. Jumlah Telur Kerapu Tikus di BBAP Situbondo (Bulan Agustus 2010)
Tanggal Jumlah Telur (butir)
7 Agustus 2010 75.000
8 Agustus 2010 150.000
9 Agustus 2010 200.000
10 Agustus 2010 275.000
11 Agustus 2010 450.000
12 Agustus 2010 350.000
13 Agustus 2010 450.000
14 Agustus 2010 1.000.000
15 Agustus 2010 -
16 Agustus 2010 100.000
17 Agustus 2010 150.000
Total 3.200.000

4.3.5 Penetasan Telur

A. Persiapan Wadah

Wadah penetasan telur yang terdapat di Unit Pembenihan Timur BBAP

Situbondo yaitu berupa bak beton berbentuk persegi panjang sebanyak 6 buah.

Masing-masing bak tersebut memiliki dimensi 5x2x1,25 m dengan kapasitas air

10 m3. Setiap bak dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet yang terbuat dari pipa

PVC. Saluran inlet di setiap bak terdapat 2 buah yaitu saluran pemasukan

Chlorella sp dengan ukuran pipa 3/4 inchi dan saluran pemasukan air laut dengan

ukuran pipa 2 inchi, sedangkan untuk pipa saluran outlet adalah 3,5 inchi.
Wadah yang akan digunakan untuk penetasan terlebih dahulu didesinfeksi

dengan menggunakan larutan klorin 15 ppm dan dibiakan selama 1-2 hari. Setelah

itu, bak dicuci kembali dengan detergen untuk menghilangkan sisa klorin yang

menempel pada dinding dan dasar bak lalu bak dibilas dengan menggunakan air

tawar hingga bersih dan bau klorin hilang. Bak yang telah dibersihkan lalu

dikeringkan selama 1-2 hari. Setelah itu bak diisi air laut sebanyak 9 m3 melalui

saluran inlet air laut yang telah diberi filter bag (50 mikron). Hal ini bertujuan

untuk menyaring kotoran (pasir dan partikel tanah yang halus) agar tidak ikut

terbawa ke dalam media lalu air tersebut ditreatment menggunakan larutan

formalin dengan dosis 20 ppm dan diaerasi kuat selama 24 jam selanjutnya air

dapat digunakan untuk penebaran telur. Aerai yang digunakan untuk menyuplai

oksigen dalam bak penetasan telur berjumlah 11 titik aerasi yang dilengkapi engan

selang aerasi, batu dan pemberat aerasi diletakkan di bagin dasar bak. Apabila

telur menetas aerasi dikecilkan karena larva masih bersifat planktonik yaitu

bergerak dengan mengikuti pergerakan air.

Hal ini sependapat dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa tiga hari

sebelum bak penetasan/bak pemeliharaan larva digunakan, perlu dipersiapkan

dahulu dengan cara dibersihkan dan dicuci hamakan memakai larutan chlorine

(Na OCI) 50 - 100 ppm. Setelah itu dinetralkan dengan penambahan larutan

Natrium thiosulfat sampai bau yang ditimbulkan oleh chlorine hilang. Air laut

dengan kadar garam 32 ‰ dimasukkan ke dalam bak, satu hari sebelum larva

dimasukkan dengan maksud agar suhu badan stabil berkisar antara 27 - 28°C.

Telur hasil pemijahan dikumpulkan dengan sistim air mengalir. Telur yang
dibuahi akan mengapung dipermukaan air dan berwarna jernih (transparan).

Sebelum telur ditetaskan perlu direndam dalam larutan 1 - 5 ppm acriflavin untuk

mencegah serang bakteri.

B. Penebaran dan Penetasan Telur

Padat penebaran telur di Bak Penetasan berkisar 20 - 60 butir/liter air media.

Ke dalam bak penetasan perlu ditambahkan Chlorella sp sebanyak 50.000 -

100.000 sel/ml untuk menjaga kualitas air. Telur akan menetas dalam waktu 18 -

22 jam setelah pemijahan pada suhu 27 - 28°C dan kadar garam 30 - 32 ‰. Telur

yang telah dibuahi berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Dari jumlah

diperkirakan hanya 30% saja yang dibuahi (Suria D, 2002). Telur yang telah

dibuahi tidak berwarna (transparan) sedangkan yang tidak dibuahi dan yang mati

berwarna putih susu.

Dari hasil di lapangan penebaran telur dilakukan secara merata ke dalam

bak penetasan telur yang telah dipersiapkan sebelumnya. Penebaran biasanya

dilakukan pada pagi hari yaitu antara 08.00-09.00 WIB. Untuk padat penebaran

telur saat penulis melakukan PKL yaitu sebesar 112.500 butir per bak dengan

kapasitas air dalam bak sebanyak 9 m3 dan dengan derajat penetasan (HR) 44 %.

Saat proses penetasan, media penetasan diberi erasi kecil yang bertujuan agar

suplai oksigen tetap terpenuhi serta agar telur tidak mengalami guncangan kuat

yang dapat menyebabkan gangguan fisik pada telur. Telur kerapu tikus akan

menetas dalam kisaran waktu antara 17-19 jam setelah pembuahan. Suhu

optimum untuk penetasan telur ikan kerapu yaitu antara 27-31oC. setelah larva

menetas, pada D1 media diberi aerasi kecil. Hal ini dilakukan karena larva yang
baru menetas masih bersifat planktonik yaitu larva bergerak dengan mengikuti

pergerakan dan arus air.

C. Perhitungan Derajat Penetasan (Hatching Rate)

Perhitungan derajat penetasan (Hatching Rate) dilakukan pada saat larva

berumur satu hari (D1) dengan metode sampling. Sebelum melakukn sampling,

dasar bak disipon secara perlahan dan hati-hati untuk membuang telur yang tidak

menetas. Biasanya sampling larva dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul

06.00-07.00 WIB karena pada pagi hari larva yang bersifat fotoaksis positif akan

bergerak menyebar mencari matahari.

Cara menghitung HR adalah:

1. Larva umur D1 diambil dengan menggunakan pipa paralon berdiameter

1,5 inchi dengan panjang 150 cm.

2. Setelah dimasukkan ke dalam air berketinggian 80 cm, bagian atas pipa

ditutup dengan tangan.

3. Pipa tersebut lalu diangkat dan air di dalam paralon segera dimasukkan ke

dalam gelas ukur bervolume 250 ml.

4. Larva yang berhasil menetas dihitung satu persatu dalam gelas beaker

tersebut.

5. Proses tersebut dilakuka di lima titik sampel

Setelah dilakukan sampling, maka Hatching Rate (HR) dapat dihitung

dengan menggunakan rumus :


Berikut ini adalah data HR pembenihan timur setelah beberapa kali

dilakukan penebaran telur.

Tabel 6. Data Hatching Rate HR Ikan Kerapu Tikus di Pembenihan Timur


Nomor Bak Tanggal Tebar Telur Pada Tebar Telur HR
1 8 Agustus 2010 150.000 butir 33%
2 9 Agustus 2010 100.000 butir 46%
4 10 Agustus 2010 100.000 butir 52%
6 11 Agustus 2010 100.000 butir 45%

4.3.6 Pemeliharaan Larva dan Benih

A. Persiapan Wadah

Wadah atau bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva sama dengan bak

yang digunakan untuk penetasan telur sehinga tidak dilakukan penebaran larva.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi stress pada larva akibat proses pemindahan

dan perubahan lingkungan yang baru. Pada saat larva berumur 1 hari (D1), aerasi

diatur agak kecil karena larva bersifat planktonik (melayang di permukaan air dan

bergerak mengikuti pergerakan arus air). Untuk mencegah hal tersebut D1-D10

diberi minyak cumi sebanyak 0,1 ml/m2 atau 3-5 tetes disetiap titik aerasi agar

larva tidak naik ke permukaan air. Pemberian minyak cumi dilakukan dalam

sehari sebanyak dua kali yaitu pada hari pukul 06.00 WIB dan sore hari pada

pukul 16.00 WIB. Pada saat larva berumur D3, larva telah diberi pakan alami

berupa chlorella dan rotifer.


Hal ini sependapat dengan Anonim (2010) uang menyatakan bahwa larva

kerapu yang baru menetas mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur.

Pakan ini akan dimanfaatkan sampai hari ke 2 (D2) setelah menetas dan selama

kurun waktu tersebut larva tidak memerlukan dari luar. Umur 3 hari (D3) kuning

telur mulai terserap habis, perlu segera diberi pakan dari luar berupa Rotifera

Brachionus Plicatilis dengan kepadatan 1 - 3 ekor/ml. Disamping itu ditambahkan

pula Phytoplankton chlorella sp dengan kepadatan antara 5.10-10 sel/ml.

Pemberian pakan ini sampai larva berumur 16 hari (D16) dengan penambahan

secara bertahap hingga mencapai kepadatan 5 - 10 ekor/ml plytoplankton 10 -

2.10 sel/ml media. Pada hari kesembilan (D9) mulai diberi pakan naupli artemia

yang baru menetas dengan kepadatan 0,25 - 0,75 ekor/ml media. Pemberian pakan

naupli artemia ini dilakukan sampai larva berumur 25 hari (D25) dengan

peningkatan kepadatan hingga mencapai 2 - 5 ekor/ml media. Disamping itu pada

hari ke tujuh belas (D17) larva mulai diberi pakan Artemia yang telah berumur 1

hari, kemudian secara bertahap pakan yang diberikan diubah dari Artemia umur 1

hari ke Artemia setengah dewasa dan akhirnya dewasa sampai larva berumur 50

hari.

B. Perkembangan Larva

Berikut merupakan perkembangan larva hingga mencapai juvenil :

a b c
d e f

gambar 2. Perkembangan larva ikan kerapu tikus

a) D-0 Telur dalam masa perkembangan hingga menetas dengan panjang

tubuh 1,69 – 1,79 mm.

b) D-1 Saluran pencernaan sudah mulai terlihat, akan tetapi mulut dan

anus masih tertutup, pakan yang dimakan masih mengandalkan kuning

telur (yolk sac)

c) D-2 Cadangan makanan pada beberapa ikan sudah mulai habis

sehingga larva membutuhkan pakan dari luar yaitu rotifera (Branchionus

plicitalis).

d) D-8 Bakal sirip punggung dari perut sudah mulai tampak berupa

tonjolan

e) D-10 Tonjolan tersebut sudah terlihat panjang dan berbentuk spina.

Pertambahan panjang spina ini berlanjut hingga D-21

f) D21 – D25 Terjadi metamorfosis, spina tereduksi menjadi duri keras

pertama pada sirip punggung dan sirip perut pada kerapu muda.

Hal ini sependapat dengan Akbar dan Syamsul (2001) yang menyatakan
bahwa perkembangan larva hingga mencapai juvenil :
a) D-0 Telur dalam masa perkembangan hingga menetas dengan panjang
tubuh 1,69 – 1,79 mm.
b) D-1 Saluran pencernaan sudah mulai terlihat, akan tetapi mulut dan
anus masih tertutup, pakan yang dimakan masih mengandalkan kuning
telur (yolk sac)
c) D-2 Cadangan makanan pada beberapa ikan sudah mulai habis
sehingga larva membutuhkan pakan dari luar yaitu rotifera (Branchionus
plicitalis).
d) D-8 Bakal sirip punggung dari perut sudah mulai tampak berupa
tonjolan
e) D-10 Tonjolan tersebut sudah terlihat panjang dan berbentuk spina.
Pertambahan panjang spina ini berlanjut hingga D-21
f) D21 – D25 Terjadi metamorfosis, spina tereduksi menjadi duri keras
pertama pada sirip punggung dan sirip perut pada kerapu muda.
g) D-25 Mulai muncul bintik hitam dan itu akan merata di sekujur tubuh

ikan hingga pertumbuhan D-45.

h) D-45 Larva telah berubah sempurna menjadi juvenil dan siap untuk

dijual (ukuran 2,7 – 5 cm)

4.3.7 Kualitas Air

Lokasi budidaya yang ideal, selain pertimbangan umum di atas, juga harus

memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas airnya. Faktor kualitas air yang perlu

dipertimbangkan untuk pemeliharaan pembenihan Kerapu tikus meliputi sifat

fisika : Suhu dan Kecerahan, dan kimia meliputi : pH, DO dan Salinitas.

Pemenuhan akan kebutuhan air harus diupayakan agar produksi benih ikan laut

yang berkualitas, dalam jumlah yang cukup, dan kontunu dapat berhasil (Ghufran,

M dan Andi Tamsil. 2010).

Pengelolaan kualitas air di BBAP Situbondo dilakukan dengan pergantian

air dan penyiponan. Penambahan air dimulai ketika larva berumur 8 hari (D8).
Sebelum dilakukan pergantian air, terlebih dahulu dilakukan penyiponan.

Penyiponan dilakukan untuk membersihkan kotoran-kotoran yang berada di dasar.

Setelah bersih, air dikurangi hingga bersisa 8.000 L kemudian ditambah air

dilakukan hingga 9.500 L untuk menjaga kualitas air pada wadah pemeliharaan

tetap prima. Air yang digunakan untuk penambahan air berasal dari tandon yang

sebelumnya didesinfeksi terlebih dahulu dengan formalin 10-30 ppm dan diareasi

kuat minimal selama 12 jam. Penggunaan air tandon dimaksudkan untuk

menggunakan air yang bebas dari penyakit dan kualitas air yang lebih baik

daripada menggunakan air laut yang langsung diambil dari laut. Pada larva

berumur 25 hari (D25) diganti sebanyak 3 m3 dan pada larva yang berumur lebih

dari 45 hari pergantian air dilakukan secara terus menerus. Pada larva yang

berumur 45 hari, sumber air yang diganti tidak lagi berasal dari tandon, namum

berasal dari air laut yang langsung disedot menggunakan pompa. Data kualitas air

dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Data Kualitas Air Pemeliharaan Larva Kerapu Tikus Pembenihan Timur
BBAP Situbondo

No Parameter Satuan Kisaran


o
1 Suhu C 30-31
2 pH - 7,8-8,3
3 Salinitas ppt 31-33
4 Oksigen Terlarut(DO) ppm >5
5 Nitrit ppm <1
6 Amoniak ppm < 0,01

4.3.8 Pakan

Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa larva kerapu tikus D1

masih transparan. Larva D1 belum membutuhkan pakan dari luar (exogenous

feeding) karena masih memiliki cadangan makanan dari dalam (endogenous


feeding) yang berupa kuning telur. Jenis pakan yang diberikan kepada larva

kerapu tikus ada dua macam yakni pakan alami (live feed) dan pakan buatan

(artificial feed). Pakan alami yang diberikan adalah Nannochloropsis sp, rotifera

(Branchionus sp.), naupli Artemia sp., dan udang rebon (jambret). Sedangkan

pakan buatan yang diberikan adalah Nosan R-1, Rotofier, Otohime B1, Otohime

B2, Otohime C1 dan Otohime C2.

Larva yang sudah berumur dua hari (D2) sudah diberi Nannochloropsis sp.

Pemberian Nannochloropsis sp disalurkan langsung dari bak kultur massal

menggunakan pompa celup melalui pipa paralon ¾ inchi yang pada bagian

ujungnya diberi saringan 200 µm untuk mencegah masuknya kotoran yang

terbawa dari kultur massal Nannochloropsis sp. Selain Nannochloropsis sp, larva

D2 juga diberikan rotifer di sore hari dengan dosis 3-5 ind/ml. Tujuan dari

pemberian Nannochloropsis sp ini adalah untuk menjaga keseimbangan kualitas

air dan Nannochloropsis sp juga merupakan pakan untuk rotifera (Branchionus

sp.)

A. Pemberian Pakan Alami

A.1 Nannochloropsis sp

Selama kuning telur larva masih ada, larva kerapu tikus belum mau untuk

mengambil makanan dari luar. Larva D1-D10 sangat peka terhadap cahaya

sehingga cenderung untuk naik ke permukaan air. Maka dari itu, sejak larva

berumur D2, larva sudah mulai diberi Nannochloropsis sp. Sebelum diberikan,

Nannochloropsis sp harus dicek terlebih dahulu kepadatannya, biasanya

kepadatan Nannochloropsis sp yang ditebar berkisar 50.000-100.000 sel/ml atau


100-150 liter/bak pemeliharaan larva. Nannochloropsis sp biasanya diberikan

sebanyak 1 kali dalam satu hari yaitu pada pagi hari. Pemberian Nannochloropsis

sp dihentikan pada saat larva berumur D30 atau dengan melihat kondisi larva.

Pemberian Nannochloropsis sp berfungsi sebagai Greeen Water Sistem atau

sebagai keseimbangan media untuk mengatur kecerahan air dan juga untuk pakan

rotifer.

A.2 Rotifera (Branchionus plicatilis)

Pemberian rotifer pada saat di lapangan diberi pada larva berumur D3-D35

dan juga dengan melihat kondisi ikan, dalam hal ini adalah dimana dengan

melihat pertumbuhan ikan yang lambat masih membutuhkan rotifer sebagai

pakannya. Pemberian rotifer hanya dilakukan sekali dalam sehari yaitu pada pukul

09.00 WIB dengan kepadatan 3-5 individu/ml. namun, banyaknya pemberian

rotifer tergantung dari kepadatan rotifer maka dilakukan pengecekan setiap hari

menggunakan gelas piala. Rotifer diberikan dengan menggunakan gayung dan

disebarkan pada setiap titik aerasi. Sebelumnya, rotifer yang akan diberikan

dilakukan pengkayaan terlebih dehulu menggunakan Scout’,s Emulsion sebanyak

10 ml (satu tutup botol Scoutt’s Emulsion) dalam 20 L air dan 0,5 gram taurin dan

dibiarkan selama 2 jam. Setelah itu, rotifer dapat diberikan pada larva. Hal ini

bertujuan untuk memperbaiki kandungn nutrisi rotifer dan meningkatkan daya

tahan tubuh larva dan benih terhadap penyakit.

A.3 Artemia sp.

Meskipun secara ekonomis kurang menguntungkan, tetapi secara teknis

siste atermia dapat diproduksi secara massal dalam tempat (wadah) yang
terkendali. Untuk tujuan ini dilakukan dengan memanipulasi lingkungan hidupnya

agar artemia terpaksa melangsungkan perkembangbiakan secara ovipar uang

menghasilkan telur (Siregar, Abbas. 1995).

Pemberian Naupli artemia di BBAP Situbondo pada saat berumur D18 atau

tergantung bukaan mulut larva. Pemberian naupli artemia dilakukan sebanyak tiga

kali dalam satu hari yaitu pukul 08.00, 13.00 dan 17.00 WIB. Sebelum diberikan

pada larva naupli yang berasal dari siste didekapsulasi terlebih dahulu. Proses

dekapsulasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Siste direndam dalam air tawar selama 5 menit sambil diaduk dengan

cepat.

2. Siste disaring dan ditambah air tawar, kemudian di tambahkan klorin

sebanyak 250 ml. Siste artemia tersebut diaduk dengan cepat. Jaga suhu

di bawah 40 0C.

3. Saring dan bilas dengan air tawar sampai bersih

4. Tahap no 2 dan 3 diulangi sampai warna siste berubah menjadi oranye

ataupun tergantung dari produk sistenya. Proses dekapsulasi tersebut

memakan waktu antara 5 – 15 menit.

5. Setelah terjadi perubahan warna, segera disaring dan dibilas dengan air

tawar sampai bersih dan tidak ada bau klorin.

6. Beberapa butir thiosulfat ditambahkan ke siste yang sebelumnya telah

ditambahkan air tawar dan diaduk.


7. Siste disaring dan dibiarkan mengering sejenak dan masukkan ke dalam

kantong plastik untuk disimpan pada suhu dingin selama maksimal 1

minggu

Setelah didekapsulasi, siste artemia tersebut ditetaskan sesuai dengan

kebutuhan larva. Cara penetasannya adalah wadah plastik diisi dengan air dan

diaerasi kuat. Setelah itu, satu bungkus artemia yang telah didekapsulasi

dimasukkan ke dalam air tersebut. Penetasan siste yang didekapsulasi

memerlukan waktu antara 18 – 30 jam pada air laut. Untuk hasil optimum,

pertahankan suhu kisaran 25 – 30 0C dan pH 8 – 9. Panen dimulai dengan cara

menghentikan aerasi dan tunggu selama 15 menit agar telur-telur artemia

mengendap. Setelah itu artemia disipon menggunakan selang dan ditampung di

dalam saringan 300 µm. Sebelum diberikan ke larva, artemia disterilisasi dengan

akriflavin sebagai anti ektoparasit. Setelah itu, naupli artemia siap diberikan ke

larva.

A.4 Udang Rebon

Udang rebon mulai diberikan pada saat ikan kerapu menjelang lepas sensor

sampai awal lepas sensor (D25 sampai D45). Udang ini berfungsi sebagai pakan

selingan. Jumlah pemberian pakan rebon secara at satiation (sekenyangnya).

Sebelum diberikan ke larva, artemia disterilisasi dengan akriflavin sebagai anti

ektoparasit.

B. Pemberian Pakan Buatan

Pemberian pakan buatan bagi larva kerapu tikus dilakukan saat larva telah

berumur 8 hari. Awal pemberian dilakukan dengan mencairkan pakan untuk


weaning pakan bagi larva. Data mengenai pemberian pakan buatan dapat dilihat

pada tabel 8.

Tabel 8. Tahapan Pemberian Pakan Buatan bagi Larva Kerapu Tikus

Stadia Jumlah pakan Frekuensi Merek pakan


Gambar
larva yang diberikan pemberian (ukuran pakan)

8 Nosan R-1 (20–50


D8-D17 2 kali
gram/pemberian µm)

D18- 8 Rotifier (50 – 100


3 kali
D20 gram/pemberian µm)

D21- 10 Otohime B1 (200 –


3 kali
D30 gram/pemberian 300 µm)

D31- 15 Otohime B2 (300 –


3 kali
D45 gram/pemberian 600 µm)

15
>D50 4-6 kali EP-1
gram/pemberian

C. kultur pakan alami

Pakan alami yang digunakan selama pemeliharaan larva dan benih ikan

kerapu bebek baik fitoplankton maupun zooplankton di BBAP Situbondo yaitu

Nannochloropsis sp, Rotifera (Branchionus sp) dan Artemia sp. Pakan alami
sangat penting peranannya bagi larva dan benih sebagai sumber makanan dengan

kandungan nutrisi yang sangat tinggi. Kultur pakan alami bertujuan untuk

menjamin ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan sesuai kebutuhan

dalam larva dan benih ikan kerapu tikus.

C.1 Kultur Nannochloropsis sp

Membudidaya Nannochloropsis sp dapat diambil langsung dari tambak

budidaya, dengan mengatur rasio N/P supaya Nannochloropsis sp dapat

mendominasi yang lainnya. Budidaya plankton dilakukan pada botol dengan

volume 0,5 liter-1 liter air yang akan disiapkan sebagai media tumbuh plankton

sebelumnya disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan klorine kemudian

air laut di biarkan selama 3-5 hari sampai residu klorine hilang. Salinitas air laut

yang diharapkan adalah 25-28 ppt.

Air laut tersebut kemudian dimasukkan kedalam botol-botol yang telah

disiapkan, selanjutnya ditambah pupuk cair sebanyak 1 ml/lt. pupuk yang

digunakan harus mengandung unsur hara yang dibutuhkan seperti N, P, S, K dan

Mg sebagai unsure hara makro serta unsure hara mikro Fe, Mn, Zn, S dan

sebagainya. Setelah media siap bibit plankton dimsukkan 1/3 bagian dan siap

dipanen 5-6 hari (Edhy W dkk, 2003).

Kultur Nannochloropsis sp skala massal dilakukan pada ruangan terbuka

(outdoor) dengan ukuran wadah 5x3x1,5 m (gambar) dengan kapasitas volume air

maksimal sebesar 18 m3. Persiapan wadah dilakukan dengan cara menyikat dasar

dan dinding wadah kemudian wadah diisi air laut sebanyak 15 m3. Setelah itu,

media disterilisasi dengan menggunakan kaporit 10 ppm dan didiamkan selama 2


jam dan diberi aerasi kuat, kemudian media dinetralkan dengan menggunakan

natrium thiosulfat (Na2S2O3) ≤ 5 ppm. Setelah 12 jam, dilakukan pembibitan

dengan cara mengalirkan Nannochloropsis sp sebanyak 20 % dari total volume air

yang ada dalam bak dengan menggunakan pompa celup. Bibit yang digunakan

berasal dari skala intermediet atau dari bak kultur skala massal lainnya, dimana

umur Nannochloropsis sp telah mencapai 5-7 hari dengan kepadatan 1-5 juta

sel/ml.

Pemupukan dilakukan setelah bibit masuk ke dalam media. Pupuk yang

digunakan terdiri dari Urea 40 ppm, ZA 30 ppm, dan TSP 20 ppm. Pemberian

pupuk dilakukan dengan cara dilarutkan dalam 10 liter air laut lalu disebar merata

dalam bak kultur. Chlorella sp dapat dipanen setelah berumur 5-7 hari dengan

cara disedot menggunakan pompa celup lalu dialirkan langsung kedalam bak

rotifer dan unit pembenihan melalui pipa PVC ukuran 3/4 inchi.

C.2 Kultur Rotifera

Organisme rotifer berbentuk simetris bilateral manyerupai piala. Tubuh

yaitu, kepala, badan, dan kaki / ekor. Rotifer merupakan salah satu jenis rotifer

yang biasa diproduksi secara massal, Siregar, Abbas (1995). Branchionus

memiliki kecepatan pertumbuhan dan reproduksi tinggi. Pada kondisi normal,

betina memproduksi 20 butir telur atau lebih selama 7-10 hari masa hidupnya.

Kultur missal rotifera dilakukan pada bak volume 5-12 m3. Kultur dilakukan

dalam ruang terbuka yang cukup mendapatkan cahaya matahari. Secara umum

dikenal 2 metode kultur rotifera yaitu metode panen harian lebih praktis dan
mudah sedangkan pada metode transfer diperlukan bak kultur yang lebih banyak,

namun rotifera yang dihasilkan dari metode transfer lebih bersih.

Kultur rotifer di BBAP Situbondo dilakukan skala massal dalam bak beton

yang berukuran 5x2x1,5 m dengan kapasitas maksimal 12 m3. Persiapan wadah

dilakukan dengan cara menyikat dasar dan dinding bak hingga bersih dan

dikeringkan hingga keesokan harinya. Keesokan harinya, bak diisi dengan

Chlorella sp untuk pakan rotifera sebanyak 2-3 m3 yang telah berumur 5-7 hari

kemudiam bak ditambahkan dengan air laut dengan volume yang sama

(perbandingan 1:1). Setelah itu, bibit rotifer ditebar dengan kepadatan 30-40

individu/ml yang diperoleh dari bak kultur rotifer yang lainnya yang siap panen

atau dari kultur skala intermediet.

Kepadatan rotifer akan mencapai puncak pada hari ke 4-7 dengan

kepadatan 150-250 individu/ml. kepadatan kultur massal dapat dilihat dari kondisi

perairan yang bening. Metode pemanenan yang dilakukan adalah metode panen

harian. Metode ini dilakukan dengan cara mengalirkan air media kultur dengan

menggunakan selang spiral 1 inchi yang bagian ujungnya diberi planktonnet 300

mesh size sebanyak 20-30% dari volume media kultur dan ditampung dalam drum

150 liter yang diberi aerasi. Rotifer yang telah dipanen dapat langsung diberikan

ke larva. Namun, pengambilan rotifer disaring kembali dapat saringan agar

kotoran tidak ikut terbawa. Pemanenan dilakukan setiap hari pada bak kultur yang

sama dan dapat berlangsung selama 3-4 minggu.

4.3.9 Pengendalian dan Pencegahan Hama dan Penyakit


Permasalahan penyakit yang paling banyak pada ikan bersirip (finfish)

dijumpai pada budidaya ikan kerapu. Jenis penyakit bakterial yang ditemukan

pada ikan kerapu, diantaranya adalah penyakit borok pangkal sirip ekor dan

penyakit mulut merah. Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ditemukan beberapa

jenis bakteri yang diduga berkaitan erat dengan kasus penyakit bakterial, yaitu

Vibrio alginolyticus, V algosus, V anguillarum dan V fuscus. Diantara jenis

bakteri tersebut bakteri V alginolyticus dan V fuscus merupakan jenis yang sangat

patogen pada ikan kerapu tikus (Salim, 2009).

Perlakuan untuk pencegahan penyakit pada pembenihan kerapu tikus di

BBAP Situbondo dilakukan dengan penggunaan probiotik. Penggunaan probiotik

sekarang sudah banyak digunakan untuk menggantikan peran antibiotik untuk

mencegah penyakit yang menyerang larva atau benih. Penggunaan probitiotik

diharapkan dapat menekan jumlah bakteri patogen di dalam wadah budidaya.

Bakteri patogen membutuhkan jumlah bakteri yang cukup untuk membuat ikan

menjadi sakit. Jika jumlah bakteri belum mencukupi untuk membuat ikan menjadi

sakit maka ikan atau larva tersebut tidak akan menjadi sakit. Bakteri yang

digunakan sebagai probiotik adalah jenis Bacillus sp. dengan merek dagang

Sanolife buatan PT. INVE.

Pada saat melaksanakan PKL dalam rangka pencegahan dan pemberantasan

hama penyakit, setiap unit pembenihan di BBAP Situbondo memiliki cara dan

teknik yang berbeda-beda. Namun, pada saat penulis melakukan kegiatan PKL di

unit pembenihan timur BBAP Situbondo sempat terjadi kematian massal

menyebabkan kematian pada larva atau benih. Kematian massal sering terjadi
pada larva yang diakibatkan oleh kualitas air pada suhu yang sempat turun

mencapai 29oC, pakan alami pada Nannochloropsis sp yang sempat kontaminan

terhadap rotifera serta penyakit yang disebabkan oleh VNN(Viral Nervous

Necrosis). Sehingga dilakukan pencegahan hama penyakit yang rutin dan

terkontrol, pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti

dilakukannya desinfeksi pada wadah yang akan digunakan, dilakukan treatment

pada air yang akan digunakan, dilakukan pergantian air pada pagi dan sore hari,

sirkulasi air selama 24 jam untuk benih yang sudah berukuran 2-4 cm, dan

penyiponan pada pagi dan sore hari.

4.4 Pemanenan, Produksi, dan Pemasaran

4.4.1 Pemanenan Benih

Sebelum dilakukan pemanenan, biasanya benih di grading terlebih dahulu.

Hal ini bertujuan untuk menyeragamkan ukuran benih yang akan dipasarkan dan

juga untuk memisahkan benih yang masuk pasaran karena cacat (abnormalitas).

Benih dapat dipanen pada umur D60 atau jika ukurannya sudah mencapai ukuran

pasar (minat pembeli). Ukuran pasar benih yang dijual biasanya berkisar antara

2,7-4 cm. proses pemanenan biasanya dilakukan pagi hari belum terlalu tinggi

sehingga tidak menyebabkan stress pada benih yang akan dipanen dan digrading.

Proses pemanenan dilakukan dengan menggunakan baskom plastik yang

dialiri air dari pipa paralon. Air pada bak pemeliharaan diturunkan secara perlahan

sampai tingginya sekitar 30 cm. Setelah ketinggian air mencapai 30 cm benih

kerapu dapat dipanen dengan menggunakan keranjang plastik. Juvenil yang telah

dipanen dipisahkan berdasarkan ukurannya (grading). Grading (pemilihan


ukuran) merupakan salah satu cara untuk menyeragamkan pertumbuhan dan

mengurangi kematian benih pasca lepas sensor akibat sifat kanibal pada ikan

kerapu. Sifat kanibalisme pada kerapu terjadi pada saat kondisi kekurangan

makanan dan perbedaan ukuran. Ikan yang berukuran lebih besar akan selalu

memangsa ikan yang lebih kecil dalam satu wadah pemeliharaan.

4.4.2 Produksi dan Pemasaran

Setelah kerapu tikus telah mencapai ukuran pasar, maka ikan tersebut pun

akan dipasarkan. Pemasaran merupakan rantai akhir dalam usaha pembenihan

ikan kerapu, sehingga aspek pemasaran tidak boleh dianggap ringan. Informasi

mengenai permintaan konsumen sangat penting. Harga benih ikan kerapu

memiliki fluktuasi di pasar tingkat produsen di Jawa Timur (Situbondo), Bali

(Gondol) dan Lampung. BBAP Situbondo menjual dengan harga ikan kerapu

tikus seharga Rp 1.500 per sentimeter.

Dewasa ini, pemasaran benih ikan kerapu tikus untuk segala ukuran (3 – 10

cm) dan berapapun jumlahnya tidak terlalu sulit. Hal ini disebabkan karena usaha

pembesaran ikan kerapu baik di Karamba Jaring Apung (KJA), bak terkontrol

maupun di tambak di dalam maupun di luar negeri sudah banyak dilakukan.

Daerah pemasaran ikan kerapu diantaranya adalah Lampung, Sumatera Barat,

Kepulauan Riau (Batam), Sumatera Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera

Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan

Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Tengah, NTB, NTT, Irian Jaya, Malaysia, Singapura, Taiwan,

Cina, dan lain-lain.


4.5 Masalah dan Kemungkinan Pengembangan Usaha

4.5.1 Masalah yang Dihadapi

Permasalahan yang dihadapi dalam pembenihan kerapu tikus selama di

Balai Budidaya Air Payau Situbondo adalah :

a. Induk masih berasal dari alam sehingga ketersediaan induk terbatas dan

tergantung dari tangkapan nelayan, sehingga perlu penambahan budidaya

untuk pemeliharaan induk.

b. Ketersediaan pakan ikan rucah untuk induk yang menyesuaikan musim,

aktivitas penangkapan serta memerlukan fasilitas penyimpanan bersuhu

dingin karena kualitasnya mudah menurun dan mudah terkontaminasi dengan

mikroba pathogen, sehingga perlu pembuatan pakan buatan untuk indukan.

c. Kematian massal yang sering terjadi pada larva terutama pada umur 3-5 hari

(D3-D5), 11-12 hari, dan 21-24 hari baik yang diakibatkan oleh kualitas air,

pakan, penyakit maupun kemampuan dalam melewati masa kritis

menyebabkan tingkat kelulushidupan larva sangat rendah dan

pertumbuhannya lambat serta belum ada tindak lanjut terhadap serangan

penyakit, sehingga perlu penanganan upaya pencegahan seperti pemberian

probiotik dan mejaga kualitas air.

4.5.2 Kemungkinan Pengembangan Usaha

Kebutuhan dan harga kerapu tikus yang tinggi memberikan potensi

tersendiri bagi usaha kerapu jenis ini yang merupakan penyokong untuk usaha

budidaya selanjutnya (pendederan dan pembesaran). Selain itu, benih kerapu tikus

disamping digunakan dalam pembesaran, juga digunakan sebagai ikan hias.


Dalam rangka pengembangan usaha dan peningkatan produksi pembenihan,

beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : peningkatan kinerja melalui penerapan

ilmuatau teknologi yang tepat tentang pembenihan kerapu tikus maupun semangat

kerja bagi para staf (peningkatan sumberdaya manusia); menjaga mutu atau

kualitas benih yang dihasilkan, perbaikan sarana dan prasarana yang memadai;

menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terutama dalam kegiatan pemasaran.

Mengendalikan penangkapan ikan kerapu di alam secar bijaksana, sehingga

terjamin kelestarian sumber daya ikan di laut.

4.6 Analisa Usaha Pembenihan Kerapu Tikus (Chromileptes altivelis) Skala

Rumah Tangga

Analisa usaha dalam produksi benih ikan kerapu tikus dalam 1 siklus,

dengan penebaran 112.500/bak beton berkapasitas 9 ton didapatkan tingkat

Survival Rate (SR) mencapai 12,9 %. Perhitungan analisis usaha pada produksi

benih ikan kerapu tikus dapat dilihat pada lampiran 5.

Biaya investasi yang dibutuhkan untuk usaha pembenihan ikan kerapu

tikus skala rumah tangga sebesar Rp 215.733.900,-. Biaya tetap yang dibutuhkan

untuk usaha pembenihan kerapu tikus sebesar Rp 129.595.340 Per tahun dan

biaya variabel yang dibutuhkan sebesar 60.469.400 per tahun sehingga biaya

operasional yang dibutuhkan sebesar 190.064.740 per tahun. keuntungan yang

diperoleh per siklusya adalah sebesar Rp 51.483.815. Diketahui dari hasil

perhitungan R/C Ratio >1, yaitu 2,1 maka usaha produksi ikan kerapu tikus

tersebut merupakan usaha yang layak dilakukan dan menguntungkan untuk

dikembangkan. Perhitungan payback period yaitu dalam pengembalian investasi


yang ditanam akan kembali dalam waktu 4 tahun 2,4 bulan. Perhitungan BEP

produksi benih didapatkan sebesar 9.599,2 ekor yang artinya apabila perusahaan

mampu untuk menjual produk yang dihasilkan sebesar 9.599,2 ekor, maka kondisi

tersebut tercapai titik impas sehingga perusahaan tersebut tidak mengalami untung

maupun rugi. BEP harga benih Rp 719/cm artinya bahwa titik impas akan dicapai

pada saat harga jual benih Rp 719/cm. Hasil perhitungan analisis usaha ini maka

dapat diartikan bahwa usaha produksi ikan kerapu skala rumah tangga ini layak

untuk di usahakan dan akan menguntungkan apabila usaha ini dikembangkan.

Daerah pemasaran ikan kerapu diantaranya adalah Lampung, Sumatera Barat,

Kepulauan Riau (Batam), Sumatera Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera

Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan

Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Tengah, NTB, NTT, Irian Jaya, Malaysia, Singapura, Taiwan,

Cina, dan lain-lain.


V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Teknik pembenihan ikan kerapu tikus meliputi, persiapan induk, seleksi

induk, pemijahan, seleksi telur, persiapan bak pemeliharaan larva,

penebaran telur, penetasan telur, pemberian pakan sesuai dosis baik

berupa pakan alami(Nannochloropsis 50.000-100.000 sel/ml 1 kali/hari

dan Rotifer 3-5 individu/ml 2 kali/hari) maupun pakan buatan(Nosan

R-1 8 gram/pemberian 2 kali/hari, Rotifier 8 gram/pemberian 3

kali/hari, Otohime B1 10 gram/pemberian 3 kali/hari, Otohime B2 15

gram/pemberian 3 kali/hari, Otohime EP-1 15 gram/pemberian 4-6

kali/hari), pengelolaan kualitas air dengan salinitas 31-33 ppt, suhu 30o-

31oC, pH 7,8-8,3, nitrit < 1 ppm, DO > 5 ppm, Nitrat < 150 ppm,

amoniak < 0,01 ppm, pencegahan penyakit dengan menggunakan

probiotik Sanolife. Grading dilakukan apabila terlihat perbedaan ukuran

yang mencolok pada benih dan munculnya sifat kanibalisme. SR ikan

kerapu tikus 12,9%.

2. Induk masih berasal dari alam sehingga ketersediaan induk terbatas dan

tergantung dari tangkapan nelayan. Memerlukan fasilitas penyimpanan

bersuhu dingin agar kualitas pakan ikan rucah untuk indukan tidak

menurun. Kematian massal sering terjadi pada larva yang diakibatkan

oleh penyakit VNN(Viral Nervous Necrosis), belum ada pengobatan

terhadap penyakit.
5.2 Saran

1. Induk yang masih berasal dari alam sehingga ketersediaan induk

terbatas dan tergantung dari tangkapan dari nelayan, disarankan supaya

ada penambahan budidaya pada pemeliharaan induk.

2. Ketersediaan pakan ikan rucah untuk induk yang menyesuaikan

musim, disarankan perlu adanya pembuatan pakan buatan untuk

indukan.

3. Belum adanya pengobatan terhadap penyakit VNN(Viral Nervous

Necrosis) yang dapat menyebabkan kematian massal terhadap larva

ikan kerapu tikus, disarankan ada studi-studi lebih lanjut untuk

menemukan formula yang tepat untuk meningkatkan kekebalan benih

dan menghasilkan benih yang tahan penyakit.


VI DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Loka Budidaya Air Payau.


http://groups.yahoo.com/group/mmaipb/message/2070. 07/06/2010.

Anonim. 2010. Pembenihan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).


http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=3&doc=3b7.
07/05/2010.

Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 146 hal.

Cahyaningsih, S, dkk. 2009. Produksi Pakan Alami. Departemen Kelautan dan


Perikanan Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air
Payau. 135 hal.

Darwisito, S. 2002. Strategi Reproduksi pada Ikan Kerapu.


http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/suria_darwisito.htm. 07/06/2010.

Edhy, W.A dkk. 2003. Plankton di Lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari. PT.
Central Pertiwi Bahari, Pantai Timur. 99 hal

Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama,


Yogyakarta. 159 hal

Jatilaksono, M. 2007. Parameter Dasar Budidaya Perairan.


http://jlcome.blogspot.com/2007/10/parameter-dasar-budidaya-
perairan.html. 07/06/2010.

Kordi K., M.G.H. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta. 115 halaman

Kordi K., M.G.H. 2005. Budidaya Ikan Laut di Kramba Jaring Apung. Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta. 233 hal

Kordi K., M.G.H. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Secara Buatan.
Penerbit Lily Publisher, Yogyakarta. 188 halaman

Murtiati, K. Simbolon dan J. T. Wahyuni. 2007. Penggunaan Biokatalisator pada


Budidaya Udang Galah. 24:19-26

Nazir, M. 1988. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.


Octopus, P. 2008. Budidaya Ikan Kerapu Tikus.
http://octopus39.blogspot.com/2008/11/budidaya-ikan-kerapu-
tikus.html. 12/05/2010.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana.2007. Biologi Laut ; Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Penerbit Djambatan, Jakarta. 540 hal

Salim, A. 2009. Laporan Magang Perikanan. http://mandala-


manik.blogspot.com/2009/04/laporan-magang-
perikanan.html?zx=769a8d327799ce15. 12/05/2010.

Siregar, Abbas. 1995. Pakan Ikan Alami. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 87


halaman

Sunyoto, P. dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis : Kerapu,


Kakap, Beronang. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. 84 halaman

Suryabrata, S. 1993. Metode Penelitian. C.V. Rajawali, Jakarta.

Wahyudhy, H. 2007. Keracunan Nitrit-nitrat.


http://klikharry.wordpress.com/2007/02/21/keracunan-nitrit-nitrat/.
26/05/2010.

Yuasa, Kei, dkk. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air
Tawar Jambi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA
LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Lokasi Kerja Praktek Lapangan Desa Pecaron,


Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa
Timur
Lampiran 2. Denah Balai Budidaya Air Payau Situbondo

1 6 3 23
4

1 1 23

1
23
5
10 10
7
9 30 30 31
7
11
7 9
23

28 29
7 12 13 23
14

23

8 16
15 25 26 27
23

19 32
17 23
33 34
17

17
35 24
19 15

8
18
23 23 23
9
21

20
18
U
22
21
Keterangan :

1. Bak induk kerapu.


2. Bak penampungan telur
3. Rumah genset.
4. Broodstock Center Udang Vanname
5. Pompa air laut.
6. Rumah blower.
7. Bak calon induk kerapu.
8. Bak kultur Chlorella sp
9. Bak kultur Brachionus plicatilis
10. Bak pemeliharaan nener
11. Bak karantina
12. Bak pembenihan timur
13. Laboratorium pakan alami
14. Bak pembenihan Abalone
15. Bak filter sand
16. Bak pembenihan tengah
17. Bak induk bandeng
18. Bak pembesaran udang Vanname
19. Bak tandon air laut
20. Bak pembenihan barat.
21. Asrama
22. Dapur.
23. Rumah karyawan.
24. Ruang pembuatan pellet.
25. Laboratorium nutrisi dan pakan buatan
26. Laboratorium penyakit dan kualitas air.
27. Ruang staf teknis dan Laboratorium Bioteknologi
28. Auditorium.
29. Perpustakaan
30. Kantor.
31. Musholla.
32. Bak tandon air tawar.
33. Koperasi dan workshop.
34. Garasi mobil.
35. Ruang kuliah.
Lampiran 3. Struktur Organisasi Balai Budidaya Air Payau (BBAP)
Situbondo

Kepala Balai
Ir. Slamet Subyakto, M.Si.

Kepala Seksi Bag. Tata Usaha


Ir. Made Yooriksa

Kepala Seksi Pelayanan Teknis Kepala Seksi Stand. & Info.


Dede Sutende Akhmad Romadlon, S.PT. M.Si.

Kelompok Jabatan Fungsional


Koord. : Ir. Siti Zubaidah, M.Si.

Perekayasa Litkayasa

Pengawas Benih Pengawas Budidaya

Pranata Humas Peng. Hama dan Peny. Ikan

Fungsional Lainnya
Lampiran 4. Daftar Ukuran Pakan dan Jadwal Pemberian
a. Daftar Ukuran Pakan
Uraian Ukuran pakan
Rotemia 20 – 50 µm
NRD ½ 100 – 200 µm
NRD 2/3 200 – 300 µm
NRD 2/4 200 – 400 µm
NRD 3/5 300 – 500 µm
NRD 4/6 400 – 600 µm
NRD 5/8 500 – 800 µm
NRD G8 (8/12) 800 – 1.200 µm
NRD G12 (12/20) 1.200 – 2.000 µm
Nosan R-1 20 – 50 µm
Rotifier 50 – 100 µm
Love Larva 100 – 200 µm
Otohime B-1 200 – 300 µm
Otohime B-2 300 – 600 µm
Otohime C-1 500 – 900 µm
Otohime C-2 900 – 1.400 µm
Otohime S-1 1.000 µm
Otohime S-2 1.400 µm
Otohime EP1 1.500 µm
Otohime EP2 2.200 µm

b. Jadwal Pemberian Pakan

Waktu Jenis Pakan Keterangan


06.00 Minyak cumi Larva (D2-D8)
Pakan buatan (Rotofera/Rotemia) Larva -Benih
07.00 Pakan Buatan Benih
09.00 Rotifer Larva (D 2- D 36)
Artemia Larva-Benih
10.00 Pakan Buatan Benih
11.00 Pakan Buatan Larva-Benih
12.00 Artemia Benih
14.00 Pakan Buatan Larva-Benih
15.00 Rotifer Larva (D2-D8)
15.30 Artemia Larva-Benih
16.00 Udang rebon Benih
Lampiran 5. Analisis Usaha dalam Produksi Benih Kerapu Tikus di Balai
Budidaya Air Payau Situbondo.

a. . Biaya investasi

Harga Satuan Jumlah


No. Uraian Jumlah
(Rp) (Rp)
1 Lahan 500 m2 1 unit 100.000/m2 50.000.000
2 Borongan Bangunan
- Hatchery 140 m2 1 unit 15.000.000/unit 15.000.000
- Bak larva 6 unit 4.000.000/unit 24.000.000
- Bak kultur
Chlorella sp 12,5 10 unit 4.000.000/unit 40.000.000
m3
- Bak kultur rotifer
4 unit 4.000.000/unit 16.000.000
12,5 m3
- Bak filter air laut 18
1 unit 6.000.000/unit 6.000.000
m3
- Runah genset 6m2 1 unit 3.000.000/unit 3.000.000
- Rumah pompa air
1 unit 3.000.000/unit 3.000.000
laut 6 m2
- Rumah Hi-blow 1 unit 3.000.000/unit 3.000.000
- Rumah jaga 25 m2 1 unit 10.000.000/unit 10.000.000
3 Pompa air laut 7,5 PK 1 unit 10.000.000/unit 10.000.000
4 Pompa air tawar5 PK 1 unit 2.000.000/unit 2.000.000
5 Pompa celup(dab) 2 buah 450.000/buah 900.000
6 Hi-blow 5 PK 1 unit 3.600.000/unit 3.600.000
7 Instalasi air laut 1 unit 10.082.400/unit 10.082.400
8 Instalasi air tawar 1 unit 1.117.500/unit 1.117.500
9 Instalasi aerasi 1 unit 1.000.000/unit 1.000.000
10 Instalasi listrik 1 unit 1.750.000/unit 1.750.000
11 Genset 3000 watt 1 unit 2.000.000/unit 2.000.000
12 Bak fiber 2 buah 2.000.000/unit 4.000.000
13 Bak fiber 2 buah 1.000.000/unit 2.000.000
14 Tabung gas 1 buah 600.000/unit 600.000
15 Peralatan pembenihan:
- Ember 5 liter 8 buah 5.000/unit 40.000
- Ember 20 liter 3 buah 10.000/unit 30.000
- Ember 30 liter 1 buah 25.000/buah 25.000
- Gayung 2 liter 8 buah 3.000/buah 24.000
- Baskom sedang 20 buah 10.000/buah 200.000
- Saringan rotifera
1 buah 300.000/buah 300.000
300 mikron
- Saringan artemia
2 buah 200.000/buah 400.000
200 mikron
- Saringan udang
1 buah 100.000/buah 100.000
rebon
- Saringan pakan 150
2 buah 25.000/buah 50.000
mikron
- Filter bag 6 buah 175.000/buah 700.000
- Selang aersi 1 roll 300.000/buah 300.000
- Batu aerasi 100 buah 3.500/buah 350.000
- Kran aerasi 100 buah 2.500/buah 250.000
- Pemberat aerasi 100 buah 2.000/buah 200.000
- Plastic penutup 1 roll 145.000/roll 145.000
- Keranjang koli 20 buah 10.0000/buah 200.000
- Gelas piala 1000 ml 1 buah 200.000/buah 200.000
- Gelas piala 200 ml 1 buah 75.000/buah 150.000
- Gelas piala 50 ml 1 buah 35.000/buah 35.000
- Tong plastik 60 ml 2 buah 75.000/buah 150.000
- Tong plastik 80 ml 2 buah 200.000/buah 200.000
- Piring kecil (teplek) 1 lusin 60.000/buah 60.000
- Kulkas 1 pintu 1 unit 1.250.000/unit 1.250.000
- Lemari plastic 1 unit 550.000/unit 550.000
- Selang 1” 20 m 20.000/m 400.000
- Spon (busa kasar) 1 roll 300.000/roll 300.000
- White board 1 buah 75.000/buah 75.000
Total Biaya Investasi 215.733.900

b. Biaya Tetap dan Variabel

Harga Satuan Jumlah


No Uraian Jumlah
(Rp) (Rp)
I. Biaya Tetap
Penyusutan (10% dari
1 17.365.890
investasi)
2 Gaji Pegawai 2 orang 800.000/bln/org 4.800.000
3 Biaya Listrik 500/bln 1.500.000
Perawatan Peralatan (5% dari
4 8.682.945
investasi)
5 Pajak 50.000
6 Pulsa Handphone 100.000/bln 300.000
Total Biaya Tetap 32.398.835
Biaya Tetap Selam 1 Tahun 129.595.340
II. Biaya Variabel
1 Telur 450.000 btr 1.5 675.000
2 Obat-obatan :
- Formalin 20 L 300.000 300.000
- Chlorine 20 L 300.000 300.000
- Na-thiosulfate 37.450/botol 100.000
- Scott’s Emullsion 3 btl 300/000/kaleng 112.350
3 Pakan :
a. Artemia 40 kaleng 300.000/kaleng 3.200.000
b. Pakan buuatan :
- Ukuran 100-200
1 kg 600.000/kg 600.000
mikron
- Ukuran 200-300
2 kg 275.000/kg 550.000
mikron
- Ukuran 200-400
2 kg 300.000/kg 600.000
mikron
- Ukuran 300-500
4 kg 300.000/kg 1.200.000
mikron
- Ukuran 400-600
4 kg 300.000/kg 1.200.000
mikron
- Ukuran 800 mikron 6 kg 630.000/kg 3.780.000
c. Udang rebon 500 bks 5.000/bks 2.500.000
Total Biaya Variabel 15.117.350
Biaya Variabel Selama 1 tahun 60.469.400
Total Biaya Operasional (TC) 1 siklus 47.516.185
Biaya Operasional (TC) 1 Tahun 190.064.740
c. Penghasilan

c.1 Penerimaan (TR)

Penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh dari hasil penjualan benih.

Rincian penerimaan yang diperoleh usaha pembenihan ikan kerapu dapat dilihat

pada perhitungan berikut :

a. Jumlah telur yang tebar yaitu sebanyak 450.000 butir

HR = 44% x 450.000

= 154.000 butir

Jumlah benih yang hidup hingga pemanenan yaitu sebanyak 20.000 ekor. Jadi

kelangsungan hidup (SR) yang didapatkan adalah sebagai berikut :

Jumlah benih yang hidup


SR (%) = Jumlah larva yang tebar X 100 %

= 20.000 x 100%

154.000

= 12,9%

b. penerimaan (TR)

TR = Benih yang dihasilkan x ukuran x harga jual

= 20.000 x 3,3 cm x Rp 1.500/cm

= 99.000.000 per siklus

Penerimaan yang diperoleh untuk per siklus yaitu sebesar Rp 99.000.000


c.2 Keuntungan

Keuntungan merupakan selisih antara pendapatan dengan total biaya

prosuksi (biaya operasional). Keutungan diperoleh jika selisih antara pendapatan

dengan total biaya adalah positif. Keuntungan yang diperoleh dalam produksi

benih kerapu tikus yaitu sebagai berikut :

Keuntungan = Penerimaan-Biaya Operasional

= 99.000.000 – 47.516.185

= 51.483.815

Jadi, keuntungan yang diperoleh per siklus adalah sebesar Rp 51.483.815,-

c.3 R/C Ratio

Analisis ratio merupakan parameter analisis yang digunakan untuk melihat

pendapatan relative suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam

kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C ratio lebih dari 1

(R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C ratio, tingkat keuntungan suatu usaha akan

semakin tinggi. Nilai R/C ratio untuk pembenihan ikan kerapu tiku dapat dilihat

pada perhitungan sebagai berikut :

Hasil penjualan
R/C ratio = Total biaya per siklus

= 99.000.000
47.516.185

= Rp 2,1

R/C > 1 yaitu 2,1 sehingga usaha dalam produksi benih kerapu tikus ini

layak untuk dilaksanakan.


c.4 Break Event Poin (BEP)

BEP merupakan parameter analisis yang digunakan untuk mengetahui

batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu

tidak untung atau rugi. Usaha dinyatakan layak apabila nilai BEP produksi lebih

besar dari jumlah unit yang sedag diproduksi saat ini. Sementara itu, nilai BEP

harga lebih rendah dari pada harga sat ini. Nilai BEP (unit) dan BEP (Rp) pada

usaha pembenihan ikan kerapu tikus dapat dilihat pada perhitungan berikut ini :

Biaya total
BEP unit = Harga Satuan

= 47.516.185
4.950
= 9.599,2 ekor

BEP (Rp) = Biaya total


Total produksi
47.516.185
= 20.000
= Rp 2.375/3,3 cm

= Rp 719/cm

Artinya kegiatan pembenihan ikan kerapu tikus akan mengalami titik

impas apabila telah menjual sebanyak 9.599,2 ekor benih atau dengan harga jual

benih seharga Rp 719/cm.

c.5 Payback Periode (PP)

Analisis Payback Periode (PP) bertujuan untuk mengetahui waktu tingkat

pengembalian investasi yang telh ditanamkan pada suatu usaha, seperti usaha
pembenihan ikan kerapu tikus. Nilai PP pada usaha pembenihan ikan kerapu tikus

dapat dilihat pada perhitungna berikut ini :

Biaya Investasi
PP = Keuntungan x 1 tahun

215.733.900 x 1 tahun
= 51.483.815

= 4,2 tahun

Jadi, biaya investasi yang dikeluarkan untuk usaha pembenihan ikan

kerapu tikus akan kembali dalam jangka waktu 4,2 tahun atau dalam jangka 4

tahun 2,4 bulan.


Lampiran 6. Sarana dan Prasarana Pembenihan Ikan Kerapu Tikus

Budidaya di Balai Budidaya Air Payau Situbondo

a. Gedung

a.1Bak Pemeliharaan Larva a.2 Bak Rotifer a.3 Bak Chlorella sp

Kerapu Tikus

a.4 Bak Pemeliharaan induk a.5 Bak Karantina Ikan a.6 Tandon Air Laut

ikan Kerapu Tikus

a.7 Tandon Air Tawar a.8 Pompa Air Laut


b. Pakan Ikan

b.1 Pakan Ikan Rucah b.2 Udang Rebon b.3 Minyak Cumi

b.4 Vitamin b.5 Scott’s Emulsion b.6 Artemia Cysts

c. Peralatan

c.1 Egg Colector c.2 Alat Taging c.3 HCG(Human Chorionic

Gonadotropin

c.4 Akuarium c.5 sendok takaran c.6 Saringan


Pengambilan Telur
Lampiran 7. Suhu Harian pada Kolam Ikan Kerapu Tikus

suhu harian kolam ikan kerapu tikus


bak 1 bak 2 bak 4 bak 6
tanggal
06.00 12.00 16.00 06.00 12.00 16.00 06.00 12.00 16.00 06.00 12.00 16.00
o o o
08-Agust-10 30 C 30 C 31 C - - - - - - - - -
09-Agust-10 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC - - - - - -
o o o o o o o o o
10-Agust-10 30 C 31 C 31 C 30 C 31 C 31 C 30 C 31 C 31 C - - -
o o o o o o o o o o o
11-Agust-10 29 C 31 C 31 C 30 C 31 C 31 C 30 C 31 C 31 C 31 C 31 C 31oC
12-Agust-10 29oC 30oC 30oC 30oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
3-Agust-10 29oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
14-Agust-10 30oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
15-Agust-10 30oC 30oC 30oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
16-Agust-10 29oC 31oC 30oC 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
17-Agust-10 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

18-Agust-10 30oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

19-Agust-10 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

20-Agust-10 29oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

21-Agust-10 29oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC

22-Agust-10 29oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC

23-Agust-10 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

24-Agust-10 30oC 31oC 30oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC
25-Agust-10 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

26-Agust-10 29oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

27-Agust-10 30oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

28-Agust-10 29oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

29-Agust-10 29oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC

30-Agust-10 29oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC 31oC

31-Agust-10 29oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 31oC 30oC 31oC 31oC

You might also like