You are on page 1of 3

Nama Kelas

: Resni Sasilani : VIII A

TUGAS SINOPSIS NOVEL

1. Kutipan Novel Kubiarkan wajahku tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar yang dipenuhi remaja. Jaket hitam polosku tidak mencolok, aku menyadarinya dengan perasaan lega. Begitu sampai di kafetaria, gedung tiga dengan mudah kutemukan. Angka 3 hitam besar dicat di kotak persegi putih di pojok sebelah timur. Aku mendapati nafasku pelan-pelan berubah terengahengah begitu mendekati pintunya. Aku berusaha menahan nafas ketika mengikuti dua orang yang mengenakan jas hujan uniseks melewati pintu. Kelasnya kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat di muka pintu untuk menggantungkan jas hujan mereka di tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh mereka. Mereka dua orang gadis, yang satu berambut pirang, yang lain juga berkulit pucat, rambutnya cokelat muda. Setidaknya warna kulitku tidak bakal mencolok disini. Aku menyerahkan lembaran kertas pada seorang guru, laki-laki tinggi botak yang di mejanya terdapat papan nama bertuliskan Mr. Mason. Ia melongo menatapku ketika melihat namaku dan tentu saja wajahku memerah seperti tomat. Tapi setidaknya ia menyuruhku duduk di meja kosong di belakang tanpa memperkenalkanku pada teman-teman sekelas. Sulit bagi teman-teman baruku untuk menatapku di belakang, tapi entah mengapa mereka bisa melakukannya. Aku terus menunduk, memandangi daftar bacaan yang diberikan oleh guruku. Bacaan dasar: Bront, Shakespeare, Chaucer, Faulkner. Aku sudah pernah membaca semuanya. Menyenangkan... dan membosankan. Aku membayangkan apakah ibuku mau mengirimkan folder esai-esai lamaku atau apakah menurut dia itu sama saja dengan menyontek. Aku berdebat dengannyadalam benakku sementara guru terus berbicara. Ketika bel berbunyi, suatanya berupa gumaman sengau. Seorang lelaki kurus dengan kulit bermasalah dan rambut hitam licin bagai oli bersandar di lorong dan berbicara padaku. Kau Isabella Swan, kan? Ia kelihatan seperti orang yang kelewat suka menolong, tipe anggota klub catur. Bella, aku meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga kursi berbalik menghadapku. Habis ini kau masuk kelas apa? tanyanya. Aku harus memeriksa dulu jadwal pelajaran di dalam tasku. Mmm, Pemerintahan, dengan Jefferson, di gedung enam. Aku tak bisa melihat kemana pun tanpa beradu pandang dengan matamata penasaran. Aku akan ke gedung empat, aku bisa menunjukkannya padamu... Jelas tipe kelewat suka menolong. Aku Eric, tambahnya. Aku tersenyum hati-hati. Terima kasih.

Kami mengambil jaket dan menerobos hujan, yang sudah reda. Aku berani bersumpah beberapa orang di belakang kami berjalan cukup dekat supaya bisa menguping. Kuharap aku tidak menjadi paranoid. Jadi ini sangat berbeda dengan Phoenix, heh? tanyanya. Sangat. Disana tidak sering hujan, kan? Tiga atau empat kali setahun. Wow, seperti apa rasanya? Ia membayangkan. Cerah, ujarku. Kulitmu tidak terlalu coklat. Ibuku setengah albino. Ia mengamati wajahku dengan waswas, dan aku mendesah. Kelihatannya awan dan selera humor tidak pernah selaras. Beberapa bulan saja di tempat ini, aku pasti sudah lupa bagaimana caranya bersikap sinis. Kami berjalan lagi mengitari kafetaria, ke gedung-gedung di sebelah selatan dekat gimnasium. Eric mengantarku sampai ke pintu, meskipun tanda papannya jelas. Semoga berhasil, katanya ketika aku meraih gagang pintu. Barangkali kita akan bertemu di kelas lain. Ia terdengar berharap. Aku tersenyum samar dan masuk. Sisa pagi itu kurang-lebih sama. Guru Trigonometriku, Mr. Varner, yang toh bakal kubenci juga karena mata pelajaran yang diajarkannya, adalah satusatunya guru yang menyuruhku berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Aku tergagap, wajahku merah padam, dan tersandung sepatu botku sendiri ketika menuju kursiku. Sumber : Twilight Stephenie Meyer

2. Hal-hal pokok a. Kubiarkan wajahku tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar yang dipenuhi remaja. b. Kelasnya kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat di muka pintu untuk menggantungkan jas hujan mereka di tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh mereka. c. Seorang lelaki kurus dengan kulit bermasalah dan rambut hitam licin bagai oli bersandar di lorong dan berbicara padaku. d. Ia mengamati wajahku dengan waswas, dan aku mendesah. Kelihatannya awan dan selera humor tidak pernah selaras. e. Eric mengantarku sampai ke pintu, meskipun tanda papannya jelas. f. Semoga berhasil, katanya ketika aku meraih gagang pintu. Barangkali kita akan bertemu di kelas lain. Ia terdengar berharap. Aku tersenyum samar dan masuk.

3. Unsur intrinsik

a. b. c. d.

Tema Latar Alur Penokohan Eric

: : : :

Hari pertama bersekolah di Forks Gedung sekolah Maju Isabella Swan : sensitif : ramah

4. Ringkasan/Sinopsis Isabella Swan, seorang gadis berusia 17 tahun pindah dari Phoenix ke sebuah kota bernama Forks. Dia tidak menyangka, ternyata kehadirannya di Forks sudah dinanti-nanti oleh semua orang di Forks. Hari ini, adalah hari pertamanya bersekolah di SMA Forks. Disana, ia bertemu dengan hal-hal baru yang tidak pernah ditemuinya di Phoenix.

You might also like