You are on page 1of 5

Aceh Economic Review Edisi : Jan-Mar 2011 Rubrik : Wisata 1

Menyongsong Visit Banda Aceh Year 2011

Banda Aceh, Bandarnya para Raja


Byurrr., awan pekat yang sejak dua hari bergelayut di langit Kota Banda Aceh pun tak kuasa lagi menggantung. Hujan sejadijadinya mengawali grand launching Visit Banda Aceh Year (VBAY) pada Sabtu, 29 Januari 2011 siang itu. Namun, pengunjung yang sedari pagi memadati Taman Sari tak bergeming. Satu dua gerombolan bergeser mencari tempat berteduh di bawah rimbun pepohon dengan bergegas. Sebagian berdesakan merangsek ke dalam gedung pusat komunitas yang terletak di jantung taman. Mereka tetap antusias ingin menyaksikan hiburan barongsai, debus, Rapai Geleng, musik etnik Aceh, Rafli, serta penampilan artis Ibukota asal Aceh, Teuku Wisnu, dan Nova Eliza. Cuaca sejuk yang menyelimuti Kota Banda Aceh dalam beberapa hari ini seakan mengerti. Pawai pakaian adat nusantara yang diikuti ratusan anak sekolah, sanggar seni, serta staf dan pimpinan SKPK di lingkungan Pemko Banda Aceh, hingga para keuchik menjadi semakin meriah. Tak kalah seru, Walikota Mawardy Nurdin, dan Wakil Walikota, Illiza Saaduddin Djamal saling berbalas pantun Aceh, sebelum membuka acara puncak VBAY 2011 di depan Balai Kota pada malam harinya. Aura Peumulia Jamee Adat Geutanyoe (memuliakan tamu, adalah adat kita-red) semakin terasa di Banda Aceh. Masyarakat Banda Aceh telah siap menyambut kedatangan wisatawan dalam dan luar negeri, tambah Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Banda Aceh, Drs. Reza Fahlevi MSi dengan mantap.

Bandar para Raja


Sebagai ibu kota provinsi, tidaklah heran jika Banda Aceh merupakan kota terbesar dan tersibuk di Aceh. Kondisi ini bahkan sudah berlaku sejak ratusan tahun yang lalu. Kata Banda sendiri diyakini berasal dari Bahasa Persia, Bandar, yang berarti Kota atau Pelabuhan. Mengenai riwayatnya, ada banyak tulisan dan catatan sejarah yang berbeda. Namun, dari penelitian yang dilakukan para ahli, Kota Banda Aceh diyakini telah berdiri pada Tahun 1205 M. Sebelumnya, daratan Aceh dan semenanjung Malaka dikuasai oleh

sebuah Kerajaan Hindu Indrapurba dengan Ibu Kotanya Bandar Lamuri (sekarang Lamreh di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya red). Dari sebuah hikayat, Husein Djajadiningrat, seorang peneliti sejarah menuliskan silsilah kerajaan Aceh yang berpangkal pada Sultan Johan Syah. Alkisah, sekitar tahun 1059-1069 Masehi, serangan yang dilancarkan Kerajaan Tiongkok terhadap Kerajaan Indra Purba (Lamuri) dapat dilumpuhkan berkat bantuan 300 pasukan Kerajaan Islam Perlak yang dipimpin Syaikh Abdullah Kanan (bergelar Syiah Hudan, turunan Arab dari Kanan). Kemenangan ini mendorong Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyatnya memeluk agama Islam. Tidak hanya itu, iapun mengawinkan puterinya, Puteri Blieng Indra Kusuma dengan Meurah Johan, putera Raja Linge Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yang ikut menyerang tentara Tiongkok. Dua puluh lima tahun kemudian, Raja Indra Sakti wafat dan menantunya Meurah Johan diangkat menjadi Raja dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah. Pada masa inilah kerajaan Indrapurba atau Lamuri berubah menjadi kerajaan Islam, dan ibu kota kerajaan dibuat yang baru yaitu di tepi Krueng (sungai) Aceh sekarang dan dinamai dengan Bandar Darussalam. (Lilla Banguna, 2010). Dengan perhitungan kasar, Kota Banda Aceh diperkirakan telah berusia sekitar 806 tahun hingga saat ini dan merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Sejarah telah mencatat puluhan raja agung yang pernah memerintah dan menetap di Kota Banda Aceh. Kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah (1511-1530), panglima Perang yang kemudian mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam dengan menyatukan seluruh kerajaan kecil di Aceh untuk melawan pengaruh Portugis. Puncak keemasan Kerajaan Aceh terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636) yang menjadikan Kerajaan Aceh Darussalam sebagai kerajaan Islam terhebat dan terkuat di Asia Tenggara yang berdiri sejajar dengan kerajaan Islam lainnya di dunia seperti Kerajaan Turki Usmani di Turki, Kerajan Safawi atau Ishafan di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Sepanjang riwayatnya, Kota Bandar Aceh Darussalam kerap menjadi saksi bisu peperangan antar saudara maupun perang terhadap agresi negara asing. Lambat laun, kegemilangan Kota Bandar Aceh Darussalam mulai memudar. Puncaknya terjadi pada tanggal 24 Januari 1874, atau setahun setelah agresi Belanda ke-2 di Aceh. Gubernur Van Swieten mengganti nama Bandar Aceh Darussalam dengan Kutaraja untuk menegaskan bahwa Ibukota telah jatuh ke tangan kolonialisme. Nama Kutaraja terus bertahan hingga 89 tahun lamanya hingga diganti kembali menjadi Banda Aceh paska kemerdekaan Republik Indonesia. Pengembalian nama Kota Banda

Aceh ditabalkan melalui Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. Des 52/1/43-43 tanggal 9 Mei 1963 dan terus bertahan hingga saat ini. Sebagaimana pusat kota lainnya, masyarakat Kota Banda Aceh terdiri dari komunitas multikultural dimana etnis asli seperti Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, Singkil dan Simeulue berbaur dengan etnis pendatang sejak ratusan tahun lalu. Kehadiran etnis pendatang seperti Arab, India, China, Persia dan Eropa dikenal erat hubungannya dengan arus perdagangan dan penyebaran Agama Islam di kawasan Asia. Meskipun banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli, namun bentuk wajah, kulit dan rambut masih tetap menunjukkan asal keturunannya. Disamping itu, variasi makanan seperti kari, dalca dan mie Aceh sangat jelas aromanya. Tidak hanya itu, warisan kebudayaan Hindu seperti nama desa (Indrapuri, Indrapatra), upacara selamatan rumah baru, pergi dan pulang haji, dll (peusijuek), serta lukisan dari daun pacar yang dihaluskan pada tubuh mempelai wanita (henna) masih tetap lestari hingga saat ini. Beberapa Pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang dikenal dengan Lonceng Cakra Donya, tersimpan di halaman Museum Aceh. Banyak juga keturunan bangsa Persia, seperti: Iran, Afghanistan dan Turki yang datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh. Saat ini keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di Aceh. Sebagai kota perjuangan, nuansa heroik Kota Banda Aceh begitu terasa. Mulai dari situs makam raja-raja, museum sejarah, benteng pertempuran, terowongan bawah tanah, replika pesawat Garuda RI01 sebagai lambang sumbangsih rakyat Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia, serta kuburan tentara kolonial Belanda Kherkof di desa Blower, sekitar Lapangan Blang Padang. Nuansa heroisme warga Aceh semakin kental ketika melihat menu keseharian masyarakatnya. Tengok saja lauknya - ikan kayu, sayurnya daun paku, minumnya es batu, atau juice jambu batu demikian joke yang selalu diperbincangkan kepada pelancong di warung-warung kopi.

Saksi Sejarah Banda Aceh


Anda tidak akan pernah sampai ke Banda Aceh bila belum menginjakkan kaki ke Mesjid Baiturrahman. Demikian kata orang.

Sejarah telah mencatat bahwa Mesjid Baiturrahman merupakan saksi bisu sejarah Aceh yang agung. Mesjid ini merupakan simbol kegigihan serta marwah masyarakat Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok mesjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya. Terletak persis di jantung kota, Masjid Baiturrahman sudah berdiri sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini saat didirikannya Kota Bandar Darussalam. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada Tahun 1286 M (691 H) di masa kejayaan pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, cucunya. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Secara fisik, mesjid ini telah mengalami perubahan dan perkembangan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip masjid-masjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat. Pada Tahun 1873, mesjid ini dibakar oleh Belanda. Mengapa dibakar, karena masjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Namun, untuk meredam kemarahan Rakyat Aceh yang memuncak, enam tahun kemudian Pemerintah Belanda pun membangunnya kembali dengan konstruksi beton. Peletakan batu pertama dilakukan Tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang - Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Deretan pertokoan dan pedagang kaki lima yang berdesakan di sekeliling mesjid telah memperkuat posisinya sebagai denyut nadi perekonomian kota selama lebih kurang 800 tahun. Kini, Banda Aceh telah banyak berubah. Disamping tampak lebih modern, kota yang sarat dengan sejarah ini telah lebih hidup dengan penataan taman, hutan kota dan lampu aneka warna. Wah saya sampai terpesona, sudah banyak tersesat di jalan-jalan kota, ungkap Tgk. Rusli AR (53), warga Takengon yang dulu pernah tinggal di Kuta Alam waktu masa sekolah. Dalam 15 tahun terakhir, saya ada beberapa kali balik ke Banda Aceh. Pembangunan Kota Banda Aceh jauh lebih pesat kini, akunya lebih lanjut. Lain pula pengakuan A-seng (60). Pedagang kain yang telah puluhan tahun berjualan di Pasar Aceh ini merasa banyak kemajuan.

Dulu ia hanya berjualan di toko sempit yang sangat sederhana. Kini, dengan dibangunnya Pasar Aceh yang modern, tokonya sudah tampak mewah. Meskipun untuk itu ia harus membayar sewa yang lebih mahal kepada Pemko Banda Aceh. Namun tidak apalah, karena kini tokonya lebih banyak pembeli dibandingkan dulu, tuturnya lebih lanjut. Aseng mengaku omsenya meningkat rata-rata 20 persen sejak pindah ke gedung baru di Pasar Aceh ini. [adek]

You might also like