You are on page 1of 80

LATAR BELAKANG MASALAH Aksi terorisme modern internasional yang pertama terjadi pada tanggal 22 Juli 1968, yaitu

ketika tiga orang dari kelompok Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) membajak sebuah penerbangan komersil Israel El Al yang sedang terbang dari Roma, Italia ke Tel Aviv, Israel. Aksi ini menjadi sorotan dunia internasional karena secara jelas menggambarkan sebuah kegiatan yang mempunyai tujuan-tujuan politis dan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan tujuan tersebut [1][1]. Selang 53 tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 September 2001, dunia internasional kembali dikejutkan dengan sebuah aksi terorisme yang fenomenal. Tiga pesawat penerbangan komersil Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakan ke menara kembar Twin Towers World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon. Dikenal dengan sebutan Tragedy 911, kejadian ini menjadi titik tolak persepsi dunia internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk memerangi terorisme. Kerugian yang disebabkan oleh terorisme adalah sangat signifikan baik secara finansial maupun nyawa [2][2]. Dari sisi inilah kemudian dunia internasional mempunyai kepentingan bersama atau common interests untuk mengatasi permasalahan dari terorisme. Keinginan bersama ini dituangkan dalam berbagai peraturan internasional, mulai dari Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, atau lebih dikenal dengan Hague Convention tahun 1970 sampai ke Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 1368 tanggal 12 September 2001 yangl berkaitan dengan tragedi 911. Peran hukum internasional, terlepas dari faktor kepatuhan dan pelaksanaannya, menjadi sangat penting mengingat urgensi dari permasalahan terorisme ini. Secara historis, terorisme mempunyai sejarah yang sangat panjang sampai ke masa Yunani Kuno ketika Xenophon menulis tentang efektifitas perang psikologi terhadap populasi musuh. Setiap aksi terorisme mempunyai tujuan dan motivasi berbeda-beda, mulai dari tujuan umum sampai tujuan khusus yang berbeda menurut keadaannya. Hoffman dalam bukunya menerangkan bahwa : The goals and motivations of terrorists,vary widely, from such grand schemes as the total remaking of society along doctrinaire ideological lines of the fulfilment of some divinely inspired millenarian imperative to comparatively more distinct aims such as the re-establishment of a national homeland or the unification of a divided nation. [3][3] Sedikit sulit untuk menentukan secara sosiologis apakah terorisme itu merupakan suatu hal yang negatif atau positif. Pada waktu Revolusi Perancis tahun 1789-1793, terorisme dikenal sebagai suatu konotasi yang positif. Terorisme dikenal sebagai sistem atau regime de la terreur yang pada waktu itu berarti mekanisme untuk menumpas musuh rakyat, Hence, unlike terrorism as it is commonly understood today, to mean a revolutionary or anti-government activity undertaken by non-state or subnational entities, the regime de la terreur was an instrument of governance wielded by the recently established revolutionary state. It was designed to consolidate the new governments power by intimidating counter-revolutionaries, subversives and all other dissidents whom the new regime regarded as enemies of the people. [4][4] Hal ini berbeda dengan pengertian umum tentang terorisme sekarang ini, yaitu antara lain adalah sebuah kebijakan untuk menyerang orang-orang yang melawan kebijakan tersebut,

penggunaan metode intimidasi, meneror ataupun kondisi yang terteror [5][5]. Dari penjelasan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi sebuah perubahan makna yang cukup fundamental dengan istilah terorisme secara umum. Terlebih lagi jika terorisme dikaitkan dengan agama sebagai dasar untuk melakukan aksi terorisme tersebut. Ketika kekecewaan secara internasional untuk sebuah perlakuan adil tereskalasi sehingga pada satu titik puncak dimana hal tersebut menjadi alasan pembenar untuk meminta keadilan versi dirinya sendiri. Segala tindakan yang bersifat ketidakadilan digunakan untuk meminta keadilan yang tidak terpuaskan. Dari sinilah timbul aksi-aksi yang mempunyai potensi destruktif yang lebih dikenal dengan istilah terorisme. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, tulisan ini akan lebih menekankan pada aspek hukum internasional mengenai terorisme. Aspek tersebut menyangkut baik tentang teori maupun praktek dari hukum internasional yang berkaitan dengan terorisme dengan mengambil contoh tragedi 911 di Amerika Serikat. Kemudian setelah itu akan dilihat dari sisi negara Indonesia dan segala tuduhan akan terorisme dari beberapa negara di dunia. Perumusan masalah tulisan ini adalah sebagai berikut \ 1. Bagaimana terorisme muncul sebagai suatu gerakan yang mempunyai potensi destruktif yang sangat besar, termasuk dalam pertanyaan ini adalah mengenai motif dan tujuan dari terorisme ? 2. Bagaimana dunia internasional melalui hukum internasional mengatur mengenai terorisme dan implikasi hukum apa saja yang timbul akibat pengaturan internasional tersebut ? 3. Bagaimana sikap dan kebijakan politik luar negeri Indonesia berkaitan dengan permasalahan terorisme dan segala tuduhan yang menyangkut terorisme di Indonesia ? DEFINISI TERORISME Terorisme Secara Umum Pada saat ini tidak ada definisi hukum secara universal mengenai istilah terorisme. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan mengenai pelaksanaan suatu aturan kepada suatu hal yang belum jelas definisi hukumnya. Pembuktian akan suatu hal akan menjadi sulit ketika hal tersebut belum mempunyai definisi secara hukum. Kurang lebih ada lima usulan definisi tentang terorisme, baik dari negara-negara maupun organisasi internasional seperti PBB. Dari kelima usulan tersebut, usulan yang mempunyai cakupan lebih luas adalah usulan dari konsensus akademis tahun 1999, yaitu : Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, wherebyin contrast to assassinationthe direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threatand violencebased communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought [6][6]

Sedikitnya ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk dapat memenuhi unsur definisi diatas, yaitu Motif Politik, Rencana atau Niat, dan Penggunaan Kekerasan. Jika dicermati definisi hukum terorisme ini, maka dapat dilihat bahwa definisi ini hanya melihat dari sisi aksi kekerasan atau violent action dari terorisme. Hal ini dapat diartikan bahwa jika sebuah tindakan yang tidak memakai aksi kekerasan tetapi mempunyai efek yang sama, tidak masuk dalam definisi hukum tersebut diatas. Secara hipotetis, jika seorang ahli komputer menyerang atau melakukan hacking, terhadap sebuah alat transportasi massal, yaitu kereta api yang memakai sistem komputer. Tindakannya berakibat bertabrakannya dua buah kereta api tersebut sehingga menimbulkan korban jiwa, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan ahli komputer tersebut tidak masuk dalam kategori aksi terorisme karena dia tidak melakukan tindakan kekerasan yang diharuskan dalam definisi hukum diatas. Dalam kerangka hukum internasional, sebuah perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional [7][7], hanya dapat berlaku untuk suatu negara jika negara itu tunduk pada perjanjian tersebut atau consent to be bound [8][8]. Jika dikaitkan dengan permasalahan definisi hukum terorisme, maka secara teoritis dapat dengan mudah diambil suatu ketundukan pada suatu definisi hukum akan terorisme. Akan tetapi secara praktis, sangatlah sulit untuk melihat ketundukan suatu negara terhadap sebuah perjanjian internasional, mengingat posisi setiap negara yang mempunyai kedaulatan yang sama [9] [9] dalam hukum internasional dan setiap negara harus menghormati kedaulatan negara lain [10][10]. Pihak dalam Terorisme Dalam praktik setidaknya ada tiga pihak yang selalu berkaitan dengan terorisme, yaitu grup teroris itu sendiri, negara yang mendukung teroris, dan negara yang memerangi teroris. Baik negara yang mendukung maupun memerangi terorisme dapat dikatakan sebagai sesuatu yang pasti ada dalam terorisme. Peran kedua negara ini sangatlah berbeda, yaitu bahwa negara yang mendukung terorisme akan memberikan safe heaven, atau kemudahan baik dalam bentuk dukungan maupun materil, sementara negara yang memerangi adalah negara yang menolak dengan segala cara baik dengan menangkap ataupun menghukum terorisme. Perbedaan ideologi ditambah dengan kepentingan politik membuat kesenjangan yang sudah ada menjadi lebih runcing dan memicu adanya gerakan terorisme [11][11]. Pada akhirnya, mungkin gerakan terorisme menjadi sebuah gerakan semu yang sudah terpengaruh dengan ideologi negara yang mendukung gerakan tersebut. PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG TERORISME Konvensi Internasional PBB sebagai salah satu organisasi internasional di dunia telah menjadi pusat pengkajian akan perjanjian-perjanjian internasional yang berkenaan dengan terorisme. Ada 12 perjanjian internasional yang berkaitan dengan terorisme, walaupun sangat terbatas, yaitu [12][12] : 1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (Tokyo Convention, 1963). 2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (Hague Convention, 1970) 3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation

(Montreal Convention, 1971) 4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973) 5. International Convention Against the Taking of Hostages (Hostages Convention, 1979) 6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Nuclear Materials Convention, 1980) 7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, (1988) 8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (1988) 9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988) 10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (1991) 11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997 UN General Assembly Resolution) 12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (1999) Cyber-terorisme Selain kurang efektifnya pengaturan internasional karena didasarkan pada pelaksanaannya yang masih sangat memprihatinkan, dunia internasional nampaknya harus bekerja keras untuk memprediksi jenis aksi-aksi terorisme di masa depan. Aksi terorisme di masa depan dapat dipastikan lebih destruktif dengan cara yang lebih modern, yaitu tehnologi komputer. Untuk saat ini belum ada konvensi internasional yang mengatur mengenai terorisme dengan alat tehnologi komputer, atau lebih dikenal dengan cyber-terorisme. Ketergantungan dunia yang global akan komputer membuat rentan sistem akses pada teknologi internet, The vulnerabilities created by access to information, and to information architecture, outstrip by far, those of any analogous reference point in the history of civilization. Every hacker, criminal and government with the equipment, minimal expertise, and raw determination to intrude has the capability of bringing harm to both individuals and structures [13][13] Potensi destruktif akan sangat besar, mengingat era informasi dimana hampir seluruh dunia sudah terkoneksi dengan tehnologi internet. Segala ketentuan internasional yang ada akan menjadi rancu jika terorisme dilancarkan dengan teknologi komputer. Ketentuan internasional yang mengatur permasalahan non-armed attack, yaitu penyerangan tanpa kekerasan sangatlah terbatas, salah satu dari sedikit ketentuan yang dapat mengatur tehnologi komputer ini adalah dengan resolusi Majelis Umum PBB no. 3314, pun kekuatan ketentuan ini masih sangat dapat diperdebatkan, ...the use of armed force by a state against the sovereignty, territorial integrity or political independence of another state, or in any manner inconsistent with the Charter... [14][14] KEWAJIBAN NEGARA ATAS TERORISME Berkaitan dengan kewajiban setiap negara untuk memerangi terorisme, Dewan

Keamanan PBB mengeluarkan beberapa resolusi yang secara teori wajib untuk diikuti sebagai anggota dari PBB seperti yang tercantum dalam pasal 25 dari Piagam PBB yaitu The members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the Security Council in accordance with the Present Charter. Salah satu resolusi DK PBB adalah resolusi nomor 1368 tanggal 12 September 2001 yang berisikan : Calls those state to work together urgently to bring justice the perpetrators, organizers and sponsors of these terrorist attacks and streesses that those responsible for aiding, supporting or harbouring the perpetrators, organizers and sponsors of these acts will be held accountable [15][15] Dari sini dapat dilihat bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi universal berkenaan dengan terorisme. Secara teoritis setiap negara anggota PBB mempunyai kewajiban untuk memerangi terorisme dengan segala cara atau by any means. Akan tetapi, dalam praktik Cina yang menjadi salah satu anggota permanen dari Dewan Keamanan PBB, secara jelas menolak untuk memerangi terorisme dengan membuat proses koalisi dengan negara-negara seperti Libya, Jerman dan Iran. TRAGEDI 911 WORLD TRADE CENTER (WTC) Salah satu contoh yang cukup penomenal berkaitan dengan terorisme adalah tragedi 911 WTC di Amerika Serikat. Secara Hukum Internasional, Amerika membenarkan tindakannya melakukan serangan terhadap Afghanistan, bahkan sampai menggulingkan sebuah pemerintahan yang berdaulat. Dasar yang dipakai adalah Resolusi DK-PBB No.1368 tanggal 12 September 2001 dan prinsip Self-Defence yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB, Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security [16][16] Jika melihat dari tanggal dikeluarkannya resolusi DK PBB No.1368 tersebut yaitu tanggal 12 September 2001, sehari setelah terjadinya tragedi 911, resolusi tersebut adalah resolusi tercepat dalam sejarah yang pernah dikeluarkan oleh PBB. Selain itu kalimat dari armed attack di dalam pasal 51 di atas sangatlah terbatas [17][17]. Arti dari armed attack itu sendiri adalah serangan bersenjata dimana tidak ada fakta yang membuat bahwa tragedi 911 adalah sebuah serangan bersenjata. Dalam kasus Nikaragua melawan Amerika Serikat, Mahkamah Pengadilan Internasional menilai bahwa tidak ada aturan dalam hukum kebiasaan internasional yang mengizinkan negara lain untuk melakukan hak dari kolektif self-defence dengan dasar penilaiannya sendiri atas situasi yang terjadi [18][18]. Walaupun serangan Amerika Serikat itu mendapat kritik yang sangat tajam, khususnya dari negara-negara Islam atau yang mempunyai mayoritas penduduk Islam, Amerika Serikat tetap melancarkan serangannya untuk mencari Pemimpin gerakan Al-Qaeda yang diduga sebagai dalang dari tragedi 911. Tidak ada penyelesaian secara damai seperti yang tercantum dalam Pasal 2, paragraf 4 dari Piagam PBB, walaupun hal itu adalah suatu kewajiban bagi setiap negara anggota PBB untuk melaksanakannya, All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force

against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations. [19][19] KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA Kebijakan luar negeri Indonesia adalah Politik Bebas dan Aktif. Bebas disini berarti Indonesia tidak berpihak pada kekuatan dunia, sementara Aktif berarti Indonesia tidak pasif dalam permasalahan internasional, akan tetapi ikut terlibat dan berpartisipasi dalam mencari solusi untuk permasalahan yang ada [20][20]. Berkaitan dengan isu terorisme, Indonesia dengan jelas memperlihatkan sikap memerangi terorisme, sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota PBB. Akan tetapi sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi konvensi internasional yang berkaitan dengan permasalahan terorisme. Hal ini, secara hukum internasional, membuat Indonesia tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan internasional mengenai permasalahan terorisme. TUDUHAN TERORISME DI INDONESIA Berkenaan dengan banyaknya tuduhan terorisme terhadap Indonesia karena dianggap sebagai safe heaven bagi para teroris, memang agak pelik untuk dilihat. Secara praktik sebagian besar aksi terorisme mempunyai hubungan terhadap agama Islam dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Secara historis hubungan antara terorisme dengan agama sangatlah erat, mulai dari Teroris Yahudi pada masa sebelum kemerdekaan Israel, Gerakan Muslim di Algeria sampai dengan kelompok katholik IRA, bahkan tragedi 911 sendiri mempunyai hubungan erat dengan gerakan Al-Qaeda yang beragamakan Islam. Bahkan Hoffman mengatakan bahwa terorisme yang didasari agama cenderung lebih berbahaya dari terorisme yang berdasarkan politis, The emergence of obscure, idiosyncratic millenarian movements, zealously nationalist religious group, and militantly anti-government, far-right paramilitiary organizations arguably represents a different and potentially far more lethal threat than traditional terrorist advesaries; certainly a farmore amorphous and diffuse one [21][21] Akan tetapi gerakan-gerakan itu hendaknya jangan dijadikan generalisasi untuk isi dari suatu agama yang ada di dunia, karena permasalahan gerakan terorisme yang berdasarkan pada agama hanya dapat diselesaikan dengan cara berkomunikasi, bukan dengan kekerasan. Dari sisi hukum, Indonesia berbeda dengan negara seperti Singapura dan Malaysia yang mempunyai Internal Security Act. Indonesia adalah negara yang menganut sistem praduga tidak bersalah dimana jika tidak ada bukti yang substantif, maka seseorang tidak dapat dihukum. KESIMPULAN DAN SARAN Sebagai kesimpulan dari penulisan karya ilmiah ini, adalah bahwa penomena terorisme telah menjadi isu global yang mempunyai efek cukup signifikan terhadap semua negara di dunia. Jika tidak diselesaikan secara menyeluruh dalam artian melibatkan semua fihak maka permasalahan ini tidak akan bisa selesai. Untuk saran atas permasalahan terorisme ini diperlukan adanya pelaksanaan mekanime

yang sudah ada di dalam piagam PBB sendiri, yaitu penyelesaian secara damai, pasal 33 yang mengatakan : The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, concilliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice Baik dari negara yang mendukung aksi teroris untuk alasan-alasan tertentu, maupun negara yang memerangi aksi teroris, harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan ketentuan tersebut diatas. Keuntungan dari pelaksanaan secara damai atau negoisasi tersebut adalah : 1. It will establish channels of communication between the parties. 2. The principal supportive states may influence the refugee group to refrain from violence while the process is under way. 3. A refugee group in the hope of achieving at least some of their political objectives may be inclined to exercise self-restraint. 4 The suppressive states, by showing their willingness to negotiate, may establish their credibility among the international , community, including some supportive states. [22] [22] Selain saran diatas, juga diperlukan sebuah konsistensi sikap atas permasalahan terorisme dalam hukum internasional, sehingga dapat dihindarkan metode standar ganda guna menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Ada tiga jenis remedi untuk permasalahan terorisme yang sering diusulkan oleh para ahli hukum, yaitu [23][23] 1. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa teroris harus diperlakukan seperti layaknya kriminal dan hukuman yang ketat harus dijalankan sesuai dengan ketentuan mengenai terorisme 2. Pendapat lain mengatakan bahwa sebaiknya perjanjian mengenai ekstradisi diperbanyak dan ketentuan mengenai pengecualian atas penyerangan atas dasar politis dipersempit atau bahkan dihapuskan 3. Bahwa negara yang mendukung terorisme harus dihukum Walaupun banyak tersedia berbagai solusi penyelesaian atas permasalahan terorisme, semua kembali kepada keinginan dari negara-negara di dunia untuk benar-benar mengatasi permasalahan terorisme, karena kunci akan permasalahan terorisme adalah kesepakatan dan konsistensi dari negara-negara di dunia untuk menyelesaikannya

click link 1982 clicks

Untuk dapat merequest file lengkap yang dilampirkan pada setiap judul, anda harus menjadi special member, klik Register untuk menjadi free member di Indoskripsi.

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangserangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati. Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai September Kelabu, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris

mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia[1]. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut. Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negaranegara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional[2]. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[3], yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[4]. Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu diantaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear[5]. Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war. Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[7], hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu. Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas

Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[9]. Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)[10]. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se[11] , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang[12]. Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme[13]. Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14], Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi UndangUndang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disamping KUHP

dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena[15]: 1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana. 2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu. 3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya. 4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian. Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria[16]: 1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang. 2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut. Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti[17]: 1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP. 2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap diluar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya. 3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut

harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain[18]. Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)[19]. Sebagaimana pengertian tersebut diatas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi disini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut. Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat diantara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi[21]:

1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen. 2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. 3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. 4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan. Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain manapun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik. Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa didalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror[22].

Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun[23]. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan dibanyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat[24]. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan[25].

Catatan kaki
1. ^ Koalisi Internasional, <http://www.usembassyjakarta.org/terrornet/keberanian.html> 2. ^ Collin L Powell, Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang, <http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm> 3. ^ Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.51. 4. ^ Hilmar Farid, Perang Melawan Teroris, <http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0910/05.html> 5. ^ Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98. 6. ^ Loebby Loqman, Ibid. 7. ^ Indriyanto Seno Adji, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35. 8. ^ Indriyanto Seno Adji, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 50. 9. ^ Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan HAM, Op. cit., hal. 52. 10. ^ Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 22. 11. ^ Mala in se are the offences that are forbidden by the laws that are immutable: mala prohibita, such as are prohibited by laws that are not immutable. Jeremy Bentham, Of the Influence of Time and Place in Matters of Legislation Chapter 5 Influence of Time. <http://www.la.utexas.edu/research/poltheory/bentham/timeplace/timeplace.c05.s 02.html>

12. ^ Mompang L. Panggabean, Mengkaji Kembali Perpu Antiterorisme dalam Mengenang Perppu Anti Terorisme, (Jakarta: Suara Muhamadiyah, Agustus 2003) cet.I, hal 77. 13. ^ Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 1. 14. ^ Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003, LN. No.45 tahun 2003, TLN. No.4284, Konsiderans. 15. ^ Loebby Loqman, Op. cit., hal. 17. 16. ^ Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 1996). 17. ^ Muladi, Op. cit., hal 6. 18. ^ Loebby Loqman, Op. cit., hal. 26. 19. ^ Loebby Loqman, Ibid., hal. 149. 20. ^ Loebby Loqman, Ibid., hal. 13 21. ^ Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., Penjelasan pasal 26. 22. ^ Loebby Loqman, Op. cit., hal. 11. 23. ^ Todung Mulya Lubis, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara Kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003), hal 91. 24. ^ Todung Mulya Lubis, Ibid., hal 92. 25. ^ Bari Muchtar, Undang-Undang AntiTerorisme Sangat Mengkhawatirkan. <http://www.rnw.nl>. 28 Januari 2002.

Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya. Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya[1].

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif [2]. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi[3]. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut[4]. Menurut Blacks Law Dictionary, Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. mempengaruhi kebijakan pemerintah. c. mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan . Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain[5]. Menurut Websters New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate [6]. Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen[7]: 1. kekerasan 2. tujuan politik 3. teror/intended audience. Definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat diselaraskan menjadi definisi yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria

yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme yaitu[8]: 1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (Tokyo Convention, 1963). 2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (Hague Convention, 1970). 3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (Montreal Convention, 1971). 4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protecred Persons, 1973. 5. International Convention Against the Taking og Hostages (Hostages Convention, 1979). 6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Nuclear Materials Convention, 1980). 7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988. 8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, 1988. 9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, 1988. 10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991. 11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United Nations General Assembly Resolution). 12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. Definisi yang dikemukakan oleh beberapa lembaga maupun penulis, antara lain:[9] Menurut Brian Jenkins[10], Terrorism is the use or threatened use of force designed to bring about political change. Menurut Walter Laqueur[11], Terrorism consitutes the illegitimate use of force to achieve a political objective when innocent people are targeted. Menurut James M. Poland[12]. Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience. Menurut Vice Presidents Task Force, 1986[13]. Terrorism is the unlawful use or threat of violence against persons or property to further political or social objectives. It is usually intended to intimidate or coerce a government, individuals or groups, or to modify their behavior or politics.

Menurut US Central Intelligence Agency (CIA)[14]. Terorisme Internasional adalah Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing . Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI)[15]. Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuantujuan sosial atau politik . Menurut The U.S. by the Code of Federal Regulations[16], Terorisme adalah: "..the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives." (28 C.F.R. Section 0.85) . Academic Consensus Definition (1988)[17] Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, wherebyin contrast to assassinationthe direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threatand violencebased communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought (Schmid) . Tiga unsur definisi diatas, yaitu motif politik, rencana atau niat dan penggunaan kekerasan. Menurut US Departements of State and Defense[18]. Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara . Menurut States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism[19]. Terorisme meliputi: 1. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970. 2. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal, 23 September 1970. 3. Kejahatan dalam lingkup Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-Agen Diplomatik, ditandatangai di New York, 14 Desember 1973.

4. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi. 5. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik. Menurut The Arab Convention on the Suppression of Terrorism , senada dengan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam hukuman dengan hukuman domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi sebagai berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negara-negara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka. Juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris, adalah tindakan yang melanggar antara lain ke 12 konvensi multilateral yang telah disebutkan diatas. Menurut Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk dan mengambil bentuk: 1. Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum. 2. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain. 3. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat. 4. Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut. 5. Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional.

6. Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme. Menurut Konvensi ini, bahwa perjuangan dengan cara apapun juga untuk melawan pendudukan dan agresi asing untuk kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri, seduai dengan asas-asas hukum internasional, tidak merupakan Tindak Pidana Terorisme . Menurut Organisation of African Unity (OAU), 1999. Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana negara anggota dan bisa membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan atau menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang, atau menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau dimaksudkan untuk: 1. mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan, atau mempengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan atau untuk mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu atau untuk bertindak menurut prinsipprinsip tertentu, atau 2. mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik, atau 3. menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara. 4. promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha, ancaman, konspirasi, pengorganisasian atau perekrutan seseorang dengan niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan pada paragraph 1) sampai 3). Sebagaimana The Arab Convention on the Suppression of Terrorism 1998 dan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999, menurut Konvensi ini, perjuangan bersenjata melawan penduduk, agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan Terorisme . Menurut Terrorism Act 2000, UK. Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. 2. penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu publik.

3. penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi. 4. penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. Menurut European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977. 1. kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatangani di Hague, Desember 1970. 2. kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal 23 September 1971. 3. kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidupan atau kebebasan orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen-agen diplomatic. 4. kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak sah. 5. kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis, atau surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain. 6. usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseornag yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut. 7. kejahatan serius yang melibatkan tindakan kekerasan, selain dari yang tercakup dalam artikel 1) sampai 6) jika tindakan tersebut menimbulkan bahaya kolektif bagi orang lain. 8. usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut. Menurut konvensi ini, percobaan melakukan Terorisme disamakan dengan delik selesai dan pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku . Menurut Muhammad Mustofa[20]. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal . Menurut Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and Perspectives), mengemukakan sebanyak 109 definisi tentang terorisme, namun para ahli setuju bahwa Terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyakbanyaknya secara tidak beraturan[21]. Menurut Conway Henderson (International Relations Cobflict and Cooperaion at the turn of 21th Century), menyatakan bahwa[22]: Terorisme adalah suatu aksi kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau jaringan, dimaksudkan untuk menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh ketakutan dan bisa muncul tanpa motif apapun .

Menurut Konvensi PBB tahun 1937[23], Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas . Menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengan-dung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi . Menurut Hukum Amerika Serikat, rumusan terorisme dalam United States Code, Section 2656f(d): premeditated, politically motivated violence perpetuated against noncombatant targets, usually intended to influence an audience. Definisi ini memberi tekanan pada motivasi politik, namun mengenai sasaran Terorisme, hanya memperhatikan sasaran sipil . Menurut TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan[24]. Menurut A.C Manullang[25]. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme . Menurut The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Pasal 14 ayat 1 sebagai berikut: Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Kegiatan Terorisme dilakukan umumnya dengan sasaran acak, bukan langsung kepada lawan, sehingga dengan dilakukan teror tersebut, diharapkan akan didapatkan perhatian dari pihak yang dituju[26]. Menurut Laqueur (1999)[27], setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi, karena selain bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama . Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme

adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika: 1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)[28]. 2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7)[29]. Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah: 1. 2. 3. 4. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. Menggunakan kekerasan. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah. 5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

[sunting] Rujukan
1. ^ Rikard Bagun, Indonesia di Peta Terorisme Global,<http://www.polarhome.com>, 17 November 2002. 2. ^ Indriyanto Seno Adji, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35. 3. ^ Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 35. 4. ^ Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), hal.19.

5. ^ Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 1. 6. ^ Imam Cahyono, Terorisme dan Hegemoni Kesadaran, <http://mail2.factsoft.de/pipermail/national/2002>, 30 Oktober 2002. 7. ^ Mohammad Mova AlAfghani, Kampanye Melawan Terorisme Telah Merusak Tatanan Hukum http://www.theceli.com, 6 Agustus 2003. 8. ^ Convention Against Terrorism, <http://www.unodc.org> 9. ^ http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/79/Button_reflink.png 10. ^ <http://www.terrorism.com/modules.php> 11. ^ <http://www.terrorism.com/modules.php> 12. ^ <http://www.terrorism.com/modules.php> 13. ^ <http://www.terrorism.com/modules.php> 14. ^ Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., hal. 171. 15. ^ Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., hal. 172. 16. ^ Definition of Terrorism,< http://www.terrorismfiles.org> 17. ^ Legal Definition of Terrorism, <http://www.unamich.org/MUN/SEMMUNA/legal.htm> 18. ^ Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., hal. 172. 19. ^ Ibid. 20. ^ Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 30. 21. ^ Makalah Seminar Terorisme Suatu Tantangan bagi POLRI, oleh Tim Perumus Seminar, Lemdiklat POLRI Sekolah Lanjutan Perwira, hal. 5. 22. ^ Ibid. 23. ^ Loudewijk F. Paulus, Terorisme, http://buletinlitbang.dephan.go.id 24. ^ Loudewijk F. Paulus, Op. cit. 25. ^ A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, Januari 2001) hal. 151. 26. ^ Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98. 27. ^ Muhammad Mustofa, Op. cit., hal 33. 28. ^ Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., pasal 6. 29. ^ Ibid., pasal 7.

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.

bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan;

b.

bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan;

c.

bahwa terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional;

d.

bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme;

e.

bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme;

f.

bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak perlu mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Mengingat : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

MEMUTUSKAN : Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.

2.

Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi.

3.

Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

4.

Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

5.

Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.

6. 7. 8.

Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Perwakilan negara asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta anggota-anggotanya. Organisasi internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa.

9.

Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

10.

Obyek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional.

11.

Fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

12.

Bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan. Pasal 2 Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.

BAB II LINGKUP BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Pasal 3 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut. (2) Negara lain mempunyai yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila:

a.

kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan;

b. c.

kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan; kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;

d.

kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan;

e.

kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

f.

kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau

g.

kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undangundang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan:

a.

terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia;

b.

terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;

c.

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

d. e.

untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau

f. oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan


bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 5 Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.

BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 7 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik,

atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Pasal 8 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:

a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak


bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya


bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,


mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;

d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk


pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;

e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau


membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,


menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;

g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,


tidak dapat dipakai, atau rusak;

h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain


dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;

i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum,


merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;

j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan


atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;

k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,


dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan

maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;

l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan


kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;

m.

dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;

n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau


menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;

o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai


kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;

p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena


perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;

q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat


membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;

r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat


mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan. Pasal 9 Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 10 Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. Pasal 12 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan :

a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan,


menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;

b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,


radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ;

c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata


kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;

d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi,


mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;

e. mengancam :
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau 2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


huruf a, huruf b, atau huruf c; dan

g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud


dalam huruf a sampai dengan huruf f. Pasal 13 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :

a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta


kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;

b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau

c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,


dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 14 Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Pasal 15 Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya. Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Pasal 17 (1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. Pasal 18 (1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). (3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang. Pasal 19 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak

berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

BAB IV TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 20 Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 21 Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 22 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 23 Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 24 Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

BAB V PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 25 (1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang

berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. (2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 26 (1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. (2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. (3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. (4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan. Pasal 27 Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau


didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : 1) tulisan, suara, atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Pasal 28 Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Pasal 29 (1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.

(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :

a. b. c. d. e.

nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;

identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa; alasan pemblokiran; tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan tempat harta kekayaan berada.

(3) Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima. (4) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran. (5) Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan. (6) Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme. (2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. (3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :

a. b. c. d.

nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;

identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme; tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan tempat harta kekayaan berada.

(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :

a.

Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat Pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;

b. c.

Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Pasal 31 (1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:

a.

membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa;

b.

menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme. (2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik. Pasal 32 (1) Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apa yang dilihat dan dialami sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan. (2) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut. Pasal 33 Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Pasal 34 (1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :

a.
mental;

perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan kerahasiaan identitas saksi;

b.

c.

pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. (2) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita. (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum. (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

BAB VI KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI Pasal 36 (1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. (2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. (3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. (4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pasal 37

(1) Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 38 (1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri. (2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan. (3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pasal 39 Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan. Pasal 40 (1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut. (2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya. (3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. Pasal 41 (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima. Pasal 42 Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.

BAB VII

KERJA SAMA INTERNASIONAL Pasal 43 Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Ketentuan mengenai :

a. kewenangan atasan yang berhak menghukum yakni :


1) melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik polisi militer atau penyidik oditur; 2) menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur; 3) menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur; dan 4) melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.

b. kewenangan perwira penyerah perkara yang :


1) memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan; 2) menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan; 3) memerintahkan dilakukannya upaya paksa; 4) memperpanjang penahanan; 5) menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara; 6) menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili; 7) menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit; dan 8) menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer, dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana terorisme menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Pasal 45

Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Pasal 46 Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri. Pasal 47 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapka n di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2002 PRESIDE N REPUBLI K INDONES IA,

ttd MEGAWA TI SOEKAR NOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 106

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

Lambock V. Nahattands

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta secara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya.

Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karena : Pertama, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi-etnik dengan beragam dan mendiami ratusan ribu pulau-pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan dengan negara lain. Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tindak pidana terorisme yang bersifat internasional. Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat internasional baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing. Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannyapun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa. Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia dan memiliki cita perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat di tengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan-ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini secara spesifik juga memuat ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan merupakan wujud perlakuan yang diskriminatif melainkan merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3 Convention Against Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terrorism(1999). Kekhususan lain dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini antara lain sebagai berikut:

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan


payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan


khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan


khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut "safe guarding rules". Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hukum baru dalam hukum acara pidana yang disebut dengan "hearing" dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan "legal audit" terhadap seluruh dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyelidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme.

4. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini ditegaskan


bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.

5. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dimuat


ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror. Eksistensi satuan tersebut dilandaskan kepada prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle) sehingga dapat segera dihindarkan kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh satuan dimaksud.

6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan


tentang yurisdiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang melampaui batasbatas teritorial Negara Republik Indonesia. Untuk memperkuat yurisdiksi tersebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat juga ketentuan mengenai kerjasama internasional.

7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan


tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga memperkuat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

8. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak


berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut terjadi tindakan yang mengandung unsur pidana, maka diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

9. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tetap


dipertahankan ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme. Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk mengatur Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme didasarkan pertimbangan bahwa

terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.

PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Tuntutan yurisdiksi negara lain tidak serta-merta ada keterikatan Pemerintah Republik Indonesia untuk menerima tuntutan dimaksud sepanjang belum ada perjanjian ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, kecuali Pemerintah Republik Indonesia menyetujui diberlakukannya asas resiprositas. Pasal 4 Pasal ini bertujuan untuk melindungi warga negara Republik Indonesia, Perwakilan Republik Indonesia dan harta kekayaan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri. Pasal 5 Ketentuan ini dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan penghukuman terhadap pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain. Pasal 6 Yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya. Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau barang. Pasal 7 Yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" lihat penjelasan Pasal 6.

Pasal 8 Ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal XXIXA Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 9 Yang dimaksud dengan "bahan yang berbahaya lainnya" adalah termasuk gas beracun dan bahan kimia yang berbahaya. Pasal 10 Ketentuan ini diambil dari Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Vienna, 1979 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1986. Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Yang dimaksud dengan "bantuan" adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Yang dimaksud dengan "kemudahan" adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan. Pasal 14 Ketentuan ini ditujukan terhadap auctor intelectualis. Yang dimaksud dengan merencanakan termasuk mempersiapkan baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan "menggerakkan" adalah melakukan hasutan dan provokasi, pemberian hadiah atau uang atau janji-janji. Pasal 15 Pembantuan dalam Pasal ini adalah pembantuan sebelum, selama, dan setelah kejahatan dilakukan. Pasal 16 Yang dimaksud dengan "bantuan" dan "kemudahan" lihat penjelasan Pasal 13. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ketentuan dalam Pasal ini bermaksud mempidana pelaku yang melakukan tindakan yang ditujukan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Jangka waktu 6 (enam) bulan yang dimaksud dalam ketentuan ini terdiri dari 4 (empat) bulan untuk kepentingan penyidikan dan 2 (dua) bulan untuk kepentingan penuntutan. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "laporan intelijen" adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang terkait. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Pengadilan Negeri" dalam ketentuan ini adalah pengadilan negeri tempat kedudukan instansi penyidik atau pengadilan negeri di luar kedudukan instansi penyidik. Penentuan pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada pertimbangan dapat berlangsungnya pemeriksaan dengan cepat dan tepat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas

Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Sanksi administratif dalam ketentuan ini misalnya tindakan pembekuan atau pencabutan izin. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)

Cukup jelas Ayat (5) Perampasan harta kekayaan adalah perampasan harta kekayaan yang berkaitan dengan kegiatan terorisme. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kompensasi" adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan "ahli waris" adalah ayah, ibu, istri/suami, dan anak. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 37 Rehabilitasi dalam Pasal ini adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta benda. Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana terorisme.

Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4232

KONSEPSI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA DALAM RANGKA MENJAGA KEUTUHAN NKRI
Oleh : Tri Poetrantro, S.Sos Puslitbang Strahan Balitbang Dephan

PENDAHULUAN Perkembangan kejahatan terorisme global telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan baik modus, kuantitas maupun kualitasnya, Indonesia tidak lepas dari sasaran terorisme. Terungkap fakta adanya keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan internasional. Selain ancaman terorisme, ancaman non tradisional lainnya yang muncul saat ini telah merebak pula lewat pintu sendi kehidupan bangsa. Aktifitas teroris telah membidik dan memanfaatkan ideologi dan agama bagi masyarakat dunia sebagai garapan agar memihak kepada perjuangan mereka. Oleh sebab itu perlu ditangani secara bijak. Untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan dan kegiatan teroris, Pemerintah Indonesia menyikapi fenomena terorisme secara arif, menganilisis berbagai aspek kehidupan bangsa saat ini, guna memerangi aksi terorisme, bersama dunia internasional. c. Dengan memanfaatkan kemampuan teknologi modern saat ini teroris dapat menghancurkan sasaran yang diijinkan dari jarak jauh, seperti telepon genggam atau bom bunuh diri seperti yang terjadi di Bali. KONDISI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME SAAT INI. Sejumlah peristiwa terorisme menunjukkan adanya mata rantai antara kelompok dalam dan luar negeri. Dari hasil pengungkapan kasus di Indonesia merupakan jaringan teroris Internasional dimana keberadaanya dengan segala aktifitasnya tidak dapat terdeteksi secara dini sehingga sulit untuk dicegah dan ditangkal. Kejadian Menonjol. Berbagai peristiwa pengeboman memakan korban jiwa dan merusak sarana dan prasarana yang ada. Beberapa peristiwa aksi teroris yang terjadi signifikan di Indonesia antara lain : 1998, di Gedung Atrium Senin, Jakarta 1999, di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta. 2000, di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan serta rumah Dubes Filipina 2000 dan 2001, Peledakan di beberapa Gereja di malam Natal. 2002, Peledakan di Kuta Bali, Mc Donald Makasar

2003, Peledakan di JW Marriot dan Rizt Carlton 2004, Peledakan di Kedubes Australia 2005. Peledakan bom Bali II Aksi teror tersebut bila terus berlanjut akan dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan yang pada gilirannya akan menghambat kelancaran pembangunan nasional. Pencegahan dan penanggulangan saat ini. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah khususnya langkah-langkah aparat keamanan dalam pengungkapan pelaku terorisme, mendapat tanggapan beranekaragam dikalangan masyarakat, khususnya kelompok umat Islam yang sensitif terhadap isu terorisme karena dikaitkan dengan agama islam. Menguatnya perbedaan sikap pro dan kontra sesuai tanpa memperdulikan kepentingan nasional, menimbulkan rasa saling curiga dikalangan masyarakat dan ketidak percayaan terhadap pemerintah khususnya aparat keamanan dalam menangani terorisme di Indonesia. Selain itu kerjasama tingkat ASEAN telah dilaksanakan. Sikap kehati-hatian pemerintah Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi teroris, dapat dilihat dari kebijakan dan langkah-langkah antisipatif, terkait dengan peristiwa Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam melakukan pencegahan dan penanggunalanan terorisme pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga khusus guna menghadapi terorisme yang berkembang di tanah air belakangan ini, lembaga-lembaga tersebut antara lain : Intelijen. Aparat intelijen yang dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara (Keppres No. 6 Tahun 2003), yang telah melakukan kegiatan dan koordinasi intelijen dan bahkan telah membentuk Joint Analysist Terrorist (JAT) upaya untuk mengungkap jaringan teroris di Indonesia. TNI dan POLRI, Telah meningkatkan kinerja satuan anti terornya. Upaya penangkapan terhadap mereka yang diduga sebagai jaringan

terorisme di Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku masih mendapat reaksi kontroversial dari sebagian kelompok masyarakat dan diwarnai berbagai komentar melalui media massa yang mengarah kepada terbentuknya opini seolah-olah terdapat tekanan asing. Kerjasama Internasional. Berbagai upaya kerjasama telah dilakukan antara lain dengan beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia, bahkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Perancis, dan Jepang. Masalah ekstradisi antara pemerintah Singapura dan Indonesia belum terealisasi. Implikasi terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Kekhawatiran masyarakat terhadap bahaya teror bom masih ada. Hal ini apabila tidak segera ditangani secara bijak akan mempengaruhi roda perekonomian. Di sisi lain, penindakan, penangkapan atau pemeriksaan oleh aparat terhadap siapa dan organisasi yang ada di masyarakat perlu sikap hati-hati, agar tidak menimbulkan sentimen negatif di kalangan masyarakat itu sendiri, pemerintah diangapnya diskriminatif atau muncul berbias pada permasalahan baru yang bernuansa SARA. Permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme yaitu : Penegakan hukum terhadap sistem kejahatan terorisme masih lemah. Kualitas SDM mudah dimanfaatkan dan masih rentan terhadap aksi penggalangan menjadi simpatisan kelompok teroris. Tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap modus operandi teroris masih lemah. Kemampuan aparat keamanan dalam mendeteksi dini, menangkal, mencegah dan menangkap kelompok teroris masih terkendala baik peralatan maupun koordinasi di lapangan. PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS

Global. Issue global yang meliputi demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup telah berkembang ke arah perang melawan teroris internasional bahkan beberapa negara maju telah menerapkan konsep penyerangan awal terhadap terorisme yang berada di negara tertentu. Meskipun banyak negara yang tidak menyetujuinya tetapi konsep tersebut tetap disosialisasikan secara Internasional yang disponsori oleh Amerika Serikat. Sikap Amerika Serikat yang selalu memihak kepada Israel, sehingga masyarakat muslim dunia yang berpihak pada perjuangan Palestina menaruh sikap antipati terhadap politik Amerika. Regional. Lemahnya penegakan hukum dan sistem keamanan kawasan, dimanfaatkan oleh para penyelundup untuk penyelundupan senjata api masuk ke Indonesia dengan sasaran daerah-daerah konflik seperti Aceh dan Poso. Wilayah Thailand Selatan yang memiliki warga muslim Islam fundamentalis telah diklaim oleh Kelompok Al Jemaah Al lslamiyah sebagai bagian dan Daulah Islamiyah Nusantara. Kelompok Abu Sayyaf di Filipina disinyalir ada kaitan dengan jaringan kelompok teroris internasional dan kelompok Al Jemaah Al lslamiyah di Indonesia. Kelompok Al Jemaah Al Islamiyah yang merupakan jaringan teroris internasional lahir di wilayah Johor Malaysia pada tahun 1995. Kondisi tersebut telah memasuki cara berpikir masyarakat marginal dipedesaan. Nasional. Ideologi. Adanya kelompok untuk mengubah Pancasila dengan Ideologi lain yang berorientasi kepada agama, faham liberal atau faham sosialis/komunis. Ada upaya kelompok agama ingin memasukkan Syariat Islam secara konstitusional. Kelompok faham sosialis/komunis melalui kelompok radikal berbasis sosial/komunis selalu berupaya untuk mencabut Ketetapan MPRS No.XXV/MPRS/ 1966 sehingga ajaran komunis dapat hidup kembali di wilayah Republik Indonesia. Politik. Permasalahan pelaksanaan Otonomi Daerah dan pemekaran

wilayah di beberapa daerah di Indonesia terkesan dipaksakan. Pemaksaan keinginan ini merupakan salah satu wujud distorsi perpolitikan di Indonesia yang pada gilirannya berkembang issue timbulnya ancaman disintegrasi bangsa. Proses demokrasi yang tidak didukung oleh budaya partisipasi politik akan menimbulkan sikap arogansi, ingin kebebasan yang tanpa batas dan bermuara pada disintegrasi. Kondisi demikian merupakan suasana nyaman tumbuhnya aksi teror pemaksaaan kehendak. Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan mengakibatkan rapuhnya sistem ekonomi bangsa terhadap daya saing perdagangan global, semakin jauh ketertinggalan dari kemampuan memiliki posisi tawar ekonomi di mata dunia. Berakibat pada kemiskinan masyarakat yang tidak tertolong dan pada gilirannya masyarakat memilih caranya sendiri yaitu jalan radikal kekerasan teror tanpa menghiraukan jatuhnya korban yang tidak berdosa. Sosial Budaya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama informasi dan komunikasi di satu sisi meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, di sisi lain dapat mempengaruhi lunturnya semangat kebangsaan, rasa cinta tanah air, kesadaran bela negara dan kesadaran mendahulukan kepentingan kepentingan pribadi atau golongan daripada kepentingan umum. Masih adanya keinginan sekelompok umat muslim untuk menegakkan syariat Islam sebagai landasan hidup bangsa Indonesia melalui serangkaian kegiatan jalur formal maupun non formal dan tidak jarang dlakukan secara ekstrim radikal sehingga dapat berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan antar umat beragama, yang rentan menimbulkan perselisihan dan konflik antar agama. Pertahanan Keamanan. Masih terjadi berbagai konflik di beberapa daerah di wilayah Indonesia yang masih berpotensi, seperti Poso, Papua dan beberapa daerah lainnya. Kasus-kasus pembalakann liar, pencucian uang dan pengamanan sumber daya alam dari praktek-praktek kegiatan ilegal ekonomi

lainnya akan bermuara pada stabilitas terganggu, berakibat ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat keamanan dan penegak hukum semakin kental. Peluang dan Kendala Demokratisasi di Indonesia telah berjalan menuju pada perubahan ke arah tatanan kehidupan yang diinginkan masyarakat. Dukungan internasonal terhadap keutuhan NKRI secara politis, perlu disikapi secara arif dan koreksi kedalam. Daya dukung sumber daya alam dan potensi pasar di Indonesia, adalah beberapa dari peluang sebagai modal dasar. Disisi lain, kualitas SDM, keterpurukan ekonomi yang berkepanjangan dan menurunnya kesadaran wawasan kebangsaan serta bela negara merupakan kendala yang harus ditangani segera. KONDISI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME YANG DIHARAPKAN. Pemerintah beserta aparat keamanan dan birokrasi memiliki sikap arif, penuh ketenangan berfikir sehingga mendapatkan cara-cara yang tepat dan akurat dalam menangani terorisme. Masyarakat telah menjadi kesatuan pandang dalam menyikapi melawan terorisme. Kemampuan aparat keamanan telah dapat kerjasama dengan seluruh komponen bangsa. Penegakan hukum dapat diwujudkan dan telah dilengkapi dengan perangkat peraturan perundang-undangan, kerjasama internasional tidak menimbulkan pro dan kontra pemahaman. Kesadaran masyarakat secara aktif berbuat dan melakukan deteksi dini, identifikasi dini dan penangkalan terhadap perkembangan ancaman terorisme yang dilandasi rasa tanggung jawab dan kesadaran yang tinggi, sebagai bangsa yang bermartabat. Dengan landasan Wawasan Nusantara yang tangguh, bangsa Indonesia diharapkan memiliki sikap mental dan perilaku yang mampu mendeteksi, mengidentifikasi, menilai dan menganalisis sejak dini secara hati-hati terhadap berbagai bentuk ancaman terutama teroris internasional di Indonesia. ANALISIS. Membendung langkah teroris di Indonesia, perlu melihat

secara obyektif karakteristik daerah, potensi yang dimilki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme harus terukur dan teruji. Segala upaya untuk menghadang tindakan terorisme harus dilandasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional dan sensitifitas SARA, pada hakekatnya kemajemukan identitas NKRI harus tetap terjaga. Untuk menengarai, menuduh bahkan menangkap sekalipun terhadap seseorang atau kelompok orang adalah teroris, baik teroris lokal maupun teroris internasional tidak mudah. Memerlukan data akurat dan pencermatan indikasi-indikasi dalam kurun waktu yang relatif panjang. Dengan mencermati apa yang telah terjadi modus operandi tindak kejahatan terorisme berupa bom-bom yang sudah meledak, temuan bom yang belum meledak dan perangkat yang digunakan terorisme serta tempat persembunyian kaum teroris, ada beberapa rumusan masalah yang telah teridentifikasi pada pembahasan sebelumnya, yaitu : Penegakan hukum terhadap penanggulangan terorisme masih lemah.Teroris mudah memanfaatkan kualitas SDM masyarakat yang masih rendah untuk digalang menjadi simpatisan atau pelaku bom bunuh diri Kepedulian masyarakat terhadap kewaspadaan terhadap terorisme masih lemah. Kemampuan aparat untuk mendeteksi, menangkal, mencegah, menangkap tokoh teroris belum optimal. Guna merumuskan konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam rangka menjaga tetap tegaknya keutuhan NKRI secara komprehensif dan integral, diperlukan analisis dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi. Analisis dari penulisan ini ditinjau dari aspek astagatra yang sementara ini menurut pandangan penulis cukup mendekati pada pemecahan masalah. Tinjauan Dari Aspek Politik. Aksi teror tidak tidak mengenal diskriminatif target, membuat keharusan membangun sistem keamanan terhadap manusia dan obyek vital baik militer maupun

non militer di banyak negara. Dampak terorisme di bidang politik, antara lain : Gangguan terhadap kehidupan demokrasi, roda pemerintahan tidak berjalan lancar, Pemerintah yang lemah bisa jatuh. Berbagai kerja sama internasional dikembangkan untuk mendesak langkah kooperatif dalam melawan terorisme. Perang melawan terorisme, perdebatan politik terjadi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, antara upaya membangun sistem keamanan dengan pembatasan kebebasan di satu sisi dan antara sistem keamanan nasional dengan multi nasional di sisi lainnya. Lepas dari pertarungan politik dalam dan luar negeri, sentimen baru melawan terorisme telah membuka babak baru perkembangan arah poltik dunia. Indonesia perlu mewaspadai dan harus ada upaya pencegahan adalah ketika para teroris internasional memanfaatkan kondisi politik atau sosial budaya dalam negeri saat ini, masih rentan terhadap SARA, keniscayaan kebhinekaan NKRI terancam. Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme berlangsung diwarnai nuansa politis. Hal demikian masih dalam kewajaran, karena masyarakat Indonesia sedang dalam transisi perubahan menuju masyarakat yang demokratis, bebas menyatakan pendapatnya. Wacana politik apapun yang terjadi, yang penting adalah politik kontrol tidak membiarkan peredaran bahan peledak, pengawasan keimigrasian dan kepabeanan merupakan langkah politik praktis yang tepat pada saat ini serta di masa datang. Tinjauan Dari Aspek Ekonomi. Jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel-sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya. Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka institusi intelijen sangat diperlukan

di dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir. Tinjauan Dari Aspek Sosial Budaya dan Agama. Aksi terorisme belum dapat dihentikan, artinya sekalipun perang melawan terorisme gencar dilaksanakan dan agenda hubungan internasional untuk komitmen bersama melawannya, serangan terorisme terus berlangsung. Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun untuk melawan terorisme tidak salah bila menggunakan metoda lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan peneyebaran ajaran radikalisme. Keberhasilan Indonesia dalam membongkar sejumlah aksi teror selama ini, tidak berarti pada kesimpulan akhir bahwa penganut agama Islam memiliki pemiikiran sama terhadap pemahaman terorisme yang berkembang di Indonesia. Perang melawan terorisme harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah pada memenangkan pikiran dan hati masyarakat untuk tidak simpati dan tidak mendukung gagasan para teroris. Hal demikian harus dilaksanakan secara serempak dengan memusatkan faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial lainnya. Gerakan reformasi politik dan ekonomi sedang berlangsung di Indonesia, namun hasilnya belum maksimal bahkan aksi-aksi ketidak puasan terhadap tatanan politik dan ekonomi bermunculan berupa unjuk rasa anarkhis. Tinjauan Dari Aspek Kemajuan Teknologi. Bagi kaum teroris menjalin komunikasi dengan dunian luar melalui internet, merupakan sarana utamanya, melalui pembuatan situs online maka komunikasi lintas negara dapat dilakukan dengan leluasa tanpa diketahui siapa, apa dan bagaimana, kecuali hanya kelompok jaringannya yang dapat mengerti. Teknologi cyber (dunia maya) dimanfaatkan untuk tindak kejahatan cyber crime dengan istilah hacking, carding dan hosting serta penyebar luasan artikel melalui situs jihad. Sebagai contoh carding, pencurian data dan dana kartu kredit melalui jaringan internet. Inilah yang disebut pergeseran modus dengan

memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Untuk mencegah cybercrime antara lain dapat dilakukan dengan cyberpatrol di dunia maya juga. Namun hingga kini, aparat keamanan dan intelijen masih banyak kekurangan yang dihadapi, belum memiliki pegangan security management, termasuk peralatan pengamanannya. Disamping itu kelemahan lain yang harus ditinggalkan yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi lainnya seperti bea cukai, imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan sangat diperlukan guna pencegahan terorisme di Indonesia. Tinjauan Dari Aspek Kebijakan. Untuk melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran kewenangan maupun pelaksanaan kontra terorisme yang bersifat umum dan menyeluruh. Diperlukan cakupan dua bidang kebijakan namun bersamaan dalam melawan terorisme di Indonesia, yaitu : Kebijakan utama yang merupakan pencegahan untuk menghilangkan peluang bagi tumbuh suburnya terorisme di dalam sendi kehidupan masyarakat pada aspek keadilan, demokrasi, kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, budaya KKN, kekerasan dan sebagainya. Kebijakan yang melahirkan aturan-aturan untuk mempersempit peluang terjadinya aksi teror dalam artian mempersempit ruang maupun sumber daya teroris. Kebijakan yang merupakan instrumen yang menitik beratkan pada aspek penindakan diwujudkan dalam deteksi dini, cegah dini dan respon cepat terhadap indikasi dan aksi-aksi teror, yang menuntut profesionalitas dan proporsionalitas bagi instrumen penindak yang diberi wewenang. Penindakan terhadap teror harus dilakukan, namun tetap menjunjung tinggi regulasi mengenai code of conduct atau rule of engagement, sehingga apapun tindakan yang dilakukan melawan terorisme akan terbebas dari persoalan pro dan kontra dalam opini masyarakat. Kebijakan, strategi, metoda, teknik, taktik dan pendekatan untuk mengatasi terorisme yang diterapkan tentunya akan berbeda dari satu negara dibanding negara lainya, mengingat adanya perbedaan

pula bentuk atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh adanya motif-motif terorisme seperti separatis, anarkhis, dissidents, nasionalis, marxist revolusioner atau religius. Perbedaan penanganan juga disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, budaya, adat/istiadat, hukum, sumber daya serta kemampuan satuan anti teror yang tersedia. Indonesia dalam memerangi terorisme harus mempertimbangkan kondisi yang berlaku terutama bidang hukum, sosial dan budaya bangsa, bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif. Tinjauan Dari Aspek Implementasi Penanggulangan Terorisme. Impelementasi memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upayaupaya reprsif, preventiv, preemtif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infra struktur pendukung. Terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan terorisme bahwa pertama, langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror di kawasan khususnya Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Kedua, adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum untuk menangani terorisme untuk kepentingan kelompok penguasa dalam rangka mengembalikan kekuasaan otoriter seperti sebelumnya. Kedua hal tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik memerangi terorisme. Diperlukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan bahwa pertama, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah adalah tidak diskriminatif, kedua, perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketiga, kerja sama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan agar tidak timbul korban yang tidak berdosa. Sebaliknya diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan bila menemukan indikasi atau kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan terorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yan dilakukan dalam implementasi strategi

serta besaran, luas dan kompleksitas dampal teorisme, untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dan Organisasi/Satuan Anti Teror. Bahwa perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi KONSEPSI TERORISME PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

Kebijakan. Pemerintah melakukan pencegahan dan penanggulangan ancaman terorisme internasional maupun lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional dalam rangka melindungi keselamatan WNI, dengan : menghormati HAM, - meninjau kembali Undang-Undang Pemberantasan Terorisme untuk mencapai kepastian hukum, - tindakan yang tidak diskriminatif tanpa melihat etnis maupun agama, melakukan kerja sama internasional, - meningkatkan kewaspadaan dan keberanian masyarakat luas untuk melaporkan indikasi kegiatan terorisme, - melakukan koordinasi lintas instansi, lintas nasional secara silmultan melalui langkah represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi, - dan menyentuh akar terorisme melalui langkah resosialisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat Strategi. Dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas dan untuk mewujudkan kemampuan segenap komponen bangsa dalam deteksi dini, penangkalan dini, dan pencegahan dini serta tindakan dini terhadap segala bentuk ancaman aksi Terorisme, maka dikembangkan strategi digunakan : Strategi Jangka Pendek :

Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan deteksi dan penangkalan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah: 1) Terwujudnya kesamaan dan kesatuan persepsi tentang Terorisme 2) Terbentuknya kepribadian komponen bangsa yang pancasilais, 3) Terbentuknya jiwa nasionalisme yang tinggi 4) Terwujudnya disiplin nasional Strategi Jangka Panjang : Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penindakan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah: 1) Meningkatnya sikap keberanian dan kemampuan segenap komponen bangsa. 2) Terbentuknya komitmen yang kuat untuk melakukan langkahlangkah penindakan dini. 3) Terwujudnya perangkat nasional yang mampu menjalankan fungsi dan peranannya sesuai dengan kewenangan. 4) Meningkatnya peran serta segenap komponen bangsa terhadap aksi Terorisme di Indonesia. 5) Meningkatnya kerjasama internasional. Upaya dalam Strategi Jangka Pendek : Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat pemerintah. 1) Untuk mewujudkan kesamaan persepsi bangsa tentang Terorisme. a) Pemerintah dengan tegas segera mengeluarkan statement secara resmi dalam rangka menghadapi Terorisme di Indonesia seperti Pernyataan perang melawan Segala bentuk ancaman Terorisme di dunia. b) Pemerintah melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman Terorisme di Indonesia. c) Pemerintah melakukan pemekaran daerah di beberapa propinsi

untuk mempermudah pengawasan. 2) Untuk membentuk kepribadian komponen bangsa yang pancasilais, diupayakan melalui: a) Edukasi formal, sejak dini mulai dan pendidikan pra sekolah hingga Perguruan Tinggi b) Edukasi non formal, melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi 3) Untuk membentuk jiwa nasionalisme diupayakan melalui kegiatan: a) Pendidikan formal, harus dilakukan oleh Pemerintah terhadap masyarakat sejak pra sekolah sampai Perguruan Tinggi b) Pendidikan non formal, Pemerintah melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi 4) Untuk mewujudkan Disiplin Nasional diupayakan melalui: a) Pendidikan formal, harus dilakukan pemerintah dengan memberikan muatan materi pengetahuan pada kurikulum pendidikan meliputi mata pelajaran Kewarganegaraan, Kewiraan, Tata Krama dan Budi Pekerti sesuai dengan tingkat pendidikan mulai dan tingkat pendidikan dasar sampai dengan universitas b) Pendidikan non formal, dilakukan oleh pemerintah dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi dengan materi penyajian tentang Peraturan Perundang-Undangan Upaya dlm Strategi Jangka Panjang : Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. 1) Untuk memelihara dan meningkatkan keberanian komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan: a) Sosialisasi tentang bahaya dan ancaman Terorisme b) Melakukan dialog interaktif dan komunikasi secara intensif 2) Untuk membentuk komitmen yang kuat bagi segenap komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan: a) Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang prosedur pencegahan dan penindakan dini b) Menyelenggarakan pelatihan pencegahan dan penindakan dini c) Membangun kesadaran akan tanggung jawab dan komitmen bersama.

d) Melakukan pengawasan dan pengaturan kegiatan e) Meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa f) Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat dieksploitasi g) Meningkatkan pengamanan dan pengawasan h) Melakukan pengetatan pemberian dokumen i) Melaksanakan penertiban administrasi 3) Mewujudkan perangkat nasional yang mampu menjalankan fungsi dan peranannya dengan melakukan refungsionalisasi dan revitalisasi sebagai berikut: a) Aparat Intelijen. Refungsionalisasi dan revitalisasi aparat Intelijen dengan membuat aturan perundang-undangan yang mengatur masalah tentang InteIen di Indonesia. b) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Diperlukan kekuatan hukum, sarana prasarana, anggaran yang memadai didukung dengan mekanisme dan prosedur operasional yang jelas. c) Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perlu diupayakan peningkatan kemampuan profesionalisme Polri khususnya pencegahan dan penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, d) Criminal Justice System (CJS) dengan kegiatan: (1)Melakukan langkah-langkah untuk penyamaan persepsi (2) Melaksanakan pelatihan, pertemuan, seminar dan dialog (3) Meningkatkan kerjasama penanganan kasus. e) Desk Koordinasi Pemberantas-an Terorisme (DKPT). Melalui upaya : (1) Mengkoordinasikan dan mengendalikan operasional lembagalembaga nasional yang bertugas, berkewajiban dan berwenang memberantas Terorisme di Indonesia. (2) Perlu disusun peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir semua kepentingan perangkat nasional dan dapat dioperasionalkan secara Iebih terkoordinasi, sinergik dan holistik dalam rangka pemberantasan Terorisme di Indonesia. f) Memperkuat dan memperta-hankan serta meningkatkan kerjasama g) Melakukan pengawasan terhadap lalu lintas serta mendeteksi

terhadap kemungkinan para teroris memperoleh bahan peledak dan senjata. h) Memutus hubungan para teroris dengan sindikat kriminal lainnya. i) Mengembangkan prosedur dan mekanisme untuk mencegah adanya tempat pelarian dan tempat persembunyian para teroris. j) Meningkatkan pengamanan pada kepentingan-kepentingan internasional,. k) Memperluas pelaksanaan kerjasama dibidang investigasi, penuntutan dan ekstradiksi. 4) Untuk meningkatkan peran serta segenap komponen bangsa ditempuh melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kegiatan: a) Melakukan komunikasi dan dialog b) Menggalakkan Siskamswakara di seluruh wilayah Indonesia dengan upaya: (1) Meningkatkan penertiban administrasi (2) Menggalakkan ketentuan wajib lapor (3) Membina sistem pengamanan swakarsa, (4) Menyiagakan perangkat tanggap darurat (5) Meningkatkan kerjasama internasional, c) Menjelaskan secara bijak dan diplomatis kepada dunia Internasional d) Menindaklanjuti MOU yang telah disepakati bersama KESIMPULAN. Pencegahan dan penanggulangan terorisme membutuhkan suatu kejasama secara menyeluruh. Selain kualitas dan kuantitas aparat yang telah dibentuk pemerintah juga perlu adanya dukungan terhadap kepedulian masyarakat, karena dengan melibatkan masyarakat penanggulanan dan pencegahan secara dini terhadap seluruh aksi atau kegiatan terorisme dapat dengan mudah diatasi. Sistem pertahanan dan keamanan semesta dimana TNI dan Polri merupakan elemen utama dalam menghadapi aksi kejahatan terotisme harus selalu melakukan koordinasi dengan instansiinstansi pemerintah lainnya atau dengan swasta atau elemen sipil

lainnya karena dukungan dan koordinasi dalam mendeteksi dan mengatasi berbagai permasalah teroris akan mudah diatasi. Didalam pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia dibutuhkan suatu badan ekstra semacam lembaga anti terorisme nasional yang pengawakannya ditangani secara terpadu antara TNI dan Polri serta unsur masyarakat dengan dibawah satu komando pengendali. Selain peningkatan kerjasama baik antara lembaga didalam negeri perlu juga adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga anti terorisme yang berada diluar negeri yang tentunya didasari oleh kerangka hukum, karena dengan dasar hukum yang kokoh akan menjadi dasar kebijakan nasional dan tindakan kita dalam memerangi terorisme. Selain itu dengan dasar hukum yang kuat diharapkan mampu melindungi berbagai kepentingan baik kepentingan publik maupun hak-hak asasi manusia. SARAN. Rangkaian tindakan terorisme di Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dan harta serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mengungkap dan mendeteksi secara dini setiap aksi terorisme disarankan : Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antara aparat baik TNI maupun Polri serta dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai tingkat RT dan RW. Pemerintah perlu melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman terorisme yang dimulai dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda serta kepada lapisan masyarakat paling bawah. Pemerintah bersama DPR perlu segera melakukan penyempurnaanpenyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan tindakan tindak pidana terorisme karena hal ini merupakan fondasi hukum yang kokoh dalam melindungi segala kepentingan masyarakat maupun hak-hak asasi manusia. Pemerintah perlu segera meningkatkan kerjasama dengan negara-

negara didunia dalam mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan terorisme karena kegiatan terorisme di Indonesia sangat berkaitan dengan kegiatan terorisme internasional.

DAFTAR PUSTAKA 1. Depdagri, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelejen Daerah, Dirjen Kesbangpol Depdagri, Jakarta. 2. __________________, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.12 Tahun 2006 Tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah, Dirjen Kesbangpol Depdagri, Jakarta, 3. Lodewijk, F. Paulus, 2002, Makalah Tentang Terorisme, Sat81/Gultor Kopasus, Jakarta. 4. Mabes POLRI, 2003, Naskah Strategi Pemberantasan Terorisme Badan Intelejen Keamanan Mabes POLRI, Jakarta. 5. Menko Polhukam RI, 2006, Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi Terorisme, Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, Jakarta.. 6. Menteri Hukum dan HAM, 2005, RPJMN 2004-2009, Sinar Grafika, Cet-1, Jakarta. 7. Nihin DJ, H, 1999, Paradigma Baru Pemerintahan Daerah Menyongsong Milenium ketiga, PT Mardimulyo, Cet-1, Jakarta. 8. _________________, 2006, Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme, Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, Jakarta. 9. Sekkab Bidang Hukum, 2004, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Perum Percetakan Negara RI, Cet-1, Jakarta. 10. _________________, 2006, Kumpulan Peraturan Perundangan Anti Terorisme, Pustaka Yustisia , cet-1, Jakarta. 11. Suradinata Ermaya, 2005, Hukum Dasar Geopolitik dan Geo Strategis Dalam Kerangka Keutuhan NKRI, Suara Bebas, Cet-1, Jakarta.

------*****----Serangan terorisme terhadap kota New York dan Pentagon pada 11 September 2001, telah mengarahkan perhatian Publik Dunia terhadap isu terorisme Global. Serangan oleh kelompok teroris yang kemudian dituduhkan kepada AL QAEDAH pimpinan Osama bin Laden itu bukan saja telah meruntuhkan gedung kembar World Trade Center (WTC) sebagai simbol keberhasilan kapitalisme, tetapi juga menyebabkan terbunuhnya ribuan manusia yang bekerja pada gedung tertinggi itu. Terorisme dapat dianggap sebagai cara yang masuk akal untuk mengejar keinginan ekstrim dalam kancah perseteruan politik, terorisme merupakan salah satu dari berbagai alternatif yang dapat dipilih oleh organisasi-organisasi radikal untuk melakukan perlawanan terhadap satu idelogi atau negara yang dianggap menciptakan ketikadilan terhadap kelompok masyarakat tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Studi para pakar terorisme menunjukan berbagai faktor menyebabkan terjadinya aksi terorisme yang ada di dunia ini. Para teroris merasa yakin bahwa mereka telah kehabisan cara untuk merubah situasi Sosial, Politik, Ekonomi atau Kehidupan Beragama dan tidak memiliki pilihan lain dalam menyampaikan maksudnya kepada pemerintah yang sah selain melakukan aksi teror. Sayangnya, para teroris sengaja menjadikan Warga Sipil sebagai sasaran serangan-serangannya yang sadis dan brutal, hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu diantaranya: 1. LEMAHNYA KEMAMPUAN BERUNDING, DIPLOMASI DAN LOBI => Menyadari bahwa dirinya / kelompoknya tidak akan pernah menang dalam menyelesaikan suatu permasalahan lewat meja perundingan, diplomasi dan lobi, maka tidak ada alternatif lain kecuali melakukan aksi terorisme. Alasan ini merupakan akumulasi proses belajar One Way raffic dan System Satu Arah dimana guru senantiasa memberikan ajarannya tanpa adanya proses dialog, serta keyakinan siswa bahwa guru selalu benar dan tidak pernah salah, sehingga terpola kemampuan berpikir Pokoknya ya ini yang benar, kalau tidak ini berarti salah serta berwawasan sempit. 2. MENARIK PERHATIAN => Pada teroris pada umumnya beralasan bahwa aksi terorisme adalah cara paling jitu untuk menarik perhatian massa di dunia. Setelah keluhannya tidak mendapat tanggapan yang berarti, mereka yakin bahwa dengan membunuh banyak Warga Sipil tak berdosa, mereka akan berhasil menarik perhatian dunia dan selanjutnya dunia akan memahami keluhan tersebut serta membantu mengurangi akar masalah atau menyelesaikan masalah. 3. PENINDASAN => Teroris sering menyatakan argumentasinya bahwa mereka telah menjadi korban tindak kesewenang-wenangan pemerintah dan aparatnya atau pemerintah tidak pernah menanggapi keluhan / protes agar merubah situasi Sosial, Politik atau Ekonomi yang ada, sehingga mereka harus angkat senjata untuk menyampaikan aspirasinya.

4. KEHENDAK YANG KUASA => Teroris ini beranggapan bahwa ajaran agamanya-lah yang paling benar dan merasa yakin bahwa apa yang ia atau mereka lakukan merupakan Kehendak yang Kuasa. Para teroris yang termasuk kedalam golongan ini adalah, antara lain : a. Osama Bin Laden adalah merupakan Pemimpin Jaringan Al Qaeda, serunya untuk berperang melawan Amerika Serikat karena dimatanya Amerika bersama dengan Israel telah menguasai 2 kota suci Islam yaitu Makkah dan Jerusalem, dan dukungan Amerika terhadap Rezim Arab Saudi yang Korup serta Penindas. b. Kelompok Radikal Israel RABBI MAER KAHANE dan BARUCH GOLDSTEIN yang menembaki Jamaah pada sebuah Masjid di Hebron pada tahun 1994. c. SHOKO ASAHARA adalah Pemimpin Sekte Aum Shinkriyo yang bertanggung jawab atas terjadinya Serangan Biokimia (Gas Sarin) yang mengakibatkan meninggalkan 8 orang dan 2.500 orang lainnya luka-luka di Stasiun Bawah Tanah di Tokyo Jepang. 5. PASUKAN PEMERINTAH LEBIH KUAT => Karena Pasukan Pemerintah atau Pasukan Musuh lebih kuat, maka kelompok teroris ini menggunakan pasukan gerak cepat dan sangat rahasia. Menyebarkan isu dan menciptakan rasa takut terhadap anggota pasukan musuh melalui aksi terorisme. 6. RASIALISME => Teroris ini menggunakan alasan bahwa kelompok minoritas harus disingkirkan karena telah mendominasi sektor ekonomi sektor-sektor yang lainnya hal ini pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1998 di mana Warga Negara Turunan Tionghoa / Cina di Jawa terjadi kerusuhan yang mengakibatkan Pembakaran, Pembunuhan dan Pemerkosaaan. Dalam hal ini bisa dilihat dari Aset-asetnya di bakar dan banyaknya pembunuhan serta wanitanya banyak diperkosa 7. SOSIAL BUDAYA => Kelompok teroris ini menilai bahwa perubahan sosial budaya yang terlalu cepat telah menimbulkan konflik dalam masyarakat. Masyarakat di buat bingung untuk memilih nama yang benar dan mana yang salah menurut Ukuran Budaya, Tingkah Laku, Bahasa, Moralitas dan Agama. Keresahan ini selanjutnya dimanfaatkan oleh individu atau kelompok tertentu untuk menggalang atau menggiring masyarakat agar menganut Politik, Ideologi atau Agama yang diyakininya.. Dalam konteks Indonesia kita dihadapkan dengan berbagai Potensi Islam Radikal yang terpaksa melakukan berbagai aksi Terorisme yang bersifat Trans National Crime, disamping alasan ketidakadilan ekonomi dan politik dalam negeri yang baru mengalami transisi menuju demokrasi dewasa ini. Kasus Bom yang terjadi secara beruntun mengingatkan kita akan pentingnya menangani, mencegah dan memberikan solusinya baik secara ilmiah maupun dengan cara perlawanan atau perang melawan terorisme. Dengan melihat faktor-faktor yang menggambarkan bahwa tindakan teror yang dilakukan para teroris tersebut dianggap sebagai tindakan yang benar, hal ini tentunya sebagai bangsa yang besar dan beradab kita sepakat bahwa langkah-langkah yang dilakukan oeh para pelaku terorisme sangatlah tidak Manusiawi dan Biadab. Aparat kepolisian (POLRI) sebagai ujung tombak Pemerintahaan dalam perang melawan terorisme seyogyanya dapat memehami aturan main sesuai dengan hukum dan etika yang berlaku baik Nasional maupun Internasional, serta memperhatikan nilai-nilai HAM dan

lebih menonjolkan Profesionalisme dalam bertugas. Dengan demikian, tugas-tugas Aparat Polri dalam melakukan penanggulangan dan pemberantasan terorisme terhindar dari badai protes masyarakat yang cenderung kritis atau hujatan media massa Asing. Untuk menghindari protes dari masyarakat dalam penanggulangan terorisme, Polri perlu menonjolkan sikap Proposional dan Rasa Kemanusiaan, para kelompok Teroris yang identik dengan Kelompok Separatis tersebut mampu kita kalahkan atau sadarkan dengan cara Manusiawi. Demikian tulisan ini, semoga dapat bermanfaat. 12 September 2009 Kategori: Keamanan . . Penulis: Onesimus No Comments Yet Belum ada komentar. Komentar RSS Laca secara teoretik tidak ada dalam kamus hukum adanya mafia, teroris, penjahat, dalam hukum secara teoretik hanya ada individu atau kelompok yang melawan hukum. kita ingat bahwa hakekat hukum adalah untuk menertibkan masyarakat. idealnya masyarakat akan tertib dan semua taat pada hukum, tetapi secara empirik kenyataan yang terjadi di masyarakat tidaklah demikian, banyak individu atau kelompok yang tidak mau mengikuti aturan, banyak oknum yang mengunakan kelemahan hukum demi keuntungan mereka. kajian sosiologi hukum akan mengkaji kenapa mereka tidak taat, kenapa muncul mafia, teroris, penjahat hukum, apa ada yang salah dengan hukum. menarik bukan.... kembangkan imajinasi kalian ketika kalian melihat fenomena dan fakta di masyarakat yang berkaitan dengan hukum.. banyak banget kan... selamat belajar, keep spirit... ga Seperti ditulis Detik.com (16/8, 11:58) Presiden Yudhoyono (SBY) menyatakan, penanganan terorisme tidak boleh hanya di permukaan, harus menyentuh dan mengatasi penyebabnya. Beberapa penyebab itu, katanya, keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan, ekstremitas, dan budaya kekerasan. Sumber : Kompas Edisi : Jumat, 31 Agustus 2007

Jl. Abd. Rahman RT. 03 RW. 08 Kel. P. Pudu Duri, Riau, Telp: 076592565 Faktor-faktor Penyulut Radikalisme Agama Ditulis oleh Ustadz Muladi Mughni, Lc. Berikut ini akan saya sampaikan enam faktor yang dapat menyulut dan memunculkan aksi terorisme-radikalisme. Mengingat Rasulullah Saw sangat mewanti-wanti umat Islam untuk tidak terjebak pada tindakan ekstremisme (at-tatharuf al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayyiq), kaku (tanathu/rigid), dan keras (tasyaddud). I. Faktor Pemikiran:

Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat Islam. Sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan produk sekularisme yang secara pilosofi anti terhadap agama. Sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan penentangannya terhadap alam relaitas yang dianggapnya sudah tidak dapat ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan keberkahan dari Allah Swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya jalan selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama itu dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal yang berbau modernitas. Pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham fundamentalisme. Kedua corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan yang kontra produktif bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya. Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama dan yang kedua mengajak kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan reaksi yang bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di semesta ini sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia. Di samping itu, banyaknya sekelompok orang yang lebih memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas dan benar (rusukh). Terkadang sumber bacaannya adalah buku-buku terjemahan yang kurang dapat dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya sangat dangkal. Ahli kimia berbicara al-Quran, ahli kedokteran berbicara tafsir, ahli teknik bom berbicara fiqh jihad. Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan lain-lain. Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewenga n kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri. II. Faktor Ekonomi : William Nock pengarang buku Perwajahan Dunia Baru mengatakan: Terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia. Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini

diterapkan pada tingkat Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional. Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror. Sangat tepat jika kita renungkan hadits nabi yang mengatakan, Kaada al-Faqru an yakuuna Kufran. Hampir-hampir saja suatu kefakiran dapat meyeret orangnya kepda tindakan kekufuran. Bukankan tindakan membunuh, melukai, meledakkan diri, meneror suatu tindakan yang dekat dengan kekufuran.? III. Faktor Politik: Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar. Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya. Bukankan kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin sejarah itu terulang kembali saat ini. IV. Faktor Sosial: Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingankepentingan tertentu. Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan

tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang. Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja. V. Faktor Psikologis: Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya. Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu. VI. Faktor Pendidikan: Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem

pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama. Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan. Demikianlah penjabaran enam faktor penyulut terorisme, semoga dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergeis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah. Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertaqwa dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat. Dengan langkah ini kita memohon kepada Allah Swt, semoga bangsa dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan janji dan spirit al-Quran: Yang artinya: Seandainya penduduk suatu kaum itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan (agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu sendiri (Q.S. al-Araf: 69). Pesantrenvirtual.com

Terorisme, HAM, dan Hukum


Oleh Kamri Ahmad (Dosen Pascasarjana UMI Makassar)

Setelah peristiwa bom terorisme oleh kelompok Amrozi di Bali beberapa tahun lalu, Indonesia ternyata masih sangat rawan atau belum aman dari ancaman penyakit terorisme yang sangat mengerikan itu. Terbukti tanggal 17 Juli 2009 Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta kembali dibom.

Semua sepakat bahwa kejahatan terorisme adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Meski begitu, jika dikaitkan dengan hak asasi manusia dan hukum, penanganan dari sisi hukum tetaplah harus dilakukan secara objektif dan jujur. Objektif dalam arti, segala hal yang melingkupi tindakan terorisme tersebut harus tetap menjadi acuan penanganan.

Telah cukup diketahui bahwa terorisme adalah kejahatan yang harus dikutuk oleh semua orang tanpa kecuali. Bagaimana dan apapun motifnya, tindakan para teroris sungguh tidak dapat dibenarkan (unjustifiable).

Itu karena kejahatan mereka benar-benar kejahatan tanpa hati nurani. Disebut kejahatan tanpa hati nurani karena korbannya bersifat masif dan meluas. Efek yang timbul tidak mengenal orang dewasa atau anakanak, perempuan atau laki-laki yang tanpa kesalahan pun, semuanya bisa menjadi sasaran teroris sebagaimana yang disaksikan oleh semua orang.

Terorisme dan HAM

Di dalam The United Nations Charter's purposes also include significant references to human rights article 1, terkandung tujuan-tujuan antara lain: (1). To maintain international peace and security. (2). To develop friendly relations among nations based on respect for the principles of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal pease.

Jadi dalam Piagam PBB tentang HAM, hal yang terpenting diperhatikan oleh semua bangsa-bangsa (termasuk Indonesia) ada tujuan-tujuan yang hendak dicapai seperti memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Kemudian menjalin hubungan persahabatan berdasarkan persamaan hak tanpa kecuali, dan mengambil tindakan yang tepat untuk memperkokoh perdamaian yang bersifat universal itu.

HAM dalam perkembangannya, ada yang disebut HAM generasi ketiga. HAM generasi ketiga mengutip Satjipto Rahjardjo, 2007, di antaranya ialah hak untuk kenyamanan dan keamanan lingkungan, hak atas perdamaian, hak atas pertumbuhan (ontwikkeling), hak atas lingkungan yang bersih, hak atas kekayaan alam, dan hak atas milik kebudayaan sendiri (eigen culturele erfgoed).

Kenyamanan hidup berdampingan satu sama lain misalnya, adalah suatu jalinan yang sangat didambakan oleh semua umat manusia di dunia ini. Dalam UUD kita disebut "Kemanusiaan yang adil dan beradab".

Dalam bahasa internasional tentang HAM disebut bebas dari rasa takut (freedom from fear), hak untuk hidup (right to life) dan di dalam Alquran disebut "Hablun minannaas" yang dalam firman Allah swt lainnya disebut lita'aarafuu terhadap syubuu'an waqabaail, yakni jalinan kehidupan antarsuku dan antarbangsa.

Terkait dengan peristiwa bom yang terjadi pada tanggal 17 Juli lalu, baik dari sisi pandangan komunitas internasional, maupun dari sisi hukum dan konstitusi Indonesia, bahkan pada rujukan Alquran sekalipun, tindakan seperti itu sama sekali tidak memiliki dasar hukum. Itulah sebabnya, tindakan teroris dari sisi sosiologis, ada yang menyebutnya sebagai "tindakan tanpa hati nurani".

Dan yang paling mengerikan ialah aksi terorisme yang menggunakan senjata perusak massal seperti bom (weapon of mass destruction). Hal ini terbukti pada peristiwa bom Bali serta Hotel Marriot, Indonesia, dan peristiwa World Trade Center (WTC) tahun 2001 di Amerika Serikat.

Tindakan terorisme dan akibatnya, di samping tidak memiliki suatu alas pembenaran (justification), juga akibat yang ditimbulkan sangat luar biasa (hight cost implication) karena berimplikasi langsung pada adanya gangguan hubungan internasional.

Sementara hubungan internasional juga bisa berdampak pada sisi perekonomian domestik, seperti pengaruh terhadap pendapatan devisa negara melalui turis manca negara, investor asing yang kurang tertarik menanamkan modal karena keamanan tidak terjamin, termasuk kurang menjamin kepastian hukum dan lain-lain.

Kecuali itu, dalam operasional kelompok terorisme dalam melakukan aksinya khusus dari segi pendanaan, dapat saja mereka melakukan segala macam cara untuk mendapatkan dana operasional. Misalnya, melakukan pembobolan bank dengan cara-cara tertentu seperti kejahatan dunia maya melalui komputer (cyber crime), money loundring, serta kegiatan-kegiatan ilegal lainnya yang bersifat transnasional yang dapat menjadi sumber pendanaan yang cukup besar. Semua itu menunjukkan bagaimana pelanggaran HAM yang sangat luar biasa akibat tindakan terorisme.

Terorisme dan Hukum

Meskipun diketahui bahwa terorisme terkait dengan HAM, oleh sebab itu kaitannya dengan penanganan secara hukum, penting pula kiranya dilakukan penanganan melalui pendekatan yang objekif. Menurut Muladi (2003), pendekatan yang objektif itu disebut pendekatan yang bersifat "covering both sides".

Yakni suatu pendekatan di samping harus dilihat dari sisi HAM, juga perlu dilihat dari sisi pelaku (victim and offender oriented). Barulah kemudian dilihat dari sisi hukumnya itu sendiri, terutama menyangkut sistem administrasi peradilan pidana dengan pengembangan extraordinary measure.

Di Malaysia dan Singapura misalnya, pelaku terorisme diperlakukan dengan sangat ketat. Untuk pelaku terorisme diberlakukan prosedur hukum yang tidak biasanya seperti pada kejatahan-kejahatan warungan.

Umpamanya, untuk penangkapan, polisi tidak perlu menggunakan surat perintah penangkapan maupun surat perintah penahanan. Begitu pula tenggang waktu penahanan serta lamanya penahanan. Semuanya dilakukan secara ekstra ketat, sehingga adakalanya si pelaku diperlakukan di luar sistem due process of law. Tidak heran pelaku terorisme ditahan hingga bertahun-tahun tanpa proses.

Di Indonesia, berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme, seseorang yang dicurigai sebagai anggota terorisme, polisi hanya berkenan menahan selama tujuh hari tanpa surat perintah penahanan. Ini masih terlalu ringan bilamana dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura.

Kejahatan terorisme yang diketahui sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) barang tentu juga harus dilakukan penanganan dengan langkah-langkah yang luar biasa pula (extraordinary measure). Misalnya tentang penahanan.

Dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP), sistem administrasi peradilan pidana sangatlah tidak memadai apabila ketentuan ini diterapkan untuk pelaku terorisme. Dikatakan sangat tidak memadai, karena langkah-langkah penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHAP, ketentuan ini sangatlah enteng dan hanya biasa-biasa saja untuk sebuah kejahatan luar biasa seperti terorisme.

Oleh sebab itulah, sangat dimungkinkan aparat pelaksana hukum (khususnya aparat kepolisian) menyimpang dari prinsip-prinsip tentang due process of law, atau equal before justice dan lain-lain. Pembatasan terhadap prinsip-prinsip tersebut dapat dilakukan karena undang-undang pun mengenal apa yang disebut derogable rights, hak-hak yang bersifat relatif.

Tentunya penyimpangan-penyimpangan administrasi peradilan pidana semacam itu hanya berlaku bagi pelaku kejahatan yang luar biasa. Maka dari itulah, penyimpangan proses administrasi peradilan pidana yang demikian itu disebut extraordinary measure. Penyimpangan itu dilakukan tentu dengan berbagai alasan, seperti public emergency atau mungkin juga kepentingan social defence dan lain-lain yang terkait kelangsungan kehidupan negara.

Secara hukum positif, Indonesia pun mengenal pembatasan hak-hak yang relatif itu sebagaimana diatur di dalam UU No 3 Drt Tahun 1959 mengenai keadaan bahaya atau public emergency. Sekalipun demikian, walaupun hak-hak absolut non derogable rights seperti right to life tetap harus pula dijunjung tinggi, tetapi juga social rights tidak boleh terabaikan sebagai bagian dari pemeliharaan generasi HAM ketiga

HAM dan Teror


In Articles by Nino on November 3, 2006 at 7:15 am

Secara internasional, kita sedang melihat peningkatan penggunaan apa yang saya sebut kata Tterorismeuntuk menyerang lawan-lawan politik, memberangus kebebasan berbicara dan kebebasan pers, dan untuk melegitimasi lawan-lawan politik yang sah.

Pernyataan itu dilontarkan oleh Sekjen PBB Kofi Annan pada pertemuan tingkat tinggi Dewan Keamanan PBB, Selasa (21/01/2003). Melalui pernyataan Kofi Annan itu kita kembali diingatkan, terorisme tidak lagi sekadar peledakan bom bunuh diri atau penyanderaan anak sekolah, tapi terorisme telah meluas sampai perampasan hak asasi manusia (HAM) di segala lini kehidupan. Akan tetapi, pejuang HAM pun memiliki tantangan dalam menghadapi terorisme. Menyandingkan terorisme dengan HAM bisa jadi adalah suatu yang paradoks. Pada satu sisi, teroris atau tersangka teroris tergolong telah melakukan kejahatan berat, yaitu tidak hanya telah menghabisi nyawa orang lain, yang kadang kala tidak tahu apa-apa, tapi juga menebarkan rasa takut dan cemas ke anggota masyarakat yang lain, bahkan menembus batas teritorial negara sekalipun. Dari sisi hukum formal dan sistem norma yang berlaku di masyarakat, semua tindakan kriminal seharusnya diberikan hukuman yang setimpal dengan dampak yang dihasilkan. Namun pada sisi lain, penegakan hukum terhadap kejahatan terorisme terkadang dilakukan dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan HAM. Padahal, para teroris atau tersangka teroris adalah juga manusia, yang memiliki hak asasi sebagai manusia yang harus kita hargai. Artinya, mereka pun harus dilakukan selayaknya manusia yang lain, termasuk dipenuhi hak-haknya. Inilah dilema utama para pejuang HAM, di manapun, dalam menghadapi terorisme, karena terorisme adalah sebuah penyakit sosial yang harus segera disembuhkan sebelum menimbulkan korban baru. Tetapi, penanganan terhadap kasus terorisme pun jangan sampai dilakukan dengan melanggar prinsip-prinsip yang berlaku dalam HAM. Masalahnya bagaimana para pejuang HAM menyikapi terorisme? HAM dan Terorisme Harus diakui, bom Bali I adalah sebuah momentum yang membuka mata pemerintah akan dampak dan bahaya terorisme di Indonesia. Selang beberapa hari, tanpa banyak perdebatan Presiden Megawati membuat dua buah Perpu sebagai landasan hukum bagi aparat keamanan untuk menindak tegas para pelaku peledakan bom Bali I. Perpu yang dikenal sebagai Perpu Anti Terorisme itu kini sudah naik pangkat menjadi UndangUndang Anti Terorisme. Beberapa pasal UU Anti Terorisme menyebutkan adanya perlakuan istimewa bagi penegak hukum untuk mencari, menggeledah, menangkap, menyidik, dan mengadili para tersangka pelaku terorisme. UU inilah juga yang menjadi dasar hukum bagi Detasemen 88 Anti Terorisme Polri untuk mengejar pelaku peledakan bom yang lain, termasuk ketika menggerebek Dr Azahari bin Husein pada Rabu 9 November lalu, di Jl. Flamboyan blok A/I Batu, Malang, Jawa Timur. Pada hari itu Azahari tewas mengenaskan, setelah terlebih dahulu terjadi baku tembak. Kita perlu sepakat, yang paling berbahaya dari terorisme bukanlah para terorisnya, melainkan paham atau ideologi terorisme yang dibawa oleh masing-masing teroris. Sebuah paham atau ideologi yang menghalalkan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan politis tertentu. Salah satu cara yang diyakini paling efektif untuk memutus rantai regenerasi paham terorisme adalah dengan membunuh aktor-aktor pelaku terorisme. Harapannya, agar tidak terjadi transfer ilmu terorisme dari satu generasi/kelompok ke generasi/kelompok

yang lain. Karenanya, hukuman mati atau tembak di tempat diberlakukan bagi para tersangka teroris. Namun apakah cara seperti ini menjadi legal di mata HAM di mana tertulis, Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat merampas hak hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik). Teror terhadap HAM Sasaran terorisme bisa jadi siapa saja dan apa saja. Entah itu negara atau kelompok atau individu. Namun pada prinsipnya dan yang paling menyakitkan, terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini kita berbicara pada posisi dimana HAM menjadi sasaran tindakan teror itu dilakukan. Jika kita melihat peledakan bom dilakukan sebagai sebuah usaha untuk mengekspresikan pendapatnya, maka cara itu sangat tidak manusiawi, karena tidak ada yang lebih berharga di dunia ini daripada nyawa seseorang. Peledakan bom Bali, misalnya, telah menyebabkan puluhan bahkan ratusan nyawa lenyap. Kejahatan seperti ini jelas tidak bisa ditolelir oleh HAM. Akibat dari peledakan itu sendiri pun melanggar hak asasi manusia, khususnya Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi, Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Dengan adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat bahwa sasaran utama terorisme bukan lagi sekadar kejahatan terhadap negara atau kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM. Pembunuhan Munir, seorang pejuang HAM, merupakan contoh lain teror politik terhadap HAM. Siapapun pelaku pembunuhan Munir, tujuannya adalah untuk menebar rasa takut di kalangan pejuang HAM untuk menghentikan aktivitasnya memperjuangkan HAM. Prinsipnya, terorisme hanyalah alat untuk mewujudkan tujuan politis tertentu dan para teroris tidak akan pernah berhenti sampai tujuan itu terpenuhi. Terorisme disebut banyak orang sebagai sebuah kejahatan yang extraordinary, karenanya terorisme pun harus diperlakukan secara extraordinary. Namun, apakah cukup manusiawi apabila penanganan terhadap kasus terorisme harus dilakukan dengan memperlakukan para tersangka teroris secara tidak manusiawi? Ataukah justru sebaliknya, warga masyarakat akan merasa sangat puas ketika melihat aparat keamanan berhasil menghabisi para tersangka teroris?

You might also like