You are on page 1of 5

OTONOMI DAERAH DAN PERTAMBANGAN

TUGAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI (PSDME)

Nama : Melinda Rose Diana NIM : 22110311

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011

OTONOMI DAERAH DAN PERTAMBANGAN

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 33 provinsi dan terdiri dari 5 pulau besar dan kepulauan yang memiliki keragaman budaya. Adanya wilayah yang saling berjauhan dan adanya perbedaan budaya memungkinkan Indonesia memerlukan sistem pemerintahan yang praktis, efisien, dan independent namun tetap bisa terkoordinasi dari pusat. Sistem pemerintahan yang dirasa cocok adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan

(http://www.scribd.com/doc/19470904/Otonomi-Daerah#). Otonomi daerah pada awalnya merupakan pengkhususan suatu daerah yang membutuhkan pembangunan lebih cepat daripada daerah di sekitarnya. Namun sejalan dengan berkembangnya masing-masing daerah, dan adanya euforia reformasi, maka otonomi daerah dilaksanakan pada seluruh wilayah Indonesia. Cakupan wilayah otonomi diputuskan pada wilayah kabupaten agar aspirasi rakyat dapat segera tersalurkan, pembangunan lebih terfokuskan untuk hal-hal yang lebih diketahui bermanfaat bagi daerahnya, memudahkan dalam pelayanan kepada masyarakat, dan memudahkan dalam pengawasan dan pengontrolan. Di sisi lain otonomi daerah pada wilayah kabupaten

dibandingkan pada wilayah provinsi memungkinkan minimalnya pemberontakan ataupun pelepasan suatu wilayah dari NKRI. Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi prosesproses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.(Sadu Wasisitiono;2003) Peraturan mengenai otonomi daerah adalah sebagai berikut

(http://iwan09file.wordpress.com/latar-belakang-otonomi-daerah/): 1. UU No.1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

2. UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah 3. UU NO.1 Tahun 1957 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1954 yakni tentang Bataviasche Verkeers Matschappij 4. UU NO.18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 5. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 6. UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 7. UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah 8. UU NO.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 9. UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, urusan yang disentralisasikan merupakan urusan absolut pemerintah pusat meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama, sedangkan urusan yang didesentalisasikan kepada daerah otonom provinsi dan kabupaten serta kota adalah urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dll. (ada 31 urusan wajib PP 38/2008 psl 7 (2)). Urusan pilihan adalah urusan yang disesuaikan dengan potensi dan kekhasan dan potensi yang dimiliki daerah tersebut misalnya pertambangan, kehutanan, perikanan, pertanian, perkebunan dan pariwisata. Pelaksanaan otonomi daerah ini bersangkutan juga dalam kegiatan pertambangan di Indonesia, terutama mengenai izin usaha pertambangan, pelaporan kegiatan pertambangan, pembagian pajak dan royalti. Adanya otonomi daerah, undang-undang pertambangan yakni UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan tidak sesuai lagi untuk diterapkan. Dengan demikian dibuatlah PP Nomor 75 Tahun 2001 tentang Ketentuan PokokPokok Pertambangan yang merubah pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967 dalam PP Nomor 32 Tahun 2009. Isi dari PP Nomor 75 Tahun 2001 adalah mengenai wewenang pemberian izin pertambangan (pada wilayah kabupaten untuk bupati/walikota yang pelaksanaannya pada 1 kabupaten, pada wilayah provinsi untuk gubernur yang pelaksanaannya pada >1 kabupaten, dan pada wilayah menteri yang pelaksanaannya pada >1 provinsi); serta prosedur pengajuan dan pelaksanaan pertambangan rakyat. Sedangkan KEPMEN ESDM 1453K/29/MEM/2000

membahas tentang Pedoman Teknis Penyelenggaran Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum, yang isinya terdiri dari 18 point. Pada rupanya pelaksanaan otonomi daerah yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan tidak seideal yang diharapkan. Sejak UU No. 32/2004 diberlakukan, otonomi daerah

dilaksanakan secara simultan. Hasil yang dikeluarkan beragam antara daerah otonom yang satu dibandingkan dengan daerah otonom yang lain dan pada umumnya hasilnya kurang memuaskan dan cenderung kontrapoduktif dengan apa yang diharapkan (http://www.ditjen-

otda.depdagri.go.id/otonomi/detail_berita.php?id=29, Ir. Togap Simangunsong, M. App. Sc.). Permasalahan yang muncul dalam implementasi otonomi daerah yang berkaitan dengan pertambangan adalah mengenai pemanfaatan sumber daya alam tambang yang tidak dapat diperbaharui. Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tidak dibarengi dengan adanya pedoman norma, standar, kriteria dan prosedur (NSPK), sehingga hampir semua daerah otonom baik provinsi, kabupaten dan kota melaksanakan urusan kehutanan dan pertambangan dengan cara masing-masing demi untuk menambah pendapatan daerah. Benturan kepentingan pun seringkali terjadi. Misalnya saja pada kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur, di mana Gubernur Kalimantan Timur menolak kegiatan di wilayah hutan konservasi, namun tidak berwenang menolak penerbitan kuasa pertambangan di wilayah konservasi. (http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/otonomi/detail_berita.php?id=29,Ir.Togap Simangunsong, M. App. Sc). Permasalahan juga muncul walaupun PP Nomor 38 Tahun 2007 telah diterbitkan. Pembagian urusan antar tingkatan pemerintahan belum optimal, belum aplikatif, dan tidak memiliki materi penegakan hukum. Undang-undang yang mengatur pertanahan, kehutanan

belum tegas mengatur kewenangan urusan kehutanan provinsi dan kabupaten/kota serta tidak mengacu pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai undang-undang acuan terkait secara langsung dengan daerah (psl 237). (http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/otonomi/detail_berita.php?id=29,Ir. Togap Simangunsong, M. App. Sc). Seringkali terdapat tumpang tindih antara penggunaan lahan pertambangan dengan kegiatan kehutanan. Pertambangan merupakan andalan pemasukan devisa negara, sedangkan

kehutanan

juga

berperan

dalam

perekonomian

nasional

serta

perekonomian

lokal(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=DUEL+MAUT+%3A+TAMBANG +VERSUS+HUTAN&dn=20081028160112). Perekonomian lokal dalam hal ini misalnya hutan digunakan untuk penduduk sebagai pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari, atau hutan digunakan sebagai bahan pencari nafkah untuk hutan kelapa sawit. Benturan kepentingan terjadi manakala AMDAL Pertambangan tidak dioperasionalkan dengan baik, belum lagi apabila perusahan tambang kecil tidak segera mereklamasi lahan bekas tambang akibat masih kekurangan modal. Tumpang tindih di antara keduanya menimbulkan konflik kepentingan. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan kebijakan yang tepat dalam alokasi wilayah pertambangan dan wilayah konservasi hutan. Adanya otonomi daerah dalam penerbitan Kuasa Pertambangan di tingkat Kabupaten (PP Nomor 75 Tahun 2001) menyebabkan pelaksanaan izin dan kegiatan pertambangan mengalami banyak permasalahan. Hal ini terjadi karena kurangnya kemampuan sumber daya manusia daerah dan teknologi dalam mengelola kegiatan pertambangan. Perebutan dan tumpang tindih wilayah kuasa pertambangan pun sering kali terjadi. Karena masing-masing pemohon kuasa pertambangan saling berebut untuk memiliki suatu wilayah. Permasalahan ini sangat kontras dengan adanya visi otonomi daerah, yakni secara ekonomi (Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi) dan secara sosial (Menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan di sekitarnya). Adanya penyelewengan pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan hanya pihak-pihak tertentu bermodal yang dapat menikmati kekayaan alam dari pertambangan, dan pihak-pihak petani kecil yang mengalami kerugian akibat wilayah bertaninya rusak. Sebaiknya kebijakan yang dilakukan harus dapat melihat secara keseluruhan, sehingga dispensasi diberikan kepada pihak-pihak yang dirugikan.

You might also like