You are on page 1of 8

Bundo Kanduang dan Bundo Ka-Anduang Asyik memang kalau setiap kali kita mendengar devenisi demi devenisi

yang seringkali diberikan terhadap sosok perempuan di bumi Minangkabau ini. Pembicaraan tentang perempuan ini telah banyak memberikan berbagai informasi tentangnya. Hal ini menarik untuk dibahas karena berbagai persepsi yang di timbulkannya. H. Idrus Hakimi Datuak Rajo Panghulu dalam bukunya Peganggan Panghulu dan Bundo Kanduang dan Pidato Bundo Alua Pasambahan adalah Adat di Minangkabu menyebutkan Kanduang panggilan

terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau, artinya Bundo adalah ibu dan Kanduang adalah sejati. Bundo Kanduang adalah ibu sejati memiliki sifat keibuan dan kepemimipinan. Sistem matrilineal yang dipakai oleh orang Minangkabau secara tidak langsung telah membenarkan pendapat seorang H. ibu Idrus maka Hakimi garis tersebut, buktinya betapa pentingnya

keturunan pun ditarik melalui garis ibu. Lebih lanjut H. Idrus Hakimi mengungkap, dalam adat Bundo Kanduang itu dihimpun dalam suatu ungkapan berbunyi: Bundo Kanduang limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pagangan kunci, umbun puruak aluang bunian, pusek jalo kumpulan tali, sumarak di dalam kampuang, hiasan dalam nagari, nan gadang basa batuah, kok hiduik tampek banasa, kok mati tampek baniat, kaunduang-unduang kamadinah, kapayuang panji kasarugo. Di sini terlihat jelas betapa tingginya penghargan orang Minang terhadap kaum perempuan khususnya ibu. Senada dengan pendapat H. Idrus Hakimi, Dra. Adriyetti Amir, S.U. ( salah satu staf pengajar di Fakultas Sastra Universitas Andalas) mengatakan bahwa Bundo

Kanduang adalah tataran ideal seorang perempuan di Minangkabau yang mencerminkan segala sesuatu yang tercermin dalam mamangan adat di atas. Mereka adalah pemimpin sekaligus pengayom dalam masyarakatnya. Walaupun ada beberapa daerah di seputar wilayah Minangkabau ini yang yang memanggil dengan sebutan lain selain Bundo Kanduang yaitu dengan sebutan Mande Rubiah de daerah Lunang Pesisir Selatan. Akan tetapi sifat-sifat yang dimiliki oleh Mande Rubiah tersebut sama halnya dengan sifat Bundo Kanduang pada umumnya yaitu mengayomi dan mimimpin. Berbeda dengan pandapat H. Idrus Hakimi dan Adriyetti Amir, seorang budayawan da de daerah Lunang Pesisir Selatan. Akan tetapi sifat-sifat yang dimiliki oleh Mande Rubiah tersebut sama halnya dengan sifat Bundo Kanduang pada umumnya yaitu mengayomi dan mimimpin. Sementara itu Bapak Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto seorang budayawan dan seniman yang cukup dikenal di Padang berpendapat bahwa Bundo Kanduang terdiri dari dua kata yaitu kata Bundo dan Kanduang. Bundo berarti ibu dan kata kanduang pun di bagi menjadi dua yaitu prefik (ka) ditambah dengan kata dasar Anduang. Prefik (ka) bisa berarti menjadi atau untuk jadi dan anduang berarti nenek. Jadi Bundo Ka-anduang artinya kaum ibu di Minangkabau bukan hanya dituntut bisa menjadi orang tua (ibu) bagi anak-anak nya namun jauh dari itu mereka juga dituntut bisa menjadi nenek bagi cucunya kelak. Pertanyaan yang menarik adalah apakah saat ini masih bisakah kita menemukan hal-hal yang ideal untuk seorang perempuan itu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau?, atau mungkin masyarakat Minangkabau telah terpengaruh dengan arus globalisasi yang menyusup hampir keseluruh sistim kehidupan. Perempuan sibuk dengan karir dan segala kesibukan yang dimilikinya sehingga

meningglakan hakikat dirinya sebagai ibu dan nenek. Perempuan terlarut dalam isu emansipasi wanita yang seringkali digembargemborkan. Perempuan terlena dengan segala bentuk tututan atas persamaan hak dan kewajiban. Sementara ia terikat oleh sebuah kodrat yang harus dijalaninya. Barangkali hal inilah yang diharapkan untuk dicarikan

jawabannya. Karena sudah selayaknya generasi muda Minangkabau mengetahui, khusunya generasi muda perempuan, karena merekalah kelak yang akan menjadi Bundo Kanduang itu. Apakah mereka telah layak mendapat prediket sebagai seorang Bundo Kanduang?.

Menurut kabar atau ceritera lisan Minangkabau, Bundo Kanduang adalah nama seorang tokoh wanita yang menurunkan raja-raja Minangkabau, berkedudukan di Istana Pagaruyung. Dalam perkembangan selanjutnya, Bundo Kanduang atau Bunda Kandung menjadi istilah yang berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan.Menurut adat Minangkabau ibu adalah tempat menarik tali turunan yang disebut matrilineal. Hal ini mengandung makna agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu terutama laki-laki, menghormati dan memuliakan ibu tana pandang bulu. Kedudukan wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari ciri khas adat Minangkabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain: jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan harus beruku Paliang sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya. Seorang ibu akan lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkan seperti pepatah: Kalau Sampai Kalau karuah ka kuriak aie muaro induaknya, di karuah rintiak hulu juo anaknyo

Tuturan atok jatuhan ka pelimbahan Dalam bahasa Indonesia kurang lebih: Kalau keruh air dihulu/sampai ke muuara keruh juga/kalau ibunyi kurik, rintik anaknya/cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan.

Sesuai dengan kedudukan dan peranannya, rumah tempat tinggal diutamakan untuk wanita, bukan laki-laki. Seorang bapak selalu mempunyai cita-cita untuk membuatkan rumah tempat tinggal anaknya yang perempuan, bukan untuk anaknya yang laki-laki. Bahkan menurut adat Minangkabau, sudah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat mempengaruhi sistem perkawinan di Minangkabau, dimana setiap terjadi perkawinan si laki-laki menetap di rumah perempuan, sebaliknya apabila terjadi perceraian, laki-laki yang pergi dari rumah, perempuan tetap tinggal. Sawah dan ladang merupakan sumber ekonomi, pemanfaatannya diutamakan untuk

keperluan wanita karena wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Sebaliknya kaum laki-laki Minangkabau diberi tugas mengurus dan mengawasi sawah ladang untuk kepentingan bersama karena laki-laki menjadi tulang punggung bagi wanita, namun tidak berarti bahwa kaum laki-laki tidak dapat menikmati hasil atau mendapat manfaatnya sama sekali. Sesuai dengan sifatnya wanita yang pandai berhemat dan pandai mengatur ekonomi, maka yang menyimpan hasil sawah ladang dipercayakan kepada wanita atau Bundo Kanduang. Menurut adat Minangkabau, segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam lingkungan kaum dan persukuan selalu melalui musyawarah. Dalam musyawarah tersebut kaum wanita mempunyai hak suara dan pendapat sama dengan laki-laki. Bahkan suara dan pendapat wanita menentukan lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut. Misalnya, dalam upacara pernikahan belum dapat dilaksanakan jika belum mendapat persetujuan dari kaum wanita atau kaum ibu. Demikian pula dalam mendirikan gelar penghulu dalam suatu kaum baru dapat diresmikan apabila semua ibu dalam kaum tersebut menyetujuinya. Di samping itu penggunaan harta pusaka seperti menggadai, atau hibah dapat dilakukan tetapi harus mendapat persetujuan dari seluruh wanita anggota kaumnya. Penggunaannya pun untuk kepentingan bersama, misalnya untuk biaya upacara kematian, biaya upacara perkawinan anak perempuan dan untuk memperbaiki rumah gadang (rumah adat). Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Bundo Kanduang

Sesuai dengan tugas ibu sebagai pengantara keturunan dan mendidik anak-anak yang dilahirkannya, menurut adat Minangkabau seorang ibu harus memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya. Sifat yang herus dimiliki oleh Bundo Kanduang tidak jauh berbeda dengan sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu, antara lain: 1. Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, berkata-kata, sebaliknya selalu berbicara berpihak dan menegakkan kebenaran. bertindak. 2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam maupun 3. Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah, mengetahui untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan mengambil suatu keputusan. Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai pengetahuan, sekurang-kurangnya pengetahuan tentang

agama, pendidikan maupun bidang kewanitaan yang sangat berguna dalam berumahtangga. Untuk mengikuti pergaulan di lingkungan kampung dan nagarinya perlu juga mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi nagarinya. 4. Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam arit fasih mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara atau berkata-kata ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah tangga, keluarga maupun di lingkungan kaumnya karena merupakan sarana untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama bagi sesama kaum wanita dan anak-anak. 5. Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah perbuatan yang melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku. Rasa malu merupakan benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat dan perbuatan tercela. Menurut adat Minangkabau sifat malu merupakan peran utama dalam kehidupan kaum wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa malu akan membahayakan kehidupan rumahtangga, bahkan membahayakan masyarakat. Selain kelima sisat tersebut, seorang wanita harus dapat menjaga nama baik agar tetap disebut wanita sejati. Bundo Kanduang harus berhati-hati dalam tingkah laku dan perbuatan, misalnya dalam pergaulan dengan laki-laki, cara berpakaian, makan, minum, berbicara dan sebagainya. Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi wanita di dalam kehidupan, maka anak perempuan sangat diutamakan, namun bukan berarti bahwa adat Minangkabau tidak memerlukan keturunan laki-laki. Keduanya merupakan dua kesinambungan dan saling mendukung. Kewajiban maupun Menuruik Manampuah Mamaliharo Mamaliharo anak dan kemenakan Dalam bahasa Indonesia artinya: Mengikuti aturan yang telah digariskan/Melalui jalan yang biasa ditempuh/Memelihara/menjaga harta pusaka/Memelihara anak dan kemenakan. Dengan demikian kewajiban ibu adalah mentaati semua aturan dan ketentuan adat maupun peraturan di dalam negeri yang sudah diputuskan dengan mufakat oleh para pemimpin dan pemangku adat. Sebagai contoh dalam pelaksanaan perkawinan, kematian dan bidang kemasyarakatan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu dilandasi oleh alur dan patut, yaitu melalui jalan yang dibenarkan oleh adat dan agama, serta yang lazim ditempuh orang. Harta pusaka seperti sawah, ladang, saluran air, tepian mandi, jalan, tanah perkuburan dan lain-lain harus dipelihara jangan sampai habis atau berpindah tangan ke kaum atau nagari kaumnya alua jalan harato Bundo antara nan nan Kanduang lain: lurui pasa pusako

Seorang ibu di Minangkabau mempunyai kewajiban sebagai pemimpin dalam rumahtangga

lain. Wanita berkewajiban melarang kaum laki-laki menggadaikan harta pusaka untuk kepentingan di luar ketentuan adat, apalagi menjualnya. Harta pusaka ini harus dijaga keutuhannya karena kelak diteruskan kepada generasi berikutnya. Kewajiban paling utama bagi Bundo Kanduang di Minangkabau adalah memelihara anak dan kemenakan, yakni anak-anak dari saudara perempuan suaminya. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas, yang pada pokoknya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang mungkar atau jahat. Sebagai ibu mempunyai tugas merawat, membimbing, mendidik anak-anaknya sedangkan terhadap kemenakannya berkewajiban membimbing; memberi bantuan serta memperhatikan pendidikannya. Pakaian Adat Bundo Kanduang

Pakaian adat Bundo Kanduang di Minangkabau pada hakekatnya sama, tidak terdapat perbedaan yang tajam antara luhak (daerah asal) dengan daerah rantau. Perbedaan hanya terlihat pada bentuk variasi dan hiasannya saja. Seorang wanita yang diangkat sebagai Bundo Kanduang merupakan wanita yang memegang peranan dalam kaum atau sukunya. Tidak semua wanita di Minangkabau dianggap Bundo Kanduang karena harus memenuhi kriteria dan persyaratan seperti uraian di atas. Sehubungan dengan itu pakaian Bundo Kanduang dalam upacara-upacara adat mempunyai bentuk-bentuk tertentu dan berbeda dengan wanita lainnya. Pakaian Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi, seperti yang terdapat di beberapa daerah di Minangkabau, namun mempunyai persamaan poko yang merupakan satu kesatuan. Adapun 1. pakaian Bundo Kanduang menurut adat yang lazim. Tengkuluk

Bagian kepala seorang wanita yang telah diangkat sebagai Bundo Kanduang pada waktu menghadiri upacara adat harus ditutup. Penutup kepala ini disebut tengkuluk yang dipakai dengan cara tertentu sehingga bentuknya menyerupai tanduk kerbau. Tutup kepala tersebut dibuat dari selendang tenunan Pandai Sikek. Di beberapa daerah terdapat beberapa cara memakainya sehingga bentuknya pun bervariasi. Di Kabupaten Agam ujungnya runcing, di Payakumbuh ujung pepat, di daerah Lintau Kabupaten Tanah Datar tanduknya bertingkat dan lain-lain. 2. Baju kurung Baju yang dipakai oleh Bundo Kanduang dalam upacara adat disebut baju kurung yang melambangkan bahwa ibu tersebut terkurung oleh undang-undang yang sesuai dengan agama dan adat di Minangkabau. Baju kurung ini diberi hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga kecil yang disebut tabua atau tabur. Warna baju kurung bermacam-macam menurut darah masing-masing, seperti hitam, merah tua, ungu atau biru tua. Pada lengan kiri, kanan atau pinggir bagian bawah baju diberi jahitan tepi yang disebut minsia, melambangkan bahwa

Bundo Kanduang harus selalu berhati lapang, sabar menghadapi segala persoalan. Sedangkan hiasan tabur melambangkan kekayaan alam Minangkabau, warna hitam melambangkan Bundo Kanduang tahan tempa, tabah dan ulet, warna merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab. 3. Kain sarung atau kodek Kain sarung yang dipakai oleh Bundo Kanduang dibuat dari kain balapak atau songket tenunan Pandai Sikek, Padang Panjang. Kain sarung ini berhiaskan benang emas atau perak dengan motif bunga, daun atau garis-garis geometris. Sedangkan tepinya dihiasi motif pucuk rebung. Kain sarung dipakai sebatas mata kaki melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus mempunyai rasa malu, kesopanan, ketaatan beragama tetapi mudah melangkah. Hiasan tabur pada kain serung melambangkan pengetahuan Bundo Kanduang sebanyak bintang di langit, motif pucuk rebung melambangkan inisiatif dan gerak dinamis masyarakat Minangkabau. 4. Selandang Setelah memakai baju kurung, di atas bahu kanan dipakai selendang atau selempang dari kain songket yang disebut kain balapak buatan Pandai Sikek. Cara memakainya di selempangkan dari bahu kanan ke bawah tangan kiri, melambangkan tanggung jawab yang dibebankan di pundak Bundo Kanduang, yang harus dilaksanakan dengan baik. Sebagai pelengkap pakaian adat Bundo Kanduang antara lain selop atau sandal, kampie yaitu sejenis kantung kacil terbuat dari kain beludru sebagai tempat sirih pinang. Sebagai perhiasan antara lain kalung dan gelang. Kalung Bundo Kanduang ada beberapa macam, yaitu kalung cekik leher, kalung kaban, kalung rago-rago dan kalung panjang. Leher sebagai lambang kebenaran akan tetap berdiri teguh dan sebagai pernyataan tetap menegakkan kebenaran dilambangkan dengan memberi hiasan kalung. Kalung juga melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang dan sebagai pengatur ekonomi maka perlu menyimpan harta dalam bentuk emas yang sukar dihabiskan. Selain kalung, hiasan lainnya adalah gelang, yaitu gelang gadang atau besar, gelang ragorago dan gelang kunci manik. Pemakaian gelang melambangkan semua yang dikerjakan Bundo Kanduang harus dalam batas-batas tertentu, menjangkau ada batasnya, melangkahkan kaki juga ada batasnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bundo Kanduang merupakan figur ibu sejati yang sangat diharapkan dan sangat berperan dalam masyarakat Minangkabau. Tidak semua wanita atau semua ibu mempunyai predikat Bundo Kanduang karena harus memiliki beberapa kriteria dan persyaratan tertentu yang digariskan menurut agama dan adat Minangkabau. Sebaliknya kaum ibu yang disebut Bundo Kanduang sangat dihormati dan dimuliakan. Kedudukan dan peranannya dalam adat sangat besar. Karena status tersebut, Bundo Kanduang mempunyai batas-batas yang digariskan oleh adat dalam berbuat, bertindak dan bertingkah laku. Gambaran Bundo Kanduang ini diwujudkan pula dalam pakaian adat yang dipakai dalam upacara tertentu, yang penuh dengan lambang dan makna.

Sayang sekali jika hal ini tidak diketahui oleh generasi muda, khususnya pendukung kebudayaan bersangkutan karena berarti tidak mengenal dan mencintai nilai budaya nenek moyang.

bundo kanduang ibu sejati menurut adat minangkabau


diakses dari http://bundokanduang.wordpress.com/2008/02/29/bundo-kanduang-ibusejati-menurut-adat-minangkabau/ tanggal 15 April 2010

You might also like