You are on page 1of 9

LAPORAN SEMENTARA PENELITIAN RELOKASI PKL DARI MONUMEN 45 KE PASAR NOTOHARJO SURAKARTA

Laporan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Masyarakat Indonesia Dosen Pengampu : Dr. Gamal Rindarjono, M.si

OLEH : 1. 2. 3. 4. 5. ACHMAD SYARIF BENI SETIAWAN DANNA AZIZ MARTA W LILYANA HARYANTI WAHYU PURWANTO (K5409001) (K5409011) (K5409017) (K5409036) (K5409061)

PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

A. Gambaran Umum Kota Surakarta Secara geografis Kota Surakarta berada antara740 LU 8100 LS dan antara 110270 BB 11120 BT, dengan luas wilayah kurang lebih 44,03 km2 Kota Surakarta juga berada pada cekungan di antara dua gunung, yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi dan di bagian timur dan selatan dibatasi oleh Sungai Bengawan Solo. Dilihat dari aspek lalu lintas perhubungan di Pulau Jawa, posisi Kota Surakarta tersebut berada pada jalur strategis yaitu pertemuan atau simpul yang menghubungkan Semarang dengan Yogyakarta (Joglosemar) dan jalur Surabaya dengan Yogyakarta. Dengan posisi yang strategis ini maka tidak heran kota Surakarta menjadi pusat bisnis yang penting bagi daerah kabupaten di sekitarnya. Jika dilihat dari batas kewilayahan, Kota Surakarta dikelilingi oleh 3 kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Karanganyar dan Boyolali, sebelah timur dibatasi dengan kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan

kabupaten Sukoharjo, dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar. Sementara itu secara administratif, Kota Surakarta terdiri dari 5 (lima) wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Dari kelima kecamatan ini, terbagi menjadi 51 kelurahan, 595 Rukun Warga (RW) dan 2669 Rukun Tetangga (RT). Karena wilayahnya yang strategis Surakarta dijadikan pilihan masyarakat untuk melakukan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Pelaku ekonomi disini di dominasi oleh masyarakat yang berasal dari Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo dan Boyolali. Sebagian dari mereka merupakan kaum komuter (penglaju) dan sebagian besar lainnya adalah kaum urban. Pada umumnya aktifitas ekonomi yang mereka lakukan terpusat pada instusi pemerintahann, perguruan tinggi, lembaga pendidikan dan yang paling menonjol adalah sebagai pedagang. Profesi pedagang didominasi oleh kaum urban. Makin tingginya angka urbanisasi nyatanya menimbulkan permasalahan-permasalahn sosial yang cukup pelik, seperti mulai semrawutnya beberapa wilayah yang dijadikan pusat kegiatan ekonomi (perdagangan). Hal ini tentu perlu melibatkan campur tangan pemerintah Daerah setempat untuk menetapkan kebijakan-kebijakan tata ruang kota. Salah satu kecamatan yang mulai jenuh akan kegiatan perdangan tersebut adalah kecamatan banjarsari. B. Kecamatan Banjarsari Banjarsari adalah kecamatan yang terletak di pusat kota Surakarta. Di kecamatan ini terletak stasiun Solo Balapan yang melayani perjalanan kereta api menuju Jakarta/Yogyakarta, Surabaya dan Semarang. Selain itu di sini terletak pula Terminal Tirtonadi yang merupakan terminal bus terdapat pula Pura Mangkunagaran, istana kerajaan Mangkunegara, salah satu ahli waris kerajaan Mataram Baru. Kecamatan ini adalah kecamatan terbesar di Surakarta dan juga kecamatan yang paling kaya. Banyak hotel berbintang internasional terletak di kecamatan ini. Selain itu terdapat tiga pemakaman penting di kecamatan ini: TPU Bonoloyo, Astana Utara Nayu, dan Astana Bibis Luhur. Banjarsari yang kaya akan objek-objek menarik untuk wisata menjadi sasaran masyarakat untuk berdagang. Kondisinya yang ramai menyebabkan kegiatan perdagangan kian menjamur, akibatnya kesan semrawut dan kumuh menjadi pemandangan paling dominan di kecamatan ini. Hingga pada akhirnya pemerintah daerah Surakarta memutuskan untuk

melakukan Relokasi bagi Pedagang kaki lima (PKL). Relokasi ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Mewujudkan tata ruang kota yang harmonis 2. Tersedianya fasilitas umum dan fasilitas social 3. Memberikan kepastian usaha bagi PKL 4. Memberdayakan ekonomi masyarakat Visi Tata Ruang Kota Surakarta 1. Terwujudnya penataan ruang yang berkarakter kota Solo 2. Mewujudkan penataan ruang kawasan yang berkarakter dan berwawasan kultur dalam rangka memasyarakatkan masyarakat. Misi Tata Ruang kota Surakarta 1. Mewujudkan pengendalian system tata ruang dan pemanfaatan ruang 2. Terwujudnya kota Solo sebagai kota yang berkarakter ecoculture city 3. Terwujudnya pencitraan kota yang beridentitas lokal A. Pasar Notoharjo Klithikan Semanggi Pasar Notoharjo dibangun pada tahun 2006 oleh Pemerintah Kota Surakarta. Pasar ini terletak di Kalurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, diatas lahan seluas 1.800 m2. Pasar Klithikan Notoharjo dibangun menampung pedagang kaki lima diarea Taman Monumen 45 Banjarsari yang berjumlah 909 pedagang. Pasar Notoharjo lebih dikenal dengan nama Pasar Klithikan karena pasar tersebut sebagai wadah bagi pedagang kaki lima yang menjual berbagai barang bekas, seperti elektronik, pakaian, ponsel, sparepart kendaraan dan barang-barang lainnya. Pasar ini cukup unik karena disini pengunjung bisa menemukan barang-barang bekas yang dengan kreativitas para pedagang maka barang-barang tersebut dimanfaatkan kembali. Masyarakat Solo lebih sering menyebutnya Pasar Klithikan Semanggi. Salah satu hal penting yang patut dicatat dari keberadaan pasar ini sekarang adalah

sejarahnya yang bermula dari pasar barang bekas (klithikan), berupa kios-kios organis yang bermunculan hampir memenuhi area sekitar. Monumen 45 Banjarsari Solo. Pada masa awal kepemimpinan walikota Joko Widodo, komoditi pasar barang bekas ini berhasil dipindahkan dan dilokalisasi secara damai ke Pasar Notoharjo sekarang. Berbagai macam barang bekas dan baru dapat ditelusuri di sini, mulai dari barang-barang elektronik, alat-alat pertukangan & montir, alat-alat rumah tangga, kaset & VCD bekas, aneka macam onderdil mobil & sepeda motor hingga pakaian-pakaian murah. Pembangunan Pasar Klithikan Notoharjo dan Upaya Perbaikan Citra Tentang Silir Menindaklanjuti Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tinggkat II Surakarta Nomor: 462.3/094/1/1998 tentang Penutupan Kampung Silir Sebagai Tempat Resosialisasi, dimana salah satu keputusan tentang bekas lahan resosialisasi beserta perluasaannya sesuai dengan kebutuhan akan direncanakan untuk pembangunan fasilitas umum berupa pasar induk hasil bumi dan fasilitas transportasi, maka pemkot telah membuat sebuah desain dimana eks resosialisasi Silir akan dijadikan pasar Klithikan Semanggi, pasar rakyat yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi kerakyatan. Pembangunan pasar Klithikan selain untuk memberdayakan ekonomi kerakyatan, pembangunan ini juga berupaya untuk penataan tata ruang kota Solo yang cenderung kumuh dan tidak tertata dengan baik ke arah yang lebih baik lagi, maka dari itu banyak tempat yang selama ini terkesan kumuh oleh Pemkot direlokasi. Salah satunya adalah para PKL yang berada di sekitar Monumen 45 Banjarsari, untuk relokasi tersebut maka Pemkot telah menyiapkan lahan di Semanggi Seluas 11,950 meter persegi. Di atas lahan tersebut dibangun kios sebanyak 1.018 buah dan sarana prasarana lainnya, diantaranya parkir mobil dan sepeda motor, koridor, kantor pengelola, mushola dan sarana dan fasilitas umum lainnya. Pemilihan Semanggi bukan tanpa pertimbangan seksama, karena wilayah ini ditunjang beberapa potensi, diantaranya sarana dan prasarana transportasi lengkap; adanya pusat-pusast kegiatan sebagai pemacu pertumbuhan kawasan yang berupa pasar besi, pasar ayam, pasar klithikan, pasar rakyat, rumah toko (ruko), sub terminal dan bongkar muat, perumahan, penginapan, hotel dan restoran, rumah sakit serta tempat ibadah.di samping Semanggi juga terletak di kawasan pertumbuhan wilayah perbatasan. Selain itu juga, secara historis pemilihan tempat ini juga untuk merubah pandangan masyarakat tentang wilayah Silir yang selama ini lebih terkenal sebagai tempat yang dijadikan aktivitas pelacuran untuk menjadi lebih baik lagi dan tidak lagi terkenal sebagai tempat pelacuran.

Proses pembangunan pasar sendiri memakan waktu kurang lebih 90 hari serta biaya Rp. 5.126.250.000,00. Relokasi PKL dari Banjarsari ke Semanggi dilakukan setelah tahap pembangunan fisik kios dan kelengkapan fasilitas pasar. Proses pembangunan sendiri selesai pada tanggal 27 Juni 2006 dengan masa tenggang 14 hari sehingga pasar dapat digunakan mulai tanggal 11 Juli 2006. Untuk menyiasati suatu kecemburuan dan konflik antar pengguna kios, Pemkot bekerja sama dengan paguyuban pedagang PKL Banjarsari melakukan suatu pengundian untuk memilih tempat berjualan para pedagang, agar tidak timbul suatu kecurigaan dalam pengundian tersebut metode dan ketentuan tentang tata cara pengundian telah disepakati bersama sebelumnya. Setting kios pasar sendiri terbagi dalam 18 blok berdasarkan jenis dagangan yang diperjual belikan. Sesuai tahap pelaksanaan undian, pedagang diikat sebuah perjanjian tertulis agar mereka mematuhi pembagian zoning, hasil undian dan ketentuan lainnya yang berlaku mengenai pasar. Salah satu hal penting dalam perjanjian itu adalah komitmen dari para pedagang untuk tidak menjual atau mengalihkan hak penempatan kios yang menjadi jatahnya. Komitmen ini sangat penting karena relokasi ini oleh pemerintah kota diberi kemudahan mendapatkan Surat Hak Penempatan (SHP), Surai Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) tanpa membayar alias gratis. Tanggal 23 Juli 2006 kota Surakarta mempunyai Gawe besar berupa prosesi kirab budaya yang menandai boyongan resmi para pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan Monumen 45 Banjarsari menuju lokasi yang baru yaitu Pasar Klithikan Notoharjo. Peristiwa ini merupakan suatu hal yang langka dan baru pertama kali terjadi Bedhol Desa PKL yang melibatkan pedagang kaki lima dalam jumlah kurang lebih 989 pedagang. Mereka secara resmi meninggalkan lokasi tempat berdagang di Monumen 45 Banjarsari yang akan dikembalikan sebagai ruang publik, untuk memulai hidup baru di pasar yagn telah di desain secara khusus oleh Pemkot untuk perdagangan klithikan di kawasan Semanggi. Boyongan PKL ini menandai akhir sebuah upaya panjang yang tidak saja membutuhkan keuletan, kerja keras dan kesabaran yang luar biasa tetapi juga penuh liku-liku karena sempat diwarnai penolakan para PKL serta wacana tentang relokasi PKL monumen banjarsari sebenarnya sudah berlangsung lama. Tercatat sudah tiga kepemimpinan Walikota mencoba merelokasi. Di mulai dari era kepemimpinan Imam Sutopo kemudian dilanjutkan pada masa Walikota - Wakil Walikota Slamet Suryanto dan J Soeprapto, hingga akhirnya ke masa kepemimpinan Walikota wakil Walikota Joko Widodo FX Hadi Rudyatmoko. Bahkan

sebuah pembangunan yang pembiayaannya dibantu anggaran dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah berdiri di Semanggi untuk digunakan relokasi namun hingga bangunan ini mangkrak dan rusak terjadi tari ulur sehingga isu relokasi tak kunjung tuntas bahkan menjurus ke permasalahan yang sangat kompleks. Proses relokasi yang berjalan lancar dan tanpa ada suatu tindakan kekerasan oleh Pemkot Surakarta merupakan kredit poin tersendiri bagi kepemimpinan Walikota Wakil Walikota, Joko Widodo FX Hadi Rudyatmoko. Karena itu, keberhasilan ini bukan berarti penataan tata ruang serta Permasalahan PKL di kota Surakarta telah selesai, tetapi hal ini dijadikan suatu momentum oleh Pemkot untuk mewujudkan Solo yang berseri segera tercapai. B. Permasalahan Baru yang Timbul Pasca Relokasi Sejauh kegiatan relokasi dinyatakan berhasil namun kenyataan dilapangan menunjukan lain. Pedagang-pedagang baru mulai datang dan memadati area Banjarsari park, sewaktu disinggung masalah ini pihak pedagang membeberkan alasan mereka yang memilih tempat berjualan yang sudah disterilkan sebelumnya oleh pihak pemerintah daerah. Desakan ekonomi dan mulai sempitnya lapangan kerja yang membuat mereka pada akhirnya nekat berjualan. Berbicara tentang tindakan tegas aparat pemerintah daerah menanggapi berulangnaya pelanggaran ini sebenarnya telah ditindak lanjuti dengan mengadakan operasi pembersihan penyakit masyarakat dengan menggaruk pedagang kaki lima, pengemis dan gelandangan. Namun sejauh ini bisa kita lihat bahwa masih banyak pedagang kaki lima yang melakukan aktifitas perdagangan di sekitar Banjarsari Park. Itu artinya kegiatan operasi pembersihan ini harus dilakukan secara kontinyu dengan pemberian sanksi tegas bagi pedagang yang dianggap bandel. C. Wawancara 1.Nama; Ibu Sumiyati Lokasi : Banjarsari Park Profesi : Pedagang HIK Beliau sebenarnya baru satu tahun jualan di Banjarsari Park pasca relokasi besar-besaran PKL ke Pasar Notoharjo. Beliau merupakan

satu dari pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar Banjarsari Park. Munculnya pedagang baru tersebut karena lokasi Banjarsari Park yang menjadi pusat keramaian warga yang melakukan aktivitas olahraga atau sekedar bersantai. Selain itu, mereka juga tidak mendapatkan lokasi berjualan yang diperbolehkan pemerintah. Selain itu, pedagang pedagang yang ada di Banjarsari park ini juga merupkan pindahan dari pasar klithikan Notoharjo , yang dagangannya tidak laku, sehingga mereka memilih menjual atau menyewakan kiosnya, dan memilih untuk menjadi pedagang semi permanen di sekitar Banjarsari Park. Konsekuensinya, mereka mengaku selalu ditertibkan satpol pp setiap minggu. Meskipun begitu, mereka masih saja berjualan di sekitar Banjarsari Park karena setiap harinya mereka juga dimintai biaya retribusi sebesar Rp 1000,- tiap hari. Selain itu, belum adanya kepastian tempat relokasi, membuat mereka enggan pindah dari tempat mereka berjualan.

2. Nama : Hendro Saputro Lokasi : Pasar Notoharjo Profesi : Pedagang Mie Ayam Bapak Hendro ini merupakan salah satu dari sekian banyak pedagang yang direlokasi oleh pemerintah kota Surakarta dari Monumen 45 Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo. Beliau mengaku sudah berdagang mie ayam di Monumen 45 Banjarsari selama 14 tahun. Awalnya beliau menolak wacana relokasi ini, namun setelah melakukan pertemuan dengan bapak Walikota sebanyak 4 hingga 5 kali untuk berunding, setelah sebelumnya dijamu makan malam beberapa kali, akhirnya beliau menyetujuinya dilakukannya relokasi. Pendapatan di Monumen 45 Banjarsari lebih tinggi dari pada di Pasar Klithikan Notoharjo. Awalnya, ketika berdagang di Banjarsari beliau mengaku dapat

menjual sebanyak 80 hingga 100 mangkuk per hari pada hari biasa, dan sebanyak 125 hingga 130 mangkuk per hari pada hari minggu, namun ketika direlokasi beliau hanya mampu menjual 30 sampai 40 mangkuk per hari dan 50 hingga 60 mangkuk per hari di hari minggu, jadi bisa dikatakan penurunan penjualannya hingga 50% lebih. Namun setelah berdagang selama 4 tahun di Pasar Klithikan Notoharjo ini, pendapatanya mulai meningkat sekitar 10% hingga 20 % dari hasil penjualan awalnya. Menurut beliau penurunan pendapatan ini memang wajar, karena di tempat yang baru ini, para pedagang juga harus mencari pelanggan pelanggan yang baru juga, atau bisa dikatakan dengan istilah jawa yaitu mbabat alas yang artinya memulai dari awal kembali. Lalu ketika disinggung mengenai beberapa kios kios yang kosong, menurutnya banyak para pedagang yang mengalami penurunan pendapatan secara signifikan, sehingga pendapatannya jauh lebih kecil dari biaya operasionalnya, sehingga banyak pedagang yang memutuskan untuk menutup kiosnya, atau bahkan menyewakannya maupun menjualnya.

You might also like