Professional Documents
Culture Documents
Gedung AMN Lt.4, Jl. Kendeng 307 Sidanegara, Cilacap 53223. Jawa Tengah INDONESIA Tel.Fax. +62-282-507 000 4 E-Mail: ysbscilacap@yahoo.com Website: www.ysbs.or.id
1. LATAR BELAKANG KEPRIHATINAN Melakukan migrasi merupakan hak setiap manusia. Dalam hal ini Gereja Katolik tidak pernah bisa melarang atau pun mengijinkan seseorang jika ingin bermigrasi. Gereja Katolik melihat bahwa migrasi merupakan masalah ketika jutaan warga Indonesia setiap tahunnya menjadi buruh migrant ke negara lain karena alasan kemiskinan dan ternyata sebagian besar dari BMI tsb. tidak memiliki ijin kerja, dan kemudian mereka ini dieksploitasi di luar negeri. Sebagai contoh: kasus BMI di Malaysia yg masuk lewat Entikong dan Badau, Kalbar. Mereka masuk ke Malaysia seolah-olah sebagai turis lalu sesampainya mereka di sana, ada orang-orang yang menampung mereka untuk bekerja dan kemudian dieksploitasi. Inilah yang disebut sebagai kejahatan human trafficking yang menggunakan dokumendokumen sah dan sistematis serta didukung oleh jaringan kuat yang kemungkinan melibatkan oknum aparat pemerintah Indonesia dan negara tujuan. Terbetik masalah demi masalah dengan aneka modus operandi mulai pada tahap rekruitmen, penampungan, pengiriman, pengangkutan sampai pada penempatan (lihat Radar Banyumas, 10/10/2010 hal.3,9). Bahkan ketika kembali ke tempat asal pun para perantau kita masih mendapat pemerasan di perjalanan sampai di pelabuhan/bandara Indonesia yang disaksikan oleh kaum keluarga dan pihak penegak hukum. Selain itu Gereja Katolik juga prihatin atas nasib anak-anak BMI yang lahir dan besar di negara asing, namun tidak dipenuhi hak-hak dasarnya oleh pemerintah negara itu, seperti tidak diberi dokumen kelahiran, pelayanan kesehatan dan pendidikan. 2. HUMAN TRAFFICKING DALAM PERSPEKTIF KATOLIK Tindak ketidakadilan yang menimpa banyak warga manusia pada saat ini secara nyata dapat ditunjuk pada "pembudayaan" tindak kekerasan pada pelbagai sektor dan level kehidupan, termasuk terhadap mereka yang bekerja sebagai buruh migran dan berujung pada terjadinya praktek-praktek perdagangan manusia (human trafficking). Dalam banyak kasus BMI tidak diperlakukan/digaji secara adil serta tidak terlindungi keamanannya. Mereka dieksploitasi secara berlebihan dan bahkan mengalami pemerkosan secara fisik, kejiwaan dan martabatnya. Dalam pandangan iman Gereja Katolik, praktek ketidakadilan dengan berbagai bentuk kekerasan tersebut, termasuk perdagangan manusia, merupakan bentuk nyata dari perbudakan, dan perbudakan mencederai serta merusak citra manusia sebagai imago Dei yang memiliki martabat sebagai pribadi yang begitu luhur, mulia dan indah (Kej. 1: 26-27; Kej. 2:7). Inilah keprihatinan terbesar bagi Gereja dan juga bagi umat manusia pada umumnya.
Bahan dasar materi ini dirangkum dan dikembangkan dari Pernyataan Akhir Seminar & Lokakarya Komisi KKP & Pastoral Migran KWI, Nunukan 26-28.8.2008 Workshop Strategi Melawan Trafficking : Persoalan BMI dan Human Trafficking dalam Perspektif Katolik
Penggenapan nubuat itu mencapai puncaknya dalam wafat dan kebangkitan Yesus, sehingga para rasul mengajarkan bahwa di dalam Yesus tidak ada lagi beda antara budak dengan orang merdeka.
Sebab dalam satu Roh kita semua, baik budak, maupun orang merdeka, telah menjadi satu tubuh . (1 Kor 12:13, lih. juga Gal 3:37-28). .dalam hal ini tiada lagi budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. (Kol 3:11).
Dengan demikian pengorbanan Kristus di kayu salib telah menebus semua orang, termasuk para hamba. Bahkan Kristus mengajarkan agar kita berbuat kasih kepada mereka yang terkecil dan terhina, sebab dengan demikian kita melakukannya untuk Dia;
Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (lih. Mat 25: 40).
Setelah jaman Yesus dan para Rasul, Gereja Katolik terus menerus berjuang melawan perbudakan2: St. Gregorius Nissa (335- 394) menuliskan penolakan absolut terhadap perbudakan (dalam Ecclesistem, hom, iv) St. Yohanes Krisostomus (347-407): Perbudakan adalah buah dari hasrat yang berlebihan, keserakahan (Epist. as Ephes., Hom, xxii.) St. Yohanes Krisostomus mengajarkan visi kemasyarakatan tanpa perbudakan. Konsili di Orleans (511, 538, 549) dan Konsili Epone (517) memberi perhatian dan perlindungan kepada para budak dan membuka gereja-gereja sebagai tempat penampungan/ pengungsian para budak yang diperlakukan dengan tidak wajar. Konsili Auxerre (578, 585) menetapkan hari istirahat bagi para budak pada hari-hari Minggu dan hari perayaan. Ordo Trinitarian yang didirikan tahun 1198 oleh St. Yohanes Martha dan St. Felix of Valois membebaskan 900.000 budak pada tahun 1787. Ordo Our lady of Ransom (Mercedarians) yang didirikan abad 13 oleh St. Petrus Nolasco, membebaskan 490.736 orang budak antara 1218-1632. St. Vincentius de Paul mengirimkan para imam dari ordonya untuk membebaskan para budak, dan dari tahun 1642 1660 membebaskan 1200 budak. Sejak abda ke- 15 misionaris Katolik, teolog dan pemimpin negara bekerja keras untuk memerangi human trafficking untuk dijadikan budak. Para Paus yang mengecam perbudakan: Pius II (1462): Perbudakan adalah perbuatan kriminal yang besar (magnusm scelus); Gregorius XIV (1591); Urban III (1639); Innocentius (1686); Benediktus XIV (1741); Pius VII (1815); 6) Gregorius XVI (1839) melarang perbudakan dan penjualan budak; 7) Pius IX (1846); 8) Leo XIII (1888) yang menginstrusikan kepada uskup-uskup Brazil untuk menghapus sisa-sisa perbudakan di daerah mereka. Paus Leo XIII dengan ensikliknya Rerum Novarum juga sangat jelas membela hak kaum pekerja. Pada masa Revolusi Perancis, atas pengaruh seorang Imam Katolik, Abbe Henri Gregoire (17501831) National Assembly 1794 mendekritkan penghapusan perbudakan dan perdagangan budak di semua daerah kekuasaan Perancis. Tahun 1890, Kardinal Lavigerie (1825-1892) mendirikan badan anti perbudakan untuk memerangi perbudakan pada lingkup internasional. Melalui ajaran sosialnya, Gereja Katolik selalu mengajak seluruh umat beriman untuk selalu peka dan peduli pada nasib sesama, terutama mereka yang miskin, menderita, terasing dan terbuang dari
2
Workshop Strategi Melawan Trafficking : Persoalan BMI dan Human Trafficking dalam Perspektif Katolik
Sesungguhnya, melalui pengalaman dan peristiwa biblis dari masa ke masa, Allah tiada henti mengajar dan mengajak kita untuk terus keluar (eksodus) sebagai Gereja Peziarah dan hidup sebagai orang asing di tanah Tuhan. Kesadaran sebagai orang asing di tanah Tuhan ini membutuhkan perubahan paradigma yang mengandaikan gerakan untuk eksodus:
dari anggapan terhadap manusia sebagai barang untuk dimanfaatkan dan diperdagangkan ke tempat sakral yang dihormati. dari paradigma manusia sebagai obyek yang dieksploitasi kepada situs/tempat kediaman Allah. dari manusia yang mengejar egoisme pribadi dengan segala kesenangannya kepada tujuan cintakasih persaudaraan yang diajarkan oleh Kristus sendiri.
Melalui Inkarnasi dan peristiwa Salib, Allah telah menunjukkan keberpihakan dan solidaritas yang luar biasa terhadap manusia yang lemah (bdk.Yesaya 53:4-6, I Ptr.2:24-25). Dalam diri Yesus dari Nazareth, Allah hadir dan bermurah hati, menjadi dan mengambil bagian dalam perjuangan manusia (bdk.Lukas 4:18-19). Karena itu, keterlibatan dan keberpihakan Gereja itu bukan pertama-tama karena realitas eksternal yang bermasalah, melainkan merupakan panggilan dan spiritualitas internal Gereja. Dasar Moral Kristiani
Dalam ajaran moral kristiani tegas dikatakan bahwa dalam praktek ketidakadilan terhadap BMI dan perdagangan manusia, terutama pada perempuan dan anak-anak, sebagai salah satu dampak dari migrasi, terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan pengrusakan martabat manusia sebagai citra Allah. Dasar praktis
Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja melandasi perjuangan kemanusiaan, antara lain menghargai martabat manusia (Rerum Novarum 1891), bersikap solider, menghargai subsidiaritas (Quadra Gessimo Anno 1931), mengutamakan kepentingan umum dan tetap memilih berpihak kepada yang miskin (Mater et Magistra 1961)3. 5. TINDAKAN KONKRET Oleh karena itu Gereja Katolik sepakat, bahwa persoalan eksploitasi terhadap BMI dan perdagangan manusia harus menjadi pusat perhatian semua pihak. Gereja Katolik juga ingin menegaskan keberpihakannya dalam memperjuangkan harkat dan martabat manusia dengan menciptakan ruang diskusi atau dialog, membangun jejaring serta menjadi mediator dan fasilitator dengan pihak
3
Untuk mempelajari rinci bagian ini silahkan melihat appendix II: ringkasan beberapa Ajaran Sosial Gereja Workshop Strategi Melawan Trafficking : Persoalan BMI dan Human Trafficking dalam Perspektif Katolik
Bahan bacaan: 1. 2. 3. 4. Alkitab. LAI, Jakarta 1988 KWI, Perdagangan Manusia: Masalah, Tantangan dan Solusi. Mirificia.2008 Dokumen Ajaran Sosial Gereja. Iman Katolik, http://www.imankatolik.or.id/ Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia, Deklarasi Anti Perdagangan Manusia. Lumen San Dominggo. Agustus 2010 5. Listiati, Ingrid, Perbudakan, Bagaimana Menurut Gereja Katolik? http://katolisitas.org
Workshop Strategi Melawan Trafficking : Persoalan BMI dan Human Trafficking dalam Perspektif Katolik
Dalam Seminar dan Loka Karya di Nunukan tahun 2008 ditemukan penyebab adanya tindakan perdagangan manusia, a.l: tradisi dan budaya yang materialistik, situasi dan kondisi geografis daerah yang melemahkan ekonomi masyarakat, kondisi mental dan intelektual yang masih rendah (SDM), pembangunan yang tidak merata, penyalahgunaan wewenang, korupsi, kurang terampilnya para tenaga kerja migrant serta kurang profesionalnya pelaku penempatan buruh migran, terjadinya perselingkuhan antara pihak penguasa dan pengusaha, dan adanya upaya politik yang sistematis dari negara asal BMI (contoh pengiriman BMI secara legal dgn tujuan latent meningkatkan devisa Negara).
Sedangkan faktor-faktor lain yang turut memicu terjadinya tindakan trafficking adalah: - Keterbatasan informasi dan pengetahuan Calon BMI mengenai sistem ketenaga-kerjaan (prosedur, job, negara tujuan) - Kurang adanya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan negara asing kepada BMI (larangan pemukulan, Asuransi, Pendidikan, Kesehatan, Pemerkosaan, dll) - Kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap warganya sendiri. - Perlakuan tidak manusiawi oleh majikan yang berdampak pada hamil karena diperkosa, sakit, cacat, meinggal dunia, pulang atas biaya sendiri, - Adanya jaringan penipuan terhadap calon pekerja migran - Tidak effektifnya perangkat hukum di tingkat daerah (Perda) untuk melindungi BMI dan mencegah terjadinya perdagangan manusia. 2. HAMBATAN PENANGANAN MASALAH HUMAN TRAFFICKING Terhadap aneka persoalan BMI ternyata masih sedikit dan lemah sekali tanggapan dan penanganan yang konkret dan berarti baik oleh masyarakat warga sendiri maupun oleh badan publik apalagi oleh para pemilik modal dan pasar. Selama ini memang sudah ada upaya pencegahan atau pertolongan dari pihak pemerintah terhadap persoalan perdagangan manusia dan korbannya. Hal itu tampak dengan adanya kemauan dari pemerintah untuk membuat beberapa Undang-undang yang melindungi BMI serta mencegah terjadinya upaya perdangan manusia, seperti UU No: 39 Tahun 2004 Tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar Negeri dan UU No: 21 Tahun 2007 Tentang Pencegahan Tindak Pidana Perdangan Manusia. Namun ditingkat implementasi ternyata instrument hukum tersebut belum mampu menyelesaikan masalah BMI dan human trafficking. Sejumlah sebab hambatan penanganan masalah human trafficking antara lain: - sebagian komunitas masyarakat masih menganggap perdagangan manusia sebagai bukan kejahatan serius, ada yang bahkan terlibat sebagai calo, makelar, sindikat dan mafia tenaga kerja yang melibatkan pula oknum pejabat dengan segala kepentingannya. - Hambatan juga datang dari masyarakat kecil sendiri yang adalah korban malah takut dan atau malu melaporkan perlakuan jahat yang dialami.
Workshop Strategi Melawan Trafficking : Persoalan BMI dan Human Trafficking dalam Perspektif Katolik
Workshop Strategi Melawan Trafficking : Persoalan BMI dan Human Trafficking dalam Perspektif Katolik