You are on page 1of 5

UN dan Masa Depan Pendidikan Indonesia

24 May 2010

Media Indonesia Opini

oleh H PARTISIPASI OPINI UJIAN nasional (UN) dipastikan akan tetap masuk dalam perbendaharaan kebijakan pendidikan nasional pada tahun depan meskipun hasilnya di tahun ajaran 2009/10 sangat mengecewakan, terutama bagi anak-anak yang belum berhasil lulus. Kekecewaan juga dialami oleh para pengelola kebijakan pendidikan pada hampir semua tingkatan karena mereka selama ini sudah sangat terbiasa dengan hasil kelulusan siswa yang mendekati sempurna meskipun tanpa harus bekerja keras. Hal lain yang juga selalu mengemuka adalah tentang proses berlangsungnya UN itu sendiri; sudah jujur, akan jujur, atau belum jujur. Potret UN Hasil UN tahun 2009/10 mengindikasikan potret pendidikan kita yang sebenarnya masih buram. Sosoknya masih sangat kontras dengan yang diiklankan di sejumlah media massa selama ini, yang hanya cukup menyebutkan kata bisa, dan semua program taken for granteed akan terjadi. Gambaran buram itu sudah dengan sangat jelas dan gamblang ditunjukkan dari hasil perolehan siswa-siswa di DIY dan Jakarta pada UN SMA /SMP lalu. Pencapaian secara nasional sebenarnya masih dapat dianggap wajar (nason able) karena hanya terjadi penurunan sekitar6%, dari %. pada tahun lalu menjadi 89,6"... Namun karena DIY dan DKI Jakarta merupakan barometer kemajuan pendidikan selama ini, angka 6% menjadi luput dari penglihatan. Kasus di kedua daerah ini menjadi sangat menarik untuk diamati, mengingat tingkat kelulusan di Jakarta dan DIY pada tahun ini mengalami penurunan melebihi angka 15%. Padahal Jakarta dan DIY selama ini dikenal memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang relatif baik dan lengkap. Tingkat kehidupan sosio-ekonomi masyarakatnya juga relatif baik, dan diskrepansi kualitas antarsekolah (education gap) juga tidak terlalu lebar. Namun angka kelulusannya temyata bisa lebih rendah daripada daerah lain, bahkan daerah seperti Papua dan Papua Barat sekalipun yang sarana dan prasarana

pembelajarannya lebih terbatas. Kenapa itu bisa terjadi? Apakah karena pengelolaan pendidikan di daerah-daerah lain sudah jauh lebih baik daripada Jakarta dan DIY? Sebagai bahan perbandingan untuk menilai kinerja pemerintah dalam mengelola pendidikan selama ini, kita juga dapat menggunakan hasil survei PISA dan TIMSS terhadap siswa sekolah menengah di Tanah Air. Selama tiga kali kegiatan penilaian TIMSS (Trends in Mathematic and Science Study), yaitu tahun 1999, 2003, dan 2007,hasilnya menunjukkan siswa SMP kita berada di bawah anak-anak dari negara ASEAN lainnya. Dari tiga periode tes pada mata pelajaran matematika, siswa SMP kita hanya memperoleh skor 403, 411, dan 405 (skala dari 0 hingga 800), dengan rata-rata skor 500. Sebagai pembanding, pada 2007 anak-anak sebaya mereka di Singapura, Malaysia, dan Thailand memperoleh skor 593,474, dan 441. Sementara itu, hasil PISA (Program for International Assessment of Student) juga menunjukkan keadaan yang serupa. Pada 2006, skor perolehan siswa SMP pada matematika dan sains (IPA) bertengger hanya pada angka 391 dan 393 (skala 0-800), padahal rata-rata skor sebesar 500. Apabila perolehan skor pada PISA kita transfor-masikan pada band descriptors yang juga dikembangkan lembaga itu, potret pendidikan menengah yang kita per-oleh lebih mencemaskan lagi. Penjelasan makna dari skor yang diperoleh siswa SMP kita pada band de-scriptors menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran ying dilakukan guru di balik pintu ruang kelas sejauh ini masih sangat rendah. Dinas pendidikan dan kepala sekolah diduga masih kurang memberikan perhatian pada proses pembelajaran di kelas sehingga keadaan itu (rendahnya mutu pembelajaran) terus bertahan sebagaimana yang diperlihatkan dari hasil siswa pada penilaian TIMSS dan PISA di muka. Kurangnya perhatian itu apakah hanya masalah kelalaian atau disebabkan faktor yang lebih substantif, seperti minimnya pengetahuan tentang manajemen pembelajaran, pemanfaatan data untuk peningkatan mutu pembelajaran, dan kepemimpinan. Pertanyaan-pertanyaan itu harus dapat ditemukan jawabannya agar pendidikan dapat lebih rigorous dan memiliki daya saing. Pada band descriptors dijelaskan, perolehan skor sampai dengan 450 menunjukkan bahwa siswa (testees) hanya mampu menjawab soal-soal tes yang mengukur kemampuan ingatan (recalling), pemahaman, dan sedikit aplikasi, jika kita merujuk pada educational objecthH dari Benjamin Bloom. Sedangkan soal-soal tes yang mengukurkemampuan analitis dan pemecahan masalah berada di atas angka 450. Jadi, hasil TIMSS dan PISA memberikan gambaran betapa rendahnya kualitas pembelajaran dan penilaian di banyak lembaga pendidikan kita. Hasil TIMSS dan PISA ini juga hampir sama dengan beberapa temuan awal dari hasil studi terhadap kemampuan siswa dan guru SMA/ madrasah .ili.ih pada mata pelajaran matematika, sains, bahasa, dan sosial di Kabupaten Lahat dan Muara Enim, Sumatra

Selatan, yang dilakukan Cerutas Indonesia pada 2009. Siswa-siswa di kedua kabupaten itu mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal tes yang mengukur kemampuan analitis, pemecahan masalah, dan interpretasi pada soal-soal bahasa Indonesia dan Inggris. Dari hasil tudi itu juga ditemukan bahwa proses pembelajaran dan penilaian yang dilakukan guru hanya menggunakan dan mengandalkan sumber atau bahan yang sangat terbatas seperti buku-buku lok-, (course books). Curu kurang memiliki kemampuan untuk mengolah dan mengembangkan bahan pembelajaran sehingga bisa lebih menantang dan berkualitas. Pembelajaran lebih banyak menggunakan kegiatan hafalan [rote learning) sehingga kemampuan siswa kurang dan jarang sekali diekspose dengan model pembelajaran yang dapat menumbuhkan kreativitas, kemampuan menganalisis, dan memecahkan masalah. Pada pembelajaran membaca, misalnya, siswa hanya dilatih untuk sekadar memahami teks bacaan (reading compreliension), tetapi sangat sedikit siswa dilatih agar dapat menafsirkan apalagi diajak untuk mengkritisi teks (critical reading) dan mengikuti alur atau siklus pembelajaran yang mencerahkan semacam transformatiw reading. Lagi, evaluasi UN UN, meskipun hasilnya menunjukkan penurunan yang cukup tajam pada sejumlah daerah, tetap belum dapat dikatakan sudah berhasilmemotret keadaan kualitas pendidikan menengah dengan baik. Data kelulusannya masih menimbulkan sejumlah pertanyaan. Sebagaimana dilaporkan banyak media, pelaksanaan UN masih menyimpan berbagai masalah. Administrasi UN masih belum memenuhi standar kelayakan untuk sebuah praktik penilaian yang bisa dikategorikan sebagai high-stake exains atau praktik penilaian yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan kelulusan dan sertifikasi. Selain persoalan administrasi, kualitas materi soal yang akan digunakan masih belum memadai (inadequate) jika hasilnya akan dijadikan dasar untuk mengukur kemajuan pendidikan nasional. Karena itu, penyempurnaan materi soal tes mutlak harus dilakukan apabila hasil UN akan terus digunakan sebagai barometer mutu pendidikan nasional dan untuk mengetahui tingkat kesiapan anak-anak Indonesia memasuki persaingan global, yang perekonomiannya sudah berbasiskan pada ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Substansi materi soal tes saat ini menjadi bahan diskusi dan kajian yang serius di banyak negara, khususnya negara-negara yang masih memberlakukan liigli-stnke exams bagi siswa-siswa sekolah dasar dan menengah. Negara-negara itu sudah berbicara perihal yang lebih substantif, yaitu tentang materi soal apa yang paling dibutuhkan bagi anak-anak saat ini sehingga mereka dapat lebih mudah menyesuaikan diri dalam dunia yang cepat berubah. Anak-anak harus dibekali dengan kemampuan yang dapal digunakan untuk memecahkan masalah pada saat mereka menemukan/di-hadapkan pada sebuah kasus. Karena itu, soal-

soal tes yang dikembangkan harus dapat meng-capture kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (problem solving), berpikir kritis dan analitis (critical and analitical lliinkings), dan aplikatif. Dengan memperhatikan pencapaian negara-negara jiran, sistem dan desain penilaian ke depan hendaknya dapat dihubungkan dengan sistem penilaian yang dikembangkan oleh negara-negara maju yang dijadikan referensi. Sedangkan pada tataran nasional, melakukan kajian secara lebih intensif dan komprehensif terhadap keselarasan kurikulum [curriculum alignment) adalah kebutuhan sangat mendesak. Keselarasan antara perencanaan, pembelajaran, kurikulum, standar, dan penilaian harus terjadi, baik secara substansi maupun per jenjang dan tingkatan pendidikan. Keselarasan kurikulum dapat membantu pemerintah dalam menyusun berbagai regulasi dan tindakan penyempurnaan terhadap standar, pembelajaran, dan penilaian. Adapun bagi sekolah, hasil alignment juga dapat digunakan untuk membantu menyiapkan siswa pada setiap event ujian. Entitas terkaitAdapun | Apabila | Apakah | ASEAN | Benjamin | Curu | Data | Dinas | DIY | Gambaran | Indonesia | Kasus | Kekecewaan | Keselarasan | Kurangnya | Mathematic | Muara | Papua | Pembelajaran | Pencapaian | Penjelasan | PISA | Program | Science | Sebagaimana | SMP | Sosoknya | Substansi | Sumatra | Tanah | Thailand | TIMSS | Tingkat | Trends | UJIAN | UN | Administrasi UN | Cerutas Indonesia | DKI Jakarta | Hasil TIMSS | Hasil UN | International Assessment | Kabupaten Lahat | Padahal Jakarta | Papua Barat | Potret UN | UN SMA | H PARTISIPASI OPINI | Masa Depan Pendidikan Indonesia | Ringkasan Artikel Ini Padahal Jakarta dan DIY selama ini dikenal memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang relatif baik dan lengkap. Pada 2006, skor perolehan siswa SMP pada matematika dan sains (IPA) bertengger hanya pada angka 391 dan 393 (skala 0-800), padahal rata-rata skor sebesar 500. Dinas pendidikan dan kepala sekolah diduga masih kurang memberikan perhatian pada proses pembelajaran di kelas sehingga keadaan itu (rendahnya mutu pembelajaran) terus bertahan sebagaimana yang diperlihatkan dari hasil siswa pada penilaian TIMSS dan PISA di muka. Hasil TIMSS dan PISA ini juga hampir sama dengan beberapa temuan awal dari hasil studi terhadap kemampuan siswa dan guru SMA/ madrasah .ili.ih pada mata pelajaran matematika, sains, bahasa, dan sosial di Kabupaten Lahat dan Muara Enim, Sumatra Selatan, yang dilakukan Cerutas Indonesia pada 2009. Siswa-siswa di kedua kabupaten itu mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal tes yang mengukur kemampuan analitis, pemecahan masalah, dan interpretasi pada soalsoal bahasa Indonesia dan Inggris. Dari hasil tudi itu juga ditemukan bahwa proses pembelajaran dan penilaian yang dilakukan guru hanya menggunakan dan mengandalkan sumber atau bahan yang sangat terbatas seperti buku-buku lok-, (course books). Pembelajaran lebih banyak menggunakan kegiatan hafalan [rote learning) sehingga kemampuan siswa kurang dan jarang sekali diekspose dengan model pembelajaran yang dapat menumbuhkan kreativitas, kemampuan menganalisis, dan memecahkan masalah. Substansi materi soal tes saat ini menjadi bahan diskusi dan kajian yang serius di banyak negara, khususnya negara-negara

yang masih memberlakukan liigli-stnke exams bagi siswa-siswa sekolah dasar dan menengah. http://bataviase.co.id/node/223547

You might also like