You are on page 1of 16

Foto: Veronica Wijaya, Diella Dachlan Teks & Layout: Diella Dachlan Editor: Candra Samekto

Cerita dari Ciwalengke

Kampung Ciwalengke terletak di tepian jalan utama di Kabupaten Majalaya, Jawa Barat, diapit oleh sederetan pabrik dan hamparan sawah. Kampung itu sendiri terdiri dari rumah-rumah sederhana yang dibangun rapat satu sama lain. Jalan utama dikampung itu sempit, berliku-liku dan becek di-sana-sini. Di beberapa tempat terlihat rumah-rumah petak seluas 2x3 meter persegi yang disewakan seharga Rp 70.000,-/bulan kepada warga pendatang yang sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik atau pedagang keliling. Terlihat banyak pula warga yang saat ini tidak memiliki pekerjaan tetap dan bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

xx

Terdapat kesamaan pada sebagian besar warga kampung Ciwalengke, Majalaya. Hampir seluruh warganya terlihat mengalami gatal-gatal pada kulit. Kalau digaruk jadi makin parah, sering sampai berdarah-darah Kata Pak Jajang (38 tahun), sambil menunjukkan kulitnya yang mengelupas di bagian kakinya. Sementara Ruhayati (17 tahun) berusaha mencegah Kisha, bayinya yang berusia 7 bulan, menggaruk-garuk kepalanya. Kalau bayi lebih susah, karena gak bisa dilarang menggaruk. Jadinya rewel banget diakeluh Ruhayati. .

Salah satu MCK di Ciwalengke.. Air di saluran ini juga menerima buangan limbah dari pabrik. Warga menggunakan air yang sama untuk kebutuhan sehari-hari

xx

Menurut warga yang menempati rumahrumah kontrakan, di dalam rumah tidak terdapat kamar mandi. Untuk sehari-hari kami mandi dan mencuci di kamar mandi umum yang dibangun oleh pemilik kontrakan cerita Ibu Ida (24 tahun). Air yang digunakan di unit-unit kamar mandi warga kontrakan di sini, sumbernya mengambil langsung dari saluran irigasi yang melewati kampung ini. Masalahnya pabrik-pabrik itu buang limbahnya ke sini juga, dan air ini yang kami pakai. Jadi ya gak heran kalau jadinya gatalgatal begini Kata Pak Ali (26 tahun) menduga penyebab gatal yang dialaminya. Melihat kondisi air ini, warga mengaku tidak berani menggunakan air tersebut untuk air minum meski sudah dimasak. Sebagian warga memiliki sumur resapan, meski ternyata air yang masuk ke dalam sumur tersebut berasal dari rembesan air dari saluran yang sama. Hal ini disadari oleh warga.

xx

Beberapa warga mencoba membuat saringan sederhana, tetapi hasilnya tidak banyak membantu. Air tetap keruh dan gatal-gatal masih dialami. Untuk air minum, warga memilih memilih berlangganan air botol isi ulang seharga Rp 3.500,- per galonnya. Namun, beberapa warga mengaku jika sedang tidak memiliki uang, mereka akhirnya menggunakan air sumur yang dimasak untuk minum.

xx

Meskipun demikian, tetap ada juga warga yang memanfaatkan sumber air tersebut untuk sumber penghidupan. Misalnya mencuci plastik bekas yang selanjutnya dijual untuk didaur ulang. Menurut salah satu pengumpul plastik, mencuci plastik bekas di saluran yang berdekatan dengan pabrik tersebut bisa membuat plastik menjadi lebih bersih.

xx

Menurut warga setempat, bukan hanya masalah air, tetapi hampir setiap hari, udara di seputar kampung itu berbau menyengat. Warga menduga hal ini ada kaitannya dengan batubara yang sejak beberapa tahun terakhir digunakan sebagai bahan bakar industri. Menghadapi kondisi seperti ini, hampir seluruh warga yang ditemui mengaku enggan untuk pindah. Ini rumah kami dan sumber penghidupan kami ya disini, mau kemana lagi?. Saya sih kepingin situasinya lebih baik dari sekarang. Minimal gak bau lagi setiap hari dan gak gatal-gatal lagi Kata Ibu Ita (45 tahun) dengan mimik penuh harap.

xx

Cerita Ibu Ita


Ibu Ita (45 tahun) warga Kampung Ciwalengke, mengaku sangat mengkhawatirkan suaminya, Pak Ojan (50 tahun). Pasalnya beberapa tahun terakhir ini kondisi suaminya terus menurun.Dokter bilang, beliau sakit paru-paru, yang sebelah sudah tidak lagi berfungsi dengan baik cerita Ibu Ita, sambil menunjukkan hasil rontgen paru-paru suaminya. Pak Ojan bekerja sebagai tukang batagor keliling untuk menghidupi istri dan ke-empat anaknya. Menurut Ibu Ita, awalnya Pak Ojan sering batuk-batuk dan demam. Tapi demi menghidupi keluarganya, Pak Ojan seringkali tidak memperdulikan kondisi kesehatannya. Hujan angin pun sering diabaikan beliau, pulang ke rumah hingga larut malam. Karena keterbatasan dana, Pak Ojan hanya memeriksakan diri ke puskesmas terdekat. Oleh puskesmas, beliau dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk di-rontgen, dengan keringanan biaya. Namun, meskipun harus beristirahat dan berobat intensif, Pak Ojan memilih untuk tetap bekerja dan berobat jalan di rumah. Menurut Ibu Ita, keluarga mereka ditawari pindah dan tinggal di kampung oleh kerabatnya. Tetapi tawaran ini ditampiknya. Ini rumah kami dari dulu, dan mata pencaharian kami pun disini. Di kampung bingung mau kerja apa. Biarpun kondisi di sini sudah tidak terlalu nyaman dengan udara yang bau dan air yang kurang bagus, tapi kami akan tetap tinggal disini.

xx

Seputar Gatal
Di kampung Ciwalengke, ketika ditanya, berapa banyak warga yang mengalami gatal-gatal, mereka berpandangan dan saling bertanya Memangnya ada yang tidak gatal-gatal?

Hampir seluruh warga menduga bahwa penyebab gatalgatal adalah air yang berasal dari saluran irigasi sungai Citarum yang dipakai untuk mandi dan mencuci. Menurut warga, aliran air seringkali hitam, kecoklatan dan berbau, terutama kalau sedang ada buangan (begitu warga menyebutnya ) dari pabrik. Namun disisi lain, warga menyadari bahwa menutup pabrik bukanlah solusi, karena akan banyak keluarga dan sanak saudara mereka yang akan kehilangan pekerjaan. Kami hanya ingin air bersih, biar tidak lagi gatal-gatal, namun apa jalan keluarnya?

xx

Akses air yang bersih, kamar mandi dan sistem sanitasi yang layak (kedap air dan ramah lingkungan) semoga dapat terwujud di masa mendatang

www.citarum.org

You might also like