You are on page 1of 8

PENEMUAN HUKUM DALAM KASUS PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN Oleh Nim Dosen : : : Prof.Dr. Suhaidi,SH.,M.Hum.

I.PENDAHULUAN Latar Belakang Pada tanggal 1 Agustus 2010 yang lalu telah diadakan Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Mayarakat Madani (PPHIMM) yang bertempat di Hotel Red Top Jakarta. Tema yang diangkat dalam seminar sehari ini adalah Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional: Antara Realitas dan Kepastian Hukum.Hasil kajian para pakar dalam seminar ini membuahkan suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan, yakni: 1. Profesor Bagir Manan (mantan Ketua MA) menyimpulkan bahwa,Pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang penting saja untuk dilakukan, oleh karena itu tidak mengurangi keabsahan perkawinanitu sendiri. 2. Profesor Machfud M.D., (Ketua MK) menyatakan, Perkawinan sirri tidak menlanggar konstitusi, karena dijalankan sesuai akidah agama yang dilindungi Undang-undang Dasar 1945. 3. Doktor Harifin A. Tumpa (Ketua MA sekarang) berpandangan,Perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas iktikad baik atau ada faktor darurat, maka hakim harus mempertimbangkan.Selain dari pendapat diatas ada juga sebuah kasus yang menarikyang telah diputuskan pada tingkat banding dan telah menjadi Yurisprudensi tidak tetap Mahkamah Agung Republlik Indonesia.Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1776 K/PDT/2007. Yangmemutuskan Pernikahan Tjia Mie Joeng dengan Lion Tjoeng Tjen yang dilakukan secara adat, dan tidak tercatat pada pencatatan sipil dipandang tetap sah secara hukum. Perkara ini telah diputus padatanggal 28 Juli 2008 oleh Tim Yudisial F yang beranggotakan M. Hatta Ali, Andar Purba, S.H. dan Harifin A. TumpaS.H., M.H. Rumusan Masalah Bagaimanakah Penemuan Hukum yang putusanMahkamah Agung RI Nomor 1776 K/PDT/2007. II. PEMBAHASAN Perkawinan tidak tercatat yang dilakukan oleh Yulianto alias LiongTjoeng Tjen dengan Mimi alias Tjia Mie Joeng. Yulianto dan Mimi telah melangsungkan pernikahan secara adat Cina pada hari Selasa tanggal26 September 1996, yang kemudian dilanjutkan dengan upacaraseremonial di New Hong Kong Restaurant Malang. Setelah melangsungkan prosesi perkawinan secara adat Cina yang kemudian dilanjutkan dengan upacara seremonial resepsi perkawinan,

dilakukan

oleh

Hakim

Agung

pada

pasangan suami istri ini kemudian hidup dan membina R u m a h T a n g g a d i s e b u a h r u m a h d i J l . S u l f a t A g u n g X I I / 1 9 R T / R W 02/21 Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang. Pada awalnya, rumah ini dibeli oleh Yulianto jauh sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Rumah ini dibeli oleh Yulianto inidiperuntukkan sebagai mas kawin kepada istrinya Mimi.Pada hari Jumat tanggal 31 Desember 2004, Yulianto alias LiongTjoeng Tjen meninggal dunia dan meninggalkan Mimi alias Tjia MieJoeng sebagai istri dalam perkawinan secara adat dan agama.Perkawinan ini tidak dikaruniai seorang keturunan pun. MeninggalnyaYulianto secara langsung membuat Mimi berstatus janda dengan konsekuensi pembagian persatuan harta bergerak ataupun benda tidak b e r g e r a k y a n g a d a . P a s c a m e n i n g g a l n y a Y u l i a n t o , t e r n y a t a t i m b u l masalah pembagian harta peninggalan antara Mimi selaku janda dari Yulianto dengan pihak keluarga Yulianto sendiri. Hal ini terjadi mengingat banyaknya harta yang ditinggalkan Yulianto. Guna mempertahankan haknya, Mimi alias Tjia Mie Joeng membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Malang. Mimi alias Tjia MieJ o e n g m e l a l u i K u a s a H u k u m y a n g b e r n a m a H e r r y W i d j i a n t o , S . H . , berdasarkan Surat Kuasa Khusus mengajukan gugatannya terhadap pihak keluarga Yulianto yang dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukum y a n g b e r n a m a M u s o l i , S . H . , p a d a t a n g g a l 2 7 J a n u a r i 2 0 0 6 y a n g didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang pada tanggal 27F e b r u a r i 2006 di bawah Register Perkara Nomor : 24/Pdt.G/2006/PN.Mlg. Selama menjalani prosesi persidangan, baik pihak Mimi alias TjiaMie Joeng melalui Kuasa Hukumnya selaku Penggugat dengan pihak keluarga Yulianto alias Liong Tjoeng Tjen yang juga melalui Kuasa Hukumnya, telah mengajukan berbagai alat bukti guna menguatkan dalil masing-masing. Setelah Majelis Hakim melakukan rapat musyawarah majelis hakim pada tanggal 1 Agustus 2006, kemudian Putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 8Agustus 2006, dengan amar putusan yang menyatakan bahwa Penggugat (Mimi alias Tjia Mie Joeng) adalah janda dari Yulianto aliasL i o n g T j o e n g T j e n d a n b e r h a k a t a s h a r t a y a n g d i t i n g g a l k a n o l e h Yulianto alias Liong Tjoeng Tjen dan pihak keluarga Yulianto sendiri. Hal ini terjadimengingat banyaknya harta yang ditinggalkan Yulianto. Guna mempertahankan haknya, Mimi alias Tjia Mie Joengmembawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Malang. Mimi alias Tjia MieJ o e n g m e l a l u i K u a s a H u k u m y a n g b e r n a m a H e r r y W i d j i a n t o , S . H . , berdasarkan Surat Kuasa Khusus mengajukan gugatannya terhadappihak keluarga Yulianto yang dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumy a n g bernama Musoli, S.H., pada tanggal 27 Januari 2006 y a n g didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang pada tanggal 27F e b r u a r i 2006 di bawah Register Perkara N o m o r : 24/Pdt.G/2006/PN.Mlg. Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Negeri Malang, pihak keluarga Yulianto melalui Kuasa Hukumnya kemudian mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Malang melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Malang pada tanggal 16 Agustus 2006. Permohonan banding ini kemudian diberitahukan kepada Kuasa Hukum Mimi aliasTjia Mie Joeng pada tanggal 6

September 2006. Setelah menerima Memori Banding dan Kontra Memori Bandingdari kedua belah pihak, kemudian Majelis Hakim melakukan RapatMusyawarah Majelis Hakim pada hari Kamis tanggal 15 Maret 2007 dan membacakan putusan tersebut pada sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga. Amar putusan Nomor 546/PDT/2006/PT.SBYmenerangkan bahwa pihak keluarga Yulianto berhak atas harta peninggalan Yulianto. Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, perkawinan yangdilakukan antara Mimi dengan Yulianto dianggap tidak pernah terjadi karena pernikahan mereka tidak tercatat dalam Pencatatan sipil. Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, Mimi alias Tjia Mie Tjoeng mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI. P e r k a r a i n i d i a j u k a n o l e h P e n g a d i l a n N e g e r i M a l a n g d e n g a n S u r a t Pengantar Nomor : W14.U2.1160.DA.01.01.VIII.07 tertanggal 28September 2007. Perkara ini telah diputus pada tanggal 28 Juli 2008. Oleh Tim Yudisial F yang beranggotakan M. Hatta Ali, Andar Purba, S.H.dan Harifin A. TumpaS.H., M.H. Putusan ini kemudian dijadikan sebagai salah satu Yurisprudensi tidak tetap Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1776K/PDT/2007, dalam amarnya dinyatakan bahwa; P e r n i k a h a n T j i a M i e J o e n g d e n g a n L i o n T j o e n g T j e n y a n g dilakukan secara adat, dan tidak tercatat pada pencatatan sipil dipandang tetap sah dan Penggugat harus dinyatakan sebagai jandaLiong Tjoeng Tjen . Analisis Kasus Dari kasus diatas saya akan mencoba mengalisis putusan Mahkamah Agung yang memutuskan sama dengan Pengadilan Negeri Malang. Putusan yang memenangkan Mimi alias Tjia Mie Joeng. Mimidipandang oleh sebagai istri sah dari Yulianto alias Liong TjoengTjen, sekalipun perkawinannya tidak dicatatkan pada kantor catatansipil setempat. Sehingga M i m i a l i a s T j i a M i e J o e n g mendapatkanbagian harta bersama dan bagian harta warisan dari si pewaris. Bila kita membaca Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, pada ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurutperaturan perundang-undangan yang berlaku.D a r i k l a u s u l p a s a l d i a t a s d e n g a n t e g a s d a n j e l a s s a h n y a s u a t u perkawinan ditentukan dengan agama dan kepercayaan masing-m a s i n g . B e r a r t i b i l a s u a t u p e r k a w i n a n t e l a h d i l a k s a n a k a n m e n u r u t agama dan kepercayaan masing-masing, maka perkawinannyadianggap sah oleh hukum positif.Sedangkan Pada Pasal 2 ayat (2) hanya menyebutkan tiap-tiapperkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yangberlaku. Dalam ayat (2) ini tidak ada kata-kata yang menyatakan sahnya suatu perkawinan apabila dicatatkan menurut peraturanperudang-undangan yang berlaku. Pada ayat (2) juga tidak kata-kata yang mewajibkan / menharuskan / memberikan sanksi administratif kepada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Maka dari itu Hakim Agung pada kasus diatas menggunakan interpretasi terhadap teks-teks Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-UndangPerkawinan. Hakim Agung pada kasus diatas memandang pasal 2 ayat(1) merupakan syarat mutlak sahnya suatu perkawinan. Berarti Pasal 2ayat (1) bersifat imperatif,

memaksa setiap orang yang inggin melaksanakan perkawinan mesti dilaksanakan menurut agama dan k e p e r c a y a a n m a s i n g - m a s i n g . S e d a n g k a n P a s a l 2 a y a t ( 2 ) , H a k i m Agung hanya melihat ketentuan itu sebagai aturan yang bersifat fakultatif (tidak memaksa) dan tidak menjadi syarat sah atau tidaknyasuatu perkawinan.Didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dinyatakanb a h w a , P e r k a w i n a n a d a l a h s a h a p a b i l a d i l a k u k a n m e n u r u t h u k u m masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, pada ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.P a d a p a s a l d i a t a s t a k a d a s a t u p u n k l a u s u l y a n g m e n y a t a k a n perkawinan tidak sah bila tidak dicatatkan atau Perkawinan sah apabiladicatatkan. kita tak akan temukan kalimat ini pada pasal diatas.Dengan tegas pada pasal 2 ayat (1) menyatakan sahnya perkawinan itu bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama d a n kepercayaan. J a d i s a h a t a u t i d a k n y a s u a t u p e r k a w i n a n b u k a n ditentukan oleh pencatatan, melainkan disyaratkan dengandilangsungkan secara hukum agama masingmasing.Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Bagir Manan, pencatatan merupakan sesuatu yang penting saja, tidak mengurangi keabsahan perkawinan bila tidak dicatatkan. Dari kata-kata beliau dapat ditarik kesimpulan bahwa, sahnya perkawinan tidak disangkut pautkan dengan pencatatan. Berarti hukum positif Indonesia memandang perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah (legal). Konsekuesi dari perkawinan yang sah ialah memiliki pasangan yang sah, anak-anak yang sah (bila dilahirkan sepanjang perkawinan yang sah), dan mereka bisa saling mewarisi satu sama lain.Namun demi keamanan dan mempermudah pembuktian, alangkah baiknya perkawinan yang dilangsungkan dicatatkan pula pada Kantor U r u s a n A g a m a ( u n t u k M u s l i m ) a t a u D i n a s C a t a t a n S i p i l ( b a g i N o n Muslim). Karena ada sebagian praktisi hukum_seperti hakim dan panitera_berpendapat, sahnya perkawinan juga ditentukan degan dicatatkan atau tidak dicatatkan. Metode Interpretasi Dalam kasus ini Hakim Mahkamah Agung telah melakukan penemuan hukum dengan metode interpretasi terhadap teks Undang-U n d a n g y a n g d i p a n d a n g t i d a k j e l a s . M e t o d e p e n e m u a n h u k u m i t u terbagi atas 3, yakni : 1. Interpretasi : Menafsirkan terks peraturan-perundang-undanganyang ada, namun tidak secara jelas mengatur. 2.Argumentasi : Metode penemuan hukum dengan caramelengkapi aturan yang telah ada namun tidak mengatur secaralengkap. Hanya ada aturan-aturan yang bersifat umum, sehinggaperlu ditemuakan aturan yang bersifat khusus mengatur sebuahperistiwa hukum. 3.Eksposisi : Menemukan hukum yang pada awalnya sama sekali tidak ada diciptakan menjadi ada. Sehingga dibutuhkan kontruksi hukum untuk mengisinya. Sudikno mertokusumo mengemukakan dalam bukunya Penemuan Hukum Sebuah Pengantar: Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturan yang tetatapi tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwannya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa mengadili pekara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disitu hakim menghadapi ketidak lengkapan Undang-Undang yang harus diisi atau dilengkapi,sebab hakim tidak boleh menolak

memeriksa dan mengadili pekara yang tidak ada peraturanya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak lengkapan undang-undang yang harus diisi a t a u d i l e n g k a p i , s e b a b h a k i m t i d a k b o l e h m e n o l a k m e m e r i k s a d a n mengadili pekara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya Dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? Untuk mengisi kekosongan digunakan metode berpikir analogi, metode penyempitan hukum dan a contrario Achmad Ali membedakan metode penemuan hukum menjadi dua,yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi. Pada interpretasi, penafsiran terhadap teks Undang-Undang, masih tetap berpegangterhadap bunyi teks. Sedangkan dalam konstruksi hakim menggunakanp e n a l a r a n l o g i s n y a u n t u k m e n g e m b a n g k a n l e b i h l a n j u t s u a t u t e k s Undang-Undang dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks.S h i d a r t a j u g a m e m b e d a k a n p e n e m u a n h u k u m m e n j a d i d u a , y a k n i Interpretasi dan Konstruksi hukum, dan dalam hal ini argementasidisamakan dengan metode interpretasi. Ada beberapa metode interpretasi yang dijelaskan oleh BamabangSutiyoso, Yaitu: 1. Interpretasi Gramatikal Penafsiran menurut bahasa.2. Interpretasi OtentikPenafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itusendiri yang biasanya diletakan pada bagian penjelasan, rumusan ketentuan umumnya, maupun dalam salah satu rumusan pasal lainya. 3.Interpretasi Teleologis (Sosiologis)Penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan. 4.Interpretasi Sistematis (logis).Penafsiran yang mengaitkan peraturan yang satu dengan peraturanlainnya.5. Interpretasi HistorisPenafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu.6.Interpretasi Komparatif Membandingkan aturan sistem hukum yang satu dengan aturanyang ada pada sistem hukum lainya.7. Interpretasi FuturistisPenafsiran dengan mengacu pada Rancangan PeraturanPerundang-Undangan atau rumusan yang dicita-citakan (iusconstituendum).8. Interpretasi Reskriptif Penafsiran dengan membatasi suatu ketentuan9. Interpretasi Ekstensif Penafsiran dengan memperluas cakupan suatu aturan. 10.Interpretasi Interdisipliner Penafsiran dengan menggunakan dengan berbagai disiplin ilmuhukum.11. Interpretasi Multidisiplener.Penafsiran dengan mempergunakan berbagai ilmu lain di luar ilmu hukum. 12. Interpretasi KontrakPenentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan yangdibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya Analisa saya, Hakim Agung telah menerapkan 2 metode penafsiran dalam menyelesaikan permasalahan status sah atau ridaknya perkawinan yang dilangsungkan oleh Yulianto alias Liong TjoengTjen dengan Mimi alias Tjia Mie Joeng secara adat. 1. Interpretasi Gramatikal Pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan 1974 sangat gamblang dinyatakan bahwa sahnya suatu perkawinan bila dilaksanakan menurut agama dang kepercayaan masing-masing. Dari bunyikalimat pasal diatas jelas lah bahwa kata-kata Perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Maka dari itu bisa ditafsirkan pasal diatas bersifat memaksa kepada tiap-tiap orang yang ingin melaksanakan perkawinannya agar lembaga perkawinan mereka sah secara hukum harus diselenggarakan sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.

Sedangkan Pada ayat (2) nya tidak ada klausul yang bisa diinterpretasikan menjadi ketentuan yang bersifat imperatif (memaksa). Menurut analisa kami Hakim menganggap ketentuantersebut bersifat vakultatif (tidak memaksa). Sehingga perkawinanantara Yulianto alias Liong Tjoeng Tjen dengan Mimi alias Tjia MieJoeng adalah sah sekalipun tidak didaftarkan pada kantor catatansipil setempat.2. Interpretasi Teleologis (Sosiologis)Kami melihat kasus diatas juga diinterpretasikan dengan metodeTeleologis. Karena menurut norma-norma yang ada dimasyarakat,perkawinan itu sudah bisa dikatakan sah sekalipun tidak dicatatkan.Apabila perkawinan tidak sah maka hubungan yang dilakukan oleh sepasang insan tersebut adalah perzinaan, dan akan melahirkan anakharam (zina). Secara sosiologis Pasal 2 ayat (1) sudah sangat sesuai dengan nilai-nilai, kebiasaan dan pemahaman yang ada pada masyarakat. Namun Pasal 2 ayat (2) belum bisa dilaksanakan sepenuhya oleh masyarakat Indonesia.Yulianto dan Mimi telah melangsungkan pernikahan secara adat Cina pada hari Selasa tanggal 26 September 1996, yang kemudian dilanjutkan dengan upacara seremonial di New Hong Kong Restaurant Malang. Setelah melangsungkan prosesi perkawinan secara adat Cinayang kemudian dilanjutkan dengan upacara seremonial resepsi perkawinan, pasangan suami istri ini kemudian hidup dan membina R u m a h T a n g g a d i s e b u a h r u m a h d i J l . S u l f a t A g u n g X I I / 1 9 R T / R W 02/21 Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang. Prosedur Penemuan Hukum 1.Hakim harus menemukan peristiwa kongkrit dari suatu problem. Peristiwa kongkrit dari kasus ini ialah menikahnyaYulianto alias Liong Tjoeng Tjen dengan Mimi alias Tjia MieJoeng telah melangsungkan pernikahan secara adat Cina pada hari Selasa tanggal 26 September 1996, yang kemudian dilanjutkan dengan upacara seremonial di NewHong Kong Restaurant Malang. 2.Peristiwa hukumnya adalah perbuatan hukum perkawinan.Perbuatan hukumnya tidak dicatatkan pada kantor catatansipil.3. Aturan hukumnya, Pasal 2 ayat (1) dan (2) UndangUndangNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.4. Putusannya, perkawinan tetap sah sekalipun tidak dicatatkan pada kantor cacatan sipil. III.PENUTUP Hakim Agung telah melakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode interpretasi. Dari sekian banyak metode interpretasi Hakim Agung menerapkan 2 metode penafsiran dalam menyelesaikan permasalahan status sah atau tidaknya perkawinanyang dilangsungkan oleh Yulianto alias Liong Tjoeng Tjen denganMimi alias Tjia Mie Joeng secara adat. 3. Interpretasi Gramatikal

Pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan 1974 sangat gamblang dinyatakan bahwa sahnya suatu perkawinan bila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari bunyi kalimat pasal diatas jelas lah bahwa kata-kata Perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Maka dari itu bisa ditafsirkan pasal diatas bersifat memaksa kepada tiap-tiap orang yang ingin melaksanakan perkawinannya agar lembaga perkawinan mereka sah secara hukum harus diselenggarakan sesuai agama dan kepercayaanmasing-masing. Sedangkan Pada ayat (2) nya tidak ada klausul yang bisa diinterpretasikan menjadi ketentuan yang bersifat imperatif (memaksa). Menurut analisa saya Hakim menganggap ketentuan tersebut bersifat vakultatif (tidak memaksa). Sehingga perkawinan antara Yulianto alias Liong Tjoeng Tjen dengan Mimi alias Tjia MieJoeng adalah sah sekalipun tidak didaftarkan pada kantor catatan sipil setempat. 4. Interpretasi Teleologis (Sosiologis) Kami melihat kasus diatas juga diinterpretasikan dengan metode Teleologis. Karena menurut norma-norma yang ada dimasyarakat,perkawinan itu sudah bisa dikatakan sah sekalipun tidak dicatatkan.Apabila perkawinan tidak sah maka hubungan yang dilakukan oleh sepasang insan tersebut adalah perzinaan, dan akan melahirkan anak haram (zina). Secara sosiologis Pasal 2 ayat (1) sudah sangat sesuai dengan nilai-nilai, kebiasaan dan pemahaman yang ada pada masyarakat. Namun Pasal 2 ayat (2) belum bisa dilaksanakan sepenuhya oleh masyarakat Indonesia. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan b a h w a , P e r k a w i n a n a d a l a h s a h a p a b i l a d i l a k u k a n m e n u r u t h u k u m masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, pada ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. P a d a p a s a l d i a t a s t a k a d a s a t u p u n k l a u s u l y a n g m e n y a t a k a n perkawinan tidak sah bila tidak dicatatkan atau Perkawinan sah apabila dicatatkan. kita tak akan temukan kalimat ini pada pasal diatas.Dengan tegas pada pasal 2 ayat (1) menyatakan sahnya perkawinan itu bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama d a n kepercayaan. J a d i s a h a t a u t i d a k n y a s u a t u p e r k a w i n a n b u k a n ditentukan oleh pencatatan, melainkan disyaratkan dengandilangsungkan secara hukum agama masing-masing. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Bagir Manan, pencatatanmerupakan sesuatu yang penting saja, tidak mengurangi keabsahanperkawinan bila tidak dicatatkan. Dari kata-kata beliau dapat ditarik kesimpulan bahwa, sahnya perkawinan tidak disangkut pautkan dengan pencatatan. Berarti hukum positif Indonesia memandang perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah (legal). Konsekuesi dari perkawinan yang sah ialah memiliki pasangan yangsah, anak-anak yang sah (bila dilahirkan sepanjang perkawinan yangsah), dan mereka bisa saling mewarisi satu sama lain. Namun demi keamanan dan mempermudah pembuktian, alangkah baiknya perkawinan yang dilangsungkan dicatatkan pula pada Kantor U r u s a n A g a m a ( u n t u k M u s l i m ) a t a u D i n a s C a t a t a n S i p i l ( b a g i N o n Muslim). Karena ada sebagian praktisi hukum_seperti hakim dan panitera_berpendapat, sahnya perkawinan juga ditentukan degan dicatatkan atau tidak dicatatkan.

DAFTAR PUSTAKA Aulia Rahmat, Legisme Vs Rechsvinding di Indonesia,Perkawinan Yang Tidak Tercatat Dalam WajahHukum Indonesia, Catatan Facebook, 2010. Terakhir kalidiakses Pada tanggal 25 Januari 2011 melalui link:http://www.facebook.com/note.php?note_id=404362891869 Bambang Sutiyoso , Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan HukumYang Pasti Dan Berkeadilan , UII Press Yogjakarta, Yogjakarta, 2009.

You might also like