You are on page 1of 53

1. PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tema lama yang nampaknya selalu menemukan aktualisasi dan relevansinya. Dikatakan tema lama karena pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 sendiri telah memberikan landasan yang jelas tentang eksistensi daerah. Seiring dengan ditetapkannya Undang Undang Dasar itu, sejak itupula pengaturan tentang otonomi daerah dalam perundang undangan mulai diperdebatkan. Pertama kali dengan Undang Undang Nomor I Tahun 1945, kemudian Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan seterusnya sampai terakhir Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang akan memberikan landasan yuridis kepada otonomi daerah secara proporsional (Ryaas Rasyid, 1999). Pembangunan jangka panjang Negara Indonesia telah mengalami beberapa kali pergeseran. Pergeseran pergeseran ini antara lain terlihat pada adanya pergeseran wacana dari proses perencanaan top down menuju proses perencanaan bottom up (perencanaan yang interaktif), dari pembangunan untuk rakyat menjadi pembangunan bersama rakyat, dan dari pendekatan politik yang terbatas menuju pendekatan politik yang lebih terbuka.

Sejalan dengan pergeseran tersebut, dalam bidang Pemerintah Daerah, pemerintah telah menyusun sebuah gagasan tentang Rencana Strategis Pengembangan Pemerintah Daerah (Restra Pemda). Dalam rencana pengembangan Pemerintah Daerah tersebut terdapat enam bidang yang akan dirancang perencanaannya; yaitu penataan wilayah, distribusi urusan pemerintahan, kelembagaan dan personalia, system keuangan daerah, pemerintahan perkotaan dan lembaga ekonomi daerah. Bidang bidang yang direncanakan dalam rencana strategis tersebut memang menyangkut salah satu isu yang paling strategis dalam pendekatan pembangunan yang terdesentralisasi, yaitu tentang perlunya penataan kembali otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas luasnya, dalam arti daerah diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu

sama dengan daerah lainnya, adapun yyang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: 167). Untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang nyata dan bertangguangjawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam system pemerintah daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 169) Penerapan otonomi daerah yang luas saat ini bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi ekonomi yang ada sehingga dapat memacu peningkatan aktivitas perekonomian di daerah yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian nasional. Penerapan otonomi daerah yang telah digariskan dalam UU No. 33/2004, mensyaratkan adanya suatu perimbangan keuangan antarapemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu system pembiayaan pemerintah dalam rangka Negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah, serta pemerataan antar daerah secara proporsional, adil, demokratis dan transparan. Desentralisasi fiscal tidak akan berguna jika tidak diikuti dengan kemampuan financial yang cukup memadai oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu melalui UU No. 33/2004, diharapkan nantinya akan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Sumber penerimaan daerah yang digunakan untuk pendanaan daerah menurut UU No. 33/2004 dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Danna Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), pinjaman daerah dan lain lain penerimaan yang sah. Dalam UU No. 33/2004 memberikan kewenangan bagi daerah untuk meningkatkan kemampuan pendapatannya, yaitu dengan meluaskan jangkauan dari bagian pajak dan bagi hasil sumber daya alam dengan pemerintah pusat. Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan, pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan keputusan yang penting, dan adanya campur tangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap pemerintah daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungann fiscal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan terlihat dari

dominan transfer dari pusat dan relative rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan sangat ironis jika pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Mudrajad, 2004:18). Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan pemerintah pusat dan daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhannya masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer pemerintah pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi pembiiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Rokhedi P. Santoso, 2003:148) Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk memperkuat kondisi fiscal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA diserahkan pada kebijakan masing masing daerah. Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Pemerintah daerah harus dapat meningkatkan penerimaannya untuk membiayai kegiatan pembangunan namun di era desentralisasi fiscal, harapan itu belum optimal yang tercermin dalam pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan PDRB menunjukkan pertumbuhan ekonomi di daerah Tangerang Selatan setelah pelaksanaan desentralisasi fiscal. Hakikat otonomi adalah adanya kewenangan daerah bukan pendelegasian (Adi, 2005:1). Daerah tidak lagi sekadar menjalankan instruksi pemerintah pusat, tetapi benar benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan potensi yang selama era sentralisasi bisa dikatakan terpasung (Adi, 2002:1). Sebagian kalangan bahkan menyatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi sebagai pendekatan Big Bang karena jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk ukuran Negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan ( Adi, 2005:2). Terlebih di tengah tengah upaya bangsa melepaskan diri dari krisis ekonomi moneter yang berkepanjangan dari pertengahan 1997. Akibatnya kebijakan ini memunculkan kesiapan (fiskal) daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kebijakan ini justru dilakukan pada saat terjadi disparitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sebagai solusi, pemerintah menetapkan alokasi transfer dana (DAU) yang berbeda. Daerah yang mempunyai kapasitas fiscal tinggi akan mendapat dana yang lebih kecil daripada daerah yang kapasitas fiskalnya rendah. Pemberian transfer ini bertujuan untuk

menjamin tercapainya standar pelayanan public dan mengurangi kesenjangan antar daerah dan kesenjangan antara pusat daerah (Adi, 2005:2). Dalam penelitian ini, daerah yang diteliti adalah kota Tangerang Selatan. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Di mana terdiri dari 7 kecamatan, Pertama, kecamatan Serpong. Kedua, kecamatan Serpong Utara. Ketiga, kecamatan Setu. Keempat, kecamatan Pamulang, Kelima, kecamatan Ciputat. Keenam, kecamatan Ciputat Timur. Ketujuh, kecamatan Pondik Aren. Pertumbuhan ekonomi adalah sebagian dari perkembangan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan besarnya pertumbuhan produk domestic regional bruto per kapita (PDRB per kapita) (Zaris, 1987:82). Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan tingginya nilai PDRB menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami kemajuan dalam perekonomian. Salah satu indicator keberhasilan

pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolak ukur secara makro adalah pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, meskipun demikian telah digunakan sebagai indicator pembangunan, pertumbuhan ekonomi masih bersifat umum dan belum mencerminkan kemampuan masyarakat secara individual. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dicerminkan dari PDRB. Pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan selama kurun waktu beberapa tahun terakhir ini selalu mengalami kenaikan, walaupun kenaikan itu tidak signifikan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari tabel 1.1

Tabel 1.1 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto A.D.H Konstan 2000 Menurut Kecamatan Tahun 2004 - 2007 (Juta Rupiah)

Sumber: Pemerintah Kota Tangerang Selatan, diolah

Tabel 1.2 Perkembangan nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2004 2007

Tabel 1.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Selatan Tahun 2004 2007 (Juta Rupiah)
Kecamatan Kota Serpong Serpong Tahun Utara Setu Pamulang Ciputat Timur Aren Selatan 2004 179.550,09 303.232,52 22.559,15 189.287,91 22 2005 443.493,77 326.763,73 25.220,12 199.994,19 4 2006 541.774,23 330.612,91 35.702,43 301.838,10 2 2007 578.021,98 267.623,91 34.858,68 333.208,65 9 1.730.191,80 84 (%) Ciputat Pondok Tangerang Pertumbuhan Laju

216.106, 542.445,07

277.010,

234.788,8 514.289,40

283.591,9 2.028.142,01 6 14,7

277.804,2 739.030,08

372.839,4 2.599.601,43 6 28,17

290.068,1 890.351,92

374.653,8 2.768.787,17 4 6,51

Sumber: PemKot Tang-Sel, diolah

Tabel 1.4 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Selatan Menurut Kecamatan Tahun 2004 - 2007 (Juta Rupiah)
2004/ Tahun Kecamatan 2004 2005 2006 2007 2005 % 2006 % 2007 % 2005/ 2006/

Serpong Serpong

179.550,09

443.493,77

541.774,23

578.021,98

147

22,16

6,69

303.232,52 Utara Setu Pamulang Ciputat Ciputat 542.445,07 Timur 22.559,15 189.287,91 216.106,22

326.763,73

330.612,91

267.623,91

7,76

1,18

-0,19

25.220,12 199.994,19 234.788,84

35.702,43 301.838,10 277.804,22

34.858,68 333.208,65 290.068,19

11,79 5,65 8,64

41,56 50,92 18,32

-2,3 10,39 4,41

514.289,40

739.030,08

890.351,92

-5,19

43,7

20,48

Pondok Aren

277.010,84

283.591,96

372.839,46

374.653,84

2,38

31,47

0,48

Kota Tangerang Selatan


1.730.191,80

2.028.142,01

2.599.601,43

2.768.787,17

14,7

28,17

6,51

Sumber: PemKot Tang-Sel, diolah

10

Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa kenaikan PDRB atas dasar harga konstan dari tahun ke tahun setiap kecamatan relative mengalami kenaikan. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan selalu mengalami kenaikan. Pada tabel 1.2 terlihat grafik perkembangan PDRB ADH konstan kota Tangerang Selatan mmengalami peningkatan. Dari tabel 1.3 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 14,7%, pada tahun 2006 terjadi kenaikan sebesar 28,17%, pada tahun 2007 terjadi kenaikan sebesar 6,51%. Dengan latar belakang di atas dan mengingat betapa pentingnya hubungan antara otonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam hal ini, peneliti mencoba mengetahui variabel apa saja yang mempengaruhi konsep otonomi daerah dan konsep pertumbuhan ekonomi daerah. Maka peneliti memilih judul Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional. 1.2 Perumusan Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi regional dapat terjadi karena beberapa sebab yang berakar dari bagaimana pemerintah melakukan perbandingan pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan yang tersentralisasi dengan pemerintahan terdesentralisasi. Oleh sebab

itu akan dikumpulkan alternative alternative sebab terjadinya masalah yang pada gilirannya nanti akan diteliti sesuai dengan batasan kemampuan peneliti.

11

Masalah yang dapat diidentifikasi oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Seberapa besar pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan; 2. Apakah Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan; 3. Apakah Dana Alokasi Khusus mempunyai pengaruh signifikan terhadap perumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan; 4. Bagaimana gambaran PDRB kota Tangerang Selatan; 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Mengetahui seberapa besar pengaruh antara Pendapatan Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di kota Tangerang Selatan. 2. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara DAU terhadap Pertumbuhan Ekonomi di kota Tangerang Selatan 3. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara DAK terhadap Pertumbuhan Ekonomi di kota Tangerang Selatan 4. Mengetahui gambaran PDRB kota Tangerang Selatan

12

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pandangan Filosofis dan Pemikiran Dasar Dibentuknya UU No. 22 Tahun 1999 Terjadinya krisis yang berkepanjangan telah membawa dampak hampir ke seluruh aspek dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Walaupun terasa pahit karena menimbulkan keterpurukan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, namun hikmah positif yang merupakan blessing is disguised adalah timbulnya ide dan pemikiran dasar yang menumbuhakn Reformasi Total di dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Fokus utama reformasi total ini adalah mewujudkan masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai nilai Good Governance yang memunculkan nilai demokrasi dan sikap keterbukaan, kejujuran, keadilan dan berorientasi kepada kepentingan rakyat serta bertanggungjawab kepada rakyat. Dampak reformasi total ini, dilihat dari segi ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dari pemerintahan yang sentralistik ke arah pemerintahan desentralistik. Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri, atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya.

13

Otonomi

Daerah

sebagai

wujud

pelaksanaan

asas

desentralisasi

dalam

penyelenggraan pemerintahan pada hakikatnya merupakan penerapan konsep areal division of power yang membagi kekuasaan Negara secara vertical. Dalam sistem ini, kekuasaan Negara akan terbagi antara Pusat di satu pihak dan Daerah di lain pihak. Sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara Negara yang satu dengan Negara yang lain, tidak sama, termasuk Indonesia yang secara legal konstitusional menganut bentuk Negara Kesatuan (Laode Ida, 2000:37). Seberapa besar kewenangan otonomi daerah yang menuju kemandirian daerah di dalam Negara kesatuan, tergnatung pada system dan kehendak politik pemerintah dalam memberikan keleluasaan tersebut. Namun betapapun keleluasaan itu diberikan tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh secara absolut dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut kehendak tanpa mempertimbangkan kepentingan daerah lain dan kepentingan nasional secara keseluruhan dalam ikatan Negara kesatuan. Perbedaan kepentingan antara kebebasan berotonomi dan memelihara terjaganya eksistensi Negara serta persatuan dan keasatuan bangsa, biasanya cenderung timbul kekhawatiran Pemerintah Pusat akan terjadinya upaya memisahkan diri (separatism) dari daerah apabila daerah diberi keleluasaan terlalu jauh. Kecendrungan kekhawatiran ini sering tumbuh menjadi ajang konflik kepentingan antara pusat dan daerah yang sering berlarut larut, karena masing masing meninjaunya dari perspektif yang berbeda.

14

Masalah otonomi daerah yang bertumpu kepada tinjauan perspektif yang berbeda ini menjadi dilemma berkepanjangan yang mendikotomikan antara pusat dan daerah dan mendikotomikan antara sentralisasi dan desentralisasi (Soenyono, 2001:106). Tinjauan perspektif yang berbeda antara kepentingan pusat dan daerah ini kadang kadang sulit untuk dihindarkan, karena dominasi pemerintah pusat terlalu kuat sehingga menekan dan mematikan inisiatif dan prakarsa daerah. Yang pada gilirannya akan memunculkan pola intervensi dan instruksi, serta control pusat yang ketat. Sebaliknya, pandangan daerah yang ekstrem hanya melihat semata mata kepentingan daerahnya tanpa memperhatikan daerah lain dan kepentingan nasional secara keseluruhan, juga dapat mengakibatkan konflik kepentingan. Dengan demikian, kedua pandangan yang berbeda antara pusat dan daerah sering lebih didominasi oleh pikiran yang subyektif dan emosional daripada pemikiran yang obyektif dan rasional. 1 Hampir dapat dipastikan bahwa setiap Negara dalam mencari titik keseimbangan tersebut selalu memperhitungkan pertimbangan pertimbangan ekonomi, politik, social kesejahteraan dan keamanan. Namun betapapun sulitnya menetapkan formula, kita harus terus berupaya mencari formula yang tepat, obyektif dan rasional. Bahkan hal itu perlu

Misalnya, pemerataan pembangunan ekonomi ditinjau dari perspektif nasional sudah dipandang cukup merata tetapi perspektif daerah melihatnya berbeda. Perspektif daerah sering menganggap bahwa hasil dari sumber kekayaan daerah yang ditarik ke pusat jauh tidak seimbang.

15

disertai dengan penuh kearifan, dengan memandang bahwa persoalan ini adalah untuk kepentingan bangsa bukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu. Penekanan yang lebih mempertimbangkan criteria kepentingan local akan melahirkan pemerintahan yang bercorak desentralistik yang akan diimbangi dengan criteria kepentingan nasional yang tetap akan menjamin identitas dan keutuhan bangsa, serta kepentingan nasional secara keseluruhan yang akan melahirkan center power yang terbatas. Dengan demikian, pemerintahan yang bercorak sentralistik dapat dibatasi tanpa mengabaikan criteria atau standardisasi, baik secara nasional maupun internasional. Dari pandangan ini timbullah pemikiran tentang perlunya memberikan kewenangan otonomi kepada daerah seluas mungkin dan meletakkan focus otonomi daerah pada tingkat daerah yang paling dekat dengan rakyat. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya tersimpul makna pendewasaan politik rakyat daerah, di mana terwujud peran serta dan pemberdayaan masyarakat, melainkan juga sekaligus bermakna menyejahterkan rakyat. Pemberian keleluasaan otonomi pada daerah bukan semata mata untuk menggemukkan pemerintah daerah. Hal ini bukan pula untuk menjadikan birokrasi pemerintah daerah sebagai centered power yang tadinya sentralisasi kekuasaan terjadi di pemerintah pusat, sekarang dipindahkan menjadi sentralisasi pada pemerintah daerah, melainkan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi peran serta, prakarsa, aspirasi, dan

16

pemberdayaan masyarakat. Sebab bagaimanapun juga , tuntutan pemerataan baik menyangkut bidang ekonomi rakyat maupun politik pada akhirnya akan menjadi focus utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

2.2 Otonomi Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pada hakikatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan Negara secara vertical (Koswara, 2000:37). Dalam system ini, kekuasaan Negara akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak. 2.3 Titik Berat Otonomi Pada Kabupaten/Kota Titik berat otonomi berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 diberikan kepada daerah Kabupaten/Kota, sedangkan daerah Provinsi berfungsi ganda, yaitu sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom. Dengan kata lain, dalam rangka desentralisasi titik berat pelaksanaan otonomi berada di daerah kabupaten/kota sedangkan untuk daerah provinsi yang berlaku adalah otonomi terbatas dalam konteks dekonsentrasi (Bhenyamin Hoessein, 200:13). Dengan titik berat otonomi di daerah Kabupaten/Kota diharapkan pelayanan dan perlindungan yang diberikan kepada rakyat dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Tentu saja hal ini harus dicermati dengan seksama, karena pada kenyataanya tidak semua

17

daerah Kabupaten dan Kota memiliki potensi ekonomi dan social yang sama dan memiliki basis social ekonomi yang kuat. Ada daerah yang memiliki sumber daya keuangan yang besar, sebaliknya adapula daerah Kabupaten dan Kota yang basis social ekonomi yang dimilikinya sangat terbatas. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kinerja dari masing masing daerah otonom di dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat di lingkungannya (Affan Gaffar, 2000:33) 2.4 Otonomi Daerah Pelaksanaan otonom daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan amanat pasal 18 Undang Undang Dasar 1945. Dengan demikian, landasan pemberian otonomi kepada daerah dan pembentukan Daerah Otonom adalah Udang Undang Dasar 1945, khususnya pasal 18 yang berbunyi Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara dan hak hak asal usul dalam daerah daerah yang bersifat istimewa. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 18, ditetapkan antara lain ( Ariyanti, 2002:20): 1. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. 2. Di daerah daerah yang bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka semua menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang undang.

18

3. Di daerah daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena itu di daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa UUD 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Mengingat bahwa sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan hal yang berarti. Padahal beberapa undang undang tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan dan berlaku silih berganti akan tetapi pelaksanaan otonomi daerah belum efektif. Oleh sebab itu, pada era reformasi dibuat undang undang baru mengenai, yaitu Undang Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Pada tahun 2004 UU No. 22 Th. 1999 disempurnakan oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 dan UU No. 25 TH. 1999 disempurnakan oleh Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004. 2.4.1 Pengertian Otonomi Daerah Menurut ketentuan umum UU No. 32 TH. 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

19

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. 2.4.2 Prinsip Otonomi Daerah Menurut Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah pusat di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelyanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang nyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah:168).

20

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah satu dengan daerah yang lainnya, yang berarti bahwa mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tak kalah penitngnya adalah otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara daerah dengan pemerintah pusat, harus mampu memelihara dan menjjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Ngera kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan Negara (Penjelasan UU No. 32 Th. 20004 tentang Pemerintah Daerah: 168). Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah pusat wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu, diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 169).

21

2.5 Desentralisasi 2.5.1 Pengertian Desentralisasi Desentralisasi adalah suatu system dalam pemerintahan yang merupakan kebalikan dari system sentralisasi. Dalam system sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah dipusatkan dalam tangan pemerintah pusat. Pejabat pejabat di daerah hanya melaksanakan kehendak Pemerintah Pusat. Dalam system desentralisasi, sebagian kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah untuk

dilaksanakan. Pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan disebut desentralisasi (Soejito, 1984). Sementara itu, Koswara (1996) mengemukakan desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggungjawab Pemerintah Pusat diserahkan sebagian kepada badan/lembaga Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Prakarsa untuk menetukan prioritas, memilih alternative dan mengambil keputusan yang menyangkut kepetingan daerahnya, baik dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Demikian pula hak yang menyangkut pembiayaan dan perangkat pelaksanaan, baik personil maupun alat perlengkapan sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab

22

daerah yang bersangkutan. Proses desentralisasi ini juga berlaku bagi Pemerintah Daerah Provinsi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Berbagai argument yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout dan Cates sebagaimana dikutip oleh (Sidik, 2002: 45) yang menyatakan bahwa pelayanan public yang paling efisien seharusnya dilaksanakan oleh wilayah yang memiliki control geografis paling minimum, karena: a. Pemerintah local relative lebih menghayati kebutuhan masyarakat b. Keputusan pemerintah local sangat responsive terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah local untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat. c. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah local untuk mmeningkatkan inovasinya. Nilai nilai desentralisasi dapat dibedakan berdasarkan sudut pandang kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari sudut pandang kepentingan pemerintah pusat sedikitnya ada tiga nilai desentralisasi, yaitu pertama untuk pendidikan politik, kedua untuk latihan kepemimpinan dan ketiga untuk mencciptakan stabilitas politik. Sementara itu dari sisi kepentingan pemerinah daerah, nilai desentralisasi adalah untuk mewujudkan keadilan politik, akuntabilitas daerah dan tanggung jawab daerah, Smith sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayat (2000).

23

Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis pada tingkat pengambilan keputusan di masing masing tingkat pemerintahan dan masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan system nilai dan prilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sector public. Mendefinisikan desentralisasi secara utuh memang tidaklah mudah, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek politik, perubahan administrasi dan system pemerintahan, system fiscal dan pembangunan social ekonomi. Secara umum konsep desentralisasi terdiri dari desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, desentralisasi fiscal dan desentralisasi ekonomi. Desentralisasi politik bertujuan meningkatkan keikutsertaan atau partisipasi aktif masyarakat, khususnya masyarakat local dalam proses pengambilan keputusan secara demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas local yang dipilih harus lebih bertanggungjawab kepada masyarakat local yang telah memilihnya dan berusaha lebih baik dalam memperjuangkan kepentingan local dalam pengambilan keputusan politik. Desentralisasi administrasi yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber sumber keuangan untuk

24

menyediakan pelayanan public. Pelimpahan tanggung jawab tersebut meliputi perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi-fungsi pemerintah dari pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, otoritas tertentu atau perusahaan tertentu. Desentralisasi administrasi pada dasarnya dikelompokkan dalam 3 bentuk, yaitu: a. Dekonsentrasi (Deconcetration) yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada pada garis hierarki dengan pemerintah pusat di daerah. b. Devolusi yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, di mana seluruh tanggung jawab untuk kegiatan tertentu diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah selaku penerima wewenang. c. Delegasi mencakup penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada di tangan pusat. Desentralisasi fiscal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan, penyediaan pelayanan sector public, maka mereka harus didukung dengan sumber-sumber keuangan yang memadai; baik yang berasal dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun

25

subsidi/bantuan pemerintah pusat. Dalam melaksanakan desentralisasi fiscal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Secara umum desentralisasi diartikan sebagai suatu penyerahan pendelegasian kekuasaan dan wewenang, dan pendelegasian tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membuat keputusan. Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi public dari pemerintah pusat ke pemerintah bawahan. Setiap tipe desentralisasi politik, desentralisasi administrative, desentralisasi fiscal, dan pasar memiliki perbedaan karakteristik, implikasi kebijakan dan syarat-syarat kesuksesannya. 2.5.2 Pengertian Desentralisasi Fiskal Menurut Pujiati (2006: 1), Desentralisasi fiscal adalah pendelegasian tanggung jawab serta pembagian kekuasaan maupun kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiscal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure ). Desentralisasi fiscal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa public (public goods/public service).

26

Desentralisasi fiscal merupakan inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa diikuti dengan desentralisasi fiscal merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk dapat melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan public tanpa diberi wewenang di dalam penerimaan atau pengeluaran maka desentralisasi fiscal tidak akan efektif. Dengan demikian, desentralisasi fiscal akan memberi keleuasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiscal. 2.6 Pertumbuhan Ekonomi 2.6.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Profesor Simon Kuznets, salah satu ekonom besar yang pernah memenangkan Hadiah Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1971, telah memberikan suatu definisi yang cukup rinci mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth) suatu Negara. Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari Negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan

27

ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. 2 Masing-masing dari ketiga komponen pokok dari definisi itu sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu. Berikut ringkasannya: a. Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau perwujudan dari apa yang disebut sebagai pertumbuhann ekonomi, sedangkan menyediakan berbagai jenis barang merupakan tanda kematangan ekonomi (economic maturity) dari suatu Negara. b. Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi bagi berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan; ini adalah suatu kondisi yang sangat diperlukan tetapi tidak cukup itu saja. (jadi di samping perkembangan atau kemajuan teknologi, masih dibutuhkan factor-faktor lain). c. Guna mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung di dalam teknologi baru, maka perlu diadakan serangkaian penyesuaian kelembagaan, sikap, dan ideology. Inovasi di bidang teknologi tanpa diimbangi dengan inovasi social sama halnya dengan lampu pijar tanpa listrik (punya potensi akan tetapi tanpa input komplementernya maka hal itu tidak bisa membuahkan hasil apapun).

Simon Kuznets, Modern economic growth:Findings and Reflections, pidato sambutan Profesor Kuznetstatkala menerima Hadiah Nobel dalam bidang ekonomi di Stockholm, Swedia, pada bulan Desember 1971. Naskah pidato tersebut telah diterbitkan pada jurnal terkemuka American Economic Review 63 (September 1973): hal. 247-258. Sebagian besar uraian pada bagian ini didasarkan pada karya Kuznets tersebut.

28

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang (Boediono, 1999: 1). Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Di sini ada dua sisi penting yaitu output total dan jmulah penduduk. Output per kapita adalah output total dibagi jumlah penduduk. Aspek ketiga dari definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian dikatakan tumbuh apabila dalam jangka waktu lima tahun mengalami kenaikan output per kapita. Menurut Sadono pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun sehingga untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan pendapatan nasional dari berbagai tahun yang dihitung berdasarkan harga konstan dan harga berlaku. Perubahan dalam nilai pendapatan nasional hanya disebabkan oleh suatu perubahan dalam suatu tingkat kegiatan ekonomi. Dari berbagai definisi yang sudah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu proses perekonomian dikatakan mengalami suatu perubahan atau pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi adalah lebih tinggi daripada yang dicapai pada waktu sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangan baru tercipta apabila jumlah fisik barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan bertambah jumlahnya pada tahun berikutnya. Sedangkan, untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami

29

pertumbuhan perlu ditentukan perubahan yang kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun. 2.6.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

sebenarnya terjadi dalam kegiatan-

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bidang pendidikan yang sudah lama dibahas oleh ahli-ahli ekonomi. Pada masa ahli ekonomi klasik banyak pendapat yang telah dikemukakan. Buku Adam Smith yang terkenal, The Wealth of Nations, pada hakikatnya adalah suatu analisis mengenai sebab-sebab dari berlakunya pertumbuhan ekonomi dan factor-faktor yang menentukan pertumbuhan itu. Sesudah masa Adam Smith, beberapa beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, dan Stuart Mill juga menumpahkan perhatian yang besar terhadap masalah perkembangan ekonomi. Pada permulaan abad ini Schumpeter menjadi sangat terkenal karena bukunya mengenai pembangunan ekonomi yaitu The Teory of Economic Development dan mengenai siklus kegiatan usaha atau konjungtur. Setelah itu Harrold Domar dan teori Neo-Klasik lebih memperkaya lagi analisis mengenai pertumbuhan ekonomi. a. Teori Pendapatan Asli Daerah(PAD) Menurut teori Keynesian yang dipelopori oleh John Maynerd Keyness menyatakan bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu PAD. Walaupun menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada banyak factor, ahli-ahli ekonomi Keynesian terutama

30

menitikberatkan perhatiannya kepada pengaruh PAD kepada pertummbuhan ekonomi. Menurut Keyness (Murni, 2006: 193) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah saru penentu terciptanya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok yang merupakan tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Kebijakan pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan, belanja dan pembiayaan bagi tercapainya sasaran atas agenda-agenda pembangunan tahunan. Di bidang pengelolaan pendapatan daerah akan terus diarahkan pada peningkatan PAD. Untuk mewujudkan peningkatan pendapatan daerah ada beberapa yang harus dilakukan atara lain: memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan dan perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak dan mencari sumbersumber pendapatan lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan pembiayaan akan terus diupayakan peningkatan penyertaan

31

modal pada beberapa badan usaha milik daerah agar dapat menghasilkan peningkatan PAD. b. Teori Dana Perimbangan Menurut Todaro (2000: 5) terdapat tiga factor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, ketiganya adalah Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal atau sumber daya manusia, Pertumbuhan penduduk beberapa tahun selanjutnya yang akan memperbanyak jumlah akumulasi capital, Kemajuan teknologi. 2.7 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal Secara tidak langsung desentralisasi memiliki hubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya indicator peningkatan efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Pemerintah daerah memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan pemerintah pusat dalam memberikan pelayanan dan penyediaan barangbarang public yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri dan lebih dari itu desentralisasi dapat mendorong pemerintah daerah untuk lebih kreatif, inovatif, dan akuntabilitas dalam upaya merespon kebutuhan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah dengan optimalisasi sumber daya yang ada secara tepat dan efisien. Sehingga secara tidak langsung berdampak pada peningkatan pertumbuhan

32

ekonomi. Lebih lanjut lagi alasan mengapa desentralisasi berperan dalam pertumbuhan ekonomi adalah penyediaan infrastruktur di daerah sebagai akibat tuntutan adanya desentralisasi secara tidak langsung berpengaruh sensitive terhadap kondisi daerah

karena pembangunan infrastruktur disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dan kondisi wilayah (Rohim, 2007: 45). Poin utama mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiscal setidaknya dapat dilihat dari tiga pertumbuhan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai suatu yang obyektif dari desentralisasi fiscal dan efisiensi, alokasi sumber daya sector public. Kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan-kebijakan untuk mendorong kea rah peningkatan dalam pendapatan per kapita. Ketiga, pertumbuhan per kapita lebih mudah untuk diukur dan diinterpretasikkan dibanding indicator-indikator ekonomi lainnya. Dalam model Barro diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah, memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Hal ini dapat dilihat dari fungsi produksi. Cobb Douglas sebagai berikut: Y= (k,g) = Ak 1-aga Di mana g adalah kuantitas barang dan jasa per kapita yang dibeli oleh pemerintah, dengan asusmsi tidak adanyapungutan biaya apapun. Y adalah adanya output per kapita, dan k adalah stock modal per kapita serta diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant return to scale). Jika diasumsikan total

33

pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak t, maka dapat dituliskan sebagai berikut: g=T=y=Ak1-aga Apabila persamaan fungsi diubah menjadi produktivitas marginal modal maka: k=A(1-) (g/k) Jika total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat t disubstitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut: y=kA1/1- /(1-) Di mana bahwa rasio input q dan k adalah sebagai berikut: g/k=(g/y)(y/k)=(y/k)=(A)1/1- Nilai untuk produktivitas mmarjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai berikut: k=(1-)A1/1-/1- Oleh karena itu solusi untuk tingkat pertumbuhan output perkapita dapat ditentukan sebagai berikut: y=c/c=(1-)[(1-)A1/1-(1-)/1--] Pada persamaan di atas, pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh alokasi pembelanjaan public dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu memaksimalkan pertumbuhan konsumsi yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dari output dan modal.

34

2.8 Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Di dalam menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang ditimbulkan dari suatu region, ada tiga pendekatan yang digunakan (BPS, 2003: 2), yaitu: 1. PDRB Menurut Pendekatan Produksi PDRB menurut pendekatan produksi merupakan jumlah nilai produksi neto barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu region selama jangka waktu tertentu yaitu setahun. Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi beberapa lapangan usaha, seperti: Pertanian Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik Gas dan Air Bersih, Konstruksi, Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi, Angkutan Pergudangan dan Komunikasi, Lembaga Keuangan dan Jasa Perusahaan, dan Jasa-jasa (Pemerintahan, Sosial, kemasyarakatan, Hiburan, dan Perorangan). 2. PDRB Menurut Pendekatan Pendapatan PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan jumlah balas jjasa yang diterima oleh factor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu region dalam jangka waktu tertentu yaitu satu tahun. Balas jasa factor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tak

35

langsung neto sedangkan jumlah semua komponen pendapatan ini per sector disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu, PDRB merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sector (lapangan usaha). 3. PDRB Menurut Pendekatan Pengeluaran PDRB menurut pendekatan pengeluaran adalah semua permintaan akhir seperti pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestic bruto, perubahan stok dan ekspor neto dalam jangka waktu tertentu (biasanya setahun) sedangkan ekspor neto merupakan ekspor dikurangi dengan impor. Untuk memudahkan pemakai data, maka hasil perhitungan PDRB disajikan menurut sector ekonomi/lapangan usaha yang dibedakan menjadi 2 macam, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas harga berlaku merupakan semua angka mengenai PDRB dinilai atas dasar harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan, baik dalam menilai produksi, biaya antara maupun dalam menilai komponen nilai tambah dan komponen pengeluaran PDRB sedangkan PDRB atas dasar harga konstan merupakan semua angka mengenai PDRB dinilai atas dasar harga tetap, yaitu harga pada tahun dasar. Karena memakai harga tetap atau konstan maka perkembangan angka pendapatan regional dari tahun ke tahun semata-mata

36

karena perkembangan riil atau nyata dan bukan dipengaruhi oleh perubahan harga baik harga naik maupun harga turun (BPS, 2003: 7). 2.9 Keuangan Daerah Pembangunan Daerah sebagai bagian integral dari pembanngunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub-sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 168). 2.9.1 Penerimaan Daerah Sumber-sumber penerimaan daerah dapat dibedakan atas penerimaan dari daerah meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, dan dari sumbangan dan bantuan. (Suparmoko, 2002: 29) a. Pendapatan Asli Daerah Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi, peningkatan pendapatan asli daerah selalu diupayakan karena merupakan penerimaan dari usaha untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah adalah

37

penerimaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian keuntungan perusahaan daerah, penerimaan lain-lain yang sah (suparmoko, 2002:29). Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada pemerintah daerah tanpa balas jasa langsung yang ditunjuk, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak daerah bagian pendapatan asli daerah yang terbesar di antaranya meliputi pajak kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan I, dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air perumkaan (Suparmoko, 2002: 61). Retribusi daerah adalah pungutan-pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan (Suparmoko, 2002: 61). Jenis retribusi dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sesuai dengann obyeknnya. Obyek retribusi adalah berbagai jenis pelayanan atau jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Jasa-jasa pelayanan tersebut di antaranya dapat dikelompokkan menjadi retribusi yang dienakan pada jasa umum, retribusi

38

yang dikenakan pada jasa usaha, dan retribusi yang dikenakan pada perijinan tertentu (Suparmoko, 2002: 87). Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk dikembangkan serta penerimaan lain-lain yang sah seperti biaya perijinan, hasil dari kekayaan daerah dan sebagainya (Bachrul Elmi, 2002: 51). b. Dana Perimbangan Dana perimbanngan dalam UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 33/2004 meliputi dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 174). c. Pinjaman Daerah Undang-undang nomor 33 tahun 2004 pasal 5 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa pinjaman daerah adalah salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, yang dicatat dan dikelola dalam APBD. d. Jenis Penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan

39

Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 173). e. Lain-lain penerimaan yang sah Lain-lain penerimaan yang sah antara lain hibah, dana darurat dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Bratakusumah dan Solihin, 2001: 173). 2.9.2 Pengeluaran Daerah Pengeluaran daerah meliputi pengeluaran rutin terutama untuk gaji pegawai dan belanja barang dan di samping pengeluaran rutin terdapat pengeluaran pembangunan untuk sector-sektor pos pengeluaran pembangunan sektoral yang menonjol adalah untuk sector transportasi, lingkungan hidup dan pendidikan (Suparmoko, 2002: 30). 2.9.3 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan Umum UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu system pembagian keuangan yang adil, proporsional demokratis, transparan, dan bertanggungjawab dalam rangka pendanaan

penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.

40

Dana perimbangan ini terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN (UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 10 tentang Dana Perimbangan: 273). a. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu. Dana bagi hasil bersumber dar pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil dari pajak meliputi pajak bumi dan bangunan, penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pajak penghasilan. Dan dana bagi hasil dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan panas bumi (UU No.33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 11 tentang Dana Bagi Hasil :273). Perbedaan antara UU No. 25/1999 dan UU No. 33/2004 mengenai komponen dana perimbangan bahwa UU No. 33/2004 merinci lebih detail komponenkomponen dana perimbangan yang bersumber dari dana bagi hasil, seperti pajak penghasilan perorangan (PPh), iuran hak pengusaha hutan(IHPH) dan propinsi sumber daya hutan(PSDH), dana reboisasi dan panas bumi.

41

Perimbangan keuangan berdasarkan asas desentralisasi ditentukan berdasarkan proporsi pendelegasian kewenangan yang besar pada pemerintahan daerah sehingga memiliki tanggung jawab yang besar pula. Sejalan dengan hal tersebut, maka sebagai konsekuensi logis, proporsi perimbangan keuangan lebih besar diterima oleh daerah daripada pusat. b. Dana Alokasi Umum(DAU) DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas dasar besar-kecilnya celah fiscal suatu daerah, yang merupakan selisih dari kebutuhan daerah dan potensi daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan

memperoleh alokasi DAU relative kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relative lebih besar. Secara implicit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai factor pemerataan kapasitas fiscal (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbagan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah:324).

42

c. Dana Alokasi Khusus(DAK) DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbanngan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah: 324). DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membiayai kegiatan yang merupakan urusan daerah, di mana kegiatan khusus tersebut telah disesuaikan dengan fungsi yang telah ditetapkan oleh APBN. Perhitungan DAK dilakukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan beberapa criteria, yaitu umum, khusus, dan teknis. Ketiga criteria tersebut menjadi tolak ukur pemerintahan dalam memformulasikan DAK yang akan diberikan kepada daerah. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Sedangkan criteria teknis ditetapkan oleh kementrian Negara/departemen teknis. Tidak semua pembiayaan kegiatan khusus dialokasikan dari DAK, namun daerah yang bersangkutan wajib menyediakan dana sekurang-kurangnya 10% dari DAK yang dialokasikan dari

43

APBD, dana tersebut diistilahkan sebagai dana pendampingan. Kecuali bagi daerah yang memiliki kemampuan fiscal yang tidak memadai, maka tidak memiliki kewajiban untuk menyediakan dana pendamping. Selain untuk kepentingan reboisasi, penggunaan DAK juga diatur untuk kegiatan. Pertama, pembiayaan investasi pengadaan dan peningkatan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan perhitungan untuk kepentingan ekonomis jangka panjang. Kedua, bantuan pembiayaan pengoperasian, pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas(tidak lebih dari 3 tahun). Sektor atau kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK adalah dana administrasi, biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan pegawai daerah dan lain-lain biaya umum sejenis (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 188).

2.10

Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai bahan referensi adalah:

1. Richard M. Bird, Robert D. Ebel, dan Cristine I. Wallich telah melakukan penelitian tentang hubungan antara fiscal pemerintah dan keuangan daerah. Menyatakan bahwa kebijakan fiscal yang diterapkan oleh pemerintah pusat akan berdampak pada kegiatan ekonomi di daerah

44

2. Associate Professor Ph.D Irina-Maria Dragan (Akademi Studi Ekonomi, Bucharest, Rumania). Dalam penelitiannya mengenai Pengalaman Eropa tentang Daerah Desentralisasi. Menyatakan bahwa penguatan atau peningkatan pada keuangan otonomi di daerah diimbangi dengan peningkatan pada seluruh aspek yang mendukung dalam Otonomi Daerah tersebut, seperti dijelaskan bahwa adanya pendapatan sendiri dari masyarakat local tersebut, penanaman investasi yang baik, pengelolaan sumber daya yang daerah miliki. 3. Sumarsono, Hadi & Utomo, Sugeng Hadi(2009) telah melakukan penelitian tentang Deliberate Inflation pada Kebijkan Desentralisasi Fiskal Jawa Timur dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Daerah. Hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif siginifikan antara variabel instabilitas makroekonomi dan pertumbuhan daerah Provinsi Jawa Timur. 4. Hehui Jin Departemen Ekonomi Stanford University, Yingyi Qian Departemen Ekonomi University of Maryland dan Barry R. Weingast Lembaga Hoover dan Departemen Ilmu Politik Stanford University, dalam penelitiannya mengenai Daerah Desentralisasi dan Insentif Fiskal. Hasil penelitian mendapatkan bahwa desentralisasi dan insentif fiscal umumnya kondusif bagi pengembangan ekonomi local.

45

5. Waluyo, Joko (2007) telah melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia.

2.11

Kerangka Berfikir Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang

berlangsung dari tahun ke tahun (Sadono, 1985:19) dan pertumbuhan ekonomi adalah sebagian dari perkembangan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan besarnya pertumbuhan domestic regional bruto per kapita(PDRB per kapita)(Zaris, 1987: 82). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus terhadap pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan. Dan dilihat juga nilai koefisien determinasinya guna mengetahui seberapa besar kemampuan variabel independen dalam menerangkan variabel dependen. Berdasarkan kerangka teori yang telah menjelaskan bahwa pengaruh desentralisasi fiscal memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di kota Tangerang Selatan.

46

Maka dapat dibuat kerangka berfikir atau konsep dasar dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: Gambar 2.11 Bagan Kerangka Pemikiran
Pendapatan Asli Daerah X1 Dana Alokasi Umum X2 Dana Alokasi Khusus X3 PDRB Y

Dari bagan tersebut dapat dibuat sebuah model, yaitu sebagai berikut: PDRB=(PAD, DAU,DAK) PDRBi=0+1.PADi+2.DAUi+3.DAKi+ =0+1.x1+2.x1+3.x3+ ket. =PDRB 0=consumption autonomus 1=koefisien PAD 2=koefisien DAU 3=koefisien DAK =variabel lain yang tidak disertakan

47

2.12

Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara yang hendak diuji kebenarannya dengan

melihat hasil analisis sebuah penelitian. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha PDRB Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara PAD, DAU dan DAK : Terdapat pengaruh yang signifikan antara PAD, DAU dan DAK terhadap

terhadap PDRB

48

Ucapan Terima Kasih Pertama-tama penulis ingin mengucapkan rasa syukur kepada ALLAH swt atas nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya. Tak lupa ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada keluarga, terutama orang tua yang sudah memberikan dukungan baik moril maupun materiil selama penyusunan tugas ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Tony S. Chendrawan, ST., SE., M.Si atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. Maaf apabila selama di kelas penulis pernah membuat bapak marah atau ada kata-kata yang kurang berkenan dengan Bapak. PemKot Tangerang Selatan atas kesediaannya untuk memberikan dan membagi informasi mengenai data-data yang dibutuhkan selama penyusunan tugas ini Nona NY, si anak kedokteran yang selalu menjadi motivasi dalam hidup penulis selama ini. Kak Dwi S, alumnus IESP angkatan 2006 yang sudah memberi ijin atas penelitian yang telah dilakukan olehnya sehingga dapat menjadi sumber referensi utama penulis. Kawan-kawan di IESP B angkatan 2009 yang sudah banyak memberikan kontribusinya dan sering direpotkan penulis.

49

Dan pihak-pihak lain yang sudah memberikan kontribusinya kepada penulis tanpa dapat disebutkan satu persatu. Akhirnya penulis hanya dapat berdoa kepada ALLAH swt semoga bantuan dan partisipasi dari semua pihak tersebut dibalas oleh-Nya pahala yang berlipatganda. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk penulis khususnya dan bagi masyarakat Tangerang Selatan pada umumnya.

50

Daftar Pustaka Adi, Priyo Hadi. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Universitas Kristen Satya Wacana Anam, Syamsul. 2008. Desentralisasi Fiskal dan Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Di Indonesia. Fakultas Ekonomi Unhalu Bahar, Ujang. 2009. Otonomi Daerah Terhadap Pinjaman Luar Negeri: Antara Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks Bird, Richard M. 2000a. Intergovernmental Relations: Universal Principles, Local Applications. International Studies Program Working Paper. Bird, Richard M. 2000b. Subnational Revenues: realities and prospect. Paper yang disampaikan pada Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management yang diselenggarakan oleh The World Bank Institute. Boediono.1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE Universitas Gajah Mada Bratakusumah dan Solihin (2002), Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Chalid, Pheni. 2005. Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi: Tantangan dan Hambatan. Kemitraan, Jakarta Elmi, Bachrul (2002). Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia, UI-Pres, Yogyakarta

51

Hirawan, Susiyati B. Evaluasi Lima Tahun Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Vol VI, No. 02. Januari, 2006 Murni, Asfia. 2006. Ekonomika Makro. Bandung: PT Rafika Aditama Rohim. 2007. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten atau Kota di Provinsi Banten. Universitas Indonesia Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga Lutfi, Achmad. 2001. Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No. 34 Th. 2000 Oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Studi di Kota Bogor. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia Todaro, Michael. Economic Development, Jakarta: Erlangga.

Undang-Undang dan Peraturan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah

52

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 33 tahun 2004 pasal 5 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Internet _____, Situs resmi Pemerintah Kota Tangerang Selatan, diakses pada 9 Mei 2011 dari
http://tangerangselatankota.go.id/

_____, Situs resmi Badan Pusat Statistik, diakses pada 10 Mei 2011 dari http://bps.go.id

53

You might also like