You are on page 1of 8

BAHASA DALAM KAJIAN FEMINISME

Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah : Feminisme Yang diampu oleh: Prof. Dr. Siti Chamamah Soetarno KAJIAN TIMUR TENGAH

diajukan oleh Luthfi Muhyiddin 10/306435/PMU/6622

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA


2010

Bahasa dalam Kajian Feminisme


Oleh: Luthfi Muhyiddin/ KTT-Linguistik UGM /2010

Pendahuluan Feminisme merupakan sebuah faham yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan yang merupakan kelompok yang tertindas, dimana pada masamasa abad pertengahan di Eropa sekitar tahun 1970an perempuan tidak banyak memiliki tempat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perjalanan sejarahnya, kajian feminisme berkembang tidak hanya menitik berat kan pembahasannya pada kemerdekaan hak-hak bermasyarakat perempuan, tapi lebih daripada itu kajian feminisme mengarah kepada perubahan budaya hidup bermasyarakat, yaitu persamaan derajat dan hak-hak hidup baik untuk perempuan maupun laki-laki, menghilangkan ke-subordinat-an perempuan oleh laki-laki, menghilangkan kekuasaan patriarkhi dalam kehidupan berbudaya dan bermasyarakat. Karena adanya wacana menghilangkan sifat-sifat patriarkhi dalam kehidupan bermasyarakat, maka banyak muncul kajian feminisme atas bahasa percakapan dan bahasa sastra di masyakarat dewasa ini, baik lisan maupun tulisan. Pembahasan Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat untuk mengekspresikan gagasan yang telah menjadi konsesus bersama. Ekspresi bahasa tersebut menggambarkan kecendrungan masyarakat penuturnya. Oleh karenanya, untuk mempelajari dan menjelaskan bahasa niscaya harus melibatkan aspek-aspek sosial yang mencitrakan masyarakat tersebut,1 seperti tatanan sosial, strata sosial, umur, lingkungan dan lain-lain. Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Chomsky bahwa bahasa adalah asosial karena mengabaikan heterogenitas yang ada dalam masyarakat, baik status sosial, pendidikan, umur, jenis kelamin latar belakang budayanya, dan lain-lain. Chomsky memilah antara bahasa di satu sisi dan budaya di sisi lain.2
1

Harimurti Kridalaksana, Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa, Nusa Indah, Flores, 1985, hal. 4. Kaitannya dengan ini, Abdul Chaer mengatakan bahwa untuk menganalis bahasa harus mengkaji hubungan antara bahasa dengan aktorfaktor yang belaku dalam masyarakat, berdasar status dan fungsi perilaku yang berlaku di masyarakat. Lihat Abdul Chaer, Lingustik Umum, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 71.
2

Silal Arimi, Sosiolinguistik, dalam http://i-elisa.ugm.ac.id./inex.php?app= komunitas_home diakses pada 04 Oktober 2010.

Setelah munculnya feminisme, muncul berbagai macam wacana dan pemikiran yang membahas isu-isu tentang wanita yang mencakup segala bidang ilmu pengetahuan. Bahasa sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan juga tidak luput dari perhatian para feminis. Mereka mengadakan penelitian dan analisa terhadap bahasa, dikarenakan bahasa merupakan alat bagi para penguasa untuk menekan dan menjatuhkan kelompok subordinat pada masyarakat patriakhi, dalam hal ini kaum subordinat adalah para perempuan. Para feminis merasakan adanya sifat-sifat patriarkhi dalam pola bahasa yang di gunakan baik dalam tulisan maupun dalam lisan pada masyakarat. Sebagai contoh : ketika dalam suatu perkumpulan yang terdiri antara laki-laki dan perempuan, pembicara sering melontarkan kata-kata "bapak-bapak hadirin semua yang saya hormati" sedangkan diantara para hadirin yang ada pada perkumpulan tersebut terdapat ibu-ibu. Selain itu, Katubi (seorang peneliti pada Puslit Kebudayaan dan

Kemasyarakatan PMB LIPI) menerangkan tiga alasan muncul nya kajian bahasa dalam feminisme3, yaitu : pertama, salah satu tujuan dari feminisme adalah membongkar dan menghapus aspek-aspek budaya yang berkaitan dengan ketimpangan gender. Kedua, adanya gelombang kajian "citra perempuan" yaitu kajian representasi. Bahasa memiliki hubungan dengan representasi karena bahasa merupakan alat untuk representasi. Bahasa juga bisa dijadikan alat pemajanan (exposing) stereotype budaya patriakal. Bahasa merepresentasikan dunai dari sudut pandang maskulin dan sesuai dengan kepercayaan yang distereotipekan tentang perempuan, laki-laki dan hubungan antara keduanya.4 Ketiga, pengaruh teori antropologis yakni hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi dengan kuat dan bahkan menentukan pandangan dunia seseorang. Menurut mereka, bahasa yang kita gunakan setiap waktu mempengaruhi kita baik secara sadar ataupun tidak sadar terhadap cara pandang kita akan semua hal didunia ini. Pernyataan ini juga di perkuat oleh Burman dan Parker yang menyatakan bahwa bahasa berisi sebagian besar katagori dasar yang kita gunakan dalam memahami diri kita sendiri; bahasa juga menentukan cara kita bertindak baik sebagai
3

Katubi, Studi Bahasa dan Jender: Sejarah Singkat, Ancangan dan Model Analisis, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya , vol. VI nomor I tahun 2004, hal. 38 4 Deborah Cameron, Feminism and Linguistic Theory, 2nd Edition, The Macmillan Press, London, hal, 6.

seorang laki-laki ataupun perempuan dalam lingkungan masyakarat; bahasa juga mereproduksi cara kita menentukan identitas budaya.5 Kajian analisis terhadap bahasa ini muncul seiring dengan kemunculan feminisme pada tahun 1960-1970an, pada masa ini wacana penelitian lebih di dominasi oleh paradigma yang mengelompokan penutur menurut seks biologis dengan penggunaan metode kuantitatif dan penekanan pada perbedaan jenis kelamin dalam pelafalan dan tata bahasa. Kemudian pada periode selanjutnya penelitian menekankan pada strategi percakapan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Penelitian lebih terarah pada kompetensi komunikatif. Dalam hal ini, Brown (1980) melakukan penelitan pada suku Mayan di Meksiko yang mengetes hipotesis yang menyatakan bahwa wanita lebih santun daripada pria; wanita lebih sensitif berkaitan dengan 'muka' orang lain.6 Dalam hampir setiap bahasa terdapat sexisme yang memarginalkan peran

perempuan dalam masyarakat, seperti contoh nya dalam bahasa Indonesia, terdapat istilah negarawan untuk para pejabat kenegaraan, dan kata tersebut melekat kepada para bapak-bapak pejabat, tetapi sangat jarang sekali istilah 'negarawati' yang diperuntukan kepada para pejabat dari kaum perempuan dipergunakan dalam keseharian. Sexisme bahasa juga terjadi dalam bahasa inggris, sebagai contoh; kata 'Mr. President' dan kata 'First Lady', kata yang pertama diperuntukan kepada kaum laki-laki yang menjadi presiden sedangkan kata yang kedua digunakan untuk menyebut istri presiden, tapi jika seorang presiden adalah perempuan maka kata 'Firs Lady' tersebut tidak mungkin dirubah menjadi 'First Gentleman'. Oleh sebab itu, kata-kata tersebut sangat bersifat subordinatif.7 Stereotip dalam bahasa seperti ini jelas merupakan produk kultural (terbentuk melalui nurture) dan bukan yang timbul karena sifat alamiah (terbentuk oleh nature). Hal-hal yang sifatnya kultural ini tercermin dalam bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga mencerminkan masyarakat dan budaya tempat bahasa itu hidup dan digunakan, termasuk pandangan hidup masyarakat
5

Christine Christie, Gender and Language: Towards A Feminist Pragmatics, Edinburgh University Press, Edinburgh, hal, 45. 6 P. Brown, How and Why Woman More Polite: Some Evidence from a Mayan Community, dalam McConnell-Ginet et al, hal, 111-136. 7 http://iwanfauzi.wordpress.com/2008/10/12/seksisme-bahasa-dalam-perspektif-gender/

pemakainya (Graddol & Swann, 1989). Namun, bahasa juga membantu membentuk cermin tersebut (society shapping). Diakui atau tidak, pembagian peran gender di dalam masyarakat kita sudah terbentuk lewat pendidikan dini anak-anak. Misalnya, di sebuah sekolah taman kanakkanak ibu gurunya bertanya siapa yang ingin jadi presiden? hampir semua murid lakilaki mengacungkan jari dan tak satu pun seorang murid perempuan berani mengacungkan jarinya diantara teman-temannya yang laki-laki walaupun niat untuk itu pasti ada. Konsep yang terbentuk secara kultural ini seringkali diperkuat lagi melalui lembaga pendidikan sebagai lembaga yang secara sistematis membentuk konsep seksisme bahasa lewat pelajaran sekolah. Ambil saja sebuah contoh yang sering dijumpai dalam pelajaran bahasa Indonesia anak sekolah dasar, misalnya siswa mempelajari penggunaan kata sedangkan: Ibu memasak di dapur, sedangkan ayah membaca koran. Dari hasil pekerjaan siswa itu, seorang guru bahasa Indonesia yang kebetulan perempuan minta anak yang lainnya lagi untuk membuat kalimat yang menggunakan kata sedangkan. Lagi-lagi seorang siswa menulis Ayah pergi ke kantor, sedangkan ibu pergi ke pasar.8 Keberadaan sexisme bahasa ini memang dibentuk oleh para pemegang kekuasaan pada jaman dahulu, mereka ini adalah para laki-laki yang memang menginginkan untuk menjaga dan mempertahankan dominasinya di masyarakat, sehingga menciptakan ekspresi bahasa yang berbeda antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan paradigma masyarakat masih beranggapan bahwa perempuan hanyalah sebagai pelengkap dan lemah, yang memunculkan sikap ekspresi asimetri dan berimbas kepada ketidakadilan gender (gender inequalities) terhadap perempuan.9 Menurut Munjin, penyebab munculnya sexisme bahasa ini adalah adanya masalah dominan dan masalah perbedaan. Masalah dominan, yaitu; adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat, baik dari dalam penuturan bahasa, bentuk bahasanya maupun suara antara laki-laki dan perempuan dalam percakapan. Kecenderungan laki-laki untuk menjadi superior baik dalam hierarki masyarakat
8 9

Iwan Fauzi, Sexisme Bahasa Dalam Perspektif Gender, Harian Banjarmasin Post 21 Mei 2003 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1999, hal. 12.

maupun dalam keluarga menjadikan perempuan sebagai kaum kedua yang tidak dianggap dan bahkan cenderung direndahkan. Untuk mengimbangi dan membebaskan diri dari ketertindasan kaum pria dengan model maskulinitas bahasa ini, maka para feminis membuat perubahan dalam penggunaan bahasa serta pemilihan kata dan penempatan maknanya, sehingga para perempuan mampu terbangun dan terbebas dari ketidakadilan sexisme bahasa tersebut.10 Sedangkan masalah perbedaan, yaitu; terbentuknya pemisahan budaya dari sejak dini antara laki-laki dan perempuan, semisal; anak laki-laki kecil cenderung bermain mainan robot ataupun mobil-mobilan, sedangkan anak-anak perempuan cenderung bermain dengan boneka atau bermain masak-masakan, sehingga terbentuklah kultur budaya masing-masing yang terpisahkan antara subbudaya laki-laki dan subbudaya perempuan. Ada dua penyebab munculnya masalah perbedaan ini: Pertama, hubungan sosial. Dalam pergaulan sehari-hari, baik ketika waktu kecil maupun sesudah dewasa hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan selalu membentuk kelompok-kelompok tersendiri, yang menyebabkan timbulnya pola-pola hidup yang hanya sesuai untuk masing-masing kelompok tersebut, sehingga membuat permasalahan manakala timbulnya kesadaran untuk berkomunikasi antara kedua kelompok tersebut yaitu komunikasi antara perempuan dan laki-laki dikarenakan benturan dua pola kehidupan yang sudah melekat pada diri masing-masing perempuan dan laki-laki. Kedua, perbedaan fisik biologis (biological physic) dan sosialisi. Hal ini dimulai dari pendidikan dini yang dilakukan oleh orangtua, sebagai misal; ketika anak laki-laki merangkai bunga, maka orangtua melarangnya karena bunga identik dengan kelembutan dan lambang lemah gemulai yang cocok hanya untuk anak perempuan, demikian juga ketika anak perempuan main perang-perangan ataupun memainkan mobil-mobilan, maka orangtua akan melarangnya dikarenakan mainan dan permainan tersebut hanya diperuntukan bagi anak laki-laki. Keadaan seperti ini menimbulkan sikap dan perilaku yang akan terbawa sampai masa dewasa yang menyebabkan adanya ketimpangan sosial, karena warna, rasa dan permainan dan perilaku tidak diciptakan dengan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi kesemuanya itu dibuat untuk dimanfaatkan dan digunakan oleh manusia tanpa melihat perbedaan fisik.
10

Esther Kuntjara, Gender, Bahasa, dan Kekuasaan, PT. BPK Gunung Mulia dan UK Petra Surabaya, Jakarta: 2003,

Arliss Laurie mengatakan:


"communication is thought to be, at once, the process by which we learn to be male or female, and the product of our attempts to behave sex appropriately." 11

Bahwa komunikasi yang dibangun oleh manusia dalam menjalani kehidupannya tidak terlepas dari permasalan gender dan merupakan proses dimana manusia akan belajar untuk menjadi laki-laki atau perempuan yang merupakan hasil dari usaha manusia dalam memposisikan dirinya di masyarakat. Oleh karena itu, para feminis menginginkan perubahan dalam konteks pemakaian kata-kata dalam komunikasi yang apriori dan subordinatif, sehingga kaum wanita tidak terpasung oleh maskulinitas bahasa yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Penutup Adanya kajian sexisme bahasa yang dibangun oleh para feminis membuat kajian di ranah kebahasaan semakin ramai dan menarik, menjadikan kajian linguistik kaya akan pengetahuan dan peminat yang tiada henti mengeluarkan ide dan pemikirannya. Akan tetapi, kaidah-kaidah yang berlaku dalam kajian linguistik haruslah tetap di pertahankan bahkan diperkaya dengan kaidah yang baru tetapi tetap dalam koridor linguistiknya. Bagaimanapun juga, ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan jelas harus dihilangkan, karena perempuan adalah bagian dari komunitas yang ada didunia dengan hak-haknya. Para feminis memperjuangkan hal tersebut di segala bidang, termasuk dalam bahasa komunikasi yang digunakan dalam bermasyarakat dengan tujuan menghilangkan keterpasungan kaum wanita oleh bahasa yang bersifat patriarkhi dan menyudutkan kaum wanita, sehingga perempuan mempunyai kebebasan dalam berfikir dan berpendapat, mendapatkan haknya untuk ikut membangun peradaban di dunia.

11

Laurie P. Arliss, Gender Communication , Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall, 1991, hal. 10.

Referensi
Arimi, Silal, Sosiolinguistik, dalam http://i-elisa.ugm.ac.id./inex.php?app= komunitas_home diakses pada 04 Oktober 2010. Chaer, Abdul, Lingustik Umum, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Christine, Christie, Gender and Language: Towards A Feminist Pragmatics, Edinburgh University Press, Edinburgh. Deborah, Cameron, Feminism and Linguistic Theory, 2nd Edition, The Macmillan Press, London. Fauzi, Iwan, Sexisme Bahasa Dalam Perspektif Gender, Harian Banjarmasin Post 21 Mei 2003 Katubi, Studi Bahasa dan Jender: Sejarah Singkat, Ancangan dan Model Analisis, dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya , vol. VI nomor I tahun 2004. Kridalaksana, Harimurti, Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa, Nusa Indah, Flores, 1985. Kuntjara, Esther, Gender, Bahasa, dan Kekuasaan, PT. BPK Gunung Mulia dan UK Petra Surabaya, Jakarta: 2003. Laurie P. Arliss, Gender Communication , Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall, 1991. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1999. P. Brown, How and Why Woman More Polite: Some Evidence from a Mayan Community, dalam McConnell-Ginet et al. http://iwanfauzi.wordpress.com/2008/10/12/seksisme-bahasa-dalam-perspektif-gender/

You might also like