You are on page 1of 6

Meningkatkan Kualitas Partisipasi Sektor Miskin Dan Marjinal Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Tahunan Oleh KOMPIP SRAGEN

- FORMAS Terhitung lebih dari satu dasawarsa sudah kita bangsa Indonesia berhijrah dari system pemerintahan sentralisasi menuju system pemerintahan desentralisasi yang terwujud dalam bingkai otonomi daerah. Ternyata sudah lebih dari enam dasawarsa pula kita belajar menapaki setiap liku jalan menuju pendewasaan demokrasi yang merupakan biduk Bangsa Indonesia guna memperoleh kesejahteraanya. Lalu apa yang kita dapatkan dalam enam dasawarsa kemerdekaan, dalam lebih dari satu dasawarsa otonomi daerah yang konon katanya bertujuan untuk lebih mendekatkan masyarakat pada akses pembangunan? Sudah dewasakah kita dalam berdemokrasi? Sudahkah otonomi daerah membawa kita kepada kesejahteraan bangsa yang hakiki? Jawabanya tentu beragam nada, tergantung dari dawai mana yang dipetik dan jari siapa yang memetik. Tanpa memungkiri bahwa kita telah mampu berdiri sebagai bangsa yang besar, kita telah mencapai begitu banyak pembangunan, kita telah mampu mendirikan berbagai infrastruktur public, tetapi sudahkah itu semua dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu siapapun dan dimanapun? Bukankah jawabanya adalah BELUM, jika politisi negeri ini masih menjadikan kemiskinan sebagai komiditi politis semata. Bukankah jawabanya adalah BELUM, jika si miskin masih terus menjerit menagih janji politik pemimpin mereka yang tak kunjung menjadi kenyataan. Bukankah jawabanya adalah BELUM, ketika hak-hak suara si miskin masih terus dibungkam oleh birokrasi yang kotor. Dan masih begitu banyak kondisi lain yang mengisyaratkan bahwa belum maksimalnya kesejahteraan yang diakomodir oleh pemerintahan saat ini. Sesungguhnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan adalah suatu hal yang mutlak dialaksanakan. Hal ini sesuai dengan 6

amanat otonomi daerah yang menginginkan pelibatan masyarakat secara aktif untuk memberikan masukan dalam penyusunan APBD. Kepentingan masyarakat harus menjadi dasar dalam pengambilan berbagai keputusan perencanaan dan penganggaran pembangunan, karena sumber pendapatan pemerintah yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan adalah sebagian berasal dari masyarakat. Sehingga tak berlebihan jika alokasi anggaran tersebut digunakan secara adil, menyeluruh, dan berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka elemen masyarakat yang seharusnya mendapatkan porsi terbesar dari kue APBD adalah sector masyarakat miskin. Karena, merekalah yang belum sejahtera, dan merekalah yang menjadi kewajiban utama pemerintah untuk disejahterakan melalui program-program yang tertuang dalam APBD di setiap daerah. Dalam penyusunan RAPBD, sesungguhnya Negara telah menjamin keterlibatan masyarakat dalam alur perencanaan dan penganggaran pembangunan yang termaktub dalam pasal 23 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak dan ikut serta dalam penyusunan dan pengambilan keputusan dalam anggaran. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran tersebut mencerminkan hubungan masyarakat sebagai peyumbang pemasukan APBD terbesar dari dana pajak dan retribusi dan pemerintah sebagai pelaksana amanat masyarakat. Usulan yang telah disampaikan masyarakat dalam tahapan perencanaan patut direspon oleh Pemerintah sehingga kegiatan yang direalisasikan dalam APBD merupakan wujud aspirasi masyarakat untuk memperbaiki kesejahteraannya. Tujuan umum yang ingin dicapai dari pelibatan masyarakat dalam bidang perencaaan dan penganggaran adalah terciptanya suatu kondisi anggaran yang murni sehingga dapat menciptakan mekanisme pelaksanaan anggaran yang transparan. (Wahyu Dyah Widowati : 2007) Namun dalam kenyataanya, pelibatan sector dan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam alur perencanaan dan penganggaran pembagunan di Kab. Sragen masih dirasakan sangat minim. Kalaupun ada masyarakat miskin yang terlibat, maka kualitas partisipasi mereka belum maksimal, masih sebatas pada level 6

invited rendah. Hal ini teridentifikasi dari banyaknya aspirasi masyarakat miskin yang belum terakomodir dengan baik. Demikian pula dalam alur penganggaran, jangankan anggaran yang diajukan masyarakat miskin masuk dalam APBD, bahkan mereka diundang pun tidak. Masyarakat miskin masih sekedar dijadikan sarana legitimasi program pemerintah yang sebenarnya terkadang cenderung tidak pro poor atau tidak berpihak pada kepentingan masyarakat miskin itu sendiri. Dalam UU no. 25 Tahun 2004, sebenarnya pemerintah telah mengatur tentang pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan sebagai respon positif terhadap kepedulian akan partisipasi masyarakat. Di tingkat desa hingga kecamatan pemerintah telah menyelenggarakan MUSRENBANG (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) sebagai sebuah instrumen yang mewadahi penjaringan aspirasi dan diskusi antar pelaku dalam menyusun perencanaan pembangunan. Hingga pada tingakat kabupaten pemerintah juga telah menyelenggarakan sebuah forum yang disebut sebagai forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yakni sebuah forum koordinasi antar pelaku pembangunan untuk membahas prioritas program dan kegiatan pembangunan hasil Kegiatan Musrenbang Kecamatan dengan SKPD, serta menyusun dan menyempurnakan Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD) yang tata cara penyelenggaraannya difasilitasi oleh SKPD terkait. Tetapi lagi-lagi ada sesuatu yang berbeda di Kab. Sragen. Masyarakat dibingungkan oleh cara kerja instrument-instrumen pemerintah tersebut. Pada forum SKPD seharusnya menjadi sebuah forum koordinasi antar stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan pembangunan. Tetapi yang terjadi di Kab. Sragen, forum SKPD tersebut belum memiliki kejelasan stakeholder mana saja yang terlibat di dalamnya. Seperti ditegaskan dalam Prinsip dan Kebijakan Penyusunan APBD oleh (Permendagri No.30/2007) : Partisipasi Masyarakat Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran 6

Disiplin Anggaran Keadilan Anggaran Efesiensi dan Efektivitas Anggaran Taat Asas.

Ketegasan peraturan menteri dalam negeri tersebut mestinya menjadi semangat pemerintah daerah untuk semakin disiplin dan transparan dalam setiap menyusun RAPBD/APBD, maupun PERDA lain guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran agar dapat lebih bisa dipertanggungjawabkan. Selama ini Pemerintah Kabupaten Sragen menjalankan amanat tersebut masih sebatas formalitas belaka ( belum melibatkan pihah-pihak terkait terutama penerima kebijakan). Sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak aspiratif melainkan system Top Down (sudah dirumuskan sejak awal). 1. Masalah Khusus : A. Sektor Profesi : 1. Belum adanya pengakuan yang konkrit tentang stakeholder, belum adanya pelibatan secara maksimal, serta masih terjadinya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok marjinal/ kaum lemah (PKL,Buruh, Pengangguran, dll, Angka kemiskinan tetap tinggi . %) 2. Belum adanya payung hukum (PERDA) yang cukup menjamin adanya perlindungan dan penghidupan.( angka pengangguran tetap tinggi %) B. Sektor Usaha kecil dan menengah (UMKM) : 1. Belum adanya asas keadilan dan pemerataan bagi ekonomi lemah 2. Kurangnya anggaran pendamping dari APBD untuk permodalan Usaha (anggaran APBD untuk sector UMKM masih dibawah %) 3. Masih liarnya sirkulasi pasar yang cenderung merugikan pedagang kecil, dan menguntungkan pedagang besa. ( grafik keberhasilan UMKM belum terukur .. % )

C. Sektor Pertanian : 1. Lemahnya nila tawar petani pada musim Panen 2. Belum adanya PERDA yang berpihak pada Petani 3. Belum adanya kesiapan tentang program antisipasi terhadap musibah musiman ( banjir, Hama, Cuaca buruk, dll) 4. Petani masih menjadi konsumen (komoditas bisnis) bagi para tengkulak D. Sektor Buruh/ketenagakerjaan : 1. UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan dengan system Outsourcing semakin memperlemah posisi butuh. 2. Tidak adanya regulasi yang menjamin keberlangsungan buruh. ( sehabis masa kontrak perusahaan tidak ada lagi kewajiban yang berkesinambungan terhadap buruh). Hal ini yang sering dipolitisir perusahaan untuk mencari karyawan baru sekaligus memutus mata rantai/organisasi buruh. 3. Belum ada PERDA khusus tentang Ketenagakerjaan yang berpihak pada buruh. Sehingga yang terjadi adalah pembiaran nasib buruh yang semakin buruk dengan hadirnya UU Outsourcing, yang mendukung system manajemen perusahaan sebagai dalih efisiensi biaya produksi. 4. Buruh selamanya tetap buruh tidak adanya jaminan memperbaiki nasib untuk memiliki kesempatan menjadi lebih baik.

Melihat fenommena tersebut semakin meyakinkan kita bahwa kinerja pemerintah daerah masih jauh dibawah level baik yang digariskan oleh BPK (CAKUPAN PENGUKURAN KINERJA SEKTOR PUBLIK (BPKP, 2000), 1). Policy (kebijakan); belum menyentuh pada sector-sektor riil yang semestinya mendapatkan prioritas program. 2). Planning and Budgeting (Perencanaan dan Penganggaran); masih sebatas formalitas, belum adanya sebuah rencana yang dilakukan secara bertahap dan sistematis yang menjamin adanya keterlibatan 6

stakeholder. Secara garis besar hasilnya pun juga masih jauh dari harapan masyarakat secara luas karena belum menyentuh kebutuhan riil, melainkan baru sebatas Proyek oriented. 3). Quality (Kualitas) ; Kualitas kinerja /kebijakan yang dihasilkan masih berkutat pada level rendah dari sebuah keberagaman level ekonomi masyarakat. 4). Economy (Kehematan) ; Konsep hemat sering diterjemahkan oleh pemerintah sebagai alasan prioritas anggaran, yang semestinya asas hemat adalah penghematan pada bidang tertentu seperti (perawatan rumah,gedung, pembelian kendaraan, jasa-jasa lain yang tidak urgen) tidak sesuai dengan disiplin anggaran. 5).Equity (Keadilan) ; Keadilan semestinya dimaknai dengan pendistribusian program peningkatan kesejahteraan seluruh komponen bangsa, tanpa adanya perlakuan diskriminasi thd kelompok manapun. 5). Accountability (Pertanggungjawaban) : Pertanggungjawaban yang pemerintah daerah lakukan selama ini masih terbatas pada internal masing-masing institusi, belum berani ke arah yang lebih luas (public).

You might also like