You are on page 1of 3

Teve dan pengaruh maraknya kekerasan BELUM Belum tuntas pengungkapan aksi kekerasan Geng Nero (Neko-neko Dikeroyok)

yang beranggotakan empat siswi SMA, masyarakat Kecamatan Juwana, Pati kembali tercengang dengan beredarnya rekaman video kekerasan yang lebih sadis. Dalam rekaman video yang disebarluaskan dengan handphone (hp) itu, tampak beberapa remaja putri sedang memukul dan menendang seorang remaja putri dengan beringas. (Suara Merdeka, 16/06/- 2008). Mengapa mereka melakukan hal itu? Tanpa adakah rasa kasihan dalam diri mereka atau tanpa terketukkah hati nurani mereka? Kekerasan yang dilakukan oleh para remaja putri itu membuat kita prihatin. Bayangkan saja, mereka masih dalam usia sekolah dan terutama lagi masih dalam pengawasan orang tua, tapi mengapa mereka sudah dirasuki syahwat kekerasan. Di sini, bukan berarti orang tua mereka yang patut kita persalahkan. Sebab, berdasarkan penuturan orang tua mereka masingmasing, pengawasan dan bimbingan di lingkungan keluarga sudah dilakukan dengan normal. Dan di hadapan orang tua, mereka pun berlaku manis dan nurut layaknya remaja putri pada umumnya. Kalau kita lihat, adegan kekerasan yang mereka lakukan, tidak beda dengan adegan-adegan kekerasan yang dipertontonkan secara vulgar di layar televisi. Kita mesti prihatin karena sinetron- sinetron di televisi saat ini dibanjiri dengan kisah-kisah remaja yang dibumbui dengan kekerasan. Entah mereka bertengkar dengan teman sekolahnya sendiri atau dengan teman-teman lain yang beda geng. Di sinilah peran televisi yang menohok perangai kaum remaja. Memang pada awalnya, pihak stasiun televisi menayangkan sinetron tersebut hanya sebatas hiburan bagi remaja. Namun, para pembuat sinetron tersebut tidak sadar bahwa yang mereka tayangkan dapat mendorong moral remaja ke arus degradasi. Secara mentah- mentah adegan kekerasan yang ada di televisi itu ditiru dan diparaktikkan dalam pergaulannya. Industri pertelevisian kita memang mengenaskan. Di era kapitalisme dan globalisasi saat ini, mainstream industri media televisi di Indonesia cenderung mengejar rating, bukan kualitas tayangan yang mengedukasi masyarakat. Beda halnya dengan yang terjadi di negara-negara maju. Para pemilik stasiun televisi sudah sadar untuk memproduksi tayangan-tayangan yang bermutu dan bernilai edukasi bagi publik. Tak ada tayangan-tayangan berbau kekerasan. Kalaupun ada, tayangan tersebut jumlahnya sangat sedikit dan ditayangkan pada tengah malam. Meskipun mainstream industri media televisi di negara-negara maju juga mengejar rating, tapi mereka tetap memikirkan dampak buruk dari tayangan yang diproduksinya bagi masyarakat. Namun, paradigma tersebut tidak berlaku di Indonesia. Di Indonesia, rating menjadi alasan satu-satunya untuk memupuk modal, daripada susah-susah memproduksi acara baru yang lebih bermutu. Sehingga, di dalam industri media di Indonesia, ada semacam korelasi sinergis negatif antara pemirsa dan pekerja media yang berperan menyebabkan semakin berkembangnya kerajaan rating televisi ini. Apabila kita menilik hukum positif di Indonesia, segala tayangan yang berbau kekerasan bisa dituntut melanggar Pasal 5 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Pasal 282 KUHP tentang Kejahatan Kesusilaan. Tak tanggung-tanggung, pelakunya dapat diancam pidana penjara

dan denda yang jumlahnya ratusan juta rupiah. Sebagai pelaku media, tentu saja mereka mengerti betul aturan ini. Namun sayang, di negara kita (yang konon sudah teracuni virus kapitalisme), modal lebih berbicara ketimbang moral. Dengan alibi kebutuhan akan hiburan dan selera pemirsa, pemilik stasiun televisi mengenyampingkan efek negatif yang akan meracuni generasi penerus bangsa menjadi bangsa yang terdekadensi. Perlahan-lahan moral generasi penerus menjadi tergerus arus negatif pengaruh tayangan televisi sehingga akhirnya terdegradasi. Apabila hal ini terus terjadi, pembangunan di negeri ini di masa mendatang akan semakin tersendat bahkan negeri ini akan semakin terpuruk berkat sumber daya manusia (SDM) yang lemah. Kondisi karut-marut pertelevisian di Indonesia harus segera dibenahi. Masyarakat mesti diberi ruang mengkritisi tayangan-tayangan yang ada di televisi sehingga tidak lagi hanya menerima secara sukarela tayangan-tayangan yang disodorkan oleh pengelola televisi dan masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai bagian dari proses banalisasi. Di samping itu, sangat dibutuhkan peran dari pemerintah yang sedang berkuasa saat ini untuk membangun SDM yang bermutu. Hal ini bisa dimulai dengan pembangunan moral masingmasing individu remaja. Sehingga, diharapkan nantinya dengan kualitas moral yang baik, santun, dan tidak memiliki tradisi kekerasan, para remaja dapat memperjuangkan dan membawa bangsa dan negara ini menjadi lebih baik. Hal ini memang membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah. Oleh karena itu, mulai dari saat ini, remaja harus membiasakan diri dengan perangai yang baik dan tidak menghamba pada egoisme diri ataupun kelompok. Sehingga diharapkan masingmasing individu remaja tidak lagi berpandangan bahwa individu atau kelompoknya adalah yang paling benar serta pada akhirnya individu dan kelompok lain yang tidak sesuai dengan keinginannya atau bahkan tidak menurut dengannya, tidak dimusuhi atau bahkan disingkirkan dengan cara kekerasan. Selain itu, perlu dibangun sinergi positif antara masyarakat sebagai konsumen dan media-holder dengan pemerintah sebagai mediator. Masyarakat khususnya remaja perlu diajari bagaimana menilai dan menyeleksi tayangan televisi dengan rating kualitas, bukannya terbawa arus degradasi moral. Sehingga tayangan-tayangan televisi yang dihadirkan ke publik, lebih mengarah ke pendidikan. Di sisi lain, diperlukan regulasi yang tegas dari pemerintah dalam menindak berbagai jenis pelanggaran agar pers jera, tetapi tidak sampai membekukan kreativitas dan kebebasan pers sendiri. Sebetulnya, kesadaran dari tiap individu masyarakat khususnya remaja lah yang paling penting. Sebagai konsumen dari pengelola stasiun televisi, kita dituntut selektif dan pintar dalam memilih tayangan. Namun, pihak pengelola televisi pun hendaknya jangan memancing masyarakat dengan melepas tayangan yang negatif. Api tak akan menjadi besar jika tidak ada yang membesarkannya. Begitu pula opini publik yang tidak akan menjadi besar jika tidak ada yang menyulutnya.

Selain itu, pembinaan terhadap pengelola televisi agar memproduksi tayangan yang berkualitas, bermutu, jauh dari adegan kekerasan, serta memberikan pendidikan dan pencerahan terhadap masyarakat terutama para remaja, mutlak dilakukan. Sehingga, tidak mempengaruhi para remaja dan pelajar untuk melakukan aksi kekerasan atau perbuatan lain yang menyimpang dari normanorma adat dan agama.
Kita semua sepakat bahwa tidak boleh ada pembatasan terhadap kreasi seni masyarakat. Sebab, kreasi seni dapat menjadi alat penyampaian gagasan dan nilai-nilai penting yang positif, di samping memberikan pendidikan dan pencerahan bagi publik. Namun, kita harus menolak dengan tegas kreasi seni yang dilakukan dengan aksi vulgar yang terutama tidak mendidik remaja dan pelajar, dengan dalil La pour Art (seni untuk seni). hf Hadziq Jauhary Koordinator Lembaga Pers dan Jurnalistik IPNU Kota Semarang, Sivitas Akademika FE Undip. (www.google.com)

You might also like