You are on page 1of 3

Perbarindo: Masyarakat Masih Enggan Menabung di BPR

Senin, 23 Mei 2011, 18:48 WIB Headline, Perbankan

Masyarakat masih enggan untuk menyimpan dananya di BPR. Karena itu, bunga kredit di BPR tinggi. Hal ini menyebabkan biaya overhead-nya juga tinggi. Kristopo JakartaSejak krisis 1997-1998 sampai saat ini, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor UMKM terbukti tahan dari badai krisis moneter tersebut. Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya usaha besar yang gulung tikar akibat hantaman badai krisis moneter. Namun, sektor UMKM masih terus bertahan. Di pedesaan, bank yang paling dekat dengan sektor UMKM adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). BPR merupakan bank sangat mengetahui karakteristik usaha UMKM, tetapi, mengapa BPR masih tinggi dalam memberikan bunga kredit kepada usaha UMKM? Menurut Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo), Joko Suyanto, Dana Pihak Ketika yang banyak di BPR adalah deposito, sehingga cost of fund dari BPR tinggi dibanding bank umum. Cost of fund kami lebih banyak di deposito, sehingga bunga kredit kami termasuk besar, kata Joko, saat memaparkan kondisi suku bunga perbankan dan inflasi di dalam negeri, pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XI DPR RI dengan BI, Perbanas, Himbara, Asbanda, Perbarindo dan Asbisindo, yang membahas mengenai inflasi dan suku bunga, di Gedung DPR, di Jakarta, Senin, 23 Mei 2011. Joko menambahkan, tinggi bunga kredit BPR kepada UMKM karena masyarakat belum percaya untuk menyimpan uangnya di BPR, sehingga biaya cost of fund BPR jadi mahal. Selain itu, lanjut Joko, yang menyebabkan biaya bunga kredit BPR tinggi adalah biaya operasional BPR yang masih tinggi juga. BPR melakukan jemput bola kepada debitur, sehingga biaya oprasional tinggi. BPR merupakan institusi yang padat karya, pelayanannya jemput bola. Jadi, biaya overhead yang ditanggung BPR tinggi, jelasnya. Karena, tukasnya, sulit untuk menurunkan suku bunga BPR. Kecuali banyaknya dana masyarakat yang masuk ke tabungan di BPR dan upaya meningkatkan volume usaha. Sebenarnya bagi BPR yang skalanya sudah besar, sudah dapat melakukan efisiensi, ujarnya. (*)

Dibanding 2008, BI Klaim Suku Bunga Sudah Turun Drastis


Senin, 23 Mei 2011, 12:42 WIB Headline, Perbankan Dalam kurun waktu dua tahun, BI mencatat suku bunga perbankan telah mengalami penurunan cukup signifikan sehingga mendorong penyaluran kredit. Paulus Yoga JakartaBank Indonesia (BI) menyatakan, suku bunga kredit maupun deposito industri perbankan telah menunjukkan penurunan yang cukup besar seiring dengan suku bunga acuan bank sentral (BI Rate). Suku bunga industri perbankan sudah cukup menunjukkan penurunan jika dibandingkan ketika terjadinya krisis global di tahun 2008, ujar Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono dalam Rapat dengan Komisi XI DPR-RI, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 23 Mei 2011. BI mencatat, suku bunga deposito berada di kisaran 10,7% di akhir 2008 dan hingga Maret 2011 sudah berada di posisi 6,8%. Untuk suku bunga kredit khususnya kredit konsumsi telah menurun hingga 100 bps dari 15,8% di 2008 menjadi 14,8% per akhir Maret 2011. Jika dilihat suku bunga deposito per 2008 tercatat 10,75% kini per Maret 2011 mencapai 6,75% kemudian untuk suku bunga kredit konsumsi menurun dari 15,8% menjadi 14,8%, tukas Hartadi. Selain itu, lanjutnya, untuk suku bunga kredit modal kerja tercatat menurun dari 14,6% menjadi 11,7%, sedangkan kredit investasi turut anjlok dari 14,0% menjadi 11,8%. Dengan penurunan suku bunga tersebut, terlihat penyaluran kredit mengalami peningkatan, pada 2010 mencapai Rp1.765 triliun atau meningkat Rp327 triliun atau 22,8% secara tahunan dibandingkan pada 2009. Peningkatan penyaluran kredit ini masih berlanjut pada 2011, dimana per Maret 2011 sudah mencapai Rp1.814 triliun atau tumbuh 24,6%, tandas Hartadi. Lebih jauh Hartadi mengungkapkan kredit perbankan terus tumbuh dan hingga April 2011 ini BI mencatat kredit perbankan telah tumbuh mencapai 23,8% dalam setahun terakhir. (*)

BI Akan Kampanyekan Transparansi Produk Perbankan


Jumat, 20 Mei 2011, 13:33 WIB Headline, Perbankan Untuk menjaga kenyamanan dan keamanan nasabah terhadap produk-produk perbankan, BI bersama perbankan akan mengampanyekan transparansi produk, terutama terkait dengan semakin beragamnya produk-produk di bisnis wealth management. Paulus Yoga JakartaBank Indonesia (BI) terus mendorong transparansi perbankan dengan mengupayakan kampanye produk bagi masyarakat, sehingga nasabah dapat mengetahui risiko dari tiap produk yang diminatinya. Kita akan ajak perbankan untuk mensosialisasikan produk-produk mereka kepada masyarakat. Jadi bersama-sama, karena yang tahu produknya perbankan, tukas Kepala Biro Humas BI Difi A. Johansyah, saat ditemui wartawan di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat 20 Mei 2011. Hal tersebut berkaitan dengan semakin banyaknya produk di luar produk perbankan yang ditawarkan perusahaan Manajemen Investasi (MI) melalui perbankan. Seperti produk-produk pasar modal dan asuransi, lewat bisnis wealth management perbankan. Kalau simpanan itu kan underlying-nya jelas. Nah, di luar produk-produk itu, nasabah harus cermat tanya risiko dan penjaminannya seperti apa. Ini kan ada produk-produk di luar bank seperti asuransi dan pasar modal, terang Difi. Untuk itu, lanjutnya, saat ini BI akan berembuk dengan industri perbankan untuk menjalankan program tersebut dalam waktu dekat. Karena tidak semua nasabah tahu tingkat risiko masing-masing produk yang ditawarkan bank. Jadi kita akan kampanyekan ini dengan perbankan. Agar masyarakat tahu mana produk yang risikomya rendah dan tinggi. Kan itu juga wajib bagi bank untuk menginformasikan produk-produknya kepada masyarakat. Itu wajib, BI akan terus ingatkan bank, tandasnya. Saat ini, terkait dengan bisnis wealth management, selain sedang menyiapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI), BI juga telah menghentikan pertumbuhan bisnisnya untuk sementara selama sebulan agar tiap-tiap bank dapat memperbaiki SOP dan internal kontrolnya. Itu kita lihat betul-betul kontrak bank dengan MI itu di bisnis wealth management. Jangan sampai ada garansi, karena produk-produk itu kan tidak dijamin oleh bank, pungkas Difi. (*)

You might also like