You are on page 1of 18

Film Dokumenter

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 27 Agustus 2009 Banyak perdebatan tentang film, terutama dokumenter. Perdebatan itu masih di sekitar wilayah pemahaman dasar, padahal di negeri-negeri tempat dokumenter itu berasal seperti Perancis, Russia, Inggris dan lain sebagainya, para pembuat dan teoritikusnya bahkan hampir tidak lagi berbincang tentang masalah realitas dan fakta, namun sudah lebih dari itu. Satu dekade belakangan fenomena pembuatan film menjadi menguat terutama dikarenakan adanya lompatan teknologi video yang harganya menjadi sangat terjangkau. Sudah tidak aneh bila tiba-tiba saja ada orang yang mengaku sutradara, padahal di masa lalu hal seperti itu sangatlah sulit diraih. Perkembangan teknologi ini juga kemudian menjadikan film tidak lagi ekslusif, sehingga memungkinkan setiap orang yang bisa mengaksesnya untuk membuat film. Sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman yang baik tentang produksi film itu sendiri, bahkan pengadopsian istilah-istilah dari dunia perfilman di barat (Amerika Serikat) menjadi sangat arbitrer. Contohnya saja ketika salah seorang pembuat film menggunakan istilah independen, maka hampir semua orang yang berhubungan dengan film menerjemahkannya dengan seenak pikirnya. Beberapa diskusi bahkan tidak mengetahui darimana istilah independen berasal, sampai-sampai ada yang menggunakan kata indische untuk mencari kata itu. Padahal kalau benar-benar membaca sejarah film terutama di Amerika Serikat, istilah itu tidak sulit untuk ditemukan bahkan sampai ke sejarahnya. Kembali lagi pada pemahaman dasar produksi film, banyak pembuat film hanya tahu bahwa kalau membuat film itu ambil kamera, shoot dan masuk editing. Dalam dunia dokumenter sendiri bila mau shooting yang mereka lakukan adalah mendatangi narasumber dan wawancara. Setelah itu mereka tinggal mengambil gambar sekedarnya untuk disesuaikan dengan isi wawancaranya. Sekarang ini bisa dilihat, banyak dari para pembuat dokumenter itu tidak lagi memahami tentang; Bagaimana cara bercerita yang baik? Bagaimana merencanakan film dokumenter? Apa mise en scene yang harus direkam? Apakah suara penting dalam dokumenter? Namun sebelum lebih jauh masuk ke permasalahan tersebut, maka ada baiknya kita melihat dulu apa definisi dokumenter, sehingga dapat dengan memudahkan atau membantu bagi yang ingin memulainya.

Definisi Film Dokumenter


Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 27 Agustus 2009

Sesungguhnya kata ini muncul dari tulisan John Grierson ketika menanggapi film-film karya Robert Flaherty, terutama sekali Nanook of the North. Film yang berdurasi kurang lebih 1,5 jam itu tidak lagi mendongeng ala Hollywood. Grierson kemudian menyampaikan pandangannya bahwa apa yang dilakukan oleh Flaherty tersebut merupakan sebuah perlakuan kreatif terhadap kejadian-kejadian actual yang ada (the creative treatment of actuality). Walaupun definisi ini bertahan cukup lama, kemudian bermunculanlah orang-orang yang mencoba mendefinisikan dengan caranya masing-masing (arbitrer) seperti yang coba dikumpulkan berikut ini : 1. Paul Rotha : Definisi Dokumenter bukan merujuk pada subyek atau sebuah gaya, namun dokumenter adalah sebuah pendekatan. Pendekatan dalam dokumenter dalam film berbeda dari film cerita. Bukan karena tidak dipedulikannya aspek kriya / kerajianan (craftsmanship) dalam pembuatannya, tetapi dengan sengaja justru memperlihatkan bagaimana kriya tersebut digunakan. 2. Paul Wells : Teks Non-Fiksi yang menggunakan footagefootage yang aktual, di mana termasuk di dalamnya perekaman langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan materi-materi riset yang berhubungan dengan peristiwa itu, misalnya hasil wawancara, statistik, dlsb. Teks-teks seperti ini biasanya disuguhkan dari sudut pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isuisu sosial tertentu yang sangat memungkinkan untuk dapat menarik perhatian penontonnya. 4. Steve Blandford, Barry Keith Grant dan Jim Hillier : Pembuatan film yang subyeknya adalah masyarakat, peristiwa atau suatu situasi yang benarbenar terjadi di dunia realita dan di luar dunia sinema. (The Film Studies Dictionary, halaman 73). 5. Frank Beaver : Sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyeksubyek seperti sejarah, ilmu pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan, member informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita tinggali. (Dictionary of Film Terms, halaman 119) 6. Louis Giannetti :

Tidak seperti kebanyakan film-film fiksi, dokumenter berurusan dengan fakta-fakta, seperti manusia, tempat dan peristiwa serta tidak dibuat . Para pembuat film dokumenter percaya mereka menciptakan dunia di dalam filmnya seperti apa adanya. (Understanding Movies , Edisi Ke-7, halaman 339) 7. Timothy Corrigan : Sebuah film non-fiksi tentang masyarakat dan peristiwanya, seringkali mengabaikan struktur naratif yang tradisional. (A Short Guide to Writing About Film, Edisi Ke-4, halaman 206). 8. Michael Rabinger : Dokumenter harusnya dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita saja. Film dokumenter ada untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu. 9. Ralph S. Singleton and James A. Conrad : Film dari sebuah peristiwa yang aktual. Peristiwa-peristiwa tersebut didokumentasikan dengan menggunakan orang-orang biasa dan bukan actor. (Filmmakers Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 94) 10. Edmund F. Penney : Suatu jenis film yang melakukan interpretasi terhadap subyek dan latar belakang yang nyata. Terkadang istilah ini digunakan secara luas untuk memperlihatkan aspek realistiknya dibandingkan pada film-film cerita konvensional. Namun istilah ini juga telah menjadi sempit karena seringkali hanya menyajikan rangkaian gambar dengan narasi dan soundtrack dari kehidupan nyata. (Facts on File Film and Broadcast Terms, halaman 73). 11. James Monaco : Istilah dengan makna yang sangat luas, secara mendasar digunakan untuk merujuk pada film atau program televisi yang tidak seluruhnya fiktif saat menyajikan alam. (The Dictionary of New Media, halaman 94) 12. Ira Konigsberg :

Sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan non-fiksi yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas. (The Complete Film Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 103). 13. Gerald Mast dan Bruce F. Kawin Sebuah film non-fiksi yang menata unsur-unsur faktual dan menyajikannya, dengan tujuan tertentu. (A Short History of the Movies, Edisi Ke-7, halaman 64). 14. David Bordwell dan Kristin Thompson Justru yang menarik adalah apa yang dikatakan oleh David Bordwell dan Kristin Thompson dalam Film Art: An Introduction, Edisi Ke-5. Menurutnya bahwa inti dari film dokumenter adalah untuk menyajikan informasi yang faktual tentang dunia di luar film itu sendiri. Bedanya dengan fiksi adalah dalam pembuatannya tidak ada rekayasa baik dari tokohnya (manusia), ruang (tempat), waktu dan juga peristiwanya. 15. Misbach Yusabiran Misbach Yusabiran melalui Penulis Skenario, Armantono pernah mengatakan bahwa dokumenter adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mem-persuasi) penontonnya. Dengan definisi ini, film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat dengan film-film yang bernuansa propaganda.

Perihal Dokumenter
Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010 A. MENYAMPAIKAN KEBENARAN Sampai hari ini, masih banyak yang percaya bahwa film dokumenter berfungsi untuk menyampaikan dan menampilkan kebenaran dalam kehidupan manusia, sehingga pembuat film dokumenter dengan sekuat tenaga akan menggunakan seluruh sumber daya dan sarana yang ada untuk mewujudkannya. Tentu saja apa yang disajikan oleh para pembuat film dokumenter adalah footage dari masa kini ataupun masa lalu untuk mengeksplorasi subjek tertentu, termasuk peristiwa sejarah dan peristiwa kekinian, juga fenomena alam, profil pesohor, senibudaya serta segala macam tema yang bisa dibayangkan. B. GAYA DAN SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)

Film dokumenter secara signifikan akan selalu dibuat bervariasi terutama dalam aspek gaya dan sudut pandangnya. Film dokumenter yang dibuat secara konvensional, seperti In Search of Mozart, selalu menggunakan footage (gambar bergerak) dan foto (gambar diam) untuk mengantarkan penonton masuk ke dalam subjeknya, yang dalam kasus ini adalah kehidupan dan dunia musik Wolfgang Amadeus Mozart ketika muda. Pada spektrum gaya yang lain, film dokumenter juga dibuat dengan pendekatan eksperimental, contohnya dalam film Mayhem (1987) karya Abigail Child, di mana ekspresi pribadi sangatlah kuat dengan menggunakan jukstaposisi gambar yang tak terduga. Para pembuat film dokumenter panjang seperti Michael Moore dalam film Sicko (2007) juga mengugunakan teknik jukstaposisi gambar dalam mengkonstruksi ceritanya, sedangkan Michael Winterbottom dan Mat Whitecross dalam film Road To Guantanamo (2006) justru menggunakan pendekatan fiksi (semi dokumenter) untuk menceritakan apa terjadi di sana ketika footage aslinya tidak tersedia. C. PROPAGANDA YANG KUAT Film dokumenter yang kuat dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik suatu masyarakat. Dengan sangat halus, sutradara biasanya memiliki sudut pandang yang akhirnya menyatu dengan nilai propaganda terhadap permasalahan yang disampaikannya. Oleh karena itu penonton harus peka terhadap kemungkinan adanya bias itu. Contoh itu ada dalam dokumenter klasik, Triumph of the Will (1935) karya Leni Reifenstahl yang saat itu menjadi tangan kanan Adolf Hitler dalam urusan media film. Di sisi lain, Amy Berg nominasi piala Oscar dalam Deliver Us From Evil (2006), yang membeberkan pelecehan anak oleh rohaniwan Katolik di Los Angeles yang menyebabkan Keuskupan Agung Los Angeles menawarkan $ 660 juta kepada korban pelecehan untuk penyelesaian kasus tersebut baru-baru ini. D. KONFLIK KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST) Saat menonton film dokumenter dengan kemungkinan biasnya sudut pandang sutradara, maka salah satu kesadaran yang perlu diangkat adalah sumber pendanaan pembuatan film tersebut. Misalnya ketika perusahaan rokok membiayai film yang menunjukkan rokok sebagai gaya hidup ataupun ketika The Dixie Chicks merekrut Barbara Kopple menyutradari Shut Up & Sing (2006) yang menceritakan kembalinya mereka ke tengah panggung, di mana mereka mengkritisi Perang Irak yang dilancarkan George Walker Bush. Dikarenakan film ini menceritakan mereka yang masuk ke industri musik kembali, maka membuat informasi dan pesan film tentang Perang Irak seperti kurang dipercaya. E. ETIKA DAN AKUNTABILITAS Konflik kepentingan dan adanya kredibilitas yang dipertanyakan bukan satu-satunya standar yang dipertimbangkan dalam film dokumenter. Unsur lain yang dipertimbangkan oleh pembuat film adalah digunakannya subjek hidup dan merekamnya dengan akurasi tinggi. Dalam Tooties Last Suit (2006), Lisa Katzman mengikuti Mardi Gras India untuk menentukan kostum siapa

yang paling bagus. Film ini mengungkap persaingan antara Tootie dan putranya di mana kedua subjek tersebut merasa merana saat menonton, tapi sang sutradara tidak bisa disalahkan karena mengkhianati kepercayaan mereka. F. EVOLUSI PEMBUATAN FILM DOKUMENTER Pembuatan film dokumenter telah berkembang selama puluhan tahun. Film awal seperti Nanook of the North (1930) karya Robert Flaherty saat itu memerlukan peralatan canggih untuk membuat gambar menarik tetapi tidak sempurna. Teknologi digital saat ini memungkinkan para pembuat film professional dan amatir menggunakan cara gerilya (seperti hanya perekaman yang dapat mengungkapkan kebenaran tentang berbagai hal namun mereka sedang difilmkan tidak menyadarinya). G. SEKARANG SUDAH LEBIH POPULER Film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat karena teknologinya membuat mereka bisa menjangkau untuk masuk profesi tersebut. Penonton juga cenderung lebih percaya dan tertarik terhadap sumber informasi para pembuat film pemula tersebut, dibandingkan dengan film yang diproduksi oleh lembaga mainstream di mana informasinya sering dipotongpotong untuk kepentingan berita mereka daripada untuk kepentingan substansi ceritanya. NB : Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari sebuah situs di internet yang saya sudah lupa, mohon maaf bagi yang situsnya diterjemahkan. Ini hanya untuk berbagi. sumber: http://saungsinema.wordpress.com

Membedakan Film Dokumenter


Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010 Bagaimana membedakan film dokumenter dengan film atau tayangan audio-visual yang lain di mana tayangan tersebut dianggap mirip atau bahkan dianggap sama. Misalnya beda dokumenter dengan film dokumentasi dan jurnalistik televisi. Banyak orang ketika mengucapkan sebuah pernyataan,film kamu ini dokumentasi, bukan dokumenter! Lalu ketika ditanya perbedaannya, mereka clegukan tidak bisa menjelaskan. 1. Persamaan Persamaan antara dokumenter, dokumentasi dan jurnalistik televisi adalah objeknya. Artinya bahwa apa yang menjadi pembahasan, perekaman dan pengamatannya adalah segala macam hal yang bersifat faktual dan juga aktual. 2. Perbedaan

a. Film Dokumentasi adalah sebuah perekaman gambar dan suara yang hanya merekam kejadian faktual dan aktual tanpa ada pretensi apapun terutama penceritaan. Intinya hanya sekedar merekam belaka tanpa ada embel-embel tertentu. Bahkan terkadang dokumentasi tidak melalui proses editing, yang ada hanya melalui proses cutting (potong-sambung) yang tujuannya untuk memperpendek durasi. Dengan kata lain, dokumentasi tidak memiliki ideologi yang ingin disebarkan kepada penontonnya. b. Junalistik Televisi adalah sebuah tayangan yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang faktual, namun biasanya tayangan tersebut sudah melalui unsur editing untuk disesuaikan dengan naskah pemberitaan. Jadi dalam jurnalistik televisi sudah ada ideologi dan tujuannya, artinya biasanya saat merekam sudah terjadi pemilihan / seleksi gambar dan suara, tentu saja yang sesuai dengan ideologi dan tujuan tayangan tersebut. c. Film Dokumenter adalah sebuah film yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang faktual dan aktual. Film tipe ini juga memiliki tujuan dan ideologi, sehingga seringkali dikaitkan dengan jurnalistik. Namun apa yang membedakan antara dokumenter dengan tipe audio-visual lainnya adalah story-telling (penceritaan) di mana jurnalistik dan dokumentasi tidak memilikinya. Dengan demikian, misalkan ada sebuah pernikahan seorang kawan, yang awalnya di benak kita langsung menganggapnya akan menjadi dokumentasi, maka hal itu bisa saja menjadi film dokumenter ataupun laporan jurnalistik televisi tergantung apakah hanya berhenti pada pelaporan jurnlistik dengan tujuan tertentu atau ada penceritaannya yang mendalam sehingga menjadi sebuah film dokumenter. dari: http://saungsinema.wordpress.com

Persinggungan Antara Bentuk & Tipe Film


Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010 Ada pertanyaan yang kemudian muncul, yaitu bagaimana melihat persinggungan antara tipe film dan bentuk film itu sendiri, sebab secara sepintas sulit menyatukan dua klasifikasi ini.

Walaupun tidak semuanya bisa dijelaskan, namun setidaknya cukup banyak yang bisa disatukan dalam sebuah film. Untuk tipe fiksi dan bentuk naratif mungkin tidak perlu penjelasan panjang, sebab banyak sekali
film fiksi-naratif yang diproduksi di seluruh dunia terutama film-film yang diputar di bioskop-bioskop. Yang perlu menjadi catatan adalah sisa dari keterkaitan antara bentuk dan tipe. 1. Naratif dan Dokumenter.

Sub-tipe doku-drama merupakan titik temu antara dokumenter dengan naratif, dimana peristiwa, tokoh, ruang dan waktunya diambil dari kehidupan nyata, namun pembuatnya harus

menginterpretasi ulang dan membuatnya tampak meyakinkan bagi penonton bahwa kejadian sesungguh adalah seperti yang digambarkannya.
2. Naratif dan Animasi.

Film-film animasi kartun adalah salah satu pertemuan titik antara bentuk naratif dengan tipe animasi. Dalam layar lebar banyak sekali film animasi kartun yang diproduksi seperti Fantasia, Beauty And The Beast dan sebagainya, sedangkan di televisi kita mengenal film kartun seperti Doraemon, Crayon Sinchan, Popeye, Scoby Doo dll.
3. Naratif dan Eksperimental.

Seringkali menjadi sulit mencari contoh dari film naratif dengan bungkusan eksperimental, namun setidaknya ada beberapa contoh yang dapat digunakan seperti Un Chien Andalou (Luis Bunuel), Pink Floyd : The Wall (Alan Parker), Parfumed Nightmare (Kidlat Tahimik) dsb.

Sedangkan titik temu antara bentuk non-naratif dengan tipe yang lain adalah seperti berikut :
4. Non-Naratif (Categorical) dan Fiksi.

Sub-tipe mockumentary adalah pertemuan antara categorical dengan fiksi, dimana peristiwa, tokoh, ruang dan waktunya merupakan hal fikstif, namun pembuatannya menggunakan pendekatan struktur serta aspek teknis dari dokumenter.
5. Non-Naratif (Categorical) dan Dokumenter.

Bentuk categorical memang awalnya ditujukan untuk dokumenter dan umumnya digunakan untuk hampir seluruh jenis dokumenter seperti ilmu pengetahuan, perjalanan, sejarah, instruksional dan lain sehingga.
6. Non-Naratif (Categorical) dan Animasi.

Sebenarnya titik temu awalnya sangatlah sulit dicari contohnya, namun setelah melihat Waltz With Bashir (Ari Folman) maka animasi-categorical ini menjadi memungkinkan. Film ini menceritakan sebuah penulusuran dari memori sang sutradara, namun dikemas dengan tipe animasi sehingga terpaksa bentuk categorical-nya cenderung menguat.
7. Non-Naratif (Rethorical) dan Fiksi / Animasi.

Bentuk rethorical dan fiksi bergabung dalam film-film iklan (TVC) ataupun iklan layanan masyarakat (PSA). Film-film tersebut cenderung melakukan persuasi yang kuat terhadap masyarakat.
8. Non-Naratif (Rethorical) dan Dokumenter.

Bentuk rethorical dan dokumenter cenderung muncul pada dokumenter dengan pendekatan propaganda, seperti yang terjadi dalam film Triumph of the Wheel (Leni Refensthal) dan Why We Fight ? (Frank Cappra).
Baik bentuk categorical ataupun rethorical sangat sulit mencari titik temunya dengan eksperimental, karena kencenderungan wujudnya yang sangat absurd. 9. Non-Naratif (Abstract) dan Fiksi / Animasi / Eksperimental.

Bentuk abstract sebagian besar merupakan fiksi dan ketika pembuatannya menggunakan elemen realis ataupun dengan teknik animasi maka akan cenderung menjadi film yang bersifat eksperimental. Misalnya film Dot (Norman McLaren), Mothlight (Stan Brakhage), Berita Hari Ini Tentang Dian Sastro (Faozan Rizal) dsb.

Dokumenter Dalam Klasifikasi Bentuk Film


Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010
Pada kategori bentuk film, Bordwell membaginya menjadi dua yaitu bentuk naratif (bercerita) dan bentuk non-naratif.

1. Bentuk Naratif Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang peristiwanya memiliki hubungan sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang serta waktu yang jelas pula. Dikarenakan penceritaan dalam film didasari oleh bidang sastra dan drama.
Bagaimanapun juga selain adanya aspek ruang, waktu, peristiwa dan manusia, naratif juga tidak hanya melibatkan aspek cerita (story), akan tetapi nantinya penceritaan itu akan terbagi lagi menjadi plot. Ada beberapa pemahaman tentang plot ini sendiri, namun kalau mau gabungkan untuk memenuhi definisi di dalam film, yaitu segala unsur yang terlihat dan terdengar oleh penonton di layar, di mana unsur-unsur tersebut merupakan penggalanpenggalan cerita yang dipilih oleh pembuatnya agar dapat dirangkai sehingga bisa mewakili penceritaan. Artinya dari plot ini penonton akan merangkaikan seluruh aspek-aspeknya hingga terbentuk cerita (story) dibenaknya, dengan kata lain story adalah konstruksi abstrak penonton dari penyusunan plot-plot di dalam kepalanya. Selain itu, naratif di dalam film juga memiliki struktur yang tentu saja berbeda dengan sastra (roman) maupun drama (teater), walaupun ada kedekatan, namun struktur di dalam film lebih banyak menyesuaikan dengan durasi maksimal yang umum ada atau dikenal oleh masyarakat, yaitu antara beberapa menit hingga 3 jam. Oleh karena itu ada pembagian dua struktur besar, Struktur Hollywood Klasik yang dikenal di Indonesia dengan Struktur 3 Babak dan lawannya, Struktur Art Cinema Naration. 2. Bentuk Non-Naratif.

Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara menceritakannya berbeda dengan naratif yang seperti orang mendongeng, artinya aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia tetap ada hanya saja cara menyampaikannya berbeda. Oleh karena itu, cara bercerita non-naratif dalam buku David Bordwell ini sangat beragam dan setidaknya ada empat cara bercerita dalam bentuk ini :

a. Categorical Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per sub-temanya. Bordwell mengibaratkan cara ini seperti memasuki supermarket dimana setiap barang akan dikategorikan menurut jenisnya dan bukan merknya. Banyak film dokumenter yang masuk dalam wilayah ini, terutama dokumenter yang umum ditayangkan seperti di televisi publik ataupun televisi berbayar.
b. Rethorical Film ini memiliki persuasi yang kuat untuk mempengaruhi penontonsehingga kesan propaganda melekat erat dalam bentuk ini. Tipe film yang banyak menggunakan metode ini adalah film iklan yang banyak ditayangkan di televisi dan dokumenter propaganda, seperti film Triumph of the Will (Leni Refensthal) dan Why We Fight ? (Frank Cappra) .

c. Abstract Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk mengeluarkan suatu ekpresi paling dalam dari pembuatnya. Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena didasari oleh kebebasan berekspresi sehingga sering permasalahan penonton tidak lagi menjadi yang utama. Film eksperimental, di tahun 1970-an dikenal dengan expanded cinema atau sekarang ini banyak seniman yang lebih mengenalnya sebagai video art adalah contoh dari film dengan bentuk abstrak, seperti film-film dari Stan Brakhage, Tan Jun Paik, Norman McLaren, Hans Richter, Walter Ruttman, Luis Bunnuel dsb. Film dalam sub-bentuk ini pada masa sekarang banyak dipakai pada video musik. d. Associational Film-film dalam bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah
berbeda. Film bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah pada satu tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter dengan jenis association picture story menggunakan bentuk ini, seperti karya Man With A Movie Camera (Dziga Vertov), Baraka (Ron Fricke) serta trilogi film Geodfrey Regio : Powwaqqatsi, Koyanisqatsi dan Naqoyqatsi.

Dokumenter Dalam Klasifikasi Tipe Film


Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010 Dalam buku Film Art : An Introduction, David Bordwell menuliskan adanya tipe-tipe film yang dibedakan dari bentuknya. Bordwell menggunakan kata tipe dan bukan jenis, untuk membedakannya dengan genre (jenis). Tipe-tipe tersebut adalah film fiksi, film dokumenter, film animasi dan film eksperimental. Bila ditinjau lebih jauh, Bordwell mencoba menyederhanakan tipe-tipe tersebut merupakan kategori dari film yang berkembang dan dibuat di seluruh dunia. Adapun definisinya adalah :
1. Film Fiksi adalah film yang tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya direkayasa. Kita tentu mengetahui bila film fiksi ini jauh lebih berkembang karena faktor penceritaannya yang seperti dongeng. Lagipula film-film tipe ini cenderung lebih nyaman untuk dinikmati. 2. Film Dokumenter menjadi lawan dari fiksi, di mana tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya tidak direkayasa atau otentik ada dan terjadi. Anehnya untuk dua definisi terakhir, Bordwell justru merujuk pada penggunaan yang teknis atau personal yaitu :

3. Film Animasi adalah usaha menghidupkan sesuatu non-manusia agar mendekati seperti kehidupan manusia itu sendiri. Secara tradisional, tekniknya sering disebut dengan frame by frame technique, artinya pengambilan shot-nya adalah per gambar. Jadi bila akan membuat film yang panjangnya 1 detik saja maka harus disediakan 24 gambar bila akan direkam dengan kamera film dan 25 gambar bila menggunakan kamera video. Sebenarnya teknik film animasi yang kemudian berkembang juga menjadi semakin banyak, misalnya stop motion, clay animation, pixilation, animasi boneka, animasi tiga dimensi yang menggunakan computer-generated imagery (CGI), animasi dua dimensi dan masih banyak lainnya. 4. Film Eksperimental merupakan film yang sangat menekankan ekspresi personal paling dalam dari pembuatnya. Karyakarya dalam film ini nyaris semuanya abstrak, tentu saja hal ini berkaitan dengan kemunculannya yaitu oleh Hans Richter, Walter Ruttman, Luis Bunnuel, Salvador Dali dan para seniman lainnya yang menjadi pita seluloid ini hanya sebagai pengganti kanvasnya. Seniman-seniman itu juga lebih banyak merupakan seniman dari aliran dadaisme, surrealisme ataupun impresionisme. Sehingga film-film dari tipe pada waktu itu ini jarang sekali menjadi konsumsi publik karena sangat sulit dimengerti dan cenderung tidak bercerita. Akan tetapi umumnya masyarakat pembuat film terutama dokumenter cenderung melawankan film dokumenter dengan film fiksi bila dilihat dari definisi keduanya. Namun bagaimanapun juga karena film adalah sebuah media, pastinya akan ada singgungan antara dokumenter dengan fiksi yang akhirnya akan memunculkan bentuk, pendekatan ataupun gaya tertentu. Seringkali singgungan itu terjadi ketika pembuat filmnya secara serius ataupun main-main mencoba untuk mencampurkan antara fakta-fakta otentik dengan sesuatu yang fiktif. Bisa juga film fiksi yang menggunakan gaya teknis dokumenter sehingga penonton menjadi tertipu karenanya.

Walaupun sangat terbuka untuk perdebatan, saya mencoba untuk memformulasi kemungkinan percampuran antara dokumenter dengan fiksi. Secara sederhana kita dapat membaginya menjadi 3 tipe besar, yaitu : 1. Fiksi : Apabila kandungan fiktifnya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film. 2. Dokumenter : Apabila kandungan faktanya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film. 3. Semi-Dokumenter : bila kandungan fiktifnya dan faktanya berkisar antara 40 % hingga 60 % dari keseluruhan film ataupun bisa juga seimbang. Tentu saja yang dapat menghitung prosentase tersebut adalah pembuat film itu sendiri serta tujuan awal para pembuat film, apakah ingin membuat fiksi atau dokumenter dapat turut menentukan tipe yang dipilihnya. Namun dari dari tipe fiksi sendiri muncul beberapa sub-tipe lagi yang merupakan usaha dari pembuat film ketika melakukan pendekatan terhadap filmnya, yaitu : 4. Doku-Drama : sub-tipe ini adalah sebuah interpretasi ulang terhadap peristiwa nyata sehingga
hampir seluruh film cenderung untuk direkonstruksi, misalnya tokoh dan ruang peristiwa tersebut akan dicari ataupun dibuat ulang agar dapat semirip mungkin dengan aslinya. Contoh dari film sub-tipe ini adalah JFK (Oliver Stone), G30S/PKI (Arifin C. Noer), Johny Indo (Franky Rorimpandey), All The Presidents Men (Alan J. Pakula) dsb.

5. Mockumentary : sub-tipe ini biasanya mengadopsi gaya teknis yang umumnya digunakan film
dokumenter, misalnya hand-held camera dan available light (sinematografi), wawancara (mise en scene), cut-away

(editing) dan narasi (suara) yang mampu menipu penonton sehingga seringkali film dengan model seperti ini dikira dokumenter. Pendekatan dalam filmnya dibuat komedi ataupun satir dengan tujuan menganalisa peristiwa dan isu yang sedang terjadi dengan memanfaatkan setting fiktif. Contoh dari film sub-tipe ini adalah This Is Spinal Tap (Rob Reiner) dan 24 Hours Party People (Michael Winterbottom).

Seringkali ada juga film fiksi yang menggunakan setting peristiwa nyata, sehingga pembuat filmnya harus merekonstruksi peristiwa, ruang dan waktunya seperti yang dilakukan oleh dokudrama, namun tokoh-tokoh yang dihadirkannya adalah tokoh fiktif. Contoh filmnya adalah Titanic (James Cameron).

Sejarah Film Dokumenter


Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010 Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi dokumenter sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan format video (digital). Berikut adalah ulasan singkat mengenai perkembangan sejarah film dokumenter dari masa ke masa.

Film Dokumenter: Era Film Bisu


Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010

Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan actuality films. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika.

Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah documentary, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai Bapak Film Dokumenter.

Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori kino eye. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya,

Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures. http://montase.blogspot.com/2008/05/sejarah-film-dokumenter.html

Film Dokumenter: Era Menjelang dan Masa Perang Dunia


Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010 Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain. Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk. Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik. http://montase.blogspot.com/2008/05/sejarah-film-dokumenter.html

Film Dokumenter: Era Pasca Perang Dunia


Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010 Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya. Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).

Film Dokumenter: Era Direct Cinema


Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010 Pada akhir 50-an hingga pertengahan 60-an perkembangan film dokumenter mengalami perubahan besar. Dalam produksinya, sineas mulai menggunakan kamera yang lebih ringan dan mobil, jumlah kru yang sedikit, serta penolakan terhadap konsep naskah dan struktur tradisional. Mereka lebih spontan dalam merekam gambar (tanpa diatur), minim penggunaan narasi dengan membiarkan obyeknya berbicara untuk mereka sendiri (interview). Pendekatan ini dikenal dengan banyak istilah, seperti candid cinema, uncontrolled cinema, hingga cinma vrit (di Perancis), namun secara umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia yang menyajikan keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang lebih kecil dan ringan, inovasi perekam suara portable, serta pengisi acara televisi yang popularitasnya semakin tinggi.

Pendekatan Direct Cinema terutama banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan Perancis.

Di Amerika, pengusung Direct Cinema yang paling berpengaruh adalah Robert Drew, seorang produser yang juga jurnalis foto. Drew membawahi beberapa sineas dokumenter berpengalaman seperti, Richard Leacock, Don Pannebaker, serta David dan Albert Maysles. Drew memproduksi film-film dokumenter yang lebih ditujukan untuk televisi, satu diantaranya yang paling berpengaruh adalah Primary (1960). Film ini menggambarkan kontes politik antara John Konnedy dan Hubert Humprey di Wisconsin. Drew bersama para asistennya merekam momen demi momen secara spontan. Secara bergantian kamera mengikuti kemana pun dua politisi tersebut pergi, di tempat kerja, bertemu publik di jalanan, berpidato, dan bahkan ketika tengah bersantai di hotel. Dalam perkembangan Leacock, Pannebaker, dan Maysles meninggalkan perusahaan milik Drew dan membentuk perusahaan mereka sendiri. Beberapa diantaranya memproduksi film-film dokumenter penting, seperti Whats Happening! The Beatles in New York (1964) arahan Maysles Bersaudara yang dianggap merupakan film dokumenter Amerika pertama tanpa penggunaan narasi sama sekali. Di Perancis, salah satu pengusung cinma vrit yang paling berpengaruh adalah Jean Rouch. Salah satu karyanya yang dianggap paling berpengaruh (bahkan di dunia) adalah Cronicle of a Summer (1961). Rouch berkolaborasi dengan sosiologis, Edgar Morin menggunakan pendekatan baru cinma vrit, yakni tidak hanya semata-mata melakukan observasi dan bersimpati namun juga provokasi. You push these people to confess themselves its very strange kind of confession in front of the camera, where the camera is, lets say, a mirror, and also a window open to the outside ungkap Rouch. Dalam filmnya tampak Morin berdiskusi dengan pelajar serta para pekerja di Kota Paris tentang kehidupan mereka dengan melayangkan pertanyaan kunci, Are you happy?. Rouch membiarkan subyeknya mendefinisikan sendiri masalah mereka secara alamiah melalui performa mereka di depan kamera. .. Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang semakin canggih serta ringan makin menambah fleksibilitas para pengusung Direct Cinema. Sejak awal 60-an, hampir semua sineas dokumenter telah menggunakan teknik kamera handheld untuk merekam segala peristiwa. Direct Cinema juga berpengaruh pada perkembangan film fiksi secara estetik melalui gerakan new wave, seperti di Perancis. Para sineas new wave seringkali menggunakan kamera handheld, pencahayaan yang tersedia, kru yang minim, serta shot on location. Bahkan film-film (fiksi) mainstream pun seringkali mengadopsi teknik Direct Cinema untuk menambah unsur realisme sebuah adegan. Pendekatan Direct Cinema secara umum berpengaruh perkembangan seni film di dunia terutama pada era 60-an dan 70-an.

Film Dokumenter: Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini


Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010

Dalam perkembangannya, Direct Cinema terbukti sebagai kekuatan yang berpengaruh sepanjang sejarah film dokumenter. Berbagai pengembangan serta inovasi teknik serta tema bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah satu bentuk variasi dari Direct Cinema yang paling populer adalah rockumentaries (dokumentasi musik rock). Rockumentaries memiliki bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan grup musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka. Woodstock: Three Days of Peace & Music (1970) garapan Michael Wadleigh merupakan dokumentasi dari festival musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang menampilkan beberapa musisi rock papan atas. Woodstock sering dianggap sebagai film dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan menjadi dasar berpijak bagi film-film dokumentasi sejenis berikutnya. Pada dekade mendatang, This is Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling sukses komersil pada masanya. Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya Fredrick Wiseman. Filmfilmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial, berkait erat dengan birokrasi dan bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya. Dalam film debutnya, High School (1968) memperlihatkan bagaimana para siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles Bersaudara memproduksi film Direct Cinema Amerika berpengaruh, Salesman (1966) yang menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film dokumenter mulai berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema, kompilasi footage, narasi, serta iringan musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio melalui film anti perangnya, Vietnam: In the Years of the Pig (1969). Dalam perkembangannya format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.

Beberapa sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an hingga kini. Erol Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang tak lazim, seperti Gates of Heaven (1978), The Thin Blue Line (1988), serta Mr. Death (2000). Barbara Kopple dikenal melalui filmnya bertema demonstasi buruh, yakni, Harlan County, USA (1976) dan American Dream (1990). Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik melalui film-filmnya Roger and Me (1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11 (2004) serta Sicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The Atomic Caf (1982) dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis Flaherty juga masih tampak dalam film peraih Oscar, March of the Penguins (2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris sepanjang masa. Selama sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih manipulatif ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah etika dan moral selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya mampu menyajikan fakta namun juga kebenaran. (hp)

You might also like