You are on page 1of 33

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang sangat tua, bahkan lebih tua daripada sejarah manusia. Dunia medis baru mengenal sosok kuman TB setelah Robert Koch berhasil mengidentifikasinya pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai hari TB sedunia. Hingga saat ini TB masih tetap merupakan masalah kesehatan dan justru semakin berbahaya , sehingga disebut sebagai the re-emerging disease. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, 95% kasus terjadi di Negara berkembang. Di Indonesia, TB juga masih merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara

negara yang sedang berkembang. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).

Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis) Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. Dampak pandemi HIV. Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang

tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Tuberculosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan,

pencegahan, serta TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pada anak, sulit untuk mendapatkan specimen diagnostik yang representative dan berkualitas baik. Seringkali, sekalipun specimen dapat diperoleh M. tuberculosis jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun kultur. Oleh karena itu, uji tuberculin memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada anak. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti dengan overtreatment, di lain pihak, terjadi juga underdiagnosis dan undertreatment. Untuk menanggulangi hal tersebut, dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, diperlukan kajian menyeluruh terhadap semua data klinis dan penunjang yang mendukung, tidak hanya berdasarkan satu data saja, misalnya hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Sumber penularan TB umumnya adalah orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) sputum positif. Oleh karena itu, dalam program TB nasional selama ini, penanggulangan TB lebih ditekankan pada pasien TB dewasa. Akibatnya, penanganan TB anak belum mendapatkan perhatian yang memadai. Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi dan sakit TB menyebabakan tingginya biaya pengobatan yang diperlukan, sehingga pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai factor risiko infeksi TB. Peningkatan insidensi HIV dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) di berbagai Negara turut menambah permasalahan TB anak. Peningkatan insidens HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan koinfeksi dan reaktivasi TB, serta peningkatan kejadian multidrug resistance (MDR). Masalah tersebut harus diatasi, untuk itu diperlukan usaha penyegaran kembali mengenai TB anak. Bagi para dokter anak maupun dokter umum sering menangani kasus TB anak, pemahaman yang benar mengenai TB anak harus dikuasai. Pemahaman terhadap TB anak harus didasari dengan pengertian mengenai pathogenesis infeksi TB primer.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah tinjauan pustaka ini adalah Apa itu TB paru? 1.3 Tujuan Tujuan Umum

Untuk memenuhi tugas pembuatan tinjauan pustaka Untuk mengetahui penatalaksanaan TB Paru

Tujuan Khusus

Mengetahui definisi dari TB Paru Mengetahui penyebab dari TB Paru Mengetahui jenis tonsillitis serta tanda dan gejalanya

Manfaat

Bagi Rumah Sakit/Puskesmas

Sebagai bahan masukan dan pembelajaran bagi petugas medis mengenai penyakit TB Paru

Bagi Institusi Sebagai bahan referensi serta menambah koleksi bacaan yang ada pada intitusi tersebut. Bagi Pasien Pasien mengetahui tanda-tanda atau gejala penyakit yang telah mereka alami sehingga pasien dapat melakukan tindakan lebih lanjut, misalnya memeriksakan keadaan pasien rutin ke Rumah Sakit/Puskesmas. Bagi Penulis

Penulis mengetahui tanda-tanda atau gejala serta bagaimana cara penanganan dan pengobatan pada pasien TB Paru.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis adalah suatu penyakit akibat infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.

2.2 Epidemiologi Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas.

Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu: Diagnosis tidak tepat Pengobatan tidak adekuat Program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, Infeksi endemic HIV Migrasi penduduk Mengobati sendiri (self treatment) Meningkatnya kemiskinan, dan Pelayanan kesehatan yang kurang memadai

2.3 Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat

menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 2.4 Etiologi Bakteri Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Mikrobakteri termasuk genus (Mycobacterium) keluarga Mycobacteriaceae dalam ordo Actinomycetales. Semua mikobakteri memiliki sifat tahan asam, resisten terhadap pewarnaan dengan pelarut organic yang diasamkan. Kuman tuberculosis pada manusia adalah M. tuberculosis dan M. bovis. Basil tuberkel adalah batang bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 m dan lebarnya 0.2-0.5 m. kuman ini merupakan aerob obligat dan dapat tumbuh pada media buatan sederhana dengan gliserol atau senyawa lain sebagai sumber karbon serta garam ammonium sebagai sumber nitrogen. Pertumbuhan basil tuberkel khas lambat dengan waktu generasi 1214 jam. Oleh karena itu, kuning telur merupakan bahan utama untuk media yang diperkaya karena nutrisi pilihan mikobakteri adalah lipid. Organisme ini tumbuh paling baik antara suhu 37-410C; bakteri ini memiliki bentuk koloni yang khas, tidak berpigmen, dan bereaksi dengan merah netral. Strain yang virulen tumbuh pada permukaan media cairan atau padat sebagai tali serpentin yang berpilin, serta memiliki aktivitas katalase dan peroksidase. Komponen utama basil tuberkel adalah polisakarida, yang berada dalam bentuk gabungan kimia dengan lipid di dalam dinding sel. Gambaran komposisi yang paling menonjol adalah kandungan lipid yang sangat tinggi, sejumlah 20-40% dari berat keringnya. Dinding sel yang kaya lipid berperan untuk sifat hidrofobi, tahan asam, impermeabilitas relative, dan resistensi terhadap kerja bakterisid antibody dan komplemen. Contoh lipid dan asam lemak yang unik pada dinding sel mikrobakteri adalah lilin murni, glikolipid, dan asam

mikolat. Lilin D dan tuberkuloprotein diduga berperan pada hipersensitivitas tuberculin dan reaktivitas tes kulit. 2.5 Patogenesis Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam percik renik ( droplet nuclei) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon.1 Dari foKus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang kan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Pada sebagian besar individu

dengan system imun yang berfungsi baik, pada saat system imun selular berkembang, proliferasi kuman terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI). Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijauan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahu-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limfa, dan kelenjar limfe superficial. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetap tidak aktif (tenang/dorman), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan focus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB

masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut dengan TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bln setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya oada anak di bawah 5 tahun (balita) terutama di bawah 2 tahun. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologik anatomic, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijauan di dinding vascular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran penyakit tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. TB paru kronik adalah TB pascaprimer (postprimary TB) sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam focus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Perjalanan Alamiah Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,sehingga timbul dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ.

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberculin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kontak TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.

2.6 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis a) Klasifikasi TB Ranke membagi TB dalam 3 stadium, yaitu:

Stadium pertama : kompleks primer dengan penyebaran limfogen Stadium kedua Stadium ketiga : pada waktu terjadi penyebaran hematogen : TB paru menahun (chronic pulmonart tuberculosis)

Klasifikasi lain dari TB ialah: Tuberculosis primer

Merupakan infeksi pertama dari tuberkulosis Tuberculosis subprimer

Merupakan komplikasi tuberculosis primer Tuberculosis pascaprimer Merupakan reinfeksi yang dapat terjadi endogen dan eksogen stelah infeksi primer sembuh. Sekarang dipakai klasifikasi yang membagi TB menjadi dua stadium, yaitu: TB primer yang merupakan kompleks primer serta komplikasinya

TB pascaprimer

b) Manifestasi klinis Patogenesis TB sangat kompleks sehingga manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah Faktor kuman TB yang bergantung pada jumlah dan virulensi kuman Faktor pejamu bergantung pada usia dan kompetensi imun kerentaranan pejamu pada awal terjadinya infeksi Serta interaksi antar keduanya Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, atau biopsy jaringan. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan

dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

2.7 Pemeriksaan Penunjang 1. Uji Tuberculin Tuberculin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenic yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB

(telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Ini terjadi karena vasodilatasi local, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberculin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit. Uji tuberculin merupakan alat diagnostic yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifitas >90%. Tuberculin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum Institute Denmark dan PPD (purified protein derivative) dari Biofarma. Uji tuberculin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0.1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan berdasarkan indurasi yang timbul, bukan hipermi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam millimeter (mm). Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. Apabila diameter indurasi 10-15mm uji tuberculin positif kuat Apabila diameter indurasi 5-9 mm uji tuberculin positif meragukan Apabila diameter indurasi 0-4mm uji tuberculin negative Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut : 1. Infeksi TB alamiah Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten) Infeksi TB dan sakit TB TB yang telah sembuh

2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan) 3. Infeksi mikobakterium atipik Uji tuberculin negative dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut : 1. Tidak ada infeksi TB 2. Dalam masa inkubasi infeksi TB 3. Anergi

2. Uji Interferon Telah dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular yang lebih praktis yaitu dengan memeriksa specimen darah, dan diharapkan dapat membedakan infeksi TB dan sakit TB. Pemeriksaan yang dimaksud adalah uji interferon (interferon gamma realease assay, IGRA). Terdapat dua jenis IGRA, pertama adalah inkubasi darah dengan early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10) dengan nama dagang QFT/QFT-G (Quantiferon TB dan Quantiferon TB Gold). Kedua adalah pemeriksaan enzyme linked immune spot dengan nama dagang T-spot TB. Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumnya limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB (pasien telah mengalami infeksi TB), maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma, yang kemudian dikalkulasi. Dari hasil kalkulasi tadi diharapkan dapat dilakukan penentuan cut-off point yang membedakan infeksi dengan sakit TB. Antigen spesifik yang digunakan untuk uji ini adalah (ESAT-6) dan (CFP-10). Akan tetapi, uji klinis menunjukkan bahwa QFT TB memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tidak terlalu baik, terlebih untuk pasien anak. Kemudian dikembangkanlah uji QFT-G hanya saja jumlah penelitian yang menyatakan efektifitas pemeriksaan ini

pada anak usia <17 tahun masih terbatas. Sejauh ini hasilnya juga belum menggembirakan, sehingga harapan untuk dapat membedakan infeksi TB dengan sakit TB belum dapat dicapai. Selain itu untuk pemeriksaan imunitas selular lain dengan specimen darah, yaitu enzyme linked immunospot interferon gamma untuk TB (ELISpoT TB). Cara kerja adalah dengan kalkulasi interferon gamma yang dihasilkan oleh sel T CD4 dan CD8 yang tersensitisasi oleh M. tuberculosis. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara hasil positif yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis, oleh BCG, dan oleh infeksi oleh M. atipik. Akan tetapi pemeriksaan tersebut hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.

3. Radiologi Pada anak dengan uji tuberculin positif akan dilakukan pemeriksaan radiologis. Secara rutin dilakukan foto Rontgen paru atas indikasi juga dibuat foto Rontgen alat tubuh lain, misalnya foto tulang punggung pada spondilitis. Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberculosis paru ialah: Kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran Pembesaran kelenjar paratrakeal, kelenjar hilus Penyebaran milier Penyebaran bronkogen Atelektasis Kavitas Kalsifikasi dengan infiltrate

Pleuritis dengan efusi Tuberkuloma

Pemeriksaan radiologis paru toraks saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis tuberculosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti CT-scan toraks. 4. Serologi Beberapa pemeriksaan serologis yang ada diantaranya adalah PAP TB, Mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satu pun pemeriksaan serulogis yang dapat memenuhi harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis praktis. 5. Bakteriologis Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberculin, dan gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis. Penemuan basil tuberculosis memastikan diagnosis tuberculosis, tetapi tidak ditemukannya basil tuberculosis bukan berarti tidak menderita tuberculosis. Bahan-bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis ialah:

Bilasan lambung Sekret bronkus Sputum pada anak besar Cairan pleura Likuor serebrospinalis

Cairan asites Bahan-bahan lainnya

6. Patologi Anatomi (PA) Pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan secara rutin. Biasanya diperiksa kelenjar getah bening, hepar, pleura, peritoneum, kulit dan lain-lain. Pada pemeriksaan biasanya ditemukan tuberkel dan basil tahan asam. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijauan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijauan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia langhans. Kadang-kadang dapat ditemukannya juga BTA. 2.8 Penegakkan Diagnosis Diagnosis kerja TB dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, ui tuberculin, dan gambaran sugestif pada foto toraks. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemriksaan apusan langsung (direct smear), dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standart), atau gambaran PA TB. Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (pausibacillary), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobilogiknya positif/ditemukannya kuman TB. Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada menyebabkan banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan system scoring dan alur diagnostic, misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO, Stegen dan Jones, dan UKK Respiratologi PP IDAI. 2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan

TB

bertujuan

untuk

menyembuhkan

pasien,

mencegah

kematian,mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Jenis, sifat dan dosis OAT

Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Kategori Anak: 2HRZ/4HR Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan inidikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan

untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

efektifitas obat dan mengurangi efek samping.


2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya

resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien Paduan OAT dan peruntukannya. a) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru

b) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c) OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah dari pada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua. Evaluasi Hasil Pengobatan Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan. Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto torak perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto torak dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatannya nilainya tinggi. Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi

penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan menelan obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks utang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin. Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, d-aan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB paru tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6. bulan.

Pengobatan TB pada keadaan khusus


a)

Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan

TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. b) Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c) Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). d) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIVsebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV). e) Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan. f) Pasien TB dengan kelainan hati kronik

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. g) Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. h) Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. i) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: Meningitis TB TB milier dengan atau tanpa meningitis TB dengan Pleuritis eksudativa TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

j)

Indikasi operasi

Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir Efek Samping Obat dan Penatalaksanaannya Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

2.10

Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.

Komplikasi terbagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus, Poncets arthropathy.

Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas -> SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat -> SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindroma gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tuberkulosis adalah suatu penyakit akibat infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Prinsip Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup

dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT

= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori Anak: 2HRZ/4HR

B. Saran 1. Bagi pasien diharapkan tetap menjaga kesehatanya dan segera berobat ke puskesmas/RS terdekat bila sudah terdapat gejala tonsilitis agar segera mendapatkan pengobatan.
2. Bagi institusi diharapkan dapat menambah koleksi buku-buku yang membahas secara

lebih mendalam mengenai penyakit TB Paru 3. Bagi petugas medis agar dapat terus meningkatkan pengetahuan serta keterampilannya dalam hal penanganan pasien dengan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Rahajoe, Nastiti N, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak 2007 Edisi ke-2. Jakarta : PP ikatan Dokter Anak Indonesia 2007. 2005. Halaman ; 1-66.

2.

Pusponegoro, hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I 2004. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005. Halaman ; 359-366.

3.

Rudolph, M Abraham, dkk. Buku Ajar Pediatric Rudolph Volume 1 Edisi 20. Jakarta : EGC. 2006. Halaman ; 688-697.

4.

Sudoyo, Aru w, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta. PP Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006. Halaman ;998-1009.

5.

DepKes. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. 2007.

You might also like