You are on page 1of 19

PUISI DAN GEMA SUARA ZAMAN Tanggapan atas Inilah Pamflet Itu Hersri Setiawan 1 Oleh Yoseph Yapi

Taum
"All good poets, epic as well as lyric, compose their beautiful poems, not as works of art, but because they are inspired or possessed" (Plato, dalam Gunsaulus, 1995).

1. Pengantar Ditinjau dari sudut pandang sejarah sastra, sejak kematian Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)2, kesusastraan yang diidentikkan sebagai sastra Indonesia adalah sastra humanisme universal seperti yang dicanangkan tahun 1963 melalui deklarasi Manifes Kebudayaan. Jenis sastra inilah yang mendapat kehormatan mewakili sastra Indonesia dan disosialisasikan melalui pendidikan formal. Ada tiga ciri terpenting paham estetika unyhiversal itu (Kleden, 1987: 4-5; Taum, 2001: 49-64). Pertama, ada keyakinan bahwa estetika adalah sesuatu yang bersifat universal, sehingga tidak ada sangkut-pautnya dengan perbedaan kultural dan tingkatantingkatan sosial tertentu (sastra tidak kontekstual). Kedua, ada kepercayaan bahwa estetika itu sesuai dengan selera dan keinginan kaum elit kebudayaan. Merekalah yang memegang kunci khayangan estetika, penentu kanon sastra Indonesia. Ketiga, ada keyakinan bahwa estetika merupakan faktor yang seluruhnya otonom, tidak tunduk kepada faktor lain dan tak pernah tergantung pada kriteria luar. Ini berarti, secara etis dan politis, estetika selalu bersifat netral. Estetika sama sekali tidak mempunyai komitmen moral dan kewajiban politik. Hubungan antara sastra dan unsur-unsur kebudayaan lainnya dipandang merupakan hubungan yang kebetulan, atau kalau direncanakan, maka hal itu harus berlangsung dalam kebebasan. Ada ketakutan bahwa penggunaan estetika untuk keperluan tertentu (politik misalnya) akan dikuasai oleh kepentingan itu. Membaca secara cermat kumpulan puisi Hersri Setiawan yang disebutnya sendiri sebagai Inilah Pamflet Itu kita segera tiba pada kesimpulan bahwa puisi-puisinya memang bertolak belakang dengan mainstream estetika dunia perpuisian Indonesia (era Orde Baru) yang mendewakan model estetika universal. Puisi-puisinya berangkat dari sebuah asumsi dasar tentang estetika puisi sebagai potret dan suara zamannya. Asumsi ini terlihat jelas dalam puisinya berjudul Suara. Dapat dikatakan bahwa puisi Suara merupakan credo kepenyairan Hersri
Versi awal tulisan ini adalah sebuah makalah yang dibacakan dalam acara bedah buku Inilah Pamflet Itu karya Hersri Setiawan yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) USD dengan Yayasan Pondok Rakyat, Syarikat Indonesia, Yayasan Umar Kayam dn Komunitas NUN tanggal 23 November 2007 di Ruang Seminar LPPM USD. 2 LEKRA adalah organisasi kebudayaan yang melihat bahwa sastra, seni dan kebudayaan secara umum harus berada di depan kesadaran massa, terlibat aktif melakukan perubahan menuju pembebasan umat manusia secara keseluruhan.Sebelum tahun 1966 Lekra merupakan kekuatan raksasa dalam dinamika kesusastraan Indonesia. Serempak dengan keruntuhan Lekra, terjadi pula berbagai peristiwa politik penting, seperti runtuhnya pemerintahan Soekarno, bangkitnya kekuatan Orde Baru yang militeristis, pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan warga Indonesia, dan perubahan tata nilai dan kiblat politik ekonomi Indonesia (Taum, Yoseph Yapi, 2001. Sastra Lisan Sebagai Sumber Sastra Indonesia: Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Gatra, No 22-23 Thn. XVI/Maret September 2001: 49-64).
1

Setyawan. Jelas terungkap dalam credo itu, bahwa puisi-puisinya keluar dari jantung nurani kepenyairannya untuk mencari manusia, mencari merdeka, karena rindu akan mimpi damai yang abadi. Pandangan ini pun, sejalan dengan pendapat Plato, bahwa ketika menciptakan karyanya, sastrawan yang baik tidak berpikir bahwa mereka kan menghasilkan sebuah karya seni, melainkan karena mereka terobsesi dan terinsipirasi oleh sesuatu yang mereka dengar.
Suara kudengar suara dari jantung nuraniku mencari kata mencari bahasa mencari manusia mencari arti kudengar suara dari jantung nuraniku

mencari merdeka mencari saudara karena rindu akan mimpi damai yang abadi itu suara yang terdengar dari jantung nuraniku adalah suaraku tapi juga suaramu suara kita nyaring kumandang namun sayang jauh di cakrawala kockengen januari 1994

Dengan asumsi dasar penciptaan puisi sebagai pamflet3, puisi-puisi Hersri sungguhsungguh menjadi sebuah rekaman suasana dan suara zamannya, yang tentu memiliki komitmen moral dan kewajiban politik. Melalui puisi-puisinya, kita dibawa ke berbagai ruang dan waktu yang berbeda: mulai dari Pulau Buru, Yogyakarta, Parangtritis, Pantai Salenko, Jakarta, Vredeburg, sampai Amsterdam dan Kockengen. Kita pun diajak untuk menjumpai tokoh-tokoh sejarah seperti Suharto, Munir, Mbak Tiek, Yasser Arafat, dan Romo Mangun. Kita diajak untuk turut lebur dalam berbagai peristiwa menyakitkan seperti pembantaian anak manusia di Pulau Buru, ikut merasakan kecanggungan seorang demonstran menghadapi serdadu berbedil dan bertameng, harus tega dan rela menyaksikan orang berpostur tentara membakari gereja dan
3 Penyair Indonesia yang pertama kali mencanangkan karya-karyanya sebagai pamflet adalah WS Rendra. (Lihat Rendra, Penyair dan Kritik Sosial, 2001. Yogyakarta: Kepel Press, hlm. 8-14). Bagi Rendra, pamflet dapat saja bernilai sastra sejauh menggunakan bahasa yang lebih plastis dan pendekatan yang filosofis dan sosial. Dengan demikian puisi itu akan terhindar dari slogan retoris dan tema-tema tertentu saja.

memperkosa perempuan, dan sebagainya. Berbagai peristiwa dalam kehidupan nyata pada suatu periode kehidupan yang otentik dipotretnya secara cermat. Penekanan tidak atas objek pengamatan, tetapi terutama pada emosi tertentu yang impresionis, yaitu mencari arti. Bukan itu saja. Hersri melalui puisi-puisinya sedang melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa (Orde Baru) dan mencoba membangunkan kesadaran kita dari pembohongan dan pembodohan sejarah. Dalam konteks itulah, kita dapat saja menjumpai puisi pamflet yang beraroma kemarahan, kritik sosial yang pedas dan meletup. Tentu saja, tidak semua puisi dalam kumpulan ini hanyalah sekedar pamflet. Ada banyak puisi dalam kumpulan ini yang memiliki bobot estetika yang tinggi.4 Untuk itu, uraian ini berturut-turut akan mengungkap tematema (besar) puisi Hersri yaitu: (1) mempertanyakan makna kemerdekaan, (2) perjuangan buruh dan tani, (3) ingatan penderitaan korban G30S, (4) puisi-puisi bertema eksil, dan akan diakhiri dengan (5) puisi-puisi yang kontemplatif. 2. Kajian Tematik Puisi-puisi Hersri Setiawan 2.1 Mempertanyakan Makna Kemerdekaan Sebagai seorang intelektual dan cendekiawan yang pernah berkiprah dalam dunia pendidikan,5 kebudayaan,6 dan politik,7 perhatian Hersri terhadap dunia sosial politik tak bisa diabaikan. Sebagai seorang pemimpin pada zamannya yang pernah ikut berjuang mengisi kemerdekaan, makna kemerdekaan merupakan salah satu entitas perjuangan yang penting. Apabila negara belum mampu mewujudkan makna kemerdekaan yang otentik bagi rakyatnya, tugas penyair adalah mengingatkan dan memperjuangkannya. Puisi-puisi bertemakan Makna Kemerdekaan antara lain: Bunga Liar di Musim Semi (hlm. 1), Jakarta (hlm. 3), Demonstran (hlm. 15), Suara Jalanan (hlm. 18), Dunia Lambang (hlm. 28), Padamu Indonesia 2002 (hlm. 55), Ruh Militerisme (hlm. 124), Dada Garuda Pancasila (hlm. 129), dan Babad Tanah Jawi Episode Jaman ORBA Dua (hlm. 108). Puisi Bunga Liar di Musim Semi (hlm. 1) merupakan potret kebangkitan kekuatan rakyat (people power) yang diibaratkan sebagai merebaknya bunga liar dan burung-burung yang menyanyikan sebuah keindahan baru. Puisi ini ditulis tahun 1998, ketika rakyat Indonesia bergolak menutut lengsernya diktator Soeharto.
bunga liar bunga liar mekar lah mekar di mana-mana mekar
Apabila bobot puisi itu dimaknakan sebagaimana diungkapkan oleh Michael Riffaterre dalam Semiotics of Poetry (1978: 1-22), Bloomington: Indiana University Press, bahwa A poem says one thing and means another. Puisi selalu ditandai dengan penggunaan bahasa metaforik dan enigmatic karena maknanya dinyatakan tidak secara langsung. 5 Hersri Setiyawan pernah ikut mendirikan SMA Diponogoro Wates dan SMA PIRI II (Perguruan Islam RI) di Yogyakarta. Hersri juga menjadi dosen di Universitas Rakyat Semarang dan Akademi Jurnalistik, mengajar pada Kursus Pegawai Administrasi Tingkat A dan mengajar di sekolah-sekolah Partai. 6 Hersri pernah mendirikan organisasi pembaca sajak Himpunan Peminat Deklamasi Yogyakarta (HPDJ), kelompok diskusi sastra Lingkar Sastra, kelompok sandiwara radio Remujung Lima, serta mengasuh Lembaga Sastra Jawa. Hersri mewakili Indonesia dalam beberapa konferensi sastra dan linguistik di manca negara, antara lain di Moskow dan Kolombo. 7 Hersri pernah menjadi anggota CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), memimpin Lekra di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
4

bunga liar bunga liar ah, manusia sang raja tanganmukah segala sumber suaramukah segala nilai maka kemerdekaan ialah liar

Tumbuhnya kekuatan rakyat ini membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa. Penyair menyambut kebangkitan itu sebagai awal perubahan itu. 8
burung-burung menyanyi di udara hujan angin memandang diam bunga liar bunga merdeka itu pesan kehidupan musim-musim yang berganti itu irama kemerdekaan burung-burung yang menyanyi itu suara keindahan

Puisi Jakarta (hlm. 3) memotret suasana kehidupan di ibu kota negara ini. Apa yang diharapkan penyair soal kehidupan yang bebas dan merdeka tidak terlihat di Jakarta. Yang ada hanya kekerasan dan kegelisahan.
kosong ditelan keluasan kekerasan yang membatu sinar matahari tumpah namun hilang seluruh terang ... di sinilah mereka anak-anak hari depan di tengah hampa kekerasan memacu kegelisahan sejarah di sinilah mereka di jantung kekuasaan anak-anak haridepan mencari dan mencari hakikat kemerdekaan

Puisi Demonstran (hlm. 15) juga mengisahkan kegelisahan demonstran atas makna kemerdekaan hidup yang tidak juga kunjung tiba. Sang demonstran ingin marah dan menggugat, namun dia berhadapan dengan barikade kawat berduri dan barisan tentara dengan puluru haus darah. Menghadapi ancaman semacam itu, nyali demonstran ciut juga meski kemarahan tak bisa ditahan karena sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hal penting yang tetap harus diperjuangkan, bahkan dengan revolusi sekalipun.
di segala penjuru maut mengintai ia berhenti tubuh menggigil marah mendidih gempa langit jakarta gelombang suara
Harapan menuju kehidupan yang lebih baik itu tak kunjung tiba, karena setelah runtuhnya Orba, muncul Orba Dua (lihat puisi Babad Tanah Jawi Episode Jaman Orba Dua).
8

itu kemerdekaan itu revolusi

Puisi Suara Jalanan (hlm. 18) masih berkaitan dengan kehidupan demonstran yang jengah melihat indonesia tanah airkusekarang berubah sudahjadi rumah penjara. Para penguasa mengumbar janji reformasi, tetapi kekerasan tak juga sirna.
di belakang itu semua serdadu dan preman bayaran siap menyarangkan peluru siap menyarungkan pedang ke jantung setiap demonstran ... tak ada kata pasrah tak ada kata menyerah hidup merebut kemerdekaan hidup merebut kemanusiaan

Puisi Dunia Lambang (hlm. 28) mempertanyakan makna simbol-simbol kemerdekaan. Pertama-tama penyair mempertanyakan mengapa kupiah hitam digunakan sebagai simbol kenegaraan? Kenapa warnanya harus hitam? Kedua, nyanyian Indonesia Raya, mengapa tidak mempermasalahkan rakyat ku? Bagimana mungkin membangun negara tanpa membangun rakyatnya? Coba perhatikan:
indonesia raya merdeka merdeka tanahku negri ku yang kucinta

Pertanyaan penyair adalah:


kenapa tanah ku kenapa negri ku kemana rakyat ku? ke mana!

Puisi Dada Garuda Pancasila Sebuah Tafsir: surat untuk supardjo p.a (hlm. 129) sekali lagi berisi pertanyaan-pertanyaan yang paling menohok mempertanyakan kelima simbol dari Garuda Pancasila: bintang, rantai, pohon beringin, banteng, padi dan kapas. Di mata penyair, simbol-simbol ini ternyata memiliki makna yang mengerikan.
satu: ketuhanan yang berbintang maka kami mengangkat satu tekad: cabut dwifungsi abri! dua: kemanusiaan yang dirantai maka kami mengangkat satu tekad: akhiri penindasan hak asasi!/ tiga: persatuan di bawah pohon beringin maka kami serukan suara rakyat: bubarkan golkar dan kuningisasi empat: kerakyatan yang dipimpin oleh kebo maka kami serukan suara rakyat: kembalikan kedaulatan milik kami

lima: keadilan sosial di kuburan maka kami teruskan perjuangan: membangun demokrasi ekonomi

Puisi Padamu Indonesia 2002 (hlm. 55) merupakan sebuah puisi lirik yang mencoba menyuarakan penderitaan rakyat. Diawali dengan syair lagu Kulihat Ibu Pertiwi sebagai prolog, puisi dilanjutkan dengan deskripsi yang menggambarkan bahwa kini ibu sedang laramerintih dan berdoa. Bahwa penyair pun turut merasakan keduka-laraan ibu pertiwi.
sepanjang langkah jalan kemerdekaan selalu bersimbah air mata dan darah penggal-penggal kisah kepahlawanan ,setengah abad lewat yang belum sudah

Meskipun rakyat kecil selalu ditindas, mereka tetap merayakan pesta hari kemerdekaan, tanpa mengetahui substansi kemerdekaan itu. Kemerdekaan hanyalah pesta norak kampungan dengan kesenian khas kampung.
kaum kecil norak kampungan berpesta ria agustusan di lapangan berebut kemenangan dalam kemiskinan kemerdekaan ialah tingkah lincah reyog dan jathilan kemerdekaan ialah lambaian hadiah bergelantungan dari transistor singlet dan kaos oblong dari kompor sarung dan mobil mainan di pucuk batang pinang berlumur paselin iming-iming cita-cita menjadi kenyataan

Dalam kegundahannya menyaksikan kepolosan rakyat memaknai kemerdekaan, penyair pun mengaduh pada dua sastrawan besar: Chairil Anwar dan Toto Sudarto Bachtiar. Kepada Chairil Anwar, pernyair yang serius mempertanyakan makna kemerdekaan, penyair memintanya untuk bertanya pada jazad korban-korban pembantaian.
tidak, chairil anwar carilah jawabmu pada jasad meihwa yang terkapar jangan di m-p-r d-p-r dan kejaksaan agung sekali pun! ya, untuk apa?

Kepada Toto Sudarto Bachtiar, penyair kerakyatan yang selalu membela kepentingan rakyat jelata, penyair pun meminta hal yang sama.
tidak, toto bachtiar carilah terangmu dari ruh marsinah yang tersia jangan di m-p-r d-p-r dan kejaksaan agung sekali pun! ya, itu bagaimana?

Puisi indah ini pun diakhiri dengan epilog syair lagu Kulihat Ibu Pertiwi pada bait kedua dan ketiga.

Puisi Ruh Militerisme (hlm. 124) sebenarnya dapat pula digolongkan ke dalam puisi-puisi ingatan penderitaan Tragedi 1965. Puisi yang ditulis tahun 2004 di Kockengen ini merupakan reaksi penyair atas instruksi jurkam pemilu kita di negeri keju.9 Kampanye pemilu itu membangkitkan ingatan kelam penyair akan pembunuhan yang nyaris dialaminya. Yang dirasakannya saat itu adalah semangat militerisme yang menakutkan.
sejarah teror kembali terbayang sayup-sayup gelegar mesiu menggetar tanah dor-doran, apapun dalihnya, merampas kedamaian pembunuhan, apapun dalihnya, menumpas kehidupan .. penumpasan, apa pun dalihnya, membunuh kemerdekaan apa gerangan hendak saudara cari, hai!

Renungan lebih jauh mengenai makna kemerdekaan di era reformasi tertuang dalam puisi panjang (10 halaman) berjudul Babad Tanah Jawi Episode Jaman ORBA Dua (hlm. 108). Renungan ini diawali dengan deskripsi yang cermat tentang kejatuhan Suharto yang disebut dalam puisi ini sebagai sang maharaja buaya jawa-- pada 20 Mei 1998, tentang sebab-sebab kejatuhannya, yaitu saking sesak-jenuhnya dadasaking tegang-pusingnya kepalasepanjang tiga puluh tahun lebih. Kejatuhan Suharto pun disambut euforia, tari dan nyanyi di segenap penjuru kota. Semua orang senang, termasuk centeng-centeng dan preman-preman. Akan tetapi, persoalannya adalah: benarkah kemerdekaan, keamanan, kedamaian itu datang ke muka bumi Indonesia? Apa yang disaksikannya adalah sebuah ironi yang menyakitkan.
hai, penindasan hai, perkosaan hai, pelaparan di jalanan kota barisan demo membahana demokrasi! reformasi! ...

Sementara orang-orang lapar tetap terkapar...orang-orang besar dan pintarberebut tampil sebagai pendekar...dan akar rumput tetap menjadi korban. Penyair sampai pada kesimpulan: orba dua dan orba satu sama saja. Tak ada kemerdekaan hakiki, tak ada issu-issu kemanusiaan ditangani dengan serius. Bahkan pembunuhan masih terus berlangsung.
komunis! cina! gam! ?! mati! mati! mati! atas nama bangsa dan negara
Kita tidak tahu persis apa isi instruksi tersebut, tetapi tentu sebuah ajakan jurkam untuk memilih partai tertentu. Saya menduga ajakan itu berasal dari salah satu partai pendukung Orde Baru.
9

atas nama agama dan pancasila darah mengalir di lampung dan papua sampai di timor leste dan tanah rencong di tanjung priok dan semanggi sampai atmajaya dan trisakti ambon dan entah mana lagi!

2.2 Puisi-puisi Perjuangan Buruh dan Tani Tema perjuangan buruh dan tani secara sporadis tersebar dalam puisi-puisi Hersri. Secara khusus terdapat 4 puisi yang menyoroti perjuangan tersebut, yakni: Kenang-kenanglah Kami (hlm. 49), Suara Jalanan (hlm. 18), Padamu Indonesia 2002 (hlm. 55), Ruh Militerisme (hlm. 124), dan Malam Penyair (hlm. 52). Puisi Kenang-kenanglah Kami (hlm. 49) dimaksudkan penyair sebagai versi 98 Krawang Bekasi Chairil Anwar. Jika yang terbaring dalam puisi Chairil Anwar adalah para pahlawan yang tidak sempat mengisi dan menikmati kemerdekaan, maka dalam puisi Hersri, yang terbaring di seluruh penjuru tanah air adalah kaum buruh dan tani yang terbungkam.
Kami yang kini terbaring di seluruh penjuru tanah air Tidak bisa bicara sepatah lagi tentang kehormatan, upah dan tanah ... Tidak.Tidak bisa lagi kami sekarang bicara tentang perjuangan dan tentang kemerdekaan tentang cinta kasih dan tentang harapan Tapi siapakah yang mendengar kisah kami terbayang kami meronta tak berdaya? Kenang kenanglah kami Kami sudah coba bertahan, tapi sia sia kami sudah buat segala yang kami bisa Tapi kisah belum sudah, belum apa apa Kami sudah jatuh menjadi kurban sudah dirampas kami punya jiwa

Meskipun sudah hilang harapan, penyair masih mengharapkan kita untuk kenang, kenanglah kamiBeri, beri kami arti! Obsesi mengenai perjuangan buruh dan petani yang tak pernah surut menuntut haknya yang paling primer senantiasa muncul ketika penyair ingin menggambarkan sebuah proses perjuangan. Dalam puisi Suara Jalanan (hlm. 18), penyair mendeskripsikan perjuangan manusia di ibu kota menghadapi tirani kekuasaan. Tak ada jalan lain kecuali terus maju dan merebut kemerdekaan itu.
kuikuti setiap langkah seperti buruh menuntut upah seperti petani lapar tanah sehingga kabur bayangan takut kumasuki medan pertaruhan antara mati dan hidup ..

ibu kota bagai gerbang besi benteng kekuasaan berkarat tak akan runtuh karena gema bahana lagu maju tak gentar

Inspirasi dari perjuangan buruh dan tani sebagai korban eksploitasi muncul dalam Puisi Malam Penyair (hlm. 52). Agaknya yang dimaksudkan dengan malam penyair adalah renungan penyair terhadap kehidupan itu sendiri yang tidak juga mencerahkan. Gambaran yang ada di benak penyair hanyalah sebuah kehidupan yang sesak dan sumpek, dari awal hingga akhir.
malam penyair bermula mulai pagi hari menyingsing ketika ayam jantan berkokok petani mandi keringat di sawah seruling pabrik memanggil buruh serdadu-serdadu berolah raga malam penyair bermula ketika mobil-mobil macet para pembesar membaca koran malam penyair bermula ketika udara terasa sesak oleh asap berapi dan bau mesiu

Perjuangan kelas buruh dan tani untuk mendapatkan tingkat kehidupan yang lebih baik selalu harus berhadapan vis a vis dengan roh militerisme di tanah air. Dalam puisi Ruh Militerisme (hlm. 124), paradoks perjuangan buruh tani dan perjuangan orang-orang politik (jurkam) yang militeristik tidak menemukan titik singgung. Karena yang dicari oleh politik militeristik dengan dor-doran, pembunuhan dan pemaksaan adalah sesuatu yang jauh bertentangan dengan perjuangan buruh tani.
sejarah jaman teror kembali terbayang sayup-sayup gelegar mesiu menggetar tanah ... sejarah jaman pembunuhan kembali terbayang sayup-sayup langkah petani dari sawah ladang ketika air mata menetes dari sela-sela gerigi garu ketika darah hitam menetes dari lumpur mata bajak wahai, saudara jurkam apa gerangan hendak saudara cari?

2.3 Ingatan Penderitaan Kolektif G30S Sebagai korban politik Orde Baru yang mengalami perlakuan yang sangat kejam dan tidak adil sebagai ekses Tragedi 1965, penyair tak mampu menyembunyikan rasa kecewa yang mendalam. Tema ingatan penderitaan (memoria passionis) merupakan sebuah tema yang cukup menonjol dalam kumpulan Inilah Pamflet Itu. Perhatikan penggambarannya yang impresionis atas peristiwa pembantaian sahabatnya di Pulau Buru tahun 1976 dalam puisi Kompas. Peristiwa yang sangat menusuk perasaannya ini pulalah yang menjadi pemicu kreativitas kepenyairan Hersri. Puisi ini diberi pengantar yang 9

menjelaskan secara mendetail proses kematian Munajid (28 tahun), seorang tapol di Unit XV Indrapura Pulau Buru. Munajid tertangkap basah pada saat istirahat siang menyelinap ke belakang gudang hanya untuk membaca sobekan harian Kompas.
Kompas In Memoriam Munajid dia yang kemudian terbaring dengan tangan terikat dan geraham terkunci tidak lebih dari seorang bandit ketika ia diseret ke depan penguasa di bumi dengan dada telanjang tidak lebih dari bertaruh mati karena dia anak dewasa anak dewasa di depan altar peradilan ia disiksa bukan diperiksa ia diperkosa bukan ditanya bisa apa dia selain bertahan di dalam mulut terkatup sobekan koran dia telan maka duri-duri ekor pari melecut merobek tubuh darah mengucur bisa apa dia selain bertahan dan berkata sepatah aku anak dewasa yang berjanji berani mengangkat sumpah ekor ikan pari gagang karaben cincin listrik gilir berganti dan ia rebah ujung telunjukmu bergetar

10

terbayang menuding udara bersama suaramu penghabisan: aku anak kemenangan anak kemenangan dia sudah bertahan dia sudah berlawan kemudian dia rebah ada kompas dalam nafas gulung bergulung dalam kubur ada amanat dalam maut kumandang nyaring dari kubur unit xv indrapura: 1976

Selain Kompas, puisi-puisi bertema ingatan penderitaan antara lain: Pantai Salenko, (hlm. 4), Dialog (Hlm. 21), In Memoriam Rejim Orde Baru 2 (hlm. 39), Macapat Baru II (hlm. 25), Karangan Tak Bernama (hlm. 31), Vredeburg 2 (hlm. 64), dan Korban (hlm. 83). Ingatan tentang kehidupan di Pulau Buru senantiasa menghantui perjalanan hidup penyair. Di pantai Sanleko, bayangan traumatis sejarah kelam itu mencuat kembali dan meneteskan air mata, air mata penderitaan dan penyesalan sekaligus.10
Pantai Sanleko aku mencium angin pantai asin laut berdebur mengusap bibir getaran sepi melimbur datang bersama gelombang bergulung bayangan seragam loreng mata tentara dendam kesumat bayangan gagang karaben bersambaran di atas kepala oleh rasa sendiri basah tampuk mataku dua puluh tahun lalu delapan ratus lima puluh tapol-tapol tak berdaya merangkak di panasnya pasir Cukup banyak puisi Hersri yang bertutur tentang tetesan air mata. Karena itu, saya dapat memastikan bahwa Hersri sesungguhnya seorang penyair berhati lembut.
10

11

masing-masing hanya bisa mencoba bertahan angka-angka nomor deportasi hitam di dada dan pantat seragam seperti komunis-komunis dan yahudi musuh-musuh hitler yang harus mati tangan-tangan dan kaki-kaki kurus melindungi dada dan kepala mereka dari sambaran gagang-gagang karaben kenangan dua puluh tahun kembali mengalir bersama tetes air mata

Air mata penderitaan itu menetes kembali dalam Dialog yang dilakukan penulis (ego) terhadap dirinya sendiri (alter ego), semacam soliloqui.
itu jeritan tua yang kembali kumandang di dada aku dilimpur pasang gelora mataku basah bibirku tersipu lidahku tertegun jariku bergetar ... kudengar bumi bicara kudengar langit bicara dari dasar hati dan aku merasa telah menjawabnya

Dalam In Memoriam Rejim Orde Baru 2 (nyanyian untuk maharaja $uharto), penyair tak mampu menumpahkan kegeramannya. Khusus untuk puisi Kompas dan In Memoriam Rejim Orde Baru 2, penyair memberikan kata pengantar tentang siapa yang harus bertanggung jawab terhadap segala macam penculikan-penyiksaan-pembunuhan gila-gilaan yang dilakukan centengcenteng Suharto. Suharto itu sendirilah, seperti tertuang dalam Suharto Otobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Kata penyair: Tidak perlu dibaca semua [muak untuk itu!], cukup beberapa kalimat yang menyangkut perihal Petrus. Ternyata Petrus dirancang oleh Suharto untuk membuat schock therapy (terapi goncangan). Puisi In Memoriam Rejim Orde Baru 2 (nyanyian untuk maharaja $uharto) merupakan puisi Hersri terpanjang, yang terbagi dalam 7 buah episode. Episode 1 mengisahkan bagaimana orde baru dibangun oleh barisan serdadu haus darah sekaligus mengumandangkan kominis hantu dajaldan itu suara pedang kabir berganda sakti.Episode 2 mengisahkan metode pembangunan orde baru yang masih dipayungi intimidasi bayangan palapa duadan permadani poster-poster porno tergelar. Dalam fase ini ada korban. dan mengapa ada pastor berdiri di kedungombodan karena upah kerja marsinah harus mati. Episode 3 menggambarkan hiruk pikuk nyanyian Indonesia Raya dan pembunuhan besarbesaran. Anehnya semua diam kelu. lalu semua diam kelumana aidit lukman nyotomana 12

tiongjing mana nio. Buku-buku terlarang dibakar. Monopoli dalam genggaman. Rakyat dininabobokan, sementara borgol ganas terus mengintai rakyat. la lela lela ledhungcep menenga cep menenga ada borgol setan subversiganas bagai setan banaspatitapi jiwa siapa bisa didhadhung Episode 4 mengingatkan bagaimana 20 tahun sejarah Indonesia dikatakan sebagai hikayat orde lama yang musti dibersihken dengan cara apa pun. Pembersihan inilah klimaks mala petaka bangsa. Orde Baru bersorak sorai: sukarno gestapu agunghartini lonte agunggerwani lonte pe-ka-iaidit kerak neraka. Penumpasan komunis dilakukan secara massal. Apalagi ada fatwa darah komunis halal tumpah... dua kali kaum komunis dibikin tumbal. Episode 5 berisi tembang Jawa...11 yang barangkali menyayangkan perilaku angkara murka orde baru yang: berdarah-darah. Bagaimana garuda orde baru menyebar berita: klenteng cina, gudang cung, rumah cina...bakar bakar bakar! Ketika orde baru menyebar berita pe-ka-i malam meracun sumurmaka benteng penghabisan gestapu-sukarnodigempur habis balatentara langit. Konon, balatentara langit adalah sebutan untuk rpkad (kopassus sekarang). Episode 6 membeberkan keberhasilan imperium orde baru di atas lahan telaga darah dan luhberlapis tap-tap mprs ala kkn....dan mencapai kegemilangan hore swasembada beras ... swasembada kondom: hore. Episode 7 hanya terdiri dari tiga baris singkat sebagai penutup lagu bagi regim sang raja (Suharto). Pengalaman penderitaan yang amat sangat mendalam membuat penyair senantiasa terhantui, sekalipun dia sudah mengembara di negeri asing. Dalam Macapat Baru 2: sketsa hati perantau megat ruh (hlm. 25) terungkap bayangan itu dan bagaimana penyair mengambil sikap terhadapnya.
kapan saja aku berhentimengembara sejauh cakrawala kapan saja aku terdiamgemuruh dada bagai samodra barangkali tidak seorangbisa melihattapi apa peduli akuhidup itu memang sendiri...

Dalam kesendirian pengembaraan itulah penyair ingin berdiam dan berbicara, mungkin melalui puisi-puisinya.
maka aku sekarang berhentibiar leluasa mengembaramaka aku sekarang diambiar leluasa berbicara

Dalam puisi Karangan Tak Bernama: kepada kurban kezaliman Maharaja Imperium Jawa Baru (hlm. 31), kenangan penderitaan itu justru semakin menghentak kesadaran hati penyair. Arwah sahabat-sahabatnya yang telah menjadi korban kezaliman di masa lampau senantiasa terbayang, seperti memintanya untuk bersuara.
bertahun tahun sudah berlalu dan berlalu peristiwa demi peristiwa berulang ulang sudah selalu dan selalu aku tunduk mengenangmumenatap tanah menatap tanahseperti juga sekarang kuhadirkan arwahmu di antara kita ...
Pada saat menulis makalah ini, saya tidak berhasil menemukan orang yang tepat menerjemahkan dan menafsirkan isi tembang-tembang Jawa beserta simbol-simbolnya.
11

13

kuhadirkan tubuhmu dalam angan-angan timbun bertimbun tak terhitung kuhadirkan bayangan dan coba hitung berapa lubang peluru di dahi, dada atau tubuh seluruh

Dalam pertemuan bayangan yang ghaib itu, penyair mendoakan arwah mereka dan berjanji meneruskan perjuangan mereka.
terbanglah engkau dalam bayangan hilanglah engkau dalam keanggengan tinggalkanlah gelanggang persabunganmu di bumi.. kami para penerusmu tunduk menatap tanah menatap tanah meneguhkan janji meneguhkan janji

Puisi Vredeburg 2 (hlm. 64) mengungkapkan secara lugas pengalaman penyair sebagai salah satu tapol, ibarat bidak-bidak di atas papan catur yang siap dipermainkan siapa saja. Yang dilihat dan didengar hanyalah ancaman dan peringatan yang menebar kebencian. Betapa kehidupan ini sebuah permainan catur yang tidak elegan. Dalam kegamangan seperti itu, penyair yang memiliki semangat dan optimisme tinggi ini toh masih bermimpi akan datangnya sebuah perdamaian di muka bumi.
jika malam hari turunburung-burung terbang meninggalkan kotamenunggu fajar datang diamdiammembawa sebaris cahaya putih

Puisi Korban (hlm. 83) mengingatkan kepada kita betapa banyak korban yang berjatuhan. Di alam baka, korban-korban ini sulit mengenali jasadnya dan jasadnya pun tidak dapat lagi mengenal arwahnya.
terhampar jasad-jasad di tanah terbang arwahnya entah di mana mengembaramencari di mana kekasih mereka termangu turun kembali jika bisamerasuk dalam hamparan jasad yang telah berserakan entah di mana hancur arwah itu tak tahu lagi di mana jasad mereka jasad itu tak tahu lagi yang mana arwah mereka

Demikianlah, penderitaan yang amat sangat yang sudah dialami, dirasakan, dilihat, dan dijalani penyair tak mungkin terpisahkan lagi. Bukan Hersri Setiawan jika karya-karyanya tidak menyuarakan penderitaan batin dan pergumulan fisik akibat Tragedi 1965 itu.

14

2.4 Puisi-puisi Eksil Yang dimaksudkan dengan Sastra Eksil12 adalah sastra yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri. Perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan alasan utama terjadinya pembuangan politik tersebut. Hampir semua puisi dalam kumpulan ini ditulis penyair di Kockengen, negeri Belanda. Sebanyak 21 (33%) puisi diberi sub-judul dari tanah persinggahan, yang jelas-jelas mengacu pada ruang dan suasana eksilan. Dapat dikatakan bahwa puisi-puisi Hersri merupakan renungan seorang eksilan. Akan tetapi, puisi-puisi bertema eksil antara lain: Sajak Ulang Tahun (hlm. 6), Amsterdam CS (hlm. 8), Kenang-kenanglah Kami (hlm. 49), Pagi Terakhir di Kockengen (hlm. 68), Kata-kata Patah (hlm. 69), Bayangan Rasa (hlm. 70), Tanpa Suara (hlm. 76), Fatamorgana Musafir (hlm. 81). Dalam Sajak Ulang Tahun (hlm. 6), penyair merefleksikan perjalanan hidupnya sampai di sebuah negeri asing yang membeku dingin. Mengenai siapakah dirinya, penyair berkata: ...aku lahir dari batutumbuh oleh siraman embundan besar demi tamparan angin...walau tanpa nama dan hariwalau tanpa sapa dan hatiaku tahu jalan sendiriberjuang merebut hati. Pengalaman pahit di negeri sendiri dan pengalaman menjadi orang di negeri asing membuat penyair merasa tanpa sapa tanpa hati. Puisi Amsterdam CS (hlm. 8) mencoba memotret suasana di stasiun kota Amsterdam: ruang-ruang besar, loket dan pertokoan, dan orang-orang putih hitam coklat kuning pendek tinggi kurus besar laki perempuan bayi nenek kakek yang bersimpang siur mencari apa. Berbagai tingkah laku manusia dan hewan dipotret dengan detil yang teliti. Di antara orangorang asing itulah, penyair menyadari keterasingannya di antara mereka. Di saat inilah rasa rindu penyair justru tertuju ke negerinya sendiri.
di antara mereka aku berdiri bayangan anganku melayang ke jakarta hanyut dalam arus gelisah waktu ruang kemungkinan

Puisi Kenang-kenanglah Kami (hlm. 49) memang berbicara tentang perjuangan kaum buruh dan tani di seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, puisi ini ditulis dalam suasana eksil di jantung kota Amsterdam sebagai pengarang anonim.
Kami bicara padamu di ujung malam di jantung amsterdam sekarang ini Di tengah denyut hidup dan gelora semangat kami mati dalam perkosa dan tinggal menjadi kisah tentang serpihan tulang-tulang mengarang tanpa nama

Mati dalam perkosa merupakan sebuah gambaran yang paling mengenaskan dalam kehidupan kaum eksilan. Kalaupun mereka mencoba menjadi sastrawan, karya-karya mereka pun tidak
lihat Saut Situmorang, 2003, Sastra Eksil, Sastra Rantau. Komaruddin, 2003, Dapatkah Sastra Eksil Berbicara? dalam Kompas, 25 Mei 2003.
12

15

mendapat apresiasi sewajarnya. Puisi Pagi Terakhir di Kockengen (hlm. 68), Kata-kata Patah (hlm. 69), Bayangan Rasa (hlm. 70) dan Tanpa Suara (hlm. 76) mengisahkan perjalanan pulang seorang eksilan ke tanah kelahirannya, persahabatannya dengan orang-orang Belanda, dan rasa rindunya yang menghentak setelah 30 hari meninggalkan Belanda. Penyair merindukan ...dentang lonceng gerejakockengen menyosong hari... dan semua kenangan itu disimpannya karena di nafasku mengalirtiga patah kata ruth havelaarcinta, air mata, harapan. Puisi Fatamorgana Musafir (hlm. 81) berisi sikap dan pilihan tegas penyair untuk pulang ke tanah air meskipun kondisi bangsa ini masih jauh dari harapan. Pembantaian dan pembunuhan anak manusia masih juga berlangsung, namun rasa kebangsaan penyair menuntunnya untuk pulang.
aku mimpi dalam kembara melanglang hijau zamrud katulistiwa tapi betapa lacur mimpiku! angin yang dari padang rumput masih juga datang bersama bau anyir dada yang terbuka dan tubuh telanjang.. .dan darah yang tertumpah dari tanah persinggahan, namun aku tetap akan kembali, zamrudku karena hanya bagimuaku berserah

2.5 Puisi-puisi Kontemplatif Yang dimaksudkan dengan puisi-puisi kontemplatif adalah puisi-puisi yang keluar dari jiwa penyair sebagai hasil kontemplasi yang mendalam atas kehidupan yang dilihat atau dialaminya sendiri. Apa yang diungkapkannya tidak saja merupakan sebuah kebenaran universal tetapi lebih dari itu memberikan harapan baru dan optimisme ke depan. Pada fase inilah Hersri menunjukkan kematangannya sebagai seorang penyair. Cukup banyak puisi dalam kumpulan ini yang dapat dikategortikan sebagai puisi-puisi kontemplatif. Akan tetapi, ada 10 puisi yang sangat menonjol unsur kontemplatifnya, yaitu: Sajak Ulang Tahun, Macapat Baru (Pertemuan dengan Istri) (hlm. 23-24), Malam Penyair, Musim Gugur, Tsunami 2, Pagi Terakhir di Kockengen, Tanpa Suara, Munir, Mbak Tiek Mbakyuku, dan Pemburu Matahari. Sajak kontemplatif pertama Sajak Ulang Tahun (hlm. 6) ditulis untuk mengenang hari ulang tahun, yang ditulis tahun 1998. Ulang tahun biasanya menjadi momentum bagi seseorang merefleksikan siapakah dirinya dan kemanakah tujuan hidupnya. Dalam permenungan jiwa ini, penyair merasa dirinya begitu kecil dan fana dibandingkan dengan benda-benda langit yang besar dan baka.
jangan tanya siapa aku... tataplah benda-benda di langit matahari di siang hari dan bulan bintang di malam hari semua beredar pada janji sendiri

Kalaupun penyair harus juga merefleksikan asal-usul dan tujuan yang hendak dicapai dalam

16

hidupnya, kita hanya mendapatkan penjelasan keras (karena aku lahir dari batu) sebagai berikut.
jangan tanya kapan hariku karena aku lahir dari batu tumbuh oleh siraman embun dan besar demi tamparan angin

Perjalanan hidup penyair yang melewati berbagai peristiwa yang menyakitkan dan menusuk perasaan membuatnya berkesimpulan bahwa dirinya sesungguhnya anonim (no bodys man). Dirinya telah dipaksa oleh keadaan untuk menyia-nyiakan hidup ini, tetapi dia tetap akan berjuang merebut kembali makna hidupnya, menjadi berarti dalam hidup. Sekalipun hidup dirasakannya begitu berat membeban (aku lahir dari batu), puisi ini tetap memberikan harapan dan optimisme.
walau tanpa nama dan hari walau tanpa sapa dan hati aku tahu jalan sendiri berjuang merebut hari

Dalam puisi Macapat Baru 1: Pertemuan dengan Istri (hlm. 23-24), penyair mengenang sang istri, yang kini hanya ada dalam bayangannya. Kehadiran sang istri di masa lalu telah memberi kekuatan yang tak terhingga untuk mengatasi kekejaman zaman.
ada kenangan yang tak kembali ketika ancaman jadi membangkitkanketika kesulitan jadi menguatkan ketika air dan api saling menghidupi ketika semua dalam satu satu nafas satu kata satu perbuatan o, alangkah luas jika itu rentang panoramatanpa ujung dan tepi o, alangkah indah jika itu rentang waktu tanpa putus dan mati di sana rindu dan harapan tumbuh bagai tunas-tunas yang selalu hijau

Puisi ini menunjukkan betapa pentingnya kehadiran dan peran seorang istri. Pertemuan bayangan ini menumbuhkan rasa rindu dan harapan, sebuah optimisme baru bagi kehidupannya, tumbuh bagai tunas-tunasyang selalu hijau. Puisi Tsunami 2 (hlm. 67), Pagi Terakhir di Kockengen (hlm. 68), Tanpa Suara (hlm. 76), Munir in Memoriam (77) dan Mbak Tiek, Mbakyuku (79) mendeskripsikan suasana duka dan derita yang dirasakan anak-anak manusia. Dalam Tsunami 2, dahsyatnya duka cita dan kematian masih tetap membayangkan harapan.
tabir malam turun tiba-tiba menebar dahsyat kaca duka hitam semua hitam luluh dalam air dan angin... bisu semua bisu jasad-jasad yang hancur

17

bayangan hidup berkelibat di balik horison jauh

Puisi Pagi Terakhir di Kockengen merekam momentum perpisahan penyair dengan Kockengen, sebuah kampung di Belanda. Penyair mengibaratkan dirinya sebagai seekor burung yang bersiap terbang kembali ke Indonesia. Sekalipun di bumi Indonesia ini penyair melewatkan masa lalu yang buram, dia tetap optimis.
seekor burung mengebas sayap di balik reranting pepohonan meranggas diterpa musim dingin lalu terbang tanpa suara lepas menuju langit timur arah sarang matahari.... di sana suatu masa akan datang ketika rerumputpun berbunga-bunga

Puisi Tanpa Suara (untuk desaku kockengen yang akan kutinggalkan) (hlm. 76) merupakan rekaman suasana menjelang kepulangan penyair ke Indonesia. Suasana itu terasa dingin membeku, pepohonan meranggas, awan kelabu. Di tengah suasana muram tersebut, penyair seolah muncul sebagai seekor burung kolibri yang siap menembus dingin.
di nafas udara beku ada seekor burung kolibri melompat-lompat di reranting suaranya bening menembus dingin

Puisi berjudul Munir in Memoriam (hlm. 77-78) berisi hasil kontemplasi penyair yang begitu bening tentang kematian Munir yang misterius. Tidak ada nada geram dan protes yang panas. Sebagaimana puisi-puisi kontemplatif Hersri lainnya, puisi ini pun menawarkan optimisme baru dalam peziarahan hidup manusia di muka bumi.
munir sepatah nama Cuma lambang keikhlasan peziarah seorang Anak kepada Ibunya munir sepatah nama Cuma apakah engkau pergi dengan damai? entalah damai atau apa jua pun tapi telah kau tinggalkan api ziarahmu.... Munir ziarahmu ziarah kami ziarahmu ziarah kita ziarah Kemanusiaan

Puisi in memoriam lainnya yang kontemplatif dan sangat menyentuh perasaan berjudul Mbak Tiek, Mbakyuku (in memoriam: 29 Mei 2004) (hlm. 79-80). Kematian Mbak Tiek di Minuendo diekspresikan sebagai lagu hidupmu yang penghabisan, yang kau bawa hilang bersama suara nafasmu. Kematian itu diilustrasikan sebagai sebuah proses perjalanan spiritual menuju sebuah kehidupan baru yang lebih indah.
di timur sinar matari sebentar terbit mengantar segala pertanda hidup baru kicau burung yang nyaring

18

azan subuh yang hening tangis bayi yang bening bidari siapakah yang menjemputmu membuka pintu kamarmu yang terakhir tanpa sapa tanpa suara mbak tiek ,beristirahatlah dalam damai sedamai ketika engkau pergi

3. Penutup Kumpulan puisi Inilah Pamflet Itu karya Hersri Setyawan beranjak dari sebuah konsep dan sikap estetis yang berbeda dari konsep dan sikap estetis elit kebudayaan Orde Baru. Baginya, puisi harus memiliki komitmen moral dan kewajiban politik. Hanya dengan demikian, puisipuisinya benar-benar menjadi potret dan suara sebuah zaman. Sebagai seorang mantan tapol Pulau Buru, yang bersimpati pada perjuangan buruh-tani dan mengalami berbagai tekanan fisik dan kekerasan psikologis, puisi-puisi Hersri tidak dapat dilepaskan dari ungkapan-ungkapan kecewa, marah, geram dan gugatan terhadap rezim yang telah dan masih menzalimi mereka. Pada Hersri, hal-hal itu diekspresikan mulai dari bahasa yang lugas sampai bahasa-bahasa yang metaforis dan kontemplatif. Di puncak permenungannya, ungkapan-ungkapan Hersri bahkan lebih banyak ditunjukkan secara lembut melalui tetes-tetes air mata kedukaan sekalipun dia tetap menawarkan . Di atas segala-galanya, rasa kebangsaan dan cinta tanah air penyair tak pernah hilang tergerus kekecewaan. Pada titik inilah kita selalu dapat menangkap optimisme dalam puisi-puisi Hersri. Dapat dikatakan bahwa sebagai penyair, Hersri menawarkan sebuah genre baru dalam hal bentuk maupun isi puisi. Melalui visi yang lebih jelas tentang estetika, potret dan suara yang dihasilkannya benar-benar potret dan suara kelam zaman ini. Daftar Acuan Gunsaulus, Frank W., 1995. Christ in Poetry dalam The Biblical World, Vol. 6, No. 6, (Dec., 1995), pp. 504-517 Chicago: The University of Chicago Press. Stable URL: http:www.jstor.org/stable/3140200 Accessed: 23/06/2008 01:45 Kleden, Ignas, 1987. Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan dalam Prisma Nomor 5 Tahun XVI - 1987. Rendra, W.W., 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press. Riffaterre, Michael, 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press. Taum, Yoseph Yapi, 2001. Sastra Lisan Sebagai Sumber Sastra Indonesia: Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Gatra, No 22-23 Thn. XVI/Maret September 2001: 49-64).

19

You might also like