You are on page 1of 7

PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF PADA PENDERITA GERIATRI

Pendahuluan Tidak dapat disangkal bahwa angka morbiditas dan mortalitas penderita lansia baik di negara maju maupun berkembang lebih tinggi daripada populasi dewasa muda. Di Indonesia, angka yang didapat pada SKRT yang lalu menunjukkan morbiditas dan mortalitas populasi lansia tersebut kira-kira sama tinggi dengan populasi bawah empat tahun.

Pertimbangan Umum Dengan makin bertambahnya populasi lansia, jelas bahwa penderita yang akan mengalami pembedahan juga meningkat. Secara umum, tujuan operasi pada lanjut usia antara lain: mengadakan pemulihan lengkap atas status kesehatan yang terganggu, upaya untuk mengurangi dan menghilangkan disabilitas, serta menunda kematian yang mengancam. Morbiditas dan mortalitas operasi pada lansia secara umum disebabkan oleh:  Berbagai penyakit lain yang diderita bersama-sama dengan penyakit primernya.  Penyakit primer (penyakit yang memerlukan tindakan operatif) seringkali sudah dalam keadaan lanjut.  Penyakit yang didapat bersama tersebut sering ikut meningkatkan risiko operasi:  Yang selalu terdapat pada lansia dalam berbagai derajat (misalnya: gangguan ginjal, gangguan hati, dll.)  Yang tidak selalu terdapat, tetapi insidens meningkat pada lansia (misalnya: penyakit jantung iskemik, PPOM, dll.)  Yang tidak berhubungan dengan usia tetapi konsekuensi pada lansia meningkat (misalnya: anemia, dll.)

Faktor spesifik yang dihubungkan dengan risiko operasi berhubungan dengan:  Masalah jantung Faktor risiko jantung (cardiac risk factor) untuk operasi adalah: usia>70 tahun, diabetes mellitus, dekompensasi cordis, aritmia aurikuler atau ventrikuler yang penting, penyakit vaskuler manifest dan jenis operasi aortic, abdominal atau thoracal.  Masalah paru Komplikasi paru umum, misalnya ada insufisiensi paru, pneumonia, atelectasis sering timbul pasca operasi, terutama pada penderita yang mempunyai penyakit paru sebelumnya.  Status nutrisi Status nutrisi dapat mempengaruuhi keberhasilan lansia dalam menahan stress akibat operasi. Banyak lansia dengan penyakit kronis / akan operasi dalam keadaan malnutrisi. Keadaan ini perlu diperbaiki dulu.  Masalah kesehatan mental  Dementia, biasanya tidak berespon baik terhadap instruksi dari petugas kesehatan, sehingga penyembuhan akibat konfusio pasca operasi lebih sukar.  Depresi, menyebabkan keinginan hidup dan respon terhadap penyembuhan buruk.

Penatalaksanaan Preoperatif Penderita lansia yang akan menjalani operasi memerlukan perhatian khusus. Dalam hal ini perlu dilakukan suatu assessment terhadap status kesehatannya. Assesment yang perlu dilakukan meliputi:  Identifikasi semua penyakit dan kelainan fisiologik / anatomic yang ada, termasuk gangguan mental (depresi, dukacita yang dalam, kesepian), terutama gangguan jantung, paru, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan ginjal, hati, disfungsi endokrin, abnormalitas neurologik, arthritis, status nutrisi.  Obat-obatan yang didapat (termasuk obat-obat yang dibeli bebas).

 Status dan attitude terhadap operasi, apakah penderita optimiis atau depresi.  Mengupayakan se-mobile mungkin, upayakan balance nitrogen positif, cegah atrofi otot.  Mengupayakan rehabilitasi nutrisional kalau memungkinkan (cegah infeksi luka, kompensasi proses katabolik pasca operasi), kalau perlu dengan nutrisi enteral/ parenteral.  Memperbaiki status medis preoperasi:  Penderita dengan PPOM harus diminta untuk berhenti merokok, kalau perlu diberi ekspektoran dan/atau bronchodilator.  Obat-obat nitrogliserin/digoksin per oral dihentikan, kecuali benar-benar diperlukan, mengupayakan penggantian dengan patch perkutan.  Obat-obat anti aritmia peroral diganti dengan yang perenteral.  DM yang mendapatkan OHO / insulin jangka panjang dihentikan, diganti dengan insulin regular (puasa 5 jam preoperasi, pasang infus D5% + 1/2 dosisinsulin menjelang operasi).  Edukasi / motivasi / penjelasan untuk meminimalkan ketakutan dan meningkatkan kerjasama penderita.

Informed-consent (persetujuan tindakan medis) merupakan prosedur baku yang harus dilakukan dengan benar, dalam arti bahwa penderita benar-benar mendapat informasi tentang penyakit dan pembedahan yang dijalankan.

Obat-obat preoperatif pada dasarnya diberikan untuk menurunkan kecemasan/sekresi mucus dan fasilitas induksi dan mempertahankan anestesi. Halhal yang perlu diperhatikan, antara lain:  Pilih obat yang menyebabkan gangguan minimal terhadap sirkulasi dan depresi respirasi.  Dosis diturunkan sampai 1/2 atau1/3 dosis anak muda dengan bentuk dan ukuran tubuh sama.  Narkotik

Mempunyai efek analgesic dan hipnotik, tetapi sering menyebabkan depresi pusat respirasi di Susunan Saraf Pusat (SSP) yang merupakan masalah pada lansia karena cadangan respirasi pada lansia sudah turun, sehingga kompensasi dilakukan dengan menaikkan laju respirasi.Apabila digunakan narkotik, lansia sulit melakukan kompensasi terhadap akibat depresi nafas.Narkotik diberikan pada lansia atas indikasi bila terdapat rasa nyeri yang hebat.  Barbiturat Dipakai untuk sedasi, sering menimbulkan efek depresi berlebihan atau sebaliknya, justru timbul efek excitement atau symptom psikomimetik.  Obat antikolinergik Atropin atau skopolamin lebih baik tidak digunakan pada lansia karena sering menimbulkan masalah lebih serius disbanding dengan kecemasan atau hipersalivasi.Lansia sering sensitive terhadap efek SSP dan opthalmik, terutama dengan terjadinya peningkatan temperature, takhikardi, dan glaucoma.  Obat yang aman untuk preoperative bagi lansia, antara lain: difenhidramin, paraldehida, kloralhidrat, dan glutemid.

Perumatan Operatif Operator dan anestesiologis harus memonitor keadaan lansia lebih cermat untuk mencegah komplikasi pasca operatif:  Pemilihan obat anestesi harus hati-hati karena mungkin sudah terjadi penurunan sirkulasi jantung dan organ vital lain yang mengakibatkan penderita lebih sensitif terhadap hipoksemia dan hipovolemia.  Pemilihan posisi operasi yang tepat, pemasangan bantal-bantalan dll., sehingga meminimalkan trauma operasi.  Monitoring seperti pada usia muda, tetapi lebih cermat, terutama temperature (lansia lebih mudah hipotermia). Untuk mempertahankan temperature tubuh :  Semua cairan (darah / kristaloid) harus dihangatkan terlebih dahulu.

 Mengupayakan temperature ruangan yang baik.  Menguayakan agar viscera tetap berada dalam rongga abdomen, atau kalau tidak, dihangatkan dengan bantalan laparotomy.  Bila perlu, lavage rongga abdomen dengan larutan salin hangat (kecuali ada kontra indikasi).  Meminimalkan waktu operasi. Anestesi Jenis anestesi utama untuk operasi adalah general dan regional (termasuk spinal, lumbar, caudal epidural, blok saraf regional dan infiltrasi local. Pemilihan jenis anestesi ini tergantung pada usia penderita, ketepatan masalah bedah yang akan dilaksanakan, dan jenis pembedahan yang akan dilakukan. Pada kasus ini dilakukan general anestesi.

General anestesi  Respon lansia pada obat anestesi berbeda dengan orang muda. Konsentrasi dan jumlah obat yang belum sampai tingkat analgesic pada orang muda, pada lansia mungkin sudah menyebabkan depresi kardiovaskuler dan respirasi. Tingkat absorbsi obat per inhalasi menurun, onset anestesi tertunda akibat perubahan anatomic dan fungsional pada paru. Karena eliminasi obat melambat, lansia teranestesi lebih lama setelah operasi selesai. Hal ini juga akibat penurunan curah jantung, perubahan distribusi dan perfusi obat akan memperlambat onset kerja obat, dan menurunkan tingkat eliminasi obat.  Efek sampng utama general anestesi pasca operasi adalah penurunan cadangan cerebral dengan akibat: deficit memori dan penurunan daya intelektual sampai delirium ekstrim dan dementia. Hipoksia dan hiperkarbia sering dianggap penyebab terjadinya konfusio akut karena aliran darah otak berkurang.  Penyebab komplikasi utama general anestesi adalah aspirasi isi

gastrointestinal ke dalam paru. Keadaan ini umumnya akibat terganggunya reflex dan tingginya angka hiatus dengan refluk gastro-esofageal pada lansia.

Penatalaksanaan Pasca Operasi Tujuan utama adalah untuk mengembalikan fungsi normal lansia sesegera mungkin, karena sistem tubuh lansia, terutama kardiovaskuler, pulmonal, dan renal, lebih sukar dalam menahan berbagai stress, termasuk stress operasi. Seringkali juga terjadi penyakit konkomitan sehingga pemulihan pasca operasi sering memerlukan waktu lebih lama. Monitoring terjadinya komplikasi harus ketat. Pemeriksaan yang sering atas tanda vital dan keluaran urin segera setelah operasi seringkali bias mengidentifikasi perubahan kondisi. Status mental harus secara rutin diperiksa untuk mengenali segera terjadinya konfusio akut. Masalah pasca operasi yang sering didapat pada lansia adalah: hipotensi, hipotermia, masalah respirasi, thrombophlebitis dan tromboemboli, gagal ginjal akut, delirium, dan gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisional. Pada banyak kasus, karena lansia tidak menunjukkan gejala yang khas, keadaan tersebut sering tidak terdiagnosis. Perawatan memegang peranan penting pada penderita lansia pasca operasi disbanding penderita muda. Mobilisasi dan ambulasi dini sangat penting dalam pencegahan decubitus (yang sering bias timbul dalam waktu kurang dari 24 jam), inkontinensia urin, komplikasi paru paru dan efek sistemik lain akibat imobilitas. Penatalaksanaan nyeri juga penting.Pemberian obat analgesic lebih baik reguler disbanding hanya kalau perlu, dan dapat menurunkan insidens konfusio akut, memungkinkan rehabilitasi lebih dini pasca operasi. Karena respons terhadap obat analgesic pada lansia sering berubah, dosis rendah sering sudah bias menurunkan rasa nyeri. Dosis lebih baik diterapkan secara individual. Konfusio pasca operasi merupakan masalah perawatan yang sulit, dan seringkali bermanifestasi macam-macam, antara lain: disorientasi, kelemahan, cemas, paranoia, perilaku agresif dan halusinasi visual. Sering ada efek senja, dimana konfusio hanya terjadi pada sore hari dan malam hari.

You might also like