You are on page 1of 112

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

Oleh : NAMA NIM : MARSINTA ULY : B2A 006 182

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010

HALAMAN PENGESAHAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Penulisan Hukum

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

Oleh : MARSINTA ULY B2A 006 182 Penulisan Hukum Dengan Judul di Atas Telah Disahkan Dan Disetujui Untuk Diperbanyak Kemudian Diujikan

Pembimbing I

Pembimbing II

(Eko Soponyono, SH.MH.)

(Suparno, SH.M.Hum)

ii

HALAMAN PENGUJIAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dipersiapkan dan Disusun Oleh : MARSINTA ULY B2A 006 182 Telah Diujikan di Depan Dewan Penguji Pada Hari Senin , Tanggal 24 Maret 2010

Semarang, Maret 2010 Dewan Penguji Ketua Sekretaris

(Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum) Pembimbing I Pembimbing II

(Eko Soponyono, SH.MH.)

(Suparno, SH.M.Hum)

Penguji

(Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya,SH.M.H)

iii

MOTTO

Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan

Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu

Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya setia

Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati

Rendahkanlah dirimu dihadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu

The duty of youth is to challenge corruption (Kurt Cobain)

If you dont have enemy, you dont have character (Paul Newman)

Talk less do more

iv

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan karyaku ini kepada :

Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan kekuatan dan penghiburan Bapak dan Mama yang kusayangi yang selalu mendoakan aku Kakak dan Adik yang kusayangi untuk semua semangat dan dukungan yang diberikan Almamaterku Diponegoro Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Fakultas Hukum Universitas

kukagumi Para Koruptor yang mencuri hak orang lain

KATA PENGANTAR

Syalom, Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

TINDAK PIDANA KORUPSI. Skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna

menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, antara lain kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, M.S., Med., Sp.And. selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang; 2. Bapak Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; 3. Bapak Eko Soponyono, SH.M.H selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, semangat dan kepercayaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

vi

4. Bapak Suparno, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, semangat dan kepercayaan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya; 5. Bapak Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H.,M.H selaku Dosen Penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; 6. Bapak Dadang Siswanto, S.H., M.Hum selaku Dosen Wali yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan arahan selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan segenap Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang yang telah banyak membantu selama masa studi penulis; 8. Bapak Bima Suprayoga Kepala bagian pidana khusus kejaksaan negeri Semarang dan Bapak Joko, Bapak Rasamala Aritonang bagian Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Bapak Yunanto Hakim tindak pidana korupsi yang telah bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian dan memberikan data-data yang dibutuhkan penulis dalam skripsi ini; 9. Kedua orang tua penulis yang sangat penulis hormati dan cintai dengan sepenuh hati, terima kasih buat setiap doa, tetesan keringat, kerja keras, dan air mata, serta dukungan materiil maupun spiritual yang telah diberikan kepada penulis selama ini, serta kakak dan adik-adik penulis : Ka Ita, Trysia, Desi, Michael dan Evi yang selalu memberikan semangat buat penulis.

vii

10. Sahabat-sahabatku Marini, Selprida, Wilma, Vina, Grace, Sephine. Terima kasih atas dukungan, doa dan persahabatan yang telah kita jalin selama ini; 11. Saudara-saudaraku di PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) Fakultas Hukum Undip, teman-teman seperjuanganku: Mikhael, Inggrid, Xenia, Asti dan adik-adikku terkasih Juris, Ana, Bena, Togi, Indry, Tere, Vera, Nova, Marco, Kristo.Bagiku kalian adalah keluarga terhebat yang aku miliki di Semarang. Pengalaman yang aku peroleh bersama kalian selama di PMK takkan pernah terlupakan sampai kapan pun. Terima kasih buat semua kasih sayang yang telah kalian berikan selama aku kuliah di Fakultas Hukum Undip tercinta ini; 12. Saudara-saudaraku yang terkasih di FKPMI (Forum Kristiani Pemimpin Muda Indonesia) : Ka neta, Ka Dwi, Ka Sabet, Ka Yohana, Bang Coki,Bang Iman, Bang Anjo,Ijal, Ka Renti, Dwipa, Mekel. Terima kasih buat dukungan, semangat serta bantuan yang diberikan kepada penulis. Tetap semangat untuk menjadi terang Being Light in Law Area 13. Saudara-saudaraku yang terkasih di movers, Ka lina, Selpi, Anggiat, Jefri, Maestro, Mas Bayu dan Basten. Semoga kita tetap bisa bergerak dimanapun kita berada. 14. Adek-Adek Komsel ku : Aline, Jojo, Rocky, Tian. Terima kasih buat setiap semangat dan dukungan yang kalian berikan. 15. Teman-Teman Kostan Singosari 1 No.11 : Mb Mimin, Ayu, Cintya, QaQa, Didior, Imel, Mb Pipit, Mb Tri yang telah menemani hari-hari penulis

viii

selama di semarang. Terima kasih buat hari-hari dengan segala kegilaan dan canda tawa yang mengisi hari-hari penulis. 16. Teman-Teman seperjuangan dalam penyusunan skripsi : Mitha, Dhaniar, Nana, Elis, Hakenia, Martin dan teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu. Tetap semangat yah guys. 17. Teman- teman Tim I KKN PPM Undip 2010 Desa Kedung Karang .Terima kasih buat dukungan kalian. 18. Teman-teman angkatan 2006 Fakultas Hukum Undip; 19. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan yang tentu saja tidak disengaja, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan baik saran maupun kritik dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Tuhan memberkati. Semarang, Maret 2010 Hormat Penulis

Marsinta Uly

ix

ABSTRAKSI

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang di dalam penanganannya diperlukan undang-undang yang luar biasa pula. Salah satu upaya yang dianggap mampu untuk menyelesaikan perkara korupsi tersebut adalah dengan dirumuskannya pembuktian terbalik di dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi saat ini yang diawali dalam Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian disempurnakan ke dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Formulasi pembuktian terbalik merupakan penyimpangan dari pembuktian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, agar tidak terjadi tumpang tindih maka pembuktian terbalik harus memiliki arah kebijakan hukum pidana yang jelas di dalam perumusannya dengan tetap memperhatikan efektifitas dan efisiensi dari kegunaan rumusan pembuktian terbalik tersebut. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan hukum ini adalah bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi saat ini serta bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang. Metode pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan dan perundang-undangan yang berkaitan tindak pidana korupsi. Selain itu untuk mengenai kebijakan dalam tataran aplikasinya maka diperoleh data dengan diadakannya wawancara terhadap praktisi hukum yang terkait yaitu jaksa tindak pidana korupsi, hakim tindak pidana korupsi dan anggota komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Pembuktian Terbalik

10

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL.... HALAMAN PENGESAHAN..... HALAMAN PENGUJIAN. MOTTO... PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR. ABSTRAKSI....... DAFTAR ISI................... DAFTAR TABEL........... BAB I : PENDAHULUAN A. B. C. D. E. Latar Belakang Permasalahan.. Perumusan Masalah. Tujuan Penelitian. Kegunaan Penelitian
Sistematika Penulisan..

i ii iii iv v vi x xi xv

1 8 8 9
10

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Hukum Pidana........ 12 B. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana.......................... 2. Jenis-Jenis Tindak Pidana.. 20 20 22

xi

11

3. Pengertian

Pidana

dan

Jenis-Jenis

dan

Teori 24 26 31 31 34

Pemidanaan.............................. 4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi C. Hukum Pembuktian..... 1. Tinjauan Umum mengenai Pembuktian........ 2. Teori Hukum Pembuktian..... a. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif b. Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim c. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif.. d. Teori Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van het

34 36

38

Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/Onus of Proof) 39 1. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum... 39

2. Beban Pembuktian pada Terdakwa.. 40 3. Beban pembuktian Berimbang. e. Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan (Balanced Probability of Principles) dalam Tindak Pidana Korupsi. BAB III :METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan. B. Spesifikasi Penelitian........... C. Metode Pengumpulan Data. 48 49 49 44 40

xii

12

D. Metode Analisis Data.... BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Perundang-undangan Tindak Pidana

51

Korupsi Saat Ini................................ 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang- Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Kebijakan Aplikasi terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik di Masa Mendatang 1. Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 2. Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana

53

54

57

58

65

78

78

Korupsi 3. Formulasi Pembuktian Terbalik di Beberapa Negara ..


xiii

81 85

a. Negara Malaysia.. 85

13

b. Negara Singapura ..87 c. Negara Hongkong............. 88

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan....... 90

B. Saran... 93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

xiv

14

DAFTAR TABEL

Halaman

1. 2. 3.

Penanganan Kasus oleh KPK Tahun 2004 ................................. Jumlah Kasus/Perkara yang ditangani oleh KPK Selama Tahun 2005-2008 ........................................................................ Penanganan Perkara Korupsi Periode 2004 s/d 2009 Tahap Penuntutan........................................................................

66 67 69

15 xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan Setiap negara merdeka pasti memiliki tujuan di dalam menjalankan pemerintahan. Tujuan setiap negara mewujudkan kesejahteraan rakyat. Konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia menetapkan tujuan nasional yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum dan ikut menciptakan perdamaian dunia. Guna mencapai kesejahteraan rakyat serta menjamin keadilan sosial, maka setiap negara berkewajiban melakukan pembangunan terutama pembangunan di sektor ekonomi. Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat

menimbulkan dampak sosial positif yaitu kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif diantaranya berupa kejahatan (tindak pidana) yang dapat meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Selain itu, korupsi adalah masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan

pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai

demokrasi dan moralitas. Akan lebih berbahaya lagi kalau perbuatan ini menjadi budaya di masyarakat. Oleh karena itu, korupsi menjadi musuh utama dalam proses pembangunan bangsa. Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. Alasan ketiga, pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi di dalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Korupsi terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Melihat akibat yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana korupsi, maka pemerintah Indonesia membuat peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi dimulai dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan karena dianggap terlalu luas dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat maka undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian direvisi beberapa pasalnya di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Diberlakukannya Undang-Undang Korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi. Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah ternyata belum bisa menjadi senjata yang ampuh dalam menanggulangi dan memberantas masalah korupsi. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut white collar crime atau kejahatan kerah putih. White collar crime atau kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial tinggi dan terhormat berkaitan dengan jabatannya. Melihat kesulitan dalam melakukan pembuktian, perkara korupsi memerlukan pembuktian khusus yang menyimpang dari hukum acara pidana biasa, seperti halnya pembuktian yang dianut oleh UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 17 yang menganut adanya pembagian beban pembuktian antara jaksa dan terdakwa. Akan tetapi, undang-undang

tersebut sudah ketinggalan zaman, tidak relevan lagi dalam menyelesaikan perkara korupsi yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Pembuktian dalam undang-undang tersebut di rasa sulit dan berbelit-belit dalam mengungkap kasus korupsi. Akibatnya, banyak orang yang didakwa melakukan korupsi ternyata hanya dijatuhi pidana yang jauh lebih ringan. Pembuktian perkara korupsi yang dianut oleh UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dirasakan cukup sulit bagi upaya menjerat para pelakunya karena pada undang-undang tersebut lebih

menitikberatkan pada delik materil, yaitu terjadinya kerugian pada keuangan dan atau perekonomian negara. Seorang tersangka yang telah mengembalikan harta yang telah dikorupsinya, sering diklasifikasikan tidak termasuk merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara sehingga sulit bagi jaksa untuk membuktikan salah satu unsur perbuatan pidana korupsi tersebut, yaitu merugikan keuangan atau perekonomian negara. Menghadapi masalah sulitnya pembuktian ini, diperlukan suatu

pembuktian yang mudah dan tidak berbelit-belit dalam pelaksanaannya, baik bagi terdakwa maupun bagi Jaksa Penuntut Umum seperti yang dianut oleh UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 yaitu pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik merupakan penyimpangan dari pasal 66 KUHAP, karena dalam pembuktian terbalik jaksa penuntut umum dan terdakwa sama-sama dibebani pembuktian, apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi, terdakwa tidak langsung bebas karena jaksa penuntut umum masih wajib membuktikan dakwaannya. Pembuktian terbalik bukanlah hal baru yang digunakan dalam perundangundangan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut oleh negara lain seperti Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974 : or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfaktory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence.1

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa menguasai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak sebanding dengan gaji seorang pejabat pemerintah pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, kecuali kalau pejabat tersebut dapat

memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu atau bagaimana sumber-sumber pendapatan atau harta itu dapat ia kuasai. Pemberlakuan sistem pembuktian terbalik ini menurut keterangan seorang pejabat Independent Comission Against Corruption Hongkong cukup efektif

www.google.com

untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena seseorang akan takut melakukan korupsi dikarenakan kesulitan memberikan penjelasan yang

memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak sah. Indonesia juga menggunakan sistem pembuktian terbalik tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan dirumuskannya pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B, 37 dan 37A, 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Perumusan pasal mengenai pembuktian terbalik dalam undang-undang tindak pidana korupsi diharapkan akan membantu proses pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Namun, rumusan pasal tersebut yang menjelaskan bahwa pembuktian terbalik merupakan hak terdakwa dan tergantung kepada terdakwa untuk menggunakan atau tidak membuat rumusan pasal tersebut menjadi kurang jelas fungsinya dan dianggap kurang memberikan batasan yang jelas. Perumusan pembuktian terbalik menimbulkan pendapat yang berbeda di kalangan ahli hukum. Pembuktian terbalik yang berlaku saat ini sulit untuk diterapkan karena dianggap bertentangan dengan presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah. Selain itu, pembuktian terbalik juga dianggap melanggar hak asasi manusia karena setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Namun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara maka hak asasi individu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak

absolut, melainkan hak relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya. Menurut Todung Mulia Lubis penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan-kekayaan haram yang dia peroleh. Seharusnya disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga si pejabat bisa diinvestigasi. 2 Berdasarkan pertimbangan pemikiran di atas, maka dianggap perlu diadakan suatu kebijakan hukum pidana mengenai formulasi rumusan pembuktian terbalik tersebut di dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Dimana, kebijakan hukum terutama diimplementasikan dalam suatu kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini terutama menggunakan sarana penal pada tahap formulasi/legislatif, yaitu tahap perumusan atau penyusunan hukum pidana dalam hal ini perumusan suatu perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan sanksi apa sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. Kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.3

www. google.com Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal.75
3

B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas ditemukan berbagai masalah terkait formulasi rumusan pembuktian terbalik dalam peraturan perundang-undangan. Masalah-masalah yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini? 2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian Perumusan tujuan penelitian merupakan pencerminan arah dan penjabaran strategi terhadap masalah yang muncul dalam penelitian. Dengan adanya tujuan maka suatu penelitian akan lebih terarah dan lebih bermanfaat. Adapun tujuan yang akan dicapai dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang.

D. Manfaat Penelitian Setiap hasil penelitian termasuk penelitian hukum pasti mempunyai manfaat. Manfaat penelitian biasanya sering disebut juga dengan kegunaan penelitian. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian hukum ini adal;ah sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis Menambah dan mengembangkan wawasan dan pengetahuan dalam ilmu hukum mengenai kebijakan hukum pidana terhadap formulasi serta aplikasi rumusan pembuktian terbalik pada saat ini dan yang akan datang. 2. Kegunaan Praktis a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti serta memberikan dasar-dasar atau landasan untuk penelitian lebih lanjut. b. Memberikan wawasan kepada para mahasiswa dan akademisi lainnya mengenai formulasi rumusan pembuktian terbalik serta aplikasinya dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini dan yang akan datang. c. Memberikan masukan kepada setiap pihak yang terkait tentang formulasi serta aplikasi rumusan pembuktian terbalik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. E. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah memahami isinya, maka penulisan skripsi ini disajikan dalam bentuk rangkaian bab, yang terdiri dari lima bab yang berisi tentang uraian secara umum, teori-teori yang diperlukan dalam menganalisa permasalahan dan

pembahasan hasil penelitian serta kesimpulan dan saran. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan tentang alasan atau latar belakang penelitian yang menjadi pengantar menuju ke pokok permasalahan yang akan dibahas, perumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan landasan teoritis untuk mendasari penganalisaan masalah yang akan dibahas, yang berisi kerangka pemikiran atau teori-teori yang berkaitan kebijakan hukum pidana, tindak pidana, tindak pidana korupsi dan mengenai teori-teori hukum pembuktian serta teori pembalikan beban pembuktian yang akan menunjang dalam menjawab permasalahan mengenai kebijakan hukum pidana tehadap formulasi serta aplikasi rumusan pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi pada saat ini dan yang akan datang. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisikan metode penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini meliputi metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Bab ini berisi hasil dan pembahasan dari penelitian. Dimana akan dijelaskan mengenai rumusan pembuktian terbalik dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi yaitu UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Selain itu akan dibahas aplikasi dari rumusan pembuktian terbalik tersebut di dalam proses persidangan, proses pembuktian serta kendalakendalanya. Bab ini juga akan menjelaskan kebijakan hukum pidana terhadap rumusan pembuktian terbalik yang akan datang dengan menganalisis rumusan pembuktian Pidana terbalik Korupsi dalam dan

Rancangan

Undang-Undang

Tindak

Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan kristalisasi dari semua yang telah dicapai di dalam masing-masing bab sebelumnya mengenai kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam perundangundangan tindak pidana korupsi. Bab ini menyajikan saran bagi pihak terkait dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, kebijakan, juga dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan di suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud, sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.4 Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Oleh karena itu, istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana atau sering dikenal dengan istilah penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.5 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defense) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), hal. 131 5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana, 2008), hal . 22

12

Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). Secara skematis hubungan itu dapat digambarkan sebagai berikut :

Social Welfare Policy

Social Policy
Social Defense Policy Penal Criminal Policy

Tujuan

Non-Penal

Dari uraian skema di atas terlihat, bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti : a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dengan politik sosial; b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan (nasional). Sudarto mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam

13

usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat/modernisasi, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning dan ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.6 Marc Ancel pernah menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen Criminology, Criminal Law dan Penal Policy. Dikemukakan olehnya, bahwa Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memberi pedoman tidak hanya pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.7 Dengan demikian, hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping itu memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Kebijakan hukum pidana dapat didefinisikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :
6 7

Ibid, hal. 3-4 Ibid, hal. 19

14

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan normanorma sentral dari masyarakat.8

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah : a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9 Bertolak dari pengertian di atas Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Sudarto juga menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan yang baik.10 Menurut Marc Ancel, istilah kebijakan hukum pidana sama dengan istilah penal policy yaitu suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk
8 9

Ibid, hal. 1 Ibid, hal. 22 10 Ibid, hal.23

15

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, yang dimaksud dengan peraturan hukum positif (the positive rules) dalam defenisi Marc Ancel jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah penal policy menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana. Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui; b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

16

Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social Policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian social policy, sekaligus tercakup di dalamnya social welfare policy dan social defense policy. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adaah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuanitatif serta tidak memberi

17

kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya nilai-nilai ke dalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian, pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan penilaian emosional (the emosionally laden value judgement approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif. Dari sudut operasionalisasi/fungsionalisasi, dalam arti bagaimana

perwujudan dan bekerjanya, hukum pidana dapat dibedakan dalam tiga fase/tahap, yaitu : 1. Tahap formulasi, yaitu tahap penetapan hukum pidana mengenai macam perbuatan yang dapat dipidana dan jenis sanksi yang dapat dikenakan. Kekuasaan yang berwenang dalam melaksanakan tahap ini adalah kekuasaan legislatif/formulatif. 2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap menerapkan hukum pidana, atau penjatuhan pidana kepada seseorang atau korporasi oleh hakim atas perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut. Yang berwenang dalam tahap ini adalah kekuasaan aplikatif/yudikatif. 3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana atas orang atau korporasi yang telah dijatuhi pidana tersebut. Kewenangan dalam hal ini ada pada kekuasaan eksekutif/administratif.11

11

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 99

18

Dari ketiga tahap tersebut di atas, maka tahap formulasi atau tahap penetapan hukum pidana dalam perundang-undangan merupakan tahap yang paling strategis, karena dalam tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan legislasi yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana oleh badan peradilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana. M. Cherif Bassioni menyebutkan adanya tiga tahap kebijakan yaitu kebijakan pada tahap formulasi (proses legislasi), tahap aplikasi (proses peradilan/judicial) dan tahap eksekusi (proses administrasi).12Pada dasarnya, kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis dan menentukan dilihat dari keseluruhan proses kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana. Karena kebijakan legislatif merupakan tahap strategis dan menentukan, kesalahan pada tahap legislasi akan berpengaruh besar ketahap aplikasi dan administrasi. Selain itu, tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum in abstracto, sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi telah memasuki tahap in concreto. Pembahasan yang berkaitan dengan kebijakan formulasi tidak lepas dari kebijakan kriminal. Hal ini dikarenakan kebijakan formulasi merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana yang juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal merupakan usaha rasional yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam suatu bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2007), hal. 71
12

19

Arief adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu.13 Dengan demikian kebijakan legislatif / formulatif atau disebut pula sebagai kebijakan perundang-undangan merupakan langkah awal di dalam

penanggulangan kejahatan, yang secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan itu dituangkan ke dalam perundang-undangan dan meliputi : a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan yang dilarang b. Perencanaan/ kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelakunya (baik berupa pidana atau denda) dan sistem penerapannya. c. Perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.

B. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti straafbaarfeit. Menurut Simons, dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang

13

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang : UNDIP, 1994), hal. 63

20

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.14 Menurut Pompe, perkataan straafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Moeljatno mengatakan straafbaarfeit merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.15 Ada dua aliran yang merumuskan tentang unsur-unsur tindak pidana yaitu: 1) Aliran monistis Aliran monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidana, syarat pidananya itu masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana. Tokoh-tokoh yang menganut pandangan monistis antara lain adalah J. E Jonkers, Wirjono Prodjodikoro, H. J. van Schravedijk, dan Simons. 2) Aliran dualistis Golongan dualistis mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana (criminal act atau actus
14 15

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 5 Ibid, hal. 6

21

reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responbility atau adanya mens rea)16 Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran dualistis adalah Moeljatno, Pompe dan R. Tresna.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini jenis delik dibagi menjadi dua (2) yaitu kejahatan dan pelanggaran. Pembagian jenis delik seperti tersebut di atas didasarkan pada perbedaan sebagai berikut : 1). Secara kualitatif a. Rechtsdelicten (delik hukum) Perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Contoh : pembunuhan, pencurian. Delik semacam ini disebut dengan kejahatan (mala per se). b. Wetsdelicten (delik undang-undang) Perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik. Jadi karena undangundang mengancamnya dengan pidana. Delik semacam ini disebut dengan pelanggaran (mala quia prohibita).17 2). Secara kuantitatif

16 17

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto, FH Undip, 1990), hal. 44 Ibid, hal 56

22

Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran hanya dilihat dari segi kriminologi, yaitu bahwa pelanggaran lebih ringan anaman pidananya dari kejahatan Selain jenis delik kejahatan dan pelanggaran, masih terdapat pembagian jenis delik lainnya, antara lain : 1) Pembagian jenis delik yang didasarkan pada perumusannya, terdiri dari : a. Delik Formil Delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik, terlepas dari akibat yang ditimbulkan ada atau tidak dan selesai atau tidak. Misal : penghasutan (Pasal 160 KUHP) dan pencurian (Pasal 362 KUHP). b. Delik materil Delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Misal : penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP). 2) Delik-delik yang dibagi menjadi delik commisionis, delik omissionis dan delik commisionis per omissionen commisa. a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang.

23

b. Delik omissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan atau yang diharuskan. c. Delik commisionis per omissionen commisa : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. 3) Delik-delik yang dibagi menjadi delik dolus dan delik culpa. a. Delik dolus : delik yang memuat unsure kesengajaan. b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya. 4) Delik-delik yang dibagi menjadi delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus. 5) Delik-delik yang dibagi menjadi delik tunggal dan delik berganda. 6) Delik-delik yang dibagi menjadi delik aduan dan bukan delik aduan.

3. Pengertian Pidana dan Jenis-Jenis Teori Pemidanaan Pengertian pidana menurut pendapat dari para ahli hukum pidana seperti Soedarto dan Roeslan Saleh yaitu : 1) Soedarto Penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.18 2) Roeslan Saleh

Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hal. 2

18

24

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.19 Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : a. Pidana itu pada hakikatnya suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan atau yang berwenang. c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Dalam banyak literature, teori pemidanaan disebut juga dengan teori hukum pidana (strafrecht-theorien). Teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. 1) Teori Absolut Dasar pijakan teori ini adalah pembahasan. Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindak pidana. Negara berhak menjatuhkan pidana terhadap penjahat karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindungi. Karena itu, harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukannya. 2) Teori Relatif atau Teori Tujuan

19

Loc. Cit

25

Teori ini berpangkal pada pendapat bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu tadi, maka pidana itu adalah suatu yang terpaksa perlu diadakan. 3) Teori Gabungan Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini dibedakan menjadi dua golongan yaitu : a. Teori Gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. b. Teori Gabungan yang mengutamakan perlndungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yan dilakukan terpidana.

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa : a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran 20 b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.21

20

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Hasta, Bandung)

26

Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas. 1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. 2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Perkembangan Pengertian Korupsi antara lain : a. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar Jacob van Klaveren yang mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin. b. Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan 1) L. Bayley Perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. 2) M. Mc Mullan Seorang pejabat pemerintahan dikatakan korup apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya
21

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 1976)

27

seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan.22 3) J.S Nye Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal ini mencakup tindakan, seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal usul dan bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingan/keperluan pribadi).23 c. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum. d. Rumusan korupsi dari sisi pandang politik

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 20 Tahun 2001, (Bandung : Mandar Maju, 2009), hal. 8 23 Ibid, hal.9

22

28

Mubyarto mengutip pendapat, Theodore M. Smith dalam tulisannya Corruption Tradition and Change Indonesia (Cornell University No. 11 April 1971) mengatakan sebagai berikut : Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten. Rumusan-rumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat member warna pada korupsi dalam hukum positif. Karena itu, maka rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada setiap negara, tergantung pada tekanan atau titik beratnya yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan pengertian korupsi sebagai tercermin di atas bahwa korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, factor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga, klik golongan ke dalam dinas si bawah kekuasaan jabatannya. e. Rumusan korupsi dari sisi pandang sosiologi Pengkajian makna korupsi secara sosiologis, jika memperhatikan uraian Syed Hussein Alatas, dalam bukunya The Sosiology of Corruption yang antara lain menyebutkan bahwa terjadi korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada

29

kepentingan-kepentingan si pemberi. Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas politik.24 Menurut undang-undang tindak pidana korupsi, korupsi adalah perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. Melawan hukum b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan c. Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sudarto menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu : a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Perbuatan memperkaya artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya. b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum Melawan hukum di sini diartikan secara formil dan materil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik. c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.25

24 25

Ibid, hal. 10 Evi Hartanti,Op.Cit, hal. 18

30

C. Hukum Pembuktian 1. Tinjauan Umum mengenai Pembuktian Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa atau sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan member (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu dengan kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Dikaji secara makna leksikon pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan terdakwa dalam siding pengadilan. Dikaji dari perpektif yuridis, menurut M. Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu,

31

ketentuan pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP menegaskan bahwa untuk dapat dilakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan bermula dilakukan penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana (vonnis) oleh hakim di depan sidang pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding. Proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut dengan dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya penuntut umum yang melakukan penuntutan dan terdakwa atau beserta penasehat hukumnya. Hakikatnya hukum pembuktian dapat dikategorisasikan ke dalam hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional dan khusus. Dimensi dari hukum pembuktian yang bersifat umu/konvensional terdapat dalam KUHAP. Pada ketentuan ini, hukum pembuktian dalam sidang pengadilan dilakukan secara aktif oleh jaksa penuntut umum untuk menyatakan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Sebaliknya, terdakwa atau penasehat hukumnya akan berusaha untuk menyatakan dan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Hukum pembuktian yang bersifat khusus, dasarnya bukan semata-mata kepada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana Pasal 183 KUHAP. Tegasnya, ketentuan hukum pembuktian yang bersifat khusus terdapat dalam UU tindak pidana khusus di luar tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP. Di dalam UU tindak pidana khusus tersebut diatur mengenai ketentuan

32

umum pidana formal dan hukum pidana materil secara sekaligus. Misalnya, Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menentukan bahwa : Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dari redaksional di atas, terminology dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku sehingga ada ketentuan hukum pidana formal diintrodusir dalam KUHAP. Kemudian terminology kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini menunjukan ada kekhususan hukum acara. Apabila aspek ini dijabarkan, dalam Pasal 26A UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ditentukan adanya pembalikan beban pembuktian tentang ketentuan alat bukti petunjuk. Dalam ketentuan tersebut alat bukti petunjuk diperluas, jangkauan pembuktian tidak hanya digali dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP melainkan dapat digali dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna dan lain sebagainya.

33

2. Teori Hukum Pembuktian Secara teoritis asasnya dikenal 3 (tiga) teori tentang pembuktian, yaitu berupa : a. Teori Hukum Pembuktian menurut undang-undang Secara Positif Pada dasarnya, teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, teori hukum pembuktian positif bergantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini, hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Demikian sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah. Dengan demikian, pada esensinya menurut D. Simons, sistem atau teori hukum pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara

34

ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.26 Lebih lanjut lagi, apabila dikaji secara hakiki ternyata teori hukum pembuktian positif mempunyai segi negatif dan segi positif. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim, suatu kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari

26

LIlik Mulyadi, Op.Cit, hal.92-93

35

sejak

semula

pemeriksaan

perkara,

hakim

harus

melemparkan

dan

mengeyampingkan jauh-jauh factor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subyektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.27 Kemudian, dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek negatif dan positif, baik secara teoritis dan praktik teori hukum pembuktian menurut undangundang secara positif relatif sudah tidak pernah diterapkan lagi.

b. Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim Pada teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam perkembangannya, lebih lanjut teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu : Conviction Intime dan Conviction Raisonce, kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dengan demikian, putusan hakim di sini tampak timbul nuansa subjektifnya.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 789-799

27

36

Apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan teori hukum pembuktian Conviction Intime mempunyai bias subjektif, yaitu apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa, telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang paling dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.

37

Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.28 Teori hukum pembuktian Conviction Raisoance asasnya identik sistem Conviction Intime. Lebih lanjut lagi, pada teori hukum pembuktian Conviction Raisonance keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan.29

c. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif Pada prinsipnya, teori hukum pembuktian menurut undang-undang negative menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undangundang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakikatnya merupakan peramuan antara teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Secara teoritis dan normatif hukum pembuktian di Indonesia

mempergunakan teori hukum pembuktian secara negative, tetapi dalam praktik peradilan selintas dan tampak penerapan Pasal 183 KUHAP mulai terjadi
28 29

Ibid, hal. 797-798 Lilik Mulyadi, Op.Cit, hal.96

38

pergeseran pembuktian pada teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif bahwa unsur sekurang-kurangnya dua alat bukti merupakan aspek dominan, sedangkan segmen keyakinan hakim hanyalah bersifat unsur pelengkap karena tanpa adanya aspek tersebut tidak mengakibatkan batalnya putusan, dan praktiknya hanya diperbaiki dan ditambahi pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi ataupun pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI.

d. Teori Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/Onus of Proof) Dikaji dari perpektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian. Secara universal ketiga teori beban pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di negara Indonesia maupun di beberapa negara seperti di Negara Malaysia, United Kingdom of Great Britain (Inggris), Hongkong maupun di Negara Republik Singapura, yaitu : 1) Beban Pembuktian pada Penuntut Umum Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

39

2) Beban Pembuktian pada Terdakwa Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori Pembalikan Beban Pembuktian. Dikaji dari perpektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi.

3) Beban Pembuktian Berimbang Konkretisasi asas ini baik penuntut umum maupun terdakwa dan/atau penasihat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian berimbang seperti dikenal di Amerika Serikat dan juga di Indonesia. Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolok ukur penuntut umum dan terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategorisasi, yaitu:

40

Pertama, sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP. Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat absolute atau murni bahwa terdakwa dan/atau penasihat hukumnya membuktikan ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam artian terdakwa dan penuntut saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa. Pada hakikatnya, asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum pidana Indonesia dikenal dalam tindak pidana korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), tindak pidana pencucian uang (UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003) dan perlindungan konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Secara kronologis, asas pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal pada negara-negara yang menganut rumpun AngloSaxon atau negara-negara penganut case law terbatas pada certain cases atau kasus-kasus tertentu khususnya terhadap tindak pidana gratification atau pemberian yang berkorelasi dengan bribery (suap), misalnya seperti di United Kingdom of Great Britain kemudian juga yang terjadi pada Negara Republik Singapura dan Malaysia serta di Indonesia.30

30

Ibid, hal 101-104

41

Indriyanto Seno Adji berasumsi bahwa : Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formal), baik sistem kontinental maupun Anglo Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam certain cases (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensiel, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai Reversal of Burden Proof (Omkering van Bewjislast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak 31 Tersangka/Terdakwa. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni menyebabkan beralihnya asas praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Konsekuensi logis demikian, praduga bersalah relatif cenderung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum.

Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban pembuktian pada penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil. Lebih lanjut, teori pembalikan beban pembuktian yang meletakkan beban pembuktian pada terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Indriyanto Seno Adji
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta : Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001)
31

42

menyebutkan asas pembalikan beban pembuktian merupakan penyimpangan asas umum hukum pidana yang menyatakan kebenaran tuntutannya. Dalam hal pembalikan beban pembuktian, terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sebagai suatu penyimpangan, asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu, yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification) dan yang berkaitan dengan bribery (penyuapan). Selain itu, apabila dikaji lebih detail teori pembalikan beban pembuktian akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi terhadap ketentuan hukum acara pidana. Indriyanto Seno Adji menyebutkan terdakwa tidak pernah dibebankan untuk membuktikan kesalahannya, bahkan tidak pernah diwajibkan untuk

mempersalahkan dirinya sendiri (non self incrimination). Lebih jauh lagi bahwa terdakwa memiliki hak yang dinamakan The Right to Remain Silent (hak untuk diam). Kesemua ini merupakan bahagian dari prinsip perlindungan dan penghargaan HAM yang tidak dapat dikurangi sedikit apapun dengan alasan apapun juga (Non-Derogable Right).32 Konsekuensi logis aspek tersebut, bahwa pembalikan beban pembuktian relatif tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan pelaku karena selain bertentangan dengan asas-asas sebagaimana tersebut di atas juga relatif mengedepankan asas praduga bersalah.

32

Indriyanto Seno Adji, Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001), hal. 50

43

Karena teori pembalikan beban pembuktian tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan pelaku, tentu harus dicari suatu formula baik dari perpektif teoritis, yuridis, filosofis dan praktik bagaimana teori ini dapat diterapkan ditataran kebijakan legislasi dan aplikasi.

e. Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan (Balanced Probability of Principles) dalam Tindak Pidana Korupsi Teori Pembalikan Beban Pembuktian secara Keseimbangan antara Kemungkinan perlindungan

mengedepankan

keseimbangan

proporsional

kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi lainnya. Konklusinya, teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan

kemungkinan menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap perbuatan atau kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak boleh dipergunakan asas pembalikan beban pembuktian melainkan tetap berdasarkan asas negative karena perlindungan terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan kemerdekaan seseorang. Dalam konteks ini, kedudukan hak asasi pelaku tindak pidana korupsi ditempatkan dalam kedudukan yang paling tinggi dengan mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi yang tetap mempergunakan sistem pembuktian menurut UU secara negatif. Kemudian, secara bersamaan di satu sisi khusus terhadap asas pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap

44

kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Apabila dijabarkan terhadap harta kekayaan milik seseorang dapat dilakukan penerapan asas pembalikan beban pembuktian karena harta kekayaan orang ditempatkan dalam kedudukan yang paling rendah ketika pelaku tersebut dalam kedudukan yang belum kaya. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana korupsi terhadap kepemilikan harta kekayaan dipergunakan Teori probabilitas berimbang yang diturunkan. Dalam praktiknya, penerapan teori ini dalam tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh Pengadilan Tinggi HongKong dalam kasus antara Attotney General of Hongkong v Lee Kwang Kut.33 Teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan adalah upaya teoritis untuk menentukan solusi penerapan pembalikan beban pembuktian dalam pemberantasan korupsi yang sulit pembuktiannya terutama yang menyangkut asal usul harta kekayaan milik terdakwa.

33

Lilik Mulyadi, Op.Cit, hal 109-111

45

BAB III METODE PENELITIAN

Metode merupakan sarana untuk menemukan, merumuskan, menganalisis suatu masalah tertentu untuk mengungkapkan suatu kebenaran, karena metode pada prinsipnya memberikan pedoman tentang cara ilmuwan mempelajari, menganalisis serta memahami apa yang dihadapinya. Penelitian dapat diartikan sebagai cara pengamatan dan mempunyai tujuan untuk mencari jawaban permasalahan atau proses penemuan, baik itu discovery maupun invention. Discovery diartikan hasil temuan yang memang sebetulnya sudah ada sedangkan invention dapat diartikan sebagai penemuan hasil penelitian yang betul-betul baru dengan dukungan fakta. Penelitian adalah merupakan proses ilmiah yang mencakup sifat formal dan intensif. Karakter formal dan intensif karena mereka terikat dengan aturan, urutan maupun cara penyajiannya agar memperoleh hasil yang diakui dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Intensif dengan menerapkan ketelitian dan ketepatan dalam melakukan proses penelitian agar memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, memecahkan problem melalui hubungan sebab dan akibat, dapat diulang kembali dengan cara yang sama dan hasil sama. Penelitian menurut Kerlinger ialah proses penemuan yang mempunyai karakteristik sistematis, terkontrol, empiris, dan mendasarkan pada teori dan hipotesis atau jawaban sementara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian tidak lain adalah usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis

46

mengikuti aturan-aturan metodologi misalnya observasi secara sistematis, dikontrol, dan mendasarkan pada teori yang ada dan diperkuat dengan gejala yang ada.34 Pada hakikatnya, penelitian mempunyai fungsi menemukan,

mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Secara rinci penelitian berfungsi sebagai berikut : a. Penjajagan Fungsi ini juga disebut fungsi eksploratif. Maksudnya ialah bahwa penelitian berfungsi untuk menemukan sesuatu yang belum ada. Dengan demikian penelitian mengisi kekosongan atau kekurangan ilmu. b. Pengujian Fungsi ini disebut juga sebagai fungsi verifikatif. Maksudnya penelitian berfungsi untuk menguji kebenaran suatu pengetahuan yang sudah ada. c. Pengembangan Fungsi ini disebut fungsi developmental. Maksudnya penelitian berfungsi mengembangkan pengetahuan yang sudah ada.35 Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif dilakukan denga cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, yang disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Sedangkan penelitian hukum sosiologis terutama digunakan untuk meneliti data primer.

34

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hal.3-4 35 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004), hal. 3-4

47

Suatu penelitian juga memerlukan metode-metode tertentu. Metode yang akan diterapkan ini harus disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dari metodemetode penelitian sehingga dalam kegiatan penelitian dapat mengarah pada tujuan yang telah ditentukan. Metodologi pada hakikatnya memberikan pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan yang dihadapinya. Untuk lebih jelasnya dalam penulisan hukum ini penulis akan menggunakan metode-metode sebagai berikut :

A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder, terutama berupa bahan-bahan hukum primer berupa perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa rancangan KUHP dan karya ilmiah. Di samping data sekunder, diperlukan data primer untuk mendukung data. Penggunaan metode sosial ini disamping penelitian normatif, dilakukan juga pendekatan komparatif. Pendekatan yuridis komparatif diperlukan dalam melihat norma-norma yang menyangkut pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi di beberapa negara. Hal ini berkaitan pula dengan usaha-usaha dalam menentukan kebijakan hukum pidana terhadap pembuktian terbalik di masa mendatang.

48

B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan kedaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampil atau sebagaimana adanya. Deskriptif analitis adalah suatu penelitian yang berusaha menemukan gejala-gejala yang diperlukan dalam dokumen atau suatu buku dan menggunakan informasi-informasi yang berguna di bidang masing-masing. Dalam penelitian ini akan digambarkan mengenai keadaan objek yang akan diteliti yaitu pembuktian terbalik, khususnya mengenai kebijakan hukum pidana terhadap formulasi rumusan pembuktian terbalik pada saat ini dan yang akan datang. Untuk mendapatkan data primer, peneliti melakukan penelitian di institusiinstitusi terkait, yakni : 1. Pengadilan Negeri Semarang 2. Kejaksaan Negeri Semarang 3. Komisi Pemberantasan Korupsi

C. Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini, penulis akan mempergunakan data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut : 1. Data Primer Data primer dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan, yaitu dengan wawancara kepada hakim, jaksa dan anggota Komisi Pemberantasan

49

Korupsi atau para pihak yang terkait dengan permasalahan yang dikemukakan oleh penulis. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terpimpin yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan lebih dahulu sebagai garis pedoman yang ditetapkan sebelumnya dengan tujuan agar arah wawancara dapat dikendalikan dan tidak menyimpang dari pedoman yang telah ditetapkan. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka guna menemukan landasan teoritis berupa peraturan perundang-undangan maupun berbagai literatur. Adapun data sekunder di bidang hukum yang dapat diteliti adalah : 1. Bahan hukum primer adalah badan hukum yang mengikat, terdiri dari sumber-sumber hukum yang berkaitan dengan rumusan pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi. Bahan hukum primer terdiri atas : a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

50

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjadi karya para sarjana, baik yang telah dipublikasikan maupun belum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain berupa : a. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi b. Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi c. Hasil karya para sarjana, tulisan atau pendapat para pakar hukum d. Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan pada penelitian ini Selain data sekunder di bidang hukum tersebut, penelitian ini juga meneliti data sekunder yang bersifat publik yaitu data arsip dan data resmi dari instansi pemerintah yang berkaitan dengan permasalahan.

D. Metode Analisis Data Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul maka dilanjutkan dengan menganalisis data-data tersebut. Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode analisis normatif kualitatif, yaitu proses analisis terhadap data yang terdiri dari kata-kata yang dapat ditafsirkan, yaitu data yang diperoleh di lapangan dalam bentuk tulisan dan segera dianalisa.36 Apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.37 Dalam metode kualitatif tidak perlu diperhitungkan jumlah data yang dianalisis, melainkan memperhitungkan data
36 37

Dari S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik, (Bandung: PT. Tarsito, 1968), hal. 129 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal 250

51

dari kemampuannya mewakili keadaan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Data primer dan data sekunder dikumpulkan, diolah dan disusun secara jelas dan sistematis. Kemudian dianalisis menurut disiplin ilmu hukum pidana sehingga menjadi pembahasan yang sinergis dan terpadu. Selanjutnya ditarik kesimpulan dari hasil pembahasan tersebut.

52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi Saat Ini

Delik korupsi adalah delik yang dilakukan dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara yang semakin canggih dan rumit sehingga banyak perkara-perkara delik korupsi lolos dari jaringan pembuktian melalui sistem KUHAP. Karena itu, undang-undang tindak pidana korupsi mencoba menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik. Namun rumusan pembuktian terbalik yang dicantumkan di dalam undang-undang belum pernah bisa dilaksanakan. Untuk bisa dilaksanakan maka perlu diadakan suatu kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana adalah usaha mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang sehingga untuk membuat suatu kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik harus dikaji melalui undangundang yang pernah dan sedang merumuskan pembuktian terbalik yaitu diantaranya adalah undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang dan undang-undang

53

nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kebijakan legislasi pemberantasan korupsi sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur mengenai pembuktian terbalik. Hal ini disebabkan oleh perspektif kebijakan legislasi yang memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures).

1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kebijakan formulasi dalam UU No. 3 Tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembuktian terbalik. Ketentuan Pasal 17 UU No. 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut : (1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. (2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperkenankan dalam hal: a. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau b. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum. (3) Dalam hal terdakwa dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. (4) Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan

54

tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.38 Selanjutnya, ketentuan pasal 18 UU No. 3 Tahun 1971 tentang kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta-benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh Hakim. (2) Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan setiap saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.39

Dalam penjelasan pasal 17 ayat (1), aturan mengenai pembuktian terbalik tidak diikuti sepenuhnya meskipun hal ini tidak berarti bahwa pasal ini menghendaki suatu pembuktian yang terbalik. Pembuktian terbalik akan mengakibatkan penuntut umum dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa. Sebaliknya, terdakwa dibebani untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam pasal ini hakim memperkenankan terdakwa memberi keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, tetapi segala sesuatu yang dapat lebih memberikan kejelasan tentang perkara tersebut. Apabila dianalisis berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka pembuktian terbalik hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Konsekuensi logisnya, pembuktian terbalik tidak dimiliki terdakwa sebagai hak dan terdakwa baru dapat mempergunakan
38 39

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 17 Ibid, Pasal 18

55

pembuktian terbalik sepanjang hakim memperkenankan untuk kepentingan pemeriksaan. Oleh karena itu, ada tidaknya ketentuan tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap hak terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Pada ayat (3) dijelaskan bahwa keterangan pembuktian itu adalah bahan penilaian bagi hakim yang dapat dipandang sebagai hal yang menguntungkan atau merugikan terdakwa. Keterangan yang menguntungkan atau merugikan tersebut bukanlah hal yang mengandung suatu penghukuman atau pembebasan dari penghukuman. Apabila terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian penuntut umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. Dapat dikatakan lebih jauh, tanpa adanya ketentuan itu, dalam persidangan terdakwa lazimnya akan menyangkal dakwaan yang diajukan kepadanya dan sedapat mungkin berusaha lepas dari dakwaan jaksa penuntut umum. Penjelasan pasal 18 menjelaskan kalau terdakwa dalam perkara pidana korupsi tidak dapat memberikan keterangan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut selain dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi-saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi juga dapat dipandang suatu petunjuk adanya perbuatan memperkaya diri seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sub a. Berbeda dengan penilaian harta benda yang dahulu diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang bersifat perdata maka kewajiban terdakwa memberi keterangan tentang sumber kekayaannya hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana (korupsi). Apabila dianalisis berdasarkan penjelasan pasal tersebut mengenai

56

pembuktian terbalik baik terhadap kesalahan maupun harta kepemilikan pelaku tindak pidana diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu. Pembuktian terbalik tersebut juga tidak dapat dijadikan hakim sebagai dasar untuk memutuskan terdakwa bersalah atau tidak walaupun terdakwa telah membuktikan hasil harta kekayaannya karena hakim juga harus melihat pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum.

2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kebijakan hukum Indonesia mengenai pembuktian terbalik juga diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 yaitu di dalam Pasal 37. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut : (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.40

Kemudian penjelasan ketentuan Pasal 37 tersebut menentukan bahwa ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti
40

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37

57

melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 bahwa terdakwa menggunakan pembuktian terbalik merupakan hak dari terdakwa bukan atas perkenan hakim untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana Ketentuan UU No. 3 Tahun 1971. Ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 memberikan keleluasaan bagi hak terdakwa untuk membuktikan secara negatif tentang ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana korupsi. Dikaji dari perspektif hukum, kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik pada Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap menggunakan teori pembuktian negatif. Selain itu, dikaji dari beban pembuktian, undang-undang tersebut tetap mengacu pada kewajiban penuntut umum untuk membuktikan membuktikan. dakwaannya disamping terdakwa mempunyai hak untuk

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UndangUndang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Beberapa ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 masih terdapat banyak kelemahan sehingga dilakukan perbaikan dengan mengeluarkan UU No. 20 Tahun 2001. Perbaikan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU No. 20 Tahun 2001. Apabila diperbandingkan, pada ketentuan

58

Pasal 37 ayat (1) baik dalam UU No. 31 Tahun 1999 maupun UU No. 20 Tahun 2001 adalah sama, sedangkan untuk ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 maupun UU No. 20 Tahun 2001 ada sedikit perbedaan dan penyempurnaan. Penyempurnaan terhadap undang-undang tersebut memunculkan dua pengertian dalam hal pembuktian terbalik. Pengertian pembuktian terbalik tersebut bisa diartikan secara luas dan sempit. Pembuktian terbalik dalam arti luas terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 38B dimana pengertian pembuktian terbalik adalah terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah atas dakwaan yang ditujukan kepadanya dan bahwa setiap harta benda yang dimilikinya bukan hasil tindak pidana korupsi Sedangkan pembuktian terbalik dalam arti sempit terdapat dalam Pasal 12 B mengenai gratifikasi. Dimana pengertian pembuktian terbalik adalah terdakwa yang melakukan gratifikasi dengan nilai di atas 10 juta wajib membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukan suap. Pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 adanya penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya diubah menjadi pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Sehingga bunyi keseluruhan dari Pasal 37 adalah sebagai berikut : (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

59

Dalam penjelasan pasal tersebut, ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination), kemudian penjelasan ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang. Selain itu, pembuktian terbalik juga diatur dalam ketentuan Pasal 37A UU No. 20 Tahun 2001 yang berasal dari pemenggalan ayat (3), (4) dan (5) Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999. Apabila dianalisis, pembuktian terbalik merupakan hak dari terdakwa. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka hal itu sudah menjadi dasar untuk menyatakan dakwaan tidak terbukti. Oleh karena itu kepadanya harus dijatuhkan putusan bebas (vrijspraak requitool) berdasarkan pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sekilas, undang-undang tersebut menggunakan pembuktian terbalik secara mutlak. Namun di dalam Pasal 37 A ayat 3 disebutkan lain bahwa Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Dimana Pasal 37A ayat (3), UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-

60

undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.41

Apabila dianalisis, maka pengertian rumusan Pasal 37 adalah seolah-olah terdakwa saja yang membuktikan. Namun rumusan pada Pasal 37 ayat (3) mengatakan Jaksa Penuntut Umum juga harus membuktikan dakwaannya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa rumusan mengenai pembuktian terbalik tidak mempunyai batasan yang jelas karena tidak diatur bagaimana prosedur dan cara yang harus dilakukan terdakwa dalam penerapan pembuktian terbalik itu dan tidak mengatur syarat atau standar yang harus dipenuhi agar terdakwa dapat dinyatakan mampu atau berhasil membuktikan dirinya tidak bersalah. Sehubungan dengan itu, maka para ahli hukum berpendapat bahwa prosedur dan cara serta syarat atau standar pembuktian yang harus dipenuhi tetap berpatokan pada cara dan prinsip Pasal 183 KUHAP. Kebijakan hukum terhadap formulasi pembuktian terbalik juga diatur dalam ketentuan Pasal 38B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi bahwa : Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.42

41 42

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 37A Ibid, Pasal 38 B

61

Pada hakikatnya, ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik mengenai harta benda yang belum didakwakan dalam rangka menjatuhkan pidana perampasan dimana terdakwa wajib dibebani wajib bukti untuk membuktikan harta tersebut bukan hasil korupsi serta berhasil atau tidaknya tergantung kepada kemampuan atau keberhasilan terdakwa membuktikan sumber perolehan harta benda yang belum didakwakan tersebut. Akan tetapi, perampasan harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, melainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana pokok. Apabila dianalisis, kebijakan hukum terhadap formulasi pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 mengundang problematis yang menyebabkan adanya ketidakjelasan perumusan pengaturan norma pembuktian terbalik yang mengakibatkan ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan dalam ketentuan UU tersebut. Apabila dijabarkan tentang eksistensi ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, 37A dan 38B UU No. 20 Tahun 2001 tersebut dapat dilihat dari beberapa segi. Apabila dikaji dari segi perumusan tindak pidana, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakjelasan perumusan norma pembuktian terbalik. Di satu sisi, pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi yang dirumuskan secara tegas dalam pasal 12 B yang berbunyi : 1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

62

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.43 Namun disisi lain tidak dapat diterapkan kepada penerima gratifikasi karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional : Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Karena itu, terdapat kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional dianggap pemberian suap. Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara maka gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan dianggap pemberian suap, tetapi sudah termasuk tindakan penyuapan. Eksistensi asas pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksionaldianggap pemberian suap, tetapi harus kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya dan yang melakukan pekerjaan yang

bertentangan dengan kewajiban. Selain itu, apabila dikaji dari rumusan pasal 12B, tidak ada perbedaan secara substantif yang ada hanya perbedaan prosedural, yaitu untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima, sedangkan untuk gratifikasi jenis kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap), pada penuntut umum. Apabila dikaji, pembuktian dalam
43

Ibid, Pasal 12B

63

gratifikasi tidak dapat disebut sebagai pembuktian terbalik yang mutlak, melainkan beban pembuktian berimbang. Teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam artian terdakwa dan Penuntut saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa. Secara normatif, ketentuan pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan sebagai pembuktian terbalik. Akan tetapi, dari perspektif praktik dan sebagai suatu hak, ketentuan Pasal 37 ayat (1) tidak mempunyai pengaruh terhadap ada atau tidaknya pasal tersebut dicantumkan. Begitu juga halnya dengan ketentuan Pasal 38B UU No. 20 Tahun 2001. Pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan hanya dapat dilakukan terhadap pembuktian perkara pokok sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sesuai ketentuan Pasal 38B ayat (1). Analisis ketentuan pasal ini bahwa pembuktian terbalik terhadap harta benda pelaku yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi tidak berhubungan dengan ketentuan Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Dikaji dari perspektif kebijakan formulatif, eksistensi pembuktian terbalik dikenal dalam tindak pidana korupsi sebagai ketentuan yang bersifat premium remidium dan sekaligus mengandung prevensi khusus. Konsekuensi logis, tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime, dan memerlukan extraordinary enforcement dan extraordinary measures maka aspek krusial dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi adalah upaya pemenuhan beban pembuktian dalam proses yang dilakukan aparat penegak hukum.

64

4. Kebijakan Aplikasi terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya penuntut umum yang melakukan penuntutan dan terdakwa atau beserta penasihat hukumnya. Tegasnya, praktik perkara korupsi di Indonesia pada tataran aplikatifnya tidak mempergunakan pembuktian terbalik padahal perangkat hukum memberikan hak kepada terdakwa dan atau Penasihat Hukumnya, Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim untuk menerapkan pembuktian terbalik baik terhadap kesalahan pelaku maupun tentang kepemilikan harta benda pelaku yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU no. 30 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

65

Apabila dianalisis, maka KPK yang mempunyai wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tersebut maka KPK berwenang di dalam menangani kasus gratifikasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara sesuai dengan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, KPK juga harus terlibat terhadap kebijakan aplikasi atas formulasi tentang pembuktian terbalik. Berikut ini penulis menyajikan data penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Negeri Semarang di dalam tabel. Tabel yang disampaikan tidak mengungkap mengenai jumlah perkara korupsi yang telah berhasil ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan Negeri Semarang, namun memngungkap fakta bahwa dari sekian kasus korupsi yang ditangani tidak ada yang menggunakan pembuktian terbalik. Data penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dari Tahun 2004 -2008 : Tabel 1 Penanganan Kasus oleh KPK Tahun 2004 Uraian Dilimpahkan ke pengadilan Tahap penyidikan Dilimpahkan Kejaksaan ke Kepolisian/ Jumlah 2 1 3

66

Dihentikan penyelidikannya Proses pengumpulan alat bukti Jumlah Sumber : Laporan Tahunan KPK Tahun 2004

3 17 26

Selama tahun 2004 (sejak Maret 2004- awal tahun 2005), KPK telah menangani 26 perkara korupsi yang terdiri dari 2 perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, 1 perkara masih dalam penyidikan, 3 perkara dihentikan penyelidikannya dan 17 perkara masih dalam proses pengumpulan alat bukti. Tabel 2 Jumlah kasus/perkara yang ditangani oleh KPK selama tahun 2005-2008 Tahun 2005 2006 2007 2008 Penyelidikan 31 50 68 70 Penyidikan 19 15 29 53 Penuntutan 19 24 24 43 Eksekusi 5 6 21 25 Jumlah 74 95 142 191

Sumber: Laporan Tahun Tahun 2005-2008

Dari setiap perkara korupsi yang ditangani oleh KPK dari tahun 20042008 mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai putusan, terdakwa tidak menggunakan haknya untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Selain itu, KPK belum pernah menangani kasus gratifikasi sampai tahun 2009.

67

Berikut ini penulis menyajikan data penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Semarang periode 2004 2009 :

68

PENANGANAN PERKARA KORUPSI PERIODE 2004 s/d 2009 TAHAP PENUNTUTAN NO 1. TERSANGKA/TERDAKWA KASUS POSISI 2004 IR. IRWANSYAH Penyimpangan pelaksanaan pengadaan kapal Departemen Kehakiman Propinsi Jawa Tengah SOEWONDO, Bc. IP. Penyimpangan pelaksanaan pengadaan kapal Departemen Kehakiman Propinsi Jawa Tengah KERUGIAN NEGARA laut di Rp. 1.346.756.840,KETERANGAN Banding

2.

laut

di Rp. 1.346.756.840,-

Banding/ Eksekusi

3. 4. 5.

DRA. ETTY HERMIWATY DRS. JFM SUWANDI HARI PRABOWO, SE 2005

Penyimpangan pengelolaan keuangan IKIP Veteran Semarang Penyimpangan pengelolaan IKIP Veteran Semarang Penyimpangan pengelolaan PT. BJS Semarang

Rp. 1.210.841.780,Rp. 1.210.841.780,Rp. 45.252.156.148,-

Kasasi Kasasi Kasasi/ Eksekusi

1.

MOCH. HASBI, DKK

Penyimpangan penyusunan Anggaran Belanja DPRD Jawa Rp. 14.811.642.200,Tengah tahun 2003 Penyimpangan penyusunan Anggaran Belanja DPRD Jawa Rp. 14.811.642.200,Tengah 2003 Dobel anggaran pada APBD Kota Semarang Rp. 2.160.000.000,-

Kasasi

2.

SOBRI HADIWIDJAYA,DKK SHONHAJI, DKK

Kasasi

3.

Kasasi

69

4. 5. 6.

ISMOYO, DKK FATURRAHMAN, DKK IBNU SUDJOKO

Dobel anggaran pada APBD Kota Semarang Dobel anggaran pada APBD Kota Semarang

Rp. 2.160.000.000,Rp. 2.160.000.000,-

PK/Eksekusi PK/Eksekusi Kasasi/Eksekusi

Penyimpangan pembelian BBM pada Pertamina UPMS IV Rp. 10.300.000.000,Jateng dengan cara menambah sales order BBM lebih besar dari jumlah pembayaran untuk SPBU 44.50703 Tingkir Penyimpangan penyusunan rencana anggaran belanja DPRD Rp. 14.811.642.200,tahun 2003 Penyimpangan penyusunan rencana anggaran belanja DPRD Rp. 14.811.642.200,tahun 2003 Penyimpangan Semarang penyaluran bantuan beasiswa walikota Rp. 974.167.000,-

7.

MARDIJO

PK/Eksekusi

8.

ASYROFI,DKK

Kasasi

9.

DRS.SUDJOKO,DKK

Kasasi

2006 1. WIRAWAN, SH Penyimpangan dana Diklat Pengembangan SDM pada Bank Rp. 84.489.314,Jateng Penyimpangan proyek pengadaan tanah untuk Balai Diklat Rp. 1.285.515.200,Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah Penyimpangan proyek pengadaan tanah untuk Balai Diklat Rp. 1.285.515.200,Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah Kasasi

2.

DRS. CHABIB THOHA, DKK DRS. BUCHORI MUSLIM, DKK

Kasasi/Eksekusi

3.

Kasasi/Eksekusi

70

2007 1. FATURRAHMAN,DKK Penyimpangan pembayaran premi asuransi anggota DPRD Rp. 1.836.000.000,Kota Semarang Penyimpangan pengadaan Politeknik Negeri Semarang Penyimpangan pengadaan Politeknik Semarang Penyimpangan pengadaan Politeknik Semarang Penyimpangan pengadaan Politeknik Semarang peralatan dan laboratorium Rp. 1.360.000.000,Banding

2.

PRANTIYONO

Kasasi

3.

DRS. SUGIHARTO

peralatan

dan

laboratorium Rp. 1.360.000.000,-

Kasasi

4.

JOKO TRIWARDOYO,ST

peralatan

dan

laboratorium Rp. 1.360.000.000,-

Banding

5.

DENY KRISWANTO,ST

peralatan

dan

laboratorium Rp. 1.360.000.000,-

Kasasi

6.

KAMSURI,SH,MM

Penyimpangan pemberian kredit dari Bank Jateng kepada PT. US $ 5.600.000 Tensindo Sedjati Penyimpangan pemberian kredit dari Bank Jateng kepada PT. US $ 5.600.000 Tensindo Sedjati

Kasasi

7.

WIDJIANTO, SE, MM

Kasasi

2008 1. DRS. KUSRIN Penyimpangan bantuan kontigensi dari Pemkot Semarang di Rp. 20.000.000,Kec. Mijen, Kota Semarang. (Penyidik Polwiltabes Semarang) Eksekusi

71

2009 1. AFFANDI, SH,MM Melakukan pemerasan terhadap Paguyuban Angkutan Lintas Rp. 12.500.000,Malam (PALM) untuk pengurusan ijin trayek. Tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan bantuan fasilitas dan Rp. 50.000.000,stimultan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungan rumah tangga miskin berbasis pemberdayaan masyarakat tahun 2008 pada pengaspalan jalan RT 03 RW 04 Kel. Bongsari, Kec. Semarang Barat, Kota Semarang Tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan dana bantuan sosial Rp. 50.000.000,bidang keagamaan tahun anggaran 2008 pada Mesjid At Taqwa Kel. Poderejo Kec. Ngaliyan, Kota Semarang Eksekusi

2.

EDDY SUBAGYO

Proses Persidangan

3.

HASYIM NGABDUL ROSYID

Proses Persidangan

Sumber : Kejaksaan Negeri Semarang

72

Dari data penuntutan periode 2004-2009 yang dilakukan Kejaksaan Negeri Semarang, belum pernah diterapkan pembuktian terbalik di dalam proses persidangannya. Namun, menurut Bima Suprayoga, penggunaan pembuktian terbalik diberikan jaksa penuntut umum pada saat penyidikan.44 Terdakwa juga sebenarnya dapat menerapkan pembuktian mengenai dirinya di dalam pembelaan atas tuntutan jaksa penuntut umum. Hal ini sudah dikatakan secara tersirat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 182 yang berbunyi : a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum

mengajukan tuntutan pidana b. Selanjutnya terdakwa atau penasehat hukum mengajukan

pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penuntut umum selalu mendapat giliran terakhir. Dari pasal ini dapat dilihat bahwa pembuktian terbalik dapat diterapkan pada saat pembelaan yang dilakukan oleh terdakwa di dalam argumentasi yang meringankan, memberikan tangkisan-tangkisan atau sanggahan atas tuntutan jaksa penuntut umum. Menurut Yunianto, pembuktian terbalik merupakan hak dari terdakwa yang merupakan kewajiban bagi hakim untuk memperkenankan terdakwa melakukan pembuktian sesuai dengan Pasal 37 dan 38 A dan B. Namun telah diuraikan bahwa rumusan pasal 37 tidak menjelaskan mengenai prosedur dan cara
Wawancara dengan Bima Suprayoga, Bagian Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Semarang, Desember 2009
44

73

terdakwa dalam melakukan pembuktian tersebut. Oleh karena itu cara hakim di dalam menerapkan pembuktian terbalik dalam persidangan adalah ketika terdakwa menyangkal bahwa harta benda yang ada bukan dari hasil korupsi maka hakim harus memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikannya. Namun sejauh ini, pembuktian terbalik tersebut belum pernah diterapkan.45

Kendala-Kendala Dalam Menerapkan Pembuktian Terbalik Dari hasil wawancara penulis dengan Rasamala Aritonang anggota Biro Hukum KPK kendala yang menyebabkan belum diterapkannya pembuktian terbalik karena belum ditemukannya kasus gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal pembuktian terbalik tersebut hanya untuk ketentuan Pasal 12B yaitu gratifikasi. Namun sesuai rumusan Pasal 12B bahwa setiap kasus gratifikasi terhadap penyelanggara negara akan dianggap sebagai penyuapan karena itu belum pernah ditemukan kasus korupsi. Aplikasi tentang pembuktian terbalik yang dilakukan oleh penyelenggara negara hanya sebatas melakukan pemeriksaan administrastif atas Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN) sesuai dengan ketentuan Pasal 37A kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai kewajiban agar apabila terjadi korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mempunyai alat bukti yang kuat. Kewajiban pelaporan kekayaan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mencegah terjadinya korupsi oleh penyelenggara negara. Dan di dalam penerapan formulasi pembuktian terbalik

Wawancara dengan Yunianto, Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Semarang, Februari 2010

45

74

yang berkaitan dengan kepemilikan harta, KPK secara formil tidak mempunyai kewajiban. Selain kendala di atas, terdapat beberapa kendala di dalam menerapkan pembuktian terbalik tersebut, yaitu : Pertama, ditemukan ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma pembuktian terbalik dalam rumusan pasal gratifikasi karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya tidak ada. Konsekuensi logis demikian menimbulkan asumsi bahwa pembuktian terbalik relatif ada dalam kebijakan formulasi namun tidak ada dan tidak dapat diterapkan dalam kebijakan aplikasi. tersebut, Dalam belum kasus pernah gratifikasi yang mempunyai karena sulit

ketidaksinkronan

juga diterapkan,

membedakan apakah perkara tersebut memenuhi unsur delik gratifikasi atau delik penyuapan.46 Konkretnya apabila pembuktian terbalik akan diminta untuk diterapkan, kemungkinan ada kendala substansial yang memicu problematik yuridis apakah benar ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi Indonesia (Pasal 12B, Pasal 37, 37A dan 38B UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001) menganut pembuktian terbalik karena terkendala adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma di dalamnya.47 Kedua, apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya akan

mempergunakan haknya melakukan pembuktian terbalik, relatif akan sulit untuk membuktikan secara negatif ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana

Wawancara dengan Rasamala Aritonang, Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, 15 Januari 2010 47 LIlik Mulyadi, Op.Cit, hal 185

46

75

korupsi dikarenakan adanya kelemahan dalam mengumpulkan alat bukti karena aspek administrasi yang kurang tertata rapi. Di samping itu, korelasi dengan aspek korupsi yang tidak bersifat sendirian , tetapi dilakukan oleh beberapa orang relatif tidak mungkin untuk mendapatkan bukti-bukti guna mendukung

ketidakbersalahan seorang pelaku melakukan tindak pidana korupsi. Ketiga, terkadang terdakwa tidak mengetahui bahwa dia mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi terhadap Pasal 37 yang seharusnya diberitahukan oleh penasihat hukum dari terdakwa.48 Perumusan pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi sebenarnya ditujukan dalam rangka pengembalian uang atau aset negara (asset recovery). Oleh karena itu, pola pembuktian terbalik yang diterapkan lebih kepada aspek kepemilikan harta dari si terdakwa.49 Dalam wawancara penulis dengan Bima Suprayoga, beliau menyatakan bahwa pembuktian mengenai harta kekayaan dan kesalahan terdakwa yang dilakukan oleh pihak terdakwa sudah dilakukan. Pembuktian terbalik tersebut mulai dilakukan didalam proses penyidikan yang dilakukan oleh jaksa. Jaksa sebagai penyidik meminta tersangka atau terdakwa kasus korupsi untuk memberikan keterangan terkait dengan perkaranya. Namun hal tersebut tidak ada perbedaan dengan KUHAP mengenai hak terdakwa untuk memberikan keterangan mengenai yang didakwakan terhadapnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 52 KUHAP yang menyebutkan dalam pemeriksaan pada tingkat
48 49

Wawancara dengan Bima Suprayoga, Op.Cit Ibid

76

penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Namun kendala yang dihadapi oleh jaksa sebagai penyidik yaitu terdakwa tidak mau berterus terang mengenai keterangan yang dia berikan termasuk keterangan mengenai kepemilikan harta terdakwa dalam perkara korupsi.50 Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 66 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Kondisi terdakwa dikatakan sudah menggunakan pembuktian pada saat terdakwa memberikan keterangan di penyidikan atau melampirkannya dalam setiap pembelaan yang terdakwa lakukan di dalam proses persidangan. Oleh karena itu, menurut beliau, alasan belum diterapkannya pembuktian terbalik tersebut, karena undang-undang

merumuskannya tidak total dan masih terbatas. Tidak total dan masih terbatas maksudnya masih terdapat pembagian pembuktian di dalam membuktikan dakwaan penuntut umum. Pembuktian terbalik tersebut bisa efektif diterapkan apabila undang-undang jelas merumuskan pembuktian terbalik tersebut secara mutlak, jadi hanya terdakwa yang berhak membuktikan dakwaan sedangkan Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan dakwaannya. Selain itu perlu ditingkatkan kualitas sumber daya aparat penegak hukumnya dalam pemahaman akan penggunaan pembuktian terbalik di dalam penanganan tindak pidana korupsi.

50

Ibid

77

B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik Di Masa Mendatang

1. Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Apabila dikaji dari setiap undang-undang yang sedang atau pernah berlaku di Indonesia, terdapat batasan dan rumusan yang kurang jelas mengenai formulasi pembuktian terbalik tersebut. Oleh karena itu, kebijakan hukum terhadap formulasi pembuktian terbalik di dalam undang-undang tindak pidana korupsi dapat merumuskan mengenai pembuktian terbalik secara lengkap serta memiliki batasan yang jelas. Dalam rancangan undang-undang tindak pidana korupsi yang diajukan oleh Koalisi Pemantau Peradilan terdapat rumusan tentang pembuktian terbalik. Di dalam ketentuan Pasal 49 RUU Tipikor tersebut disebutkan bahwa : (1) Pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 9 dan pasal 15 (2) Pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan pada tahap pemeriksaan pendahuluan atau pada tahap pemeriksaan alat bukti di persidangan Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka berbeda dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 yang membedakan pengertian pembuktian terbalik ke dalam dua pengertian. Ketentuan di dalam rancangan undang-undang ini telah merumuskan secara jelas bahwa pembuktian terbalik berlaku terhadap tindak pidana korupsi menurut Pasal 9 dan Pasal 15.

78

Tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam pasal 9 menyebutkan bahwa : (1) Dipidana dengan penjara paling singkat 2 tahun 6 bulan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) a. Pejabat publik yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. b. Pejabat publik yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; c. Pejabat publik yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; (2) Setiap gratifikasi yang diterima oleh pejabat publik dianggap sebagai penerimaan suap dengan ancaman pidana yang sama dengan ayat 1, kecuali apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa penerimaan gratifikasi tersebut tidak berkaitan dengan kekuasaan atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya. (3) Ketentuan ayat (2) tidak berlaku jika dalam waktu selama-lamanya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya gratifikasi tersebut penerima melaporkan dan menyerahkan gratifikasi tersebut kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk ditentukan apakah gratifikasi tersebut dapat menjadi milik penerima atau menjadi milik negara. (4) Pelaporan gratifikasi yang dilakukan oleh penerima gratifikasi tidak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pemberi gratifikasi; (5) Ketentuan mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam penjelasan Pasal 9 ayat (2) RUU Tipikor tersebut jelas disebutkan bahwa ketentuan ini merupakan ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian yang dirumuskan di dalam pasal 49. Setiap gratifikasi akan dianggap sebagai penyuapan apabila terdakwa bisa membuktikan bahwa gratifikasi tersebut tidak ada hubungannya dengan kekuasaan atau

kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya. Apabila dianalisis, maka

79

rumusan mengenai pembuktian terbalik jelas bahwa pembuktian gratifikasi hanya dilakukan oleh terdakwa sebagai penerima gratifikasi sedangkan jaksa penuntut umum tidak mempunyai hak untuk membuktikan. Hal ini berbeda dengan rumusan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 bahwa setiap penerimaan gratifikasi yang nilainya dibawah 10 juta rupiah dilakukan oleh penuntut umum. Tindak Pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5 RUU Tipikor menyebutkan bahwa : (1) Pejabat publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang tidak seimbang dengan pendapatannya secara sah dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun dan atau denda 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) (2) Kekayaan yang diperoleh dari pendapatan yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dirampas untuk negara. Dalam penjelasan pasal 15 tersebut menjelaskan bahwa ketentuan ini merupakan penerapan atas asas pembalikan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 49 RUU ini. Dan yang dimaksud dengan kekayaannya termasuk juga kekayaan istri atau suami dan anak yang berasal dari terdakwa. Selain itu, katakata redaksional mengenai kekayaan yang tidak seimbang dengan pendapatannya adalah apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa setiap kekayaan yang dia miliki berasal dari pendapatannya atau dari setiap tunjangan atas prestasinya dan jabatannya maka terdakwa dianggap telah melakukan korupsi dan akan dipidana. Oleh karena itu, setiap harta yang diperoleh bukan dari pendapatannya akan dikembalikan kepada negara. Hal ini terkait dengan akibat yang ditimbulkan karena dilakukannya tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara.

80

Jadi, berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat (1) RUU Tipikor tersebut menjelaskan bahwa pembalikan beban pembuktian dilakukan hanya terdapat perkara gratifikasi dan ketidakseimbangan antara pendapatan dan kekayaan yang dimiliki oleh pejabat publik. Selain itu, rumusan kapan diterapkannya pembalikan beban pembuktian juga jelas di dalam ayat (2) bahwa pembuktian terbalik dilakukan pada saat pemeriksaan pendahuluan dan pada saat tahap pemeriksaan alat bukti. Hal ini jelas lebih baik dari pengaturan undang-undang tindak pidana korupsi saat ini yang tidak ditentukan mengenai kapan mulai diterapkan pembuktian terbalik tersebut. Namun, kebijakan formulasi terhadap pasal-pasal yang menggunakan pembuktian terbalik, lebih difokuskan terhadap pengembalian keuangan negara dan kepemilikan harta, sedangkan aspek kesalahannya tidak dijelaskan. Menurut Rasamala Aritonang, sangatlah perlu dirumuskan secara eksplisit mengenai waktu penerapan dari pembuktian terbalik karena ketidakjelasan mengenai kapan mulai digunakan hak tersebut juga menjadi kendala sampai saat ini sehingga pembuktian terbalik tersebut belum pernah diterapkan.51

2. Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Kebijakan formulasi pembuktian terbalik di masa mendatang juga terdapat dalam rancangan undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi. Di dalam isi

51

Wawancara dengan Rasamala Aritonang, Op. cit

81

naskah akademik dijelaskan bahwa proses persidangan yang panjang dan memakan waktu lama akan berakhir dengan pembacaan putusan oleh majelis hakim. Putusan bersalah atau tidak seorang terdakwa didasarkan pada hasil pembuktian di persidangan. Proses pembuktian di persidangan dilakukan dengan sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut di dalam hukum acara pidana yaitu sistem pembuktian negative wettelijk bewjis theory. Teori sistem pembuktian tersebut mensyaratkan hakim untuk menjatuhkan pidana berdasarkan alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang disertai dengan keyakinan hakim. Hukum acara pidana yang berlaku mensyaratkan minimum dua alat bukti sebagai dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa bersalah atau tidak. Minimum dua alat bukti dan keyakinan hakim merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak adanya salah satu unsur pembuktian tersebut akan menyebabkan putusan hakim menjadi batal demi hukum. Namun demikian, mengingat tindak pidana korupsi yang semakin canggih, maka harus diakomodir dengan dirumuskannya ketentuan Pasal 52 RUU Pengadilan Tipikor bahwa alat bukti yang tidak hanya telah diatur dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku, tetapi alat bukti lain yang meliputi: informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,

82

suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau porforasi yang memiliki makna. Kebijakan formulasi tersebut dirumuskan untuk memudahkan pembuktian dan mendukung kelancaran penyelesaian perkara korupsi, sehingga perlu diakomodir sistem pembuktian terbalik (reverse of burden proof) dimana ketentuan ini diatur dalam Pasal 54 RUU Pengadilan Tipikor yang menyebutkan bahwa: (1) Terdakwa berhak membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (3) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh bukan sebagai hasil tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Beban pembuktian secara terbalik, yang diserahkan kepada seorang terdakwa, pada dasarnya bertentangan dengan asas kesalahan yang dianut dalam sistem hukum pembuktian yang mengacu pada kewajiban jaksa penuntut umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa. Walaupun demikian di beberapa negara, termasuk Indonesia telah diambil kebijakan hukum, khususnya dalam

83

pemberantasan tindak pidana korupsi, agar untuk tindak pidana korupsi tertentu digunakan ketentuan bahwa beban pembuktian diserahkan kepada tersangka/ terdakwa. Hal ini diperlukan hanya untuk memudahkan pembuktian. Jenis tindak pidana korupsi tertentu, yakni : gratifikasi, suap, dan illicit enrichment dapat menggunakan pembuktian semacam ini. Kepada tersangka/terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa keuntungan/kekayaan yang diperoleh bukan berasal dari gratifikasi, suap atau perolehan yang tidak sah. Kesempatan tersebut dapat diberikan kepada tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam persidangan sebelum tuntutan jaksa penuntut umum dibacakan. Jika tersangka/terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan hal-hal seperti yang didakwakan, hakim wajib memasukkan dalam pertimbangan hukumnya dan menyatakan terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Jika hal itu terjadi dalam pemeriksaan pendahuluan, maka putusan akan berbunyi : dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima. Penjelasan mengenai kebijakan formulasi pembuktian terbalik tersebut memberikan batasan yang jelas mengenai aplikasi pembuktian terbalik tersebut. Dimana, pembuktian terbalik tersebut berlaku hanya untuk tindak pidana gratifikasi, suap serta perolehan harta kekayaan yang tidak sah. Selain itu dirumuskan juga mengenai kapan pembuktian terbalik tersebut diterapkan yaitu pada saat pemeriksaan pendahuluan. Hal ini serupa dengan yang diatur dalam rancangan undang-undang tindak pidana korupsi di masa yang akan datang.

84

3. Formulasi Pembuktian Terbalik Di Beberapa Negara a) Negara Malaysia Pembalikan beban pembuktian secara tegas, hanya ditemukan di dalam Pasal 42 yang mengatur tentang pembuktian (evidence). Meskipun hanya menyangkut pemberian (gratification). Pasal tersebut berbunyi : Where in any proceedings against any person for an offence under section 10, 11, 13, 14, or 15 it is proved that any gratification has been accepted or agreed to be accepted, obtained, or attemped to be abtained, solicited, given or agreed to be given, promised or offered by or to the accused, the gratification shall be presumed to have been corruptly accepted or agreed to be accepted, obtained or attempted to be obtained, solicited, given or agreed to be given, promised, or offered as an inducement or a reward for or on account of the matters set out in the particulars of the offence, unless the contrary is proved.52

Apabila diartikan maka pada setiap proses terhadap setiap orang yang didakwa melanggar Pasal 10, 11, 13, 14, atau 15, telah dibuktikan bahwa suatu pemberian (gratification) telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh, atau dicoba untuk diperoleh, didapatkan, diberikan atau setuju untuk diberikan dijanjikan, atau ditawarkan oleh atau kepada terdakwa maka pemberian itu dianggap secara korup telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh atau dicoba untuk diperoleh, didapat, diberikan, atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan sebagai suatu bujukan atau hadiah untuk suatu atau karena hal yang dinyatakan khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya.

52

Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 53

85

Di dalam rumusan ini ternyata bahwa pembuktian terbalik berlaku bagi penerima (passieve omkoping) dan pemberi (actieve omkoping) dengan kata-kata by or to the accused (oleh atau kepada terdakwa). Pada ayat (2) Pasal 42 ACA dinyatakan, bahwa ketentuan tentang pembuktian terbalik berlaku juga bagi delik suap di dalam Penal Code (KUHP). Lengkapnya berbunyi: Where in any proceedings against any person for an offence under section 161, 163, or 164 of the Penal Code, it is proved that such person has accepted or agreed to accept, or obtained or attempted to obtain any gratification, such person shall be presumed to have done so as motive or reward for the matters set out in the particulars of the offence, unless the contraty is proved.53 Apabila diartikan maka pada semua proses terhadap semua orang yang didakwa melanggar Pasal 161, 162, atau 164 KUHP, telah dibuktikan bahwa orang itu telah menerima atau setuju menerima atau memperoleh atau mencoba untuk memperoleh suatu pemberian (gratification), maka orang itu dianggap telah melakukan perbuatan demikian sebagai motif atau hadiah atas hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Rumusan kata-kata hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu adalah bagian dari inti delik (bestanddelen) yang harus dibuktikan oleh penuntut umum, menjadi tidak usah dibuktikan tetapi terdakwalah yang membuktikan. Hal ini tentu berbeda dengan kebijakan formulasi di Indonesia bahwa di dalam gratifikasi diterapkan pembuktian terbalik yang berimbang, bahwa
53

Ibid, hal. 54

86

gratifikasi lebih dari 10 juta harus dibuktikan oleh terdakwa sebagai penerima gratifikasi sedangkan gratifikasi kurang dari 10 juta dibuktikan oleh penuntut umum.

b) Negara Singapura Singapura tergolong negara kecil dan paling kecil kasus korupsinya namun tetap menciptakan badan antikorupsi yang disebut CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau). Undang-undang anti korupsinya pun sudah ada sejak tahun 1960. Undang-undang ini telah berkali-kali diamandemen (tahun 1963, 1966, 1972, 1981, 1989, dan 1991). Nama resmi undang-undangnya adalah Prevention of Corruption Act disebut PCA. Undang-undang tersebut memuat hukum pidana materil dan hukum acara pidana. Adapun rumusan delik umumnya diambil dari KUHP-nya tanpa diubah sanksinya menjadi lebih berat seperti halnya Indonesia. Singapura membentuk komisi pemberantasan korupsi dipicu dengan kenyataan ekonominya yang tertumpu sebagai perantara dagang antara negara tetangganya dengan negara luar. Di dalam PCA diatur pembalikan beban pembuktian tetapi lain dari Malaysia yang mencantumkannya pada bagian acara (pembuktian). Singapura menjadikannya bagian dari rumusan delik, yang tercantum di dalam Pasal 8 PCA yang berbunyi : Where in any proceedings against a person for an offence under section 5 or 6 it is proved that any gratification has been paid or given to or received by a person in the employment of the Government or any department there of or any public body, that gratification shall be deemed to have been paid or given and received corruptly as an

87

inducement or reward as here in before mentioned unless the contrary is proved.54

Dapat diartikan bahwa yang berkaitan dengan pemerintah, yang berarti pemberian oleh seseorang kepada pejabat pemerintah yang mencari kontak dengan pemerintah atau departemen atau badan publik, dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Apabila dikaji, terdapat kebijakan formulasi dalam undang-undang negara Singapura hampir sama dengan kebijakan formulasi yang dirumuskan di Indonesia. Setiap pemberian akan dianggap sebagai suap apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa pemberian tersebut bukan suap.

c) Negara Hongkong Pembuktian terbalik juga sudah dilaksanakan di Hongkong yang tertera dalam Prevention of Bribery Ordinance 1970 Pasal 10 (1b) yang berbunyi: Mengenai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak seimbang dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi pada masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu dapat ia dikuasai.55 Jelas ketentuan ini menganut pembuktian terbalik, karena seseorang yang berada dalam posisi demikian dinyatakan bersalah melakukan korupsi, kecuali dia dapat membuktikan sebaliknya, yaitu membuktikan kekayaan yang dimilikinya diperoleh secara sah. Kalau ia tidak dapat membuktikan, ia dinyatakan terbukti

54 55

Ibid, hal. 65 www.google.com

88

melakukan korupsi. Hal ini berbeda dengan yang berlaku di Indonesia, dimana apabila terdakwa tidak dapat membuktikan apakah dia bersalah atau tidak, jaksa penuntut umum masih mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Jadi tidak seperti Hongkong yang menggunakan pembuktian terbalik mutlak, Indonesia menggunakan pembuktian terbalik berimbang. Penggunaan pembuktian terbalik yang mutlak mengakibatkan korupsi di negara Hongkong semakin mudah untuk diberantas. Dari uraian di atas, dapat dilihat terdapat banyak kekurangan terhadap kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi. Hal ini semakin terlihat jelas ketika kebijakan aplikasinya belum ada. Kalau berkaca dari kebijakan formulasi di negara Hongkong, maka kebijakan formulasi pembuktian terbalik di masa yang akan datang perlu dirumuskan secara jelas dan tegas mengenai pembuktian terbalik itu sendiri. Apabila melihat kondisi negara Indonesia dengan tindak pidana korupsi yang semakin merajalela, maka perlu diterapkan suatu usaha yang luar biasa yaitu dengan menggunakan pembuktian terbalik yang mutlak seperti yang sudah diterapkan oleh negara Hongkong.

89

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Formulasi serta Aplikasi Pembuktian Terbalik dalam Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi Saat Ini Pengaturan tindak pidana korupsi dimulai dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara eksplisit sudah mengatur mengenai pembuktian terbalik yaitu di dalam Pasal 17. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur mengenai pembuktian terbalik yaitu di dalam Pasal 37. Namun kebijakan di dalam formulasi pembuktian terbalik tersebut belum bisa mewakili keadaan dan situasi dalam penanganan tindak pidana korupsi saat itu dimana korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang sudah merugikan keuangan negara. Dikeluarkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan arah kebijakan yang lebih jelas dibandingkan undang-undang sebelumnya yaitu dengan adanya penyempurnaan

formulasi pembuktian terbalik. Formulasi pembuktian terbalik di bagi ke dalam dua pengertian yaitu secara luas dan sempit. Pembuktian Terbalik

90

secara luas terdapat di dalam pasal 37 dan 38B. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi memiliki hak untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah dan hasil kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Sedangkan pembuktian terbalik secara sempit yaitu terdapat dalam Pasal 12B yang menyebutkan bahwa pembuktian terbalik dilakukan oleh terdakwa yang didakwa menerima gratifikasi di atas sepuluh juta rupiah. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik saat ini sudah cukup efektif dalam menangani tindak pidana korupsi walaupun masih terdapat ketidakjelasan dalam perumusannya. Ketidakjelasan dalam formulasi pembuktian terbalik tersebut mengakibatkan kesulitan dalam menerapkan pembuktian terbalik tersebut. Dalam tataran aplikasi menurut ketentuan Undang-Undang No. 20 TAhun 2001, pembuktian terbalik belum pernah diterapkan. Hal ini disebabkan karena: a. ada ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan pembuktian terbalik dalam perkara gratifikasi b. Terdakwa dan penasehat hukumnya akan kesulitan didalam

mengumpulkan alat bukti karena aspek administrasi yang kurang tertata rapi. c. Terdakwa tidak mengetahui bahwa ia mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah

91

d. Tidak dirumuskannya secara jelas mengenai kapan, tata cara serta prosedur di dalam melakukan pembuktian terbalik. Dengan adanya kendala-kendala di atas, menyebabkan pembuktian terbalik hanya ada di dalam kebijakan formulasi namun tidak ada dalam kebijakan aplikasinya. 2. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Formulasi Pembuktian Terbalik dalam Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi di Masa Mendatang Kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik di masa mendatang diharapkan dapat mewakili keadaan atau situasi negara dalam menghadapi tindak pidana korupsi dimana tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa yang memerlukan upaya yang luar biasa juga. Hal ini bisa diwujudkan dengan menentukan kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik di masa mendatang. Dalam menentukan kebijakan tersebut perlu melihat kekurangan dari undangundang yang berlaku saat ini antara lain mengenai kapan, syarat, serta prosedur dalam melaksanakan pembuktian terbalik tersebut. Dalam Rancangan undang-undang tindak pidana korupsi pembuktian terbalik serta rancangan undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi sudah lebih baik dan jelas khususnya formulasi pembuktian terbalik di masa mendatang. Dalam rancangan itu secara jelas dirumuskan mengenai kapan diterapkannya pembuktian terbalik. Apabila terdakwa berhasil

membuktikan maka terdakwa akan bebas dari setiap dakwaan yang dituduhkan kepadanya sehingga aturan hukum seperti ini sudah lebih

92

sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang banyak dengan tindak pidana korupsi. Apabila dibandingkan dengan formulasi pembuktian terbalik di negara Malaysia, Singapura serta Hongkong maka Hongkong adalah negara yang telah berhasil di dalam menerapkan pembuktian terbalik sebagai sarana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

B. SARAN Saran yang dapat dianjurkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah : 1. Kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian terbalik yang akan datang diharapkan dapat dirumuskan lebih jelas lagi di dalam redaksionalnya mengenai pengertian, batasan dan kapan berlakunya pembuktian terbalik tersebut sehingga pembuktian terbalik dapat diterapkan. 2. Menurut penulis, para penegak hukum harus memahami rumusan pembuktian terbalik tersebut sehinngga mampu memberikan pemahaman kepada terdakwa kasus korupsi sehingga pasal pembuktian terbalik tersebut bisa diterapkan. 3. Dalam menentukan kebijakan hukum pidana terhadap formulasi pembuktian yang akan datang sebelumnya perlu dilakukan kajian mengenai pembuktian terbalik di negara Hongkong yang telah berhasil menerapkan pembuktian terbalik secara efektif yang berdampak tindak pidana korupsi di negara tersebut berhasil diatasi. Mengingat keberadaan

93

korupsi di negara Indonesia yang masih sulit diatasi dan telah menimbulkan kerugian yang besar terhadap negara maka kajian tersebut dapat digunakan untuk merumuskan peraturan perundang-undangan yang lebih jelas sehingga dapat diterapkan dengan mudah.

94

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998) Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana, 2008) Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang : UNDIP, 1994) Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001) Dari S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik, (Bandung: PT. Tarsito, 1968) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka) Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta : Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001) Indriyanto Seno Adji, Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001) Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2007)

95

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 20 Tahun 2001, (Bandung : Mandar Maju, 2009)

Muladi dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 2005) M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto, FH Undip, 1990) Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004)

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Hasta, Bandung) W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 1976)

PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

96

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

INTERNET www.google.com

LAPORAN Laporan Penuntutan Kejaksaan Negeri Semarang Laporan Tahunan KPK Tahun 2004-2008

97

You might also like