You are on page 1of 145

1

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Invensi di bidang farmasi memiliki peran yang begitu besar karena dari

invensi tersebut lahirlah berbagai macam produk diantaranya obat-obatan yang menunjang kehidupan umat manusia. Dengan adanya kemajuan teknologi penemuan obat-obatan saat ini semakin luas berkembang, sehingga berbagai macam obat untuk penyakit yang sebelumnya tidak diketahui obatnya saat ini dapat diobati dengan baik. Penyakit seperti AIDS saat ini diterapi dengan anti retroviral (ARV), dimana terbukti mampu menghambat pertumbuhan virus dalam tubuh penderita. Disatu sisi invensi-invensi tersebut perlu dihargai, sebagai jerih payah inventor yang telah mengeluarkan dana, waktu dan tenaga, disisi lainnya keterjangkauan masyarakat terhadap obat-obatan juga menjadi penting. Kesetimbangan diantara dua kepentingan inilah yang membuat suatu pengaturan patentabilitas invensi bidang farmasi menjadi sangat penting. Mekanisme lain yang dapat digunakan untuk mencegah penyalahgunaan suatu invensi oleh pemilik paten adalah dengan menggunakan mekanisme lisensi wajib, dimana pengaturan lisensi wajib di Indonesia yang diatur dalam UU Paten 14/2001 perlu ditelaah untuk mengetahui sudah mendukung kesehatan publik yang ada di Indonesia atau belum.

Di era perdagangan bebas yang dimulai dengan terbentuknya organisasi perdagangan dunia (WTO, World Trade Organization) munculnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual sebagai aset yang mendukung perekonomian telah menjadi perhatian khusus pada masyarakat Internasional, hal ini ditandai dengan adanya Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) pada tahun 1994, persetujuan tersebut merupakan lampiran 1-C dari Marrakesh Agreement yang ditandatangani di Marrakesh, Maroko. TRIPS mengatur tentang standar minimum peraturan-peraturan mengenai Kekayaan Intelektual bagi negara-negara anggotanya. Dalam persetujuan tersebut juga mengatur pelaksanaan TRIPS, pemulihan dan penyelesaian sengketa bagi negaranegara anggota WTO, dan sifat dari persetujuan TRIPS ini adalah mengikat sebagai konsekuensi diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Konsep TRIPS dilatarbelakangi oleh kepentingan negara-negara maju, yaitu Amerika Serikat (US), Uni Eropa, dan Jepang. Isyu tersebut digulirkan pertamakali pada akhir putaran Uruguay yang saat itu membahas mengenai General on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1994. Dorongan ekonomi unilateral dibawah Generalized System of Preferences (GSP)1 dan paksaan dari USTR Trade Act2 memainkan peranan penting dalam mengubah aturan-aturan
1

GSP merupakan sistem formal pengecualian aturan-aturan umum WTO, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Generalized_System_of_Preferences, 21/07/2009, 12:43 WIB 2 Section 301 U.S. Trade Act 1974 menjelaskan tentang prinsip yang berkaitan dengan otoritas negara Amerika serikat untuk mengenakan sanksi perdagangan kepada negara-negara lain yang memiliki kebijakan yang bertentangan dengan perdagangan Amerika Serikat, ketentuan tersebut memperbolehkan United States Trade Representative (USTR) untuk memulai penyelidikan terhadap praktek perdagangan negara lain dengan kehendak sendiri atau atas permintaan warga negara AS. Ketentuan ini ditentang oleh sejumlah anggota WTO karena bertentangan dengan perjanjian WTO, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property.

dalam WTO yang didominasi negara-negara maju pada saat itu, keberatankeberatan terhadap aturan-aturan WTO yang pro terhadap negara-negara maju tersebut di dukung oleh negara-negara berkembang seperti Korea, India, Thailand serta negara-negara kepulauan Karibia. Sebaliknya strategi US untuk

menghubungkan kebijakan perdagangan dengan kekayaan intelektual dapat ditelusuri dari usaha managemen senior di Pfizer pada awal tahun 1980 yang menggerakkan korporasi-korporasi di Amerika Serikat untuk memaksimalkan keistimewaan kekayaan intelektual sebagai prioritas utama dalam kebijakan perdagangan di Amerika Serikat3. Pelaksanaan TRIPS merupakan suatu kewajiban seluruh anggota WTO yang saat ini berjumlah 153 negara4 atas hak akan mudahnya akses terhadap perdagangan internasional oleh WTO. Adanya Persetujuan TRIPS mengubah sistem paten banyak negara karena adanya standard setting dalam pemberlakuan ketentuan kekayaan intelektual. Pada bidang paten standard setting bagi anggota WTO tersebut mengacu pada Article 1-12, dan Article 19 Paris Convention (1967)5. Adanya ketentuan TRIPS tadi mendorong dilakukannya perjanjian antara WIPO dan WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995, yang isinya secara umum mengatur aksesibilitas hukum dan regulasi serta database di WIPO oleh negara-negara anggota WTO. Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota dari WTO juga menuntut Indonesia untuk memberlakukan persetujuan Trade Related Intelectual Property Rights

Braithwaite and Drahos, Global Business Regulation, Cambridge University Press, 2000, Bab 7, http://en.wikipedia.org/wiki/Agreement_on_TradeRelated_Aspects_of_Intellectual_Property_Rights#Controversy [21/07/2009]. 4 WTO, Members and Observers, http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm [21/07/2009]. 5 WTO, TRIPS Agreement 1994, Article 2(1).

(TRIPS), dengan demikian pengaturan sistem paten nasional juga harus memiliki kesesuaian dengan pasal-pasal persetujuan TRIPS diantaranya mengenai masa perlindungan paten yang ditetapkan menjadi 20 tahun. Pengakuan dan

pemberlakuan Persetujuan TRIPS ini dilakukan dengan mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dampak dalam pengaturan sistem paten nasional adalah dengan diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 2001 menggantikan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten dan UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989. Dalam pelaksanaannya TRIPS yang dianggap banyak menguntungkan kepentingan negara-negara maju. Banyak kritisi dilakukan salah satunya mengenai pengaruh terhadap paten bidang obat-obatan atau farmasi.

Perlindungan paten selama 20 tahun terhadap obat-obatan membuat harga obat menjadi sangat tidak kompetitif, sebagai contoh, akses obat-obatan AIDS, TBC, malaria, dan penyakit endemik yang penyebaran penyakit-penyakit tersebut terkonsentrasi pada negara-negara berkembang dan miskin, padahal diketahui bahwa produsen obat-obatan tersebut berasal dari perusahaan-perusahaan negara maju seperti Amerika Serikat, Eni Eropa, dan Jepang. Selain itu praktek-praktek evergreening patent perusahaan-perusahaan farmasi negara maju yaitu dengan melakukan pendaurulangan paten terhadap produk obat-obatan yang telah habis masa patennya ikut memperburuk permasalahan harga obat. Praktek-praktek yang dianggap merupakan suatu pendaur-ulangan paten adalah dengan

memberikan paten bagi invensi mengenai produk obat-obatan yang hampir/sudah habis masa perlindungan patennya lama dalam bentuk turunan bahan aktif yang belum diungkapkan dalam teknologi sebelumnya, sebagai contoh adalah garam senyawa, ester senyawa, isomer/enantiomer, kristal maupun turunan bahan aktif lainnya. Hal lain yang dianggap dapat memperpanjang masa perlindungan paten adalah perlindungan terhadap paten seleksi, yakni paten yang diberikan yang lazimnya merujuk kepada suatu paten yang dihasilkan dari proses seleksi secara inventif pada suatu bidang yang telah diketahui sebelumnya. Seleksi yang dilakukan ditujukan untuk memiliki unsur-unsur individual, himpunan bagian (subset) atau kisaran bagian (sub-range) yang belum pernah diungkap secara eksplisit sebelumnya di dalam cakupan himpunan atau kisaran yang sudah lebih dahulu dikenal6. Perlindungan paten yang tidak tergolong pada pendaur-ulangan paten tetapi tetap merugikan bagi akses kesehatan publik adalah penggunaan klaim Markush, yaitu suatu klaim yang memuat begitu banyak kombinasi struktur kimia suatu senyawa dari yang dimintakan perlindungan patennya sehingga satu senyawa yang akan dilindungi terlingkupi oleh seratus bahkan ribuan struktur senyawa, dimana senyawa yang melingkupi tersebut tidak diuji sifat-sifatnya karena hanya berdasaran teoritis semata. Jika paten diberikan terhadap jenis klaim Markush, maka hal ini akan menghalangi kompetitor untuk membuat produk obat-obatan dengan struktur mirip yang memiliki fungsi yang sama. Indonesia memiliki kekayaan alam terutama keanekaragaman hayati yang sangat banyak, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan bermanfaat sebagai obat
6

Cita Citrawinda, Persetujuan TRIPS, Perlindungan Paten dan Kebijakan Kesehatan Publik di Bidang Farmasi, Seminar Paten 2009, Hotel Sultan, Jakarta, hlm. 5

tradisionil telah dikenal luas sebagai pengetahuan tradisional. Pemanfaatan materi genetik dari tumbuh-tumbuhan maupun mikroorganisme sebagai obat seringkali dilakukan oleh perusahaan-perusahaan farmasi asing dalam bentuk kerjasama dengan para peneliti dari berbagai universitas di Indonesia menimbulkan permasalahan seperti diakuinya hasil rekayasa genetika pada plasma nutfah tumbuh-tumbuhan ataupun mikroorganisme dari negara asal sebagai paten dari perusahaan-perusahaan farmasi asing. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa tanaman obat dari Indonesia berpotensi sebagai obatobatan seperti penyakit kanker. Dengan adanya pengaturan regim paten yang ada di Indonesia saat ini, maka kriteria mengenai patentabilitas dalam hal ini langkah inventif sulit dilakukan oleh inventor-inventor dalam negeri. Hal ini disebabkan kurangnya riset dan kemampuan teknologi dibandingkan negara-negara lain. Negara-negara lain seperti Jepang dan Cina telah berhasil melakukan riset dalam hal ekstraksi dan penentuan struktur kimia suatu senyawa aktif tanaman obat, kemudian mereka mengembangkan sintesa senyawa obat dengan cara-cara modern yang hal ini sulit dilakukan oleh inventor-inventor dalam negeri. Negaranegara maju bahkan dapat melakukan rekayasa genetika pada plasma nutfah asli Indonesia sehingga dihasilkan suatu produk yang memang berbeda (baru) atas sumber-sumber genetika yang telah lama diketahui memiliki manfaat obat dalam masyarakat Indonesia. Jurang teknologi antara negara-negara maju dan

berkembang yang dihadapi hendaknya dijawab dengan melakukan pengaturan regim paten yang tepat bagi tanaman ataupun mikroorganisme bermanfaat obat,

hal ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kekayaan intelektual bangsa Indonesia. Putaran Doha WTO menjadi babak baru dalam perdagangan internasional, negosiasi ini dimulai pada November 2001. Agenda pada putaran tersebut adalah negosiasi mengenai pasar manufaktur serta negosiasi mengenai ketentuan persetujuan TRIPS. Pada putaran ini negara-negara berkembang yang jumlahnya 100 negara meminta perlakuan yang lebih adil dengan adanya sistem perdagangan bebas. Perdebatan dan tarik menarik antara eksploitasi terhadap paten dan akses terhadap obat-obatan sebagai bagian dari kesehatan publik mendapatkan begitu banyak kritik terutama dari badan kesehatan dunia di bawah naungan PBB yaitu WHO dan organisasi-organisasi kesehatan nirlaba lainnya. Kritik tersebut mendorong dimasukkannya faktor akses kesehatan publik dalam amandemen pasal-pasal persetujuan TRIPS, akhirnya putaran Doha usai setelah dilakukannya negosiasi kepentingan negara tertinggal dan berkembang dengan negara-negara maju selama hampir 4 tahun. Seperti yang dikutip dari pidato Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy pada 9 Desember 20087: The 2001 Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Publik Health backed the carefully negotiated balance of rights and obligations in the TRIPS Agreement. It provided a number of important confirmations and clarifications, including the right of WTO members to grant compulsory licences, the freedom to determine the grounds for such licences and the definition of national emergencies, as well as the freedom to adopt the appropriate exhaustion regime without challenge. Since its adoption in 2001, there have been concrete examples of the use of the flexibilities incorporated in the TRIPS Agreement at country level,
7

Lamy, Pascal., Access to medicines has been improved, http://www.wto.org/english/news_e/sppl_e/sppl111_e.htm [22/06/2009]

WTO

News,

2008,

including allowing parallel imports, defining patentability criteria, and permitting exceptions to patent rights, such as the regulatory review exception. The WTO dispute settlement mechanism has also confirmed these flexibilities. But it is also true that not every WTO member has yet taken the necessary steps at national level to avail itself of the existing flexibilities.

Pidato Direktur Jenderal WTO tersebut memiliki makna bahwa tiap negara anggota WTO memiliki hak untuk melaksanakan lisensi wajib paten dan dasar penentuan pemberian lisensi wajib serta definisi keadaan darurat nasional. Sejak diadopsinya deklarasi Doha tersebut beberapa contoh nyata penggunaan fleksibilitas yang ada dalam persetujuan TRIPS pada tingkat negara termasing misalnya diijinkannya importasi paralel serta kebebasan mendefinisikan criteria Paten. Hal-hal tersebut diatas dapat dilaksanakan dengan dasar akses masyarakat terhadap kesehatan atau yang lebih dikenal dengan sebutan akses kesehatan publik. Hal mengenai pengaturan mengenai lisensi paten diatur dalam Pasal 18, Pasal 69 sampai dengan Pasal 87 UU Paten Nomor 14 Tahun 2001. Ketentuanketentuan tersebut juga berlaku dalam lisensi paten di bidang farmasi. Paten bidang farmasi memperoleh perhatian yang cukup besar dari masyarakat karena berkaitan dengan hak asasi manusia untuk memperoleh kesehatan. Seperti telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya, paten terhadap obatobatan memiliki implikasi terhadap harga obat-obatan, apabila obat-obatan yang dipatenkan memiliki biaya terlalu tinggi, pihak pemerintah dapat mengeluarkan lisensi wajib bagi agen-agen atau perusahaan-perusahaan untuk memproduksi atau mengimpor versi generik dari obat-obatan yang dipatenkan sehingga pasien yang

membutuhkan obat-obatan yang dibutuhkan dengan harga yang lebih murah. Pasal 31 Persetujuan TRIPS mengandung beberapa persyaratan pokok bahwa lisensi wajib dapat diberikan untuk dua kategori pengguna, yaitu pemerintah (atau suatu lembaga pemerintah) atau pihak-pihak yang bekerja untuk pemerintah dan pihak ketiga8. Dalam memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dalam upaya

penanggulangan HIV/AIDS, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap obatobatan anti retoviral yang saat ini masih dilindungi paten9. Pasal 6 Persetujuan TRIPS memberikan kebebasan kepada negara-negara anggota untuk menerapkan prinsip penggunaan sepenuhnya hak-hak secara internasional yang merupakan suatu pembenaran yang mendasari impor paralel di dalam undang-undang nasional negara masing-masing. Pasal 135 huruf (a) UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 menetapkan pengecualian ketentuan pidana di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar suatu negara oleh

Cita Citrawinda, Op.cit., note.6, hal. 4. Pasal 31 Persetujuan TRIPS telah menjadi pokok masalah yang kontroversial dan negara-negara berkembang menyuarakan kepeduliannya mengenai hambatan lebih seringnya penggunaan lisensi wajib. Masalahnya dengan lisensi wajib yaitu bahwa lisensi wajib merugikan baik pemegang paten, maupun negara-negara yang patennya diberikan. Pertama dari sisi pemegang paten lisensi menolak hak-hak dasar. Kedua dari sisi negara-negara yang memberikan lisesnsi terdapat konsekuensi membangkitkan upaya-upaya untuk mendirikan industri berbasis yang independen yang dapat memenuhi permintaan pasar lokal
9

Perpres ini di tetapkan tanggal 5 Oktober 2004 dan kompensasi yang diberikan oleh pemerintah kepada pemegang paten adalah sebesar 0,5% dari nilai jual netto obat-obat antri retroviral tersebut, pelaksaanan paten untuk dan atas nama pemerintah tersebut ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jenis obat-obat anti retroviral sebagaimana yang dimaksud di atas adalah jenis Nevirapin dengan Boehringer Ingelheim sebagai pemegang patennya dan jenis Lamivudin dengan Pochjem Pharma Inc, sebagai pemegang patennya.

10

pemegang paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku10. Pasal 8 Persetujuan TRIPS menyinggung mengenai upaya-upaya yang diperlukan untuk melindungi kesehatan dan gizi masyarakat dan untuk memajukan kepentingan masyarakat pada sektor-sektor yang sangat penting bagi pembangunan sosial-ekonomi dan teknologi sepanjang langkah-langkah tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan TRIPS, sepanjang konsisten dengan ketentuan-ketentuan. Dengan demikian kebijakan mengenai kondisi yang dibutuhkan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan sektor pembangunan teknologi diserahkan pengaturannya kepada tiap-tiap negara anggota WTO, sehingga jika harga obat sudah tidak terjangkau lagi oleh masyarakat maka pemerintah dapat mengatur langkah-langkah yang diperlukan. Pemerintah perlu melakukan pengaturan-pengaturan paten bidang farmasi dalam hal ini perlu dilakukan penyusunan petunjuk teknis pemeriksaan paten bidang farmasi secara khusus dan detail yang berguna dalam melakukan standar pemeriksaan paten bidang tersebut. Hal ini berguna sebagai perlindungan tahap awal sehingga pemberian paten terhadap suatu invensi betul-betul dilakukan hanya untuk invensi-invensi yang layak diberi paten. Pengaturan standar kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive steps), dan dapat diterapkan dalam

10

Pasal 135 UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini adalah a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dan produk tersebut dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan paten tersebut berakhir.

11

industri (industrial applicable) pada pemeriksaan paten tidak diatur dalam secara khusus pada Persetujuan TRIPS karena hal ini diserahkan menurut ketentuanketentuan nasional tiap negara anggota. Patentabilitas merupakan gerbang awal pemberian keputusan paten terhadap suatu invensi, dengan demikian pemerintah harus mengupayakan hal-hal yang mendukung pemeriksaan mandiri yang tidak bergantung kepada pemeriksaan paten dari negara lain. Mengingat negara Indonesia merupakan negara berkembang yang dalam pembangunannya memerlukan pengaturan-pengaturan untuk dapat memanfaatkan informasi paten bagi kepentingan nasionalnya terutama yang berkaitan dengan akses kesehatan publik. Sedangkan lisensi wajib merupakan upaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atas hak ekslusif paten oleh pemilik paten, sehingga pengaturan lisensi wajib yang tepat dapat membantu mendukung upaya meningkatkan akses kesehatan masyarakat, terutama dalam memperoleh produk obat-obatan maupun alat-alat kesehatan yang diperlukan.

B. 1.

Identifikasi Masalah Bagaimanakah standar pengaturan patentabilitas bidang farmasi yang dapat diterapkan di Indonesia dalam rangka mendukung akses kesehatan publik?

2.

Apakah pengaturan lisensi wajib bidang farmasi di Indonesia yang diatur dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 sudah mendukung akses kesehatan publik?

12

C. 1.

Tujuan Penulisan Untuk menentukan pengaturan paten bidang farmasi yang perlu dilakukan dalam petunjuk pelaksanaan teknis pemeriksaan paten.

2.

Untuk mengetahui pengaturan lisensi wajib paten bidang farmasi yang dapat mendukung akses kesehatan publik.

D. 1.

Kegunaan Penelitian Aspek teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat diketahui gambaran yang jelas mengenai kebijakan paten bidang farmasi dan implikasinya terhadap akses kesehatan publik akibat diratifikasinya Persetujuan TRIPS-WTO.

2.

Aspek Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pemangku kepentingan paten, khususnya paten bidang farmasi untuk dapat: a. Dari sisi pemerintah, dapat menjadi masukan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi solusi bagi pemegang paten dan masyarakat untuk mempermudah akses kesehatan di bidang publik. b. Dari sisi industri farmasi lokal dapat mengambil sikap yang diperlukan jika pemilik paten tidak melaksanakan kewajibannya dalam

melaksanakan patennya di Indonesia.

13

E.

Kerangka Pemikiran Paten merupakan salah satu bentuk perlindungan kekayaan intelektual yang

diberikan oleh suatu negara kepada inventor atas hasil invensinya, perlindungan tersebut memungkinkan masyarakat dapat mengakses informasi atas invensi tersebut dan sebagai gantinya inventor diberikan hak eksklusif untuk melaksanakan invensi tersebut dalam waktu tertentu sebagai imbalan atas dibukanya informasi mengenai invensi tersebut kepada masyarakat untuk perkembangan teknologi, sehingga dimungkinkan adanya perbaikan-perbaikan atas invensi sebelumnya bagi perkembangan teknologi. Pemberian paten ini didasarkan atas kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step) dan keterterapan dalam industri (industrial applicable), dasar-dasar ini berlaku umum dalam sistem paten di dunia, kecuali pada beberapa negara tertentu seperti Amerika dan Jepang yang tidak mensyaratkan prinsip keterterapan dalam industri, melainkan mensyaratkan prinsip kegunaan (utility). Kata farmasi sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah obatobatan. Kata farmasi yang dalam bahasa Inggris adalah pharmaceutical dalam Farlex Dictionary: pharmaceutical - drug or medicine that is prepared or dispensed in pharmacies and used in medical treatment, yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan obat-obatan yang dibuat dan disiapkan oleh seorang farmasis dan digunakan dalam pengobatan medis. Sehingga paten bidang farmasi sendiri merupakan suatu paten yang diberikan untuk suatu produk maupun proses yang berhubungan dengan obat-obatan/pengobatan medis.

14

Kesehatan publik (kesehatan masyarakat) menurut Profesor Winslow dari Universitas Yale (Leavel and Clark, 1958).adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan melalui usahausaha pengorganisasian masyarakat untuk 11: a. Perbaikan sanitasi lingkungan b. Pemberantasan penyakit-penyakit menular c. Pendidikan untuk kebersihan perorangan d. Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan e. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya. Sedangkan fleksibilitas akses kesehatan publik yang dimaksud dalam persetujuan TRIPS adalah suatu kebebasan dari negara anggota WTO untuk menentukan dasar kebijakan-kebijakan melakukan perlindungan terhadap kesehatan publik sehingga suatu produk farmasi dalam hal ini obat-obatan dapat terjangkau oleh masyarakat. Hal-hal yang merupakan fleksibilitas akses

kesehatan publik ini dinyatakan dalam paragraf 5 Deklarasi Doha, 14 November 2001 berikut ini: (5).Accordingly and in the light of paragraph 4 above, while maintaining our commitments in the TRIPS Agreement, we recognize that these flexibilities include: (a). In applying the customary rules of interpretation of public international law, each provision of the TRIPS Agreement shall be read in the light of the object and purpose of the Agreement as expressed, in particular, in its objectives and principles.
11

Soekidjo Notoatmodjo, Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta. 2003, hlm.13

15

(b. Each member has the right to grant compulsory licences and the freedom to determine the grounds upon which such licences are granted. (c). Each member has the right to determine what constitutes a national emergency or other circumstances of extreme urgency, it being understood that publik health crises, including those relating to HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemics, can represent a national emergency or other circumstances of extreme urgency. (d). The effect of the provisions in the TRIPS Agreement that are relevant to the exhaustion of intellectual property rights is to leave each member free to establish its own regime for such exhaustion without challenge, subject to the MFN and national treatment provisions of Articles 3 and 4.

Dari paragraf 5 Deklarasi Doha diatas dapat dilihat bahwa yang termasuk dalam fleksibilitas bagi negara-negara anggota WTO diantaranya adalah: (a). Dalam hal untuk penerapan aturan kebiasaan dalam menterjemahkan hukum internasional publik, maka setiap ketentuan dalam persetujuan TRIPS harus dibaca menurut fokus obyek dan kegunaan perjanjian yang tertulis, khususnya tetap harus obyektif dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku. (b). Tiap anggota memiliki hak untuk melakukan lisensi wajib dan kebebasan dalam menentukan dasar dari dalam melaksanakan lisensi wajib. (c). Tiap anggota memiliki hak untuk menentukan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan keadaan darurat nasional atau keadaan-keadaan yang sangat penting bagi kesehatan publik. (d). Pernyataan mengenai exhaustion of intellectual property rights menurut Ketentuan dan Pengecualian Paten Farmasi (Obligation and Exeption on

16

Pharmaceutical Patent)-WTO12 mengijinkan adanya importasi paralel sebagai upaya exhaustion tersebut. Dasar-dasar penentuan kondisi untuk melakukan lisensi wajib dan importasi paralel ini diserahkan kepada masingmasing negara anggota WTO. Tidak dapat dipungkiri bahwa paten dibidang farmasi memiliki kontribusi dalam perkembangan teknologi dan penanggulangan serta pengobatan penyakit dan perlindungan terhadap hak-hak inventor tetap harus dijaga dalam rangka pengembangan riset lebih lanjut. Paten sebagai hak privat juga harus memiliki kegunaan bagi kepentingan manusia dimana hal ini sesuai dengan filsafat yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, tokoh ini merupakan pendukung aliran utilitiarinisme yaitu aliran yang meletakkan kegunaan (utility) sebagai tujuan utama hukum. Kegunaan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness) dengan demikian tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya13. Filsafat hukum Bentham adalah individualisme utilitarian. Menurutnya tujuan hukum pertama-tama adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan kebebasan maksimum bagi setiap individu sehingga dapat mengejar apa yang baik baginya. Walaupun demikian Bentham tidak menyangkal bahwa disamping kepentingan individu, kepentingan masyarakat juga perlu diperhatikan. Menurutnya hukum harus mengabdi pada keseluruhan individu dalam masyarakat. Tujuan akhir perundang-undangan adalah kebahagiaan

terbesar dari sebanyak mungkin individu (the greatest happiness of the greatest
12

WTO, Obligations and exceptions-TRIPS and Pharmaceutical Patent, http://www.wto.org/english/tratop_e/TRIPs_e/factsheet_pharm02_e.htm#parallelimports [ 03/07/2009]


13

R. Otje Salman, Ikhitsar Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit CV. ARMICO, 1986, hlm.10

17

number), penguraian prinsip ini oleh Bentham menghasilkan ketundukan hak individu kepada kebutuhan masyarakat14. Pada dasarnya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya hal ini tercantum dalam konsitusi negara Indonesia yaitu dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945, tentunya mempertahankan hidup dari suatu penyakit merupakan salah satu bentuk dari hak asasi manusia yang dimaksudkan diatas, dimana dinyatakan bahwa kesehatan merupakan salah satu hak untuk hidup, dengan adanya kesehatan yang baik maka diharapkan manusia dapat sejahtera, karena kesehatan yang baik akan menunjang aktivitas manusia dalam berbagai bidang, termasuk dalam pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang kesemuanya itu memiliki tujuan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Konstitusi negara Indonesia mengamanatkan pentingnya hak kesehatan dalam Pasal 28H ayat (1) yaitu: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Upaya-upaya untuk memperbaiki akses kesehatan masyarakat menjadi permasalahan yang cukup penting bagi negara berkembang dan miskin akibat mahalnya harga obat-obatan yang diberi perlindungan paten khususnya bagi penyakit-penyakit menular seperti TBC, HIVAIDS, dan masih banyak lagi penyakit-penyakit lainnya. Layanan kesehatan merupakan hak mendasar bagi setiap orang dimuka bumi, hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948, yaitu:
14

W. Friedmann, Legal Theory, New Delhi: Universal Law Publishing Co. Pth. Ltd., 2002, hlm. 312-313

18

Everyone has the right to a standard of living adequate for health and well being himself and of his familly, including food, clothing, housing, and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.

Pada deklarasi PBB tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia, akan tetapi dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 juga memberikan pengakuan terhadap hak kekayaan intelektual walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit, yaitu: (1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits. (2) Everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author. Yang makna dari pasal tersebut adalah bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan. (2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungankeuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya. Pernyataan dalam deklarasi hak asasi manusia mengenai pengakuan bagi peserta konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah, menanggulangi, mengobati adanya penyakit-penyakit menular tertuang dalam

The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (the ICESCR), 1966 Pasal 12.2 (c) yaitu: The steps to be taken by the States Parties to the present Covenant to achieve the full realization of this right shall include those necessary for:

19

(c) The prevention, treatment and control of epidemic, endemic, occupational and other diseases; Disisi lain paten merupakan hak atas kekayaan intelektual yang tergolong dalam hak miliki pribadi dan hak tersebut tidak boleh diambil secara sewenangwenang oleh siapapun juga diakui dalam konvensi tersebut yaitu dalam Pasal 15.1(c) ICESCR yaitu: The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone . (c) To benefit from the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author Dalam konsitutusi negara Indonesia yaitu pada Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia Pengakuan terhadap hak kekayaan intelektual juga ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yaitu: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan demikian dalam konstitusi negara kita juga terdapat pengakuan terhadap hak pribadi dan juga hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pengakuan atas perlindungan Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu perlindungan atas

20

hak pribadi yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robert. M. Sherwood, yaitu15: 1. Reward Theory, yaitu pengakuan terhadap karya-karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada inventor atau pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan atau menciptakan atau mendesain karya-karya intelektual tersebut. 2. Recovery Theory, merupakan prinsip yang menyatakan bahwa inventor atau pencipta atau pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektual harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut. 3. Incentive Theory, teori ini mengaitkan pengembangan kreativitas dengan pemberian insentif bagi para inventor atau pencipta atau pendesain. Pemberian insentif harus dilakukan untuk memacu kegiatan-kegiatan yang menghasilkan invensi atau ciptaan atau desain tersebut. 4. Risk Theory, yaitu pengakuan bahwa karya intelektual adalah hasil karya yang mengandung resiko, karena diperlukan upaya-upaya perintisan menghasilkan sesuatu yang belum jelas sebelumnya. Sekalipun usaha tersebut menghasilkan suatu invensi atau ciptaan atau desain namun masih juga dihadapkan pada resiko bahwa orang akan melampaui atau menemukan cara lain

memperbaikinya. Dengan demikian adalah wajar untuk memberikan suatu

15

Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Grasindo, 2004, hlm. 44-46

21

bentuk perlindungan terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut. 5. Economic Growth Stimulus Theory, yaitu pengakuan bahwa perlindungan HKI merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan HKI yang efektif. Selain teori yang dinyatakan oleh Robert. M. Sherwood, dalam perlindungan hak kekayaan intelektual perlu dilakukannya penyeimbangan antara kepentingan individu dan kebutuhan masyarakat, hal ini dikemukakan oleh Sunaryati Hartono bahwa dalam sistem perlindungan HKI dikenal empat prinsip sebagai berikut16: 1. Prinsip keadilan (the principle of natural justice) Orang yang bekerja untuk membuahkan hasil dari kegiatan yang didasarkan atas kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan berupa materi dan bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil tersebut. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan orang tersebut berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut, yang disebut hak. Setiap orang menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Dalam HKI, peristiwa yang menjadi alasan melekatnya hak itu adalah kegiatan kreatif yang didasarkan pada kemampuan intelektual.

16

Soenarjati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Binacipta, 1982, hlm. 124.

22

2. Prinsip Ekonomi (The economic argument) HKI merupakan hak yang berasal dari kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuknya memiliki manfaat dan berguna dalam menunjang kehidupan manusia. Dengan demikian HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya yang memberikan keuntungan kepada pemiliknya. 3. Prinsip Kebudayaan (the cultural agreement) Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu, akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia yang dibakukan dalam sistem HKI diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minta untuk mendorong melahirkan karya baru. 4. Prinsip Sosial (the social argument) Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Dengan demikian, hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada individu atau suatu persekutuan atau kesatuan lain tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu, atau kesatuan itu saja. Perlindungan diberikan berdasarkan

keseimbangan kepentignan individu dan masyarakat. Dari uraian diatas maka perlindungan paten farmasi tidak boleh menghambat masyarakat untuk tetap dapat mendapatkan akses terhadap obat-

23

obatan dengan harga terjangkau, sehingga prinsip sosial yang dikemukakan diatas merupakan suatu pertimbangan dalam pemberian paten. Dengan demikian pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif berfungsi sebagai regulator sehingga dalam pengaturan yang berupa petunjuk teknis pemeriksaan substantif paten memerlukan pembentukan hukum nasional yang relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dimana hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat17. Sarana yang dimaksud mengandung pengertian: a. menuju kemakmuran(adil dan makmur) dengan tertib dan adil b. sumber hukum formil adalah Undang-undang, yurisprudensi atau kombinasi c. pembinaan dalam arti legal engineering (perubahan UU yang sesuai dengan kegunaan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun), juga social development (perubahan masyarakat dari tradisionil menuju modernisasi) Dalam karya tulis ini dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan standar pengaturan bagi paten sebagai salah satu konsekuensi diratifikasinya perjanjian-perjanjian internasional serta dampaknya terhadap hak kesehatan publik. Keikutsertaan Indonesia dalam badan

perdagangan internasional WTO bertujuan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia, bukan untuk merugikan kepentingan bangsa Indonesia. Pemerintah sebagai regulator dapat melakukan langkah-langkah penting seperti mengatur standar pemeriksaan Paten di Indonesia yang tidak merugikan

17

R. Otje Salman, Ikhitsar Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit CV. ARMICO, 1986, hlm. 33

24

kepentingan nasional yaitu dapat mendukung masyarakat untuk tetap dapat mendapatkan harga obat-obatan yang dibutuhkan dengan harga yang terjangkau serta tetap menghargai kekayaan intelektual.

F. 1.

Metode Penelitian Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, yaitu penelitian yang dilakukan didasarkan pada aspek norma-norma hukum dan data yang dikumpulkan berdasarkan sumber hukum primer, sumber hukum sekunder dan sumber hukum tertier . Untuk menambah referensi, metode komparatif untuk membandingkan antara hukum nasional dengan hukum negara lain pada khususnya paten bidang farmasi dan lisensi wajib paten bidang farmasi digunakan dalam penelitian ini.

2.

Spesifikasi Penelitian Berdasarkan sifatnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif analitis,

yaitu bertujuan untuk memberikan kejelasan dan menggambarkan tentang pentingnya pengaturan paten dalam bidang farmasi secara jelas untuk mendukung akses kesehatan publik melalui petunjuk pelaksanaan teknis mengenai pemeriksaan substantif paten. Dan pada penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan kejelasan dan menggambarkan pentingnya pengaturan lisensi wajib bagi paten bidang farmasi yang dapat mendukung akses kesehatan publik. Berdasarkan bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian preskriptif, yaitu

25

bertujuan untuk mendapatkan saran mengenai pengaturan yang seharusnya tentang paten bidang farmasi dan lisensi wajib sebagai suatu fleksibilitas yang diperbolehkan oleh persetujuan TRIPS dalam kerangka mendukung akses kesehatan publik.

3.

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dalam upaya

mencari data sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang terkait dengan masalahmasalah yang diteliti berupa: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, petunjuk teknis pelaksanaan pemeriksaan paten, traktat yang terkait erat dengan pengaturan paten dan lisensi wajib bidang farmasi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang isinya menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku, artikel, makalah, hasil penelitian, tulisan karya ilmiah dalam jurnal ilmiah dan internet serta data-data lain yang berhubungan dengan pengaturan paten dan lisensi wajib bidang farmasi. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedia dan kamus. Untuk mendukung data sekunder dilakukan wawancara untuk memperoleh data primer. Wawancara dilakukan dengan narasumber yang berkompeten di bidang perlindungan paten. Data atau informasi yang diperoleh akan dianalisa dan diolah secara kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif.

26

4.

Metode Analisis Data Data yang didapatkan akan diolah, dikonstruksikan, dianalisis dengan

menggunakan

metode

analisis

yuridis/normatif

kualitatif,

yaitu

dengan

menggunakan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku yang diuraikan secara sistematis dan metodologis, tidak menggunakan rumus atau angka-angka.

5.

Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bandung, Jakarta, Depok, dan Tangerang.

Penelitian untuk mendapatkan data sekunder dilakukan di beberapa perpustakaan baik di lingkungan Departemen Hukum dan HAM maupun universitas. Penelitian untuk mendapatkan data primer akan dilakukan di Departemen Hukum dan HAM.

27

BAB II PENGATURAN PATENTABILITAS INVENSI BIDANG FARMASI DAN LISENSI WAJIB

A.

Konsep Paten Bidang Farmasi Seperti halnya paten bidang lainnya, invensi yang diajukan patennya

dalam bidang farmasi harus memenuhi kriteria patentabilitas seperti kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step, non-obviousness), dapat diterapkan dalam industri-kegunaan (industrial applicable-utility), hanya saja ruang lingkupnya tentu saja dibatasi pada keilmuan bidang farmasi. Selain kriteria patentabilitas beberapa kriteria lain seperti kejelasan (clarity) suatu invensi dan satu-kesatuan invensi (unity of invention) juga menjadi syarat pemeriksaan substantive paten. Pemahaman akan konsep paten khususnya paten bidang farmasi tidak terlepas dari kriteria dapat diberi paten dan jenis klaim yang digunakan dalam permohonan paten bidang farmasi.

1.

Definisi Invensi dan Pendekatan Standar Patentabilitas Tidak ada definisi dan batasan yang baku dengan apa yang dimaksud dengan

invensi. Pada hampir banyak negara mereka tidak mendefinisikan dengan pasti apa yang dimaksud dengan invensi. Pada salah satu laman yang disediakan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) dinyatakan bahwa: A number of countries, however, define inventions as new solutions to technical problems. The problem may be old or new, but the solution, in order to merit the name of invention, must be a new one. Merely discovering something that already exists in nature, such as a previously unknown plant

28

variety, is not an invention. Human intervention must be added. So the process for extraction of a new substance from a plant may be an invention. An invention is not necessarily a complex item. The safety pin was an invention which solved an existing technical problem 18. Akan tetapi dapat ditarik suatu benang merah bahwa pada banyak negara suatu invensi dikaitkan dengan suatu bentuk penyelesaian baru bagi suatu permasalahan teknis, merupakan sesuatu yang baru, dan bukan merupakan suatu penemuan (discovery) atas sesuatu yang ada di alam, dimana faktor campur tangan manusia perlu ditambahkan. Sehingga proses ekstraksi suatu substansi (misalnya,

senyawa) baru dari tanaman merupakan invensi. Suatu invensi tidak penting merupakan sesuatu yang rumit atau kompleks. Pin (peniti) cantle yang berfungsi sebagai pengaman merupakan suatu invensi yang menyelesaikan permasalan teknis yang ada sebelumnya. Paten merupakan suatu hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas suatu invensi, sehingga invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu oleh inventor atau pemegang paten, dengan tujuan mencegah pihak lain untuk mengeksploitasi secara komersial suatu invensi, dengan demikian inventor atau pemegang paten dapat mengambil manfaat ekonomi atas invensi tersebut. Suatu invensi yang dapat diberi paten harus memenuhi syarat patentabilitas yang ditetapkan oleh suatu negara, dimana suatu negara dapat memiliki standar patentabilitas yang berbeda dengan negara lainnya, seperti halnya dengan paten bidang lainnya paten bidang farmasi juga harus

18

WIPO, Understanding of Industrial Property, < http://www.wipo.int/about-ip/en/> [15/11/2009]

29

memenuhi syarat patentabilitas.(kriteria dapat diberi paten) invensi di bidang farmasi, yang secara umum kriteria tersebut: a. Kebaruan (Novelty) Nilai kebaruan dapat merujuk pada invensi itu memiliki karakteristik yang baru dan tidak diketahui dari ilmu pengatahuan yang ada sebelumnya. Untuk menentukan apakah suatu invensi bersifat baru, harus diadakan pemeriksaan terhadap dengan menggunakan dokumen pembanding yang terkait dengan invensi yang dimintakan patennya. Pada Traktat Kerjasama Paten (PCT,

Patent Cooperation Treaty) yaitu pada Pasal 33 (2) yaitu pada bagian Pemeriksaan Pendahuluan Internasional (The International Pre-eliminary Examination) dinyatakan sebagai berikut: For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered novel if it is not anticipated by the prior art as defined in the Regulations19. Ruang lingkup kebaruan (novelty) pada pasal tersebut adalah tidak terantisipasi oleh dokumen pembanding sebelumnya seperti yang didefinisikan dalam regulasi-regulasi dari badan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan internasional (IPEA, International Pre-eliminary Examining Authorithy20 yang ditunjuk oleh Biro Intenasional (International

19

WIPO, Patent Cooperation Treaty, Geneva 2001, http://www.wipo.int/export/sites/www/pct/en/texts/pdf/pct.pdf [15/11/2009]


20

WIPO, ISA and IPEA Agreement, < http://www.wipo.int/pct/en/access/isa_ipea_agreements.html>, 15/11/2009 Perjanjian antara Biro Internasional dengan pihak-pihak yang berwenang yang ditunjuk oleh Biro Internasional- WIPO untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan diantaranya adalah: Austrian

30

Bureau, dalam hal ini WIPO), dimana tiap IPEA tentu memiliki standar yang berbeda dengan IPEA lainnya dan tentu saja pengaturan tersebut hanya berlaku bagi suatu permohonan paten yang diajukan melalui sistem PCT dan pemohon (applicant) permohonan tersebut mengajukan demand sehingga dilakukan pemeriksaan pendahuluan internasional untuk mengetahui

kemungkinan suatu permohonan paten memenuhi kriteria patentabilitas sebelum memasuki fasa nasional yang dituju, tentu saja pasal hanya berlaku bagi suatu permohonan paten sistem PCT bagi negara-negara anggota yang tergabung dalam perjanjian tersebut. b. Langkah Inventif-tidak dapat diduga (Inventive Step-Non Obviousness) Kriteria langkah inventif dapat dimaksudkan sebagai suatu kondisi bahwa suatu invensi tidak dapat diduga oleh orang yang ahli dibidangnya21. Dalam Pasal 33 (3) pada Traktat Kerjasama Paten (PCT), dinyatakan sebagai berikut: For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered to involve an inventive step if, having regard to the prior art as defined in the regulations, it is not, at the prescribed relevant date, obvious to a person skilled in the art. Penilaian ada tidaknya langkah inventif merupakan hal yang cukup sulit dilaksanakan dalam praktek. Ilustrasinya adalah sebagai berikut; jika invensi tersebut berisi pemecahan masalah yang tidak berbeda dengan pemecahan masalah dari invensi yang terdapat dalam dokumen pembanding berarti tidak
Patent Office, Australian Patent Office, Korean Intellectual Property Organization, USPTO, EPO, JPO, Nordic Patent Institute, dll 21 Eddy Damian et al, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar , Bandung :Alumni, 2006, hlm. 186.

31

ada langkah inventifnya. Jika seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik dapat menduga invensi tersebut dengan menggunakan pengetahuan umum di bidang teknologi yang diajukan berarti dianggap tidak ada langkah inventifnya. c. Dapat diterapkan dalam industri-Kegunaan (Industrial Applicable-Utility) Kriteria dapat diterapkan dalam industri untuk beberapa negara dianggap setara dengan kegunaan praktis, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang mempertimbangkan aspek kegunaan praktis dan tidak harus dapat diperbanyak secara industri, akan tetapi di beberapa negara seperti Eropa, Brazil, Thailand, dan India mensyaratkan kriteria dapat diterapkan dalam industri, tentunya standar dapat diterapkan dalam industri pada satu negara dengan negara lainnya dapat berbeda. Untuk permohonan melalui sistem PCT yang mengajukan demand, kriteria dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable) disinggung dalam Pasal 33 (4) PCT: For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered industrially applicable if, according to its nature, it can be made or used (in the technological sense) in any kind of industry. Industry shall be understood in its broadest sense, as in the Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Maksud dari pasal diatas adalah bahwa industri harus dipahami secara luas sebagaimana yan dimaksud dalam pada Pasal 1 Konvensi Paris mengenai. ruang lingkup kekayaan industri22.

22

Paris Convention, article 1(3): Industrial property shall be understood in the broadest sense and shall apply not only to industry and commerce proper, but likewise to agricultural and extractive industries and to all manufactured or natural products, for example, wines, grain, tobacco leaf, fruit, cattle, minerals, mineral waters, beer, flowers, and flour.

32

Banyak negara-negara di dunia tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan suatu invensi dalam UU Paten mereka, hal ini dianggap sebagai suatu hal yang cukup penting untuk dapat melakukan adaptasi yang progresif atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai contoh di Meksiko didefinisikan sebagai seluruh kreasi manusia yang mampu mentransformasikan materi atau energi yang ada di alam untuk kepentingan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan nyata mereka23. Pada UU Paten Cina, tidak disebutkan dengan jelas definisi invensi, mereka hanya menyebutkan invensi-kreasi untuk hal yang berkaitan dengan invensi, utility model, dan disain24. Berdasarkan faktafakta ini maka dapat dilihat bahwa tiap negara memiliki cara yang berbeda dalam hal mendefinisikan apa yang dimaksud dengan invensi. Perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan paten diantaranya adalah Konvensi Paris, Traktat Kerjasama Paten (PCT), dan persetujuan TRIPS. Pada Pasal 4 bis Konvensi Paris dinyatakan bahwa: Patents applied for in the various countries of the Union by nationals of countries of the Union shall be independent of patents obtained for the same invention in other countries, whether members of the Union or not. Dari pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa paten yang diajukan pada suatu negara anggota tidak bergantung pada negara lainnya walaupun invensinya sama.. Pada Konvensi Paris diatur diantaranya mengenai berlakunya hak prioritas dan hal-hal yang berkaitan dengan lisensi wajib.

23

Correa, Carlos, Guidelines for examination of pharmaceutical patents, Geneva, WHO-ICTSDUNCTAD, Januari 2000, hlm.3 24 Patent Law of Peoples Republik of China, Article 2, 2000.

33

Pada Pasal 27 (5) Traktat Kerjasama Paten (PCT) dinyatakan sebagai berikut: Nothing in this Treaty and the Regulations is intended to be construed as prescribing anything that would limit the freedom of each Contracting State to prescribe such substantive conditions of patentability as it desires. In particular, any provision in this Treaty and the Regulations concerning the definition of prior art is exclusively for the purposes of the international procedure and, consequently, any Contracting State is free to apply, when determining the patentability of an invention claimed in an international application, the criteria of its national law in respect of prior art and other conditions of patentability not constituting requirements as to the form and contents of applications. Dari pasal diatas dapat dilihat bahwa PCT tidak membatasi negara-negara anggotanya dalam hal menentukan kondisi patentabilitas yang dikehendaki. Persetujuan TRIPS sendiri tidak mempermasalahkan adanya perbedaanperbedaan pengaturan pada tiap negara. Pasal 27.1 persetujuan TRIPS

mengindikasikan bahwa negara-negara anggota memiliki ruang untuk dengan itikad baik mengiterpretasikan konsep suatu invensi dalam sistem hukum mereka. Persetujuan TRIPS juga memperbolehkan negara-negara anggota untuk memberikan definisi patentabilitas dan standar patentabilitas menurut mereka, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 27.(1) dan (2) TRIPS sebagai berikut: (1). Subject to the provisions of paragrafs 2 and 3, patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable of industrial application25. Subject to paragraf 4 of Article 65, paragraf 8 of Article 70 and paragraf 3 of this Article, patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field of technology and whether products are imported or lokally produced. (2).Members may exclude from patentability inventions, the prevention within their territory of the commercial exploitation of which is
25

For the purposes of this Article, the terms "inventive step" and "capable of industrial application" may be deemed by a Member to be synonymous with the terms "non-obvious" and "useful" respectively.

34

necessary to protect ordre public or morality, including to protect human, animal or plant life or health or to avoid serious prejudice to the environment, provided that such exclusion is not made merely because the exploitation is prohibited by their law. Kondisi-kondisi umum yang digunakan dalam pasal-pasal TRIPS di atas merupakan dasar bagi negara-negara anggota untuk tetap dapat memiliki kriteria patentabilitas yang berbeda dari negara satu dengan negara lainnya, sehingga dari uraian diatas terlihat bahwa perjanjian-perjanjian internasional tentang paten yang telah diratifikasi oleh Indonesia tidak mengatur kriteria patentabilitas, dan kriteria tersebut diserahkan pada hukum nasional masing-masing negara anggota. Baik pada Konvensi Paris maupun persetujuan TRIPS mengungkapan prinsip national treatment dan non-diskriminatif dalam memperlakukan permohonan paten baik permohonan dalam negeri maupun luar negeri dari negara-negara anggota.

2.

Perlindungan Klaim terhadap Subject Matter yang berhubungan dengan invensi di bidang farmasi Perlindungan yang dimintakan dalam permohonan paten tidak terlepas dari

klaim-klaim yang dimintakan perlindungan patennya. Pada dasarnya bentuk klaim dari invensi yang dimintakan patennya terbagi menjadi klaim produk (subject matternya adalah produk) dan klaim proses (subject matternya adalah proses). Suatu klaim paten yang berhubungan dengan subject matter berupa produk obat-obatan dapat berkaitan dengan kandungan senyawa aktif, garam, bakal obat, isomer, dan lain sebagainya. Suatu klaim invensi dapat mencakup baik produk dan proses maupun berdiri sendiri sebagai produk ataupun proses. Saat ini bentuk-bentuk klaim paten yang dianggap dapat memperpanjang masa

35

perlindungan paten atau praktek evergreening paten dalam bidang farmasi diantaranya adalah sebagai berikut26: a. Formulasi dan Komposisi Formulasi ataupun komposisi, suatu bahan aktif ditambah dengan bahanbahan lain yang disebut sebagai eksipien (zat yang digunakan dalam farmasi untuk mencampur obat supaya memperoleh bentuk yang lebih mudah digunakan), sehingga formulasi ataupun komposisi bahan aktif dapat digunakan dalam dosis tertentu dan dalam bentuk sediaan seperti tablet, kapsul, salep, larutan, dan bentuk sedian lainnya.. Dalam klaim formulasi atau komposisi perlindungan yang dimintakan meliputi bahan aktif dan bahan-bahan pembawa seperti eksipien, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pelincir, yang dapat diterima secara farmasi. Sehingga hal yang dikhawatirkan dengan adanya bentuk klaim formulasi ataupun komposisi adalah untuk bahan aktif yang sudah ditemukan (sudah diketahui), dimintakan perlindungannya kembali dengan menambahkan bahanbahan pembawa yang dapat diterima secara farmasi, padahal bahan pembawa tersebut tidak memiliki efek yang berpengaruh dalam pengobatan. Contoh:WO0032189 (tanggal publikasi: 08-Juni 2000) Suatu komposisi farmasi yang terdiri dari satu atau lebih unit dosis yang diberikan secara oral, tiap-tiap terdiri dari partikulat celecoxib dalam jumlah sekitar 10 mg sampai 1000 mg dalam campuran dengan satu atau lebih suatu eksipien yang dapat diterima secara farmasi, dimana suatu unit dosis tunggal, yang diberikan secara oral dapat berada dalam serum darah dengan konsentrasi celecoxib yang dicirikan waktu untuk mencapai konsentrasi 100 ng/ml tidak lebih lama dari 0,5 jam setelah pemberian obat.

26

Correa, Carlos, Guidelines for examination of pharmaceutical patents, Geneva, WHO-ICTSDUNCTAD, Januari 2000, hlm. 6.-18

36

Catatan: celecoxib merupakan suatu bahan aktif yang telah dikenal dan akan habis masa patennya pada tahun 2013, klaim diatas sebetulnya hanya memiliki fitur pemberian obat dalam dosis tunggal yang tercapai konsentrasinya dalam darah tidak tidak lebih dari 0,5 jam. Dengan adanya bentuk klaim diatas dianggap sebagai praktek memperpanjang masa perilindungan paten. Jika klaim diatas diberi patennya maka masa perlindungan paten akan bertambah sampai tahun 2020. b. Kombinasi Yang dimaksud dengan kombinasi, merupakan gabungan beberapa bahan aktif yang memiliki fungsi dalam pengobatan. Khusus bagi bahan aktif yang telah dikenal, maka gabungan dari bahan-bahan aktif ketika digabungkan memiliki efek sinergis dan tidak dapat diduga sebelumnya dapat dikatogerikan sebagai invensi. Hal yang harus dperhatikan dalam klaim kombinasi, klaim tersebut secara tak langsung digunakan oleh pemilik paten untuk menambah masa perlindungan paten yang telah habis atau hampir habis perlindungan patennya. Khususnya bagi bahan-bahan aktif yang telah dikenal, gabungan dari bahan aktif yang telah dikenal dapat saja memenuhi kebaruan, akan tetapi hal yang harus diperhatikan adalah apakah langkah inventifnya terpenuhi, apakah gabungan bahan-bahan aktif tadi memiliki fungsi yang sama dengan dalam keadaan masing-masing, sehingga apabila digabungkan sudah dapat diduga bahwa gabungan bahan aktif itu hanya bersifat memperkuat efek pengobatan saja. Contoh: US20050065176 (tanggal publikasi: 23 Maret 2005)

37

Suatu kombinasi aktivator yang larut pada guanilat siklase dan suatu penghambat pengubah angiotensin (angiotensin converting enzyme, ACE) untuk pembuatan suatu obat untuk pengobatan paliatif dan kuratif atau profilaksis suatu kelainan kardiovaskular atau metabolik

Catatan: Klaim diatas terlalu luas karena melindungi guanilat siklase and penghambat ACE yang dapat berupa begitu banyak macamnya, dan klaim seperti diatas akan dinilai tidak jelas. Luasnya cakupan perlindungan dianggap akan menghambat perusahaan farmasi lainnya (competitor) memproduksi obat dengan bahan aktif yang berada dalam satu golongan. c. Dosis Dosis dapat berarti takaran obat untuk sekali pakai (dimakan, diminum, disuntikkan, dsb) dalam jangka waktu tertentu: yang ditentukan oleh dokter27. Klaim permohonan paten seringkali diantaranya berisi tentang fitur mengenai takaran pemberian obat kepada pasien. Contoh: US2004121007 (tanggal publikasi: 24/06/2004) Suatu komposisi farmasi yang mengandung senyawa aktif sampai sekitar 250 mg bifosfonat atau suatu garam yang dapat diterima secara farmasi darinya untuk penggunaan oral Catatan: Walaupun klaim di atas merupakan suatu klaim produk tetapi klaim di atas memiliki efek sebagai klaim metode untuk pengobatan medis. Pada beberapa negara seperti Inggris memberikan perlindungan pada bentuk klaim di atas,
27

Kateglo, Rujukan KBBI, <http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dict&action=view&phrase=dosis>, 18/11/2009

38

dengan persyaratan bahwa dosis tersebut digunakan untuk pengobatan indikasi penyakit yang berbeda. Dimana hal ini dimungkinkan dalam kasus aspirin, merupakan suatu senyawa yang telah lama diketahui sebagai pereda rasa sakit dengan dosis 500 mg. Dikemudian hari diketahui bahwa aspirin 50 mg dapat berfungsi sebagai obat jantung. d. Garam, Eter, dan Ester Seringkali paten bidang farmasi melindungi garam baru dari suatu bahan aktif yang telah dikenal. Bentuk garam, eter, maupun ester dari suatu bahan aktif biasanya digunakan untuk meningkatkatkan stabilitas atau kelarutan obat. Hal ini merupakan pengetahuan yang umum di bidang farmasi bahwa dalam bentuk garam, eter, maupun ester suatu bahan aktif akan memiliki perbedaan kelarutan dan dapat diterima oleh tubuh (bioavailability). Contoh: GB19860008335 (tanggal publikasi: 30/04/1993) Suatu garam besilat dari amlodipin Catatan: Orang yang ahli dibidangnya akan mengetahui bagaimana pembentukan suatu garam, yaitu percampuran antara suatu asam dan basa. Pembuatan garam kadang melibatkan proses yang rumit dan kompleks, dengan demikian perlindungan paten yang lebih sesuai apabila klaim yang diajukan permohonanannya disusun sebagai klaim proses pembuatan, dan bukan klaim produk, karena jika yang diajukan adalah klaim produk maka akan dianggap sebagai praktek peremajaan (evergreening) paten.

39

e.

Polimorfisme Polimorfisme adalah keadaan dimana suatu senyawa atau bahan aktif bisa

berada dalam lebih dari satu bentuk kristal. Polimorfisme merupakan salah satu bentuk kristal dari bahan aktif, suatu bahan aktif di alam dapat berupa polimorf, amorf ataupun kristalin. Hal ini disebabkan suatu molekul akan mencari bentuk yang paling stabil. Contoh: WO03074527 ( tanggal publikasi: 12/09/2003) Bentuk polimorf dari irinotekan hidroklorida kristalin yang dicirikan dengan pola difraksi sinar X yang terdiri 20 nilai sudut sekitar 9,15; sekitar 10,00; sekitar 11,80; sekitar 12,20; sekitar 13,00 dan sekitar 13,40. Catatan: Perbedaan polimorfisme biasanya digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kelarutan dan kestabilan bahan aktif dalam suatu sediaan obat. Dalam beberapa kasus pemilihan bentuk polimorfisme tertentu akan lebih menguntungkan produsen obat, karena jika bentuk sediaan stabil dapat berpengaruh pada lamanya penyimpanan obat (masa kadaluwarsa obat) yang dikaitkan dengan keamanan pemakaian obat. Akan tetapi efek didalam tubuh seperti apakah bentuk

polimorfisme tertentu akan memperbaiki efikasi (kemanjuran) obat.

f.

Klaim Markush Suatu klaim paten seringkali disusun dengan ruang lingkup yang sangat luas,

sehingga suatu struktur senyawa dapat diwakili oleh ribuan atau bahkan jutaan senyawa yang mungkin. Klaim Markush seringkali dianggap sebagai klaim

40

spekulasi, karena sesungguhnya tidak semua senyawa yang mungkin tercakup dibuat, dengan demikian hal ini membuat suatu kompetitor terhalang untuk membuat obat yang sejenis atau ekivalen. Contoh: Suatu senyawa dengan formula umum:

dimana R1 dipilih dari fenil, piridil, tiazolil, tioalkil, alkoksil, dan metal; R2 adalah metal, tolil, atau fenil Senyawa digunakan sebagai antibiotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri.

Catatan: Klaim ini memuat begitu banyak senyawa yang mungkin digunakan sebagai antibakteri, dimana pada banyak struktur senyawa yang mungkin tersebut biasanya tidak dilakukan uji eksperimen maupun laboratorium.

g.

Enansiomer Enansiomer merupakan suatu bentuk isomer optis dimana suatu senyawa

memiliki struktur seperti bayangan cerminnya. Enansiomer merupakan sesuatu yang spontan terjadi. Enansiomer dapat digambarkan sebagai berikut:

41

R-sitalporam Contoh: EP0347066B1 (tanggal publikasi: 15/03/1995)

S-sitalopram

(+)-1-(3-dimetilaminopropil)-1-(4-fluorofenil)-1,3-dihidroisobenzofuran5-karbonitril yang memiliki formula umum I dan garam tambahan asam non-toksik darinya.

h.

Bakal Obat (Prodrug) dan Metabolit Aktif Bakal obat merupakan suatu bahan farmasi yang diberikan dalam keadaan

tak aktif. Bakal obat yang masuk kedalam tubuh akan berubah menjadi metabolit aktif akibat reaksi metabolisme tubuh. Bakal obat digunakan untuk mencapai bahan aktif yang tepat sasaran. Misalnya saja Enalapril diubah oleh enzim esterase dan di dalam tubuh berubah menjadi enalaprilat. Contoh: WO0307785 (Tanggal Publikasi : 25/09/2003)

42

Formula I Suatu senyawa formula I dan suatu garam yang dapat diterima secara farmasi, bakal obat, dan solvatnya, dimana R1, R2, R9, dan R10 dipilih dengan bebas dari Hidrogen, halogen, siano, nitro, trifluorometil, difluorometoksi, ..

i.

Klaim Penggunaan dan Indikasi medis kedua Mematenkan penggunaan medis dari suatu produk termasuk indikasi medis

pertama dan indikasi medis kedua suatu produk yang telah dikenal merupakan praktek yang umum dalam bidang farmasi. Seperti halnya pada contoh mengenai aspirin yang sebelumnya digunakan sebagai obat sakit kepala, dan kemudian hari aspirin yang telah dikenal digunakan sebagai obat jantung. Berdasarkan Pasal 27 (1) persetujuan TRIPS bahwa suatu paten diberikan untuk suatu produk maupun proses diberikan untuk semua bidang teknologi yang ada selama memenuhi kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Dalam bidang farmasi, suatu klaim penggunaan dianalogikan dengan klaim proses ataupun klaim metode, tentunya dalam bidang farmasi klaim metode berkaitan dengan metode pengobatan, yang dicontohkan sebagai berikut: Penggunaan aspirin dalam pengobatan penyakit jantung. Klaim diatas merupakan klaim metode pengobatan, dimana dibeberapa negara hal ini tidak diperbolehkan, termasuk di Eropa. Untuk mengatasi permasalahan

43

tersebut kantor paten Swiss mengajukan susunan paten sebagai berikut, yang akhirnya dikenal sebagai Swiss Type Claim: Penggunaan aspirin yang digunakan sebagai obat sakit jantung. Langkah dari kantor paten Swiss tersebut banyak diadopsi baik pada negaranegara Civil Law maupun Common Law untuk mengatasi permasalahan mengenai metode pengobatan, akan tetapi sampai saat ini masih tejadi perdebatan hukum mengenai legalitas dari bentuk klaim diatas karena makna penggunaan tidak memenuhi kriteria dapat diterapkan dalam industri28.

3.

Invensi yang dapat diberi paten (Patentable Subject Matter) Pada banyak negara, mereka melakukan pengaturan mengenai invensi-

invensi yang tidak dapat diberi paten, biasanya invensi-invensi tersebut adalah invensi yang berkaitan dengan etika, moralitas agama, berkaitan dengan penggunaan organ makhluk hidup seperti manusia maupun hewan. Pada Pasal 27 ayat 2 dan 3 persetujuan TRIPS dinyatakan bahwa suatu negara dapat tidak memberikan paten bagi hal-hal seperti yang dinyatakan dalam pasal-pasal tersebut yaitu29:

28

Amstrong, Daniel, The Arguments Of Law, Policy And Practice Against Swiss-Type Patent Claims, Australia, University of Wellington, 2001, < http://search.austlii.edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/9.html>, 18/11/2009. 29 WTO, Article 27 (3) TRIPS: (2). Members may exclude from patentability inventions, the prevention within their territory of the commercial exploitation of which is necessary to protect ordre publik or morality, including to protect human, animal or plant life or health or to avoid serious prejudice to the environment, provided that such exclusion is not made merely because the exploitation is prohibited by their law.

44

Suatu negara dapat tidak memberikan paten bagi metoda pengobatan, metode operasi, metode diagnostik (pemeriksaan) bagi manusia maupun hewan, paten juga dapat tidak diberikan pada tumbuh-tumbuhan maupun hewan, kecuali proses non biologis dan proses mikrobiologis. Pengaturan hal-hal apa saja yang tidak dapat diberi paten memainkan peranan yang penting bagi invensi-invensi bidang farmasi karena invensi pada bidang tersebut berhubungan langsung dengan proteksi terhadap manusia maupun hewan, dengan demikian penyusunan klaim invensi bidang farmasi harus memenuhi kriteria-kriteria yang diatur dalam hukum nasional suatu negara.

4.

Sumber daya genetik dan Invensi Bidang Farmasi Kekayaan alam berupa keanekaragaman hayati adalah kekayaan yang luar

biasa terutama bagi negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat besar, seperti Indonesia, Thailand, India, China, dan negara-negara lain yang termasuk sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Keanekaragaman hayati tersebut mengandung material genetika (plasma nutfah) merupakan sifat yang diturunkan, dan dengan adanya teknologi rekayasa genetika saat ini maka banyak plasma nutfah yang berasal dari tanaman ataupun mikroorganisme bermanfaat obat yang

(3). Members may also exclude from patentability: (a). diagnostic, therapeutic and surgical methods for the treatment of humans or animals; (b). plants and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes for the production of plants or animals other than non-biological and microbiological processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective suigeneris system or by any combination thereof. The provisions of this subparagrafparagraf shall be reviewed four years after the date of entry into force of the WTO Agreement.

45

dimanfaatkan sebagai obat-obatan modern oleh perusahaan-perusahaan farmasi dari negara-negara maju, dan biasanya produknya dijual ke negara-negara tempat plasma nutfah berasal. Plasma nutfah yang diambil biasanya berasal dari tanaman-tanaman obat ataupun materi-materi lain yang telah dikenal oleh suatu masyarakat tertentu dan dimanfaatkan secara turun-temurun. Di Indonesia penggunaan tanaman seperti kayu rapet (Parameria Laevigata), kemukus (Piper cubeba), tempuyung (Sonchus arvensis L), belantas (Pluchea indica L), mesoyi (Massoia aromatica Becc), pule (Alstonia scholaris), pulowaras (Alycia reindwartii BL), dan sinto (Cinamomum sintoc BL) dikenal sebagai jamu awet muda, akan tetapi bahan tanaman tersebut dengan sentuhan ilmu pengetahuan modern seperti bioteknologi didaftarkan patennya di Jepang dengan nomor registrasi JP 10326541 oleh Shiseido sebagai kosmetik anti penuaan30. Kantor Paten Jepang (JPO) memberikan paten tanaman-tanaman tersebut sebagai kosmetik anti penuaan. Paten tersebut akhirnya dibatalkan setelah dilakukan gugatan di pengadilan Jepang dengan alasan bahwa tanaman tersebut telah menjadi bahan baku obat dan kosmetika traadisional di Indonesia, Shiseido juga menyatakan bahwa yang dipatenkan adalah proses pembuatan yang menggunakan bahan tersebut sehingga bangsa Indonesia tetap bisa memanfaatkan tanaman tersebut31. Pengaturan Internasional yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati diatur dalam Konvensi Keanearagaman Hayati (Convention on Biological Diversity) yang terbuka untuk diratifikasi sejak tanggal 5 Juni 1992, dan telah
30

Andriana Krisnawati, SH., MH, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 89. 31 Ibid, hlm.90.

46

diratifikasi oleh 157 negara dimana Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi mengesahkannya dalam UU No.5 Tahun 1994. Konvensi

Keanekaragaman Hayati tersebut salah satunya bertujuan untuk membagi manfaat yang adil dalam penggunaan pengetahuan tradisional melalui inovasi-inovasi yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati (yang meliputi ekosistem, jenis dan genetik yang mencakup hewan, tumbuhan, dan jasad renik atau mikro-organisme. Disisi lain pada persetujuan TRIPS dinyatakan bahwa salah satu sumber keanekeragaman hayati yaitu mikroorganisme dapat merupakan suatu subyek paten (patentable subject matter) yang dapat dilihat pada Pasal 27.3 (b) persetujuan TRIPS bahwa proses non biologis dan proses mikrobiologis dan merupakan suatu subyek yang dapat dipatenkan, dan pengaturan mengenai hal ini bergantung pada hukum nasional masing-masing negara. Pasal 27.3(b)

persetujuan TRIPS tersebut diatas menjadi suatu isyu kontroversial dan sering disebut sebagai klausa bioteknologi32. Beberapa interpretasi33 yang timbul dari adanya pasal tersebut yaitu:

a.

Tumbuh-tumbuhan dan hewan Members may also exclude from patentability . . . plants and animals Pada pasal ini negara-negara anggota dapat mengecualikan tanaman dan

hewan sebagai subject matter yang diberi paten, seharusnya pernyataan ini juga berlaku bagi tanaman transgenik maupun tanaman hibdrida (varietas
32

UNCTAD, Patents: Biotechnological Inventions: Genetic Resources, Plant Variety Protection, Traditional Knowledge, hlm.388, http://www.iprsonline.org/unctadictsd/docs/RB2.5_Patents_2.5.5_update.pdf [18/11/2009]
33

ibid, hlm.391-395

47

tanaman) akan tetapi hal ini dapat tidak berlaku bagi tanaman hasil rekayasa genetika. Sehingga pengaturan pada pasal ini kontradiktif. b. Mikroorganisme . . . other than micro-organisms . . . Mikro-organisme didefinisikan dengan suatu organisme yang tak kasat mata34, dan hal tersebut merujuk pada bakteri, jamur, alga, protozoa dan virus. Suatu pertanyaan penting apakah mikro-organisme yang ada di alam dapat dipatenkan, dan secara umum menurut hal tersebut diterima untuk dapat dipatenkan karena mikro-organisme yang diperoleh tidak dapat seperti yang sebagaimana ada di alam karena dia harus diisolasi dan diidentifikasi lebih lanjut untuk didapatkan patennya35. Sedangkan pada pernyataan yang dikemukakan oleh India36 bahwa perlu begitu banyak wilayah grey area yang berkaitan dengan ruang lingkup mikroorganisme yang dapat dipatenkan dan proses mikrobiologis yang dapat dipatenkan terlebih lagi perlu dibedakan antara discovery dan invensi karena hanya invensi yang dapat diberi paten. Dengan memandang Pasal 27.1 bahwa suatu invensi yang dapat diberi paten adalah invensi yang memenuhi kriteria kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable), juga memandang bahwa invensi juga memenuhi kebaruan (novelty), tak dapat diduga sebelumnya (non-obvious), dan memiliki kegunaan (usefulness). Adanya penerapan bahwa mikroorganisme dapat dipatenkan pada banyak
34
J. Coombs, Macmillan Dictionary of Biotechnology, Macmillan, London and Basinstoke 1986, hlm. 198 35 U.S. Communication to the Council of TRIPS, IP/C/W/209, 03 October 2000. 36 India, Communication to the Council of TRIPS, IP/C/W/161, 03 November 1999.

48

negara menjadi suatu hukum kebiasaan bahwa mikro-organisme merupakan suatu subyek yang dapat dipatenkan, akan tetapi ruang lingkup patentabilitas mikroorganisme bagi negara-negara anggota WTO di hukum nasionalnya c. Proses Members may also exclude from patentability . . . essentially biological processes for the production of plants or animals other than non-biological and microbiological processes Kata proses biologis esensial di Kantor Paten Eropa didefinisikan sebagai tingkat intervensi teknis yang dilakukan, jika tingkat intervensi yang dilakukan tinggi maka proses tersebut dapat dipatenkan, dengan demikian teknik penyilangan tradisional pada tumbuhan tidak dapat dipatenkan, akan tetapi dengan teknik penyisipan gen pada tumbuhan, proses tersebut dapat dipatenkan. Negara-negara yang berpendapat seperti ini diantaranya adalah Eropa, Amerika,dan Jepang. d. Varietas Tanaman However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof

Negara-nagara anggota diharuskan untuk memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman dengan paten atau dengan sistem pengaturan lain yang lebih khusus atau dengan kombinasi darinya. Banyak invensi-invensi dari luar negeri yang dimintakan

perlindungannya di Indonesia mengenai proses rekayasa genetika, misalnya dan produk-produk transgenik dari plasma nutfah yang ada di alam, tentunya

49

proses dan produk-produk tersebut memenuhi nilai kebaruan karena memang berbeda dari apa yang dikenal di masyarakat, disisi lain permohonan paten lokal bidang farmasi banyak yang masih berkutat pada ekstraksi dari bahan alam, permohonan-permohonan paten farmasi tersebut bergerak dalam lingkup komposisi, ekstrak, yang memerlukan pengaturan regim paten tersendiri mengingat bahwa masih terbukanya ruang pengaturan bagi kriteria patentabilitas serta definisi invensi dalam hukum nasional negara-negara anggota WTO. Penafsiran dilakukan tentunya berlandaskan Pasal 31 dan 32 Vienna Convention on the Law of Treaties bahwa penafsiran yang dilakukan terhadap perjanjian internasional dengan prinsip itikad baik dan sesuai dengan arti yang biasa diberikan pada istilah-istilah yang ada pada traktat dalam konteksnya dan dengan pertimbangan tujuan dan kebutuhan.

B.

Pengaturan Lisensi Wajib Lisensi wajib merupakan suatu tindakan pemulihan atas penyalahgunaan

paten. Ketentuan mengenai lisensi wajib dibuat untuk mencegah adanya penyalahgunaan paten sebagai monopoli dan penggunaan paten dengan cara mengeksploitasi secara komersial suatu invensi yang telah dipatenkan oleh orangorang berkepentingan. Pengaturan mengenai lisensi wajib dalam persetujuan TRIPS dapat ditemukan dibawah section 5 tentang Paten, yaitu dalam ketentuan Pasal 31 TRIPS Dalam rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa TRIPS tidak mempergunakan istilah Compulsory Lisence melainkan Other use without the

50

authorization of right holder. Bunyi lengkap dari Pasal 31 Persetujuan TRIPS adalah sebagai berikut: Article 31 Other Use Without Authorization of the Right Holder Where the law of a Member allows for other use37 of the subject matter of a patent without the authorization of the right holder, including use by the government or third parties authorized by the government, the following provisions shall be respected: (a). authorization of such use shall be considered on its individual merits; (b). such use may only be permitted if, prior to such use, the proposed user has made efforts to obtain authorization from the right holder on reasonable commercial terms and conditions and that such efforts have not been successful within a reasonable period of time. This requirement may be waived by a Member in the case of a national emergency or other circumstances of extreme urgency or in cases of public non-commercial use. In situations of national emergency or other circumstances of extreme urgency, the right holder shall, nevertheless, be notified as soon as reasonably practicable. In the case of public noncommercial use, where the government or contractor, without making a patent search, knows or has demonstrable grounds to know that a valid patent is or will be used by or for the government, the right holder shall be informed promptly; (c). the scope and duration of such use shall be limited to the purpose for which it was authorized, and in the case of semi-conductor technology shall only be for public non-commercial use or to remedy a practice determined after judicial or administrative process to be anticompetitive; (d). such use shall be non-exclusive; (e). such use shall be non-assignable, except with that part of the enterprise or goodwill which enjoys such use; (f). any such use shall be authorized predominantly for the supply of the domestic market of the Member authorizing such use; (g). authorization for such use shall be liable, subject to adequate protection of the legitimate interests of the persons so authorized, to be terminated if and when the circumstances which led to it cease to exist and are unlikely to recur. The competent authority shall have the authority to review, upon motivated request, the continued existence of these circumstances; (h). The right holder shall be paid adequate remuneration in the circumstances of each case, taking into account the economic value of the authorization;
37

"Other use" merujuk pada penggunaan lain yang diijinkan oleh Pasal 30 TRIPS.

51

(i). The legal validity of any decision relating to the authorization of such use shall be subject to judicial review or other independent review by a distinct higher authority in that Member; (j). any decision relating to the remuneration provided in respect of such use shall be subject to judicial review or other independent review by a distinct higher authority in that Member; (k). Members are not obliged to apply the conditions set forth in subparagrafs (b) and(f) where such use is permitted to remedy a practice determined after judicial or administrative process to be anticompetitive. The need to correct anti-competitive practices may be taken into account in determining the amount of remuneration in such cases. Competent authorities shall have the authority to refuse termination of authorization if and when the conditions which led to such authorization are likely to recur; (l). where such use is authorized to permit the exploitation of a patent ("the second patent") which cannot be exploited without infringing another patent ("the first patent"), the following additional conditions shall apply: (i). the invention claimed in the second patent shall involve an important technical advance of considerable economic significance in relation to the invention claimed in the first patent; (ii). the owner of the first patent shall be entitled to a cross-licence on reasonable terms to use the invention claimed in the second patent; and (iii).the use authorized in respect of the first patent shall be non-assignable except with the assignment of the second patent.

Dalam rumusan Pasal 31 Persetujuan TRIPS diatas, walaupun TRIPS tidak membatasi dasar pemberlakuan wajib, namun secara umum dapat dikatakan bahwa TRIPS secara spesifik menyebutkan adanya empat alasan pemberian lisensi wajib yaitu38: (1). karena keperluan yang sangat mendesak (Emergency and extreme urgency); (2). kepentingan praktek persaingan usaha (anti-competitive practices)

38

Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis, Lisensi, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 37.

52

(3). penggunaan non-komersial untuk kepentingan publik (public noncommercial use); (4). adanya saling ketergantungan (dependent patents) .Pada Pasal 31 Persetujuan TRIPS dinyatakan dengan jelas pemaparan kondisikondisi untuk melaksanakan lisensi wajib, tetapi tidak membatasi dasar alasan bahwa suatu lisensi dapat diberikan. Meskipun Pasal 31 merujuk pada beberapa dasar-alasan yang mungkin (seperti: keadaan darurat dan praktek anti-kompetitif) untuk mengeluarkan lisensi wajib, dengan demikian hal tersebut memberikan kebebasan negara-negara anggota untuk menentukan dasar alasan lain seperti tidak berfungsinya paten, kesehatan publik atau kepentingan publik.

53

BAB III PENGGUNAAN FLEKSBILITAS AKSES KESEHATAN PUBLIK

A.

Pengaturan

Penerapan

Fleksibilitas

Akses

Kesehatan

Publik

Berdasarkan TRIPS-WTO Hubungan antara kesehatan publik dan Persetujuan TRIPS pertama kali diuji oleh Majelis Kesehatan Dunia (WHA, World Health Assembly) pada tahun 1996 yang merupakan subyek dalam resolusi Revised Drug Strategy (WHA49.14, 25 Mei 1996). Setelah melalui proses yang sangat panjang maka pada Konferensi Tingkat Menteri WTO di Doha (9-14 November 2001), negara-negara anggota WTO mengambil langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal mengadopsi suatu deklarasi39 khususnya yang berkaitan dengan isyu terhadap aspek persetujuan TRIPS dan kesehatan publik40. Krisis HIV yang melanda negara-negara Sub-Sahara Afrika mendorong pemerintah negara Afrika Selatan41, untuk menggunakan fleksibilitas TRIPS, dimana perusahan-perusahaan farmasi multinasional yang didukung oleh pemerintahan negaranya berusaha untuk
39

Paragraf 17 Deklarasi tingkat menteri menyatakan: We stress the importance we attach to implementation and interpretation of the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) in a manner supportive of publik health, by promoting both access to existing medicines and research and development into new medicines and, in this connection, are adopting a separate Declaration 40 WTO, Doha Ministerial Declaration on the TRIPS Agreement and Publik Health (yang kemudian disebut the Doha Declaration), WT/MIN(01)/DEC/W/2, 14 November 2001 <http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min01_e/min01_chair_speaking_e.htm>[19/11/20 09] 41 US Public Law 105-277 (105th Congress, 1999), menyatakan bahwa : ..None of the funds appropriated under this heading may be available for assistance for the central Government of the Republic of South Africa, until the Secretary of State reports in writing to the appropriate committees of the Congress on the steps being taken by the United States Government to work with the Government of the Republic of South Africa to negotiate the repeal, suspension, or termination of section 15 (c) of South Africas Medicines and Related Substances Control Amendment Act No. 90 of 1997 <http://www.fas.org/programs/ssp/bio/resource/documents/pl105-277.pdf> [18/11/2009]

54

menghalangi pelaksanaan fleksibilitas TRIPS tersebut., meskipun Paragraf 7 TRIPS bertujuan untuk menurunkan ketegangan yang timbul akibat pengakuan terhadap perlindungan HKI khususnya terhadap perlindungan obat-obatan dan pengaruhnya terhadap akses obat-obatan. Negara-negara berkembang kemudian melakukan upaya-upaya khususnya mengangkat isyu-isyu mengenai kesehatan publik dalam Dewan TRIPS yang didasari bahwa sanksi TRIPS seharusnya tidak membatasi negara-negara anggota WTO untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi akses terhadap obat-obatan dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Upaya-upaya tadi mendorong adanya suatu deklarasi bukan disebabkan ketidakjelasan persetujuan TRIPS melainkan lebih disebabkan adanya adanya hambatan dalam kewenangan untuk melaksanakan fleksibilitas TRIPS pada tingkat nasional.

1.

Ruang Lingkup Akses Kesehatan Publik Menurut Deklarasi Doha Bunyi paragraf 1 deklarasi Doha adalah sebagai berikut:

We recognize the gravity of the public health problems afflicting many developing and least-developed countries, especially those resulting from HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemic.

Permasalahan yang diungkapkan pada paragraf 1 Deklarasi Doha

diatas

didefinisikan dalam terminologi yang luas, yakni anggota-anggota mengakui beratnya permasalahan kesehatan yang melanda negara-negara berkembang dan negara-negara tertinggal, khususnya yang disebabkan oleh penyakit-penyakit HIV/AIDS, tuberkolosis, malaria dan penyakit menular lainnya. Penyakitpenyakit epidemik yang menjadi masalah kesehatan publik tidak hanya

55

penyakit-penyakit yang mempengaruhi populasi dinegara-negara berkembang tetapi juga pada negara-negara maju, seperti asma atau kanker42. Deklarasi Doha tidak hanya melingkupi akses terhadap kesehatan tetapi juga produk, metode atau teknologi pada perawatan kesehatan, dengan begitu Deklarasi Doha juga berlaku pada produk obat-obatan, proses, penggunaan, metode operasi, pengobatan dan pemeriksaan, alat-alat pemeriksaan, dan alat-alat kesehatan.

2.

Fleksibilitas Kesehatan Publik dalam TRIPS berdasarkan interpretasi Deklarasi Doha Paragraf 4 Deklarasi Doha dilatarbelakangi oleh frustasinya negara-negara

berkembang dan tertinggal atas pernyataan dalam Pasal 8.1 TRIPS, yaitu: Members may, in formulating or amending their laws and regulations, adopt measures necessary to protect public health and nutrition, and to promote the public interest in sectors of vital importance to their socioeconomic and technological development, provided that such measures are consistent with the provisions of this Agreement. Dimana pernyataan tentang protect public health should be consistent with the provisions of this Agreement memberikan perlindungan yang lebih kecil terhadap kesehatan publik dibandingkan dengan pengecualian-pengecualian

42

t Hoen E, The Declaration on TRIPS and Publik Health: A Step in the Right Direction., Bridges, ICTSD, 2001, year 5, no.9, hlm.11, <http://www.iprsonline.org/ictsd/docs/HoenBridgesYear5N9NovDec2001.pdf> [19/11/2009]

56

menurut pasal XX (b) GATT, SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), dan TBT (Technical Barriers to Trade agreements)43. Deklarasi Doha, memperluas ruang lingkup dari apa yang dinyatakan dalam kalimat akhir pasal 8.1 TRIPS yaitu hak kekayaan intelektual dapat mengesampingkan kesehatan masyarakat. Dimana tidak seperti pasal XX (b) GATT, SPS, serta TBT yang memberikan perlindungan yang lebih kecil terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan Paragraf 5 Deklarasi Doha bahwa bentuk fleksibilitas kesehatan publik yang diakui menurut paragraf tersebut yaitu44: a. Paragraf 5(a): Penafsiran (Interpretation) Tujuan dari negara-negara berkembang mengajukan sub-paragraf 5(a) Deklarasi Doha adalah untuk menekankan pentingnya Pasal 7 dan 8 dalam penafsiran perjanjian, khususnya dengan mempertimbangkan Pasal 31

43

bunyi dari Pasal XX (b) GATT: Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures: ... (b)necessary to protect human, animal or plant life or health; 44 Paragraf 5 Deklarasi Doha: Accordingly and in the light of paragraf 4 above, while maintaining our commitments in the TRIPS Agreement, we recognize that these flexibilities include: a. In applying the customary rules of interpretation of publik international law, each provision of the TRIPS Agreement shall be read in the light of the object and purpose of the Agreement as expressed, in particular, in its objectives and principles b. Each Member has the right to grant compulsory licences and the freedom to determine the grounds upon which such licences are granted. c. Each member has the right to determine what constitutes a national emergency or other circumstances of extreme urgency, it being understood that public health crises, including those relating to HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemiks, can represent a national emergency or other circumstances of extreme urgency. d. The effect of the provisions in the TRIPS Agreement that are relevant to the exhaustion of intellectual property rights is to leave each member free to establish its own regime for such exhaustion without challenge, subject to the MFN and national treatment provisions of Articles 3 and 4.

57

Konvensi Vienna. Mereka mencapai tujuan mereka tanpa mengabaikan ketentuan-ketentuan lain dari persetujuan yang juga berperan terhadap penentuan maksud dan tujuan. Bahwa tujuan TRIPS yang diuraikan dalam Pasal 7 dan 8, tetapi juga pada ketentuan lain persetujuan telah diakui sebagai yurisprudensi TRIPS/WTO45. Sesungguhnya Deklarasi Doha melebihi

batasan yang ditetapkan dalam penafsiran pasal 7 dan 8 persetujuan TRIPS, yang memberikan pemahaman bahwa tujuan persetujuan TRIPS yang relevan dengan permasalahan kesehatan publik akan menjadi pertimbangan ke depannya bagi panel dan Appellate Body saat berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan publik. b. Paragraf 5(b): Lisensi Wajib (Compulsary Lisence) Adanya sub Paragraf 5 (b) Deklarasi Doha merupakan dasar bagi kepentingan utama negara-negara berkembang untuk melegalkan lisensi wajib tanpa adanya pertentangan dari negara-negara maju sebagai satu kunci instrumen yang dapat membatasi hak ekslusif pemilik paten ketika dibutuhkan untuk memenuhi beberapa tujuan kebijakan publik, khususnya dalam hal memastikan tersedianya sumber alternatif obat-obatan dengan harga yang lebih rendah. c. Pasal 5(c): Keadaan Darurat (Emergency) Paragraf 5(c) Deklarasi Doha menyatakan apakah suatu negara anggota berhak untuk tidak dipertanyakan dalam menentukan keadaan darurat atau keadaan lain yang sangat penting, seperti menentukan keadaan-keadaan yang relevan
45

WTO, Canada-Patent protection of pharmaceutical products case (EC-Canada Case), WT/DS114/R, 17 March 2000

58

untuk melakukan lisensi wajib, penetapan pengecualian dibawah pasal 30, atau adopsi langkah-langkah yang diijinkan dibawah pasal 8.1 persetujuan TRIPS. Paragraf 5(c) juga mengandung suatu pengertian bahwa krisis kesehatan publik, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS, tuberkolosis, malaria dan epidemik lainnya, dapat mewakili keadaan darurat nasional atau kondisi-kondisi yang sangat penting. Ketentuan ini sangat penting untuk tiga alasan yaitu, pertama, hal tersebut menjelaskan bahwa krisis kesehatan publik dapat mewakili keadaan darurat atau kondisi-kondisi lain yang sangat penting, sehingga dijinkan untuk melaksanakan lisensi wajib yang tersedia dan sesuai dengan Pasal 31(b) TRIPS tanpa kewajiban sebelumnya untuk melakukan negosisasi dengan pemilik paten. Kedua, merujuk pada HIV/AIDS, tuberkolosis, malaria dan epidemik lainnya mengindikasikan bahwa suatu keadaan darurat bisa saja tidak hanya permasalahan jangka waktu yang pendek (short term), tetapi suatu keadaan yang situasinya cukup lama, sebagaimana kasus epidemik yang secara khusus disebutkan untuk tujuan ilustratif. Pengakuan ini dapat dianggap sebagai suatu pencapaian yang penting bagi negara-negara berkembang dalam Deklarasi Doha, yang sejak itu secara tersirat langkah-langkah khusus untuk menghadapi keadaan darurat dapat ambil dan dipelihara selama keadaan yang mendasari berlangsung, tanpa batasan waktu. Ketiga, jika suatu negara anggota keberatan tentang syarat-syarat keadaan oleh negara anggota lainnya sebagai suatu keadaan darurat nasional atau keadaan yang sangat penting,

59

kalimat pada paragraf 5 (c) mensyaratkan pada anggota yang keberatan untuk membuktikan keadaan darurat atau keadaan yang sangat penting tidak terpenuhi/tidak terjadi. d. Pasal 5(d): Exhaustion Kewenangan dalam melakukan importasi paralel dibawah prinsip exhaustion juga dianggap oleh negara-negara berkembang sebagai komponen kunci dari kepedulian sistem paten terhadap kebutuhan kesehatan publik. Hal ini merupakan satu isyu kunci yang timbul sebagai perlawanan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi multinasional yaitu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Afrika Selatan pada bidang kesehatan46, dimana setelah mengadopsi persetujuan TRIPS pemerintah Amerika Serikat masih

melanjutkan daftar-daftar negara yang mengatur hukum nasionalnya yang memihak kepada kesehatan publik dan dianggap bertentangan dengan dengan section 301 US Trade Act. Pasal 5 Deklarasi Doha menyatakan bahwa pengaruh dari ketentuan dalam persetujuan TRIPS yang sesuai dengan exhaustion dalam hak kekayaan intelektual adalah memberikan ruang kepada anggota untuk secara bebas menetapkan regimnya sendiri dalam hal exhaustion tanpa pertentangan dengan mengingat ketentuan-ketentuan mengenai MFN dan National Treatment pada Pasal 3 dan 4, dari paragraf
46

US Public Law 105-277 (105th Congress, 1999), menyatakan bahwa ..None of the funds appropriated under this heading may be available for assistance for the central Government of the Republic of South Africa, until the Secretary of State reports in writing to the appropriate committees of the Congress on the steps being taken by the United States Government to work with the Government of the Republic of South Africa to negotiate the repeal, suspension, or termination of section 15 (c) of South Africas Medicines and Related Substances Control Amendment Act No. 90 of 1997. <http://www.fas.org/programs/ssp/bio/resource/documents/pl105-277.pdf> [18/11/2009]

60

memberikan kewenangan terhadap negara-negara anggota WTO khususnya negara-negara berkembang dan tertinggal untuk dapat menggunakan mekanisme impor parallel dalam prinsip exhaustion secara sah dan penuh konsisten dengan persetujuan TRIPS e. Tidak cukup/tidak mampu memproduksi obat-obatan Dalam Paragraf 6 Deklarasi Doha dinyatakan bahwa: We recognize that WTO members with insufficient or no manufacturing capacities in the pharmaceutical sector could face difficulties in making effective use of compulsory licensing under the TRIPS Agreement. We instruct the Council for TRIPS to find an expeditious solution to this problem and to report to the General Council before the end of 2002. Dalam paragraf 6 Deklarasi Doha mengistruksikan pada Dewan TRIPS untuk mengatasi permasalahan bagaiamana negara anggota yang tidak cukup atau tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi obat-obatan menggunakan mekanisme lisensi wajib. Permintaan yang diamanatkan Deklarasi tersebut kepada Dewan TRIPS untuk mencari penyelesaian masalah dengan cepat dan efisien serta sah secara hukum dan layak secara ekonomi harus dilakukan sebelum akhir 2002. Dalam keputusan Mahkaman Umum WT/L/540/Corr.147 dinyatakan bahwa keadaan-keadaan yang merupakan pengabaian terhadap ketentuan yang ada dalam pasal 31(f dan h) Persetujuan TRIPS terhadap produk farmasi . Dalam keputusan tersebut ditentukan mengenai batasan produk farmasi, negara anggota yang mengimpor, serta negara-negara yang mengekspor produk farmasi.

47

WTO, WT/L/540/Corr, Implementation of paragraph 6 of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and public health, <http://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/implem_para6_e.htm> [18/11/2009]

61

Produk farmasi (pharmaceutical product) yang dimaksud dalam keputusan tersebut adalah produk yang dipatenkan atau produk yang diperoleh melalui proses yang dipatenkan dalam bidang farmasi yang dibutuhkan untuk mengatasi kesehatan publik yang diakui oleh paragraf 1 Deklarasi Doha, dan harus dipahami bahwa bahan aktif untuk pembuatan obat dan alat diagnostik yang dibutuhkan termasuk didalamnya. Negara pengimpor (eligible importing Member) berarti adalah negaranegara tertinggal, dan negara-negara anggota yang memberikan notifikasi kepada Dewan TRIPS dengan maksud untuk menggunakan sistem yang diatur dalam keputusan WT/L/540/Corr.1 sebagai importir, negara-negara anggota yang memiliki maksud tersebut dapat memberikan notifikasi kapanpun saat akan menggunakan sistem tersebut dengan cara keseluruhan atau dengan cara terbatas, sebagai contoh dalam kasus keadaan darurat nasional atau keadaan lain yang sangat genting atau dalam keadaan penggunaan non-komersial. Negara pengekspor (exporting Member) berarti bahwa suatu negara yang menggunakan sistem yang diatur dalam keputusan WT/L/540/Corr.1 untuk memproduksi produk farmasi dan mengekspor produk-produk tersebut kepada negara-negara yang diperbolehkan mengimpor. Kewajiban negara pengekspor dibawah pasal 31.f TRIPS diabaikan berkenaan dengan lisensi wajib untuk memperluas pentingnya kebutuhan produksi suatu produk farmasi dan mengekspornya pada negara-negara yang diperbolehkan untuk mengimpor yang sesuai dengan keadaan yang ditetapkan berikut ini:

62

(1). Negara-negara yang diperbolehkan mengimpor harus membuat suatu notifikasi kepada Dewan TRIPS, untuk: (i). menyebutkan nama dan kuantitas produk yang dibutuhkan (ii). mengkonfirmasi bahwa negara pengimpor yang bersangkutan, selain negara tertinggal, menyatakan tidak cukup atau tidak memilik kemampuan produksi sector farmasi untuk produk menurut cara yang dinyatakan dalam lampiran Keputusan WT/L/540/Corr.1 mengenai penilaian terhadap kemampuan

produksi sektor farmasi (negara tertinggal dianggap tidak memiliki kemampuan produksi, negara yang menyatakan tidak memiliki kemampuan produksi, serta negara yang menyatakan tidak cukup memiliki kemampuan produksi) (iii).menkonfirmasi bahwa produk yang dipatenkan berada dalam wilayahnya, dan lisensi wajib yang diberikan atau yang bermaksud untuk diberikan sesuai dengan pasal 31 TRIPS dan keputusan ini. (2). Lisensi wajib yang diterbitkan oleh negara pengekspor menurut keputusan ini harus mengandung kondisi-kondisi berikut: (i). hanya dalam jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan negara pengimpor yang diproduksi menurut lisensi dan

keseluruhan dari produksi ini harus diekspor ke negara yang telah memberikan notifikasi yang dibutuhkan pada Dewan TRIPS. (ii) Produk yang diproduksi menurut lisensi secara jelas harus diidentifikasi menurut sistem yang ditetapkan dalam keputusan ini

63

dengan menggunakan label atau penanda yang spesifik, pemasok harus membedakan produk melalui kemasan dan/atau

warna/bentuk untuk dirinya dan untuk kebutuhan ekspor, pembedaan yang dilakukan tetap layak dan tidak m emiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga. (iii)Sebelum pengiriman, pemilik lisensi harus mengumumkan dalam suatu website yang dimilikinya atau dengan bantuan dari sekretariat WTO informasi mengenai jumlah yang dipasok pada tiap negara tujuan merujuk pada poin (i), serta membedakan fitur produk menurut poin (ii) diatas. f. Pengecualian Terhadap Riset , Bolar Provision, dan Penggunaan Paten oleh Pemerintah (Government Use) Ketentuan mengenai pengecualian terhadap riset, penggunaan paten oleh pemerintah serta Bolar provision diatur dalam pasal 30 TRIPS sebagai other use. Bolar Provision biasanya digunakan oleh suatu negara untuk tujuan penelitian, dan ketentuan ini juga digunakan oleh industri farmasi untuk membuat obat generik tanpa persetujuan dari pemilik paten sebelum masa berakhirnya paten, sehingga industri farmasi yang membuat versi generik tersebut dapat langsung memasarkan obat-obatan yang telah dibuat saat paten berakhir. Penggunaan paten oleh pemerintah dapat dilakukan dengan memperhatikan keadaan-keadaan tertentu seperti keadaan darurat nasional, keadaan yang sangat genting. Dalam hal penggunaan paten oleh pemerintah pemilik paten

64

tetap akan mendapatkan haknya secara ekonomi, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 31(h) persetujuan TRIPS. Walaupun terdapat bebarapa mekanisme untuk menjalankan fleksibilitas TRIPS terhadap akses kesehatan publik, dalam kajian kali ini dibatasi pada penggunaan kebebasan melakukan pengaturan patentabilitas invensi bidang farmasi dan pengaturan lisensi wajib.

B. 1.

Penerapan Fleksibilitas Kesehatan Publik Penerapan Fleksibilitas Kesehatan Publik di Indonesia Berdasarkan uraian sebelumnya penggunaan fleksibilitas kesehatan public

yang diperbolehkan TRIPS diantaranya adalah kewenangan dalam pengaturan patentabilitas, penggunaan lisensi wajib, impor paralel, bolar provision, serta pelaksanaan paten oleh pemerintah. a. Pengaturan Patentabilitas Menurut UU Nomor 14 Tahun 2001 dan Ketentuan lain yang terkait Berdasarkan UU UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 yang diungkapkan dalam Pasal 1 angka 2, Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Sedangkan definisi Paten menurut pasal 1 angka 1 UU Paten adalah Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri

65

Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Pada dasarnya suatu invensi yang dimintakan patennya di Indonesia terbagi menjadi subject matter yang berhubungan dengan produk-produk ataupun prosesproses. Dalam penjelasan pasal 16 UU Paten Nomor 14 Tahun 2001, yang dimaksud dengan produk mencakup alat, mesin, komposisi, formula, product by process, sistem, dan lain-lain. Contoh dalam kaitannya dengan invensi bidang farmasi adalah alat kesehatan, komposisi obat. Sedangkan yang dimaksud dengan proses mencakup proses, metode atau penggunaan. Contoh dalam kaitannya dengan invensi bidang farmasi adalah proses pembuatan senyawa, atau penggunaan suatu senyawa. Baik paten bidang farmasi maupun paten bidang lainnya harus memenuhi kriteria patentabilitas, dimana kriteria suatu invensi dapat diberi paten di Indonesia, menurut UU Nomor 14 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: 1) Kebaruan (Novelty) Untuk menentukan apakah suatu invensi bersifat baru, harus diadakan pemeriksaan terhadap data terdahulu untuk mencari dokumen pembanding yang terbit sebelum tanggal penerimaan permohonan paten. Apabila invensi yang dimintakan paten tidak terdapat dalam dokumen pembanding, invensi dianggap baru. Persyaratan mengenai kebaruan ini dapat dilihat pada pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2001, yaitu: (1) Suatu invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.

66

(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum: a) Tanggal penerimaan; atau b) Tanggal Prioritas (3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)mencakup dokumen permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah tanggal penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau Tanggal Prioritas permohonan. Pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa padanan istilah teknologi yang diungkapkan sebelumnya adalah State of the Art atau Prior Art, yang mencakup baik berupa literature paten maupun bukan literatur paten. Yang dimaksud dengan suatu invensi tidak sama berarti bukan sekedar berbeda tetapi harus dilihat sama atau tidak samanya fungsi ciri teknis (fitur) invensi tersebut dengan ciri teknis invensi sebelumnya. Pada penjelasan Pasal 3 (2) dinyatakan bahwa dalan UU ini, ketentuan mengenai uraian lisan atau melalui peragaan atau dengan cara lain tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga terhadap hal-hal tersebut yang dilakukan di luar negeri dengan ketentuan bahwa bukti tertulis harus tetap pula disampaikan. Pada penjelasan Pasal 3(2) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan substantif adalah pemeriksaan terhadap invensi yang dinyatakan dalam permohonan, dalam rangka menilai pemenuhan atas syarat baru, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri serta memenuhi kesatuan invensi, diungkapkan secara jelas dan tidak termasuk dalam kategori invensi yang tidak dapat diberi paten.

67

Lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Pemeriksaan Substantif Paten-2007 (seterusnya disebut Juknis Pemeriksaan), khusus yang berkaitan dengan paten bidang farmasi dikenal adanya penilaian kebaruan terhadap Penggunaan Medis Pertama dan Kedua48 yaitu: Komposisi X untuk penggunaan sebagai suatu obat untuk pengobatan penyakit. Bentuk klaim di atas tidak dapat diberikan berdasarkan Pasal 7 ayat (d) UU Paten, karena termasuk dalam metode pengobatan, akan tetapi pada Penggunaan komposisi X (telah diketahui) untuk pembuatan suatu obat untuk penerapan terapi Z (penggunaan pengobatan medis kedua dan selanjutnya). Bentuk klaim di atas dapat diizinkan selama penerapan tersebut adalah baru dan inventif. Dalam hal penggunaan non medis kedua untuk suatu produk yang telah diketahui dan telah diuraikan dalam permohonan, efek teknis ini dianggap sebagai fitur teknis fungsional dari produk tersebut, contoh: Produk diketahui digunakan untuk obat (penggunaan pertama), kemudian Produk X dikemudian diketahui digunakan untuk bahan pengawet suatu makanan (penggunaan kedua). Klaim mengenai penggunaan produk X sebagai bahan pengawet dinilai baru

48

Petunjuk Pelaksanaan Teknis Pemeriksaan Substantif Paten 2007, hlm. 56-57

68

2). Langkah Inventif (Inventive Step) Penilaian ada tidaknya langkah inventif merupakan hal yang cukup sulit dilaksanakan dalam praktek. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2001 yaitu: Suatu invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahliah tertentu dibidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Menurut Petunjuk Teknis Pemeriksaan Substantif Paten-2007 sebagai penguraian teknis dari UU Nomor 14 Tahun 2001 menyatakan bahwa49: Dapat diduga artinya dapat diperoleh secara logis dari teknologi terdahulu; hal tersebut tidak melibatkan keahlian khusus diluar apa yang dapat diharapkan secara normal oleh orang yang ahli. Keahlian dari orang yang ahli adalah pengetahuan yang diperoleh dari teknologi terdahulu pada tanggal penerimaan permohonan, atau tanggal prioritas jika mengklaim prioritas (Pasal 2 ayat (3) UU Paten Nomor 14 Tahun 2001). Bidang Teknik adalah bidang dari invensi. Namun demikian dengan invensi yang lebih rumit orang yang ahli diharapkan untuk bekerja dalam kelompok, dimana orang yang ahli dapat menggunakan keahlian dari koleganya. Jika terjadi masalah dimana seseorang melihat dalam bidang teknik yang berbeda, orang yang ahli dengan keahlian bidang lain tersebut adalah orang yang dihapakan untuk memecahkan masalah tersebut. Masalah teknik harus diinterpretasikan secara luas, tidak berarti bahwa pemecahan harus merupakan
49

Ibid, hlm. 64

69

peningkatan teknik dibanding teknologi terdahulu tetapi dapat juga merupakan pencarian alternatif dari produk atau proses yang diketahui mempunyai efek yang sama tapi dengan biaya yang lebih murah. Orang yang ahli adalah praktisi normal dalam bidang tersebut yang mempunyai pengetahuan teknik umum di bidang tersebut, memiliki akses pada segala sesuatu dalam teknologi terdahulu dalam bentuk apapun, mempunyai cara dan kapasitas biasa untuk melakukan pekerjaan dan percobaan rutin. Orang yang ahli tidak berimajinasi, hanya menerapkan apa yang diketahuinya dalam suatu pengungkapan. 3) Dapat diterapkan dalam industri (Industrial Applicable) Dalam pasal 5 UU Nomor 14 Tahun 2001 dinyatakan bahwa: Suatu invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi tersebut dapat dilaksanakan permohonan. Menurut penjelasan UU paten tersebut, jika invensi tersebut dimaksudkan sebagai produk maka produk tersebut harus mampu dibuat secara berulangulang (secara massal) dengan kualitas yang sama, sedangkan jika invensi tersebut berupa proses, proses tersebut harus mampu dijalankan atau digunakan dalam praktek. Lebih lanjut dalam Juknis Pemeriksaan Substantif dinyatakan bahwa pengertian dapat diterapkan dalam industri harus dilihat secara luas, dengan pengertian bahwa suatu invensi berupa aktivitas fisik dari ciri teknik dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam

70

berbeda dengan aktivitas intelektual murni atau artistik. Suatu keadaan dapat diterapkan dalam industri ini didukung oleh Pasal 22 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1991 Tentang Tata Cara Permintaan Paten yaitu: Deskripsi atau uraian penemuan memuat judul penemuan sesuai dengan judul yang dicantumkan dalam surat permintaan untuk mendapatkan paten: (f) menjelaskan mengenai cara penerapan penemuan tersebut dalam industri atau cara pemakaiannya apabila karena sifatnya penemuan tersebut sulit dijelaskan secara deskriptif 4). Satu-Kesatuan Invensi (Unity of Invention) Dalam pasal 21 UU Nomor 14 Tahun 2001 dinyatakan bahwa permohonan paten mungkin diajukan hanya untuk 1(satu) invensi, atau beberapa invensi asalkan (beberapa invensi tersebut harus) merupakan satu kesatuan invensi. Alasan persyaratan ini adalah mencegah pemohon untuk memperoleh kemungkinan diberikannya paten untuk lebih dari satu invensi dalam satu dokumen paten, oleh sebab itu suatu permohonan paten harus berkaitan sehingga mempunyai konsep inventif umum yang sama. 5) Kejelasan Invensi (Clarity) Suatu Invensi yang dimintakan perlindungan patennya harus memenuhi persyaratan kejelasan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 52 UU Nomor 14 Tahun 2001 yaitu: (1) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa invensi yang dimintakan Paten terdapat ketidakjelasan atau kekurangan lain yang dinilai penting, Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya

(2)

71

Dalam PP Nomor 34 Tahun 1991 tidak diuraikan lebih lanjut mengenai halhal yang berkaitan dengan ketidakjelasan invensi, akan tetapi dalam Juknis Pemeriksaan Substantif paten hal-hal berikut harus menjadi perhatian diantaranya: (1) Kategori klaim harus jelas Klaim-klaim juga harus dibedakan diantara klaim-klaim tersebut dengan fitur-fitur dari teknologi terdahulu; fitur-fitur teknologi terdahulu ini dapat merupakan fungsinya dan juga strukturnya. Hal ini berarti bahwa klaim produk tidak dapat dibedakan dari teknologi terdahulu dengan fitur-fitur penggunaan produk tersebut; sebaliknya suatu klaim metode harus dapat dibedakan dari teknologi terdahulu dengan tahaptahap atau ciri-ciri metode. Jika pemohon tidak memperjelas hal ini, maka permohonan tersebut harus ditolak karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 UU Paten No 14 Tahun 200150. (2) Klaim dan Deskripsi harus konsisten Menurut Juknis Pemeriksaan Paten-2007, adalah penting bahwa klaim dan deskripsi konsisten satu sama lainnya, yaitu tidak boleh ada kontradiksi antara apa yang dinyataan dalam deskripsi dan apa yang dinyatakan dalam klaim51. (3) Penggunaan Istilah Relatif dan Kira-kira Menurut Juknis Pemeriksaan Paten -2007, istilah seperti tipis, luas, kuat secara normal tidak diperbolehkan dalam klaim dan harus diganti dengan kata-kata yang lebih pasti, kecuali jika istilah-istilah tersebut mempunyai arti yang dikenal dengan baik dalam bidang teknik tertentu. Contoh

50 51

Ibid, hlm. 42 Opcit

72

penggunaan yang diperbolehkan misalnya adalah Teknologi Film Tipis, Tegangan Tinggi, ataupun Frekuensi Tinggi. Lebih lanjut dalam Juknis pemeriksaan Paten-2007, penggunaan istilah kira-kira (about) atau hampir (approximately) dalam kombinasi nilai fisika tertentu dapat diperbolehkan. Namun demikian, invensi harus dengan jelas dapat dibedakan dari teknologi terdahulu untuk menilai kebaruan dan langkah inventif. (4) Klaim yang mendefinisikan invensi dengan hasil yang akan dicapai Apabila invensi didefinisikan dengan hasil yang akan dicapai, khususnya hanya jika masalah yang akan dipecahkan ditetapkan dalam klaim, maka keberatan dapat dilakukan karena kurangnya atau tidak adanya fitur teknik yang esensial untuk invensi tersebut. (5) Klaim produk yang ditetapkan dengan proses pembuatan (product by process) Suatu klaim produk dapat ditetapkan dengan proses pembuatan produk, akan tetapi produk tersebut tidak semata-mata baru karena diproduksi dengan suatu proses yang baru. (6) Klaim yang mengacu pada deskripsi atau gambar Klaim-klaim tidak boleh mengacu ke deskripsi atau gambar-gambar (Pasal 26(1) PP Nomor 34 Tahun 1991) Pengecualian ketentuan diatas dapat terjadi pada:

73

(a) Invensi yang berhubungan dengan produk-produk kumia dengan beberapa atau seluruh fitur yang hanya dapat ditetapkan dengan grafik atau diagram. (b) Invensi ditetapkan dengan bentuk yang hanya dapat diilustrasikan dengan gambar-gambar dan tidak dengan suatu rumus matematika atau dengan kata-kata biasa. (7) Ekspresi dalam tanda kurung Ekspresi dalam tanda kurung pada klaim menimbulkan ketidakjelasan karena ekspresi tersebut merupakan fitur pilihan atau fitur pembatas sehingga tidak diperbolehkan. Pengecualian untuk hal ini adalah untuk hal yang sangat dikenal dibidangnya misalnya: (meth)acrylate yang berarti acrylate atau methacrylate. (8) Parameter dalam klaim Parameter merupakan nilai-nilai karakteristik yang merupakan sifat yang dapat diukur secara langsung (misalnya titik leleh suatu senyawa, tetapan dielektrik, hambatan penghantar listrik) atau yang dapat ditetapkan sebagai kombinasi matematis yang lebih rumit dari beberapa variable dalam bentuk formula. Karakterisasi suatu produk atau proses yang semata-mata oleh parameter tersebut umumnya tidak diizinkan, kecuali jika invensi tersebut tidak dapat ditetapkan dengan cara lain. Hanya parameter-parameter yang biasa dalam suatu bidang teknik yang dapat diperbolehkan, dalam hal

74

parameter yang tidak biasa atau peralatan yang tidak dapat diakses dapat digunakan untuk menyamarkan suatu ketidakbaruan. 6) Pengaturan mengenai invensi-invensi yang Dapat diberi paten (Patentable Subject Matter) di Indonesia Pada dasarnya seluruh hal yang berkaitan dengan ivensi selama memiliki syarat kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri dapat diberi paten, kecual hal-hal yang tidak diperkenankan menurut Pasal 7 UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 berikut: (a) Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan. (b) Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; (c) Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau (d) i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik ii proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. Pengaturan lebih mendetail mengenai hal-hal yang tidak dapat diberi paten tertuang dalam Juknis Pemeriksaan Substantif Paten-2007, dimana hanya suatu invensi saja yang dapat diberi paten, jika suatu permohonan paten memuat hal-hal berikut ini maka bukan merupakan suatu invensi, diantaranya adalah:

75

Teori dan metode dalam bidang ilmu pengetahuan atau matematika. Teori atau metode itu sendiri tidak menghasilkan fitur-fitur teknik dari suatu produk atau proses. Ketika teori tersebut diterapkan dalam suatu rancangan produk atau menjalankan proses, maka produk atau proses tersebut itulah yang merupakan invensi, bukan teori itu sendiri.

Desain dan kreasi estetika, karena efek suatu desain atau kreasi terletak pada tampilan luar, bukan dalam bentuk kerja teknis. Untuk produk seperti itu terdapat perlindungan lain seperti hak cipta atau desain industri. Namun proses dan penyelesaian masalah teknik untuk

mencapai tampilan luar desain atau kreasi estetika tersebut dapat merupakan suatu invensi. Presentasi mengenai suatu informasi, karena kandungan informasi itu sendiri tidak memiliki efek teknis dan tidak memiliki karakter teknis. Namun demikian jika proses untuk memprensentasikan informasi tersebut memiliki fitur-fitur teknik, maka proses tersebut merupakan suatu invensi. Program computer per se, karena program computer tersebut hanyalah serangkaian instruksi untuk mengendalikan suatu urutan operasi dari sistem pemrosesan data sehingga cenderung merupakan metode dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun demikian, jika suatu alat yang dijalankan dengan menggunakan program computer maka hal tersebut dapat merupakan suatu invensi

76

Varietas baru tanaman atau hewan, proses untuk produksi tanaman atau hewan dan produk tanaman atau hewan jika adalah hasil dari proses biologis yang esensial dan tidak ada intervensi teknis oleh manusia di dalamnya. Namun demikian proses teknik yang bukan proses biologis esensial untuk menghasilkan varietas tanaman atau hewan adalah suatu invensi.

Dalam kaitannya dengan permohonan paten bidang farmasi, jika suatu invensi berkaitan dengan metode pemeriksaan, pengobatan, atau perawatan kesehatan, metode pembedahan yang diterapkan pada manusia atau hewan tidak diperkenankan untuk dipatenkan, karena akses masyarakat terhadap perawatan/pengobatan kesehatan tidak dapat dihalangi oleh suatu paten yang memungkinkan pemilik paten melarang orang lain melaksanakan metode tersebut. Namun demikian, produk khususnya zat/bahan yang digunakan dalam metode tersebut tidak dikecualikan dari perlindungan.

b.

Pengaturan Lisensi Wajib Menurut UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 Ketentuan mengenai Lisensi Wajib dalam Undang-undang Paten diatut

dalam pasal 74 hingga pasal 87. Menurut ketentuan Pasal 74, lisensi wajib diartikan sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HKI. Hal ini berarti bahwa Lisensi Wajib tersebut diberikan atas permohonan suatu pihak kepada Direktorat Jenderal HKI. Permohonan tersebut dapat diajukan oleh setiap orang setelah lewatnya jangka waktu 36 (tiga puluh enam bulan) terhitung sejak tanggal pemberian paten dan

77

diajukan kepada Direktorat Jenderal HKI. Keputusan pemberian lisensi wajib harus diberikan dalam jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak permohonan paten diajukan. Permohonan lisensi wajib hanya dapat dilakukan apabila paten yang diberikan perlindungan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten atau dilaksanakan dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. Hal ini berarti permohonan lisensi wajib dapat juga dilakukan meskipun paten telah dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang paten ataupun pemegang lisensi paten tersebut, selama pelaksanaannya merugikan kepentingan masyarakat. Jika Direktorat Jenderal HKI berpendapat bahwa jangka waktu 36 bulan yang disyaratkan belum cukup bagi pemegang paten untuk melaksanakan secara komersial di Indonesia atau wilayah yang lebih luas secara geografis, maka Direktorat Jenderal capat menunda pemberian lisensi wajib atau menolak permohonan lisensi wajib tersebut untuk sementara waktu. Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2001 menyatakan bahwa lisensi wajib hanya dapat diberikan apabila: (a). Orang yang mengajukan permohonan tersebut dapat menunjukkan bukti yang menyakinkan bahwa ia: Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan secara penuh; Mempunyai fasilitas untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secepatnya;

78

Telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup unutk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil.

(b). Direktorat Jenderal HKI berpendapat bahwa paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberi kemanfaatan kepada sebagian besar masyarakat. Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2001 selanjutnya menentukan bahwa pemeriksaan atas permintaan lisensi wajib dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan mendengarkan pula pendapat instansi terkait dan pemegang paten yang bersangkutan. Lamanya waktu lisensi wajib yang diberikan oleh Direktorat Jenderal tidak boleh melebihi masa pemberian perlindungan paten itu sendiri. Dalam putusan Direktorat Jenderal HKI mengenai pemberian lisensi wajib dicantumkan hal-hal sebagai berikut: (a). Lisensi Wajib bersifat non-ekslusif; (b). Alasan pemberian lisensi wajib; (c). Bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan dasar pemberian lisensi wajib; (d). Jangka waktu lisensi wajib; (e). Besarnya royalti yang harus dibayarkan pemegang lisensi wajib kepada pemegang paten dan cara pembayarannya; (f). Syarat berakhirnya lisensi wajib dan hal yang dapat membatalkannya; (g). Lisensi wajib semata-mata digunakan untuk m emenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri;

79

(h). Lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil (Pasal 79). Pasal 80 UU Nomor 14 Tahun 2001 mewajibkan pemberian lisensi untuk dicatat dan diumumkan dalam Daftar Umum Paten. Lisensi wajib yang telah didaftarkan secepatnya diumumkan oleh Kantor Paten dalam Berita Resmi Paten. Lisensi Wajib baru dapat dilaksanakan setelah didaftarkan dan dibayarkan biayabiaya tersebut. Pelaksanaan Lisensi Wajib dianggap sebagai pelaksanaan paten. Pasal 78 UU Nomor 14 Tahun 2001 menegaskan bahwa lisensi wajib tidaklah diberikan dengan suka rela. Pelaksanaan Lisensi Wajib harus disertai dengan pembayaran royalti oleh Pemegang Lisensi Wajib kepada Pemegang Paten. Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pembayarannya, ditetapkan Direktorat Jenderal HKI yang memberikan Lisensi Wajib. Penetapan besarnya royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi paten atau lainnya yang sejenis. Lisensi Wajib dapat pula sewaktu-waktu dimintakan oleh Pemegang Paten atas dasar bahwa pelaksanaan patennya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lainnya yang telah ada. Permintaan Lisensi Wajib tersebut hanya dapat dipertimbangkan apabila paten yang dilaksanakan benar-benar mengandung unsur pembaharuan yang nyata-nyata lebih maju daripada paten yang telah ada tersebut. Dalam hal yang demikian, maka: (a). Pemegang Paten berhak untuk saling memberikan Lisensi untuk menggunakan paten pihak lainnya berdasarkan persyaratan yang wajar;

80

(b). Penggunaan paten oleh Pemegang Lisensi tidak dapat dialihkan kecuali bila dialihkan bersama-sama dengan paten lainnya. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2001, Lisensi Wajib tidak dapat dialihkan kecuali jika dilakukan bersamaan dengan pengalihan kegiatan atau bagian kegiatan usaha yang menggunakan paten yang bersangkutan atau karena pewarisan. Lisensi wajbi yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lainnnya tertama mengenai jangka waktu dan harus dilaporkan kepada Kantor Paten untuk dicatat dan dimuat dalam Daftar Umum Paten. Suatu lisensi wajib berakhir dengan selesainya jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberiannya,dibatalkan atau dalam hal pemegang lisensi wajib menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya kepada Kantor Paten sebelum jangka waktu tersebut berakhir. Kantor Paten mencatat lisensi wajib yang telah berakhir jangka waktunya dalam buku Daftar Umum Paten, mengumumkan dalam Berita Resmi Paten dan memberitahukannya secara tertulis kepada Pemegang Paten serta Pengadilan Negeri yang memutuskan pemberiannya. Batal dan berakhirnya lisensi wajib sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 83 dan pasal 84 berakibat pulihnya hak pemegang paten atas paten yang bersangkutan sejak tanggal pencatatannya dalam Daftar Umum Paten. Atas permohonan Pemegang Paten, Direktorat Jenderal HKI dapat membatalkan lisensi wajib yang semula diberikan apabila: (a). alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi wajib tidak ada lagi;

81

(b). penerima lisensi wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi wajib tersebut atau tidak melaksanakan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya; (c). penerima lisensi wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalty yang ditetapkan dalam pemberian lisensi wajib. Pembatalan tersebut dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

2.

Penerapan Fleksibilitas Kesehatan Publik di India Pengaturan paten di India di dasarkan pada Patent Act 1970 (Act 39 of 1970)

yang telah mengalami tiga kali amandemen. Patent Act 1970 berlaku selama 24 tahun tanpa adanya perubahan dan berlaku sampai dengan Desember 1994, perubahan ini memberikan pengaturan baru terhadap permohonan paten produk yang sebelumnya permohonan paten hanya diizinkan untuk paten proses. Kemudian suatu ordonansi yang memuat perubahan tertentu diberlakukan undang-undang tersebut dikeluarkan pada 31 Desember 1994. Perubahanperubahan dilakukan dalam rangka harmonisasi Pasal 27 TRIPS, dimana sebelumnya Patent Act 1970 bertentangan dengan ketentuan persetujuan TRIPS. Setelah berlaku selama 6 bulan, ordonansi lain diberlakukan dan ditetapkan pada tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi Patent (Amendement) Act 1999 yang diberlakukan sejak tanggal 01 Januari 1995. Amandemen ke dua Patent Act 1970 dilakukan melalui Patent (Amendement) Act 2002 atau yang lebih dikenal Act 38 of 2002. Akta ini mulai

82

berlaku pada 20 Mei 2003 dan diperlakukan Patent Rules 2003 menggantikan Patent Rules 1972. Hal-hal yang menonjol dalam Patent (Amandement) Act 2002 adalah perlindungan paten selama 20 tahun disegala bidang, kodifikasi lebih lanjut mengenai hal-hal yang tidak dapat dipatenkan, impor paralel dan lain sebagainya. Amandemen ke tiga dari Patent Act 1970 diperkenalkan melaui Patent (Amandement) Ordinance, 2004 yang berlaku sejak 1 Januari 2005, dan kemudian digantikan oleh Patent (Amandement) Act 2005 atau lebih dikenal dengan Act 15 of 2005 pada 4 April 2005 yang telah berlaku sejak 1 Januari 2005. Hal-hal yang menonjol dalam amandemen ini diantaranya adalah perluasan paten produk pada seluruh bidang teknologi termasuk makanan, obat-obatan, bahan kimia dan mikroorganisme dan kemudian ditambahkan pula pengaturan pemberian lisensi wajib bagi ekspor obat-obatan ke negara yang tidak memiliki atau tidak cukup mampu memproduksi obat-obatan untuk memenuhi situasi darurati pada kesehatan publik. a. Persyaratan Patentabilitas Menurut Ketentuan Yang Berlaku di India Menurut Chapter I, Section 2 (1): Section 2. Definitions and interpretation. (j) "invention" means a new product or process involving an inventive step and capable of industrial application; (ja) "inventive step" means a feature of an invention that involves technical advance as compared to the existing knowledge or having economic significance or both and that makes the invention not obvious to a person skilled in the art; (l) "new invention" means any invention or technology which has not been anticipated by publication in any document or used in the country or elsewhere in the world before the date of filing of patent application with complete specification, i.e., the subject matter has not fallen in public domain or that it does not form part of the state of the art;

83

(m) patent" means a patent for any invention granted under this Act; Dari ungkapan diatas, definisi Invensi menurut Section 2(1)(j) diatas adalah produk atau proses baru yang mengandung suatu langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Lebih jauh mengenai invensi (berpegang pada putusan kasus Raj Parkash v. Mangat Ram Choudhary) merupakan pencarian atau mengungkap atas sesuatu yang tidak ditemukan atau atau pengungkapan oleh seseorang sebelumnya dan tidaklah penting bahwa invensi harus sesuatu yang rumit dan hal yang penting adalah inventor adalah orang yang pertama mengangkatnya (adopt), dan hal prinsip berikutnya adalah setiap invensi sederhana yang diklaim, selama merupakan sesuatu yang baru adalah merupakan suatu invensi serta klaim dan spesifikasi diungkapkan secara jelas dan suatu invesi baru dapat terdiri dari suatu kombinasi dari kesatuan sehingga memproduksi sesuatu yang baru atau hasil yang penting atau dapat terdiri dari seluruh kesatuan baru dan diklaim untuk mengantisipasi tergugat harus menggunakannya lebih dahulu atau mempublikasikannya lebih dahulu52. Berdasarkkan aturan yang dinyatakan dalam Section 2(1) maka suatu invensi yang diberi paten adalah invensi yang memenuhi syarat berikut ini: Invensi harus baru Invensi harus memiliki langkah inventif Invensi harus dapat diterapkan dalam industri Lebih jauh Invensi tidak boleh bertentangan dengan kategori Invensi yang tidak dapat dipatenkan yang disebutkan dalam Section 3 dan 4.
52

India Patent Practice Procedure, IPO, 2008, hlm.17, < http://www.patentoffice.nic.in/> [18/11/2009]

84

Adapun ruang lingkup patentabilitas dalam pengaturan di India adalah sebagai berikut: 1). Kebaruan Invensi (Novelty of Invention) Suatu invensi dianggap baru (novel) jika ia tidak terantisipasi oleh publikasi dokumen apapun dan di manapun di dunia ini atau digunakan di suatu negara atau diklaim sebelumnya dalam suatu permohonan paten di India, atau merupakan suatu bentuk bagian dari pengetahuan, oral atau lainnya; yang didapatkan di wilayah lokal atau komunitas asli India atau dimanapun sebelum tanggal penerimaan permohonan paten atau tanggal prioritas, subjek matter tidak merupakan public domain atau ia bukan merupakan bagian dari state of art. (a). Penentuan Kebaruan (Determination of Novelty) Meskipun state of art tidak didefinisikan dalam Undang-undang, akan tetapi dalam menentukan kebaruan invensi Kantor Paten India menggunakan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Section 13 dan Section 29-34, sebagai berikut: (i). jika ia terantisipasi oleh publikasi sebelum tanggal penerimaan dari aplikasi pada spesifikasi yang diterima untuk permohonan paten di India pada atau setelah tanggal 1 Januari 1912. (ii) jika ia terantisipasi oleh publikasi yang dilakukan sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas dokumen apapun di negara manapun; atau

85

(iii)jika ia diklaim dalam klaim manapun suatu spesifikasi lengkap yang diajukan di India, yang diterima sebelum tanggal permohonan meskipun publikasinya setelah tanggal permohonan. Dalam rangka menentukan kebaruan suatu invensi, penelusuran dilakukan terhadap publikasi-publikasi sabelumnya dan klaim-klaim sebelumnya dalam kaitannya dengan subject matter yang sedang dimintakan patennya, hal ini merupakan tugas dari pemeriksa dengan memeriksa litaratur paten maupun non-paten untuk menguji apakah kebaruan invensi terantisipasi oleh publikasi-publikasi sebelumnya dan klaim-klaim sebelumnya. Hal ini merupakan kewajiban dari kantor paten dalam melakukan pemeriksaan permohonan paten Kebaruan ditentukan terlebih dahulu sebelum menentukan langkah inventif, hal ini disebabkan ide kreatif inventor dapat dinilai dari adanya suatu elemen baru dalam suatu invensi. Hal-hal yang dapat menggugurkan kebaruan invensi diantaranya adalah subject matter diungkapkan dalam permohonan paten sebelumnya. Suatu invensi dianggap tidak memiliki kebaruan jika kombinasi tertentu fitur-fitur telah terantisipasi dalam pengungkapan sebelumnya. Dalam hal menunjukkan suatu ketidakbaruan, pengungkapan sebelumnya secara keseluruhan terkandung dalam satu dokumen, jika lebih dari satu dokumen mensitasi, tiap-tiap dokumen tersebut harus dibandingkan dengan invensi secara satu-satu. Efek gabungan (commulative) dari pengungkapanpengungkapan bukanlah merupakan penilaian atas ketidakbaruan. Akan

86

tetapi jika suatu dokumen pembanding merujuk pada dokumen lainnya yang mengindikasikan terantisipasi, dan pengungkapan yang dimaksudkan terkandung dalam dokumen pembanding, maka kedua dokumen tersebut dibaca sebagai satu dokumen pembanding. (b). Penggunaan Sebelumnya Pengunaan sebelumnya dari suatu invensi di India sebelum tanggal penerimaan akan menjatuhkan kebaruan invensi, akan tetapi terdapat suatu pengecualian pada pengaturan mengenaihal ini. Suatu invensi yang telah dipublikasikan di India oleh pemohon maupun pihak ketika pada satu tahun sebelum tanggal prioritas untuk keperluan percobaan yang masuk akal tidak mengantisipasi invensi (Section 32). Contoh: Kasus Lallubhai Chakubhai v. Chimanlal Chunilal & Co. A.I.R., 1936 Bom. 99 Dalam kasus tersebut diputuskan bahwa penggunaan umum (public user) tidak berarti merupakan suatu penggunaan oleh masyarakat umum (user by public) .tetapi merupakan suatu penggunaan dengan cara yang umum. (user in public manner) Lebih lanjut diputuskan bahwa penggunaan suatu invensi untuk keperluan perdagangan, apakah itu oleh inventor itu sendiri atau oleh orang lainnya merupakan suatu Penggunaan umum, dalam putusan tersebut juga dinyataan bahwa penjualan publik (public sale) dari suatu barang merupakan suatu bukti kuat mengenai penggunaan dengan tujuan komersial dan bukan percobaan. Tetapi untuk mendapatkani bukti

87

penggunaan umum (public user), penjualan tersebut dilakukan secara terbuka dan dilakukan sebagaimana cara yang umum dalam bisnis. (c). Kebaruan Invensi Seleksi (Selection of Invention) Suatu invensi yang secara umum mengacu pada suatu invensi seleksi harus memenuhi kriteria berikut: (i) Invensi seleksi didasarkan pada beberapa keuntungan yang mendasar dari beberapa kerugian yang dihindari, (ii) Secara mendasar anggota-anggota yang dipilih (selected) sangat penting dalam mempengaruhi keuntungan invensi, (iii)Invensi seleksi berkenaan dengan kualitas dari karakter khusus dari kelompok yang dipilih. Akan tetapi, hal ini tidaklah penting untuk dihilangkan jika secara jelas bahwa beberapa anggota kelompok dari kelas yang dipilih memiliki kualitas yang sama, dan klaimnya dapat gugur jika ditemukan kualitas tersebut merupakan hal yang umum dengan adanya penambahan lain anggota yang dipilih. 2). Langkah Inventif (Inventive Step = Non Obviousness)53 Setelah menetapkan kebaruan, suatu invensi kemudian dinilai apakah mengandung langkah inventif. Invensi dinilai memiliki langkah inventif apabila merupakan sesuatu yang tidak dapat diduga (non-obvious) oleh orang yang ahli dibidangnya pada tanggal prioritas invensi tersebut. Suatu langkah inventif dinilai berdasarkan pada dokumen yang diumumkan atau hal lainnya seperti yang didefinisikan dalam Section 2(1)(ja) berikut:
53

Ibid, hlm.30-39

88

"Inventive step" means a feature of an invention that involves technical advance as compared to the existing knowledge or having economic significance or both and that makes the invention not obvious to a person skilled in the art (a) Fitur-fitur penting Dalam Penilaian Langkah Inventif Dalam yurisprudensi Supreme Court, mendasarkan kriteria penilaian langkah inventif dalam kasus M/s. Bishwanath Prasad Radhey Shyam Appellant v. M/s. Hindustan Metal Industries adalah sebagai berikut: It is important that in order to be patentable an improvement on something known before or a combination of different matters already known, should be something more than a mere workshop improvement; and must independently satisfy the test of invention or an inventive step. To be patentable the improvement or the combination must produce a new result, or a new article or a better or cheaper article than before. The combination of old known integers may be so combined that by their working interrelation they produce a new process or improved result. Mere collection of more than one integers or things, not involving the exercise of any inventive faculty, does not qualify for the grant of a patent.[AIR 1982 Supreme Court 1444]

Yurisprudensi di atas menyatakan bahwa dalam rangka menentukan dapat dipatenkannya suatu peningkatan sesuatu yang telah diketahui atau kombinasi dari beberapa hal yang telah diketahui, haruslah merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar hanya perbaikan peragaan (workshop improvement), dan harus memenuhi pengujian invensi atau suatu langkah inventif. Untuk dapat dipatenkan suatu peningkatan atau kombinasi harus dibuat dalam hasil baru, atau suatu barang baru atau sesuatu yang lebih baik atau sesuatu yang lebih murah dari yang ada sebelumnya. Kombinasi suatu hal yang telah diketahui dapat

digabungkan sehingga keterkaitan yang kemudian dihasilkan kemudia

89

merupakan suatu proses baru atau atau peningkatan hasil. Hal yang hanya merupakan gabungan dari sesuatu, merupakan sesuatu yang tidak mengandung uji inventif, serta tidak memenuhi diberikannya suatu paten. Suatu langkah inventif mungkin akan muncul jika sebelumnya sudah terdapat kebaruan. Ketika suatu invensi merupakan hal yang diduga lebih lanjut dari prior art maka invensi tersebut tidak memenuhi langkah inventif. Hal yang dapat diduga berarti bahwa invensi tidak melebih perkembangan normal suatu teknologi, tetapi hanya mengikuti secara wajar atau logis dari suatu prior art, contohnya sesuatu yanh tidak melibatkan usaha usaha dari keahlian apapun atau kemampuan melebihi apa yang diharapkan oleh orang yang ahli dibidangnya . Untuk orang yang ahli dibidangnya diasumsikan bahwa orang tersebut merupakan praktisi yang biasa mengetahui/menyadari pengetahuan yang berkaitan dengan bidang tersebut. Kadang dalam beberapa kasus orang yang ahli dibidangnya merupakan suatu kelompok, suatu tim dari orang-orang dari pada hanya perorangan. (b). Menggabungkan Beberapa Dokumen (Mosaicing Multiple Document) Ketika menilai suatu langkah inventif, penggabungan beberapa dokumen prior art (mosaics) dapat dilakukan, jika sesuatu hal dapat diduga pada tanggal penerimaan atau prioritas oleh orang yang ahli dibidangnya. Ketika mendefinisikan permasalahan dengan acuan pada prior art terdekat dan sebagaimana yang diungkapkan dalam dokumen utama

90

akan menuntut orang yang ahli dibidangnya untuk mencari penyelesaian yang dimungkinkan dalam dokumen kedua lainnya, yang masih sama bidangnya atau berkaitan untuk mendapatkan penyelesaian

permasalahan secara

obyektif, langkah inventif dinilai dengan

memperhatikan juga dokumen-dokumen ini. Invensi secara keseluruhan dianggap memiliki langkah inventif, jika pemeriksa tidak cukup menarik kesimpulan bahwa invensi yang diklaim hanya bagian yang masing diambil secara terpisah dan telah diketahui atau dapat diduga. Jika suatu klaim berhubungan dengan komposisi yang terdiri dari bahanbahan yang telah diketahui, merupakan sesuatu yang dapat diduga, kecuali jika campuran/komposisi memberikan efek yang baru, misalnya efek sinergis. Suatu invensi dapat merupakan hasil dari pemilihan sejumlah alternatif untuk menunjukkan bahwa invensi tidak dapat diduga, hal tersebut biasanya hanya untuk menunjukkan bahwa permasalahan teknik terselesaikan atau dengan cara yang tidak terduga. 3). Penentuan Langkah Inventif Tahap-tahap untuk menentukan langkah inventif: (a) Menentukan ruang lingkup isi dari prior art yang berkaitan dengan invensi yang sedang diajukan.

91

(b)

Menilai hasil atau efek teknis dan nilai eknomi yang dicapai oleh invensi yang diajukan atau dimintakan.

(c) (d)

Menilai perbedaan antara prior art dan invensi yang diajukan. Mendefinisikan permasalahan teknis yang diselesaikan seebagai obyek invensi untuk mencapai hasil;

(e)

Penentuan akhir dari hal yang tak dapat diduga dibuat dengan memutuskan apakah seeorang yang ahli dibidangnya dapat mengaitkan perbedaan prior art yang relevan dan klaim invensi yang dimintakan. Contoh: Dalam kasus Paten No.173953(223/BOM/1991) invensi berkaitan dengan suatu proses untuk membuat komposisi sabun yang mengandung gliserol. Oposisi dilakukan atas dasar bahwa publikasi terdahulu, pengetahuan umum sebelumnya, dapat didugan, bukan merupakan invensi yang dimaksudkan dalam undang-undang dan juga tiduk cukup mendefinisikan invensi. Klaim utaman invensi mengungkapkan bahanbahan yang tersitasi oleh prior art, memiliki perbandingan yang sangat spesifik dan memiliki kisaran yang sempit yang tidak dinyatakan didokumen yang mensitasi, sehingga dihasilkan suatu sabun yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembut, pada prior art tidak diungkapkan jumlah gliserol atau garam yang ditambahkan dalam asam lemak, sehingga pihak pengoposisi gagal atas dasar keberatan yang diajukan.

92

3). Dapat diterapkan dalam industri (Capable of Industrial Application)54 Kriteria ketiga patentabilitas yang ke tiga adalah dapat diterapkan dalam industri yang didefinisikan pada Section 2(1)(ac): Capable of Industrial application, in relation to an invention, means that the invention is capable of being made or used in an industry. Suatu subject matter tanpa adanya kriteria dapat diterapkan dalam industri maka subject matter tersebut tidak memenuhi definisi invensi menurut Undang-undang55. Kata Industri sendiri harus diartikan secara luas termasuk berguna dan dapat di praktekan, sebagai pembeda antara aktivitas intelektual atau kesenian Dalam hal terdapat suatu ketidakjelasan dan indikasi spekulatif mungkin dilakukan oleh inventor/pemohon dengan menggunakan metode sebagaimana yang dijelaskan dalam spesifikasi, hal ini tidak cukup untuk memenuhi persyaratan keterterapan dalam industri. Paten tidak diberikan dengan tujuan memagari suatu invensi yang bersifat spekulatif dan tidak jelas sehingga dapat diterapkan dalam industri juga bermakna bahwa paten tersebut dapat diimplementasikan menurut cara ataupun metode yang diungkapkan. Suatu invensi yang berisi mengenai metode pengobatan pada tubuh manusia atau hewan dengan melakukan operasi, terapi atau diagnosa merupakan hal yang tidak dapat diterapkan dalam industri. Begitu juga dengan bagian organ tubuh manusia atau hewan yang digunakan dalam transplantasi merupakan hal yang tidak dapat diterapkan secara industri.
54 55

Ibid, hlm.51 Loc.Cit

93

4). Satu-kesatuan Invensi (Unity of Invention) Menurut Section 10 (5), suatu kesatuan invensi dan kejelasan merupakan suatu keharusan dalam mengajukan permohonan spesifikasi paten. The claim or claims of a complete specification shall relate to a single invention, shall be clear and succinct and shall be fairly based on the matter disclosed in the specification and shall, in the case of an invention such as is referred to in Section 5, relate to a single method or process of manufacture Suatu kesatuan invensi dapat dilihat pada klaim-klaim mandiri yang diajukan apakah memiliki kategori yang berbeda atau tidak. Dalam India Patent Practice procedure 2008, penggolonagn kategorinya adalah sebagai berikut: (a) Suatu klaim produk atau klaim proses khususnya suatu proses yang ditujukan untuk pembuatan produk merupakan satu kesatuan invensi; (b) Suatu klaim proses and klaim alat yang dirancang khusus untuk melaksanakan proses tersebut merupakan satu kesatuan invensi; (c) Suatu klaim produk, klaim proses yang ditujukan untuk pembuatan produk dan klaim untuk alat yang dirancang khusus untuk melaksanakan suatu proses merupakan satu kesatuan invensi. Meskipun demikian kriteriakriteria diatas tidak bisa disama-ratakan, dan mungkin juga untuk beberapa klaim tidak dapat diajukan dalam satu permohonan dan hal ini bergantung pada kondisi tiap kasusnya

94

(d) Suatu kesatuan invensi antara proses dan produk mensyaratkan bahwa proses tersebut secara tak terpisahkan digunakan untuk menghasilkan produk baru. (e) Suatu kesatuan antara proses dan alat yang dirancang untuk melaksanakan suatu proses, atau paling tidak suatu tahap proses, tanpa mengecualikan penggunaan lain yang mungkin. (f) Suatu konsep satu-kesatuan invensi jugat terdapat jika suatu invensi yang tidak dapat berdiri sendiri dengan satu klaim. Misalnya: (i) saat sekuen gen dimodifikasi secara genetik adalah baru, mengandung langkah inventif serta dapat ditgerapkan dalam industri merupakan satu kesatuan invensi. Klaim-klaim yang dapat diajukan diantaranya sekuen asam amino/gen, metode untuk mengekspresikan asam amino/gen, suatu antibody yang menghambat sekuen protein atau asam amino, dan suatu alat yang dibuat dari sekuen asam amino/gen. (ii) suatu produk farmasi jika memenuhi kriteria baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Klaim-klaim yang dapat diajukan diantaranya adalah suatu obat atau produk obat, suatu obat yang telah dimodifikasi dari senyawa yang telah dikenal jika hasil dari modifikasi tersebut memiliki efikasi yang lebih baik. (iii)dalam hal paten herbal, baik itu komposisi kimia, farmasi, maupun medis, produk dapat dipatenkan jika produk tersebut adalah baru, proses ekstraksi, proses pencampuran, ataupun proses sebelum ekstrasi, serta alat yang digunakan jika alat tersebut adalah baru.

95

5). Invensi-invensi yang Dapat diberi paten (Patentable Subject Matter) di India Tidak semua subject matter dapat di patenkan di India, hanya yang merupakan suatu invensi saja yang dapat diberi paten dan ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Section 3. Section 3-What are not Invention (a) an invention which is frivolous or which claims anything obviously contrary to well established natural laws; (b) an invention the primary or intended use or commercial exploitation of which could be contrary public order or morality or which causes serious prejudice to human, animal or plant life or health or to the environment; (c) the mere discovery of a scientific principle or the formulation of an abstract theory or discovery of any living thing or non-living substances occurring in nature; d) the mere discovery of a new form of a substance which does not result in the enhancement of a known efficacy of that substance or the mere discovery of a new property or new use of a known process, machine or apparatus unless such known process results in a new product or employs at least one new reactant. Explanation: For the purpose of this clause, salts, easters, ethers,polymorphs, metabolites, pure form, particle size, isomers mixtures of isomers, complexes, combinations and other derivatives of known substance shall be considered to be the same substance, unless they differ significantly in properties with regard to efficacy (e) a substance obtained by a mere admixture resulting only in the aggregation of the properties of the components thereof or a process for producing such substance; (f) the mere arrangement or re-arrangement or duplication of known devices each functioning independently of one another in a known way; (g) Omitted. (h) a method of agriculture or horticulture; (i) any process for the medicinal, surgical, curative, prophylactic, diagnostic, therapeutic or other treatment of human beings or any process for a similar treatment of animals to render them free of disease or to increase their economic value or that of their products. (j) plants and animals in whole or any part thereof other than microorganisms but including seeds, varieties and species and essentially biological processes for production or propagation of plants and animals; (k) a mathematical or business method or a computer program per se or algorithms; (l) a literary, dramatic, musical or artistic work or any other aesthetic creation whatsoever including cinematographic works and television productions;

96

(m) a mere scheme or rule or method of performing mental act or method of playing game; (n) a presentation of information; (o) topography of integrated circuits; (p) an invention which in effect, is traditional knowledge or which is an aggregation or duplication of known properties or traditionally known component or components. Dalam Section 3(a) dinyatakan bahwa suatu invensi yang mengada-ada dan bertentangan dengan apa yang seharusnya, yaitu misalnya hukum alam bukanlah merupakan suatu invensi. Hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam misalnya adalah suatu mesin yang efisiensinya seratus persen. Sedangkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan Section 3(b) yaitu mengenai Invensi yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat, moralitas, invensi yang menyebabkan kerugian/kerusakan terhadap manusia, binatang, maupun lingkungan tidak dapat diberi paten. Di India juga dibedakan mengenai apa yang dimaksud dengan discovery dan apa yang dimaksud dengan Invensi (Section 3(c)). Dimana discovery merupakan pengetahuan manusia atas pengungkapan sesuatu yang sudah ada di alam dan belum pernah terlihat sebelumnya. Sedangkan invensi merupakan pengetahuan manusia dengan membuat suatu produk atau proses yang melibatkan peningkatan teknik dibandingkan dengan pengetahuan yang ada sekarang. Suatu teori sains merupakan suatu pernyataan tentang keadaan alam, teori-teori itu sendiri tidak dapat dipatenkan, walaupun teori-teori teresbut sangat revolusioner. Selama mereka tidak menghasilkan produk ataupun proses. Akan tetapi jika teori tersebut diaplikasikan pada proses pembuatan suatu produk, hal tersebut dapat dipatenkan.

97

Section 3(d) menyatakan bahwa suatu discovery bentuk baru suatu bahan yang telah diketahui yang tidak menghasilkan suatu peningkatan efikasi bahan tidak dapat dipatenkan. Suatu bahan dalam bentuk baru seperti amorf menjadi kristalin, kristal menjadi amorf atau bentuk isomer, kompleks, metabolit, garam,hidrat, ester, eter atau bentuk ukuran partikel baru dari suatu bahan yang telah diketahui tidak dapat dipatenkan. Suattu bentuk baru dari suatu senyawa yang sudah diketahui dapat dipatenkan bila memiliki sifat-sifat yang secara signifikan berpengaruh pada efikasi (kemanjuran). Dalam melakukan pemeriksaan substantive seorang pemeriksa harus memeriksa efikasi dari bentuk baru dengan bentuk baru lainnya dan bukan membandingkannya dengan bentuk dasar senyawa tersebut. Dalam Section 3(d) dinyatakan bahwa suatu bahan yang didapatkan dari hasil pencampuran dan sifat dari bahan tersebut hanya merupakan kumpulan sifatsifat bahan penyusunnya merupakan invensi yang tidak dapat dipatenkan. Contoh sederhana adalah jika suatu komposisi yang terdiri dari parasetamol (sebagai penurun demam) dan ibuprofen (pereda sakit) dan komposisi tersebut digunakan sebagai obat panas dan pereda sakit maka invensi tersebut tidak dapat dipatenkan karena merupakan sesuatu yang sudah dapat diduga. Akan tetapi jika komposisi tersebut memiliki efek sinergis yang tidak diduga sebelumnya maka komposisi tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberi paten. Suatu metode untuk membuat suatu bentuk baru tanaman

(Section3(h)), meskipun melibatkan suatu modifikasi kondisi dengan menggunakan fenomena alam (persilangan) merupakan suatu invensi yang

98

tidak dapat diberi paten. Lebih lanjut dalam Section 3(i) dinyatakan bahwa metode pengobatan, operasi, penyembuhan, maupun diagnostic tidak dapat dipatenkan. Misalnya suatu metode pengobatan sel tumor, pengobatan suatu domba untuk meningkatkan woolnya juga tidak dapat dipatenkan. Istilah terapi termasuk juga pencegahan ataupun penyembuhan penyakit, seperti vaksinasi dan inokulasi adalah tidak dapat dipatenkan. Section 3(j) menyatakan bahwa tanaman, dan binatan dalam seluruh atau bagiannya selain mikroorganisme termasuk biji-bijian, varietas, dan spesien serta proses biologi esensial untuk memproduksi atau mempropagasi tumbuhan dan hewan tidak dapat di patenkan. Dalam hal mikroorganisme, jika mikroorganisme tersebut berasal dari alam maka hal tersebut pun tidak dapat dipatenkan. Seperti halnya di Indonesia, algoritma matematika, metode bisnis, dan program computer (Section 3(k)) tidak dapat dipatenkan. Kreasi seni, drama, kesusastraan serta sinematografi tidak dapat dipatenkan menurut Section 3(l). Metode permainan, metode pengajaran, metdeo mengoperasikan suatu mesin atau alat tidak dapat dipatenkan menurut Section 3(m). Suatu cara, alat, atau metode untuk mengekspresikan informasi secara visual maupun audio, baik dengan kata-kata, kode, tanda, symbol, diagram, atau lainnya tidak dapat dipatenkan menurut ketentuan Section 3(n). Sejak adanya perlindungan terhadap Disain, tata letak, dan sirkuit terpadu yang diatur secara terpisah dalam Semiconductor Integrated Lay-out Design Act, 2000 maka konfigurasi tiga dimensi sirkuit elektronik yang digunakan dalam mikcip dan cip semikonduktor tidak lagi dapat dipatenkan (Section 3(o)).

99

Dalam Section 3(p) dinyatakan bahwa invensi yang berdampak pada suatu pengetahuan tradisional atau merupakan suatu kumpulan atau suatu duplikasi dari komponen kekayaan tradisional yang telah dikenal maka hal tersebut tidak dapat dipatenkan. Sebagai contoh, ketumbar dikenal dalam pengetahuan tradisional India, memiliki sifat antiseptik dalam penyembuhan luka, sehingga invensi yang berkaitan dengan hal tersebut tidak dapat dipatenkan. India mengatur lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan nuklir dan radioaktif sebagai suatu invensi yang tidak dapat dipatenkan dalam Section 4,yaitu: No Patent shall be granted in respect of an invention relating to atomic energy falling within subSection (1) of Section 20 of the Atomic Energy Act, 1962 (33 of 1962) Paten tidak diberikan untuk invensi yang berkaitan dengan produksi, kontrol, penggunaan atau pembuangan energi atom atau ekstraksi penambangan, produksi, dan penggunaan bahan kimia, pengayaan bahan kimia radioaktif yang telah ditentukan. Proses fisi maupun fusi nuklir termasuk invensi yang tidak dapat dipatenkan, sedangkan yang dimaksud dengan bahan kimia radioaktif yang telah ditentukan termasuk diantaranya adalah uranium, plutonium, thorium, berilium, deuterium, atau bahan lainnya yang secara spontan mengemisi, meradiasi secara spontan pada tingkat yang ditentukan oleh pemerintah India..

100

b.

Pengaturan Lisensi Wajib Menurut Ketentuan Yang Berlaku di India Dalam hal suatu paten tidak dilaksanakan oleh pemegang paten di India,

maka pihak lain dapat mengajukan permohonan lisensi wajib. Pengaturan kondisi-kondisi yang dapat digunakan dalam memohon suatu lisensi wajib tersebut dinyatakan dalam Section 84 (1) Patent Act, sebagai berikut: At any time after the expiration of three years from the date of the grant of a patent, any person interested may make an application to the Controller for grant of compulsory licence on patent on any of the following grounds, namely: (a) that the reasonable requirements of the public with respect to the patented invention have not been satisfied, or (b) that the patented invention is not available to the public at a reasonably affordable price, or (c) that the patented invention is not worked in the territory of India

1). Dasar-dasar Pemberian Lisensi Wajib Berdasarkan Section 84 (1) diatas maka dasar pemberian lisensi wajib jika terdapat kondisi-kondisi sebagai berikut: (a) butuhan masyarakat terhadap invensi yang dipatenkan tidak terpenuhi; (b) Invensi yang dipatenkan tidak diperoleh dengan harga yang terjangkau, (c) Invensi yang dipatenkan tidak dilaksanakan di wilayah India Pihak manapun dapat mengajukan permohonan suatu lisensi wajib untuk suatu paten setelah tiga tahun dari tanggal pemberian paten jika terdapat kondisikondisi seperti yang disebutkan di atas. Permohonan lisensi wajib juga dapat dilakukan oleh pemegang lisensi paten hal ini dinyatakan dalam Section 84 (2) berikut: An application under this Section may be made by any person notwithstanding that he is already the holder of a licence under the patent and no person shall be estopped from alleging that the reasonable requirements of the public with respect to the patented invention are not satisfied or that the patented invention

101

is not worked in the territory of India or that the patented invention is not available to the public at a reasonably affordable price by reason of any admission made by him, whether in such a licence or otherwise or by reason of his having accepted such a licence

Maksud dari pasal diatas adalah, suatu permohonan menurut Section 84 (2) dapat dibuat oleh pihak manapun meskipun dia telah memegang lisensi paten dan tidak ada pihak yang dapat dihalangi dari tuduhan mengenai persyaratan umum yang ada di masyarakat dengan memperhatikan invensi yang dipatenkan tidak terpenuhi atau bahwa invensi yang dipatenkan tidak dapat dilaksanakan di wilayah India atau invensi yang dipatenkan tidak dapat diperoleh masyarakat dengan harga yang wajar dengan alasan bahwa pengakuan dibuat oleh pihak tersebut apakah seperti lisensi atau selain hal itu atau dengan alasan bahwa dia menerima lisensi seperti itu. Dalam melakukan pertimbangan permohonan lisensi wajib maka Controller menurut Section 84(6) , harus mempertimbangkan hal-hal berikut: (a). keadaan dari invensi, seberapa kompleks invensi tersebut (b). waktu yang terlewat sejak diberikannya paten, apakah untuk melaksanakan paten tersebut sangat sulit meskipun pemegang paten telah melaksanakan upaya-upaya maksimal untuk melaksanakan invensi tersebut dengan baik sebelum diajukannya suatu permohonan lisensi wajib kepada kantor paten; (c). langkah-langkah apasaja yang telah dilakukan oleh pemegang paten atau pemegang lisensi untuk melaksanakan invensi secara penuh; (d). kemampuan dari pemohon untuk melaksanakan invensi terhadap

kepentingan masyarakat;

102

(e). kapasitas pemohon dalam mengambil resiko menyediakan modal dan melaksanakan invensi, jika permohonan tersebut diberikan; (f). apakah pemohon telah melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan lisensi dari pemegang paten dengan kondisi yang layak apakah upaya-upaya tadi tidak berhasil dalam waktu yang masuk akal sebagaimana yang diperkirakan oleh Controller, waktu yang masuk akal tersebut diartikan adalah selama 6 bulan (Section 84 (6)). Pemenuhan yang wajar atas kebutuhan masyarakat dianggap tidak terpenuhi menurut Section 84(7): (a). Jika, dengan alasan penolakan dari pemilik paten untuk memberikan lisensi atau penolakan lisensi pada keadaan-keadaan yang dapat diterima (i) suatu perdagangan atau industri atau pengembangan yang telah ada atau pendirian dari perdagangan baru atau industri di India atau perdagangan atau industri oleh orang-orang atau badan-badan perdagangan/ maufaktur di India dirugikan; atau (ii) kebutuhan untuk hal yang dipatenkan tidak terpenuhi atau jauh dari memuaskan atau dalam keadaan-keadaan yang dapat diterima

(reasonable terms) (iii)Suatu pasar ekspor dari hal/benda yang dipatenkan dibuat di India tidak tersedia atau tidak dikembangkan; atau (iv) pembangunan atau pengembangan kegiatan komersial di India dirugikan;atau

103

(b).Jika, dengan alasan kondisi-kondisi yang dipaksakan oleh pemilik paten atas pemberian lisensi menurut paten atau berdasarkan pembelian, penyewaan atau pembelian dari barang yang dipatenkan atau proses pembuatan, penggunaan atau penjualan material yang tidak dilindungi paten, atau pembangunan atau pengembangan dari perdagangan atau industri di India di rugikan; atau (c). Jika pemilik paten memaksakan suatu keadaan terhadap pemberian lisensi atas paten untuk memberikan lisensi eksklusif balik (exclusive grant back), menghalangi upaya perlawanan terhadap validitas paten atau memaksakan paket lisensi if the patentee imposes a condition upon the grant of licences under the patent to provide exclusive grant back, prevention to challenges to the validity of patent or coercive package licensing (d). Jika invensi yang dipatenkan tidak dilaksanakan di wilayah India pada skala komersial tidak memadai atau tidak terlaksana dengan baik dengan sepenuhnya yang dapat dilaksanakan dengan baik; (e). Jika pelaksanaan invensi yang dipatenkan di wilayah India pada skala komersial terhambat atau terhalang oleh impor produk paten dari luar negeri oleh (i) pemilik paten atau orang-orang mengakui paten (ii) orang-orang yang secara langsung atau tak langsung membeli dari pemilik paten atau orang-orang yang mengakui paten; atau

104

(iii)orang lain yang berlawanan dengan pemilik paten yang tidak mengambil langkah ke pengadilan mengenai pelanggaran paten.

2). Pembatalan Paten Oleh Controller Karena Tidak Terlaksananya Paten Dalam hal suatu lisensi wajib telah dikeluarkan maka menurut Section 85, maka permohonan untuk pembatalan paten tersebut dapat diajukan pada Controller, oleh pemerintah pusat India atau pihak-pihak lain yang berkepentingan setelah berakhirnya jangka waktu 2 tahun dari tanggal pemberian lisensi wajib yang pertama. Permohonan ini menggunakan form 19 dan disertai dengan biaya. Setiap permohonan pembatalan paten tersebut harus diputuskan dalam waktu 1 tahun sejak diajukan pada Controller (Section 85 (4)), jika Controller mendapatkan bahwa kepentingan masyarakat akan invensi yang diberi paten tidak terpenuhi, paten tidak dilaksanakan di wilayah India, serta invensi yang diberi paten tidak dapat diperoleh dengan harga yang terjangkau maka pihak Controller dapat membatalkan paten tersebut. Pihak Controller kemudian mengumumkan perintah pembatalan paten tersebut berdasarkan Section 85(3) dalam suatu jurnal resmi.

3).

Prosedur Pemberian Lisensi Wajib Prosedur pemberian lisensi wajib diatur dalam Section 84(7) dan 90 Patent

Act. Pemohon lisensi mengisi form 17 yang berisi tentang biaya tertentu, pernyataan tentang pemohon, alasan mengajukan lisensi wajib, persyaratan dan

105

kondisi, serta pernyataan mengenai kemauan pemohon untuk menerima (willing to accept) seperti yang dinyatakan dalam Rule 96 (India Patent Rules). An application to the Controller for an order under Section 84, Section 85, Section 91 or Section 92 or Section 92A shall be in Form 17, or Form 19, as the case may be.Except in the case of an application made by the Central Government, the application shall set out the nature of the applicant's interest and terms and conditions of the licence the applicant is willing to accept

Dalam hal suatu kondisi prima facie tidak terpenuhi maka menurut Rule 97 India Patent Rules (When a prima facie case is not made out.-) (1) If, upon consideration of the evidence, the Controller is satisfied that a prima facie case has not been made out for the making of an order under any of the Sections referred to in rule 96, he shall notify the applicant accordingly, and unless the applicant requests to be heard in the matter,within one month from the date of such notification, the Controller shall refuse the application. (2) If the applicant requests for a hearing within the time allowed under subrule (1), the Controller shall, after giving the applicant an opportunity of being heard, determine whether the application may be proceeded with or whether it shall be refused.

Jika Controller memandang bahwa kondisi prima facie tidak terpenuhi untuk membuat perintah seperti yang dimaksud dalam Rule 96, maka ia harus memberitahukan pemohon; dan kecuali jika pemohon mengajukan permohonan untuk didengarkan (memberikan pendapat, to be heard) dalam hal tersebut, dalam waktu satu bulan sejak tanggal pemberitahuan, Controller dapat menolak permohonan lisensi wajib menurut Section 84 atau pembatalan paten menurut Section 85. Jika pemohon memohon kesempatan untuk didengar dalam waktu satu bulan pemberitahuan, maka pihak Controller kemudian akan menentukan apakah permohonan akan diproses atau akan ditolak. Dan dalam hal Controller menemukan bahwa bukti sesuai dengan kondisi prima facie case sebelumnya

106

seperti yang dinyatakan dalam Section 87 (1) Patent Act, ia dapat memerintahkan pemohon untuk menyediakan salinan permohonan kepada pemilik paten dan mengumumkan permohonan tersebut dalam jurnal resmi. Where the Controller is satisfied, upon consideration of an application under Section 84, or Section 85, that a prima facie case has been made out for the making of an order, he shall direct the applicant to serve copies of the application upon the patentee and any other person appearing from the register to be interested in the patent in respect of which the application is made, and shall publish the application in the official journal.

Dalam Section 87(2) dibawah ini dinyatakan bahwa pemilik paten dapat melakukan opisisi terhadap permohonan lisensi wajib dalam waktu yang telah ditentukan, atau dalam waktu lebih lanjut sebagaimana yang dimungkinkan oleh Controller dalam permohonan (baik sebelum atau setelah berakhirnya waktu yang telah ditetapkan) diperbolehkan dengan memberikan pemberitahuan oposisi kepada Controller. The patentee or any other person desiring to oppose the application may, within such time as may be prescribed or within such further time as the Controller may on application (made either before or after the expiration of the prescribed time) allow, give to the Controller notice of opposition Pemberitahuan mengenai oposisi yang dimaksudkan dalam Section 87(2) tersebut harus berisi pernyataan mengenai dasar melakukan oposisi terhadap permohonan lisensi wajib tersebut, dan pada saat pemeberitahuan oposisi diberikan Controller harus memberitahu pemohon lisensi wajib, dan memberikan kesempatan kepada pemohon lisensi wajib dan pihak yang

107

berseberangan untuk mendengarkan masing-masing alasan sebelum mengambil keputusan (87 (3) dan (4)).

4). Syarat dan Ketentuan Lisensi Wajib Dalam menetapkan syarat dan ketentuan lisensi wajib menurut Section 84, Controller akan berusaha memastikan hal-hal ini dinyatakan dalam Section 90 India Patent Act beritkut: (1).In settling the terms and conditions of a licence under Section 84, the Controller shall endeavour to secure(i) that the royalty and other remuneration, if any, reserved to the patentee or other person beneficially entitled to the patent, is reasonable, having regard to the nature of the invention, the expenditure incurred by the patentee in making the invention or in developing it and obtaining a patent and keeping it in force and other relevant factors; (ii) that the patented invention is worked to the fullest extent by the person to whom the licence is granted and with reasonable profit to him; (iii) that the patented articles are made available to the public at reasonably affordable prices; (iv) that the licence granted is a non-exclusive licence; (v) that the right of the licensee is non-assignable; (vi) that the licence is for the balance term of the patent unless a shorter term is consistent with public interest; (vii) that the licence is granted with a predominant purpose of supply in the Indian market and that the licensee may also export the patented product, if need be in accordance with the provisions of sub-clause (iii) of clause (a) of sub-Section ( 7) of Section 84; (viii) that in the case of semi-conductor technology, the licence granted is to work the invention for public non-commercial use; (ix) that in case the licence is granted to remedy a practice determined after judicial or administrative process to be anti-competitive, the licensee shall be permitted to export the patented product, if need be. (2) No licence granted by the Controller shall authorise the licensee to import the patented article or an article or substance made by a patented process from abroad where such importation would, but for such authorisation, constitute an infringement of the rights of the patentee. (3) Notwithstanding anything contained in sub-Section (2), the Central Government may, if in its opinion it is necessary so to do, in the public interest, direct the Controller at any time to authorise any licensee in respect of a patent to import the patented article or an article or substance

108

made by a patented process from abroad (subject to such conditions as it considers necessary to impose relating among other matters to the royalty and other remuneration, if any, payable to the patentee, the quantum of import, the sale price of the imported article and the period of importation), and thereupon the Controller shall give effect to the directions.

Diantaranya adalah menjamin royalti dan remunerasi lainnya jika ada, yang diberikan kepada pemilik paten atau pihak lain yang mendapatkan keuntungan atau berhak atas paten tersebut sebagai hal yang seharusnya karena pemilik paten telah mengeluarkan biaya-biaya dalam membuat suatu invensi atau dalam melakukan pengembangan dari suatu invensi. Controller juga harus menjamin bahwa invensi yang dipatenkan terlaksana secara penuh oleh orang yang mengajukan lisensi wajb paten dan orang tersebut mendapatkan keuntungan yang wajar dari pelaksanaan lisensi wajib tersebut. Controller juga harus memastikan bahwa benda yang dipatenkan tersedia bagi masyarakat dan diperoleh dengan harga yang terjangkau. (Section 90 (1-(ii-iii)). Lisensi wajib yang diberikan bersifat non eksklusif, dan tidak dapat dialihkan. Lisensi wajib merupakan suatu keadaan penyeimbang dari paten kecuali jika keadaan yang lebih singkat konsisten dengan keinginan masyarakat. Lisensi wajib diberikan dengan tujuan utama untuk ketersedian pasar India dan dengan lisensi tersebut juga dapat mengekspor produk yang dipatenkan jika dibutuhkan menurut kententuan dalam Section 84(7)-(iii)(a). Lisensi wajib tidak diberikan oleh Controller untuk melakukan impor produk yang dipatenkan atau suatu produk atau barang yang dibuat dengan proses yang dipatenkan dari luar negeri dimana impor tersebut akan melanggar hak-hak pemilik paten (Section 90 (2)). Meskipun demikian, pemerintah India dapat melakukan apa yang dimaksud

109

dalam Section 90(2) jika dirasa perlu untuk melakukan hal tersebut, dalam rangka memenuhi kepentingan masyarakat. Pemerintah India dapat

memerintahkan Controller kapanpun untuk memberikan lisesnsi wajib suatu produk yang dipatenkan atau suatu produk yang dibuat dengan proses yang dipatenkan yang berasal dari luar negeri, hal ini dilakukan dengan memberikan royalti dan remunerasi lainnya kepada pemilik paten, mempertimbangkan harga produk yang diimpor serta jangka waktu pelaksanaan impor (Section 90(3)).

5). Lisensi Wajib Produk Yang di Patenkan dengan tujuan Ekspor dalam Situasi Pengecualian Tertentu Pengaturan mengenai lisensi wajib produk yang dipatenkan dengan tujuan ekspor pada kondisi tertentu merupakan implementasi dari fleksibilitas TRIPS yang dinyatakan dalam Paragraf 6 Deklarasi Doha. Pengaturan hal tersebut dilakukan dalam amandemen Patent Act tahun 2002 dalam Section 92A berikut: (1)Compulsory licence shall be available for manufacture and export of patented pharmaceutical products to any country having insufficient or no manufacturing capacity in the pharmaceutical sector for the concerned product to address public health problems, provided compulsory licence has been granted by such country or such country has, by notification or otherwise, allowed importation of the patented pharmaceutical products from India. (2)The Controller shall, on receipt of an application in the prescribed manner, grant a compulsory licence solely for manufacture and export of the concerned pharmaceutical product to such country under such terms and conditions as may be specified and published by him. (3)The provisions of sub-Sections (1) and (2) shall be without prejudice to the extent to which pharmaceutical products produced under a compulsory license can be exported under any other provision of this Act. Explanation.for the purposes of this Section, 'pharmaceutical products' means any patented product, or product manufactured through a patented process, of the pharmaceutical sector needed to address public health

110

problems and shall be inclusive of ingredients necessary for their manufacture and diagnostic kits required for their use.

Ekspor ke suatu negara yang tidak mempunyai kapasitas pembuatan obat yang dilindungi paten melalui mekanisme lisensi wajib diperbolehkan sepanjang bertujuan untuk memenuhi kesehatan publik. Dalam melakukan impor tersebut dilakukan dengan adanya pemberitahuan dari negara tujuan ekspor produk farmasi dari India. Controller harus menerima permohonan lisensi wajib yang digunakn untuk pembuatan dan ekspor produk farmasi yang dibutuhkan, tata cara pengajuan permohonan produk yang dibuat dibawah mekanisme lisensi wajib dengan tujuan ekspor ini diatur lebih lanjut dalam Rule 96 dan Rule 97 India Patent Rule (amandement) 2005. Lisensi wajib yang dapat digunakan sebagaimana yang disebutkan dalam Section 92A adalah produk farmasi yang dipatenkan, pembuatan ekspor ke negara-negara yang tidak memiliki kapasitas pembuatan produk farmasi yang dibutuhkan, dan penggunaan lisensi wajib untuk keperluan ekspor hanya berlaku bagi dalam hal permasalahan kesehatan publik di negara yang membutuhkan. Produk farmasi yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah suatu produk yang dipatenkan atau produk yang dibuat dengan proses yang dipatenkan termasuk seluruh bahan yang diperlukan dalam pembuatan produk farmasi, produk yang dipatenkan dari suatu alat diagnosa juga termasuk di dalamnya. Dalam hal melakukan permohonan lisensi wajib dengan tujuan ekspor sebagaimana yang telah disebutkan dalam Section 92A tersebut, pemohon harus mengajukannya dengan mengisi form 17 dengan

111

tatacara yang sama sebagaimana pengajuan lisensi wajib dengan dasar menurut Section 84(7) Patent Act.

6). Berakhirnya Lisensi Wajib Suatu lisensi wajib dapat berakhir jika hal-hal yang mendasari pengajuan lisensi wajib yang disebutkan dalam Section 84 tidak terdapat lagi dan keadankeadaan tersebut tidak mungkin terjadi kembali, dalam hal demikian maka Controller dapat mengakhiri lisensi wajib, ia juga harus mempertimbangkan kepentingan dari orang-orang yang sebelumnya diberi lisensi tidak dirugikan.

112

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGATURAN PATENTABILITAS INVENSI DAN LISENSI WAJIB PATEN BIDANG FARMASI DALAM RANGKA MENDUKUNG AKSES KESEHATAN PUBLIK

Suatu negara dapat melakukan berbagai langkah dalam rangka melindungi akses kesehatan masyarakat yang diperlukan, hal ini dinyatakan dalam konvensi internasional yaitu The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (the ICESCR), 1966 yaitu pada Pasal 12.2 (c): The steps to be taken by the States Parties to the present Covenant to achieve the full realization of this right shall include those necessary for: (c) The prevention, treatment and control of epidemic, endemic, occupational and other diseases; Konvensi tersebut di atas merupakan dasar kuat yang melatarbelakangi lahirnya Deklarasi Doha, atas permasalahan kesehatan masyarakat yang timbul di negara-negara berkembang maupun tertinggal. Dengan pemberlakuan TRIPS

bagi negara-negara anggota WTO, diharapkan negara-negara khususnya negaranegara berkembang dan tertinggal tetap dapat memanfaatkan fleksibilitas Persetujuan TRIPS seperti yang diamanatkan dalam Deklarasi Doha dengan sebaik-baiknya terutama untuk melindungi kesehatan masyarakat, sehingga pengaturan dalam hukum nasional dapat lebih mengakomodasi kebutuhan tersebut. Selain adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia untuk

mempertahankan hidup dan mendapatkan kesehatan, dalam konstitusi negara Indonesia juga mengatur pengakuan terhadap hak-hak tersebut yaitu pada Pasal

113

28A dan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Pengakuan atas hak-hak dalam pasalpasal tersebut dapat menjadi batas bagi pengakuan terhadap hak pribadi seperti yang dinyatakan dalam Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian pengakuan atas hak kepemilikan pribadi dan hak untuk mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah bersifat mutlak. Pengakuan terhadap kedua hak di atas menimbulkan kewajiban untuk saling menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis seperti yang tertuang dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Amanat dari Pasal 28 J ayat (2) tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin adanya peraturan perundang-undangan yang bersifat adil bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga dalam konteks pengaturan patentabilitas invensi di bidang farmasi dan lisensi wajib paten bidang farmasi haruslah mencerminkan semangat yang ada dalam dasar konstitusi negara Indonesia. Pada BAB I telah dinyatakan bahwa permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini dibatasi dalam pengaturan patentabilitas paten bidang farmasi dan

114

pengaturan lisensi wajib yang seharusnya. Dalam hal mengenai pengaturan patentabilitas paten bidang farmasi dan lisensi wajib bidang farmasi, dilakukan perbandingan pengaturan di Indonesia dan India. Pemilihan India sebagai pembanding disebabkan baik Indonesia maupun India merupakan negara berkembang yang dianggap sudah memiliki kemampuan memproduksi obatobatan, India berada di dalam peringkat sebagai negara memiliki kemampuan inovatif (satu tingkat lebih tinggi dari Indonesia) dan Indonesia berada dalam level mampu mereproduksi bahan aktif dan produk akhir56. Selain itu baik India

maupun Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan kesehatan publik yang sama misalnya TBC, Malaria, HIV/AIDS serta penyakit epidemik lainnya.

A.

Pengaturan Patentabilitas Invensi Bidang Farmasi Yang Mendukung Kesehatan Publik di Indonesia

1.

Pengaturan Definisi Invensi Baik Indonesia maupun India memberikan definisi apa yang dimaksud

dengan Invensi. India yang bersistem Common Law, juga menggunakan yurisprudensi untuk membatasi ruang lingkup invensi jika terdapat kasus apakah suatu permohonan paten layak dianggapinvensi atau tidak.

56

Correa, Carlos, Implication of The Doha Declaration on TRIPS Agreement and Publik Health, EDM Serien No.12, WHO, 2002, hlm. 52

115

Tabel. 4.1 Perbandingan Definisi Invensi Antara Indonesia dan India


Definisi Invensi Menurut UU/Patent Law Indonesia UU Nomor 14 Tahun 2001 ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses India Patent Act 1970 2 (j): a new product or process involving an inventive step and capable of industrial application -produk atau proses baru yang mengandung suatu langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri yurisprudensi Raj Parkash v. Mangat Ram Choudhary -Invensi tidak harus rumit, selama dia menyelesaikan masalah.

Pengaturan Lainnya

Indonesia memberikan batasan yang sangat spesifik, yaitu selama bukan merupakan suatu ide inventor dan bukan merupakan suatu pemecahan masalah yang spesifik maka tidak dapat dikategorikan sebagai invensi. Sedangkan India mengambil pendekatan yang lebih luas, yaitu selama suatu produk dan proses adalah baru, memenuhi langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri maka hal tersebut bisa disebut invensi. Dalam penjelasan UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 definisi invensi dianggap jelas, penggunaan kata invensi dimaksudkan untuk mengantikan kata penemuan (definisi dalam UU Paten sebelumnya UU No.6/1989) dengan maksud bahwa invensi merupakan kegiatan menciptakan sesuatu yang baru atau yang sesuatu yang belum ada, untuk membedakan maknanya dengan discovery serta untuk membedakan istilah penemuan yang dapat berarti menemukan sesuatu yang tececer. Jika dicermati maka definisi invensi yang terdapat dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001

116

merupakan definisi yang berstandar tinggi, hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah ide inventor, kegiatan pemecahan masalah, serta

pengembangan/penyempurnaan produk ataupun proses.

Pertanyaan yang

timbul dari definisi di atas adalah apakah hal yang sederhana dan tidak rumit bisa menjadi suatu invensi? Misalnya saja pengetahuan tradisional Indonesia

mengenai tanaman obat merupakan pengetahuan yang diwariskan secara turuntemurun, mengingat jurang teknologi antara negara maju dan berkembang yang cukup besar maka akan sulit bagi invensi tanaman obat asal Indonesia untuk di lindungi karena tidak terpenuhinya persyaratan sebagai invensi karena tidak terpenuhinya kondisi kegiatan pemecahan masalah, serta

pengembanan/penyempurnaan produk ataupun proses. Baik Indonesia maupun India menggunakan standar yang tinggi, karena di banyak negara istilah invensi tidak didefinisikan secara eksplisit dalam Undangundangnya dengan tujuan untuk memberikan ruang bagi perkembangan teknologi yang progresif. Penggunaan standar yang tinggi bagi definisi Invensi di India dapat dipahami karena dalam hal paten yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisionalnya, India mengatur lebih lanjut dalam Biodiversity Act 2002. Dampak dari pendefinisian invensi berstandar tinggi adalah sulitnya memberikan perlindungan bagi suatu permohonan paten dalam negeri khususnya dalam bidang farmasi, yang berkaitan dengan obat-obatan tradisional Indonesia, dimana invensi yang berhubungan dengan obat-obatan tradisional seringkali tidak memenuhi standar definisi seperti yang dinyatakan dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001, padahal Indonesia memiliki kekayaan

117

alam berupa keanekaragaman hayati yang berpotensi obat. Permohonan paten bidang farmasi luar negeri yang memanfaatkan keanekaragaman hayati asal Indonesia biasanya menggunakan teknologi lebih canggih sehingga yang permohonan yang diajukan patennya adalah suatu pengembangan dan penyelesaian masalah dari pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia. Dengan memperhatikan penentuan definisi Invensi menurut UU Paten 14/2001 di atas, pembentuk undang-undang kelihatannya belum memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kepentingan nasional secara menyeluruh yaitu tidak terlingkupinya perlindungan bagi invensi yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional yakni obat-obatan tradisional dalam regim paten. Pendefinisian Invensi di atas belum memenuhi unsur legal engineering yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, dimana perubahan penggunaan definisi invensi menggantikan istilah penemuan pada undang-undang paten terdahulu, belum memenuhi kegunaan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun.

2.

Pendekatan Standar Patentabilitas Indonesia dan India mendasarkan kriteria patentabilitas suatu invensi pada

kebaruan (novelty), memiliki langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable). Baik Indonesia maupun India dalam hal menentukan kebaruan adalah dengan membandingkan invensi suatu teknologi yang diungkapkan sebelumnya (prior art). Pengaturan mengenai kebaruan secara teknis dapat dilihat dalam Juknis Pemeriksaan Substantif Paten Indonesia dan Patent Practise Procedure of India. Terdapat beberapa persamaan

118

dan perbedaan mendasar dalam hal pengaturan menentukan suatu kebaruan di Indonesia dan di India, hal tersebut dapat dilihat dalam matriks berikut: Tabel 4.2. Perbandingan Ruang Lingkup Kebaruan Antara Indonesia dan India Pengaturan Ruang Lingkup Kebaruan Pembanding berupa dokumen paten yang Indonesia India

publikasinya sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas Pembanding berupa dokumen paten yang klaim dari invensi terdahulu diajukan sebelum tanggal

penerimaan permohonan paten yang sedang diperiksa tetapi publikasi paten invensi terdahulu dilakukan setelah tanggal penerimaan dari permohonan paten yang diperiksa Penggunaan sebelumnya, misalnya suatu

produk/proses untuk perdagangan dengan tujuan komersial Invensi Seleksi (Selection Invention) Catatan: : diatur X : tidak diatur Pengaturan kebaruan terhadap invensi seleksi penting dilakukan, karena dalam prakteknya pendaur-ulangan paten (evergreening patent) terjadi dengan mengajukan suatu invensi yang lebih khusus dari invensi yang sebelumnya (telah dikenal) dimana diketahui dari BAB II bahwa invensi seleksi dapat memperpanjang masa perlindungan paten. Indonesia sebagai negara berkembang harus melihat kesehatan publik sebagai kepentingan utama, sehingga pengaturan kebaruan dalam invensi seleksi perlu dilakukan untuk memenuhi prinsip keadilan, x

119

karena jika Indonesia tidak melakukan pengaturan yang lebih mendetail maka pemberian perlindungan paten seleksi akan merugikan kepentingan masyarakat secara luas dalam hal kesehatan masyarakat, sehingga tujuan hukum adalah untuk mencapai kebahagiaan sebanyak mungkin individu yang berdampak kepada ketundukan hak individu terhadap kebutuhan masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Bentham. Baik India maupun Indonesia menetapkan kriteria langkah inventif sebagai hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, dalam arti apakah suatu penyelesaian masalah pada suatu invensi merupakan sesuatu hal yang dapat diduga sebelumnya. Pengaturan yang dilakukan di Indonesia maupun di India relatif sama, yaitu menggunakan kriteria invensi merupakan sesuatu yang tidak dapat diduga. Terdapat perbedaan dalam hal pendekatan kriteria dapat diterapkan dalam industri antara Indonesia dan India (industrial applicable). Pendekatan Dapat diterapkan dalam industri yang dimaksudkan di India termasuk juga dalam arti berguna dan dapat dipraktekkan, sedangkan di Indonesia khususnya untuk paten produk, produk tersebut harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal). Kriteria berguna memiliki biasanya merupakan standar yang lebih rendah, karena tidak menuntut harus dapat diproduksi secara masal. Hal yang dapat dipahami mengapa India menggunakan kriteria tersebut adalah dalam rangka melindungi invensi-invensi dalam negerinya. Indonesia menggunakan standar yang cukup tinggi karena pada awal perancangan UU Paten tersebut mengacu pada standar yang ada di Eropa, sehingga dengan standar yang cukup

120

tinggi tersebut kurang memberikan ruang bagi permohonan paten dalam negeri. Akan tetapi dapat dipahami jika Indonesia tetap menggunakan standar yang cukup tinggi, karena pada dasarnya permohonan paten yang dapat diterapkan dalam industri menurut pendekatan di Indonesia berguna dalam pengembangan industri di Indonesia.

3.

Pengaturan Subject matter Yang Dapat Dipatenkan Pada dasarnya pengaturan subject matter apa saja yang dapat dipatenkan di

Indonesia, selama ia tidak melanggar Pasal 7 UU Nomor 14 Tahun 2001, maka subject matter tersebut dapat dimintakan perlindungan patennya. Sedangkan di India, dilakukan pengaturan khusus bagi invensi-invensi di bidang farmasi yang dapat dipatenkan serta invensi yang tidak dapat dipatenkan. Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah India untuk melindungi akses kesehatan publik di negara tersebut. Perbedaan penentuan subject matter yang dapat

dipatenkan dan yang tidak dapat dipatenkan dapat terlihat dari matriks pada tabel berikut:

Tabel. 4.3. Perbandingan Ruang Lingkup Subject matter Yang Dapat di Patenkan dan Tidak Dapat Dipatenkan di Indonesia dan India Subject matter Penggunaan yang bertentangan dengan moralitas agama, ketertiban umum, kesusilaan Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan Teori dan metode dalam bidang ilmu pengetahuan atau matematika Indonesia x x India x x

121

Desain dan kreasi estetika Presentasi mengenai suatu informasi Program computer Varietas baru tanaman atau hewan, proses untuk produksi tanaman atau hewan dan produk tanaman atau hewan jika adalah hasil dari proses biologis yang esensial dan tidak ada intervensi teknis oleh manusia di dalamnya Proses teknik yang bukan proses biologis esensial untuk menghasilkan varietas tanaman atau hewan Semata-mata discovery bentuk baru, penggunaan baru dari senyawa yang telah diketahui (Mere Discovery) Invensi seleksi Catatan: x ? *

x x x x

x x x x

x *

: tidak diberi paten menurut Undang-undang : dapat diberi paten menurut Undang-undang : tidak diatur lebih lanjut batasan subject matter berupa mere discovery : diberi dengan dengan beberapa catatan yang diatur lebih khusus

Dari tabel diatas maka khusus paten bidang farmasi, India mengatur lebih khusus bagi batasan discovery dan invensi seleksi. Dibawah ini merupakan matriks perbedaan pengaturan ruang lingkup subject matter yang digolongkan sebagai semata-mata merupakan discovery (mere discovery) dari bentuk baru, penggunaan baru, antara Indonesia dan India dapat dilihat dari Tabel 4.4 berikut:

122

Tabel.4.4. Perbandingan Pengaturan Subject matter yang Semata-mata Discovery (mere discovery) antara Indonesia dan India Subject matter Bentuk kristal (Polimorfisme) senyawa yang telah diketahui Ester, Garam, eter, hidrat senyawa yang telah diketahui Isomer/streoisomer senyawa yang telah diketahui Ukuran partikel senyawa yang telah diketahui Prodrug senyawa yang telah diketahui Metabolit senyawa yang telah diketahui Catatan: : diberi paten x : tidak diberikan paten Indonesia India x

x x x

India mengatur secara rinci dalam Section 3(c-d) India Patent Act, subject matter yang dianggap lebih menyerupai discovery dari pada invensi. Dimana subject matter tersebut dapat saja dipatenkan di India apabila memperlihatkan suatu efikasi (keampuhan) yang tidak dapat diduga sebelumnya (non-obviousness), akan tetapi jika hanya memperlihatkan perbaikan sifat fisik maka subject matter tersebut tidak dapat dipatenkan. Pengaturan secara detail semacam ini tidak dilakukan di Indonesia, pengaturan seperti yang telah dilakukan di India merupakan salah satu bentuk fleksibilitas Pasal 27.TRIPS yang hanya mengatur secara umum kriteria kebaruan, langkah inventif, serta dapat diterapkan dalam industri atau berguna. Berdasarkan data pada Tabel 4.5 yang

123

diperoleh dari Direktorat Jenderal HKI untuk senyawa Omeprazol57, yang diajukan permohonan patennya dalam bentuk baru maupun sediaan adalah sebanyak 19 permohonan paten, yang terdiri dari 5 permohonan paten proses, 9 Permohonan paten produk bentuk baru (new form of substance), dan 6 permohonan paten produk berupa formulasi/ sediaan/ komposisi/ kombinasi. Dari data pada tabel tersebut terlihat bahwa inventor pertama senyawa Omeprazol yaitu Astra Aktiebolag (yang kemudian merger dengan Zeneca, menjadi AstraZeneca) berusaha terus mengembangkan produk maupun proses yang berkaitan dengan senyawa Omeprazol dengan mengajukan permohonan-permohonan paten berupa bentuk baru, formulasi, sediaan yang diduga dapat memperpanjang masa paten karena terkait dengan subject matter berupa mere discovery ataupun invensi seleksi. Pengajuan paten bagi garam, kristal, bentuk stereoisomer seperti yang diperlihatkan dalam tabel tersebut menunjukkan kemungkinan terjadinya praktek evergreening patent di Indonesia disebabkan tidak adanya pengaturan ruang lingkup subject matter yang dapat dipatenkan.

57

Omeprazol pertamakali diperkenalkan oleh AstraZeneca (Originator) pada tahun 1989, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Omeprazole[25/12/2009]

124

Tabel. 4.5 Permohonan Paten Yang Terkait dengan Subject matter Omeprazol di Indonesia Tahun 1990-200858

Pemerintah sebagai regulator perlu melakukan pengaturan lebih teknis mengenai ruang lingkup subject matter yang dapat dipatenkan yang terkait dengan paten bidang farmasi. Menurut Musungu berdasarkan penelitian yang telah di lakukan oleh badan kesehatan dunia (WHO), di negara-negara Asia seperti
58

Permohonan paten yang terkait dengan kata kunci (keyword) Omeprazol tahun 1990-2008, IPDL, http://ipdl.dgip.go.id/ipdl_ext/TopjaxServletH2H, 25/12/2009

125

Indonesia, Srilanka, dan Thailand memperlihatkan bahwa negara-negara tersebut tidak melakukan pengecualian perlindungan paten bagi subject matter penggunaan, dan praktek di negara-negara tersebut menunjukkan bahwa perlindungan bagi penggunaan baru bagi subject matter yang telah dikenal diberikan59. Hal ini disebabkan keterbatasan kapasitas infrastruktur pemeriksaan paten dan kurangnya keahlian yang dimiliki oleh pemeriksa paten sehingga pemeriksaan paten seringkali didasarkan pada pemeriksaan paten dari negara lain (paten sepadan) seperti pemeriksaan di USPTO, EPO, serta JPO. Sehingga banyak ditemukan kasus di kantor paten-kantor paten negara berkembang menjadi hanya berfungsi sebagai peregister permohonan paten dari negara-negara maju yang mengakibatkan mudahnya mendapatkan perlindungan paten di negaranegara berkembang walaupun validitas permohonan paten tersebut tidak layak dianggap sebagai invensi karena hanya merupakan mere discovery. Walaui

sebetulnya seorang pemeriksa paten bisa saja menyatakan keberatan terhadap invensi seleksi ataupun mere discovery dengan dasar tidak inventif, akan tetapi nilai standar langkah inventif dapat berbeda antara satu pemeriksa paten dengan pemeriksa paten lainnya, dengan demikian perlu dilakukan pengaturan seperti halnya di India sehingga kepastian hukum bagi keadaan tersebut terjamin. Perkembangan teknologi obat-obatan yang berasal dari mikroorganisme dan produknya sangat pesat, sehingga diperlukan pengaturan lebih khusus, India melakukan pengaturan yang sangat tegas mengenai subject matter berupa microorganism yang berasal dari alam dalam Patent Practice Procedure of India,
59

Musungu, F.Sisule, The Use Flexibilities in TRIPD by Developing Countries: Can They Promote Access to Medicine?, WHO, Agustus 2005, hlm.5

126

dimana subject matter tersebut tidak dapat dipatenkan. Di Indonesia tidak ada pengaturan secara khusus mengenai hal tersebut dalam Juknis Pemeriksaan Paten, sehingga invensi yang berkaitan dengan subject matter tersebut dalam prakteknya seringkali diberikan patennya, walaupun hal ini menurut hemat penulis bertentangan dengan definisi invensi yang ada di Indonesia. Vaksin yang berasal dari virus yang ada di alam tidak dapat dipatenkan di India, akan tetapi metode pembuatan vaksin serta proses pembuatannya dapat dipatenkan. Selain itu invensi yang berkaitan dengan subject matter berupa pengetahuan tradisional dalam Section 3(p) India Patent Act, menyatakan bahwa jika suatu invensi hanya berupa kumpulan atau pengulangan dari pengetahuan tradisional yang telah dikenal maka subject matter tersebut tidak dapat dipatenkan, dalam hal ini permohonan paten dalam negeri terutama dari perusahaan jamu maupun industri farmasi dalam negeri biasanya adalah mengenai pengembangan pengetahuan tradisional sebagai obat-obatan herbal modern. Sebagai contoh, meniran telah dikenal dalam pengetahuan tradisional sebagai obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pengetahuan tersebut dikembangkan menjadi suatu obat herbal modern dengan nama Stimuno oleh PT. Dexa Medica (perusahaan farmasi dalam negeri). Jika Indonesia menggunakan pengaturan yang sama dengan India maka subject matter tersebut tidak dapat dipatenkan, padahal pemerintah juga menginginkan untuk meningkatkan permohonan paten dalam negerinya. Jika invensi tersebut dimintakan perlindungannya sebagai subject matter penggunaan maka perlindungan dalam regim paten akan sulit dilakukan karena terantisipasi oleh penggunaan dalam pengetahuan tradisional,

127

ataupun jika komposisi yang ada dalam Stimuno dimintakan perlindungan patennya dalam klaim, hal tersebut bisa memenuhi kebaruan akan tetapi belum tentu memenuhi langkah inventif, hal-hal seperti ini menimbulkan permasalahan tersendiri. Dengan demikian perlu ditinjau arah kebijakan pemerintah terhadap keadaan ini, karena sebagian besar permohonan paten dalam negeri kita saat ini tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengembangkan teknologi dibidang rekayasa bioteknologi untuk mikroorganisme seperti India. Apalagi sumber keanekaragaman hayati berupa tanaman berpotensi obat dan

mikroorganisme di Indonesia sangatlah kaya, sehingga diperlukan prinsip keseimbangan dimana keanekaragaman hayati dapat dilindungi di dalam regim paten, dan akses kesehatan publik juga tidak dirugikan. Pengaturan dalam UU Paten Nomor 6 Tahun 1989 sebelumnya, subject matter yang memiliki kebaruan dan memiliki kegunaan praktis yang disebabkan bentuk, konfigurasi, konstruksi dan komposisi dapat memperoleh perlindungan dalam bentuk paten sederhana, dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 subject matter berupa mikroorganisme tidak dapat diberikan perlindungan dalam bentuk paten sederhana karena definisi perlindungan paten sederhana dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 memiliki syarat harus kasat mata (tangible). Jika pemerintah ingin tetap melindungi invensi dalam negeri berupa keanekaragaman hayati, maka pemerintah dapat mengambil jalan keluar dengan memasukkan invensi-invensi tersebut kedalam regim paten sederhana, tentunya untuk memenuhi kondisi tersebut pemerintah harus melakukan perubahan terhadap definisi paten sederhana yang tercantum dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001

128

menjadi definisi yang dinyatakan dalam UU Paten No.6/1989. Selain dengan menggunakan perlindungan paten sederhana, sebaiknya dilakukan pengaturan lebih khusus dalam UU Paten mengenai invensi yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional , dimana pengetahuan tradisional tersebut hendaknya dijadikan persyaratan pengungkapan (disclosure requirement) dengan

diungkapkan dalam spesifikasi paten. Persetujuan TRIPS hanya mensyaratkan bahwa paten diberikan untuk produk dan proses, dengan dasar baru, memiliki langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Persetujuan TRIPS tidak mensyaratkan bahwa

penggunaan baru dari subject matter yang telah diketahui termasuk dalam bidang farmasi, sehingga negara-negara berkembang dapat menolak perlindungan atas penggunaan baru dengan dasar tidak baru, tidak inventif, dan tidak dapat diterapkan dalam industri. Perlindungan terhadap penggunaan baru khususnya penggunaan medis kedua seringkali memperpanjang masa perlindungan paten dan menghambat masuknya produk generik. Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai negara anggota WTO

mempengaruhi proses perubahan dalam masyarakat Indonesia yang disebabkan adanya pembangunan, maka berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja mengenai hukum pembangunan nasional bahwa hukum merupakan sarana untuk membangun masyarakat, dimana hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu sehingga sarana berupa peraturan hukum

129

diperlukan untuk mengatasi keadaan pengaturan paten yang lebih baik dan sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.

B.

Pengaturan Lisensi Wajib Yang Mendukung Akses Kesehatan Publik di Indonesia Pengaturan lisensi wajib paten farmasi merupakan salah satu bentuk

pelaksanaan pasal 8 perjanjiaan TRIPS mengenai upaya-upaya untuk melindungi kesehatan dan gizi masyarakat. Walaupun dalam perjanjian TRIPS tidak pernah disebutkan secara eksplisit mengenai lisensi wajib, akan tetapi berdasarkan Paragraf 5 (b) deklarasi Doha tentang akses kesehatan publik pada TRIPS menyatakan bahwa tiap negara anggota bebas menentukan dasar bagi pemberian lisensi wajib. Dengan adanya deklarasi Doha ini memberian ruang gerak bagi negara berkembang untuk mengatasi sempitnya ruang yang diberikan dalam Pasal 31 TRIPS Seperti halnya India, Indonesia telah melakukan pengaturan lisensi wajib dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001, diantaranya kapan lisensi wajib dapat diajukan, dasar pelaksanaan lisensi wajib, berapa lama jangka waktu lisensi wajib, persyaratan mengenai kapasitas pemohon dalam melaksanakan lisensi wajib, serta pengaturan remunerasi yang diberikan kepada pemilik paten. Dalam hal untuk mendukung akses kesehatan publik, Lisensi wajib merupakan salah satu kunci penting dalam pelaksanaan fleksibilitas TRIPS di banyak negara berkembang. Perbedaan penting dalam hal pengaturan lisensi wajib, India telah mengadopsi keputusan WTO dalam hal pelaksanaan paragraf 6 Deklarasi Doha tanggal 30

130

Agustus 2003 dalam India Patent Act (Amandement 2005), yaitu mengenai pengaturan ekspor produk/proses dari suatu paten yang dilakukan atas dasar lisensi wajib ke negara-negara yang membutuhkan, dimana hal ini belum dilakukan oleh Indonesia. Dalam banyak kasus yang terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, hambatan untuk menggunakan lisensi wajib dimana kesulitan melaksanakan lisensi wajib berdasarkan riset yang dilakukan oleh WHO60 adalah: 1) Kurangnya pengaturan secara hukum dan administrasi di banyak negara berkembang. 2) Adanya resiko sanksi bagi negara-negara berkembang terhadap hubungan bilateral dan multilateral yang disebabkan tidak seimbangnya kekuatan negara berkembang dalam hubungan bilateral maupun multilateral tersebut. 3) Terbatasnya kemampuan industri lokal (Pasal 31.(f) TRIPS membatasi diberiannya lisensi wajib bagi ekspor produk. Pada Agustus 2003, Dewan TRIPS memutuskan bahwa negara miskin dan tidak memiliki kapasitas pembuatan produksi dapat mengimpor obat-obatan yang dipatenkan dengan harga yang lebih murah. 4) Permasalahan transfer teknologi di negara-negara berkembang meskipun lisensi wajib diperkenankan tanpa ijin dari pemilik paten, hal ini tidak menjamin bahwa teknologi yang tepat dapat diperoleh. Dengan demikian pemohon lisensi dengan sendirinya secara teknologi harus memiliki kemampuan yang cukup; dan suatu negara harus memiliki fasilitas manufaktur
60

Germn Velsquez, Has the implementation of the TRIPS Agreement in Latin America and the Caribbean produced intellectual property legislation that favours public health?, Bulletin of WHO, 2004;82:815-821, http://www.scielosp.org/pdf/bwho/v82n11/v82n11a05.pdf, 25/12/2009

131

sebagaimana fasilitas riset dan pengembangan (R&D), dengan alasan ini negara-negara berkembang merasa lebih baik bernegosiasi untu mendapatkan lisensi sukarela dari pemilik paten sebelum mengeluarkan lisensi wajib.; 5) Investasi yang melibatkan resiko tinggi. Proses melibatkan riset dan

pengembangan yang keduanya menghabiskan waktu dan dana. Pemohon lisensi harus mendapatkan jaminan pengembalian investasi. Kondisi ini dibatasi dengan adanya fakta menurut pasal 31 (d) TRIPS, dimana lisensi wajib yang akan dikeluarkan tanpa eksklusivitas, sehingga hal tersebut merupakan hal yang beresiko tinggi dalam investasi lisensi wajib Seperti halnya hasil riset yang dilakukan oleh WHO di atas, keadaan di Indonesia memang memuhi kriteria-kriteria hambatan lisensi wajib tersebut, diantaranya adalah tidak adanya prosedur administratif dan perangkat peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis untuk melaksanakan lisensi wajib, dimana sampai saat ini Peraturan Pemerintah (PP) mengenai lisensi wajib belum ada untuk mendukung kegiatan lisensi wajib yang diamanatkan dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001. Di dalam tabel berikut ini dapat terlihat matriks persamaan maupun perbedaan keadaan pengaturan lisensi wajib yang ada di Indonesia dan India.

132

Tabel 4.6. Matriks Persamaan/Perbedaan Pengaturan Lisensi Wajib di Indonesia dan India Pengaturan Lisensi Wajib Pengajuan Lisensi Wajib Indonesia 36 bulan sejak diberikannya paten tidak dilaksanakan oleh pemilik paten Paten belum dilaksanakan dalam jangka waktu tersebut 36 bulan Paten telah dilaksanakan tetapi merugikan kepentingan masyarakat India Dilakukan 3 tahun sejak tanggal diberikannya paten Paten tidak dilaksanakan di wilayah India (secara domestic) Kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi Produk yang dipatenkan tidak diperoleh dengan harga yang terjangkau Telah adanya pengaturan

Dasar Pelaksanaan Lisensi Wajib

Pengaturan lebih teknis

Belum ada Peraturan

Pemerintah yang bersifat yang jelas baik secara teknis dan administratif administratif maupun teknis dalam India Patent Rules. Pelaksanaan Implementasi Belum di adopsinya pelaksanaan Paragraf 6 Deklarasi Doha berdasarkan keputusan WTO 30 Agustus 2003 Telah diatur dalam India

pengaturan ekspor/impor Patent Act (Amandemen produk farmasi yang diperoleh melalui mekanisme lisensi wajib 2005)

133

Perbedaan yang nyata mengenai kondisi antara Indonesia dan India diantaranya adalah India memiliki basis industri bahan baku obat yang sangat maju, sedangkan Indonesia masih menggantungkan industri bahan baku pada impor dari negara-negara seperti India, China, maupun Eropa dan Amerika Seriat. Perbedaan tersebut disebabkan adanya arah kebijakan pemerintah India sebelum tahun 1995, dimana India sebelumnya hanya memberikan perlindungan terhadap paten proses dan tidak memberikan perlindungan bagi paten produk, sehingga hal tersebut merangsang perkembangan industri farmasi di India untuk mencari alternatif pembuatan produk yang dipatenkan di negara lain dengan menggunakan proses yang berbeda, keadaan ini disatu sisi membuat industri farmasi di India tidak bergantung kepada negara lain, di sisi yang lain investasi asing turun dengan adanya arah kebijakan pemerintah India tersebut. Dengan adanya persetujuan TRIPS, pengaturan paten di India berubah menyesuaikan diri dengan persetujuan TRIPS tersebut. Perkembangan industri farmasi India yang bergerak dalam produk farmasi generik mendapatkan tantangan tersendiri sehingga pemberlakuan lisensi wajib di India merupakan hal yang sangat penting, di sisi lain kemampuan India tidak diragukan sebagai negara yang memiliki kemampuan dalam memproduksi produk-produk farmasi. India dengan tegas menyatakan dasar-dasar pelaksanaan lisensi wajib yaitu khusus untuk paten bidang farmasi adalah tidak dilaksanakannya paten di wilayah India, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat, produk paten obat tidak diperoleh dengan harga terjangkau. Sedangkan Indonesia mendasarkan

pelaksanaan lisensi wajib adalah jika pelaksanaan paten oleh pemiliki paten

134

merugikan kepentingan masyarakat.

Sedangkan jika paten produk tidak

dilaksanakan oleh pemilik paten, impor produk yang dipatenkan tetap dianggap sebagai salah satu pelaksanaan paten. Hal ini dilakukan karena Pasal 27 TRIPS menyatakan tidak adanya diskriminasi apakah produk yang dipatenkan diproduksi secara lokal ataupun diimpor, dimana kondisi semacam ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan paten (abusement of patent righta) oleh pemilik paten. Pentingnya lisensi wajib bagi Indonesia adalah untuk mencegah penyalahgunaan hak paten oleh pemilik paten, dimana dalam hal paten proses, pasal 16(2) UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 menyatakan bahwa larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor terhadap produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya dimana dalam pasal 17 (2) pengecualian terhadap kewajiban pelaksanaan paten produk maupun proses apabila paten tersebut hanya layak dilaksanakan secara regional. Jika ditelaah lebih lanjut, paten proses yang diajukan di Indonesia sangat rentan terhadap penyalahgunaan paten oleh pemegang paten, ditambah keterbatasan kemampuan industri farmasi dalam melaksanakan paten proses di Indonesia. Dalam keadaan seperti ini diperlukan penyeimbangan antara paten sebagai hak ekslusif yang diberikan kepada pribadi dan kebutuhan masyarakat terhadap obat-obatan maka ketiadaan Peraturan Pemerintah yang mengatur teknis lisensi wajib merupakan keadaan yang sangat tidak berpihak kepada kesehatan publik dan seharusnya ketiadaan Peraturan Pemerintah tersebut tidak dijadikan dasar untuk tidak melaksanakan lisensi wajib. Saat ini untuk mengatasi keadaan yang sangat genting misalnya kebutuhan obat-obatan yang mendesak, pemerintah masih

135

menggunakan mekanisme pelaksanaan paten oleh pemerintah, contohnya adalah dalam hal pengadaan obat ARV dengan dikeluarkannya Keppres No.83/2004. Akan tetapi mekanisme pelaksanaan paten oleh pemerintah ini masih terbatas dalam kondisi-kondisi seperti keadaan darurat demi kemanusiaan, sedangkan jika permasalah yang terjadi adalah monopoli produk obat yang dipatenkan dimana hal tersebut berpengaruh kepada harga di masyarakat tidak dapat diatasi semata-mata dengan mekanisme pelaksanaan paten pemerintah. Kondisi semacam ini juga membatasi pihak ketiga untuk melakukan pengawasan terhadap monopoli yang dapat menghambat akses kesehatan publik. Dengan adanya pengaturan lisensi wajib memadai maka pihak ketiga dapat berperan aktif tanpa mengajukan usulan kepada Departemen Kesehatan, karena mekanisme lisensi wajib dapat diajukan langsung ke Direktorat Jenderal HKI, sehingga secara waktu lebih efisien karena tidak perlu menerbitkan Keppres terlebih dahulu seperti saat ini. Indonesia memang tidak memiliki industri farmasi sekuat India, akan tetapi Indonesia pun menurut WHO bukan tergolong pada negara yang tidak memiliki kemampuan dalam memproduksi produk farmasi, walaupun hanya sebatas pada produk obat-obatan akhir dan bukan produsen bahan baku obat. Ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor menjadi kendala tersendiri sehingga pada tahun 2012 pemerintah Indonesia mencanangkan untuk memproduksi sendiri bahan baku obat61 sehingga niat baik pemerintah untuk mengatasi ketergantungan impor bahan baku obat perlu diiringi dengan pengaturan undang-undang yang mendukung kondisi pengembangan industri bahan baku tersebut. Walaupun
61

Detik, Perusahaan Farmasi Produksi bahan baku sendiri 2012, http://bandung.detik.com/read/2008/12/04/123433/1047973/486/tahun-2012-indonesia-produksibahan-baku-obat [ 26/12/2005]

136

Indonesia saat ini tidak tergolong pada negara yang memiliki basis industri memproduksi bahan baku obat, tetapi Indonesia melalui industri farmasi milik pemerintah dengan fasilitas yang cukup memadai seperti Kimia Farma, Indofarma, dan Biofarma. Perusahan-perusahaan farmasi tersebut telah

memproduksi obat-obatan generik serta vaksin-vaksin yang memenuhi standar yang diakui oleh WHO bahkan produk-produk obat-obatan generik HIV?AIDS seperti ARV telah diekspor ke berbagai negara yang membutuhkan seperti Afrika, Vietnam, Afganistan dan Mesir. Berdasarkan uraian di atas maka, sudah waktunya bagi pemerintah Indonesia untuk serius melakukan pengaturan lisensi wajib dengan menyediakan Peraturan Pemerintah yang bersifat teknis. Pengaturan lisensi wajib yang saat ini tercakup dalam UU Paten No 14/2001 semestinya tidak membatasi dasar pelaksanaan lisensi wajib hanya pada pelaksanaan paten yang merugikan masyarakat, akan lebih baik jika dalam Undang-undang Paten menambah alasan dasar-dasar pelaksanaan lisensi wajib seperti tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat serta tidak diperolehnya produk yang dilindungi paten dengan harga yang terjangkau, sehingga pemerintah dapat memanfaatkan fleksibilitas TRIPS yang tersedia dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya keterbatasan industri farmasi Indonesia dalam memproduksi bahan baku obat, sebaiknya Pemerintah melakukan pengaturan impor bahan baku obat yang diperlukan untuk melindungi akses kesehatan masyarakat dengan mengatur impor bahan baku obat didaftarkan lisensi wajibnya di Indonesia dengan

137

menggunakan mekanisme yang diatur dalam keputusan WTO 30 Agustus 2003 tentang implementasi Deklarasi Doha Paragraf 6 dalam UU Paten Indonesia. Dalam hal melakukan ekspor produk obat-obatan yang dilindungi paten yang diperoleh melalui lisensi wajib, pemerintah perlu mempersiapkan instrument pengaturan mengenai tatacara ekspor produk farmasi yang dibutuhkan oleh negara lain dalam UU Paten Indonesia, sehingga Indonesia dapat menggunakan fleksibilitas TRIPS terutama lisensi wajib dengan seluas-luasnya. Akhirnya walaupun hak paten merupakan hak pribadi yang diatur oleh pemerintah, tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk kebahagiaan dari sebanyak mungkin individu yang oleh Bentham disebut the greatest happiness of the greatest number, yang menurut filosofi Bentham adalah menghasilkan ketundukan hak individu kepada kebutuhan masyarakat. Akan tetapi tanpa peran pemerintah sebagai regulator hal yang dimaksudkan oleh Bentham akan sulit tercapai sehingga pengaturan hukum yang tepat bagi masyarakat yang sedang membangun seperti yang dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam teori Hukum Pembangunan Nasional akan membantu terjaminnya kebahagiaan untuk sebanyak mungkin individu tersebut secara adil.

138

BAB V PENUTUP

A. 1.

KESIMPULAN Untuk melindungi akses kesehatan publik, pemerintah dapat melakukan pengaturan hukum nasional dalam rangka memanfaatkan flesibilitas TRIPS diantaranya dengan melakukan pengaturan terhadap patentabilitas,

pembatasan subject matter yang dapat dipatenkan, serta mencari solusi alternative perlindungan bagi paten obat-obatan tradisional yang berasal dari kekayaan alam Indonesia. Pengaturan yang berkaitan dengan patentabilitas yang dapat mendukung akses kesehatan publik diantaranya adalah pengaturan definisi invensi, pengaturan yang lebih jelas terhadap subject matter yang dapat dipatenkan, serta melakukan pengaturan standar patentabilitas invensi bidang farmasi.

2.

Pengaturan lisensi wajib yang ada di Indonesia saat ini belum berpihak pada akses kesehatan publik, hal ini terlihat belum optimalnya penggunaan fleksibilitas TRIPS dalam pengaturan lisensi wajib yang ada. Pemerintah bahkan sampai saat ini belum mengeluarkan Peraturan pemerintah mengenai lisensi wajib. Pengaturan mengenai dasar lisensi wajib yang tidak optimal, serta belum diadopsinya keputusan WTO dalam hal implementasi paragraf 6 Deklarasi Doha menyebabkan mekanisme pelaksanaan lisensi wajib yang ada saat ini sulit dilakukan.

139

B. 1.

SARAN a. Perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Paten No.14/2001, dengan tujuan Undang-Undang Paten di masa yang akan datang lebih berpihak kepada kepentingan masyakat Indonesia, dan khusus dalam bidang farmasi UU Paten yang diperlukan sebaiknya dapat

mengakomodir kesehatan publik. Pemerintah dapat berperan lebih aktif dengan memasukkan pengaturan yang berkaitan dengan patentabilitas seperti memperjelas ruang lingkup invensi serta kriteria yang lebih jelas mengenai invensi yang dapat dan/atau tidak dapat diberi paten dalam UU Paten. b. Direktorat Jenderal HKI saat ini perlu membentuk suatu Juknis Pemeriksaan Paten khusus bidang farmasi dengan tujuan memberikan pemahaman yang sama pada para pemeriksa paten untuk melakukan standar pemeriksaan, khususnya terhadap derajat standar patentabilitas, sehingga pemeriksaan substantif paten saat ini dan ke depannya dapat lebih berpihak kepada akses kesehatan publik.

2.

a. Pemerintah perlu membentuk Peraturan Pemerintah (PP) lisensi wajib yang memuat: dasar -dasar pelaksanaan lisensi wajib, teknis pelaksanaan lisensi wajib, serta pengaturan implementasi paragraf 6 Deklarasi Doha dalam amandemen UU Paten di masa yang akan datang.

140

b. Pemerintah perlu membentuk suatu badan/organisasi yang mengawasi jalannya lisensi wajib dalam hal ini dapat memberdayakan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (PPNS) HKI.

141

DAFTAR PUSTAKA

A.

BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. Cita Citrawinda Priapantja, Hak Kekayaan Intelektual: Tantangan Masa Depan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003 Correa, Carlos, Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries the TRIPS Agreement dam Policy Option, Zed Books Ltd., New York, 2000. Correa, Carlos, A Working Paper, Guidelines for The Examination of Pharmaceutical Patents: Developing A Public Health Perspective, ICTSD-WHO-UNCTAD, 2007. Correa, Carlos, A Guide To Pharmaceutical Patent, Switzerland, South Centre, 2008. Correa, Carlos, Integrating Publik Health Concern Into Patent Legislation in Development Country, Switzerland, South Centre, 2000. Darji Darmodiharjo dan Sidartha, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 2004. Friedmann, W., Legal Theory, Universal Law Publishing Co. Pty. Ltd., New Delhi, 2002. Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung 1997. Insan Budi Maulana, Lisensi Paten, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990. Maskus, Keith E, Parallel Import In Pharmaceutical: Implication for Competition and Prices In Developing Country, University of Colorado, 2001 Mc Keough, J., K. Bowrey, dan P. Griffith, Intellectual Property: Commentary and Materials, LawBook Co., Sydney, 2002.

142

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002. Muhammad Djumhana dan R, Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Pires De Carvalho, Nuno, The trips regime of patent right, London, Kluwer Law International, 2002. Pryles, M., J. Waincymer, dan M.Davies, International Trade Law; Commentary and Materials, LawBook Co., Sydney, 2004. Reynolds, R. dan N.Stoianoff, Intellectual Property: Text and Eessential Cases, The Federation Press, Sydney, 2005. R. Otje Salman, Ikhitsar Filsafat Hukum, CV. ARMICO, Bandung, 1986. Soenarjati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, Bandung, 1982. Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, PT.Eresco, Bandung, 1990. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, PT. Alumni, Bandung, 2003.

B.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pegesahan WTO Agreement.

_____, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten _____, Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Pengesahan Paris Convention for The Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization.

143

_____, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Keputusan Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Nomor H.08.PR.09.10 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Substantif Paten. Republic of India, India Patent Act 1970 , India Patent Act (Amandement) 1999 , India Patent Act (Amandement) 2005

C.

SUMBER LAIN

Agreement Establishing the World Trade Organization, 1994. Agreement in Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, 1994. Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights and Counterfeit Goods, 1994. Agreement Between The Intellectual Property Organization and The World Trade Organization, 1995. Braithwaite and Drahos, Global Business Regulation, Cambridge University Press, 2000, Bab 7, http://en.wikipedia.org/wiki/Agreement_on_TradeRelated_Aspects_of_Intellectual_Property_Rights#Controversy, 21/07/2009, 16:17 WIB. Cita Citrawinda, Persetujuan TRIPS, Perlindungan Paten dan Kebijakan Kesehatan Publik di Bidang Farmasi, Seminar Paten, Hotel Sultan, Jakarta, 2009

Correa, Carlos, Fostering The Transfer Of Technology, Third World Network, http://www.twnside.org.sg/foster/title/html, 22/06/2009, 07:53 WIB

144

Correa, Carlos, Intellectual Property Rights And The Use Of Compulsory Licenses :Options For Developing Countries, http://www.netamericas.net/Researchpapers/Correa3, 05/06/2009, 00:29 WIB. Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, 1967 Draft Manual of Patent Practice and Procedure, The Patent Office India. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Garner, Bryan A.et al, Blacks Law Dictionary, West Group, Minnesota, 1999. KIPO (Korean Intellectual Property Office), Request for Compulsory License, http://glivec.jinbo.net/Request_for_CL_final_version.htm, 5/06/2009, 00:45 WIB. Lamy, Pascal.2008, Access to medicines has been improved, WTO News, http://www.wto.org/english/news_e/sppl_e/sppl111_e.htm, 22/06/2009, 13:43 WIB Paris Convention for The Protection of Industrial Property, 1883 Ram, Prabhu, Indias New TRIPS-Compliement Patent Regime: Between Drug Patents and The Right to Health, Chihago-Kent Journal Intellectual Property, Chicago, 2006 Tomi Suryo Utomo, Pharmaceutical Patent Protection Versus National Drug Policy In India: A Tension Between International Standard and Domestic Development Policy, Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Universitas Indonesia, Mei, 2009. Vienna Convention on The Law of Treaties, 1969. WTO Doha Ministerial Declaration, 2001 WTO Decision WT/L/540 and Corr.1, Implementation of paragraph 6 of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and public health on 30 Agustus 2003

145

WTO, Declaration on TRIPS Agreement and Publik Health(Doha Declaration), http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min01_e/mindecl_e.htm, 26/06/2009, 13:53 WIB. WIPO, PCT Contracting Parties, http://www.wipo.int/treaties/en/ShowResults.jsp?lang=en&treaty_id=6, 21/07/2009, 11:36 WIB. WTO, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Generalized_System_of_Preferences, 21/07/2009, 12:43 WIB WTO, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Agreement_on_TradeRelated_Aspects_of_Intellectual_Property_Rights#Controversy, 21/07/2009, 15:23 WIB

You might also like