You are on page 1of 12

1.

Definisi TBC Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat kuman mycobakterium tuberkulosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000) Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001) Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), yang disebut juga basil tahan asam. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya infeksi TB, antara lain : y y Faktor sumber penularan, lingkungan, dan faktor daya tahan tubuh. Tingkat eratnya hubungan (kontak) juga sangat berperan. Makin erat kontak (dose contact) dan makin lama, makin besar risiko tertular TBC. y Masa inkubasi (waktu yang diperlukan untuk seseorang menjadi terinfeksi setelah tertular) bervariasi antara mingguan hingga tahunan, tergantung dari orang itu sendiri dan jenis infeksinya, apakah primer, progresif, atau reaktivasi.

2. Etiologi Tuberculosis (sering dikenal sebagai TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya menginfeksi paru-paru, walaupun dapat pula menginfeksi organ tubuh lainnya (seperti selaput otak, kulit, tulang, dan kelenjar getah bening. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant atau tertidur lama selama beberapa tahun. Basil tuberkulosis termasuk dalam kelas Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan terasuk dalam ordo Actynomicetales. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan merupakan penyebab infeksi

tersering. Tetapi masih terdapat mykobacterium patogen lainnya misalnya Mycobacterium bovis, M. Leprae, M. Paratuberculosis dan bermacam lainnya seperti M. Kansasii, M. Ulcerans, dan M. Balnei yang sering dianggap sebagai mikobakterium non tuberkulosis, atuipik dan tidak terklasifikasikan. Basil tuberkulosis dapat bertahan hidup selama beberapa minggu dalam sputum kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi tinggi terhadap antiseptik, tetapi cepat menjadi inaktif dengan cahaya matahari, sinar ultraviolet atau suhu lebih tinggi dari 60 'C.

3. Klasifikasi a. Pembagian secara patologis : y y Tuberkulosis primer ( Child hood tuberculosis ) Tuberkulosis post primer ( Adult tuberculosis )

b. Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu : y y Tuberkulosis Paru BTA positif Tuberkulosis Paru BTA negative

c. Pembagian secara aktifitas radiologis : y y y Tuberkulosis paru ( Koch pulmonal ) aktif Tuberkulosis non aktif Tuberkulosis quiesent ( batuk aktif yang mulai sembuh ).

d. Pembagian secara radiologis ( Luas lesi ) y Tuberculosis minimal, yaitu terdapatnya sebagian kecil infiltrat non kapitas pada satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. y Moderateli advanced tuberculosis, yaitu, adanya kapitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm, jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu paru. y For advanced tuberculosis, yaitu terdapatnya infiltrat dan kapitas yang melebihi keadaan pada moderateli advanced tuberculosis.

e. Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat pada tahun 1974 American Thorasic Society memberikan klasifikasi baru: y Karegori O, yaitu tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak tidak pernah, tes tuberculin negatif. y Kategori I, yaitu terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti adanya infeksi, disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif. y y Kategori II, yaitu terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit. Kategori III, yaitu terinfeksi tuberculosis dan sakit.

f. Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori : y Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk TB berat. y Kategori II : ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA positf. y Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I. y Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.

4. Gejala TBC a. Gejala umum TBC pada anak, yaitu : y Berat badan anak biasanya tak bertambah. Ini karena kalori yang dipakai untuk menaikkan berat badan dipakai untuk melawan bakteri TBC. Disamping itu, penderita pun umumnya malas makan sehingga makin menghambat pertambahan berat badannya. Anak pun terlihat rewel, gelisah, lesu, dan mudah berkeringat. y Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah mendapatkan penanganan gizi yang baik (failure to thrive). y Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.

Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit. Biasanya multipel, paling sering didaerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal).

Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.

Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen

b. Gejala khusus TBC, antara lain seperti: y Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak. y Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. y Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. y Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

5. Cara Penularan TBC TBC tidak hanya menyerang orang dewasa, tuberkolosis juga bisa menyerang bayi. Penyebabnya bakteri Mycobacterium tuberculosis ini yang diidap ibunya selama kehamilan ternyata menular kepada bayinya. Seperti tuberkolosis pada orang dewasa, mycobacterium tuberculosis juga menyerang berbagai organ, terutama paru-paru bayi. Sumber penularan TBC ke anak adalah orang dewasa, karena TBC pada anak tidak menular. Penderita TBC bisa berasal dari keluarga penderita BTA positif (kontak serumah),

masyarakat (kunjungan Posyandu), atau pembantu atau pengasuh anak.dari penderitapenderita yang berkunjung ke Puskesmas maupun yang langsung ke Rumah Sakit. Pada TBC anak, umumnya anak mengidap TBC lantaran tertular orang dewasa. Pada orang dewasa, bakteri penyebab TBC masuk ke paru-paru kemudian menyerang dinding saluran napas dengan membentuk rongga yang berisi nanah dan bakteri TBC. Setiap kali orang yang bersangkutan batuk, bakteri TBC yang berukuran kurang dari 10 mikron ikut terlontar keluar dan melayang-layang di udara. Kalau anak yang sehat menghirup udara yang kebetulan mengandung bakteri TBC, maka ia kemungkinan terkena. Namun pada anak-anak, bakteri yang ikut masuk tadi hanya menyerang jaringan paru-paru. Jadi, tidak sampai menyerang dinding saluran napas/bronchus. Itulah sebabnya, anak yang menderita TBC umumnya tidak memperlihatkan gejala batuk. Karena tidak pernah batuk, bakteri jadi tidak pernah keluar dan anak tidak akan pernah menularkan penyakitnya kepada orang lain. Fase ini dinamakan sebagai TBC tertutup. Pada anak-anak dengan status gizi sangat buruk, bakteri TBC bisa saja menyerang saluran bronchusnya hingga menimbulkan rongga bernanah berisi bakteri TBC seperti layaknya TBC pada orang dewasa. Anak akan sering terbatuk dan ikut keluarlah nanah dan bakteri yang bercokol di tubuhnya. TBC anak yang seperti ini bersifat menular dan fasenya bukan tertutup lagi, melainkan sudah terbuka.

6. Faktor Resiko Terjadi TBC Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko penyakit). a. Resiko infeksi TB Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik), tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas

pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena: y Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. y Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. y Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak. b. Resiko sakit TB Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. y Usia Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi

infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut. y Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. y Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang, pengangguran, pendidikan yang rendah. y Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi). y Virulensi dari Mycrobacterium Tuberculosis dan dosis infeksinya.

7. Imunisasi Pada Anak a. Imunisasi BCG Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. BCG ulangan tidak dianjurkan karena keberhasilannya diragukan. Vaksin disuntikkan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,05 mL dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,1 mL. Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus CalmetteGuerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis. Kontraindikasi untuk vaksinasi BCG adalah penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita leukemia, penderita yang menjalani pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV). Reaksi yang mungkin terjadi: y Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut. y Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan. Komplikasi yang mungkin timbul adalah: y Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat. y Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.

b. Imunisasi DPT Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dantetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas, makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, sepertipneumonia, kejang dan kerusakan otak. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada rahang serta kejang Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan yang disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin Td pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun (karena vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah 10 tahun perlu diberikan booster). Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memperoleh perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun. DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut: y y demam tinggi (lebih dari 40,5 Celsius) Kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya) y Syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).

Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, pemberian imunisasi DPT ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan. 1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT akan terjadi demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan. c. Imunisasi DT Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus. Cara pemberian imunisasi dasar dan ulangan sama dengan imunisasi DPT. Vaksin disuntikkan pada otot lengan atau paha sebanyak 0,5 mL.Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak yang sedang sakit berat atau menderita demam tinggi. Efek samping yang mungkin terjadi adalah demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung selama 1-2 hari. d. Imunisasi TT Imunisasi tetanus (TT, tetanus toksoid) memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tetanus. ATS (Anti Tetanus Serum) juga dapat digunakan untuk pencegahan (imunisasi pasif) maupun pengobatan penyakit tetanus. Kepada ibu hamil, imunisasi TT diberikan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat kehamilan berumur 7 bulan dan 8 bulan. Vaksin ini disuntikkan pada otot paha atau lengan sebanyak 0,5 mL. Efek samping dari tetanus toksoid adalah reaksi lokal pada tempat penyuntikan, yaitu berupa kemerahan, pembengkakan dan rasa nyeri. e. Imunisasi Polio Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis. Polio bisa menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua

lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian. Terdapat 2 macam vaksin polio: y IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan y OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV)efektif melawan 1 jenis polio. Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun). Efek samping yang mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang. Kontra indikasi pemberian vaksin polio: y y y Diare berat Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid) Kehamilan. Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada tingkat yang tertinggi. Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi dasar, kepada orang dewasa tidak perlu dilakukan pemberian booster secara rutin, kecuali jika dia hendak bepergian ke daerah dimana polio masih banyak ditemukan. Kepada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio dan perlu menjalani imunisasi, sebaiknya hanya diberikan IPV. Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya.

IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare. Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya selama beberapa hari. f. Imunisasi Campak Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (tampek). Imunisasi campak diberikan sebanyak 1 dosis pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih. Pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada umur 6 bulan dan diulangi 6 bulan kemudian. Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL. Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis dan gejala kataral serta ensefalitis (jarang). Kontra indikasi pemberian vaksin campak: y y y y y y infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38 C gangguan sistem kekebalan pemakaian obat imunosupresan alergi terhadap protein telur hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin wanita hamil

Referensi : Mansjoer, Arif ,dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI Media Aescullapius. Price, Sylvia Anderson.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Edisi 6.Jakarta:EGC Smeltzer, Suzanne. C dan Bare, Brenda. G. 2001. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth Volume 1. Jakarta: EGC

Suriadi . Rita, Yuliani . 2001 . Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta : CV. Sagung Seto Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan 1. http://www.balita-anda.com/fatherhood/661-imunisasi-pada-anak.html di akses pada tanggal 19 Juni 2011 pukul 13.19

You might also like