You are on page 1of 25

PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terha dap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.

KASUS Dokter A adalah dokter umum, tetapi pasiennya cukup banyak. Seorang pengusaha apotik yang merangkap laboratorium klinik menghubunginya dan mengatakan bahwa ia akan memberi bonus sebagai hasil kerja sama yang baik diantara kedua pihak berupa 20% dari biaya obat dan lab yang dibayar oleh pasien-pasiennya yang dikirimkan ke apotik atau lab klinik tersebut. Suatu tawaran menarik karena ia sedang berniat untuk membeli mobil baru. Ia pun mulai berhitung bahwa apabila ia ingin angsuran mobilnya dapat dilunasi dengan uang ekstra ini, maka ia harus mengirim setidaknya 50% pasiennya untuk periksa laboratorium dan sekitar 75% pasiennya harus mengambil obat di apotik tersebut dengan jenis obat yang cukup tinggi harganya.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

BAB II HUBUNGAN DOKTER-PASIEN

Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau ramburambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien dan justice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity (kebenaran truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya. Sebagaimana layaknya hubungan antara professional dengan klien pada umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternative jenis hubungan yang sama. Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistic, dengan prinsip utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistic ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga member peluang kepada pasien untuk meyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontaktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upayanya yang sungguh-sungguh (inspanning verbintennis). Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. Oleh karena itu sejak sebelum masehi telah ada code of Hammurabi yang mengancam dengan pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya, dan code of Hittites yang mewajibkan dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannya / kelalaiannya. Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi peraturan dan kewajiban saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules). Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan / keutamaan). Pada hubungan dokter-pasien yang virtue based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal dari prinsip autonomy. ETIKA KEDOKTERAN Didalam menentukan tindakan dibidang kesehatan atau kedokteran, selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar diatas, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien. Etika dalam disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontology dan teleology. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, deontology mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatanya itu sendiri (I kant), sedangkan teleology mengajarkan untuk menilai tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya, sedangkan teleology lebih kea rah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian). Beauchamp dan Childress menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya. Ke kaidah dasar -4 moral tersebut adalah : 1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent. 2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya lebih besar daripada sisi buruknya. 3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yan memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm. 4. Prinsip justice, yaitu prinsiup moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice) Sedangkan rules derivatnya adalah veracity ( berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyality dan promise keeping). Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yan harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku. Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai nilai dalam etika profesi tercermin dalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu kontrak moral antara dokter dengan tuhan sang penciptanya,
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

sedangkan kode etik kedokteran berisikan kontrak kewajiban moral antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi pemimpin dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

BAB III PRAKTIK KEDOKTERAN

Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok professional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standard dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwaa professional yang berpraktek hanyalah professional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Professional kedokteran diharapkan memiliki sikap profesionalisme, yaitu sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas- termasuk klien. Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesin bekerja ya, sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberik an kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No.29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat Ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No.29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter. Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No.29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempak praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya. Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, resiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menola tindakan medis. Pada bagian berikutnya Undang-Undang No.29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan / atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu. Pada akhirya Undang-Undang No.29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpratik tanpa STR dan atau SIP, meraka yang bukan dokter tetapi bersikap dan bertindak seolah-oleh dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/ atau SIP. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/ PUU-V/2007 dalam perkara judicial review, telah dihilangkan pidana kurungan bagi dokter atau dokter gigi yang berpraktik tanpa STR atau SIP (pasal 75 dan 76), telah dihilangkan pidana kurungan pada pasal 79, serta dihilangkan pidana pada pasal 79 huruf e. Undang-Undang No.29/2004 berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran terbentuk. UU Praktik Kedokteran memandatkan peraturan pelaksanaan dalam bentu Peraturan Konsil dan Peraturan Menteri Kesehatan. Peraturan Konsil yang harus dibuat adalah ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI ; Fungsi, Tugas, Wewenang KK/KKG; Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota ; Tata kerja KKI; Tata cara Registrasi; Kewenangan dokter/ dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat atau direvisi bila sudah ada adalah peraturan tentang Surat Ijin Prakti, Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam Medis, dan Rahasian Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai standar seperti standar profesi yang didalamnya meliputi standar kompetensi, standar perilaku, dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan beberapa peraturan pendukung juga diperlukan untu melengkapinya, seperti peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil, pengobatan alternative), perumahsakitan dan sarana kesehatan lainnya, dan lain-lain. PENYELANGARAAN PRAKTIK Setiap dokter yang akan berpraktik wajib memiliki STR dan SIP. Bagi lulusan sebelumnya berlakunya UU Praktik Kedokteran, Surat Penugasan (SP) disamakan dengan STR. Perubahan SP dan SIP lama menjadi STR dan SIP batu diberi waktu selama dua tahun. Bagi lulusan sesudah berlakunya UU Praktik Kedokteran, untuk memperoleh STR diperlukan
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

adanya ijazah yang dikeluarkan oleh Institusi pendidikan dan Sertifikat Kompetensi yang dikeluarkan oleh Kolegium. UU No.8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana, yang kemudian dipertegas dengan PP No.1 tahun 1988 tentang Masa Bhakti dokter dan dokter gigi mewajibkan para lulusan dokter baru untuk melaksanakan wajib kerja sarjana di daerah dalam bentuk penugasan melalui Inpres dan kemudian melalui Pegawai Tidak Tetap. UU No.23 tahun 1992 kemudian menyebutan bahwa Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan palayanan kesehatan, melalu masa bakti dan cara lain. Dengan diberlakukannya UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mencabut UU No. 8 tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana, maka tidak ada lagi kewajiban dokter mengikuti program penempatan yang berdasarkan wajib kerja sarjana. Dengan demikian penempatan tenaga kesehatan hanya memiliki UU Kesehatan sebagai dasar hukumnya, atau berarti bahwa Pemerintah hanya memiliki kewenangan mengatur penempatan dokter/ tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan. Penempatan dokter melalui masa bakti dan cara lain adalah merupakan kewajiban Pemerintah dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan, bukan merupakan kewajiban dokter/lulusan dokter baru. IJIN DOKTER Dalam rangka pelaksanaan UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran telah diterbitkan Permenkes No.1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan dokter gigi, yang emudian direvisi menjadi Permenkes 512/Menkes/Per/2007. Dokter hanya diberi kesempatan berpraktik di 3 tempat saja, baik berupa sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah atau swasta ataupun tempat praktik pribadi. Namun demikian diberi keleluasan bagi dokter untuk bekerja tanpa SIP, yaitu : 1. bekerja sebagai pendidik di rumah sakit/ saryankes yang merupakan jejaring dari RS Pendidikan tempat ia bekerja, oleh karena SIP di RS Pendidikan tsb berlaku juga di RS-RS jejaringnya. 2. bekerja di jejaring pelayanan kesehatan yang merupakan hirarki bawahan dari saryakes pemerintah tempat ia bekerja. 3. bekerja atas permintaan suatu sarana pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan korban bencana, atau tugas kenegaraan, yang bersifat insidentil. 4. bekerja atas dasar surat tugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di suatu rumah sakit dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan. 5. melakukan pertolongan medis kepada tetangga, saudara atau kerabat lain. Untuk butir 1,2 dan 3 di atas, wajib memberitahukannya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat ia bekerja. Dokter yang sedang mengikuti pendidikan dokter spesialis, wajib sebelumnya telah memiliki Sertifikat kompetensi dan STR, dan akan memperoleh SIP Kolektif dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Mahasiswa kedokteran (co-ass) bekerja atas dasar pelimpahan wewenang dari guru atau seniornya, sehingga mereka harus selalu berada dalam supervise. Kewenangan PPDS dan mahasiswa kedokteran tersebut berlaku untuk seluruh jejaring RS pendidikannya.
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

BAB IV BIOETIKA

Etik adalah cabang ilmu fisafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari pengetahuan empiris tentang mralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang issue-issue tertentu. Etik terbagi kedalam etik normative dan metaetik (etik analitik). Pada etik normative, para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik,m para filsof memperhatikan analisis kedua konsep moral diatas. Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu 1. Kebutuhan fisiologis yang dipenuhi dengan makanan dan minuman, 2. Kebutuhan psikologis yang dipenuhi dengan rasa kepuasan, istirahat, santai,dll, 3. Kebutuhan social yang dipenuhi melalui keluarga teman dan komunitas, serta 4. Kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan, kebenaran, cinta,dll. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara berimbang. Apabila seseorang memilih untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara tidak berimbang, maka ia telah menentukan secara subyektif apa yang baik bagi dirinya, yang belum tentu baik secara obyektif. Baik disebabkan oleh etidaktahuan atau akibat kelemahan moral, seseorang dapat saja tidak mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut dalam membuat keputusan etik, sehingga berakibat terjadinya konflik dibidang keputusan moral. Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normative di atas. Bioetik atau biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian dibidang biomedis. Beberapa contoh pertanyaan didalam bioetika adalah : Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral unutk memberitahukan kepada seseorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral? Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya suatu hokum dilihat dari segi etik, seperti : apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang unutk menerima tindakan medis yang bersifat life saving, meskipun bertentangan dengan keingingannya apakah dapat dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hokum yang mengharuskan memmasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien? Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi?

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

ETIKA KLINIK Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler, dan Winslade mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu: 1. Medical indication 2. Patient preferences 3. Quality of life 4. Contextual features Kedalam topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan non malificence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yan selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent. Pada topic patient preference kita memperhatikasn nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yan akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll. Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, nonmalificence dan autonomy. Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum. ETIKA DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN Didalam praktek, peran professional kesehatan-khusunya dokter dapat terbagi kedalam 3 model penjaga gawang, yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positive gatekeeper. Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawsang penyelengaraan layanan kesehatan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjuknya harus diagnostic elegance (termasuk menggunakan cara memiliki tingakt ekonomi yang sesuai dalam mendiagnosis) dan terapuetik parsimony (memberikan terapi hanya secara nyata bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya resiko yang tidak diperlukan kepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya financial pasien. Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada system kesehatan pra bayar atau kapitasi, dokter diharapakan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggung jawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan tanggung jawab barunya sebagai pengawal sumber daya masyarakat / komunitas. Meskipun demikian peran negative gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat dijustifikasi.
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

10

Tidak seperti peran negative yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam peran ini dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan hi-tech demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membay disediakan ar fasilitas diagnostic dan terapi yang paling mahal dan muktahir, layanan didasarkan kepada keinginan pasar dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atau layanan yang sophisticated djadikan tujuan implicit, dan dokter menjadi salesmanya. Mereka berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut, atau mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila mereka pegawai atau pelaksana. Tidak disangkal lagi bahwa peran positive gatekeeper telah membudaya bagi para dokter dikota-kota besar di Indonesia. Transaksi antara pasien dengan dokter menjadi transaksi komoditi biasa. Dokter menjadi entrepreneur atau sebagai agen dari sang entrepreneur. Etik para professional kesehatan menjadi menurun hingga ke bottom line ethics dan bukan lagi menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Pertanyaan apa yang harus saya lakukan agar saya bebas dari tuntutan menjadi dasar kerja dokter sebagai pengganti pertanyaan apa yang harus saya lakukan agar pasien memperoleh manfaat dan layanan profesi yang optimal. Orang yang sakit, dependen, gelisah, kurang pengetahuan, dan vulnerable dieksploitasi untuk keuntungan pribadi orang-orang tertentu.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

11

BAB V HAK PASIEN DAN KEWAJIBAN DOKTER

HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER Hak dokter: 1. Bekerja sesuai peraturan kedokteran yang berlaku serta memperoleh perlindungan Hukum(Pasal 35 jo ps 50) 2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional 3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya 4. Menerima imbalan jasa 5. Diperlakukan sesuai Asas Hukum RI: Praduga Tak Bersalah/ Presumption of Innocence 6. Mendapat perlindungan HAM (UU no39 th 1999) 7. Mendapat perlindungan Peradilan Umum Kewajiban Dokter: 1. Memberikan pelayanan medis sesuai dg standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan pasien 2. Merujuk pasien ke dokter atau drg lain yg memiliki keahlian/ ketrampilan yg lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan 3. Merahasiakan segala sesuatu yg diketahuinya ttg px, bahkan stlh px meninggal dunia, serta tunduk pada tata cara pembukaan Rahasia Kedokteran menurut Hukum yg berlaku 4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan, kec: ia yakin ada org lain yg bertugas dan mampu melakukannya 5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN Hak Pasien: 1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat(3) 2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis 4. Menolak tindakan medis 5. Mendapatkan isi MR Kewajiban Pasien: 1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya 2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dr/drg 3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan 4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

12

BAB VI KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

Sejak disusun pertama kali hingga sekarang norma-norma dalam kode etik kedokteran Indonesia telah mengalami banyak perubahan, sebagai konsekuensi dari dianamika etik itu sendiriyang selalu berupaya mengikuti etika kedokteran internasional. KODEKI terdiri dari 4 kewajiban: 1. Kewajiban umum 2. Kewajiban terhadap pasien 3. Kewajiban terhadap teman sejawat 4. Kewajiban terhadap diri sendiri Bunyi pasal-pasalnya adalah : KEWAJIBAN UMUM y Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. y Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. y Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. y Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. y Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien. y Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. y Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. y Pasal 7a Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

13

Pasal 7 b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien. Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien. Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. Pasal 9 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati. Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk p asien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya. Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT y Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. y Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

14

y y

Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

PENJELASAN KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA PASAL DEMI PASAL y Pasal 1 Sumpah dokter di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun 1960. Lafal ini terus disempurnakan sesuai dengan dinamika perkembangan internal dan eksternal pro tesi kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Penyempurnaan dilakukan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II tahun 1981, pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pembinaan dan Pembelaan Anggota (MP2A) tahun 1993, dan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran III, tahun 2001. y Pasal 2 Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat. y Pasal 3 Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik 1. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan ketrampilan kedokteran dalam segala bentuk. 2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien. 3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter. 4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter. y Pasal 4 Seorang dokter harus sadar bahwa pengetahuan dan ketrampilan profesi yang dimilikinya adalah karena karunia dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa semata dengan demikian imbalan jasa yang diminta harus di dalam batas-batas yang wajar. Hal-hal berikut merupakan contoh yang dipandang bertentangan dengan Etik a. Menggunakan gelar yang tidak menjadi haknya. b. Mengiklankan kemampuan, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan maupun dalam tulisan. y Pasal 5 Sebagai contoh, tindakan pembedahan pada waktu operasi adalah tindakan demi kepentingan pasien.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

15

y y y y y y y y

y y

y y y

Pasal 6 Yang dimaksud dengan mengumumkan ialah menyebarluaskan baik secara lisan, tulisan maupun melalui cara lainnya kepada orang lain atau masyarakat. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 7a Cukup jelas. Pasal 7b Cukup jelas. Pasal 7c Cukup jelas. Pasal 7d Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut adalah dokter yang mempunyai kompetensi keahlian di bidang tertentu menurut dokter yang waktu itu sedang menangani pasien. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Kewajiban ini sering disebut sebagai kewajiban memegang teguh rahasia jabatan yang mempunyai aspek hukum dan tidak bersifat mutlak. Pasal 13 Kewajiban ini dapat tidak dilaksanakan apabila dokter tersebut terancam jiwanya Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Secara etik seharusnya bila seorang dokter didatangi oleh seorang pasien yang diketahui telah ditangani oleh dokter lain, maka ia segera memberitahu dokter yang telah terlebih dahulu melayani pasien tersebut.

Hubungan dokter-pasien terputus bila pasien memutuskan hubungan tersebut. Dalam hal ini dokter yang bersangkutan seyogyanya tetap memperhatikan kesehatan pasien, yang bersangkutan sampai dengan saat pasien telah ditangani oleh dokter lain PASAL 3 Penjelasan dan pedoman pelaksanaan Seluruh Kode Etik Kedokteran Indonesia mengemukakaan betapa luhur pekerjaan profesi dokter. Meskipun dalam melaksanakan pekerjaan profesi, dokter memperoleh imbalan, namun hali ini tidak dapat disamakan dengan usaha penjualan jasa lainnya. Pelaksanaan profesi kedokteran tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi lebih didasari sikap perikemanusiaan dengan usaha menjual kepentingan pasien. 1. Hal-hal berikut dilarang: a. Menjual contoh obat (free sampel) yang diterima cuma-Cuma dari perusahaan farmasi. b. Menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

16

c. Mengijinkan penggunaan nama dan profesi sebagai dokter untuk kegiatan pelayanan kedokteran kepada orang yang tidak berhak, misalnya dengan namanya melindungi balai pengobatan yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah. d. Melakukan tindakan kdokteran yang tidak perlu atau tanpa indikasi yang jelas, karena ingin menarik pembayaran yang lebih banyak. e. Kunjungan ke rumah pasien atau kunjungan ke kamar praktek hendaklah seperlunya saja supaya jangan menimblkan kesan seolah-oah dimaksudkan untuk memperbaynyak imbalan jasa. Hal ini perlu diperhatikan terutama oleh dokter perusahaan yang dibayar menurut banyaknya konsultasi. f. Melakukan usaha untuk menarik perhatian umum dengan maksud supaya praktek lebih dikenal orang lain dan pendapatannya bertambah. Misalnya mempergunakan iklan atau mengizinkan orang lain mengumuman namanya dan atau hasil pengobatannya dalam surat kabar atau media masa lainnya. g. Meminta dahulu sebagian atau seluruh imbalan jasa perawatan/pengobatan, misalnya pada waktu akan diadakan pebedahan atau pertolongan obstetri. h. Meminta tambahan honorarium utnuk dokter-dokter ahli bedah/kebidanan kandungan, setelah diketahui kasus yang sedang ditangani ternyata sulit, dimana pasien yang bersangkutan berada di situasi sulit. i. Menjual nama dengan memasang papan praktek di suatu tempat padahal dokter yang bersangkutan tidak pernah atau jarang ke tempat tersebut. Sedangkan yang menjalankan praktek sehari-harinya dokter lain bahkan oran yang tidak mempunyai keahlian yang sama dengan dokter yang namanya terbaca pada papan praktek. j. Mengekploitasi dokter lain, dimana pembaian prosentasi imbalan jasa tidak adil. k. Merujuk pasien ke tempat sejawat sekelompoknya,walaupun di dekat tempat rakteknya ada sejawat lain yang mempunyai keahlian yang diperlukan. 2. Secara sendiriatau bersama menerapkan pengetahuan dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk: a. Merendahkan jabatan kalau dokter bekerjasama dengan orang lain atau badan yang tidak berhak melakukan praktek dokter. Dengan demikian ia melindungi perbuatan orang/badan yang bersangkutan. b. Rujukan dokter umum ke dokter ahli harus benar-benar ditaati, yang disediakan memang benar pelayanan tujukan dokter spesialis, bukan pelayanan dokter umum atau dokter umum yang sedang menjalani pendidikan spesialis. 3. Menerima imbalan selain dari pada jasa yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasanm sepengetahuan dan atau kehendak pasien. a. Seorang yang akan memberikan jasa keahlian dan tenaganya untuk keperluan orang lain, berhak menerima upah. Demikian pula seorang dokter, meskipun sifat hubungan dokter dan pasien tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan itu. Pertolongan dokter terutama didsarkan pada perikemanusiaan, diberikan tanpa perhitunagn terlebih dahuu tentang untung-ruginya. Setiap pasien harus diperlakukan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Meskipun demikian hasil dari pekerjaan itu hendaknya juga dapat memenuhi keperluan hiudp seduai kedudukan dokter dalam masyarakat.
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

17

Perumahan yang layak yang berarti tempat hidup berkeluarga yang cukup higienis, serta tempat praktek harus mempunyai ruangan tepat menerima pasien dengan aman dan tenang. Alat kedokteran seperlunya, kendaraan, pustaka sederhana, santapan rohani, kewajiban sosial, dan lain-lain, semua itu memerlukan anggaran belanja. Karena sifat perbuatannya yang mulia maka uang yang diterimanya idak diberi nama upah atau gaji,melainkan honorarium atau ombalan jasa. Besarnya imbalan tergantung pada beberapa faktor yaitu: keadaan tempat, kemampuan pasien, lama dan sifatnya pertolongan yang diberikan dan sifat pelayanan umum atau spesialistik. b. Pedoman dasar imbalan jasa dokter adalah sebagai berikut: i. Imbalan jasa dokter disesuaikan dengan kemampuan pasien. Kemampuan pasien dapat diketahui dengan bertanya angsung denganmempertimbangkan kedudukan/mata pencaharian, rumah sakit, dan kelas dimana pasien dirawat. ii. Dari segi medik, mbalan jasa dokter ditetapkan dengan mengingat karya dan tanggung jawab dokter. iii. Besarnya imbalan jasa dokter dikomunikasikan dengan kelas kepada pasien. Khususnya untuk tindakan yang diduga memerlukan biaya banyak, besarnya imbalan jasa dapat dikemukakan kepada pasien sebelum tindakan dilakukan, dengan memepritmbangkan keadaan pasien. iv. Imbalan jasa dokter sifatnya tidak mutlak dan pada dasarnya dapat diseragamkan. Imbalan dapat dibebaskan atau diperingan. v. Agi pasien yang mengalami musibah akibat kecelakaan pertolongan pertama lebih diutamakan dari pada imbalan jasa. vi. Seorang pasien dapat mengajukan permohonan untuk: 1. Keringanan imbalan jasa dokter langsung pada dokter yang merawat 2. Jika perlu dapat melalui IDI setempat. vii. Dalam hal ada ketidak serasian menganai imbalan jasa dokter yang diajukan kepada IDI, IDI akan mendengarkan kedua belah pihak sebelum menetapkan keputusannya. viii. Imbalan dokter yang lebih besar bukan saja didasarkan atas kelebihan pengetahuan dan keterampilan spesialis, melainkan juga atas keajiban/keharusan spesialis menyediakan alat kedokteran khusus utnuk menjalankan tugas spesialisnya. ix. Imbalan jasa dapat ditambah dengan biaya perjalanan jika dipanggil ke rumah pasien. x. Selanjutanya, jasa yang diberikan pada malam hari atau waktu llibur dinilai lebih tinggi dari biaya konsultasi biasa. xi. Tidak dibenarkan memberikan sebagian dari imbalan jasa kepada teman sejawatny ayang mengirimkan pasien untuk konsultasi (dichotom) atau komisi utnuk orang yang langsung ataupun tidak langsung enjadi perantara dalam hubungan dengan pasien. xii. Imbalan jasa dokter yang bertugas emmelihara kesehatan para karyawan atau pekerja suatu perusahaan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu banyaknya
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

18

karyawan dan keuarganya, frekuansi kunjungan kepada perusahaan tersebut dan sebagainya. xiii. Imbalan jasa pertolongan darurat dan pertolongan sederhana tidak diminta dari: a. Korban kecelakaan b. Teman sejawat termasuk dokter gigi dan apoteker serta keluarga yang menjadi tanggung jawabnya c. Mahasiswa kodokteran, bidan dan perawat d. Dan siapapun yang dikehendakinya xiv. Ancer-ancer imbalan jasa dokter ditentukan bersama oleh Kepala kantor Wilayah Departemen Kesehatan/Dinas Kesehatan dan IDI setempat Sumpah Hipocrates Saya bersumpah bahwa : y Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan. y Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya. y Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran. y Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter. y Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan. y Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya berikhtiar dengan sungguhsungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial. y Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya. y Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung. y Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. y Sekalipun diancam saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan. y Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

19

BAB VII PELANGGARAN ETIK DAN DISIPLIN PROFESI DOKTER

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan aspek hokum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme,dll. Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana di ujung lainnya. Disiplin profesi terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung.. Bahkkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik profesi seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku disiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik profesi, disiplin profesi dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Etik Profesi Kedokteran Etika profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakkannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsipprinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bbidang medis.
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

20

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki system pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi). Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga kebentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran. KETENTUAN PIDANA y Pasal 75 (1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). y Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). y Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dala Pasal 73 m ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

21

Pasal 78 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah -olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang : a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 80 (1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

22

BAB VIII DAMPAK HUKUM

UU TENTANG PRAKTEK KEDOKTERAN NO.29 TAHUN 2004 y Pasal 45 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. ASPEK HUKUM PERBUATAN KOLUSI Walau kolusi dokter - perusahaan farmasi sulit dibuktikan, pada tahun 2002 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengantisipasinya melalui perangkat Surat Keputusan (SK) Kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706 tentang Promosi Obat. Pasal 9 SK ini memuat sejumlah larangan bagi Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi. Mereka dilarang: (a) melakukan kerja sama dengan apotik dan penulis resep; (b) kerja sama dalam pengresepan obat dengan apotik dan/atau penulis resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu; (c) memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, tiket) dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang didistribusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi independen. Mereka yang melanggar larangan tadi bisa dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin edar obat bersangkutan. Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM tadi, pasal 62 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan : Pelaku usaha
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

23

yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 Ayat (2), pasal 15, pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lima tahun atau pidana denda maksimal dua miliar. Tanggal 11 Juni 2007 memfasilitasi kesepakatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi membentuk Etika Promosi Obat'. Padahal izin usaha perusahaan farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perusahaan Besar Farmasi. Demikian juga izin praktek dokter dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pasal 37 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Seharusnya Depkes proaktif menghentikan kolusi dokter - perusahaan farmasi sekaligus melindungi rakyat dari kesulitan membeli obat. Caranya, antara lain menerapkan perangkat hukum dengan sanksi yang tegas dan pasti. Bukan sebaliknya menerbitkan etika/kode etik yang justru cukup dan terbatas hanya di lingkungan organisasi masingmasing, seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) untuk kalangan dokter. Ada beberapa poin Etika Promosi Obat' yang patut dikemukakan di sini.  Pertama, seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.  Kedua, dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh didikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk.  Ketiga, perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.  Keempat, perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator.  Kelima, dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat perusahaan tertentu.  Keenam, pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual.  Ketujuh, Ikatan Dokter Indonesia harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan perusahaan farmasi untuk tindak lanjutnya. Sebelum adanya Etika Promosi Obat, sejak tahun 1983 telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 3 KODEKI menetapkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

24

KESIMPULAN DAN SARAN Pada kasus ini dokter belum bertindak atau pun mengambil sebuah keputusan. Akan tetapi pemikirannya yang ingin mulai menghitung keuntungan adalah pemikiran yang salah. Karena dalam KODEKI dan undang-undang diatur tentnag keprofesian seorang dokter dalammenjalankan praktek mereka. Tidak ada larangan untuk menjadi kaya atau pun mempunyai barang-barang mewah. Tapi bagaimana cara mendapatkan nya itu yang dipermasalahkan. Pada kasus ini terkesan dokter ingin mengambil keuntungan di mana dia ingin menerima tawaran kerja sama dengan apotek dan laboratorium. Pada hal ini dokter akan membuat etika dokter hilang terutama pada 4 kaidah dasar moral tersebut. Begitu juga hak pasien. Pada peraturan dan undang-undang praktek juga diatur bahwa sebagai dokter kita tidak boleh mempromosikan diri kita. Maka dari itu, dokter haruslah memberikan kebebasan serta penjelasan kepada pasien untuk setiap tindakan yang akan dilakukan.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

PROBLEM BASED LEARNING

25

DAFTAR PUSTAKA 1. Gani, M.Husni, dr. DSF. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, Indonesia 2002. 2. Apuranto, H dan Hoediyanto. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Surabaya: Bag. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran UNAIR. 3. Chadha, P. Vijay.2005. Catatan kuliah ilmu forensik & toksikologi (Hand book of forensic medicine & toxicology Medical jurisprudence). Jakarta : Widya Medika. 4. Arif Mansjoer dkk. (ed.). Ilmu Kedokteran Forensik dalam Kapita Selekta Kedokteran Ed. III Jl. II. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000. 5. Abdul Munim Idries.Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997. 6. Standar Kompetensi Dokter. Diunduh dari http://inamc.or.id/?open=pedoman, 2010. 7. Kode etik kedokteran Indonesia dan pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran Indonesia / Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK), Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta : IDI, [2002] ix 69 p : 21 cm.

WILY KURNIADY (10-2006-130)

You might also like