You are on page 1of 12

PENGERTIAN ETNOGRAFI

Etnografi berasal dari kata ethos, yaitu bangsa atau suku bangsa dan graphein yaitu tulisan atau uraian.

Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).

Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi, etnografi merupakan embrio dari antropologi, lahir pada tahap pertama dari perkembangannya sebelum tahun 1800 an. Etnogarafi juga merupakan hasil catatan penjelajah eropa tatkala mencari rempah-rempah ke Indonesia. Koentjaraningrat, 1989:1 : Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi tentang adat istiadat, susunan masyarakat,bahasa dan ciri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut.

Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya merupakan kegiatan peneliti untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Etnogarafi adalah pelukisan yang sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama.

Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan

komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing). Pemakaian tuturan Apa khabar?, Comment alle vous? (bahasa Perancis), Hoe gaat het? (bahasa Belanda) dengan arti yang sama tentu saja berbeda modus kemunculannya dengan tuturan Dengan hormat, Dear Sir, Beste Meneer, Hormat kami, sincerely yours.

Kelompok tuturan pertama terjadi dalam modus lisan, sebaliknya kelompok tuturan kedua hanya muncul dalam modus tulis. Kedua modus ini juga sangat berbeda dengan modus komunikasi isyarat, bahasa tubuh atau tanda yang menggunakan anggota badan atau alat. Orang Indonesia akan menganggukkan kepalanya untuk menyatakan makna setuju, tetapi orang India justru mengayunkan kepala dengan membentuk gerakan angka 8 untuk makna yang sama. Orang Tibet menggesek-gesekkan hidungnya dengan hidung teman untuk menyatakan selamat datang, sedangkan orang Indonesia melakukan hal yang sama dengan saling berjabat tangan. Menariknya lagi, Orang Tibet akan menjulurkan lidahnya sebagai sapaan untuk menyambut tamu, yang bagi orang Indonesia tindakan demikian diartikan mengejek. Sebaliknya sapaan untuk menyambut tamu orang Indonesia menyatakan selamat datang sambil mempersilahkan masuk dan seterusnya. Kalau orang Indonesia menjulurkan tangannya ke bawah sambil berjalan membungkukkan badan pertanda ia meminta permisi untuk minta lewat di hadapan orang lain, tetapi bagi orang Arab, mereka justru memegang kepala orang yang dilewatinya. Orang Jepang menggenggam keempat jemarinya kecuali kelingking untuk menyatakan makna perempuan, sebaliknya orang Indonesia mengartikan tindakan demikian sebagai pernyataan anggap remeh atau enteng terhadap seseorang atau sesuatu hal.

Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes (dalam Gladwin, T. dan Sturtevant, W.,1982; juga dalam Fishman, J., 1968). Istilah itu kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography o fcommunication, karena istilah ini dianggap lebih tepat.

Michael H.Agar (1986:12-24)meberikan tawaran baru tentang penelitian etnografi dengan dilandasi oleh pemikiran fenomenologi, mengutip pendapat Giddens (1976), adalah inti dari proses mediasi kerangka pemikiran . hakikat dari suatu mediasi tertentu akan bergantung dari hakikat tradisi dimana terjadi kontak penelitian lapangan.

Charles winnick (1915:193) mendefinisikan etnogarafi etnogarafi sebagai the study of individual cultures, it is primarily adescriptvie and non interpretative study. Adam E. Hoebal (1966:8) etnografi adalah to erite about peoples as we use the term if refers to descriptive study of human society,, menulis tentang masyarakat. Penulisannya mengac pada penulisan deskriptif. Roger M.Keesing (1989:250) mendefinisikan etnogarafi sebagai pembuatan dokumentasi dan analaisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan. Artinya dalam nmendefinisikan suatu kebudayaan seorang etnografer (peneliti etnografi) juga menganalisis.

Menurut Hymes(1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi.. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu

merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.

KESIMPULAN

Etnografi berasal dari kata ethos, yaitu bangsa atau suku bangsa dan graphein yaitu tulisan atau uraian. Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi, lahir pada tahap pertama dari perkembangannya sebelum tahun 1800 an. Etnogarafi merupakan hasil catatan penjelajah eropa Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi entang adat istitiadat,susunan masyarakat,bahasa dan cirri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut. Jadi layaknya seperti penelitian yang lain, variabel dari penelitian ini lebih kepada kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat.

Penelitian etnografi juga merupakan kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Itulah sebabnya pengamatan terlibat menjadi penting dalam aktivitas penelitian.

METODE ETNOGRAFI DALAM PENULISAN SEJARAH KAMPUNG

Oleh Bustan Basir Maras Kalau Anda hanya melihat riak gelombang, Etnografi menyelami dalamnya dasar lautan ! (James P. Sradlay) a. Metode Etnografi-Antropologi Saya memulai tulisan saya dengan istilah metode etnografi. Bukan metodologi etnografi. Perbedaannya tentu cukup jelas. Metodologi etnografi adalah ilmu tentang metode etnopgrafi, sedangkan metode etnografi adalah strategi pencapaian ke etnografi dalam mendeskripsikan sesuatu dari lapangan penelitian atau sejenisnya. Etnografi adalah metode yang paling lazim digunakan di dalam berbagai penelitian antropologi. Berdasarkan beberapa referensi yang pernah saya baca, secara singkat dapat dirumuskan, bahwa metode etnografi adalah strategi pendeskripsian pola-pola berkomunitas suatu suku bangsa di wilayah tertentu[1]. Terutama dalam konteks suku bangsa di Indonesia yang memiliki perbedaan eksotis antara satu dengan yang lainnya. Metode ini lahir hampir bersamaan dengan lahirnya ilmu antropologi yang sekaligus menjadi embrio dikenalnya ilmu ini; ilmu yang lebih banyak mengandalkan pengamatan dan analisis terhadap perkembangan kebudayaan manusia berkomunitas, dari waktu ke waktu yang sarat dengan berbagai perubahan, sebagai sebuah keniscayaan.

Meskipun dalam perkembangannya kini, metode atnografi juga banyak digunakan oleh disiplin ilmu lain, seperti sejarah, sosiologi, psikologi, dan sederet ilmu pengetahuan sosial lainnya, bahkan merambah hingga ke metode penelitian kesehatan masayarakat, seperti kedokteran, penyuluh kesehatan masyarakat dan lain-lain. Sehingga secara singkat dapat dipahami, bahwa metode etnografi dalam konteks antropologi, adalah penelitian yang menganalisis bagaimana manusia membangun komunitas dan pola kebudayaannya masing-masing, dalam bentuk dan performa yang berbeda-beda, tentunya. Etnografi atau yang biasa pula disebut dengan field work adalah merupakan acuan yang paling banyak digunakan di dalam penelitian antropologi, lewat metode partisipasi observasi, dengan melibatkan diri peneliti secara langsung ke dalam masyarakat (subjek) yang ditelitinya atau yang dianalisisnya. Itulah sebabnya sehingga peneliti dalam konteks etnografi, lebih banyak mengandalkan observasi di awal penelitiannya dan partisipasi (kedekatan) dengan subjek penelitiannya selama research (penelitian) berlangsung. Sebab untuk menganalisis berbagai aktivitas, pemahaman, penafsiran dan pemaknaan masyarakat terhadap sesuatu, atau terhadap subjek penelitian, peneliti harus lebih intens berkomunikasi dengan masayarakat, terutama tokoh-tokohnya, atau para penentu kebijakan di masyarakat tersebut. Kedalaman komunikasi itu akan sampai ke tingkat dialektika, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah (dalam penelitian yang lebih serius dan dalam jangka waktu yang lama). Dengan metode seperti ini, keterlibatan peneliti atau penulis dengan subyek yang diteliti, dalam pola kedekatan, termasuk lewat wawancara mendalam (indept interview), akan lebih mempermudah peneliti mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Sebab metode indept interview, bertujuan untuk menemukan dan mengetahui kebudayaan informan yang diteliti (Spradley, 1997:114)

b. Persiapan Sebelum ke Lapangan Penelitian Beberapa persiapan perlu dilakukan sebelum turun ke lokasi penelitian. Baik persiapan fisik, mental, dan yang tak kalah pentingnya, berbagai peralatan penunjang (property) yang sangat menentukan berhasil dan tidaknya sebuah penggalian data dilakukan. 1. Persiapan Lahiriah-Batiniyah Persiapan lahiriah-batiniyah (fisik-psikis), adalah sebuah persyaratan mutlak bagi seorang peneliti. Mobilitas yang tinggi mulai dari persiapan ke lapangan, perjalanan menuju lapangan, hingga (terutama) ketika berada di lapangan, sangat menguras tenaga yang tidak sedikit. Makanan dan minuman yang sehat tentu dibutuhkan. Jangan lupa suplay vitamin yang berhubungan langsung dengan kerja fisik, terutama yang memiliki kandungan zat besi (tenaga) dan lain-lain. Atau yang lebih baik, gunakanlah suplay vitamin herbal, alami, atau yang langsung dari alam, seperti madu dan lain-lain. Sementara untuk persiapan psikisnya (batiniyah), hubungan vertikal kepada sang khalik, atau kekuatan ideologi (termasuk ideologi pancasila), keyakinan pribadi dan pola pikir yang positip, tentu akan sangat membantu dalam menjaga psikologi peneliti ketika berada di lapangan. Apalagi ketika peneliti memasuki wilayahwilayah baru yang berbeda dengan kultur dan keyakinan peneliti sendiri. Artinya, gangguan mental (psikis) juga dapat mengganggu jalannya penelitian yang dilakukan jika tidak hati-hati dan menyepelekannya. 2. Persiapan Pendukung dan Property yang Dibutuhkan Sebelum berangkat ke lapangan penelitian, siapkanlah berbagai kebutuhan pendukung, terutama yang berhubungan dengan status legal-formal peneliti. Seperti surat pengantar dari lembaga yang menjadi payung penelitiannya, jika

sifatnya pribadi, siapkanlah KTP, SIM, atau dan lain sebagainya (mungkin termasuk surat bebas komunis dari kepolisian atau kodim kwakaka), surat resmi untuk lembaga-lembaga yang dituju di lokasi penelitian setempat, seperti Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Bappeda (Kabupaten), Depagjika berhubungan dengan agama, dan lain-lain. Kemudian property, siapkanlah print out guide lines (acuan umum penelitian), perkiraan daftar pertanyaan yang masih mungkin bisa dikembangkan di lapangan, alat tulis: pulpen, potlot dll, recorder, audio vidio, mungkin-laptop, kamera/tustel, field not (buku kecil untuk catatan srabutan), diari/buku monyet (catatan harian: jangan lupa jam, hari, tanggal, bulan dan tahun setiap kali mencatat), jurnal/buku king kong (laporan lengkap temuan/data yang didapatkan, disari dari buku diari/buku monyet) per tiga hari atau paling lama satu minggu (pengalaman saya biasanya, saya susun langsung ke dalam laptop agar tak kerja dua kali-terlepas dari kekurangan kelebihannya), dan hal-hal lain yang mungkin dibutuhkan untuk konteks penelitian tertentu. c. Strategi/Metode Etnografi di Lapangan Lebih jauh, James P. Spradley dalam Metode Etnografi (1997) menjelaskan, bahwa metode etnografi adalah merupakan pekerjaan mendeskripsikan sebuah kebudayaan. Tujuan utamanya adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (natives point of view). Sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang lain dan belajar berbagai hal dari mereka (Spradlay, 1997:3). Hal ini juga dikuatkan oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya (Dikutip Spradley, 1922:25). Itulah sebabnya, sehingga sejak awal, dimulai dari ketika pertama kali sang peneliti menginjakkan kakinya di lokasi penelitian yang dipilihnya, maka pada

detik itu juga sudah harus mulai mendeskripsikan secara kritis apa saja yang dilihat dan dirasakannya; mulai dari jalan yang berkelok, misalnya, tanah tandus atau kering, bahkan yang lebih dalam ke hal-hal yang dirasakan, seperti hembusan angin, ranting-ranting yang berjatuhan[2] dan lain-lain. Dan yang tak kalah pentingnya, mendeskripsikan pola tingkah (pola hidup) masayarakat setempat, hingga pada hal-hal yang privative (jika diijinkan) dan terkadang malu-malu mereka sampaikan. Bahkan peneliti harus terus belajar mendisiplinkan diri, menuangkan deskripsi terhadap setiap perkembangan permenit, perjam yang berlangsung di lapangan penelitian. Melalui metode etnografi, peneliti seharusnya bergaul lebih intim dan lebih dalam dengan masyarakat. Selama penelitian berlangsung, peneliti sebaiknya tinggal secara formal[3] di salah satu rumah penduduk, biasanya kepala dusun atau RT/RW dan tokoh masyarakat lainnya yang sekaligus akan menjadi key informan penelitian. Selebihnya (non formal) berbaurlah di rumah-rumah penduduk lainnya untuk mengakses informasi dan merasakan secara langsung dialektika penduduk sekitar. Sebab seorang etnografer (peneliti) seharusnya menjelma seperti sabut kelapa di lapangan penlitian. Ketika ia ditenggelamkan ke dalam air, maka tubuhnya yang awalnya ringan, tibatiba akan menjadi berat lantaran mengisap banyak air yang ada di sekitarnya, meskipun ia tak akan pernah tenggelam, tetapi mengapung dan mengalir perlahan bersama air. Peneliti juga sebaiknya mengupayakan, setiap kali tiba di lokasi penelitian, bawalah oleh-oleh ala kadarnya untuk beberapa informan, terutama pemilik rumah dimana peneliti in the cost sementara, termasuk beberapa pemuda yang berpengaruh dan memiliki akses data yang kuat dan lain-lain.

Dengan demikian, situasi-situasi semacam ini akan sangat mempermudah peneliti dalam menjangkau subyek penelitiannya, sebab telah menjadi satu, lebur, sehingga akan dapat pula lebih jauh dan dalam bergaul dengan penduduk (subjek) penelitian setiap saat. Dengan begitu, peneliti dapat mengamati ekspresi mereka secara lebih dekat, lebih detil, baik dalam susana-suasana formal, maupun (terutama) dalam suasana-suasana non formal. Selain itu peneliti juga harus melakukan pengamatan untuk menampung pandangan masayarakat setempat (natives point of view) mengenai apa yang menjadi subjek kajian peneliti, serta bagaimana mereka menerapkan dan menghayati hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah peneliti dapat menemukan dan mendapatkan pandangan-pandangan, serta tafsir penduduk (native), tentang apa saja yang mereka pahami, hubungannya dengan subjek penelitian si peneliti. Pandangan seperti inilah yang semestinya mendapat porsi utama dalam penelitian yang menggunakan metode etnografi (konsep emik). Sedang konsep etic yang cenderung berasal dari tafsir peneliti sendiri, layaknya hanyalah sebagai pendukung atau back up dari pandangan native dalam konsep emic tersebut. Meskipun di sisi lain, peneliti mestinya juga mampu bersikap kritis dalam konteks kehadirannya sebagai peneliti (etic). Sehingga dengan menyandingkan kedua metode ini, dapatlah diraih seabrek data yang komprehensif, sebab diambil dari dua sisi yang saling berdialektika di dalam penelitian tersebut. d. Eksekusi Hasil Penelitian Setelah mendapatkan semua data-data penting dari lapangan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, terutama pandangan dan berbagai ekspresi masyarakat yang muncul di lapangan, termasuk hal-hal yang tidak berhubungan secara langsung dengan subjek kajian peneliti, letakkanlah data itu ke dalam sebuah analisis yang diinginkan, baik yang berhubungan dengan landasan teori

yang digunakan, maupun dalam konteks keinginan tertentu terhadap hasil akhir penelitian tersebut. Atau bisa juga tak meletakkannya ke dalam kerangka teori apapun, tergantung tujuan suatu penelitian untuk apa dilakukan. Selebihnya, barulah kemudian datadata sekunder digunakan (buku-buku dan referensi lainnya) dalam rangka memback up data primer yang menjadi oleh-oleh istimewa dari lapangan penelitian, seperti beratus halaman deskripsi dan catatan-catatan harian dari buku diari dan jurnal, yang diraih selama berada di lapangan penelitian. Tentu, dari metode etnografi semacam ini, diharapkan dapat melahirkan sebuah hasil penelitian yang baik, yang juga lahir bersamaan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya. Dengan begitu, atas kerja keras semaksimal mungkin, peneliti juga tentu dapat berharap, semoga hasil penelitiannya, minimal dapat menjadi sebuah catatan baru atau hipotesis bagi subjek kajian atau penelitian yang dilakukannya secara komprehensif dan mendalam. /Suryowijayan, 23 Oktober 2010. 13.25 PM. Bustan Basir Maras, alumnus Sekolah Pascasarjana, Jur. Antropologi UGM Yogyakarta, penggiat sastra budaya, pendiri dan peneliti Komunitas Gubuk Indonesia (KGI), Yogyakarta. Tulisan disampaiakan sebagai materi penulisan etnografi di Indonesia Buku (IBUKU), Yogyakarta, Minggu, 24 Oktober 2010.

[1] Defenisi yang lebih lengkap, silahkan temukan di banyak buku-buku antropologi, khususnya kajian etnografi, beserta sejarah bermulanya metode ini.

[2] Untuk gaya deskripsi yang satu ini, mazhabnya Marvin Harris, sebagaimana ketika ia meneliti orang-orang Nuer (The Nuer) di sepanjang sungai Nil.

[3] Maksudnya, datang dan menyatakan secara resmi keinginan untuk tinggal sementara di rumahnya, hingga proses belajar peneliti di lokasi tersebut selesai.

You might also like