You are on page 1of 9

1.

1 Latar Belakang Pengembangan program ekstensifikasi pertanian diarahkan pada pemanfaatan lahanlahan marginal seperti lahan rawa pasang surut. Diperkirarakan dari 33.5 juta ha lahan rawa pasang surut yang sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, hanya sekitar 0.9 juta ha yang sudah dibuka untuk areal pertanian produktif (Subagyo dan Widjaya-Adhi, 1998). Lahan rawa pasang surut atau gambut adalah suatu wilayah rawa yang dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air laut yang secara berkala mengalami luapan air pasang. Jadi lahan rawa pasang surut dapat dikatakan sebagai lahan yang memperoleh pengaruh pasang surut air laut atau sungai-sungai sekitarnya. Bila musim penghujan lahan-lahan ini tergenang air sampai satu meter di atas permukaan tanah, tetapi bila musim kering bahkan permukaan air tanah menjadi lebih besar 50 cm di bawah permukaan tanah. Bahwa lebak ialah lahan rawa yang tidak memperoleh pengaruh pasang surut air laut. Lahan pasang surut berbeda dengan lahan irigasi atau lahan kering yang sudah dikenal masyarakat. Perbedaannya menyangkut kesuburan tanah, sumber air tersedia, dan teknik pengelolaannya. Lahan ini tersedia sangat luas dan dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Hasil yang diperoleh sangat tergantung kepada cara pengelolaannya. Untuk itu, petani perlu memahami sifat dan kondisi tanah dan air di lahan pasang surut. Sifat tanah dan air yang perlu dipahami di lahan pasang surut ini berkaitan dengan: tanah sulfat masam dengan senyawa piritnya, tanah gambut, air pasang besar dan kecil, kedalaman air tanah, dan kemasaman air yang menggenangi lahan. Ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat penting bagi lingkungan hidup. Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung.. Konservasi lahan gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya karbon tersimpan yang jumlahnya sangat besar. Oleh karena itu, Pengelolaan tanah dan air ini merupakan kunci keberhasilan usahatani. Dengan upaya yang sungguh sungguh, lahan pasang surut ini dapat bermanfaat bagi petani dan masyarakat luas.

1.2 Karakterisik Lahan Pasang Surut Lahan rawa umumnya dinilai sebagai ekosistem yang marjinal dan rapuh, namun lahan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan komoditas tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Menurut Widjaya Adhi et al. (1992) bahwa lahan rawa dibedakan berdasarkan sampainya pengaruh air pasang surut di musim hujan dan pengaruh air laut di musim kemarau, terbagi atas tiga zone yaitu : (1) pasang surut payau/salin (zone I), (2) pasang surut air tawar (zone II) dan (3) non pasang surut/lebak (zone III). Selanjutnya Djafar (1992) mengatakan bahwa lahan pasang surut adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, terletak dibagian muara sungai atau sepanjang pantai. Lahan lebak adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, namun dipengaruhi oleh banjir air sungai atau genangan air hujan yang terlambat ke luar terletak dibagian tengah dan hulu sungai. Lahan pasang surut berdasarkan agroekosistem dapat dibedakan ke dalam 4 tipologi utama yaitu lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut dan lahan salin. (1) Lahan potensial adalah lahan yang lapisan atasnya 0-50 cm, mempunyai kadar pirit rendah 2 persen dan belum mengalami proses oksidasi. (2) Lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai lapisan pirit atau sulfidik pada kedalaman < 50 cm dan semua tanah yang memiliki lapisan sulfirik, walaupun kedalaman lapisan piritnya > 50 cm. Lapisan pirit atau lapisan sulfidik adalah lapisan tanah yang kadar piritnya > 2 persen. Horison sulfirik adalah lapisan yang menunjukkan adanya jerosite (brown layer) atau proses oksidasi pirit pH (H2O) < 3,5. Lahan sulfat masam dibedakan dalam (i) lahan sulfat masam aktual dan (ii) lahan sulfat masam potensial yang tidak atau belum mengalami proses oksidasi pirit. (3) Lahan gambut adalah lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut dan digolongkan berdasarkan ketebalan gambut yaitu gambut dangkal (ketebalan 50-100 cm), gambut sedang (ketebalan 100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm) dan gambut sangat dalam (> 300 cm). Muktamar dan Adiprasetyo (1993) mengatakan bahwa lahan gambut mempuntai prospek yang besar untuk budidaya tanaman. Untuk budidaya kelapa dan kelapa sawit dapat dilakukan pada gambut sedang dan dalam. (4) Lahan salin adalah lahan yang mendapat pengaruh air asin, apabila mendapat pengaruh air laut/asin lebih dari 4 bulan dalam setahun dan kandungan Na dalam larutan tanah 8 persen sampai 15 persen.

Lahan pasang surut berdasarkan hidrotopografi dibedakan menjadi empat tipe yang membutuhkan manajemen yang berbeda. Tipe A merupakan daerah rawa yang selalu terluapai air pasang besar maupun pasang kecil. Tipe B adalah lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar. Tipe C merupakan lahan yang tidak terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan tanah. Tipe D adalah lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Penataan lahan dan sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian dilahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan. Lahan pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta tujuan pemanfaatannya. Sistem tata air yang yang teruji baik dilahan pasang surut adalah sistem aliran satu arah (one way flow system) dan sistem tabat (dam overflow). Penetapan sistem tata air disesuaikan dengan tipologi lahan dan tipe luapan air serta komoditas yang diusahakan. Pada lahan tipe luapan air A dengan sistem aliran satu arah, sedangkan tipe luapan air B diatur dengan sistem satu arah dan tabat. Tipe luapan air C dan D dengan sistem tabat dengan pintu stoplog. dengan pembuatan saluran, pintu air dan tanggul.

1.3 Berbagai Upaya Konservasi 1.3.1 Konservasi Lahan Pasang Surut dengan Teknologi Tradisional "Tepulikampar" Pada sistem Tepulikampar, petani tidak melakukan pengolahan tanah, melainkan hanya melakukan penebasan gulma dan sisa jerami padi dengan menggunakan alat tradisional tajak pada kondisi lahan berair. Rumput/gulma dan sisa jerami padi yang telah ditebas dibiarkan terhampar selama 1-1,5 bulan, dan setelah mulai membusuk dikumpulkan dan dibentuk seperti bola (dipuntal) berdiameter 40-50 cm. Gumpalan-gumpalan rumput dan sisa jerami yang sudah mulai membusuk tersebut dibiarkan sekitar 2 minggu kemudian dibalik dan dibiarkan lagi sekitar 2 minggu untuk selanjutnya dihamparkan merata ke permukaan sawah. Sebelum dihamparkan, gumpalan-gumpalan rumput dan gulma tersebut dipotong dengan menggunakan parang untuk memudahkan penghamparan. Proses penyiapan lahan yang cukup panjang ini berkaitan erat dengan sistem tanam pindah yang proses penyiapan bibit padinya juga memerlukan tahapan-tahapan tertentu guna

mendapatkan bibit yang kuat dan tinggi yang cukup. Cara penyiapan lahan juga berkaitan dengan waktu tanam yang menunggu kedalaman dan kualitas air yang baik. Kaidah-kaidah konservasi lahan melalui teknologi Tepulikampar meliputi reklamasi lahan ramah lingkungan dengan mempertahankan keutuhan dan keaslian lahan melakukan pengolahan tanah sehingga aman bagi tanaman. Gulma dan jerami ditebas kemudian dibiarkan membusuk secara alami untuk selanjutnya dikembalikan lagi ke lahan. Sejak zaman dulu, petani local Banjar tidak melakukan pemupukan dengan pupuk anorganik karena jenis padi yang ditanam adalah jenis lokal yang tidak respons terhadap pemupukan. Dikaitkan dengan pertanian organik yang berkembang akhir-akhir ini, yang tidak menggunakan bahan-bahan anorganik atau meminimalkan penggunaan bahan anorganik, ternyata teknologi Tepulikampar memenuhi kaidah tersebut.

1.3.2 Pengelolaan Air Ramah Lingkungan Pengelolaan air dibedakan dalam:  Pengelolaan air makro, penguasaan air di tingkat kawasan reklamasi.  Pengelolaan air mikro, pengaturan tata air di tingkat petani.  Pengelolaan air ditingkat tersier, dikaitkan dengan pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro. Pengelolaan air makro Pengelolaan air makro ini bertujuan untuk membuat lebih berfungsi:  Jaringan drainase - irigasi: navigasi, primer, sekunder.  Kawasan retarder, kawasan sempadan, dan saluran intersepsi.  Kawasan tampung hujan. Pengelolaan air di tingkat tersier Cara pengelolaannya sangat tergantung kepada tipe luapan airnya:  Sistem aliran satu arah untuk tipe luapan A.  Sistem aliran satu arah plus tabat untuk tipe luapan B.  Sistem tabat untuk tipe luapan C.  Sistem tabat plus irigasi tambahan dari kawasan tampung hujan yang berada di ujung tersiernya untuk tipe luapan D.

1.3.2.1 Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system) Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement), sistem irirgasi bawah ke atasa dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah, karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986). Dari keadaan air sungai yang permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah di tepi sungai maka untuk mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif pompanisasi, sistem pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk dipasang secara paralel.

Gambar 1 . Contoh peta lay out sistem drainase alternatif pada desa tepian sungai Blimbingan Kalimantan Timur

Daerah Kanal Daerah kanal adalah derah tampungan dan tempat air masuk dari saluran primer dan tempat air akan disalurkan melalui saluran sekunder.

Gambar 2 . Kanal

1.3.2.2 Sistem Aliran Satu Arah Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu air.  Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan (irigasi), maka saluran tersier disebelahnya dijadikan saluran pengeluaran(drainase).  Saluran pemasukan diberi pintu air yang membukake dalam, sehingga pada waktu pasang air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut.  Saluran pengeluaran diberi pintu air yangmembuka ke luar, sehingga pada waktu air surut air dapat keluar dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang.  Saluran kuarter yang merupakan batas pemilikan perlu ditata mengikuti aliran satu arah. Pada lahan yang bertipe luapan B, pintu flap gate dilengkapi stop log yang difungsikan pada waktu air pasang kecil.

Gambar 3 . Skema Sistem Aliran Satu Arah 1.3.2.3 Pengelolaan air di tingkat petani

Pengelolaan air mikro atau ditingkat petani meliputi pengelolaan air di saluran kuarterdan Pengelolaan air di petakan sawah petani. Sistem pengelolaan airnya dilakukan dengan system aliran satu arah. Salah satu saluran tersier dijadikan aluran pemasukan irigasi dan saluran kuarter dijadikan saluran pembuangan menuju saluran tersier drainase. Diperlukan juga saluran dangkal di sekeliling petakan sawah. Saluran ini berfungsi sebagai saluran penyalur di dekat saluran kuarter irigasi dan sebagai saluran pengumpul yang

didekat saluran kuarter drainase. Di dalam petakan sawah dibuatkan pula saluran dangkal intensif yang berfungsi untuk mencuci zat asam dan zat beracun dari lahan. Jarak antarsaluran bervariasi tergantung kepada kendala lahan yang dapat diatur sebagai berikut:  Lahan dengan kandungan pirit dalam dibuat saluran dengan jarak 9 m atau 12 m  Lahan dengan kandungan pirit dangkal dibuat saluran dengan jarak 6 m atau 9 m  Pada lahan sulfat masam dibuat saluran dengan jarak 3 m atau 6 m  Pada lahan tidur dibuat saluran berjarak 3 m. 1.3.3 Mematangkan gambut Cara mematangkan gambut dengan mengeringkannya sekali-kali, namun jangan dibiarkan menjadi terlalu kering atau melewati batas kering tak-balik. Jika terlalu kering, sifat gambut berubah menjadi "mati," seperti pasir semu, arang atau beras yang tidak dapat menyerap air. Akibatnya lahan tersebut tidak dapat ditanami karena tidak dapat menyediakan air untuk keperluan tanaman. Gambut yang mati mudah terbawa oleh air hujan, sehingga ketebalannya makin lama makin berkurang. Dapat pula mengakibatkan erosi walaupun lahannya datar. Gambut kering tampak mengkerut dan menyebabkan permukaan tanah menjadi lebih rendah. Akhirnya, lapisan tanah di bawah gambut dapat tersingkap. Mungkin lapisan pirit dalam tanah itu terkena udara, sehingga terbentuk racun yang berbahaya bagi tanaman. Apabila lapisan tanah di bawah gambut merupakan tanah liat, mungkin cukup subur. Tetapi bila di bawah gambut ada pasir, tanah tersebut kurang subur. Permukaan lahan yang terlalu rendah akan menghambat drainasenya dan lahan menjadi tergenang terlalu dalam oleh air pasang. Tanah gambut dapat terbakar. Jika membakar dipermukaan, kemungkinan di bawah permukaan pun api masih membara. Sehingga akan membakar tempat lain yang jauh dari tempat pembakaran awal. Pembakaran gambut dapat menghilangkan lapisan gambut. Jika mendekati lapisan tanah di bawahnya yang mungkin kurang subur berupa pasir atau tanah berpirit, lahan tersebut menjadi mati suri. Untuk itu, diusahakan gambut jangan sampai terbakar ataupun dibakar.

1.3.4 Perbaikan sifat gambut Sifat gambut dapat diperbaiki dengan beberapa cara:

 Menambah abu (misalnya dari sekam, kayu gergaji atau gunung api) dengan takaran 3-5 ton per hektar dalam larikan.  Menambah tanah lempung dengan takaran 3-5 ton per hektar.  Mencampur lapisan gambut dengan lapisan tanah mineral yang ada di bawahnya, walaupun mengandung pirit. Hal ini dapat dilaksanakan jika gambutnya cukup dangkal dengan memanfaatkan tanah mineral yang terangkat ke permukaan tanah ketika membuat parit.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Konservasi Lahan Pasang Surut dengan Teknologi Tradisional. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Jalan Kebun Karet Lok Tabat. Warta penelitian dan pengembangan pertanian Vol. 29. No 2, 2007 Anonim. 1997. Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Djafar ZR. 1992. Potensi lahan rawa lebak untuk pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. UNSRI Palembang Muktamar Z dan T Adiprasetyo. 1993. Studi potensi lahan gambut di Provinsi Bengkulu untuk tanaman semusim. Prosiding Seminar Nasional Gambut II. Subagyo, H. dan IP. G. Widjaya-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia, kasus : Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Widjaya Adhi IPG, K Nugroho, D Ardi dan AS Karama. 1992. Sumber daya lahan rawa : Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Prosiding: Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.

Konservasi Lahan Pasang Surut


Diajukan untuk memenuhi tugas susulan praktikum lapangan mata kuliah pertanian berkelanjutan

Rezka Fradzan 150110080149

Universitas Padjadjaran Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi 2011

You might also like