You are on page 1of 21

Kamis, 11 Maret 2010 Empati yang Membebaskan Kamis, 10 Desember 2009 | 04:56 WIB Achmad M Akung Keadilan sesungguhnya

adalah satu di antara sekian banyak atribut Tuhan yang sangat indah. Manusialah, karena keluhuran akal budinya, yang diberi amanat menjaganya dalam setiap gerak kehidupan. Berlaku adil dan diperlakukan adil adalah formula normatif terbaik dalam kehidupan. Tidak sederhana memang karena keadilan tidak selamanya bersifat obyektif. Kadang keadilan adalah realitas yang dipersepsikan sehingga sifatnya menjadi sangat subyektif. Adalah hak publik pula untuk memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu keadilan. Dengan logikanya yang sederhana, masyarakat kadang bahkan lebih permana (cermat) dalam menakar keadilan ketimbang para penegak hukum yang berkiblat dengan logika-logika njelimet. Apabila kita mengamini pandangan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, keadilan sejati tersebut tentu saja senada dengan apa yang disuarakan rakyat. Realitasnya, sekian lama kita berkutat dalam lembaga bernama negara, keadilan itu rasanya menjadi semakin sulit kita temui. Semakin banyak orang menangis, histeris, karena merasa ditidakadili. Keadilan justru dikorupsi oleh aparat yang diamanati rakyat untuk menegakkannya. Belum lagi drama cicak-buaya pupus dari ruang batin kita, kisah Minah dengan tiga biji kakao temuannya belum juga bisa dilupakan, kisah pilu peradilan kita tertoreh kembali. Kali ini Prita Mulyasari, yang tertebas pedang keadilan. Prita kalah dalam gugatan perdata di Pengadilan Tinggi Banten yang mengganjarnya denda Rp 204 juta karena dianggap mencemarkan nama baik dan dokter sebuah rumah sakit ternama di Serpong. Meski proses hukum belum berakhir, rasa keadilan publik telanjur terusik. Ada getar rasa yang tidak terkata ketika penulis membaca cerita Keadilan Direcehkan, Koin Dikumpulkan (Kompas, 8/12/2009). Rasa senada juga pernah hadir ketika dukungan atas BibitCandra meluas di jejaring sosial dunia maya. Psikologi empati

Dalam ranah psikologi, fenomena dukungan yang meluas di tengah masyarakat kepada pihak yang dipersepsikan sedang ditidakadili (dizalimi), seperti dalam kasus KPK dan Prita, adalah manifestasi rasa empati yang dimiliki publik. Diksi empati berakar dari kata Yunani, empatheia, yang berarti ikut merasakan. Awalnya, digunakan para teoretikus estetika untuk kemampuan memahami pengalaman subyektif orang lain. Empati melibatkan apa yang disebut sebagai pengambilan perspektif, yaitu sebuah kemampuan untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain. Dalam konteks ini, individu mengubah pola diri secara imajinatif ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari obyek empati. Empati sesungguhnya adalah anugerah yang khas dimiliki manusia sebagai bagian dari rasa kamanungasan (sense of humaness). Tanpa empati yang tumbuh dan berakar kuat dalam diri, sesungguhnya kita telah terjerembab pada apa yang disebut Nick Haslam (2006) sebagai gejala dehumanisasi mekanistik. Hati publik yang terketuk dalam kasus Prita adalah tanda hati yang masih memiliki empati. Secara imajinatif, publik memosisikan dirinya pada perasaan, pikiran, dan penderitaan seorang ibu rumah tangga, yang atas nama hukum dipaksa negara membayar ratusan juta, justru ketika ia menuntut haknya. Empati itu lantas mengalirkan dukungan yang tidak sebatas pada pernyataan belaka, tetapi diikuti perilaku prososial berupa pengumpulan uang receh yang secara spontan dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Meliberasi diri Secara harfiah, pengumpulan receh memang dimaksudkan untuk membebaskan Prita dari hukuman dan beban finansial akibat tingginya denda yang harus dibayarkan. Namun secara implisit, gerakan ini sesungguhnya sarat makna. Ruh zaman (zeitgeist) yang harus dihadapi dalam konteks kekinian memang membenturkan kita dengan realitas sulitnya mencari keadilan. Hukum yang dikonstruksi di negeri ini enggan berpihak kepada rakyat kecil. Sebaliknya, secara telanjang hukum justru menunjukkan keberpihakannya kepada golongan tertentu. Namun apa daya, publik tak kuasa menghadapinya. Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan dipritakan. Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis

akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli. Sebagai catatan penutup, semoga aparat penegak hukum memiliki nurani yang cukup untuk merasakan sentilan mesra penuh cinta dari rakyat yang menjelang putus asa mendamba keadilan. Jangan biarkan ia berubah menjadi amarah yang membara. Sungguh, publik menantikan saatnya negara bisa berempati dan menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, menyemai keadilan di seluruh penjuru negeri. Achmad M Akung Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UGM; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang

Berita Aktual

SM Cetak

Suara Warga

Entertainmen

Gaya

Kejawen

Layar

Lelaki

Sehat

Sport

Wanita

Surat Pembaca

Home Berita Utama Semarang & Sekitarnya Lintas Muria Lintas Pantura Lintas Solo Lintas Kedu-Banyumas Yogyakarta Internasional Ekonomi & Bisnis Wacana Olahraga Hiburan & Seni Hukum Perempuan Ragam Pendidikan Kesehatan Teknologi

WACANA 03 Februari 2009

Tersesat dalam Aliran Sesat

Oleh Achmad M Akung

MASYARAKAT kita kembali dikejutkan oleh kemunculan aliran sesat (sekte) baru di Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Suara Merdeka, 29 Januari 2009). Menilik namanya, Satrio Piningit Weteng Buwono, sekilas aliran itu dekat dengan kejawen. Namun, siapa mengira sekte itu berangkat dari ajaran Islam yang dimodifikasi oleh pemimpinnya, Agus Imam Solichin. Sekte itu mengajarkan pengikutnya melakukan ritual yang bertentangan dengan Islam, berjanji menanggung dosa para pengikutnya, masuk ke arasi Tuhan tanpa melewati kematian, serta ibadah yang dilakukan tanpa busana. Kelanjutannya, adalah ritual seks bersama dengan bergantian pasangan sesama pengikut. Semua dilakukan atas ajaran Sang Guru, yang belakangan juga mengaku sebagai tuhan. Dari perspektif psikologi agama dan dinamika psikososial, fenomena itu menarik untuk dicermati. Sekte memang bukan barang baru dalam kehidupan masyarakat kita; tapi mengapa fenomena itu terus saja muncul dengan pengikut yang taqlid wuta, tunduk mengimani segenap kenyelenehannya.

Morfologi Sekte
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1999), sekte diartikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang secara substantif berbeda dari pandangan fundamental agama yang lebih lazim diterima oleh masyarakat. Sekte merupakan menyimpang dari agama besar dan agama samawi yang sudah mapan secara legal formal. Di Indonesia, sekte merupakan permasalahan semua agama-agama legal, karena faktanya semua agama tersebut memiliki potensi tumbuhnya gerakan sempalan. Sekte biasanya memang berangkat dengan mendompleng ajaran agama tertentu, untuk selanjutnya bermetamorfosis, menyempal, bahkan melawan agama asalnya.

Kampus Arsip SM Cetak

Sekadar berkilas balik, berbicara mengenai sekte kita akan menemui Lia Eden dengan Gods Kingdom Eden, yang mengaku menjadi Rohul Kudus, kadang mengaku juga sebagai Malaikat Jibril, Bunda Maria, hingga Titisan Ratu Laut Selatan. Wahyu tuhan yang diturunkan kepadanya pada 23 November 2008 untuk menghapuskan semua agama dan mendelegitimasi kekuasaan pemerintahan Indonesia, membuatnya kembali terancam Pasal 156 A subsider 156 KUHP, karena menunjukkan permusuhan atau penodaan terhadap agama di Indonesia. Kita juga mengenal Ahmad Mushaddeq dengan Al Qiyaadah Al Islamiyah yang mengaku menjadi nabi. Anehnya, meskipun ia mengaku telah bertaubat dan menyadari semua kesalahannya, pengikutnya yang tersebar di beberapa kota di Indonesia yang kadhung beriman, tetap saja keukeuh dengan kesesatannya. Dua kasus tersebut sesungguhnya hanyalah puncak gunung es dari dinamika aliran sesat di Indonesia. Di Amerika Serikat (AS), sekte mulai popular pada awal 1970-an sebagai bagian dari new religion movement (NRM) atau gerakan agama baru, yang sejatinya bukanlah agama karena sifatnya semu, sehingga sering disebut sebagai pseudo religion. Umumnya, ajaran semacam itu menawarkan religiusitas serta cita rasa spiritualitas yang instan, namun sejatinya palsu. Kepalsuan tersebut bisa jadi karena merupakan hasil konstruksi yang ditarik berdasarkan pemikiran manusia semata, yang mengaku mendapat petunjuk dan pencerahan (enlightment) dari apa yang mereka yakini sebagai tuhan. Sekadar berkilas balik, pada 1978 di AS sebanyak 913 pengikut James Jones yang mengaku sebagai titisan Yesus, Ikhnaton, Buddha, dan Lenin sekaligus mengajak para peminumnya menenggak racun di sebuah desa yang disebut sebagai Jones Town. Aksi bunuh diri massal juga dilakukan oleh sekte Heavens Gate serta sempalan pimpinan David Koresch. Di Jepang, sekte Aum Shinrikyo pimpinan Shoko Ashahara melancarkan serangan gas sarin di jaringan kereta api bawah tanah. Apabila mengkaji lebih jauh, kita akan mendapatkan beberapa karakteristik yang umumnya melekat dalam sebuah gerakan keagamaan yang menyimpang (Madjid, 2000). Pertama, kultus terhadap pemimpin (guru) sebagai sebuah bentuk pemujaan selalu berpusat pada otoritas pribadi sang pemimpin yang begitu mencekam para penganutnya, sehingga tumbuh mind set kepatuhan, ketundukan, dan kebergantungan yang sangat kuat. Michael Rogge dalam Psychology of Spiritual Movement (Rahmat, 1999) menuliskan bahwa setiap guru mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui sendiri oleh para muridnya. Akses ke realitas tersembunyi tersebut akan diberikan apabila para pengikutnya setia kepada ajarannya, menerima otoritasnya, serta menyerahkan diri mereka kepadanya. Makin gelap tindakan guru, kian benar dan kian harus diteladani, meskipun dengan menghinakan diri sendiri. Kedua, selalu membentuk sebuah komunitas orang yang percaya dengan pola organisasi yang ketat, yang sedikit sekali memberi kemungkinan kepada para anggotanya untuk keluar. Ketiga, gabungan antara otoritarianisme pemimpin dengan pola keorganisasian yang ketat menghasilkan sebuah gerakan kabalistik yang penuh rahasia dan menganut pandangan perlunya menjaga kesucian kelompok dengan menghindari kontak pihak lain. Keempat, gerakan itu kemudian bisa jadi mengembangkan pandangan dan pemahaman yang antisosial sampai penggunaan aksi kekerasan, kriminal, dan pembunuhan. Kelima, banyak mengajarkan pandangan apokaliptik bahwa dunia akan segera kiamat atau binasa; bahkan kadang disertai dengan penjelasan secara detail kapan peristiwa tersebut akan terjadi. Di samping itu, mereka juga menawarkan alarmisme yang berisi peringatan terhadap bahaya zaman yang sudah bobrok, dan janji keselamatan kepada siapa saja yang mau bergabung dengan kelompoknya. Keenam, pandangan apokaliptik dan alarmisme biasanya bergandengan dengan mesianisme atau mileniarisme, yaitu pandangan hidup yang disemangati oleh penantian yang penuh percaya akan datangnya juru selamat dari langit.

Dahaga Spiritual
Salah satu derita yang dialami masyarakat kita yang beranjak modern adalah kehidupan yang semakin keras, kompetitif, kadang terasa kejam, dan tidak adil. Sistem nilai yang berlaku di masyarakat pun mengalami pergeseran, sehingga terjadi apa yang oleh para sosiolog disebut sebagai anomie, kekaburan nilai. Eksistensi lembaga dan nilai keagamaan kini mulai terdekonstruksi oleh pusaran zaman, dimarginkan, dan bukan lagi menjadi acuan atau pedoman bagi umat manusia dalam menempuhi berlomba mengejar dunia yang keras, kering, dan hampa. Manusia terjangkiti dahaga spiritual (lack of spirituality) di tengah arus modernisasi yang masif. Sebagian dari kita mungkin bisa menemukan kembali mata air spiritual bernama agama. Sebagian lainnya,

sayangnya, justru mengalami kekecewaan akibat agama-agama yang mereka anut dianggap tidak dapat mengobati kerinduan dan dahaga spiritualnya. Agama justru dilihat sebagai sumber konflik dan sumber masalah. Akibatnya, mereka tertarik kepada aliran baru yang menawarkan spiritualitas dengan cita rasa instan bernama agama palsu (pseudo religion). Dalam kehidupan yang kian berat dan keras, ketika kondisi kejiwaan telah lelah dan labil akibat tekanan kehidupan yang silih berganti datang, sugestibilitas kita pun akan menjadi semakin terbuka lebar. Kita kehilangan rasionalitas dan nalar yang jernih, sehingga akan semakin mudah dimanipulasi, terpesona, dan terjebak dalam belenggu kesesatan. Hasil kajian American Psychiatric Association yang secara khusus membentuk tim khusus (task force) untuk mengkaji masalah pseudo religion menarik untuk dicermati (Hawari, 1996). Secara garis besar disimpulkan bahwa terdapat unsur psikopatologi, baik pada pemimpin maupun pada penganut sekte, sehingga potensial meningkatkan ketegangan dan konflik psikososial dalam masyarakat. Dalam konteks itulah, peran pemerintah menjadi demikian penting. Bukan dalam kerangka mengintervensi atau memberangus aliran kepercayaan yang menjadi hak asasi manusia, melainkan justru melindungi individu yang bersangkutan serta masyarakat luas yang berpotensi menjadi korban eksistensi sekte sesat tersebut. Sekte, sejatinya adalah tantangan bagi agama dan masyarakat untuk senantiasa berbenah. Saatnya agama (penganut agama) tidak lagi terjebak kepada formalisme. Agama semestinya memberikan nilai-nilai yang secara faktual membimbing umat manusia mematut diri kepada kehidupan yang lebih baik dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alaamin). Masyarakat, di sisi yang lain, sudah semestinya membentengi diri dengan lebih mengokohkan keimanannya, mempelajari agama secara benar di bawah bimbingan guru yang terjaga kualitas keberagamaannya. Kewaspadaan dan social awareness juga dibutuhkan untuk secara dini mengenali morfologi aliran menyimpang yang mungkin muncul di masyarakat, sehingga kita tidak masuk dalam pusaran kesesatan dan kenyelenehannya. (68) Achmad M Akung, dosen Psikologi Agama pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Kamis, 11 Maret 2010 Pelajaran dari Mutilasi Babe Rabu, 20 Januari 2010 | 04:25 WIB Achmad M Akung

Sadis, kejam, dan tidak berperikemanusiaan. Barangkali itulah komentar kita ketika membaca kasus mutilasi yang dilakukan Baekuni alias Babe (48). Namanya segera mengingatkan kita kepada Ryan atau Robot Gedhek beberapa tahun silam yang tak kalah sadisnya. Babe setidaknya mengaku telah membunuh delapan anak jalanan. Enam dimutilasi. Membaca rekam jejaknya, daftar korban masih mungkin bertambah, mengingat ia telah memulai perburuannya semenjak tahun 1997. Begitu rapinya aksi kriminal Babe, kekejiannya terkamuflase selama lebih dari sepuluh tahun. Masyarakat tidak sedikit pun menaruh curiga pada perilaku Babe yang sesungguhnya ganjil itu.

Selama itu pula, pedagang asongan ini dikenal sebagai sosok penyayang anak sehingga masyarakat memanggilnya Babe. Sebuah panggilan hormat untuk ayah dalam bahasa Betawi. Tanpa bermaksud membuka luka lama, teriring doa, empati, dan ungkapan duka mendalam bagi korban beserta keluarganya, penulis mencoba menelaah dari perspektif psikologi. Dengan lebih memahami, kita bisa mengantisipasi sehingga tragedi serupa tidak terulang Paedofil Paedofil berasal dari bahasa Yunani, pais yang berarti anak laki-laki dan philia yang berarti cinta, persahabatan. Paedofil sesungguhnya kelainan yang menghendaki pemuasan seksual dengan obyek anak pra-pubertas hingga usia sekitar 13 tahun. Babe tak sekadar paedofil. Ia diindikasikan mengidap komplikasi dengan homoseksual dan nekrofilia yang menyukai hubungan seksual dengan mayat. Ia hanya memilih anak laki-laki yang menurutnya berkelas, mengeksekusi, menyodomi, memutilasinya dengan kesadaran. Para pengidap paedofil ini biasanya sangat telaten dan selektif mencari mangsa sesuai seleranya. Mereka juga obsesif dan posesif terhadap korbannya. Lazimnya, mereka akan membangun persona (topeng) dengan bertindak sebagai penyayang anak. Kaum paedofil biasanya juga mendokumentasikan perilaku dan korbannya secara sistematis. Pertanyaan yang lazim mengemuka, mengapa seseorang menjadi homoseksual paedofil? Faktor genetika, pengalaman, dan lingkungan serta interaksi antarfaktor tersebut bertanggung jawab atas munculnya paedofil. Dalam kasus Babe, tampaknya pengalaman traumatis diperkosa laki-laki di Lapangan Banteng sedemikian membekas dalam jiwanya, merusak struktur kepribadiannya, hingga membunuh naluri kelelakiannya. Awalnya Babe adalah korban, tetapi selanjutnya, bisa jadi karena menikmati atau faktor balas dendam, ia aktif mencari korban. Anak, terutama anak jalanan, dipilih sebagai korban pengidap kelainan seksual, selain karena faktor selera ketertarikan, juga karena mudah didapat, dimanipulasi, dan paling lemah dalam pertahanan diri. Masyarakat (kita) sakit Tanpa sekali-kali bermaksud menyetujui segenap kekejian yang dilakukan Babe, penulis mengajak pembaca melihat lebih dekat kasus ini dari perspektif lain. Babe sesungguhnya bukan sekadar seorang pelaku. Babe adalah korban dari cacat peradaban yang kita bangun dalam masyarakat kita yang cenderung bergerak patologis. Kita beranjak menjadi masyarakat modern yang berpotensi mengalami krisis eksistensi. Erich Fromm (2005) mendeskripsikannya sebagai malaise (mal du siecle), kemerosotan hidup, otomatisasi diri, dan alienasi.

Alienasi merujuk pada seseorang yang tak sehat sendiri telah diprediksikan Fromm semenjak tahun 1955 dalam The Sane Society. Alienasi (aliene dalam bahasa Perancis atau alienado dalam bahasa Spanyol) adalah diksi yang lebih dahulu muncul untuk istilah psikotis, pribadi yang secara absolut terasing. Manusia modern, kata Fromm, telah teralienasi dari dunia yang ia ciptakan sendiri, dari sesamanya, dari benda-benda, dari pemerintah, bahkan dari dirinya sendiri. Kerasnya kehidupan membuat kita jadi makhluk yang individualis, cuek, dan abai terhadap lingkungan sekitar. Masyarakat dipaksa menghadapi perasaan sulit yang akut (an acute sense of unease) dalam kehidupan yang kian keras, berat, melelahkan. Situasi anomie, sebagaimana disebut Durkheim, kerancuan dan ketiadaan norma atau aturan yang mengikat mereka turut memperparah kondisi ini. Sayang kita tidak bisa memutar mundur jarum jam sejarah. Babe tidak akan mengalami trauma pelecehan seksual oleh sesama jenisnya apabila tidak menggelandang. Babe menggelandang karena miskin dan sering mendapat kekerasan dari orangtuanya. Anak-anak juga tidak perlu menjadi korban Babe, seandainya mereka bukan anak jalanan. Mengapa mereka turun ke jalan? Faktor ekonomilah umumnya yang melatarbelakangi. Kasus mutilasi Babe setidaknya adalah pelajaran bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara untuk senantiasa bijak dalam menjaga amanat kehidupan. Konstitusi kita, Pasal 34 UUD 1945, jelas mengamanatkan, fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara. Mereka tidak saja harus dilindungi, tetapi juga diberdayakan dan disejahterakan dengan fasilitas memanusiakan. Dalam konteks ini, negara jelas telah berlaku lalai. Sekian lama kita bernegara, realitasnya, komunitas marginal yang harus menyabung nyawa di deru kehidupan jalanan, terus membengkak. Sebuah aksioma atas abai dan gagalnya pemerintah menjaga hak warga negara. Mungkin karena terlalu sibuk mengurus negara. Atau justru karena mereka sibuk berseteru untuk merebut, mempertahankan, dan menikmati kursi kekuasaan. Alangkah menyedihkan. Achmad M Akung Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UGM; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang
Share on Facebook Nilai 5

AA

Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda


Thian Sing @ Rabu, 20 Januari 2010 | 20:15 WIB Trima kasih Bpk A Akung utk pengamatan yang dibagikan. kita terundang untuk tidak beraksi single dan tertutup tetapi untuk hidup lebih bersaudara dan bersama. Thian Sing @ Rabu, 20 Januari 2010 | 19:56 WIB Trima kasih untuk Penulis yang membagikan pengamatannya. semoga kita tidak menambah org-org yg single mekanis tapi hidup lebih bersaudara dan bersama. faisol rahman @ Rabu, 20 Januari 2010 | 06:40 WIB nah, kalo pejabat yang "direndahkan" aja, langsung diributin sama media... dibilang gak beradab lah... padahal, lihat kelalaian para pejabat tsb...

daniar @ Rabu, 20 Januari 2010 | 06:35 WIB Semoga keadaan ekonomi rakyat Indonesia bisa lebih baik dari sekarang, agar tidak ada lagi kasus seperti babe dan robot gedhek... andhien @ Rabu, 20 Januari 2010 | 05:36 WIB Nice article...semoga pemerintah membaca dan tersadar bahwa banyak WN yang masih 'miskin' 1

Kearifan Lokal (untuk) Melawan Politik Uang Selasa, 24 Maret 2009 | 13:36 WIB Oleh Achmad M Akung Menarik sekali merenungkan tulisan Juma Darmapoetra Merenungkan Ramalan Ronggowarsito (Kompas, 14 Maret 2009). Bangsa kita, menurut futurolog bijak tanah Jawa ini, konon tengah memasuki zaman edan/zaman kalatida. Dalam konteks kekinian, prediksi Ronggowarsito ini mendapatkan bentuknya dalam dunia perpolitikan. Negara kita berada di ambang kehancuran karena para politisinya telah menggerogoti negeri ini, bagai rayap, dari segala penjuru. Moralitas mereka mulai rapuh sehingga berbagai macam cara dihalalkan untuk menyalurkan hasrat berkuasa. Salah satu realitas yang sangat mengkhawatirkan demokrasi kita adalah politik uang (money politics). Politik uang ini ditengarai akan bertambah marak seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Putusan ini membawa implikasi keterpilihan caleg ditentukan oleh perolehan suara terbanyak, bukan oleh nomor urut yang ditentukan oleh parpol. Pertempuran sesungguhnya akan terjadi antarcaleg, bukan lagi antarpartai. Caleg dalam satu partai pun bisa jadi akan berseteru dan saling menjegal dengan satu tujuan, mencari suara terbanyak. Dalam konteks tujuan keterpilihan mereka di kursi dewan inilah, lazimnya para politikus, segala cara akan dihalalkan (the end justifies the means). Seakan telah telanjur menjadi "tradisi", salah satu menu wajib yang menjadi favorit para politikus adalah melakukan investasi politik dengan membagikan uang atau barang untuk mengikat komitmen para pemilihnya. Menjerat dengan politik balas budi. Kita mengenalnya baik sebagai muwur maupun serangan fajar. Kita sepakat bahwa politik uang adalah bagian dari pembusukan politik (political decay) yang mengotori, bahkan membahayakan demokratisasi di Indonesia. Politisi yang menggunakan instrumen finansial "berselingkuh" dengan pemilih yang mengijonkan masa depan. Dalam konteks demokrasi, ini adalah pengkhianatan atas negeri, karenanya mesti kita perangi. Di akhir ramalan, Ronggowarsito memang membersitkan setitik harap atas kehadiran Satria Pinilih (new leader/satria piningit) yang akan melepaskan bangsa Indonesia dari zaman edan menuju zaman

kerat (zaman kejayaan dan keemasan). Namun, sekadar berharap pada datangnya satria piningit, tanpa melakukan sesuatu pun, tentu saja adalah sebuah belenggu fatalistik. Kita tentu saja membutuhkan upaya konkret untuk memperbaiki kondisi yang "edan" ini. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah merekonstruksi kembali ruang batin, sistem dan tata nilai kita tentang hakikat kehidupan, sehingga tidak terjebak pada perilaku yang menghinakan diri, termasuk terlibat dalam praktik politik busuk yang sejatinya merusak demokrasi kita. Menarik sekali merenungkan falsafah kehidupan, kearifan lokal yang diwariskan para winasis Jawa pada masa lalu. Apabila kita cermati, kita sebagai bangsa berbudaya, sesungguhnya telah memiliki sistem nilai yang mengajarkan kita bagaimana bersikap dan bertindak di tengah pusaran zaman yang terus bergulir. Budaya Jawa Budaya Jawa sebagai salah satu kebudayaan besar di Tanah Air, sesungguhnya memiliki banyak local genius yang mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan (local wisdom) itu. Ajaran tentang kehidupan itu diwujudkan dalam bentuk tuladha (contoh) perilaku, peninggalan benda (artefak), yang sarat dengan muatan nilai (values) ajaran, sesanti maupun wewaler (larangan). Ki Ageng Suryomentaram adalah satu di antara sekian banyak pujangga yang winasis mengajarkan kearifan lokal itu. Dalam ilmu Jiwa Kramadangsa (Jatman, 2005), Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan strategi kultural minimalis guna menghadapi zaman malaise dengan "6 Sa", yaitu urip iku sabutuhe, saperlune, sacukupe, sapenake, samestine, sabenere. Manusia diwejang untuk tidak ngongsa-angsa, ngaya-aya, golek benere dhewe dalam mengejar derajat, semat, ataupun pangkat. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa menata rasa kita untuk mendapatkan jati diri yang sejati. Menarik juga merenungkan Murbangun Harjowidagdo (1984) yang menuliskan bahwa secara kultural, manusia Jawa sesungguhnya telah diajari secara falsafati untuk memiliki corak watak rumangsan, tak bersikap dumeh, pandai bertepa selira, mawas diri, dan berbudi luhur. Manusia Jawa itu rumangsan, artinya perasa bahwa tindak- tanduknya selalu diperhatikan orang sehingga ia takut berbuat sesuatu yang melanggar tata susila dan kesopanan. Wewaler "aja dumeh" sesungguhnya juga mendapatkan penekanan dalam falsafah hidup orang Jawa. Dumeh adalah suatu keadaan jiwa yang mendorong orang untuk bersikap atau berbuat sesuatu selagi atau mumpung dia sedang berkuasa. Aja dumeh diajarkan karena keadaan tidak pernah langgeng, selalu berubah sehingga dikhawatirkan pribadi dumeh akan keweleh ketika zaman tidak lagi berpihak pada diri dan kekuasaannya. Tepa selira berarti berusaha menempatkan diri dalam keadaan orang lain sehingga dapat mengerti mengapa orang lain berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Dalam bahasa psikologi, diksi ini dekat dengan istilah empati. Dia adalah pribadi yang selalu mempertimbangkan orang lain dan lingkungan (circumstances) dalam setiap gerak lakunya.

Mawas diri adalah meninjau ke dalam, ke hati nurani, guna mengetahui benar tidaknya sebuah perilaku. Meminjam bahasa Wilhelm Wundt, pakar psikologi, mawas diri adalah selfbeobachtung, introspeksi ke dalam diri sehingga ia bisa mencari pertanggungjawaban dari dalam dirinya mengenai perilaku dirinya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, menurut Niels Mulder (1986), manusia Jawa tak bisa lepas dari masyarakatnya. Ketenteraman dan keselarasan (rust en orde) dalam masyarakat adalah hal yang dijunjung tinggi. Dasar moralitas sesungguhnya terletak dalam hubungan yang laras antara orang dalam masyarakat mereka sendiri. Kekacauan dan ketakselarasan sesungguhnya bersumber dari dalam diri individu yang bersaing dan mementingkan diri, atau dalam golongan yangmengira pendapat/kebenaran mereka lebih benar dari golongan lain. Politik uang adalah pengejawantahan (manifestasi) dari ditinggalkannya kearifan lokal, lari menuju perangkap hedonisme untuk memuaskan apa yang disebut Sigmund Freud dalam Psikoanalisa sebagai dorongan the id (das Es). Nafsu serakah mengejar kenimatan (luzt prinzip) dengan strategi yang mirip filsafat hedonisme, instan, dan menghalalkan segala cara. Menengok wajah Jawa dalam konteks perpolitikan yang kotor dan manipulatif, kita memahami benar bahwa terjadi dekonstruksi dan erosi budaya yang sedemikian masif. Kearifan dan falsafah kehidupan yang dipaparkan dalam tulisan ini sesungguhnya hanya sebagian kecil dari kearifan lokal dalam khazanah budaya Jawa. Sayangnya, falsafah berisi sistem dan tata nilai kehidupan ini, dalam konteks kekinian, tidak lagi diugemi (dipakai) dalam menjalani kehidupan. ACHMAD M AKUNG Penikmat Sastra Jawa dan Pemerhati Psikopolitik, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang

7 September 2009 | 10.09 WIB

Puasa dan Produktivitas


Oleh Achmad M Akung Ramadhan memang ada di segenap penjuru dunia. Namun, Ramadhan di Indonesia, negeri dengan penduduk Muslim terbesar, senantiasa menarik untuk dikaji karena kekhasannya. Unsur budaya kita sebagai sebuah bangsa yang bercorak komunal dan majemuk, dalam banyak hal, turut memberi warna dalam tafsir dan pelaksanaan sebuah syariat, tak terkecuali ibadah puasa. Apabila kita cermati lebih dalam, ada beberapa catatan yang barangkali penting untuk diperbincangkan berkaitan dengan puasa dalam konteks kultur kita. Tujuannya tidak lain agar puasa bisa lebih memberikan kesan dan efek mendalam bagi para pelakunya supaya menjadi insan yang bertakwa (laallakum tattaquun).

Ramadhan, menilik arti lughawi-nya, adalah bulan yang panas dan membakar. Semestinya puasa mengajari kita untuk membakar nafsu dan syahwat kita dan menggantinya dengan nuansa takwa. Makan-minum pun diatur dan dibatasi waktunya. Akan tetapi, anehnya tingkat konsumsi masyarakat kita justru naik. Sama seperti guyon parikena para ibu rumah tangga untuk "menunaikan" puasa dengan "menaikkan menu" harian di bulan puasa. Akibat naiknya menu, pos pengeluaran para ibu pun bertambah besar, kadang bahkan mengarah pada konsumerisme yang berlebihan. Anomali lain yang lazim kita jumpai di negeri ini adalah menurunnya tingkat produktivitas dan kinerja pada bulan puasa. Indikatornya mudah saja kita temukan. Pertama, banyak kantor dan instansi (termasuk instansi pemerintah) yang memberlakukan waktu kerja spesial Ramadhan. Umumnya masuk kerja lebih siang dan pulang kerja lebih awal. Artinya, jam kerja kita pun menjadi terpangkas karenanya. Kedua, dengan mudah kita akan temukan sebagian besar saudara kita yang menghabiskan waktu puasanya tidak untuk kegiatan produktif. Biasanya gampang kita temui selepas tengah hari di masjid-masjid. Banyak sekali saudara kita yang rehat, menyelonjorkan kaki, tidur-tiduran, atau bahkan tidur beneran. Ketiga, celakanya, mind set kita pun umumnya telanjur sangat permisif terhadap ketidakproduktifan ini dengan memberikan apologi, "Ah, ndak apa-apa. Wajar kan. Wong sedang puasa jadi energinya pun berkurang." Kadang kita bahkan menggunakan dalil agama sebagai justifikasi bagi "kemalasan" kita. Hadits yang paling sering disitir adalah hadist tentang keutamaan tidur orang berpuasa. Bahwa tidurnya orang yang sedang berpuasa bernilai ibadah. Kadang malah dipelesetkan menjadi "ibadahnya orang yang berpuasa adalah tidur". Padahal, menurut hemat penulis, hadits ini semestinya dipahami dalam konteks komparatif. Tidurnya orang berpuasa memang jauh lebih berpahala dan lebih utama daripada kita terjaga namun melakukan kemaksiatan yang membatalkan atau setidaknya merusak pahala puasa kita. Di sisi yang lain, kita bisa memaknai bahwa tidurnya orang yang berpuasa saja diberi pahala yang besar, apalagi kalau kita bekerja dan melakukan kegiatan lain yang produktif dan membawa kemaslahatan umat. Menjaga etos Puasa sesungguhnya adalah sebuah laku prihatin untuk menghantarkan pelakunya menjadi pribadi yang bertakwa, yang saleh secara transendental maupun saleh sosial. Meneladani puasa ala nabi, sesungguhnya puasa tidak lantas membuat produktivitas dan kinerja Rasulullah dan para sahabatnya menjadi kendur. Tidak ada sedikit pun di sirah nabawiyyah yang menuliskan bahwa nabi dan para sahabatnya kerjanya hanya bersantai-santai dan tidur-tiduran. Sejarah Islam bahkan mencatat, beberapa peperangan yang dilakukan Rasulullah justru terjadi pada bulan Ramadhan. Ramadhan yang dijanjikan pahala berlipat ganda di dalamya sungguh sayang jika dilewatkan bila dibiarkan berlalu tanpa produktivitas amal dunia-akhirat. Perut boleh keroncongan, energi fisik boleh berkurang, tetapi semangat tidak boleh padam. Spirit (ruh) Ramadhan semestinya mengajarkan pada kita untuk tetap menjaga etos kerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos kerja dimaknai sebagai semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Menurut Tasmara (2002), etos kerja adalah totalitas kepribadian diri individu serta cara individu mengekspresikan, memandang,

meyakini, dan memberikan makna terhadap sesuatu yang mendorong individu untuk bertindak dan menggapai kinerja yang maksimal. Puasa ibarat sebuah training di mana umat Muslim diajak untuk mengalami sendiri (self experience) rasa lemah, letih, lesu, dan loyo yang lazim dialami oleh kaum marjinal yang miskin dan papa. Melalui pembelajaran langsung betapa beratnya menahan lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami sementara kita yang tidak berpunya, sejatinya kita tengah diajak untuk belajar memahami serta menyelami perasaan dan situasi yang dialami orang miskin. Dalam bahasa psikologi, sejatinya melalui puasa kita tengah diajak untuk berempati (empathy). Bagi sementara saudara kita kaum duafa yang didera kemiskinan dan diimpit beban kehidupan yang teramat sangat, barangkali kondisi yang serba tidak mengenakkan itu adalah fakta kehidupan (baca: keterpaksaan) yang mau tidak mau harus ditempuhi. Dalam deraan kemiskinan, lapar, letih, loyo, mereka harus tetap bekerja dengan etos kerja yang tidak boleh padam, untuk tetap bisa bertahan (survive) menempuhi kehidupan. Sayangnya, fakta ini sering kali kita lupakan sehingga kita abai terhadap tanggung jawab kita untuk tetap berkarya dengan etos kerja yang terjaga. Harapannya, amal berupa kinerja dan produktivitas kita justru meningkat pesat pada bulan puasa sehingga kita juga akan menuai hasil berlipat dunia dan akhirat. Syariah puasa sesungguhnya membawa hikmah yang luar biasa. Sayangnya justru umat Islam sendiri yang sering kali mendekonstruksi syariat tersebut sehingga gagal beroleh lautan hikmah darinya. Alih-alih meningkatkan produktivitas dan kinerja, atas nama puasa, kita justru lebih suka memanjakan diri dengan banyak berleha-leha dan memperturutkan kemalasan kita. Jadi, mari menikmati puasa Ramadhan sembari tetap berjuang menjadi pribadi yang bertakwa dan menebar rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Achmad M Akung Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

Wacana 07 Nopember 2008

Haji Transformatif

Oleh Achmad M Akung

Labbaik allahumma labbaik, Labbaika laa syariikalaka labbaik. Innal hamda wannimata laka wal mulka laa syari kalah. LANTUNAN kalimah talbiyyah, tahmid, dan tahlil memenuhi angkasa jagat raya dalam hari-hari mendatang pada bulan Dzulhijjah 1429 Hijriah ini. Mungkin kita juga sudah mulai sibuk mengikuti pengajian haji, mengiringi keberangkatan keluarga, saudara,

kerabat, tetangga, teman kantor, kolega, bahkan mungkin diri kita, menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Kloter pertama Jawa Tengah, berjumlah 405 orang calhaj dan petugas haji, telah berangkat ke Tanah Suci awal November ini. Mereka adalah sebagian kecil dari 21.000 jamaah haji Indonesia yang terbagi dalam 493 kloter (Suara Merdeka, 4 November 2008). Dzulhijjah adalah masa terindah ketika jutaan umat muslim dari seluruh penjuru dunia melakukan kongres terakbar tahunan yang pernah dilakukan umat manusia. Mereka datang berkumpul memenuhi seruan Allah,dalam sebuah ibadah ritual bernama haji. Dalam irama syahdu, mereka melantunkan kalimat talbiyah: Kupenuhi panggilanmu ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan dari-Mu. Jamaah haji laksana debu pasir besi putih di kolong jagat ini, yang ditarik oleh daya magnetik Baitullah, berkumpul dan berthawaf mengelilinginya, dalam putaran ibadah yang indah. Sungguh Maha Besar Allah dalam firmannya: Serulah umat manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan berkendaraan. Mereka datang dari tiap-tiap negeri yang jauh agar mereka menyaksikan manfaat dan menyebut nama Allah (Q.S. al-Hajj: 27-28). Tempat Agung Haji, secara lughawi, sering dimaknai sebagai keinginan keras dan menyengaja untuk menuju suatu tempat yang diagungkan. Sedangkan menurut syari diartikan sebagai aktivitas ibadah yang disengaja dengan mengunjungi Kakbah, dengan syarat dan rukun tertentu. Dalam konteks keislaman, sesungguhnya haji adalah salah satu rukun yang menopang tegak keislaman seseorang. Ketika seseorang telah memenuhi syarat wajib berhaji, maka wajib baginya untuk menunaikannya, kecuali dia ingin merobohkan bangunan keislamannya. Betapa banyak di antara kita yang memiliki kerinduan teramat dalam untuk bisa menyambut seruan Allah, namun apa daya Allah belum memberi kemampuan ekonomi untuk menuju ke Tanah Suci. Tetapi, banyak juga di antara kita yang sejatinya telah diberi Allah kemampuan finansial, namun Allah belum menakdirkannya sebagai tamuNya, maka tak terbersit sedikit pun niat untuk naik haji karena keringnya spiritualitas mereka. Membumikan ibadah haji berarti suatu proses transformasi spiritual, berangkat dari memaknai pesan-pesan yang terdapat dalam ritual haji, baik syarat, rukun, dan sunnahsunnahnya. Di dalamnya mestinya ada proses transformasi intelektual dan pikiran abstrak metafisik menuju alam positif yang empiris. Muara dari serangkaian proses ini adalah pengejawantahan dan aktualisasi nilai-nilai normatif yang berasal dari langit ibadah haji ke bumi kehidupan nyata, baik dalam ranah individu maupun sosial. Ibadah haji sejatinya perjalanan napak tilas (comemmorative) kehidupan keluarga Nabiullah Ibrahim yang berat dan melelahkan. Dalam bahasa populer, haji ibaratnya

sebuah pertunjukan akbar. Di sana ada Allah sebagai pengatur laku. Aktor dan aktrisnya adalah Ibrahim, Ibunda Hajar, dan Ismail kecil sebagai tokoh protagonis. Sedangkan setan, musuh abadi manusia, memainkan peran antagonis. Masjidil Haram, Arafah, Shafa, Marwa adalah setting tempatnya, dengan kain ihram sebagai kostum (weardrobe)-nya. Betapa berat perjuangan Ibrahim meninggalkan anak isterinya di tengah padang tandus untuk memenuhi perintah Ilahi. Pun betapa berat perjuangan Ibunda Hajar yang diamanahi seorang Ismail kecil di tengah sahara tak bertepi, hanya dengan perbekalan yang tidak seberapa. Bisa dibayangkan betapa berat ketika beliau harus berlari-lari antara Shafa dan Marwah, untuk sekadar mencari seteguk air buat anaknya tercinta, yang kemudian dinapaktilasi dalam sai, sebelum akhirnya Allah mengaruniakan mata air zamzam yang tidak pernah lelah mengalir, bahkan hingga kini. Dalam konteks kekinian, disini, yang bukan di Arab Saudi, seorang haji sesungguhnya diuji kemampuannya untuk mentransformasikan serta membumikan pesan-pesan langit yang dinapaktilasi dari perjalanan keluarga Ibrahim. Ujian bagi kita yang awam barangkali tidak sedahsyat Ibrahim dan keluarganya yang berstatus nabi. Dalam konteks kekinian, kita tidak lagi seperti Ibrahim yang mencari Tuhan dan menghancurkan berhala untuk mencapai keberagamaaan yang hanif. Berhala-berhala berujud fisik patung, arca, lingga, dan yoni barangkali sekarang memang tak ada lagi. Tetapi berhala-berhala jiwa yang kita pertuhankan kini teramat banyak di sekeliling kita. Kita tak mempertuhankan patung, tapi barangkali mempertuhankan harta, tahta, pangkat, dan popularitas yang melenakan kita, sehingga melupakan hakikat kita sebagai hamba Allah. Indonesia memang bukan Shafa dan Marwa. Tapi barangkali kita mesti bolak-balik antarkota, antarpulau, atau ke manapun di penjuru bumi ini, mengukur jalanan seharian untuk menuntut ilmu, atau mencari sesuap nasi guna menafkahi keluarga. Adakah kita telah bekerja keras dan optimal untuknya, tanpa harus mengabaikan batas-batas yang telah ditetapkan Allah sebagaimana Ibunda Hajar yang dengan sabar bekerja keras melintas bukit, survival, guna menjaga amanah kehidupan anak tercintanya? Kembali ke Indonesia, kain ihram memang sudah harus ditanggalkan. Tetapi jiwa ihram bukan berarti harus ditanggalkan pula. Yang harus ditanggalkan adalah nafsu dunia, karena kain ihram sejatinya adalah nasihat tentang persamaan yang egaliter dan persaudaraan sesama manusia. Segala macam atribut dunia ditanggalkan, sehingga semua orang sederajat tanpa melihat ras, suku bangsa, harta, status, pangkat, maupun kekuasaan duniawi. Prosesi haji dengan ihram yang putih bersih sejatinya adalah suatu prosesi gladi bersih sebelum kita kelak benar-benar dipanggil, dikafani, dimakamkan, dan dikumpulkan Allah di Padang Mahsyar, guna mempertanggungjawabkan kehidupan kita di lekuk-liku mayapadha. Semua manusia hakikatnya sama di hadapan Allah, yang membedakan hanya kualitas takwa dan keimanannya.

Orientasi Haji Ibadah haji adalah ibadah yang berat dan besar. Ibadah yang membutuhkan pengorbanan luar biasa, baik dari sisi fisik, psikis, maupun finansial. Bertamu ke belahan bumi lain yang jauhnya ribuan kilometer, dengan cuaca panas menyengat tidak bersahabat, jauh dari kehangatan keluarga, serta membutuhkan biaya puluhan juta rupiah, jelas bukanlah pekerjaan sederhana. Untuk itu, Allah telah menyiapkan balasan yang manis. Al hajjul mabruuru laisalahul jazaaun illal jannah (tidak ada balasan yang paling pantas untuk haji yang mabrur, melainkan sorga). Kata kuncinya adalah haji yang mabrur, bukan haji biasa, apalagi haji yang mardud. Yang berhaji mabrur adalah mereka yang ikhlas berhaji, lillahi taaala, sebagai wujud penghambaan diri, sempurna syarat dan rukunnya, serta mampu membawa nilai-nilai hajii dalam kehidupan di Tanah Air. Haji yang mabrur selalu berangkat dari niat yang ikhlas, memenuhi penggilan dan seruan Allah sebagai hamba yang taat. Meminjam istilah Gordon W Allport, sumbernya adalah intrinsic religious orientation. Orientasi religius yang berasal dari hati nurani, bahwa haji merupakan peribadatan yang benar-benar dibutuhkan oleh individu untuk menyempurnakan kehidupannya. Orientasi intrinsik ini berbeda dari orientasi ekstrinsik, yang menjadikan agama beserta atribut dan peribadatannya hanya sebagai alat untuk mencapai sesuatu. Ada pamrih dan niat terselubung yang bukan kepada Allah. Dalam konteks ibadah haji, bisa jadi li turhah dengan motif sosial, ketenaran, popularitas dan status; li tijaarah, untuk keperluan materi; atau li riya wa sumah yang sekedar untuk pemer dan unjuk kehebatan. Senyampang masih ada waktu, ada baiknya jika saudaraku, para calon haji, menata kembali dan melurussucikan niat keberangkatan ke Tanah Suci. Semata-mata lillah, bukan karena dunia yang profan dan fana ini. Berangkat dari niat yang tulus suci, lillaahitaalla, semoga Allah menganugerahkan kemambruran haji, keindahan ibadah, pengalaman spiritual yang unik, pelajaran kehidupan dan keimanan yang mengesankan dari langit Tanah Suci untuk dikebumikan di gersangnya Tanah Indonesia yang sedang meradang. (32) Achmad M Akung, dosen Psikologi Agama pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Wacana 27 Januari 2010

Bonek, Keruntuhan Keadaban Publik

Oleh Achmad M Akung

Yang kita saksikan sesungguhnya perang kecil antarsesama anak bangsa yang sejatinya memalukan. Keadaban kita sebagai makhluk berakal budi nampaknya mulai runtuh RUANG batin publik kembali terusik. Kali ini bonek, suporter fanatik pendukung klub sepak bola Persebaya yang memantiknya. Dalam perjalanan menuju Bandung, para bonek menebar perilaku kriminal dari aksi lempar batu, perusakan fasilitas publik, hingga menjarah barang milik pedagang atau penumpang. Mengikut adagium tak ada api tanpa asap, atas nama solidaritas dan amarah, warga yang merasa menjadi korban, kemudian melakukan aksi balasan dengan men-sweeping mereka. Bahkan, warga yang kesal nekat mengadang dan melempari rangkaian kereta yang mengangkut ribuan bonek. (Suara Merdeka, 25 Januari). Di sepanjang jalur Yogyakarta, Klaten dan Solo, baik di stasiun maupun di perlintasan, meski dikawal satuan polisi, kereta luar biasa yang sengaja disiapkan oleh PT Kereta Api untuk mengangkut bonek dihujani lemparan batu. Masyarakat seakan tak menggubris polisi, termasuk Kapolda Ir Alex Bambang Riatmodjo dan beberapa kapolres yang secara demonstratif sengaja menjadi tameng di atas kereta. Kerugian fisik akibat rusaknya rangkaian kereta dan fasilitas publik di stasiun jelas tidak sedikit. Demikian pula kerugian ekonomi para pedagang yang mengais rezeki di stasiun akibat dagangannya dijarah, rasa takut, dan teror yang menghinggapi warga dan penumpang umum, juga tidak dapat dinafikan. Apa yang kita saksikan sesungguhnya adalah perang kecil antarsesama anak bangsa yang sejatinya sangat memalukan. Keadaban kita sebagai makhluk yang berakal budi nampaknya mulai runtuh. Bagaimana kita masih layak disebut beradab, apabila diri kita dikuasai fanatikme picik, nafsu menjarah, agresi, anarkisme, kekerasan, dan balas dendam. Kehadiran suporter fanatik bagi sebuah kesebelasan memiliki arti yang sangat besar. Mereka adalah pemain ke-12 bagi sebuah kesebelasan dalam setiap laganya. Namun ia bisa saja menjadi petaka, ketika menjadi liar dan tak terkendalikan. Identitas Bonek awalnya adalah kumpulan suporter fanatik pendukung tim Persebaya, akronim dari bandha (dibaca: bondho) nekat (bermodalkan nekat). Seiring perjalanan waktu, mereka membangun apa yang disebut sebagai identitas sosial (social identity) kelompok. Mereka mengembangkan identitas, peraturan (rule), tata nilai dan perilaku, atribut, serta kultur yang menggambarkan jati diri mereka sebagai kelompok suporter yang bermodalkan kenekatan. Setiap anggota kelompok selanjutnya akan menginternalisasi, mengidentifikasi dirinya, dan membawanya dalam segenap sikap dan perilakunya. Terutama ketika berada dalam komunitas mereka.

Menurut perspektif penulis, cetusan bondho nekat yang kemudian menjadi nama kelompok suporter ini memang membawa implikasi negatif yang cukup serius. Nama (naming) sesungguhnya memiliki arti yang sangat strategis bagi sebuah kelompok karena akan menjadi rujukan dan identifikasi awal bagi anggotanya. Nekat menggambarkan sebuah situasi keberanian untuk mencapai sebuah tujuan yang cenderung dilakukan tanpa perhitungan yang matang sehingga kerap menghalalkan segala cara dan mengesampingkan kalkulasi etis normatif. Identitas sosial inilah yang agaknya terinternalisasikan dengan baik dalam ruang batin oknum (untuk tidak mengatakan sebagian besar) bonek. Bonek itu harus fanatik mendukung Persebaya apapun caranya. Meskipun penulis yakin, bonek sebagai sebuah organisasi tidak pernah mengajarkan hal ini, fakta di lapangan adalah aksioma tak terbantahkan dari kebrutalan anggota mereka. Dinamika mereka akan menarik dikaji dalam sebuah situasi massa berupa kerumunan (crowd), ketika di sana juga dikibarkan panji dan atribut kelompok bernama bonek. Meminjam Gustaf Le Bon (1841-1932), massa memang memiliki jiwa tersendiri yang disebutnya sebagai jiwa massa (collective mind) yang bersifat primitif, buas, liar, destruktif, impulsif, cepat tersinggung, sentimentil, sangat mudah disugesti, gampang tersulut provokasi, agresif, anarkis, dan seringkali berlaku di luar kendali aturan. Jiwa massa ini bisa jadi sangat berbeda dari jiwa individu (individual mind) yang asli/sejatinya. Artinya bahwa individu dengan segenap karakteristk kejiwaannya, ketika telah masuk menjadi bagian dari massa, bisa jadi akan luruh dan larut ke dalam jiwa massa tersebut. Dalam ranah psikologi, proses ini sebagai deindividuasi, ketika individu tidak lagi mampu mempertahankan identitas kesejatian dan karakteristik pribadinya, digantikan oleh suatu identitas dengan tujuan kelompok. Tanggung jawab pribadi seakan hilang karena semua perilaku adalah bagian dari perilaku kelompok. Implikasinya, individu cenderung melarikan diri dari rasa tanggung jawab dan mengesampingkan konsekuensi tindakannya. Kondisi ini akan diperparah dengan anonimitas yang makin mengaburkan identitas pribadi, sehingga perilaku antisosial yang dilakukan pun akan semakin tak terkendali karena responsibilitas yang mencapai titik nadir. Instrumen hukum kadang tidak berdaya menghadapi kekuatan massa yang jumlahnya seringkali jauh melebihi aparat penegaknya. Sepakbola sesungguhnya adalah bagian dari peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Sepak bola adalah cabang olahraga yang paling populer yang tidak hanya mengajarkan kebugaran fisik, tetapi juga nilai-nilai kebersamaan, kolektivitas, semangat juang, kerja keras, serta menjunjung tinggi aturan-aturan main.

Sebagai pecinta bola Tanah Air, sungguh penulis merasa sangat prihatin dengan kejadian brutal ini, seraya berharap kasus ini tidak terulang kembali. PSSI sebagai wadah tertinggi persepakbolaan jelas patut dimintai pertanggungjawaban. Prestasi timnas kita yang buruk, liga di Indonesia yang acakadut, mafia wasit, baku hantam antarpemain, kerusuhan dan anarkisme suporter adalah bukti betapa PSSI tidak pernah serius membenahi sepak bola Nusantara. Bonek adalah sepenggal kisah buruknya wajah persepakbolaan dan kinerja PSSI yang menaunginya. Bukan kali ini saja bonek berulah menebar anarki. Kasus ini menjadi momen istimewa yang semestinya telak menampar PSSI, karena terjadi justru pada saat bonek masih mendapatkan sanksi Komdis PSSI untuk tidak mendampingi pertandingan tandang Persebaya. Apa yang terjadi sebenarnya tidak sekadar mengabarkan pada kita bahwa Persebaya dan bonek melecehkan sanksi dari PSSI, namun juga fakta bahwa mereka tidak pernah serius berbenah diri. Persebaya tidak mampu mengorganisasikan suporternya yang telanjur mengidentifikasi dirinya sebagai bondho nekat yang fanatik dan bebas melakukan apa saja, termasuk aksi kriminal yang mengangkangi hukum. Atas nama kepentingan bersama, persepakbolaan Tanah Air dan keadaban serta ketenteraman masyarakat, sanksi yang lebih tegas layak diberikan kepada Persebaya. Apabila perlu, dieliminasi dari Liga Super untuk memberikan efek jera sekaligus pembelajaran bagi Persebaya dan bonek, serta seluruh pelaku persepakbolaan nasional agar lebih bijak dalam segenap langkah dan kebijakannya. Harapannya, klub dan suporter dapat besinergi secara cerdas dan beradab untuk membangun kekuatan persepakbolaan nasional. Sungguh tidak bijaksana, apabila dukungan itu justru menjelma menjadi fanatisme picik yang menghalalkan kekerasan dan anarkisme, yang sangat jauh dari sportivitas. Apalagi, jika dukungan tersebut justru menjadi biang perpecahan dan permusuhan di antara sesama anak bangsa dan meruntuhkan keadaban kita. (10) Achmad M Akung, pecinta bola, dosen Fakultas Psikologi Undip, kini menyelesaikan pascasarjana psikologi di UGM Wacana 04 Juli 2009

Mencari Pemimpin Transformatif

Oleh Achmad M Akung

Kampanye yang bernilai miliaran rupiah pun seolah tidak banyak membantu menentukan preferensi (pilihan) mereka. Rangkaian panjang kampanye berupa pemaparan visi misi, perang spanduk, debat, hingga capres yang blusukan ke pasar, justru kian bikin gamang. BAGI sebagian pemilih yang telah menentukan pilihan dengan filosofi pejah gesang ndherek panjenengan, hari pencontrengan adalah sekadar hari pembuktian ikrar kesetiaan. Namun, yang lain, kegamangan tampak masih menyelimuti ruang batin mereka. Ada sebersit keraguan menjatuhkan pilihan pasangan calon presiden (capres) yang akan memimpin negeri ini untuk lima tahun mendatang. Kampanye yang bernilai miliaran rupiah pun seolah tidak banyak membantu menentukan preferensi (pilihan) mereka. Rangkaian panjang kampanye berupa pemaparan visi misi, perang spanduk, debat, hingga capres yang blusukan ke pasar, justru kian bikin gamang. Sulit rasanya menentukan kecap terbaik karena semua mengaku nomor satu. Kampanye bagi sebagian kita justru semakin mempersulit menentukan pilihan karena dominansi kesan artifisial yang dilahirkan dari manajemen kesan (impression management) tingkat tinggi membuat indeks diskriminasi (daya beda) antarcalon menjadi kabur. Dalam konteks inilah, dibutuhkan kearifan dan kecerdasan masyarakat selaku pemilih untuk menentukan pemimpin yang berkualitas, yang mampu membawa negeri ini pada kesejahteraan. Tulisan kecil ini bermaksud membincang dan menelaah secara netral dan ilmiah, kepemimpinan (leadership) dari perspektif psikologi. Harapannya, bisa menjadi referensi bagi preferensi masyarakat untuk memetakan pemimpin dengan kualifikasi terbaik yang sangat dinanti oleh Ibu Pertiwi. Teori Sifat Diksi kepemimpinan (leadership) sudah sedemikian familiar dan lekat dengan kehidupan. Namun dalam banyak hal diksi ini mudah kita kenali, kadang susah didefinisikan dan susah ditemukan. Kepemimpinan yang sesungguhnya dibutuhkan adalah kepemimpinan yang indigenous, yang sesuai dengan konteks, kondisi dan kebutuhan masyarakat tempat kepemimpinan tersebut mengejawantah. Para psikolog secara umum menggunakan istilah kepemimpinan untuk menjelaskan sebuah proses ketika seorang anggota kelompok (sang pemimpin) memengaruhi anggota kelompok yang lain dalam upaya pencapaian tujuan bersama. Dalam teori kepemimpinan klasik, para pemimpin adalah pribadi yang memiliki trait (sifat) khusus yang menonjol dibandingkan orang lain. Sifat tersebut antara lain adalah drive (dorongan) hasrat untuk mencapai sesuatu dibarengi dengan energi yang besar dan resolusi; kepercayaan diri yang besar; kreativitas dan motivasi kepemimpinan yang ditunjang dengan fleksibilitas, kemampuan untuk mengenali tindakan dan pendekatan seperti apa yang dibutuhkan dalam situasi tertentu

dan kemudian berbuat sesuai dengan kebutuhan itu (Baron dan Byrne, 2005). Temuan lain mencoba memetakan lima besar dimensi kepribadian (the big five dimensions) yang berperan besar dalam kepemimpinan (Judge & Bono, 2000). Pertama, ekstraversi, kecenderungan pada sifat ramah, asertif dan aktif. Kedua, agreeableness, kecenderungan pada sifat baik hati, lembut, mempercayai dan dapat dipercayai. Ketiga, conscientiousness (ketekunan), teratur, dapat diandalkan dan berorientasi pada kesuksesan. Keempat, keterbukaan pada pengalaman baru, yakni kecenderungan pada sifat kreatif, imajinatif, perseptif dan memikirkan orang lain. Kelima, penyesuaian atau stabilitas emosional, yaitu kecenderungan pada sifat tenang, tidak tertekan, dan tidak moody. Kepemimpinan Transformatif Mencari seorang presiden yang akan menjadi pemimpin negeri sedahsyat dan sebesar Indonesia yang sangat kaya, kompleks dan multikultur tentu saja sangat tidak mudah. Ia jelas bukan seorang pribadi single fighter yang one man show, otoriter, apalagi bertangan besi. Bukan pula pemimpin yang lemah dan takut pada tekanan internal dan eksternal (baca: asing). Tantangan terbesar yang mesti dihadapi pemimpin kita adalah mengelola segenap aset, kekayaan sumber daya, kebhinnekaan serta multikulturalisme sehingga menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang tidak tercerai-berai. Kekuatan internal inilah yang akan menjadi modal kita untuk tegak berdiri secara bermartabat dalam persaingan global. Satu hal yang tidak dapat dinafikan oleh siapa pun pemimpin negeri ini adalah ancaman disintegrasi yang semakin meninggi. Di sisi yang lain, kita dihadapkan pada ancaman perangkap global (global trap) yang menelikung kita atas nama globalisasi yang termanifestasi dalam aturan tata dunia yang acapkali timpang, tidak adil dan eksploitatif. Dalam perspektif penulis, sesungguhnya Indonesia sangat membutuhkan kepemimpinan transformatif (transformational leadership) untuk mengantarkan negeri besar ini untuk dapat bersaing secara bermartabat dalam percaturan kehidupan global. Bukan sekadar kepemimpinan trensaksional (transactional leadership) yang mendasarkan diri pada transaksi dan hubungan yang dangkal serta perifer laiknya politik dagang sapi yang mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional diformulasikan oleh Burns dari penelitian deskriptif mengenai pemimpin politik (dalam Yukl, 1994). Burns menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Tingkat sejauh mana kepemimpinan disebut transformasional terutama diukur dalam

hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para pengikutnya. Para pengikut merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat kepada pemimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari apa yang pada awalnya diharapkan terhadap mereka. Umumnya, kepemimpinan transformatife memang didukung oleh kekuatan karisma. Namun sekadar karisma tidak cukup untuk menjadikan individu sebagai pemimpin yang mampu mentransformasi. Karisma berakar dari diksi Yunani yang berarti karunia diinspirasi Ilahi (divinely inspired gift) (Yukl,1994). Max Weber telah menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang didasarkan bukan atas tradisi atau kewenangan, namun ataspersepsi pengikut bahwa pemimpin tersebut dikaruniai dengan kemampuan-kemampuan yang luar biasa. Karakteristik yang membuat pemimpin bisa menjadi sedemikian karismatik dengan kepemimpinan transformasional adalah. Pertama, ia adalah sosok ideal yang gerak kehidupannya menjadi panutan yang kharismatik bagi para pengikutnya. Kedua, stimulasi intelektual, mereka menstimulasi kreativitas di kalangan para pengikutnya. Ketiga, ia adalah seorang motivator yang inspiratif, menyatakan visi yang jelas dan memberikan inspirasi kepada para pengikutnya. Dan keempat, kepedulian individual, mereka menaruh perhatian dan mendukung kebutuhan individual para pengikutnya. Selamat menjadi pemilih cerdas. (35) Achmad M Akung, dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

You might also like