You are on page 1of 35

P U T U S A N Nmor 444 PK/Pdt/2007

DEMI KE ADILAN BERDAS ARK AN KETUHANAN YANG MAHA ES A MAHKAMAH AGUNG

memeriksa perkara perdata dalam peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara : PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA), berkedudukan di Jalan Medan

Merdeka Timur Nomor 1, Jakarta 10110, dalam hal ini memberi kuasa kepada Patuan Sinaga, SH. MH. dkk., Advokat, berkantor di Gedung Wisma Dharmala Sakti lantai 5, Jalan Jenderal Sudirman, Kavling 76-78, Jakarta Pusat 10220 ; Pemohon Peninjauan Kembali dahulu selaku Terbanding / Penggugat ; MELAWAN 1. KARAHA BODAS COMPANY L.L.C., beralamat di jalan T.B. Simatupang Kav. 10, Jakarta 12310, sekarang memiliki kantor di c/o Java Geothermal, L.L.C, 565 Fifth Avenue 29th Floor, New York 10017, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Rambun Tjajo, SH., Sarah Natalia, SH., dan Perry Cornelius, SH., Advokat, berkantor di Graha Niaga, Lantai 2, Jalan Jenderal Sudirman, Kaveling 58, Jakarta 12190 ; Termohon Peninjauan Kembali dahulu selaku

Pembanding / Tergugat ; DAN 2. PT. PLN (Persero), berkedudukan di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160 ; Turut Termohon Peninjauan Kembali dahulu selaku Turut Terbanding / Turut Tergugat ; Mahkamah Agung tersebut ; Menimbang bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding/Penggugat telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung No.

01/Banding/Wasit-Int/2002 tanggal 08 Maret 2004 yang telah berkekuatan

Hal. 1 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pembanding/Tergugat dengan posita perkara sebagai berikut ; bahwa Tergugat sedang berusaha melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional yang telah di putus di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000, berdasarkan ketentuan arbitrase Uncitral, yang telah menghukum Penggugat untuk membayar kepada Tergugat ganti rugi sejumlah US$ 266.166.654 berikut 4% setahun, Bukti P-1, antara lain dengan memblokir aset-aset yang menurut Tergugat menjadi milik dari Penggugat yang terletak dalam wilayah Amerika Serikat ; bahwa terhadap tindakan Tergugat berupa pemblokiran rekeningrekening di Amerika Serikat tersebut, Penggugat sangat keberatan oleh karena Putusan Arbitrase tersebut melanggar ketentuan Konvensi New York dan Undang-Undang Arbitrase Indonesia Tahun 1999 No. 30, maka melalui gugatan ini, Penggugat mengajukan gugatan pembatalan terhadap Keputusan Arbitrase Internasional bersangkutan ; bahwa sebelum mengajukan gugatan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase asing tersebut di atas, Penggugat sesuai dengan Pasal 67 (1) UU RI No. 30/1999 telah menyerahkan dan mendaftarkan asli Putusan Arbitrase tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Maret 2002, sehingga gugatan pembatalan ini telah diajukan masih dalam batas waktu 30 hari setelah penyerahan dan pendaftaran Putusan Arbitrase tersebut

sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 71 UU No. 30/1999 ; bahwa adapun Putusan Arbitrase Jenewa ini timbul dari sengketa yang muncul dari penangguhan pelaksanaan dua kontrak/perjanjian yang pada tanggal 28 November 1994 : Bukti P-2 : Perjanjian Kerja Sama (Joint Operation Contract) antara dibuat

Penggugat dengan Tergugat juga disebut JOC yang menentukan bahwa Penggugat bertanggung jawab untuk pengurusan operasi di bidang geothermal dan bahwa Tergugat akan bertindak sebagai Kontraktor, dimana Tergugat diwajibkan untuk mengembangkan energi geothermal dan untuk membangun dan menjalankan fasilitas generating (pembangkitan) tenaga listrik. Kemudian Penggugat dan Tergugat dalam Perjanjian P-2 telah sepakat mengenai pilihan forum dan pilihan hukum dalam Pasal 13 bahwa dalam hal timbul sengketa antara para pihak maka akan diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan ketentuan Uncitral dan dalam Pasal 20, bahwa terhadap Kontrak P-2 ini akan berlaku hukum Indonesia ;

Hal. 2 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bukti P-3 :

Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract), juga disebut

ESC antara Penggugat, Turut Tergugat, dengan Tergugat berdasarkan mana Turut Tergugat setuju untuk membeli dari Penggugat tenaga listrik yang dihasilkan oleh fasilitas pembangkit listrik yang telah dibangun oleh Tergugat, dan dimana Tergugat sebagai Kontraktor dari Penggugat sesuai dengan Bukti P-2 berhak untuk menjual kepada Turut Tergugat untuk dan atas nama Penggugat, tenaga listrik sampai sejumlah 400 MV ; Kemudian Penggugat, Turut Tergugat dan Tergugat dalam Kontrak, Bukti P-3 : mengenai pilihan forum dan pilihan hukum telah sepakat dalam Pasal 8 (2) bahwa dalam hal timbul sengketa antara para pihak tersebut di atas, maka akan diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan ketentuan arbitrase Uncitral; dan Pasal 12 : bahwa terhadap Kontrak P-2 ini akan berlaku hukum Indonesia ; Bahwa setelah dibuatnya kontrak Bukti P-2 dan Bukti P-3 pada tanggal 28 November 1994, maka kurang lebih tiga tahun kemudian sesudah dibuatnya kontrak Bukti P-2 dan Bukti P-3 tersebut oleh Pemerintah RI diterbitkan : Bukti P-4 : Keputusan Presiden No. 39/1997 tanggal 20 September 1997

yang antara lain menentukan harus ditangguhkan Proyek PLTP Karaha Bodas, demi untuk menanggulangi gejolak moneter ; Bahwa kemudian Proyek ini dengan Keputusan Presiden No. 47/1997 tanggal 1 November 1997 (Bukti P-5) dinyatakan dapat diteruskan ; Bahwa akan tetapi, kemudian dengan Keputusan Presiden No. 5/1998 Proyek bersangkutan ditangguhkan kembali (Bukti P-6) ; Bahwa dengan adanya Keputusan Presiden No. 5/1998 tanggal 10 Januari 1998 (Bukti P-6) dan Keputusan Presiden No. 39/1997 tanggal 20 September 1997 (Bukti P-4) maka secara tegas Pemerintah RI telah menangguhkan untuk diteruskan kontrak-kontrak : Joint Operation Contract (JOC) (Bukti P-2) dan Energy Sales Contract (ESC) (Bukti P-3) ; Bahwa dengan diterbitkannya oleh Pemerintah RI Keputusan Presiden P-6 jo P-4 maka Kontrak (Perjanjian) Bukti P-2 dan Bukti P-3 tidak dapat dilanjutkan karena jika tetap diteruskan akan melanggar Keputusan Presiden No. 39/1997 tanggal 20 September 1997 (Bukti P-4) dan Keputusan Presiden No. 5/1998 tanggal 10 Januari 1998 (Bukti P-6) yang telah mencabut kembali Bukti P-5 yaitu Keputusan Presiden No. 47/1997 tanggal 1 November 1997 dan menguatkan berlakunya kembali Bukti P-4 ; Bahwa meskipun Tergugat sudah mengetahui adanya larangan dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Bukti P-4 dan Bukti

Hal. 3 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

P-6 untuk meneruskan pelaksanaan Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC), akan tetapi ternyata Tergugat tidak menghiraukannya ; Bahwa sebaliknya Tergugat tetap, secara terus menerus tanpa hentihentinya melakukan tindakan-tindakan terhadap Penggugat agar supaya Kontrak Bukti P-2 dan Bukti P-3 tetap dilaksanakan, pada Perjanjian Bukti P-2 dan Bukti P-3 karena adanya Keputusan Presiden (Bukti P-4 dan Bukti P-6), telah dilarang untuk diteruskan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan telah ditangguhkan untuk mengatasi kemelut (krisis) ekonomi menyeluruh yang sedang melanda Negara Republik Indonesia ; Adapun alasan-alasan untuk meminta pembatalan Putusan Arbitrase luar negeri a quo adalah karena melanggar ketentuan-ketentuan Konvensi New York (Keppres Tahun 1991 No. 34) maupun ketentuan Undang-Undang Arbitrase Tahun 1999 No. 30 serta klausula arbitrase yang menjadi sumber utama wewenang Team Arbitrase bersangkutan antara lain karena : I. Majelis Arbitrase dalam Bukti P-1 telah melampaui wewenangnya karena tidak mempergunakan Hukum Indonesia. Padahal Hukum Indonesia adalah yang harus dipergunakan ; Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas dalam hal timbul sengketa antara Penggugat dengan Tergugat, Bukti P-2, Pasal 132 menentukan bahwa penyelesaiannya akan ditempuh dengan arbitrase berdasarkan ketentuan arbitrase (Uncitral Arbitration Rules). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi Bukti P-3, Pasal 8.2 a dan hukum yang telah dipilih oleh Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat adalah Hukum Indonesia secara berturut dalam Bukti P-2, Pasal 20 dan dalam Bukti P-3, Pasal 12 ; Bahwa Majelis Arbitrase, berdasarkan Uncitral Arbitration Rules Pasal 33 (1) seharusnya mempergunakan hukum yang telah dipilih oleh Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat, yang adalah Hukum Indonesia ; Bahwa namun ternyata Majelis Arbitrase di Jenewa, dalam pertimbangan Bukti P-1 tidak menghiraukan telah mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan-ketentuan Hukum Indonesia yang seharusnya diperlakukan ; Bahwa adapun ketentuan-ketentuan Hukum Indonesia yang telah dilanggar oleh Majelis Arbitrase dalam Bukti P-1 adalah sebagai berikut : II. Putusan Arbitrase Jenewa tanggal 18 Desember 2000 tidak mengindahkan / secara keliru menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut Hukum Indonesia ; Bahwa Putusan Arbitrase tertanggal 18 Desember 2000 (Bukti P-1) secara keliru mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 15.2 (e) JOC (Bukti P-

Hal. 4 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

1) dan Pasal 9.2 (e) ESC (Bukti P-2) maka suatu peristiwa yang berhubungan dengan Pemerintah (Government Related Even) dianggap sebagai suatu peristiwa force majeure (keadaan kahar) yang hanya berlaku terhadap Tergugat dan tidak berlaku bagi Penggugat dan Turut Tergugat ; Bahwa para Arbiter dalam memberikan pertimbangannya yang

berpendapat bahwa dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No. 5/1998 dianggap sebagai suatu keadaan force majeure hanya bagi Tergugat, sehingga Tergugat dibenarkan untuk tidak melakukan dan memenuhi kewajibankewajibannya dari JOC dan ESC, sedangkan bagi Penggugat dan Turut Tergugat, Keputusan Presiden No. 5/1998 tidak dapat dijadikan alasan force majeure sehingga tetap harus melaksanakan segala kewajibannya dalam JOC dan ESC. Dalam hal ini tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban Penggugat dan Turut Tergugat tersebut maka Penggugat dan Turut Tergugat dianggap telah melakukan wanprestasi dan karenanya dihukum untuk membayar kerugian kepada Tergugat kurang lebih sebesar US$.270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat) ; Bahwa pertimbangan Putusan Arbitrase tersebut adalah keliru karena ada keharusan untuk menangguhkan Proyek PLTP Karaha (PLN Tahap I) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Bukti P-4 dan Bukti P-6 adalah bukan karena kesalahan Penggugat atau Turut Tergugat tetapi adalah suatu tindakan kebijaksanaan Pemerintah untuk mengatasi gejolak krisis moneter yang dihadapi oleh Indonesia yang berada di luar kemampuan Penggugat untuk dapat merubahnya ; Bahwa jelas perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh Keputusan Presiden Bukti P-4 dan Bukti P-6 tersebut bersifat memaksa dan merupakan suatu peristiwa force majeure yang berlaku baik bagi Penggugat, Tergugat maupun Turut Tergugat ; Bahwa walaupun ketentuan dalam Bukti P-2 dan Bukti P-3 ESC menyatakan bahwa suatu peristiwa yang berhubungan dengan Pemerintah dianggap sebagai suatu peristiwa force majeure (keadaan kahar) berkenaan dengan Tergugat tetap pada kenyataannya Penggugat dan Turut Tergugat sebagai BUMN harus tunduk dan mematuhi keputusan Presiden sehingga force majeure berlaku juga bagi Penggugat dan Tergugat ; Bahwa berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata maka suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang. Bahwa menurut rasa

Hal. 5 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

keadilan dan kebiasaan dan undang-undang maka suatu peristiwa force majeure terutama atau kebijaksanaan Pemerintah berlaku terhadap semua pihak termasuk Penggugat dan Turut Tergugat ; Bahwa adanya peristiwa force majeure menurut Hukum Indonesia membebaskan Penggugat dari kewajiban untuk membayar penggantian biaya, kerugian atau bunga ; Bahwa oleh karena Keputusan Presiden No. 5/1998 tersebut merupakan suatu peristiwa force majeure maka berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata tidak seharusnya Putusan Arbitrase menghukum Penggugat dan Turut Tergugat untuk membayar kerugian sebesar kurang lebih US$ 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat) ; Bahwa putusan Arbitrase Jenewa tanggal 18 Desember 2000, Bukti P-1 pelaksanaannya harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum RI; Bahwa Pasal 1337 menentukan bahwa suatu causa adalah terlarang apabila hal tersebut dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan ketertiban umum ; Bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas maka Joint Operation Contract / JOC Bukti P-2 dan Energy Sales Contract / ESC Bukti P-3 tidak dapat diteruskan pelaksanaannya karena telah ditangguhkan oleh Keputusan Presiden RI (Bukti P-4 dan Bukti P-6) ; Bahwa sebagaimana dapat dibaca dari pertimbangan yang diberikan dalam Bukti P-6 Keputusan Presiden No. 5/1998 tersebut maka dalam rangka upaya mengatasi gejolak moneter yang dihadapi oleh negara Indonesia yang timbul sejak tahun 1997 dan demi untuk penghematan di semua bidang maka Pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk menangguhkan proyek-proyek yang membutuhkan dana yang besar antara lain proyek PLTP Karaha (Tahap I PLN) yang diadakan berdasarkan perjanjian (Bukti P-2 dan Bukti P-3) ; Bahwa dengan demikian maka Keputusan Presiden RI No. 5/1998 (Bukti P-6) tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah RI demi kepentingan penyelamatan negara dan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi krisis ekonomi khususnya yang diakibatkan antara lain oleh depresiasi mata uang rupiah terhadap nilai tukar US dollar yang pada saat itu mencapai lebih dari 300% sehingga apabila proyek PLTP tersebut diteruskan pasti akan menimbulkan beban keuangan yang sangat berat bagi negara dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya demi untuk menjaga ketertiban umum maka Pemerintah Indonesia

Hal. 6 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

memandang perlu untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha (Tahap I PLN) tersebut ; Bahwa oleh karenanya Putusan Arbitrase Internasional tanggal 18 Desember 2000 Bukti P-1 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia ; Bahwa alasan ketertiban umum juga ditentukan dalam Pasal 66 UU Arbitrase No. 30/1999 sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh suatu Putusan Arbitrase Internasional untuk dapat dilaksanakan ; Bahwa Bukti P-2 dan Bukti P-3 merupakan perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena pelaksanaannya mengandung suatu causa yang terlarang ; Bahwa dalam rangka pelaksanaan Bukti P-2 dan Bukti P-3, yang tetap dilakukan Tergugat meskipun sudah diterbitkannya Bukti P-4 dan Bukti P-6 oleh Pemerintah Republik Indonesia yang secara tegas telah menangguhkan pelaksanaan kontrak Bukti P-2 dan Bukti P-3, Tergugat ternyata telah berhasil memperoleh : Bukti P-1 : Putusan Arbitrase Internasional terhadap Penggugat dan Turut Tergugat sebagaimana diuraikan di atas dan kini Tergugat sedang berusaha untuk melakukan sita eksekusi terhadap asset-asset yang menurut perkiraan Tergugat menjadi milik Penggugat, asset mana berupa rekening-rekening di Bank yang berada dalam wilayah Amerika Serikat, sedangkan Bukti P-2 dan Bukti P-3, merupakan kontrak-kontrak yang notabene tidak mempunyai kekuatan hukum karena adanya larangan dari Pemerintah Republik Indonesia untuk meneruskan pelaksanaan Kontrak Bukti P-2 dan Bukti P-3 melalui Keputusan Presiden (Bukti P-4 dan Bukti P-6) ; Bahwa sebagaimana ditentukan : Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi antara lain syarat adanya suatu sebab yang halal, sedangkan menurut : Pasal 1337 KUHPerdata suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang Undang-Undang, bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau dengan ketertiban umum, sedangkan ; Pasal 1335 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian dengan sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum ; Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas Bukti P-2 dan Bukti P-3 termasuk Bukti P-1 karena tidak mempunyai kekuatan hukum dapat dimintakan pembatalannya ;

Hal. 7 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bahwa Putusan Arbitrase Jenewa tanggal 18 Desember 2000, Bukti P-1 Pelaksanaannya harus ditolak, karena sesuai dengan Bukti P-2 dan P-3 ikut tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga dapat dimintakan pembatalannya ; Bahwa berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, Bukti P-1 Putusan Arbitrase Internasional Jenewa tanggal 18 Desember 2000 yang didasarkan pada Bukti P-2 Kontrak Joint Operation dan Bukti P-3 Energy Sales Contract, juga tidak dapat dilanjutkan ; Bahwa Putusan Arbitrase Jenewa tanggal 18 Desember 2000

seharusnya ditolak pelaksanaannya karena sesuai Pasal V (1) (B) Konvensi New York (1958) Penggugat sebagai Termohon Eksekusi tidak diberitahukan secara layak tentang pengangkatan Arbiter dan sesuai dengan Pasal V (1) (D) Susunan Team Arbitrase tidak sesuai dengan Bukti P-2 dan Bukti P-3 ; Bahwa selanjutnya Putusan Arbitrase luar negeri ini Bukti P-1 tidak dapat dijalankan, karena Penggugat sebagai Termohon Eksekusi, tidak diberikan pemberitahuan yang pantas (proper notice) tentang arbitrase ini dan karena itu Penggugat tidak diberi kesempatan untuk membela diri, karena Penggugat kini Termohon Eksekusi, tidak diberikan kesempatan untuk mengangkat Arbiter yang dipilihnya sesuai dengan perjanjian-perjanjian Bukti P-2 JOC dan Bukti P3 ESC, padahal sesuai dengan ketentuan tentang arbitrase dan perjanjianperjanjian tersebut, Penggugat seharusnya diberi kesempatan mengajukan Arbiter yang dikehendakinya hal mana tidak terjadi dalam hal ini ; Bahwa oleh karenanya sesuai dengan ketentuan Konvensi New York (1958) Pasal V (1) (d), susunan dari pada para Arbiter ini harus menurut prosedur yang telah disetujui oleh para pihak dalam clausula arbitrase mereka, sedangkan dalam perkara arbitrase a quo para Arbiter telah dipilih tanpa adanya persetujuan atau pilihan dari Penggugat sebagai pihak dalam prosedur arbitrase ini sehingga Susunan Team Arbitrase dalam perkara arbitrase a quo bertentangan adanya dengan Pasal V (1) (d) : "The composition of the arbitral authority of the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties" ; Bahwa Klausula Arbitrase tidak dapat dijalankan (inoperative) dan tidak dapat dilaksanakan (incapable of being performed) sesuai Pasal II (3) Konvensi New York (1958), Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 ; Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal II (3) Konvensi New York 1958 yang melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 telah menjadi hukum positif bagi RI, maka perjanjian-perjanjian Bukti P-2 JOC dan Bukti P-3 ESC tidak dapat dilaksanakan karena tidak diperintahkan untuk dihentikan oleh

Hal. 8 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Pemerintah RI, dengan Keppres Bukti P-4 dan Bukti P-6. Dengan demikian perjanjian ini menurut Hukum Indonesia menjadi null and void, inoperative or incapable of being performed, sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal II Konvensi New York (1958) tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri ; Bahwa clausula arbitrase yang tercantum dalam Pasal 13 dari perjanjian Bukti P-2 JOC dan Pasal 8 dari Bukti P-3 ESC menjadi inoperative dan incapable of being performed, sesuai dengan ketentuan Hukum Indonesia karena perjanjian Bukti P-2 dalam Pasal 20 dan Bukti P-3 dalam Pasal 12 telah menentukan berlakunya Hukum Indonesia baik bagi Bukti P-2 maupun bagi Bukti P-3. Tidak ada jalan lain, karena Keppres Pemerintah Bukti P-4 dan Bukti P-6 telah memerintahkan penghentian seluruh proses pelaksanaan Bukti P-2 dan P-3, termasuk juga clausula arbitrase yang menjadi inoperative dan incapable of being performed (tidak dapat dijalankan dan tidak dapat dilaksanakan) ; Bahwa oleh karenanya wewenang para Arbiter yang didasarkan atas clausula arbitrase sebagaimana diuraikan di atas, yang menurut hukum Indonesia, menjadi inoperative tidak dapat dijalankan, seharusnya tidak dapat dilanjutkan dengan menghasilkan Putusan Arbitrase a quo, yang kini ditentang pelaksanaannya dan dimintakan pembatalan ; Bahwa menurut Pasal V (1) (A) Pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa tanggal 18 Desember 2000 seharusnya ditolak atas permintaan Termohon apa bila para pihak tidak memiliki capacity berdasarkan hukum yang berlaku bagi mereka dalam hal ini Hukum Indonesia ; Bahwa menurut Pasal V (1) (a) Konvensi New York (1958) Pengakuan dan Pelaksanaan terhadap Putusan Arbitrase luar negeri Bukti P-1 dapat ditolak, atas permohonan Termohon Eksekusi hanya apabila yang

bersangkutan dapat menyerahkan kepada Pengadilan Pelaksana, bukti bahwa para pihak dalam perjanjian Bukti P-2 dan Bukti P-3 berada dalam incapacity berdasarkan Hukum Indonesia yang telah dipilih para pihak untuk berlaku bagi Bukti P-2 dan Bukti P-3 ; Bahwa Putusan Arbitrase diputus berdasarkan tipu muslihat Tergugat dan tidak mengindahkan Hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi Bukti P-2 JOC dan Bukti P-3 ESC khususnya mengenai kerugian dan kehilangan keuntungan yang menurut Majelis Arbitrase telah diderita oleh Tergugat ;

Hal. 9 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bahwa berdasarkan Pasal 11.4 e JOC (Bukti P-2) Tergugat berkewajiban untuk menyediakan semua dana yang dibutuhkan bagi Operasi Geothermal dan resiko Operasi Geotermal, dengan ketentuan bahwa kewajiban Tergugat menyangkut juga dana yang diperlukan untuk membangun Fasilitas Lapangan dan Fasilitas Pembangkit Tenaga Listrik dan harus selalu memberikan laporan kepada Penggugat mengenai pendanaan tersebut ; Bahwa namun demikian selama persidangan arbitrase berlangsung Tergugat tidak dapat membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa Tergugat telah siap dan sanggup untuk melaksanakan kontrak-kontrak ESC dan JOC dengan menyediakan dana yang nyata dari sumber-sumber pembiayaan yang bonafide, sebagaimana disyaratkan untuk pelaksanaan proyek tersebut ; Bahwa lagi pula Proyek Geothermal yang harus dibangun berdasarkan kontrak JOC untuk menjual tenaga listrik kepada Turut Tergugat sebagaimana diatur dalam kontrak JOC (Bukti P-2) dan kontrak (Bukti P-3) baru mencapai tahap eksplorasi sehingga fasilitas-fasilitas tenaga pembangkit listrik dalam proyek tersebut belum berdiri dan sama sekali belum menghasilkan produksi tenaga listrik dan oleh karenanya Tergugat belum dapat dikatakan telah memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam JOC dan ESC ; Bahwa kemampuan Tergugat untuk menghasilkan kapasitas tenaga listrik sebagaimana disyaratkan oleh JOC dan ESC belum teruji dan belum terpenuhi ; Bahwa oleh karenanya besarnya biaya, ganti rugi, kehilangan

keuntungan dan bunga sebesar kurang lebih US$ 270 juta yang harus dibayar oleh Penggugat berdasarkan Putusan Arbitrase adalah tidak benar dan bersifat spekulatif dan fiktif tanpa disertai bukti-bukti yang nyata tentang kerugian sebenarnya yang diderita oleh Tergugat ; Bahwa menurut Hukum Indonesia, suatu pembayaran ganti rugi harus didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata, maka Team Arbitrase dalam membuat putusan a quo telah tidak memakai Hukum Indonesia karena itu telah melampaui wewenangnya (exeeds its powers) karenanya sesuai ketentuan New York Convention batal adanya, atau harus dibatalkan ; Bahwa Penggugat sejak semula telah berusaha memohon Pemerintah RI untuk mencabut kembali perintah penangguhan Bukti P-2 dan P-3, namun pada akhirnya tanpa hasil ; Bahwa adapun usaha Penggugat tersebut pada mulanya telah berhasil dengan dikeluarkannya Bukti P-5 yang menyatakan proyek PLTP Karaha Bodas dapat diteruskan ;

Hal. 10 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Namun usaha Penggugat ini kemudian gagal lagi dengan dikeluarkannya Bukti P-6, yang memerintahkan penangguhan ulang terhadap proyek yang sama, namun kegagalan ini tidak berarti bahwa Penggugat tidak sudah berusaha secara maksimal akan tetapi dalam instansi terkait semua juga tetap berada di luar kewenangannya ; Bahwa dalam keadaan demikian sangat tidak adil Majelis Arbitrase yang kini dimohonkan pembatalan keputusannya untuk hanya memperlakukan ketentuan-ketentuan force majeure terhadap Tergugat tanpa memperhatikan segala upaya Penggugat yang telah maksimal sebagaimana diuraikan di atas, Hukum Indonesia yang selalu mengedepankan keseimbangan antara para pihak telah diabaikan untuk diperlakukan sehingga putusannya perlu dibatalkan; Bahwa tinjauan lanjutan Putusan Arbitrase melampaui batas wewenang para Arbiter ; Bahwa menurut hukum Indonesia, seperti juga dengan lain-lain sistem hukum, Pengadilan tetap mengawasi Putusan Arbitrase yang dibuat sesuai dengan Hukum Indonesia ; Bahwa banding tidak diperbolehkan, tetapi perlu diawasi integritas fundamental dari proses arbitrase itu sendiri ; Maka harus dilakukan pembatalan dari suatu Putusan Arbitrase, jika dilampaui batas-batas wewenang yang telah disetujui para pihak dalam perjanjian arbitrase. Jika para Arbiter telah melampaui batas-batas wewenang (exess of powers) yang telah diberikan oleh para pihak, atau telah terjadi berat sebelah para Arbiter, atau tidak dipenuhinya suatu asas berperkara yang prinsipil, seperti harus memperlakukan para pihak secara sama dan tidak boleh berat sebelah seperti ditentukan Pasal 15 Uncitral Arbitration ; Putusan arbitrase a quo didasarkan atas dua perjanjian : 1. Joint Operation Contract (JOC) antara Pertamina dan Tergugat ; 2. Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina, Tergugat dan PLN (Perusahaan Listrik Negara) ; Bahwa Tergugat belum memulai konstruksi dari pada fasilitas

pembangkit listrik, tetapi Team Arbitrase telah memberikan mereka ganti rugi US$ 111,1 juta untuk kerugian pembiayaan, US$ 150 juta untuk kerugian keuntungan (lost profit), bunga 4% setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas dan US$ 687.737,48 (enam ratus delapan puluh tujuh ribu tujuh ratus tiga puluh tujuh dollar Amerika Serikat empat puluh delapan sen) untuk biaya arbitrase ;

Hal. 11 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bahwa Putusan Arbitrase ini melampaui batas wewenang para Arbiter (exceeded the power) yang diberikan kepada mereka menurut clausula arbitrase para pihak ; Bahwa Team Arbitrase tidak memakai Hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure menurut ketentuan dalam kedua kontrak (JOC dan ESC) dan menentukan tanggung jawab Penggugat untuk kehilangan

keuntungan (lost profit), secara spekulatif (tidak berdasar) ; Bahwa hal ini melanggar baik klausula arbitrase yang ditandatangani para pihak, maupun Uncitral Arbitration Rules, secara merugikan Penggugat ; Bahwa walaupun telah diperjanjikan dua proses arbitrase tersendiri, satu di bawah JOC dan yang kedua menurut ESC, tetapi Team Arbitrase telah menggabungkan kedua proses arbitrase dalam satu proses arbitrase ; Bahwa secara tegas para pihak telah mufakat dalam ESC, bahwa Penggugat dan Tergugat bersama-sama harus memilih satu arbitrator menurut ESC, tetapi Dewan Arbitrase mengenyampingkannya dan memaksa Penggugat untuk memakai arbitrator bersama dengan PLN dan Pemerintah padahal kewajiban Penggugat dan PLN berbeda Arbiter yang sama telah dipilih oleh Team Arbitrase untuk Pemerintah RI. (yang kemudian telah dikesampingkan oleh Team Arbitrase ini sebagai pihak) ; Bahwa dengan demikian Team Arbitrase telah melanggar prosedur yang secara tegas telah dimufakati oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase mereka dengan merugikan Penggugat dan PLN ; Bahwa jelas para pihak telah tidak diperlakukan secara sama, karena suatu lembaga (ICSID, International Centre for the Settlement of Investment Disputes) yang diminta memilih untuk tiga pihak, padahal Tergugat menurut perjanjian arbitrase harus diperbolehkan memilih sendiri Arbiternya. Hal ini juga melanggar Hukum Indonesia ; Bahwa Putusan Arbitrase ini juga melanggar ketentuan umum dari Republik Indonesia, karena menghukum Penggugat dan PLN sebagai yang bertanggung jawab untuk kepatuhan mereka terhadap Hukum Indonesia dan para Arbiter dengan demikian melanggar tata cara berperkara yang layak (due process rights) ; Bahwa sesungguhnya Tergugat telah membuat dua perjanjian terpisah, yakni (1) JOC antara Tergugat dan Penggugat secara ESC antara Tergugat, Penggugat dan PLN ; Bahwa kontrak-kontrak ini mengatur eksplorasi (geothermal) untuk pembangkit tenaga listrik di area concessie Karaha dan Telaga Bodas ;

Hal. 12 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bahwa kedua kontrak ini, sekalipun ada hubungannya, tetapi jelas mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak yang berbeda ; Bahwa kedua kontrak ini, akan tetapi menunjuk Tergugat yang harus menanggung resiko dan pembiayaan eksplorasi dan pembangunan pabrik pembangkit tenaga listrik ini. Dan baru jika kemudian ternyata bahwa Tergugat telah berhasil membangun sumber-sumber itu dan telah berhasil dengan membangun fasilitas yang mampu membangkit listrik sesuai ketentuan kontrak, resiko biaya pengeluaran akan berpindah dari Tergugat ke PLN. Hal ini tidak pernah terjadi ; Bahwa JOC tidak pernah meletakkan kewajiban kepada Penggugat untuk membeli listrik dari Tergugat, melainkan sebaliknya menyatakan bahwa listrik yang diproduksi oleh operasi pembangkitan bersangkutan akan dijual kepada pembeli PLN sesuai dengan ESC. Peranan Penggugat hanya sebagai agen penyaluran untuk pembayaran antara PLN dan Tergugat, terhadap JOC ini dipakai Hukum Indonesia ; Bahwa menurut ESC, PLN menyetujui untuk membeli dari Penggugat sesuai ketentuan dan syarat dalam ESC ini semua tenaga listrik yang akan dihasilkan oleh Tergugat. Juga disini peranan Penggugat hanya sebagai agen perantara untuk pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN. Jadi jelas Penggugat tidak ada kewajiban untuk membeli tenaga listrik menurut kontrak ESC dan Penggugat juga bukan penjamin untuk kewajiban-kewajiban PLN ; Kewajiban PLN baru mulai setelah ada hasil tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik Tergugat ; Bahwa dalam hal terjadi sengketa disetujui penyelesaian melalui arbitrase, dan PLN di satu pihak dan Tergugat serta Penggugat di pihak lain, akan masing-masing mengangkat satu Arbiter, yang kemudian bersama-sama akan mengangkat Arbiter ketiga untuk bertindak sebagai Ketua Team Arbitrase ini ; Bahwa sebagai akibat dari krisis ekonomi yang dialami Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997, maka IMF (International Monetary Fund) telah memaksa Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali secara menyeluruh semua proyek-proyek yang didasarkan pada kewajiban membayar dalam US Dollar. Maka oleh Pemerintah diterbitkan Keppres No. 39/1997 yang mengatur proyek mana dapat diteruskan, ditinjau kembali atau ditangguhkan, Proyek Karaha Bodas ditangguhkan ;

Hal. 13 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bahwa setelah ditandatangani perjanjian-perjanjian di tahun 1994, hingga ditangguhkan proyek ini, Tergugat hanya telah melakukan eksplorasi dan pada saat ditangguhkan proyek bersangkutan, Tergugat masih harus menambahkan US.$ 500 juta (5 x lebih banyak dari pada apa yang sudah dikeluarkannya) sebelum ada kemungkinan menghasilkan tenaga listrik yang diharapkan ; Bahwa pada 10 Februari 1998 Tergugat menyatakan force majeure dan menghentikan kelanjutan kontrak-kontrak dan pada tanggal 30 April 1998 Tergugat mengajukan gugatan arbitrase terhadap Penggugat dan PLN dengan Notice of Claim dalam satu arbitrase berdasarkan dua kontrak JOC dan ESC ; TUNTUTAN PROVISI Bahwa ada kekhawatiran Tergugat dalam waktu dekat ini akan melakukan tindakan pelaksanaan berupa sita eksekusi terhadap Putusan Arbitrase yang telah ditetapkan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 18 Desember 2000, yang bersumber pada perjanjian P-2 dan P-3, yang telah batal demi hukum, dapat diminta pembatalannya, tidak mempunyai kekuatan hukum, karena adanya larangan dari Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden P-4 dan P-6, maka Penggugat bersama ini mengajukan permohonan provisi kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan menjatuhkan putusan provisi terlebih dahulu sebelum meneruskan pemeriksaan perkara ini yang

memerintahkan kepada Tergugat atau siapa saja yang mendapatkan hak dari padanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan eksekusi terhadap : Putusan Arbitrase tanggal 18 Desember 2000 yang bersumber pada Perjanjian P-2 dan P-3 dengan ketentuan Tergugat dikenakan uang paksa sejumlah US$ 1.000.000,00 (satu juta US Dollar) setiap harinya jumlah mana harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Penggugat setiap kali larangan tersebut dilanggar oleh Tergugat ; Bahwa gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti yang sah maka berdasarkan Pasal 180 HIR, kiranya Pengadilan berkenan menjatuhkan putusannya yang dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun banding, verzet atau kasasi (uit voerbaar bij voorraad) ; Bahwa berhubung Tergugat tidak lagi beralamat di Jalan T.B. Simatupang Kav. 10, Jakarta 12310 dan kini tidak lagi diketahui alamatnya baik di dalam maupun di luar negeri, maka Penggugat mohon kiranya Pengadilan berkenan menyampaikan panggilan terhadap Tergugat melalui panggilan umum;

Hal. 14 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebagai berikut : DALAM PROVISI Memerintahkan kepada Tergugat atau siapapun yang dapat hak dari padanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan terhadap : Putusan Arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Desember 2000 (P-1), yang bersumber pada : P-2 : Perjanjian Kerja Sama (Joint Operation Contract) JOC dan P-3 : Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract) ESC,

Dua-duanya tanggal 28 November 1994 dengan ketentuan Tergugat dikenakan uang paksa US$ 1.000.000,00 (satu juta US Dollar) setiap harinya perintah ini dilanggar, jumlah mana harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Penggugat ; DALAM POKOK PERKARA 1. Memerintahkan kepada Tergugat atau siapapun yang mendapat hak dari padanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan eksekusi terhadap : Putusan Arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 (P-1), yang bersumber pada Kontrak P-2 : Kontrak Perjanjian Kerja Sama (Joint Operation Contract) JOC, dan P-3 : Kontrak, Perjanjian Jual Beli Energi (Energy Sales Contract) ESC, dua-duanya tanggal 28 November 1994 dengan ketentuan Tergugat dikenakan uang paksa US$ 1.000.000,(satu juta US Dollar) setiap harinya perintah ini dilanggar, jumlah mana harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Penggugat ; 2. Membatalkan, menyatakan batal, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan segala akibat hukumnya ; Putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut Putusan Sela (Preliminary Award) yang ditetapkan di Jenewa, tanggal 30 September 1999 ; 3. Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk taat dan patuh pada putusan tersebut di atas ; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ; 5. Menyatakan Keputusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun banding, verzet atau kasasi ; 6. Atau suatu putusan ex aequo et bono ;

Hal. 15 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan eksepsi pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut : DALAM EKSEPSI : I. Gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh Penggugat sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan (exeptio onrechmatige of ongegrond) ; Bahwa putusan Arbitrase Internasional yang telah diputuskan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 18 Desember 2000 (Putusan Arbitrase Internasional) sama sekali tidak memiliki alasan-alasan serta dasar hukum untuk dapat diajukan dan dimohonkan pembatalannya oleh Penggugat. Adapun berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Undang-Undang

Arbitrase) ditentukan : terhadap Putusan Arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa ; Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas dinyatakan bahwa permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dikabulkan apabila putusan Arbitrase Internasional yang telah diputuskan tersebut nyata-nyata telah memenuhi salah satu dari ketiga unsur atau alasan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase. Penggugat dalam dalil-dalil gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan bahwa putusan Arbitrase Internasional tersebut telah memenuhi salah satu dari ketiga unsur yang disyaratkan oleh Undang-Undang Arbitrase agar suatu Putusan Arbitrase dapat dimohonkan untuk dibatalkan. Bahwa Penggugat dengan sengaja menguraikan dalil-dalil yang bukan merupakan alasan-alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan Putusan Arbitrase sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase. Hal ini jelas dimaksudkan oleh Penggugat, demi keuntungannya sendiri, untuk

mengaburkan fakta dan ketentuan hukum yang berlaku, yang mengatur

Hal. 16 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

tentang Arbitrase;

syarat-syarat

pengajuan

permohonan

pembatalan

Putusan

Bahwa permohonan pembatalan Putusan Arbitrase yang diajukan Penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase, jelas gugatan yang diajukan oleh Penggugat yaitu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional, sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk dilakukan. Oleh karena itu kami mohon kepada Majelis Hakim yang terhormat, untuk menolak gugatan yang diajukan oleh Penggugat atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) ; II. Gugatan yang diajukan oleh Penggugat premature ( exeptio prematuur) ; Bahwa penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase secara tegas dinyatakan : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap Putusan Arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan, alasan-alasan permohonan

pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan Pengadilan. Apabila Pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi Hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan ; Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas ditentukan bahwa suatu Putusan Arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di pengadilan dalam perkara a quo, Tergugat sama sekali tidak menemukan adanya dalildalil dari Penggugat ataupun fakta-fakta hukum yang ada, yang dapat membuktikan bahwa putusan Arbitrase Internasional sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ; Bahwa di dalam UU Arbitrase, Pasal 70 merupakan satu-satunya pasal yang mengatur mengenai pendaftaran Putusan Arbitrase

Internasional, sedangkan terhadap pendaftaran Putusan Arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 UU Arbitrase. Oleh karena itu, prosedur pendaftaran putusan Arbitrase Internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Arbitrase, juga berlaku dalam hal pendaftaran putusan Arbitrase

Internasional yang akan diajukan oleh Penggugat untuk dimohonkan pembatalannya ; Berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase, secara tegas dinyatakan bahwa pendaftaran putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilakukan oleh Arbiter atau kuasanya. Dalil-dalil gugatan yang dikemukakan oleh Penggugat dalam perkara a quo sama sekali tidak menguraikan

Hal. 17 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

masalah apakah Putusan Arbitrase Internasional yang dimohonkan oleh Penggugat untuk dibatalkan, telah didaftarkan oleh Arbiter atau kuasanya. Penggugat jelas bukan merupakan Arbiter yang memutuskan Putusan Arbitrase Internasional. Timbul pertanyaan, apakah Penggugat merupakan kuasa dari Arbiter ? Jika ditinjau dalil gugatan butir 3, halaman 2, jelas Penggugat telah mencoba mengaburkan ketentuan Pasal 67 UU Arbitrase ; Berdasarkan dalil yang dikemukakan oleh Penggugat telah sangat jelas bahwa Penggugat bukanlah Arbiter atau kuasa Arbiter, dengan mana Penggugat memiliki kewenangan untuk melakukan pendaftaran berdasarkan Pasal 67 (1) UU Arbitrase. Meskipun demikian, apabila Tergugat bersikeras dengan dalilnya tersebut, maka Tergugat mohon akta kepada Penggugat yang dapat membuktikan bahwa Penggugat merupakan Arbiter atau kuasa dari Arbiter yang menetapkan putusan Arbitrase Internasional ; Bahwa disamping itu, syarat lain yang harus terpenuhi agar Penggugat dapat mengajukan permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase, Penggugat dalam gugatannya sama sekali tidak dapat mengemukakan bukti-bukti bahwa putusan Arbitrase Internasional yang dimohonkan untuk dibatalkan tersebut telah memenuhi persyaratan pendaftaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase, sebagaimana yang telah diuraikan oleh Tergugat dalam butir 4 di atas ; III. Gugatan yang diajukan oleh Penggugat kabur dan tidak jelas (exeptio obscurum libellum). Bahwa Penggugat dalam petitum gugatannya mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo agar membatalkan, menyatakan batal, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya putusan Arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut Putusan Sela (Prelimitary Award) yang ditetapkan di Jenewa, tanggal 30 September 1999. Namun demikian, Penggugat dalam pokok perkara (posita) gugatannya, khususnya dalil-dalil dalam bagian V, butir 29 dan 30 halaman 6 dan 7 serta bagian VIII butir 34, halaman 8, justru mengemukakan dalil-dalil yang menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Sama, Joint Operation Contract (JOC) dan Perjanjian Kontrak Jual Beli Energi, Energy Sales Contract (ESC) adalah batal demi hukum (null an void) ;

Hal. 18 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Bahwa walaupun dalam petitum gugatannya Penggugat mohon untuk dibatalkannya putusan Arbitrase Internasional, namum Penggugat dalam dalil-dalil gugatannya (posita) sama sekali tidak menguraikan alasan-alasan yang memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan agar Putusan Arbitrase Internasional dapat dibatalkan, bahkan Penggugat dalam posita gugatannya justru lebih banyak menguraikan dalil-dalil yang bertujuan untuk menyatakan serta memohonkan agar JOC dan ESC dinyatakan batal demi hukum (null and void). Akibatnya maksud dan tujuan dari gugatan yang diajukan oleh Penggugat dalam perkara a quo menjadi tidak jelas, apakah Penggugat menginginkan untuk membatalkan JOC dan ESC ; Bahwa berdasarkan fakta-fakta bahwa petitum yang diminta

Penggugat dalam gugatannya sama sekali tidak didukung oleh posita yang jelas, tepat, akurat dan benar, telah mengakibatkan gugatan yang diajukan oleh Penggugat menjadi kabur dan tidak jelas (obscurum libellum). Dengan demikian gugatan yang diajukan Penggugat haruslah ditolak oleh Majelis Hakim yang terhormat, atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) ; IV. Penggugat dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan licik (exeptio doli praestintis) ; Bahwa Penggugat dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan licik terhadap Tergugat, dengan maksud agar pokok sengketa yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat diperiksa dan diadili kembali oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal berdasarkan ketentuan Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC Penggugat telah menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui arbitrase dan tempat arbitrase tersebut adalah di Jenewa, Swiss artinya bahwa Penggugat dan Tergugat telah menyepakati untuk menyelesaikan

persengketaan yang terjadi melalui Badan Arbitrase dan bukan melalui Badan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri), sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Arbitrase, secara jelas menyatakan bahwa apabila para pihak telah menyepakati penyelesaian sengketa dilakukan melalui forum arbitrase; Bahwa jika Pengguat berniat untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, apalagi dengan mendasarkan permohonannya tersebut dengan menggunakan UU Arbitrase, maka seharusnya Penggugat harus mengikuti persyaratan serta ketentuan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase, Penggugat dalam posita gugatannya semestinya cukup menguraikan

Hal. 19 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

apakah putusan Arbitrase Internasional tersebut telah mengandung salah satu ketiga unsur sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, tanpa perlu mengajak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa serta mengadili (kembali) pokok persengketaan yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat; Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/Pdt.G/2002/PN-Jkt.Pst tanggal 27 Agustus 2002 adalah sebagai berikut : DALAM EKSEPSI Menolak seluruh eksepsi Tergugat ;

DALAM PROVISI Mengabulkan gugatan provisional dari Penggugat untuk seluruhnya ; Memerintahkan kepada Tergugat atau siapapun yang dapat hak dari padanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan Putusan Arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000, yang bersumber pada : Perjanjian Kerja Sama (Joint Operation Contract = JOC) dan Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract = ESC), dua-duanya tanggal 28 November 1994, dengan ketentuan Tergugat dikenakan uang paksa US$ 500.000,00 (lima ratus ribu US Dollar) setiap harinya perintah ini dilanggar, jumlah mana harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Penggugat ; DALAM POKOK PERKARA 1. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum putusan Arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut Putusan Sela (Preliminary Award) yang ditetapkan di Jenewa tanggal 30 September 1999 dengan segala akibat hukumnya ; 2. Menghukum kepada Tergugat dan Turut Tergugat untuk taat dan patuh pada putusan tersebut ; 3. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada banding, verzet atau kasasi ; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar

Rp.539.000,- (lima ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah) ; Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung RI No. 01/Banding/ Wasit.Int/2002 tanggal 8 Maret 2004 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut : Mengabulkan permohonan banding dari Pemohon Banding : KARAHA BODAS COMPANY LLC., tersebut ;

Hal. 20 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27 Agustus 2002 No. 86/Pdt.G/2002/PN-Jkt.Pst. ; MENGADILI SENDIRI : Dalam Eksepsi Mengabulkan eksepsi Tergugat ; Dalam Provisi dan Pokok Perkara Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan Penggugat ; Menghukum Termohon Banding/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ini ditetapkan sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) ; Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, yaitu putusan Mahkamah Agung No. 01/Banding/ WasitInt/2002 tanggal 8 Maret 2004 diberitahukan kepada Termohon Banding dahulu Penggugat pada tanggal 05 November 2004 kemudian terhadapnya oleh Termohon Banding dahulu Penggugat diajukan permohonan peninjauan kembali secara lisan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 04 Mei 2005, permohonan mana disertai dengan alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 04 Mei 2005 itu juga ; Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama pada tanggal 15 Juni 2005 akan tetapi terhadapnya oleh pihak lawannya tidak diajukan jawaban ; Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai dengan Pasal 68, 69, 71 dan 72 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya yang diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan undang-undang, formal dapat diterima ; Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Penggugat telah mengajukan alasan-alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut : I. Pengadilan Federal Swiss tidak pernah memeriksa materi (pokok perkara) pembatalan Putusan Arbitrase (vide Bukti P-1) yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali ke Pengadilan Federal Swiss a quo ; 1. Bahwa Mahkamah Agung dalam putusannya yang mengabulkan permohonan banding dari Termohon Peninjauan Kembali (halaman 43), menyatakan pertimbangan antara lain :

Hal. 21 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

"d. Bahwa Pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 (Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) yang disahkan dan dinyatakan berlaku dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 berbunyi : Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if . etc ; (e) The awards has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made. e. Bahwa apalagi dari Bukti T-5 terlihat bahwa kuasa hukum Penggugat dan Turut Tergugat telah mengajukan permohonan banding terhadap Putusan Arbitrase yang disengketakan (Bukti P-1) kepada Mahkamah Agung Swiss sesuai dengan Undang-undang Hukum Perdata Internasional Negara Swiss ; f. Bahwa oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh Penggugat. 2. Bahwa keberatan mengenai fakta hukum yang menegaskan tentang

belum atau tidak pernah diperiksanya permohonan pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan Federal Swiss a quo, sebenarnya telah diungkapkan sendiri oleh Termohon Peninjauan Kembali dengan mengajukan Bukti T-5, di mana bukti a quo adalah pendapat kuasa hukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk keperluan sidang di United District Court Southern District of Texas, Houston Division, dan bukan untuk sidang pemeriksaan perkara pembatalan Putusan Arbitrase a quo oleh badan peradilan di Indonesia. Akan tetapi judex juris melakukan pertimbangan yang tidak utuh-menyeluruh atas Bukti T-5 a quo, dan ternyata cuma mengutip sebagian kecil pernyataan kuasa hukum Pemohon Peninjauan Kembali a quo ; 3. Bahwa selain itu, pertimbangan Mahkamah Agung a quo telah menjadi tidak berdasar, dan secara yuridis telah kehilangan kekuatan hukumnya sehingga demi hukum dan keadilan harus dibatalkan. Sebab, Pengadilan Federal Swiss, ternyata belum dan tidak pernah memeriksa tuntutan dalam permohonan (gugatan) pembatalan Putusan Arbitrase yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali ; 4. Bahwa kebenaran yuridis mengenai fakta hukum tentang belum atau tidak pernah diperiksanya materi pokok permohonan pembatalan

Hal. 22 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Putusan Arbitrase oleh Pengadilan Federal Swiss a quo, dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Federal Swiss Nomor : 4P.36/2001 tanggal 24 April 2001 jo. Putusan Pengadilan Federal Swiss Nomor : 4P.158/2001 tanggal 7 Agustus 2001 (vide Bukti PPK-1 dan Bukti PPK2). 5. Bahwa terhadap permohonan pembatalan Putusan Arbitrase yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali a quo, Pengadilan Federal Swiss pada tanggal 24 April 2001 (vide Bukti PPK-1) memutuskan dengan amar sebagai berikut : 1. menyatakan permohonan banding tidak dapat diterima ; 2. mengenakan biaya penggelaran sidang pengadilan senilai 5,000 franc kepada pihak pemohon, secara bersama ; 3. memberikan kepada mandataris pemohon satu salinan surat surat konfirmasi dari Post finance tertanggal 21 Maret 2001 ; 4. menyerahkan salinan putusan ini kepada para mandataris masingmasing pihak yang bersengketa dan kepada Ketua Pengadilan Arbitrase ; 6. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali berkeberatan atas putusan Pengadilan Federal Swiss yang tidak menerima permohonan banding terhadap Putusan Arbitrase Internasional (vide Bukti P-1), dan

selanjutnya telah mengajukan permohonan revisi atas putusan a quo ke Pengadilan Federal Swiss. Namun Pengadilan Federal Swiss dalam pemeriksaan tingkat revisi (banding) pada tanggal 7 Agustus 2001 (vide Bukti PPK-2) memutus permohonan revisi dengan amar putusan sebagai berikut : 1. menolak permohonan revisi ; 2. mengenakan biaya penggelaran sidang yudisier senilai 5,000 franc kepada pihak pemohon, secara bersama ; 3. menyerahkan putusan ini kepada para mandataris masing-masing pihak yang bersengketa dan kepada Ketua Pengadilan Arbitrase ; 7. Bahwa putusan Pengadilan Federal Swiss a quo yang tidak dapat menerima permohonan banding, adalah karena Pemohon Peninjauan Kembali selaku Pemohon Banding tidak dapat membayar panjar biaya perkara senilai 100.00 franc pada waktu yang telah ditetapkan Pengadilan Federal Swiss a quo. Hal ini secara jelas terungkap dari pertimbangan hukum Pengadilan Federal Swiss (vide Bukti PPK-1) yang antara lainnya menyatakan sebagai berikut :

Hal. 23 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Pertamina

dan

PLN

telah

mengajukan

permohonan

banding

sebagaimana terdapat dalam Pasal 85 huruf c OJ, yang menyimpulkan suatu permohonan pembatalan atas putusan sebelumnya. . Melalui perintah yang dibuat pada tanggal 7 Februari 2001, Ketua Pengadilan Perdata Pertama minta para Pemohon Banding untuk membayar uang muka pengadilan senilai 100.000 franc sampai dengan tanggal 27 Februari 2001, dan menjelaskan kepada para Pemohon Banding bahwa apabila pembayaran tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka permohonan mereka tidak dapat diterima.. Jangka waktu yang telah ditentukan yaitu sampai dengan tanggal 27 Februari 2001 sesuai dengan perintah tanggal 7 Februari 2001 telah diabaikan, hal ini berakibat pada penolakan permohonan (Pasal 150 al. 40J)..." 8. Bahwa Bukti PPK-1 dan Bukti PPK-2 tidak pernah diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali maupun Termohon Peninjauan Kembali selama sidang pemeriksaan perkara pembatalan Putusan Arbitrase di Jakarta, Indonesia. Kedua bukti a quo yang menurut ketentuan hukum acara yang berlaku di Indonesia merupakan bukti-bukti baru (novum), sangat substansial mempengaruhi pertimbangan hukum dan putusan Mahkamah Agung yang dimohon Peninjauan Kembali apabila

sebelumnya sudah diketahui oleh Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan memutus permohonan banding atas pembatalan Putusan Arbitrase a quo; 9. Bahwa disebut demikian karena jika Mahkamah Agung telah mengetahui adanya Bukti PPK-1 dan Bukti PPK-2 a quo ketika memeriksa banding, quod non, maka sangat diyakini akan memberi pertimbangan hukum yang lain dari pada pertimbangan tersebut dalam halaman 43 huruf (d), (e) dan (f) putusan Mahkamah Agung yang dimohon Peninjauan Kembali; 10. Bahwa dengan perkataan lain, adanya bukti-bukti baru (novum) berupa Bukti PPK-2 dan PPK-1, telah mematahkan atau setidaknya telah menyebabkan pertimbangan dalam halaman 43 huruf (e) putusan Mahkamah Agung itu menjadi kehilangan kekuatan hukumnya ; 11. Bahwa dengan adanya fakta hukum bersifat substansial yang

diungkapkan oleh Bukti PPK-2 dan Bukti PPK-1 a quo, maka menjadi tidak berdasar bagi Mahkamah Agung untuk menerapkan ketentuan Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York 1958 (Convention on The

Hal. 24 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) sebagai dasar pertimbangan hukum dalam putusan yang menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (vide Bukti P-1) ; 12. Bahwa adanya Bukti PPK-1 dan Bukti PPK-2 telah membuktikan dengan sah mengenai fakta tentang tidak pernahnya banding pembatalan Putusan Arbitrase diperiksa oleh Pengadilan Federal Swiss. Sebagai konsekuensi yuridisnya, maka menurut ketentuan Pasal V ayat 1 huruf (e) Konvensi New York 1958, pembatalan Putusan Arbitrase a quo dapat dimohonkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu

Penggugat/Termohon Banding) kepada dan diadili oleh pengadilan di negara yang hukumnya mendasari dibuatnya Putusan Arbitrase, in casu Indonesia qq. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ; 13. Bahwa dengan perkataan lain, adanya putusan Pengadilan Federal Swiss yang menyatakan "tidak menerima" - yang berarti juga Pengadilan Federal Swiss tidak pernah atau masih belum memeriksa materi pokok perkara pembatalan Putusan Arbitrase yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Penggugat/Termohon Banding), secara yuridis mengakibatkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan dari negara yang hukumnya mendasari dibuatnya Putusan Arbitrase in casu, berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pembatalan Putusan Arbitrase ; 14. Bahwa karena telah memenuhi Pasal 67 huruf (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dan juga telah menjadi Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia (vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 34 PK/Pdt/1984 tanggal 2 Oktober 1984 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pdt/1986 tanggal 31 Januari 1987 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 93 PK/Pdt/1986 tanggal 28 Juni 1987 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 469 PK/Pdt/2003 tanggal 14 Oktober 2004), bahwa dengan adanya Bukti PPK-1 dan PPK3 yang telah mematahkan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Agung in casu, maka Putusan Mahkamah Agung a quo, menurut hukum dan keadilan, adalah sah dan berdasar untuk dibatalkan; III. Termohon Peninjauan Kembali telah menyembunyikan dokumen Polis Asuransi yang bersifat menentukan ;

Hal. 25 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

15. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali ditemukan dan diketahui ternyata telah menutup asuransi ganti rugi pada perusahaan asuransi Berry Palmer & Lyle (Lloyd's Brokers) dengan Polis Nomor 97BPL2126 (vide Bukti PPK-3), untuk melindungi kepentingan Termohon Peninjauan Kembali dari risiko kerugian akibat politik pada Negara Indonesia dalam Kontrak Kerja Sama (Joint Operation Contract) (vide Bukti P-2) dan Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract) (vide Bukti P-3) ; 16. Bahwa dalam Polis Asuransi Kerugian a quo (vide Bukti PPK-3) dengan jelas disebutkan: (i) pihak tertanggung adalah Kahara Bodas Company, in casu Termohon Peninjauan Kembali; (ii) pihak penanggung adalah Lloyd's Sindicatate; (iii) jangka waktu Polis adalah 18 Juli 1997 s.d. 18 Juli 2002, (iv) jumlah nilai pertanggungan adalah USD 80,000,000;, dan (v) dokumen kontrak yang objeknya diasuransikan adalah Kontrak Kerja Sama tanggal 28 November yang dibuat oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali (vide Bukti P-2), dan Kontrak Jual-Beli Energi yang dibuat Pemohon dan Termohon Peninjauan Kembali, serta PT. PLN (Persero) (vide Bukti P-3) ; 17. Bahwa resiko kerugian yang dialami Termohon Peninjauan Kembali a quo karena adanya perubahan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia (vide Bukti P-4 dan Bukti P-6), telah dibayar oleh perusahaan asuransi kepada dan telah diterima oleh Termohon Peninjauan Kembali sewaktu sengketa arbitrase sedang diperiksa oleh Majelis Arbitrase di Jenewa, Swiss ; 18. Bahwa meskipun Termohon Peninjauan Kembali telah menutup asuransi kerugian, dan bahkan telah menerima ganti kerugian a quo, tetapi Termohon Peninjauan Kembali selama persidangan arbitrase sama sekali tidak pernah mengemukakan Polis Asuransi a quo, maupun mengungkapkan ganti rugi yang telah diterima Termohon Peninjauan Kembali dari perusahaan Asuransi ; 19. Bahwa jumlah ganti rugi yang telah diterima Termohon Peninjauan Kembali dari perusahaan Asuransi adalah sangat substansial jika dibandingkan dengan jumlah ganti rugi yang dituntut Termohon Peninjauan Kembali, maupun yang diputuskan Majelis Arbitrase Internasional. Seandainya dokumen Polis Asuransi dan atau ganti rugi dari perusahaan Asuransi a quo diberitahukan, dan tidak disembunyikan oleh Termohon Peninjauan Kembali kepada majelis arbitrase, quod non, maka dapat dipastikan bahwa pertimbangan dan putusan Majelis

Hal. 26 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Arbitrase akan berbeda dari yang telah diputuskan Majelis Arbitrase dalam Putusan Arbitrase tanggal18 Desember 2000 (vide Bukti P-1) ; 20. Bahwa perbuatan Termohon Peninjauan Kembali menyembunyikan dokumen Polis Asuransi a quo, adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku ; 21. Bahwa perbuatan Termohon Peninjauan Kembali a quo, secara yuridis, telah memenuhi syarat imperatif peraturan perundang-undangan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung dan atau Putusan Arbitrase (vide Bukti P-1), sebagai berikut : (i) Pasal 67 huruf (b) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, sebagai berikut : "Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan pembatalan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan." (ii) Pasal 70 huruf (b) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut : "Terhadap permohonan Putusan Arbitrase para pihak putusan dapat mengajukan diduga

pembatalan

apabila

tersebut

mengandung unsur-unsur sebagai berikut : b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;" 22. Bahwa harus dibatalkannya putusan Mahkamah Agung a quo dan atau Putusan Arbitrase (vide Bukti P-1) karena ditemukan bukti surat yang menentukan (novum) maupun karena Termohon Peninjauan Kembali telah nyata-nyata menyembunyikan dokumen yang bersifat menentukan, telah dipertegas dalam praktik peradilan di negara Indonesia dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia (vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 34 PK/Pdt/1984 tanggal 2 Oktober 1984 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pdt/1986 tanggal 31 Januari 1987 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 93 PK/Pdt/1986 tanggal 28 Juni 1987 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 469 PK/Pdt/2003 tanggal 14 Oktober 2004) ;

Hal. 27 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

23. Bahwa selain alasan yuridis a quo, bahwa Putusan Mahkamah Agung in casu harus dibatalkan karena tindakan Termohon Peninjauan Kembali yang menyembunyikan dokumen Polis Asuransi (vide Bukti PPK-3), juga telah diungkapkan dengan jelas dan tegas oleh saksi ahli, Judge Stephen M. Schwebel, salah seorang Hakim Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) dalam (Iaporan) kesaksian saksi ahli yang diberikan kepada salah satu pengadilan di negara Amerika Serikat pada tanggal 21 Februari 2003 (Bukti PPK-4) berkaitan dengan perkara Pemohon Peninjauan Kembali melawan Termohon Peninjauan Kembali mengenai pelaksanaan Putusan Arbitrase (vide Bukti P-1), yang antara lain dimuat pada halaman 7, halaman 9 dan halaman 10 surat (Iaporan) kesaksian sebagai berikut : "9. My conclusions accordingly are these: first, that there is in international arbital proceedings a duty of condor binding upon the parties and their counsel and witnesses; and second, that KBC in the circumstances described acted in breach of that duty, ... (Terjemahan: Kesimpulan saya keseluruhan adalah : pertama, bahwa dalam pelaksanaan arbitrase internasional suatu kewajiban berterus-terang mengungkapkan semua informasi mengikat para pihak dan para kuasa dan saksi-saksi; dan kedua, bahwa KBC dalam hal ini ternyata melakukan pelanggaran kewajiban

tersebut,.) ; 14. The conduct of KBC not only misled the Tribunal as to the existence of political risk insurance, it misled counsel for Pertamina, who knew and affirmed to the Tribunal that there was no OPIC insurance but could not know that there was other political risk insurance. ... (Terjemahan : Tindakan KBC tidak hanya menyesatkan peradilan mengenai eksistensi asuransi resiko politik, hal itu telah

menyesatkan kuasa untuk Pertamina yang mengetahui dan menegaskan kepada pengadilan bahwa tidak ada asuransi OPIC tetapi tidak mengetahui bahwa terdapat asuransi risiko politik yang lainnya....) ; 15. Under Article V of the New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, a court may decline to enforce an award that violates the public policy of the United States. Misleding the Tribunal with respect to a very material fact raises the

Hal. 28 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

question of whether enforcement of the award against Pertamina accords with public policy...." (Terjemahan : Berdasarkan Pasal V Konvensi New York tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, suatu pengadilan dapat menolak untuk melaksanakan suatu putusan yang melanggar ketertiban umum Negara Amerika Serikat. Penyesatan pengadilan mengenai fakta-fakta yang sangat material menimbulkan pertanyaan mengenai apakah pelaksanaan Putusan Arbitrase melawan Pertamina sesuai dengan kebijakan publik....) III. Judex Juris nyata-nyata telah khilaf dan salah menerapkan hukum in casu Pasal 72 Ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ; 24. Bahwa mengenai pembatalan Putusan Arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur dalam Pasal 70 yang mengatur tentang alasan-alasan pembatalan Putusan Arbitrase jo. Pasal 71 yang mengatur tentang jangka waktu pengajuan pembatalan Putusan Arbitrase jo. Pasal 72 yang mengatur tentang prosedural pengajuan pembatalan Putusan Arbitrase ; 25. Bahwa mengenai permohonan pembatalan Putusan Arbitrase, dalam Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dengan tegas diatur sebagai berikut : "terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir". 26. Bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang bersifat imperatif bagi pencari keadilan yang hendak melawan putusan Pengadilan Negeri dalam perkara pembatalan Putusan Arbitrase, ternyata tidak dipatuhi atau telah dilanggar oleh Termohon Peninjauan Kembali ; 27. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon

Kasasi/Tergugat), bukan mengajukan "permohonan banding" seperti diperintahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, tetapi mengajukan "kasasi" yang

Hal. 29 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Arbitrase a quo. Hal ini ternyata dari "Memori Kasasi" yang diajukan Termohon Peninjauan Kembali Nomor Reg. 011/BTP/Ext-L/IX/2002 tanggal 23 September 2002 jo. Relaas Pemberitahuan Kasasi Daf. No. 86/Pdt.G/2002/PNJkt.Pst jo. No. 82/Srt.Pdt.Kas/2002/PN-Jkt.Pst tanggal 25 September 2002 jo. Relaas Penyerahan Memori Kasasi Daftar Nomor

86/Pdt.G/2002/PN-Jkt.Pst jo No. 82/Srt.Pdt.Kas/PN-Jkt.Pst tanggal 25 September 2002 ; 28. Bahwa meskipun tidak diatur, dan bahkan bertentangan dengan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, sehingga menyalahi ketentuan hukum formal (prosedural) beracara di pengadilan, akan tetapi judex juris tetap memeriksa dan mengadili "permohonan kasasi" yang diajukan Termohon Peninjauan Kembali dalam tingkat banding ; 29. Bahwa tindakan judex juris yang memeriksa dan mengadili permohonan kasasi dari Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon

Kasasil/Tergugat) dalam pemeriksaan tingkat banding a quo adalah telah melanggar Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, dan nyata-nyata merupakan kekhilafan atau kesalahan berat dari judex juris dalam menerapkan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang aquo ; IV. Judex juris nyata-nyata telah khilaf dan salah menerapkan hukum in casu Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 ; 30. Bahwa salah satu pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan mengabulkan permohonan banding dari Termohon Peninjauan Kembali (halaman 43), adalah didasarkan ketentuan Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 yang menyatakan : "Recognation and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sough, proof that : (e) "The awards has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made" ; 31. Bahwa dari kaidah hukum yang diatur dalam Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958, secara jelas diketahui bahwa ketentuan hukum a quo hanya mengatur tentang pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement) Putusan Arbitrase dan kemungkinan

Hal. 30 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

penolakannya, dan sama sekali tidak mengatur tentang alasan dan atau tata-cara prosedur pembatalan Putusan Arbitrase ; 32. Bahwa kebenaran materiil dari kaidah hukum dalam Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 a quo, juga didukung oleh saksi ahli Albert Jan Van Den Berg, pakar hukum Belgia mengenai Konvensi New York, dalam kesaksian ahli (expert report) tanggal 29 Maret 2002 yang diberikannya kepada salah satu pengadilan di negara Amerika Serikat (Bukti PPK-5) berkaitan dengan perkara Pemohon Peninjauan Kembali melawan Termohon Peninjauan Kembali mengenai pelaksanaan

Putusan Arbitrase (vide Bukti P-1), yang antara lain dimuat pada halaman 12 surat (Iaporan) kesaksian sebagai berikut : 29. As already mentioned, the New York Convention distinguishes between an annulment proceeding, on the other hand, and a proceedings where by a party seeks to defend against the enforcement of a foreign arbitral award on the other. In an annulment proceeding, a party in an arbitration seeks to vacate or set aside the arbitral award in the country in which or under the law of which the award is made. (Terjemahan: Sebagaimana telah dijelaskan, Konvensi New York membedakan antara proses acara pembatalan, pada sisi lain, dari ketentuan beracara di mana suatu pihak bertahan untuk tidak melaksanakan suatu Putusan Arbitrase asing. Dalam acara pembatalan, suatu pihak dalam suatu arbitrase meminta tidak memiliki kekuatan atau mengesampingkan Putusan Arbitrase pada negara di mana atau menurut hukum mana Putusan Arbitrase dibuat.) 30. The New York Convention does not establish any rules for an annulment proceeding or prescribe grounds on which an award can be annulled, but instead leaves it to the domestic law of the country of origin of the award to do so. Thus, the state in which, or under the law of which, the award was made, is free to annul an award exclusively in accordance with its own laws. (Terjemahan : Konvensi New York tidak menetapkan peraturan apapun untuk acara pembatalan atau memberi dasar hukum tentang hal suatu putusan dapat dibatalkan, tetapi menyerahkannya kepada hukum dari negara asal putusan untuk dilaksanakan. Dengan demikian, negara di mana, atau menurut hukum mana,

Hal. 31 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Putusan Arbitrase dibuat adalah bebas untuk membatalkan putusan secara eksklusif menurut ketentuan hukumnya sendiri). 33. Bahwa karena alasan yuridis a quo, Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Penggugat/Termohon Kasasi), tidak pernah menggunakan ketentuan Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 a quo dalam mengajukan pembatalan Putusan Arbitrase in casu (vide Bukti P1), tetapi berdasarkan ketentuan prosedur yang diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia yang berlaku ; 34. Bahwa sekalipun sudah secara jelas dan terang bahwa Konvensi New York 1958 tidak mengatur soal alasan dan tata-cara prosedur pembatalan Putusan Arbitrase, tetapi judex juris justru menerapkan ketentuan Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 a quo untuk mendasari pertimbangan hukumnya dalam memutuskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan pembatalan Putusan Arbitrase yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Penggugat/Termohon Kasasi). 35. Bahwa dengan tindakan judex juris yang menerapkan ketentuan Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 a quo, berarti juga judex juris telah nyata-nyata melakukan kesalahan berat dalam menerapkan Konvensi New York 1958 yang telah diratifikasi negara Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, in casu Pasal V ayat (1) huruf (e). Sebab, menurut hukum, judex juris seharusnya menerapkan Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 terhadap perkara mengenai pengakuan (recognition) atau pelaksanaan (enforcement) Putusan Arbitrase Internasional, dan bukan untuk perkara pembatalan Putusan Arbitrase a quo ; V. Judex juris nyata-nyata telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian 36. Bahwa salah satu pertimbangan hukum judex juris, yaitu huruf (e) pada halaman 43 putusan, disebutkan : "e. Bahwa apalagi dari Bukti T-5 terlihat bahwa kuasa hukum Penggugat dan Turut Tergugat telah mengajukan permohonan banding terhadap Putusan Arbitrase yang disengketakan (Bukti P-1) kepada Mahkamah Agung Swiss sesuai dengan Undang-Undang Hukum Perdata

Internasional Negara Swiss."

Hal. 32 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

37. Bahwa pertimbangan judex juris a quo sama sekali tidak dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Sebab, Bukti T - 5 yang memuat keterangan (declaration) dari kuasa hukum Pemohon Peninjauan Kembali yang diberikan untuk pemeriksaan di United District Court Southern District of Texas, Houston Division a quo, tidak dipertimbangkan secara menyeluruh oleh judex juris, tetapi cuma sebagian kecil sehingga kehilangan kekuatan pembuktiannya ; 38. Bahwa selain itu, Bukti T-5 yang mendasari pertimbangan judex juris ternyata tidak didukung dengan pencocokan (otentifikasi) terhadap asli surat deklarasi yang diberikan kuasa hukum Termohon Peninjauan Kembali. Dengan perkataan lain, judex juris telah menerima dan menimbang bukti yang tidak diotentifikasi sebagai alat bukti yang sah menurut ketentuan hukum. Tindakan judex juris a quo nyata-nyata merupakan kesalahan berat dalam penerapan hukum pembuktian, in casu Pasal 164 HIR jo. Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 710 K/Sip/1974 tanggal 14 April 1976 ; 39. Bahwa secara keseluruhan, tindakan judex juris yang dalam memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan Putusan Arbitrase pada tingkat banding, telah nyata-nyata melakukan kesalahan berat dalam

menerapkan : (i) Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999; dan atau (ii) Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958; dan atau (iii) hukum pembuktian a quo, telah memenuhi syarat yuridis yang sah dan meyakinkan untuk membatalkan putusan judex juris a quo berdasarkan ketentuan Pasal 67 huruf (f) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005, yang didukung Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Republik

Indonesia (vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 381 PK/Pdt/1986 tanggal 20 Maret 1989 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 318 PK/Pdt/1988 tanggal 21 September 1989 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 167 PK/ Pdt/1991 tanggal 14 April 1994) ; Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat : mengenai alasan-alasan ke I s/d V : bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex juris tidak melakukan kekeliruan atau kekhilafan yang nyata karena country of origin, harus diartikan sebagai negara di mana Putusan Arbitrase itu

Hal. 33 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

dijatuhkan, i.c. Swiss. Lagi pula tentang acara atau tata cara pembatalan Putusan Arbitrase, tunduk pada hukum acara dari negara dimana Putusan Arbitrase itu dijatuhkan, berbeda dengan hukum substantif yang digunakan Arbiter, pihak-pihak dapat memilih hukum negara mana yang akan digunakan ; bahwa Bukti PPK-1 dan PPK-2 tidak dapat diartikan lebih, apabila Pengadilan Swiss tidak memeriksa pokok perkaranya, maka dengan sendirinya Pengadilan Indonesia berwenang ; bahwa bukti baru yang lainnya tidak memenuhi syarat dalam salah satu alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 a s/d f Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 ; bahwa Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, hanya mengatur tentang banding (bukan kasasi) terhadap putusan Pengadilan Negeri yang mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase yang merupakan upaya hukum terakhir, sehingga permohonan Peninjauan Kembali ini sesungguhnya telah menyalahi Pasal 72, ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ; Menimbang, permohonan bahwa berdasarkan kembali yang pertimbangan diajukan di atas, maka

peninjauan

oleh

PERUSAHAAN

PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA), tersebut

harus ditolak ; Menimbang, bahwa karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka biaya perkara dalam tingkat peninjauan kembali ini harus dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali ; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan ; MENGADILI Menolak permohonan peninjauan kembali dari : PERUSAHAAN

PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA), tersebut; Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.2.500.000,(dua juta lima ratus ribu rupiah) ; Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari SELASA tanggal 9 SEPTEMBER 2008 oleh Dr. H. Harifin A.

Hal. 34 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

Tumpa, SH. MH., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. Atja Sondjaja, SH. dan H. Muhammad Taufik, SH., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri kedua Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Dandy Wilarso, SH. MH., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

Hakim-Hakim Anggota : Ttd./ H. Atja Sondjaja, SH. Ttd./ H. Muhammad Taufik, SH.

Ketua Majelis : Ttd./ Dr. H. Harifin A. Tumpa, SH. MH.

Panitera Pengganti : Ttd./ Dandy Wilarso, SH. MH.

Biaya-biaya : M e t e r a i . Rp. R e d a k s i Rp. 6.000,1.000,-

Administrasi peninjauan kembali Rp. 2.493.000,- + Jumlah Rp. 2.500.000,-

Untuk Salinan Mahkamah Agung R.I. a.n. Panitera Panitera Muda Perdata,

MUH. DAMING SUNUSI, SH. MH. NIP. 040030169

Hal. 35 dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007

You might also like