You are on page 1of 2

PERSOALAN yang menimpa para pelaut Indonesia dari kapal Sinar Kudus yang dibajak oleh perompak Somalia,

barangkali tidak hanya persoalan lamanya peristiwa ini telah terjadi, akan tetapi kebingungan pemerintah dalam mencari strategi penyelesaian. Pembajak Somalia boleh dikatakan beroperasi bebas di perairan Somalia, bahkan sampai ke Samudra Hindia. Setidaknya dalam berita berita yang beredar di media massa, merajalelanya perompakan itu telah terjadi akibat instabilitas politik di negara itu dan kemiskinan yang melandanya.

Pada pihak lain, ada dua hal yang sangat bertolak belakang sebagai latar peristiwa ini. Pertama adalah pemerintah setempat tidak mempunyai kekuatan untuk menghentikan aktivitas perompakan. Kedua, perompakan sebagai sebuah tindakan kejaha tan, justru telah mendapatkan legitimasi sosial. Kelompok-kelompok masyarakat miskin ini memakai perompakan sebagai jalan pintas yang sangat cepat menuju kekayaan. Konon, apabila berhasil merompak, kelompok pelaku tidak saja mampu meningkatkan kekayaannya, tetapi prestise sosialnya juga. Disebutkan para wanita di negara itu akan mudah didekati laki-laki yang telah mendapat banyak duit karena merompak. Legitimasi sosial demikian, tidak saja membuat perompak sukar diberantas, akan tetapi semakin lama semakin banyak dan amat mungkin digandrungi kaum muda. Yang cukup mencengangkan adalah bahwa lamanya penyanderaan di laut bisa berlangsung berbulan-bulan, antara satu setengah bulan sampai delapan bulan. Kapal Maran Centaurus yang berbendera Arab Saudi dibajak selama 47 hari, sedangkan kapal Masindra dari Malaysia dibajak selama 230 hari. 'Daya tahan' pembajakan dan para pembajak ini harus dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia dalam memikirkan pembebasan dua puluh warga Indonesia yang disandera di kapal Sinar Kudus tersebut.

Sistem sosial dan budaya yang berlaku di Indonesia, lebih banyak menempatkan posisi laki laki sebagai kepala keluarga dan juga menempatkannya sebagai penyokong kehidupan rumah tangga (sumber penghasilan). Jadi, seluruh sandera Indonesia yang ada di kapal Sinar Kudus adalah kepala keluarga, sekaligus juga penopang penghasilan keluarga. Dengan kemampuan perompak yang mampu menyandera awal kapal sampai berbulan-bulan, bisa dibayangkan bagaimana tekanan dialami oleh keluarga di kampung halaman. Secara ekonomis, mereka pasti tidak mendapatkan kepastian dalam hal penghasilan.

Indonesia merupakan negara yang secara jelas mencantumkan perikemanusiaan sebagai salah satu bagian dari dasar penyelenggaraan kenegaraan dan ditegaskan lagi di dalam konsttusi. Membiarkan i tekanan batin berlanjut baik kepada sandera maupun sanak familinya, merupakan tindakan yang membiarkan teraniayanya perikemanusiaan tersebut dan dengan demikian melanggar konstitusi. Karena itu, penyelesaian penyanderaan kapal Sinar Kudus ini harus secepatnya dilakukan Secara ideal, negara tidak boleh kalah melawan penjahat. Perserikatan Bangsa Bangsa dan beberapa ahli juga sependapat dengan pemikiran ini. Akan tetapi, kondisi yang dihadapi oleh para sandera di kapal Sinar Kudus ini sedemikian rupa, dimana penyanderaan akan dimungkinkan berbulan -bulan. Perompakan di wilayah itu, seolah menjadi pekerjaan bagi mereka karena negara tidak mampu

mengatasinya. Dengan demikian, tidak ada salahnya uang tebusan dipakai untuk menyelesaikan persoalan, sebab jiwa tidak ada nilainya di dunia ini. Beberapa negara yang mengalami kasus yang sama, juga telah memberikan tebusan kepada perompak untuk menyelesaikan masalah. Ini situasi keterpaksaaan yang harus dilakukan demi menyelamatkan nyawa manusia (Indones ia). Tindakan ini terpaksa dilakukan sebagai akibat kelalaian kita juga.

You might also like