You are on page 1of 12

INDONESIA BISA TANPA PAJAK!1 Oleh: Abdul Akbar 2 Muqaddimah Pajak menurut Pasal 1 UU No.

28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar -besarnya kemakmuran rakyat. Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
y

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

1
2

Makalah ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir semester mata kuliah Perpajakan, 3 SKS. Dosen Pengampu: Siti Murtiyani, SE, MSi, Akt, Ph.D. Penulis adalah Mahasiswa STEI Hamfara Semester 4, NIM: 09.22.120. Prodi: Manajemen Syariah.

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak te rsebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak (www.id.wikipedia.org/wiki/Pajak). Jadi bisa disimpulkan bahwa pajak adalah adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Inilah pajak menurut kapitalisme, yang merupakan salah satu instrumen penting bagi negara dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, wajar kalau pakal ada disetiap negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Singapura, juga Indonesia. Lihat saja Jepang, menurut Kementerian Keuangannya, penerimaan pajak Jepang pada tahun 2010 mencapai 4.625,70 miliar yen (Kapanlagi.com, 10 Juni 2011). Jumlah tersebut merupakan separuh dari RAPBN Jepang 2011 yang sedang diajukan keparlemen, yaitu US$ 1 triliun (www.bisnis.com/ekonomi/global/14487-apbn-jepang-us1-triliun). Hal yang terjadi di Jepang tidak berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Bahkan lebih parah dari pada Jepang, Indonesia dalam APBN 2011menganggarkan pendapatan pajak sebesar Rp 839.540,3 miliar, dari Pendapatan Negara dan Hibah yang sebesar Rp 1.086.369,6 miliar3. Jumlah itu adalah 77% dari APBN 2011.

Tabel 1, Ringkasan APBN Indonesia 2005 - 2011


3

Data Pokok APBN 20052011, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Berdasarkan data diatas, selama 7 tahun terakhir, hampir seluruh pendapatan Indonesia sekitar 70 80% berasal dari pajak. Berarti bisa disimpulkan bahwa APBN Indonesia sangat bergantung pada pajak. Jadi hidup mati negara ini tergantung dari besarnya pajak yang dikeluarkan oleh warga negaranya. Padahal kita sudah mengetahui bahwa rakyat Indonesia sudah sangat dibebani dengan kebutuhan sehari-hari yang harganya terus meningkat dari tahun ke tahun, dan celakanya itu masih ditambah dengan pajak yang target penerimaannya dari pemerintah selalu meningkat. Tentu saja ini berdampak pada besaran pajak, bertambahnya hal yang harus dibayar pajaknya, dan lain-lain. Disisi lain, belum lama ini terjadi kasus mafia pajak yang dilakukan mantan pegawai Dirjen Pajak, Gayus Halomoan Tambunan. Gayus mengaku, bahwa ia hanyalah makelar kasus (markus) pajak kelas teri. Menurut Kordinator Transparency International Indonesia (TII), Teten Masduki, "Pengakuan Gayus menguatkan indikasi bahwa apa yang ia lakukan memang hal yang lumrah dilakukan para pegawai pajak." (Metronews.com, 27/3/2010). Tentu fakta diatas membuat rakyat sakit hati, terutama bagi mereka yang mengaku taat pajak. Apalagi Pemerintah selama ini dengan berbagai cara selalu g encar mendorong masyarakat untuk taat membayar pajak. Pemerintah antara lain selalu menekankan, tanpa pajak pembangunan tidak akan bisa berjalan. Jika pembangunan tak berjalan, Pemerintah tentu tak bisa mensejahterakan rakyat. Tetapi faktanya justru hanya dinikmati beberapa pihak. Inilah berbagai kezhaliman yang merupakan dampak dari kapitalisme, yaitu melalui instrumen pajak. Akan tetapi, bisakah kalau Indonesia menjalankan pemerintahan dan pembangunannya tanpa pajak yang merupakan penghisapan terhadap rakyat? Tentu bisa, tetapi bukan dengan kapitalisme yang selama ini diterapkan di Indonesia, melainkan dengan Islam yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Kebijakan Fiskal Menurut Islam Islam adalah rahmatan lil alamin, yaitu agama yang memberikan keberkahan kepada seluruh elemen masyarakat, tidak peduli apapun latar belakannya. Jadi, apabila Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia di suatu tempat, maka kesejahteraan akan hadir dalam tempat tersebut. Kembali kepada topik, Indonesia bisa mensejahterakan rakyatnya tanpa pajak dengan syarat yaitu menerapkan Islam yang salah satunya adalah sistem ekonomi Islam. Kewajiban negara atas rakyatnya adalah melayani dan mengurusi urusan umat. Hal ini ditegaskan Nabi SAW dalam sabdanya: Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya. (HR Bukhari dan Muslim).

Sungguh, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga atau bahkan menyia-nyiakannya. Salah satu urusan umat yang wajib dilaksanakan oleh negara ( aulah Islamiyah) D adalah mengatur ekonomi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga pada akhirnya negara menjadi kuat. Bentuk kewajiban negara atas masalah ini diatur melalui institusi Baitul Mal, disamping penegakkan syariat lainnya oleh negara seperti syariat yang mengatur mekanisme dan transaksi ekonomi (cara-cara memperoleh harta dan mengembangkannya atau investasi, membelanjakan harta atau konsumsi), penerapan sanksi (uqubat) atas pelanggaran hukum, dan penegakkan keamanan yang akan mengayomi aktivitas ekonomi masyarakat sehingga kegiatan ekonomi menjadi lancar. Baitul Mal merupakan suatu institusi khusus di bawah Khalifah yang mengatur sumber-sumber pemasukan harta (pendapatan) negara baik dari sumber-sumber pemasukan tetap (rutin) maupun yang bersifat temporal. Kemudian mengalokasikannya sebagai pengeluaran yang bersifat rutin maupun temporal.4 Harta yang dikumpulkan Khalifah dan para walinya di dalam Baitul Mal menjadi hak kaum Muslimin (Zallum: 2002) 5 dan syara mewajibkan negara membelanjakannya secara syari untuk membayar jasa yang diberikan individu kepada negara, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, tunjangan dan penyediaan lapangan kerja, modal usaha bagi masyarakat, pembangunan infrastruktur dan pelayan publik, dan lain-lainnya. Dalam perekonomian Kapitalis, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Di luar kedua sumber utama penerimaan negara tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya dari restribusi (pungutan/ semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-denda dan perampasan yang dijalankan pemerintah, pencetakan uang kertas, hasil undian negara (seperti SDSB), dan hadiah (hibah).7
6

Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal. Pertama dilihat dari pos Bagian Fai dan Kharaj. Dalam bagian ini, sebagian seksi-seksi penerimaan Baitul Mal berhubungan langsung dengan dakwah dan jihad. Daulah Khilafah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dan jika berhasil melakukan penaklukan (futuhat) baik di negeri-negeri Islam yang sebelumnya berada dalam kekuasaan bangsabangsa kafir,8 maupun di negeri-negeri bangsa kafir itu sendiri, maka akan banyak pemasukan Baitul Mal dari anfal atau ghanimah,9fai,10 dan khumus.11 Jadi semakin Islam
4 5

Institut Manajemen Zakat, Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Syariah , www.imz.or.id Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al-Amwal fi Daulah al -Khilafah). Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2002. hal. 4. Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, Mikro Ekonomi: Edisis Keempatbelas , (Macroeconomics, Fourteenth Edition). Jakarta: Erlangga. 1997. hal. 377. M. Suparmoko, Keuangan Negara., hal. 95-96. Dalam APBN 2003, anggaran penerimaan negara RI sebesar Rp 336,16 triliun dengan komposisi terbesar penerimaan dari sektor pajak Rp 254,14 triliun (75,6%), disusul penerimaan SDA Rp 59,4 triliun (17,67%), h utang luar negeri Rp 29,25 triliun (7,81%), laba BUMN Rp 10,41 triliun (3,1%), privat isasi BUMN Rp 8 triliun (2,38), hutang dalam negeri (penjualan obligasi) Rp 7,7 triliun (2,29%). Sumber: Departemen Keuangan RI, http://www.fiskal.depkeu.go.id/utama.asp? utama=10200002. Sekarang ini banyak negeri -negeri Islam yang dikuasai bangsa -bangsa kafir seperti Irak, Afghanistan, Chencnya, Kashmir, Palestina, Moro. Anfaldan ghanimah mengandung pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslimin dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang. Lihat; Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan., hal. 25.

disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad semakin banyak harta pemasukan bagi Baitul Mal dari harta rampasan perang. Pemasukan lainnya adalah kharaj.Kharaj merupakan hak kaum Muslimin atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian dari ghanimah) dari orang-orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui perjanjian damai.12 Terhadap tanah kharaj dan tanah kharajiyah (negeri taklukan yang penduduknya telah masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Albania, Bosnia, Negeri-negeri di Asia Tengah maka disana berlaku kharaj sampai kiamat. Setiap penduduk (Muslim dan non Muslim) yang memanfaatkan tanah kharaj diwajibkan membayar kharaj kepada negara. Nilai kharaj yang diambil oleh negara atas tanah tersebut dihitung berdasarkan kandungan tanahnya dengan memperhatikan kondisi lingkungan tanah tersebut.13 Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk Islam seperti Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj tidak berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah usyuriyah yang wajib dikeluarkan zakatnya.14 Pemasukan lainnya adalah jizyah.15Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin dalam Daulah Khilafah. Pihak yang wajib membayar jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti orang -orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga negara Islam. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, telah baligh dan berakal sehat. Jizyah tidak wajib atas wanita, anak-anak dan orang gila. Jizyah akan berhenti dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Juga jizyah tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya.16 Sumber penerimaan lainnya dalam bagian ini adalah Usyur. Usyur dipungut terhadap pedagang penduduk kafir harby atas barang dagangan mereka yang melewati perbatasan negara. Tindakan ini dilakukan sebagai perlakuan setara karena negara mereka telah melakukan pungutan (cukai) atas pedagang Muslim yang melewati perbatasan negara mereka. Usyur juga dipungut terhadap pedagang kafir dzimmi yang melewati perbatasan, disebabkan adanya perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan mereka yang salah satu poinnya menyebutkan tentang usyur ini, tetapi jika usyur tidak disebutkan dalam perjanjian damai maka tidak boleh mengambil usyur dari pedagang kafir dzimmi.17 Jadi Usyur dipungut karena adanya sebab-sebab syara. Sedangkan jika tidak ada sebab-sebab seperti di atas, maka pungutan terhadap perdagangan lintas negara (cukai) hukumnya har am, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Uqbah bin Amir, Nabi SAW bersabda:

10

11 12 13 14 15

16 17

Faiadalah segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslimin dari h arta orang kafir dengan tanpa pengerahan pasukan, juga tanpa kesulitan dan tanpa peperangan. Lihat ibid, hal. 30-31. Khumusadalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah. Lihat ibid, hal. 35. Ibid, hal. 38. Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al Azhar Press. 2009. Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan., hal. 42-44. Jizyahmerupakan hak Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang -orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Ibid, hal. 57. Ibid, 60-51. Lihat, ibid, hal. 105-111.

Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai (pajak). Akan tetapi, apabila negara mengalami suatu kondisi sehingga harta Baitul Mal yang berasal dari penerimaan-penerimaan di atas tidak mampu membiayai kewajibankewajibannya, maka kewajiban ini beralih kepada kaum Muslimin. Dengan kondisi seperti ini, negara berhak memungut pajak (dlaribah) terhadap kaum Muslimin.18Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS. Adz-Dzariyaat: 19) Dan hadits Rasulullah SAW: Sesungguhnya pada harta benda itu ada hak (untuk diambil) di luar zakat. (HR Turmudzi) Pajak ini hanya dikenakan terhadap kaum Muslimin, dan tidak boleh terhadap warga negara non Muslim. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang maruf. Ini berbeda dengan yang terjadi sekarang ini, dimana seluruh warga negara dikenakan pajak, baik Muslim atau non Muslim, kaya atau miskin, serta itu mencukupi nafkahnya atau tidak. Jumlah pajak yang dipungut secara makro harus ekuivalen dengan jumlah kebutuhan Baitul Mal yang dipergunakan untuk memenuhi kewajibankewajiban Baitul Mal, sehingga pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Kemudian jika kebutuhan Baitul Mal telah terpenuhi dan Baitul Mal sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pungutan pajak harus dihentikan.19 Negara juga mendapatkan penerimaan dari 1/5 harta rikaz,20 harta warisan yang tidak ada lagi ahli warisnya,21 harta tidak sah yang dimiliki pejabat negara dan harta orang murtad. Jika negara-negara Kapitalis hanya memiliki pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, maka tidak demikian dengan Sistem Ekonomi Islam. Masih ada dua bagian sumbersumber penerimaan di dalam Baitul Mal selain bagian diatas yang semuanya merupakan
18

19 20

21

Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al Azhar Press. 2009.. Lihat juga Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan., hal. 138., dan Abdul Aziz Al Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam , (Al-Islam, Dlaaminun lil Haaja at Al-Asaasiyah likulli Fardin wa Yamalu lirafaahiyatihi), cet. VIII, Jakarta; Gema Insani Pers, 1999 , hal. 38. Ibid, p. 232-233. Rikazadalah harta yang terpendam di dalam perut bumi, baik berupa emas, perak, permata, mutiara atau lainnya, berupa perhiasan at au senjata. Lihat, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan., hal. 128. Bandingkan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis yang menjamin kebebasan kepemilikan individu sehingga seekor anjingpun atau kucing berhak mendapatkan warisan jutaan dolar dari majikannya.

Bagian Kepemilikan Negara yang semuanya itu merupakan sumber utama penerimaan negara, yaitu Bagian Kepemilikan Umum dan Bagian Shadaqah. Sistem Ekonomi Kapitalis tidak memiliki sumber penerimaan dari kepemilikan umum karena sistem ini hanya mengakui dua macam kepemilikan, yaitu kepemilikan individu (private proverty) dan kepemilikan negara (state proverty). Sistem ini juga menempatkan kebebasan individu dalam hal kepemilikan selama diperoleh dengan cara-cara yang sah menurut hukum Kapitalisme.22 Maka tidaklah aneh jika suatu badan usaha ataupun sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak boleh dimiliki oleh individu dan bebas diperjualbelikan. Tidak aneh jika tambang minyak dan gas bumi, tambang emas dan tembaga, separuh hutan Indonesia (pada masa Orba hingga sekarang) dikuasai oleh beberapa konglomerat ataupun perusahaan asing, sehingga kekayaan alam Indonesia yang merupakan bagian dari kepemilikan umum tersebut jatuh manfaatnya ke tangan segelintir individu saja. Akibatnya rakyat tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari kekayaan alam anugerah Tuhan tersebut melainkan kerusakan alam akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab (Muttaqin: 2008). Negara hanya mendapatkan tetesan kekayaan alam tersebut dari pajak ataupun dari hasil production sharing (bagi hasil) yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan yang diperoleh individu yang memiliki pertambangan tersebut. Dan kalaupun negara ingin mendapatkan kekayaan dari pertambangan maka negara harus mendirikan badan usaha yang menggali pertambangan tersebut ataupun mengolahnya menjadi barang yang sudah jadi seperti Pertamina dan PT Timah. Akan tetapi inipun bukan sebagai bagian dari kepemilikan umum, namun hanya merupakan milik negara yang sewaktu-waktu oleh negara dapat dijual kepada swasta ataupun kepada asing (Muttaqin: 2008). Pengakuan Islam akan kepemilikan umum (Al Milkiyyah al Ammah/ collective proverty) selain kepemilikan individu dan kepemilikan negara, didasarkan pada dalil syara berikut:

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah)

Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasulnya.

22

Cara memperoleh harta dan cara mengembangkan harta yang sebenarnya meresahkan dan merugikan masyarakat (dan secara syara bertentangan) tetap dilindungi undang -undang dalam Kapitalisme. Misalnya industri hiburan yang menyebabkan kemerosotan akhlak dan memicu kriminalitas tetap eksis, bahkan siapa saja yang menghalangi industri tersebut akan berhadapan dengan aparat peneg ak hukum. Terlebih jika industri hiburan tersebut menghasilkan penerimaan pajak yang cukup besar bagi pemerintah, seperti industri dangdut.

An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah:23 1. Fasilitas/Sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, jalan-jalan umum. 2. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain lainnya. 3. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, danau. Sumber penerimaan Baitul Mal dari Bagian Kepemilikan Umum yang mempunyai potensi sangat besar dalam membiayai pengeluaran Baitul Mal adalah dari barang tambang dan sumber daya alam. Negeri-negeri Islam yang sebagian besar terletak di bagian Selatan bumi ini telah dianugerahi Allah SWT dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Anugerah ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kekuatan negara. Terakhir, sumber pemasukan Baitul Mal yang ketiga yaituBagian Shadaqah. Bagian ini meliputi, pertama; zakat ternak unta, sapi dan kambing. Kedua; zakat tanaman (hasil pertanian) dan buah-buahan. Ketiga; zakat nuqud/mata uang (emas dan perak), dan keempat; zakat atas keuntungan dari perdagangan.24 Zakat merupakan suatu kewajiban kaum Muslimin dan salah satu pilar dari rukun Islam. Seorang Muslim yang membayar zakat merupakan implimentasi (ibadah ritual) hubungannya dengan Allah SWT seperti halnya seorang Muslim yang melaksanakan kewajiban shalat, puasa dan ibadah haji.

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43) Tugas negara adalah memungut zakat dari kaum Muslimin dan mengumpulkannya di Baitul Mal pada pos Bagian Shadaqah, kemudian menyalurkannya sesuai ketentuan syara.25 Jika wajib zakat menolak membayar zakat, maka negara berhak memaksanya agar memenuhi kewajibannya.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. (QS. At-Taubah: 103)

23 24 25

Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam , dan Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara., hal. 68. Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan., hal. 153. Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan , (Musykilah al -Faqr wakaifa Aalajaha al -Islam), Jakarta: Gema Insani Press. 1995. hal. 106-107.

Zakat tetap dipungut oleh negara selama masih ada orang yang wajib zakat, dan tidak akan dihentikan kewajiban ini meskipun harta zakat yang terkumpul di Baitul Mal melimpah sedangkan orang yang berhak menerimanya tidak terdapat lagi di dalam negeri. Jadi fungsi negara dalam mengelola zakat semata-mata karena implimentasi ibadah ritual kaum Muslimin terhadap Allah SWT, bukan karena alasan ekonomi. Indonesia Bisa Tanpa Pajak Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki pulau kurang lebih sebanyak 13.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke26 dan dengan luas wilayah 1.904.569 km2. Terletak di pertemuan 4 lempeng tektonik (Indo-Australia, Eurasia, Filipina dan Pasifik) sehingga membuat tanah Indonesia menjadi subur. Indonesia memiliki minyak bumi sebesar 86,9 miliar barel, yang bisa bertahan sampai 25 tahun kedepan, cadangan gas alam sebesar 384,7 TCF (Trillion Standard Cubic Feet) yang bisa bertahan sampai 130 tahun kedepan dan memiliki persediaan Batu Bara Sebesar 90,5 Miliar Ton yang bisa bertahan selama 200 tahun lebih serta memiliki 129 gunung berapi yang menghasilkan tenaga panas bumi 30 GW (ESDM, 2007). Di bidang sumber daya alam yang dapat diperbaharui, Indonesia memiliki hutan sekitar 100 juta hektar (Amhar, 2010) serta potensi perikanan sekitar 6,4 juta ton (Rokhmin, 2010). Itulah fakta Indonesia, yang begitu kaya akan sumber daya alam. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan bagaimana kalau sumber daya alam yang ada di Indonesia ini dikelola menurut kebijakan fiskal menurut Islam yang telah dipaparkan di atas. Menurut Prof. Dr. Fahmi Amhar, bahwaproduksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barel perhari (bpd). Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barel dan nilai tukar rupiah Rp 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp 202 Triliun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profit-nya masih di atas Rp 182 Triliun. Namun, keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Mal (bendahara negara). Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena kebutuhan minyak perhari 1,2 juta barel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berikut elektrifikasinya. Produksi gas (LNG) adalah sekitar 5,6 juta barel minyak perhari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profit-nya sekitar Rp 268 Triliun. Produksi batubara adalah sekitar 2 juta barel minyak perhari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 212 Triliun, atau nett profit-nya sekitar Rp 191 Triliun.
26

www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil -survei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia

Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai. Andaikan benar nilai pajak Freeport sebesar Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nett profit, itu artinya nett profitnya adalah Rp 30 Triliun pertahun. Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 kg emas murni perhari. Secara kasar, bersama perusahaan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp 50 Triliun pertahun. Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp 691 Triliun. Akan tetapi, harus diingat bahwa sektor pertambangan adalah sektor yang tidak dapat diperbarui. Meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tetapi suatu hari pasti akan habis juga. Untuk produksi laut, menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Miliar atau Rp 738 Triliun. Bila negara juga ikut dalam mengelola hasil laut dan mendapat untung sekitar 10%, maka ini hasilnya sudah sekitar Rp 73 Triliun. Bagaimana dengan hasil produksi hutan? Luas hutan Indonesia adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon perhektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta dan nett profit-nya Rp 1 juta, maka nilai ekonomisnya adalah 100 juta hektar x 20 pohon perhektar x Rp 1 juta perpohon yaitu Rp 2000 Triliun. Namun, tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan Indonesia telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Namun, Rp 1000 Triliun juga masih sangat besar. Kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan(Amhar: 2010). Pos Penerimaan (dalam triliun rupiah) Bagian Kepemilikan Umum Minyak Gas Batubara Emas & Mineral Logam lainnya Hasi laut Hasil hutan JUMLAH PENERIMAAN Penerimaan 182 268 191 50 73 1000 1764

Tabel 2 (Amhar: 2010, dengan sedikit pengolahan)

10

Sangat luar biasa. Inilah potensi hasil sektor kepemilikan umum di Indonesia. Belum ditambah dengan bagian zakat/sedekah serta harta kepemilikan negara yang sudah kita dipaparkan di awal. Dengan demikian, hasil yang didapat Indonesia dari sektor kepemilikan umum saja sebesar Rp 1.764 triliun. Hasil ini jauh lebih besar dari APBN Indonesia tahun 2011 yang sebesar Rp 1.202 triliun, yang kita ketahui sebagian besar hasilnya dari pajak, dan lebih jauh lagi apabila kita bandingkan dengan penerimaan yang didapat Indonesia dari sektor non pajak dari APBN Indonesia 2011 yang hanya sebesar Rp 243 triliun (Lihat Tabel 1). Khatimah Pajak adalah salah satu pilar yang menopang perekonomian negara dalam sistem ekonomi kapitalisme. Maka, apabila kita ingin Indonesia tidak mengandalkan pajak seperti yang selama ini berjalan, yang mungkin akan terus menarik pajak kepada rakyatnya sampai titik darah penghabisan tidak lain dengan cara ganti sistem kapitalime yang ada sekarang ini dengan Islam. Sebab, hanya dengan Islamlah semua itu diatur dengan sebaik-baiknya karena sistem ini di ciptakan oleh Sang Maha baik, yaitu Allah SWT. Insya Allah, dengan diterapkannya Islam dalam bingkai Daulah Khilafah, termasuk di dalamnya sistem ekonomi Islam pada negara ini. Maka impian Indonesia bisa mensejahterakan rakyat serta membangun negara tanpa pajak yang dibebankan pada rakyatnya bukan sekedar mimpi lagi, sebagaimana firman Allah SWT: ... Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa (menggunakan aturan Allah), pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi... (QS. Al Araf: 96) Wallhu alam bi ash-shawb

11

DAFTAR PUSTAKA Al Quran As Sunnah Al Badri, Abdul Aziz. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. (Al-Islam, Dlaaminun lil Haajaat Al-Asaasiyah likulli Fardin wa Yamalu lirafaahiyatihi), cet. VIII, Jakarta; Gema Insani Pers, 1999, hal. 38. Amhar, Fahmi. 10 Oktober 2010. Meramu APBN Syariah. www.hizbut-tahrir.or.id An Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al Azhar Press. 2009. Departemen Keuangan RI, Data Pokok APBN 2005 2011. Institute Manajemen Zakat, Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Syariah, www.imz.or.id Samuelson, Paul dan Nordhaus, William D. Mikroekonomi: Edisi Keempatbelas, (Macroeconomics, Fourteenth Edition), alih bahasa Haris Munandar dkk. cet. V, Jakarta: Erlangga. 1997. Suparmoko, M, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, cet. VII (Yogyakarta: BPFEYOGYAKARTA. 1997. Qardhawi, Yusuf. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Musykilah al-Faqr wakaifa Aalajaha al-Islam), alih bahasa Syafril Halim. cet. I, Jakarta: Gema Insani Press. 1995. Zallum, Abdul Qadim. Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al-Amwal fi Daulah alKhilafah), alih bahasa Ahmad S. dkk. Cet. I, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002. www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil-survei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia www.bisnis.com/ekonomi/global/14487-apbn-jepang-us1-triliun www.id.wikipedia.org/wiki/Pajak www.metronews.com

12

You might also like