You are on page 1of 12

Birokrasi menempati posisi yang strategis dalam memainkan peran politiknya sebagai regulator, perumus kebijakan, pelaksana kebijakan

sekaligus juga berperan melakukan evaluasi kebijakan. Peran yang sangat dominan pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis. Strategi politik tersebut membawa implikasi pada hilangnya kemajemukan atau pluratis sosial, politik, maupun budaya yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Kehidupan sosial dan politik yang serba tunggal untuk memudahkan mobilisasi oleh birokrasi pemerintah, seperti pembentukan Korpri, HKTI, KUD; PKK, Kadin, KNPI dan sebagainya. Pada masa Orde Baru, birokrasi menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan. Pola birokrasi seperti itu kemudian melahirkan hubungan patrimonial yang sangat kuat dalam struktur birokrasi Indonesia. Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia, merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modem tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. Sama seperti halnya abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri adalah abdi negara, mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi, yang terjadi, lebih menekankan pada ke atas dari pada sebagai ke bawah, memberikan pelayanan kepada masyarakat. PENDAHULUAN Dalam sebuah Negara, birokrasi diperlukan sebagai alat Negara dalam penyelenggaraan negara dan melayani masyarakat. Negara tercipta atas kontrak sosial yang menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk melayani kepentingan rakyat inilah, Negara memerlukan sebuah unit pemerintahan atau yang dikenal dengan birokrasi. Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya

dengan Indonesia. Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Indonesia mengalami masa penjajahan yang begitu lama. Dimulai dari kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol. Kemudian disusul oleh bangsa Belanda yang menjajah negeri ini hingga kurang lebih 350 tahun lamanya. Kemudian terakhir, Indonesia dijajah oleh Jepang. Begitu lamanya Belanda menjajah bangsa ini, membuat segala corak sistem pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh gaya pemerintahan jaman kolonial Belanda. Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut : 1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; 2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana; 3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; 4. Gaji dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; 5. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja. Sedangkan pada masa kolonial Belanda, pelayanan publik tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih tetap dipertahankan. Sejarah bangsa ini pada jaman pra kemerdekaan begitu diliputi oleh praktek penjajahan dan otoritarianisme. Kondisi ini memberikan warna bagi dinamika birokrasi di Indonesia pasca

kemerdekaan. Lantas bagaimanakah dinamika birokrasi di Indonesia sejak masa awal pasca kemerdekaan, yaitu sejak orde lama hingga jaman reformasi saat ini? Kemudian bagaimana kaitan antara penyelenggaraan birokrasi dengan praktek-praktek politik pada masa-masa tersebut ? Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perkembangan atau dinamika penyelenggaraan birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan hingga reformasi serta hubungannya dengan praktek politik yang terjadi.

PEMBAHASAN A. Birokrasi masa Orde Lama Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI. Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin. Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan

parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya. Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno memelihara PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebaai penampung aspirasi mereka. Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU. Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian kabinet. B. Birokrasi Masa Orde Baru Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien. Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party system diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan (dalam Maliki, 2000: xxiii) . Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan. Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat Negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak. Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah telah menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan bapak buah dengan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan atasan. Hal ini menimbulkan bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh yang berlebihan terhadap atasan. Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa

Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasimeskipun tidak penuhmodel pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik. Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu. Pada situasi seperti itu, jelas bahwa birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh sebab itulah Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya, belum ditambah lagi dengan anggota keluarganya. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai politiknya. Hampir semua orang tahu bahwa birokrasi Negaradalam pengertian ini termasuk ABRI sesungguhnya sudah lama mengambil alih peran partai politik dan Golkar, baik dalam perumusan kebijakan maupun proses politik pada umumnya. Karena itu, perlakuan khusus bagi birokrasi dengan menciptakan fraksi tersendiri bagi mereka di DPR akan mempertajam ketimpangan kekuasaan antara unsur-unsur masyarakat yang tak berdaya dan negara yang kekuasaannya sudah berlebih. Struktur DPR sejak Pemilu 1971 sebenarnya sudah didominasi oleh unsur-unsur birokrasi negara, baik itu anggota Korpri maupun ABRI, sebagian anggota Fraksi Karya Pembanguan (FKP) di DPR dan DPRD. Sehingga tak berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam praktek, F-KP dan F-ABRI adalah "fraksi birokrasi" yang lebih melayani kepentingan birokrasi ketimbang aspirasi masyarakat. Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding, inilah yang dimaksud birokrasi Parkinson dan Orwell. Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga

masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000[1]. Hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi; dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia. Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan. Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya. Reformasi birokrasi yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada : 1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi. 2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat. 3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah. Birokrasi dalam pemrintahan Orde Baru merupakan sebuah instrumen politik yang sangat efektif dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde baru. Adapun wujudnya dapat berupa: pertama, dukungan langsung kepada Golkar pada setiap Pemilu; kedua, birokrasi terlibat secara langsung dalam proses pemenangan Golkar pada Pemilu; ketiga, birokrasi merupakan penyedia dana bagi usaha pemenangan Golkar dalam setiap Pemilu (Afan Gaffar, 1999). Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang politik sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah. Sistem pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru hanya menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur

negara yang mendukung otoritarianisme. Menurut Miftah Thoha (2003), birokrasi atau pemerintah yang bukan merupakan kekuatan politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatankekuatan yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi. Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan birokrasi netral, tidak memihak dan obyektif (Kuncoro, 2007: 52). Namun dalam pelaksanaannya justru hal ini dilanggar, sebab masih banyak kalangan birokrasi yang terlibat dalam pertarungan politik, misalnya dalam Pemilu, sehingga dalam hal pelayanan menjadi tidak obyektif dan cenderung diskriminasi. Politik blok birokrasi atau (bahasa Inggris: building blocks) dalam administrasi publik adalah menyangkut umumnya dilakukan oleh para politisi hasil dari sebuah pemilu dan para birokrat dalam kriteria normatif kebijakan untuk mengalokasikan tugas pembuat kebijakan oleh politisi non birokrat dalam pendelegasian dan menunjukkan bidang kerja birokrasi yang bersinambung bahwa keduanya umumnya dapat berbeda secara umum disebut jabatan karier dan non karier dalam bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur, struktur yang mengetengahkan sebuah susunan dari suatu tatanan dan kultur yang mengandung nilai (values), sistem kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang dapat mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi yang akan menjadikan suatu hubungan yang konstan (bersinambung) antara fungsi kontrol dan dominasi dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasi, memimpin dan mendominasi siapa, persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi kemudian timbul dua pertanyaan yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation)[1].

Daftar isi
[sembunyikan]
y y y y

1 Administrasi dan politik o 1.1 Indonesia 2 Lihat pula 3 Referensi 4 Pustaka

[sunting] Administrasi dan politik


"The question is always who controls the existing bureaucratic machinery. And such control is possible only in a very limited degree to persons who are not technical specialists. Generally speaking, the trained permanent official is (more) likely to get his way in the long run than his nominal superior, the Cabinet minister, who is not specialist" Max Weber (1947)

Executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan para pejabat politik itu diperoleh berdasarkan kepercayaan, dalam teori supremasi mandat dapat diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari masyarakat,public interest, supremasi mandat ini diligitimatisasi dapat melalui pemilihan atau penerimaan secara de facto oleh masyarakat, dalam model sistem demokrasi, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi masyarakat melalui perwakilannya (political leadership) diberikan pada birokrasi sebagai kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari masyarakat disebut sebagai overhead democracy, kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. slogan klasik pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai (when politic end, administraion begin), slogan ini mengartikan bahwa birokrasi pemerintahan sebagai mesin pelaksana kebijakan politik yang dibuat oleh pejabat politik. Bureaucratic sublation didasarkan dari anggapan bahwa birokrasi pemerintah sesuatu negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana, menurut Max Weber bahwa birokrasi yang real (sebagai lawan dari tipe ideal) itu mempunyai kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik, pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang permanen yang mempunyai catatan karier yang panjang jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis, bila memperhatikan hal-hal seperti ini, birokrasi dapat disebut mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik, karena dalam kedudukannya tidak sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding (co-equality with the executive). dengan demikian birokrasi bertindak sebagai kekuatan yang a politic but highly politized dalam artian bahwa birokrasi bukan merupakan bagian dari partisan politik akan tetapi karena keahliannya dapat mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang profesional.

[sunting] Indonesia
Kedudukan birokrasi dalam kepentingan partai politik dimulai dari hasil pemilu 1955 dimana terdapat empat partai besar yang muncul sebagai pemenang pemilu kemudian setelah peristiwa prri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 partai Masyumi dibubarkan dan menyisakan tiga partai besar lainnya sebagai partai politik yang besar yang merupakan elemen dari politik nasakom pada waktu itu, masing-masing berusaha mengusai sumber daya bagi partainya masing-masing, dari semangat dan keinginan seperti ini membuat birokrasi dan netralitas birokrasi terhadap kekuatan partai politik mulai menjadi sulit bisa terhindarkan berlanjut dengan pemerintahan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 tanggal 29 Nopember 1971 didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi merupakan wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan Indonesia yang selanjutkan dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 terlibat langsung dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golkar (karena waktu itu Golkar menyatakan dirinya bukan sebagai partai politik melainkan sebagai perwakilan dari golongan fungsional) sebagai jalur B berarti dari lingkungan birokrasi, dalam hasil sistim pemilu multi partai tahun 1999 terdapat pengangkatan seorang sekretaris jenderal yang berasal dari satu partai dengan menteri kehutanan [2]dan di beberapa kantor kementerian antara lain Diknas, BUMN dan lain sebagainya diangkat beberapa eselon satu yang juga berasal dari satu partai politik dengan menterinya[3]

selanjutnya pada pemerintahan lanjutan hasil pemilu selanjutnya para ketua partai melalui jabatan menteri mulai berusaha untuk mengikuti cara-cara sebelum tahun 1998 dijalankan kembali dengan mengaburkan antara jabatan karier dan non karier dengan mengeser jabatanjabatan karier birokrasi berpindah ke tangan orang-orang partai politik non karier dan birokrasi[4].

Pengaruh Birokrasi dalam proses pengambilan kebijakan Dalam sistem politik Indonesia, birokrasi pernah menjadi salah satu kekuatan utama. Hal itu terjadi di masa Orde Baru, dimana Birokrasi bersama ABRI dan Golkar mendiominasi kehidupan pemerintahan. Ketiga kekuatan ini merupakan pondasi utama langgengnya kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Pemerintahan Soeharto yang bercirikan otoritarianisme dimana kekuasaaan eksekutif begitu besar dan personifikasi Soeharto dalam negara menjadikan birokrasi sebagai kepanjangan tangannya dalam mengontrol masyarakat disamping ABRI. Dalam memahami karateristik politik dan birokrasi di Indonesia pada masa orde baru dapat digunakan model bureaucratic-polity. Model ini digunakan oleh Karl D. Jackson dalam konteks Indonesia. Jackson menulis: bureucratic-polity adalah suatu sistem politik yang mana kekuasaan dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan nyaris terbatas sepenuhnya pada para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi yang terkenal sebagai teknokrat.... dalam hal ini militer dan birokrasi tidak bertanggungjawab kepada kekuatan-kekuatan politik lain seperti partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan atau organisasi masyarakat. Berbagai tindakan yang didesain untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah berasal dari elit itu sendiri tanpa banyak memerlukan partisipasi atau mobilisasi massa. Kekuasaan tidak diakibatkan oleh artikulasi kepentingan sosial dan geografi desekitar masyarakat. Dengan mendefinisikan secara lebih sempit, Crouch, mencatat bahwa bureaucratic-polity (masyarakat politik birokrati) di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu : pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontol kekuatan birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi . Kecenderungan yang makin menguatnya peranan birokrasi, nampak dalam proses pengambilan keputusan, birokrasi tidak banyak melibatkan kekuatan sosial politik, dan lebih banyak bertumpu pada teknokrat. Tidak salah bila Ramlan berpendapat, bahwa Golkar lebih digunakan sebagai alat memobilisasi dukungan masyarakat (melalui pemilu dan lembaga wakil rakyat) baik terhadap kebijakan pembangunan maupun terhadap kelompok penguasa tersebut, sedangkan kedua parpol lainnya lebih sebagai pelengkap penderita untuk mengkooptasi orang-orang yang tidak bersedia masuk dalam jalur A, B dan G dan sebagai pemberi legitimasi agar rezim Orba seolah-olah demokratik Selama ini pandangan teknokrat amat menentukan didalam meletakkan arah pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas, anggaran berimbang, peletakan jaringan pasar dan infra struktur, politik investasi terbuka dan sebagainya. Sementara penetrasi birokrasi didalam kehidupan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan cultural, semakin meningkat Kondisi seperti ini akan membawa akibat segala kebijaksanaan lebih banyak ditentukan oleh birokrat dengan keputusan-keputusan yang amat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan teknokratis yang non politis. Fenomena seperti ini oleh Jackson, disebut bureaucratic polity yang tercermin dalam besarnya kekuasaan birokrasi vis-avis lembaga-lembaga perwakilan dan infra struktur, politik seperti partai politik dan ormas. Akibatnya biaya politik (polical cost) yang harus dibayar karena timbulnya kepolitikan yang tidak berimbang (unbalanced polity), lemahnya control sosial, berhimpitnya

struktur ekonomi dengan struktur politik, kaburnya batas penguasa dengan penguasa, dan sebagainya. Mencermati fenomena seperti ini Syakur Abdullah sampai pada satu pendapat, bahwa pada suatu saat birokrasi akan menjadi kue politik yang dibagi-bagikan sebagai imbalan jasa, pada saat yang lain menjadi penentu atau boss politik yang dapat mengatur atau mempengaruhi perikehidupan politik dan kemasyarakatan, maupun kenegaraan . Peran birokrasi dalam pengambilan keputusan politik lebih nyata lagi dengan kemenangan Golkar mulai pemilu 1971 hingga 1997. dengan kemenangan Golkar tersebut berarti semakin kuatnya pengaruh birokrasi dalam pengambilan keputusan. Ini dapat dilihat dari kuatnya unsur-unsur birokrasi dan eks ABRI dalam komposisi anggota DPR dan Golkar. Dominasi para birokrat di DPR di lain pihak menyebabkan pengaruh parpol semakin lemah, dan pada gilirannya lembaga legislatif tersebut berada dibawah bayang-bayang eksekutif. Keputusan-keputusan tentang program-program pembangunan, siapa yang memberi, kapan, di mana, serta bagaimana diberikan, sepenuhnya merupakan kebijaksanaan birokrasi. Tjokroaminoto menambahkan , rakyat diharapkan menerima secara pasif apapun pelayanan sosial, fasilitas, dan bentuk-bentuk subsidi yang ditawarkan cenderung sidah ditentukan dan seragam. Keputusan tentang jenis, dan bentuk-bentuk subsidi, dan siapa yang memberikan, di mana dan kapan, dirumuskan dalam perencanaan dan proyek yang terjadwal. Rencana itu dirumuskan oleh satu unit perencanaan pusat yang kuat, memiliki otoritas mengalokasikan sumber-sumber pembangunan. rencana dan proyek tadi dilaksanakan melalui birokrasi terpusat, kadang-kadang otoriter, bersifat kaku terhadap rencanarencana yang telah ditetapkan serta prosedur-prosedur yang birokratis. Penetapan kebijaksanaan dilakukan dengan pendekatan top-down semakin membuat kekuatankekuatan politik diluar birokrasi (selain ABRI dan Golkar) semakin lemah. Kekuatan diluar birokrasi tersebut tidak berdaya ketika berhadapan dengan birokrasi sehingga tidak ada pilihan lain selain melaksanakan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh birokrasi.

You might also like