You are on page 1of 24

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

About Etnotigrologi Tentang Penulis 06 Okt 10

HARIMAU JAWA: INVESTIGASI, EKSISTENSI & ADVOKASINYA*


Oleh javantiger 8 Komentar Kategori: Uncategorized 4 Votes Oleh: Didik Raharyono**) Latar Belakang Penelitian Harimau jawa 1. Klaim punah bagi harimau jawa sudah menginternasional, tetapi masyarakat tepi hutan di Jawa masih menginformasikan perjumpaan harimau loreng. Meskipun begitu belum banyak yang menjadikan informasi ini sebagai bahan kajian riset. 2. Pelaporan perihal pembantaian dan penangkapan harimau jawa masih terjadi, namun tidak ada yang tergerak untuk melakukan usaha-usaha pembelaannya. 3. Habitat terakhir harimau jawa pasca penelitian Steidensticker 1974 sebenarnya bukan hanya di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Jawa Timur. 4. Perlunya kajian ilmiah guna pengakuan eksistensi, penyelamatan, perlindungan dan pelestarian harimau jawa beserta habitatnya. 5. Penyelamatan harimau jawa identik dengan penyelamatan habitat hutan yang berarti juga menyelamatkan ekosistem Pulau Jawa secara menyeluruh. 6. Kemampuan mengelola kernivor besar mencerminkan kemampuan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan. Sejarah Kegiatan Investigasi Pasca klaim kepunahan harimau jawa tahun 1996, investigasi awal diinisiasi oleh KAPPALA Indonesia bekerja sama dengan FK3I Jawa Timur, PIPA Besuki dan Mitra Meru Betiri yang dikemas dalam Ekspedisi Pendidikan Lingkungan untuk Pecinta Alam: Agustus 1997 di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Kegiatan ekspedisi ini diikuti oleh 21 organisasi Pecinta Alam se Jawa guna menemukan indikasi keberadaan harimau jawa berdasarkan kesaksian masyarakat tepi kawasan. Kegiatan Investigasi Lanjutan Atas berbagai bukti temuan indikasi keberadaan harimau jawa oleh tim PL Kapai97, maka mengilhami kegiatan-kegiatan investigasi selanjutnya, diantaranya: Investigasi Tahap I (Pra-PKJ) 1. Inventarisasi harimau jawa di TNMB, Nopember 1997 oleh: Balai TNMB, PIPA dan MMB. 2. Inventarisasi harimau jawa di luar kawasan TNMB, Februari 1999 oleh: BKSDA Jatim II, MMB dan FK3I Forda Besuki. 3. Ekspedisi harimau jawa di Gunung Slamet, PL-Kapai99, April 1999 oleh Kappala Indonesia dengan 19 organisasi Pecinta Alam dan LSM Lingkungan se Jawa dan Lampung. 4. Inventarisasi habitat macan di Gunungkidul Jogjakarta, Desember 2000 oleh BKSDA DIJ, TPPFHJ-KAPPALA Indonesia dan Prasetyo. 5. Investigasi harimau jawa di Gunung Muria, 2001 oleh TPPFHJ-KAPPALA Indonesia. Investigasi Tahap II (PKJ) 6. Investigasi harimau jawa di Gunung Merapi, 2002 oleh PKJ. 7. Investigasi harimau jawa di Garut Selatan, 2003 oleh PKJ. 8. Investigasi harimau jawa di Pegunungan Menoreh, 2003 2004 oleh PKJ. 9. Investigasi harimau jawa di Gunungkidul, 2004 oleh PKJ, Theo-dan teman-teman Wonosari. 10. Investigasi harimau jawa di Lereng Utara Gunung Slamet, Juli 2004 oleh PKJ. 11. Investigasi harimau jawa di Gunung Muria, 2004 oleh MRC UMK, PPS Jogja & PKJ. 12. Survey darat pemasangan Kamera Trap di TNMB, Nopember 2004 oleh Balai TNMB, KAPPALA Indonesia, PKJ dan STCP. 13. Survey awal guna pemasangan Video Traping di TNMB, Agustus 2005 oleh Zoo de Doue (Laurent Jefrion Perancis), Balai TNMB dan PKJ. 14. Pendidikan Lingkungan untuk Pecinta Alam05 di Gunung Ungaran, Agustus 2005, oleh KAPPALA Indonesia, PKJ dan 20 organisasi Pecinta Alam se Jawa. Hasil Investigasi 1. Kesaksian Masyarakat Pelihat Harimau Loreng: a. Masyarakat Jawa Tengah b. Masyarakat Jogjakarta c. Masyarakat Jawa Timur d. Foto sosok harimau jawa tertembak tahun 1957 dari Jawa Timur. 2. Spesimen sisa pembantaian: a. Sobekan Kulit Harimau jawa dari Jawa Tengah, dibunuh tahun 1995. b. Sobekan Kulit Harimau jawa dari Jawa Tengah, dibunuh tahun 1996. c. Gigi harimau jawa muda dari Jawa Timur, dibunuh tahun 1996. 3. Temuan bekas aktivitas: a. Jejak: berukuran 2628 cm ditemukan tahun 1997 dari TNMB. b. Feses: diameter 7 cm ditemukan tahun 2004 dari TNMB. c. Garutan: tinggi diatas 200 cm tahun 2004 dari TNMB, tahun 1999 dari Gn Raung; lebar antar kuku lebih dari 4 cm tahun 1999 dari Gn. Slamet. d. Rambut: temuan 1997 dari TNMB; temuan 1999 dari Gn. Raung dan Gn Slamet; temuan tahun 2000 dari TN Alas Purwo: setelah diidentivikasi tahun 2001 menggunakan SEM di LIPI terbukti sebagai rambut harimau jawa. Temuan tahun 2004 dari TNMB dianalisis menggunakan mikroskup cahaya, terbukti sebagai rambut harimau jawa. 4. Informasi Penangkapan Harimau jawa: Informasi Pasti a. Tahun 1995, seekor harimau loreng dibunuh dari hutan jati di Blora Jawa Tengah. Kulit tubuhnya di jual untuk dibuat Rajah. (Informan) b. Tahun 1996, seekor harimau jawa terperangkap dan dibunuh di lereng selatan Gunung Slamet Jawa Tengah. Kulit dan beberapa bagian anggota tubuhnya

1 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

dibagikan ke masyarakat. (Informan). c. Januari 1998, seekor harimau loreng berhasil dibunuh dari TNMB dijual ke Banyuwangi, seharga Rp. 7 Juta. d. Tahun 2000, seekor harimau jawa di bantai oleh pemburu di hutan jati Blora Jawa Tengah. Perlu Penyelidikan Lebih Mendalam e. Tahun 2004, seekor anak harimau jawa ditangkap hidup-hidup dari (Alas Purwo/Meru Betiri/Gunung Ijen Jawa Timur?), dijual ke turis di Bali melalui pelabuhan Ketapang Banyuwangi seharga Rp 11 Juta. (Informan). f. Seorang pemburu dari eks. Karesidenan Besuki, bersedia menangkapkan harimau loreng jawa jika diberi imbalan sebuah sepeda motor Astrea baru (sekitar Rp. 12 Juta). (Informan) g. Seorang oknum di eks. Karesidenan Besuki, bersedia melepas opsetan harimau jawa jika di hargai dengan Rp 25 juta, tetapi mensyaratkan ada uang ada barang karena sekaligus surat dokumentasi legal-aspalnya disertakan. (Informan) Eksistensi Harimau jawa Untuk menyakinkan tentang masih eksisnya harimau jawa di Jawa, maka kita harus mengetahui karakteristik pembeda bekas aktivitas loreng dengan tutul. Sebab kedua karnivor keluarga kucing besar itu terdapat di Jawa. 1. Feses: a. Harimau loreng jawa: diameter lebih dari 5 cm; mengandung kuku prey. b. Macan tutul jawa: diameter 2 3 cm; mengandung daun tanaman. 2. Cakaran: a. Harimau loreng jawa: jarak antar 2 kuku garutan lebih dari 4 cm. b. Macan tutul jawa: jarak antar 2 kuku garutan kurang dari 3 cm. 3. Jejak: a. Harimau loreng jawa: minimal berdiameter 14 cm b. Macan tutul jawa: maksimal berdiameter 10 cm 4. Rambut: a. Harimau loreng jawa: Medula bertipe Intermediate berpola Reguler b. Macan tutul jawa: Medula bertipe Discontinous berpola Cresentik Diseminasi Hasil Investigasi 1. Seminar Regional Hasil PL-Kapai97, Mei 1998 di UBHARA Surabaya. 2. Seminar Nasional Hasil PL-Kapai97 dan Investigasi Nopember97, Desember 1998 di UC UGM. Dihasilkan 11 poin Rekomendasi. 3. Seminar Regional Harimau jawa di IAIN Sunan Kalijogo Jogjakarta, April 1999. 4. Diskusi pengkayaan draf buku Petunjuk Pengamatan Harimau jawa di Jakarta-Purwokerto-Jogjakarta-Jember Mei-Juni 2000 (disuport Zoo de Doue) 5. Penerbitan buku Berkawan Harimau Bersama Alam, 2002 oleh TPPFHJ-KAPPALA Indonesia (disuport Gibbon Foundation) 6. Penulisan artikel di rubik Ilmu Pengetahuan di Harian Nasional Kompas: In Memoriam Penelitian Harimau Jawa di Taman Nasional Meru Betiri (Antara Kamera Trap vs Amatan Manual) oleh Didik Raharyono (PKJ) Agustus 2003. 7. OnLine-nya website : www.javantiger.or.id oleh PKJ, Juli 2004 Juli 2006. 8. Bedah buku Berkawan Harimau Bersama Alam di MRC UMK, Mei 2005. Advokasi Usaha investigasi hingga menghasilkan data tentang eksistensi harimau jawa belumlah menjadi akhir dari perjuangan, tetapi baru menjadi pondasi dasar untuk melakukan advokasi perlindungan dan pelestarian Ekosistem Pulau Jawa. Dengan harapan wildlife dan manusia dapat harmonis berbagi ruang kehidupan di Pulau Jawa, sebab satwa-tetumbuhan-bentang alam merupakan pasak bumi untuk menjaga kesetimbangan ekosistem dan habitat manusia. Perlindungan dan penyelamatan serta pelestarian harimau jawa berarti juga harus melindungi dan menyelamatkan serta melestarikan semua jenis prey dan tetumbuhan sumber pakannya serta habitat di mana satwa ini terindikasikan keberadaannya. Perlindungan dan penyelamatan serta pelestarian habitat sekaligus berimplikasi terhadap pelesatarian ekosistem Pulau Jawa di mana satwa ini tinggal. Ekosistem bisa lestari jika fungsi hutan, bentang alam beserta hidupan liar di dalamnya tetap terpelihara fungsinya. Pelestarian ekosistem berarti juga melestarikan daya dukung bagi kelangsungan hidup manusia dan generasi penerusnya. Guna kegiatan perlindungan, penyelamatan dan pelestarian ekosistem Pulau Jawa diperlukan tenaga dan daya yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan adanya manajemen kolaborasi antara Pemerintah, Organisasi Politik, DPRD I/II, Ilmuwan, Perguruan Tinggi, Masyarakat, NGO, Penegak Hukum dan Pengusaha untuk bersama-sama berbagi peran sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam usaha menjaga kelestarian ekosistem Pulau Jawa. Disebabkan oleh paham tersebut, maka Peduli Karnivor Jawa mengambil peran sebagai pusat informasi harimau jawa, dengan pangkalan di (www.javantiger.or.id. -sampai Juli 2006) Kendala & Permasalahan Percepatan pembuatan konsep manajemen konservasi karnivor jawa menghadapi berbagai tantangan: 1. Jika perolehan spesimen harimau jawa secara illegal, maka bagaimana status perlindungan hukum seorang Peneliti yang membeli bukti spesimen tersebut? 2. Ada penawaran spesimen harimau jawa hidup atau mati dengan harga sangat tinggi, bagaimana hal ini diatasi? 3. Kolaborasi kepentingan antara kebutuhan Ilmu Pengetahuan Perlindungan Hukum Kebutuhan Ekonomi belum bisa tersinkronisasikan. Ada solusi? 4. Preservasi kawasan konservasi dan non-konservasi yang menjadi habitat harimau jawa masih lemah. Tanggungjawab perlindungan kawasan dari segala bentuk pencurian harimau jawa masih belum jelas. Lalu bagaiman kita mengambil posisi? 5. Pola manajemen kawasan yang diindikasikan ada harimau jawa belum optimum sementara usaha pembuktian masih menjadi penghalang. Bagaimana bentuk pertangunggugatan pemangku kawasan ber-harimau jawa, jika tidak mampu mengelola kawasannya? Misalnya masih tingginya tingkat kecurian satwa. 6. Bagaimana membina hubungan kemitraan dengan pihak-pihak yang masih membunuh harimau jawa sampai dengan tahun 2000? 7. Bagaimana peran kita sebagai kelompok peduli WILDLIFE di Jawa, untuk MERAPATKAN BARISAN atas kondisi riil diatas? *) Disampaikan dalam Acara Diskusi Bulanan Wildlife Conservation Forum di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Jogjakarta, 6 September 2005. **) Wildlife Biologist. Alumni Fak. Biologi UGM 1998. Koordinator Inovasi Konservasi di PPS Jogjakarta. Koordinator PKJ. Saat ini menyiapkan Konsep Manajemen Konservasi Karnivor Jawa. 29 Jul 10

Serangan Budayakonservasi Harimau jawa di P. Jawa


Oleh javantiger 6 Komentar Kategori: Etnotigrologi 1 Votes

2 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Lewat diskusi khusus dengan seorang pinisepuh digelapnya malam pantai jiwa, terudarlah sedikit uraian tentang Rampokan Macan. Orang jawa itu memang mempunyai prinsip Mikul duwur Mendhem jero. Bahkan di kebudayaan Cirebon juga ada satu sekola: Aja mbukak rusia orang lain. Artinya banyak kejadian yang terlihat sebagai aib, yang kalau dilakukan oleh orang lain apalagi para Priyagung maka dalam pencatatan sejarahnya harus dibahasa-sandikan secara sanepan, kamuflase sebagai sebuah penghormatan : sebab papak ora padha (mengandung pengertian mendalam perihal diversitas). Esensi isi-nya tetap (jadi tidak berbohong) tetapi tampilan dan kemasan-nya saja yang berbeda. Seperti ilmu bungklon: dia tetap bungklon (esensinya) walau terlihat hijau di dedaunan, terlihat coklat saat di batang dan terlihat abu-abu saat di tanah (tampilan kasat-nya). Hanya yang tak mempunyai penglihatan tajam dan terlatih maka akan sulit untuk mengetahui keberadaan bungklon tersebut di daun ataupun batang (butuh pengetahuan), bahkan ada yang menggunakan kejadian itu sebagai sanepan untuk sikap mencla-mencle, padahal tepatnya adalah sebuah strategi bagi bunglon agar selamat dari predatornya. Sebagai misal Ken Arok: dalam beberapa folklor diceritakan sebagai anak petir yang diketemukan di galengan sawah oleh pasangan suami istri di suatu desa. Padahal jika dibaca dengan pandangan cebolek arti sewajarnya itu adalah suatu upaya mendem jero silsilah sang Raja, sang Pemimpin. Sehingga para pengkaji kenyataanlah yang mampu membacanya. Diucapkanlah: Anak Petir itu sebenarnya adalah anak yang dibuang ke tepi sawah, tidak jelas bapa-biyung-e? Tapi sebagai jabang bayi dia tetap harus sebagai manusia. Manusia yang terlahir tanpa pernah memilih siapa yang harus melahirkannya dan tanpa pandang bagaimana kehalalan hubungan lelaki perempuan yang menyebabkan terbentuknya jabang bayi itu. Sehingga dipandang oleh orang Jawadwipa dia sebagai manusia yang seutuhnya. Makanya disebutlah dengan istilah sebagai Anak Petir. Dimana Petir itu membawa harapan dan ancaman. Sebagai harapan petir itu pertanda akan hujan yang ditunggu petani jawa untuk memulai bertanam sumber pangan (bagi Ken Dedes). Petir sebagai ancaman kalau kita tersambar olehnya, atau hujan -yang setelah suara gludhug membahana, runtuh sangat deras dan menjadikan banjir bandang (bagi Tunggul Ametung). Semua itu dipahami dan dititeni manusia jawa. Lalu disampaikanlah pengetahuan itu turun temurun dengan metode folklor. Pengantar di atas merupakan sedikit ilustrasi untuk menjelaskan tentang adanya budaya gropyokan macan di kalangan Raja Jawa. Masyarakat pedalaman (tepi hutan) mempunyai paham keyakinan bahwa harimau jawa merupakan saudara sahabat sanak mereka, bahkan ada yang menghormatinya sebagai kyaine. Hal itu merupakan ungkapan pengetahuan yang telah terakumilasi dari hubungan manusia-harimau lintas generasi dan akhirnya menjadi kebudayaan komunitas tersebut . Sekali lagi tersampaikan dengan metode folklor contextual learning. Akan tetapi kalangan kerajaan telah terpengaruh oleh budaya kebo bule. Imbas itu menjadikan harimau layak ditangkap dan layak dibunuh (perusakan akar budaya); oleh Wessing (1995) dianggap sebagai ambiguitas javanese dalam memandang harimau jawa. Dimana kekuatan yang dimiliki harimau (dianggap jahat) dan layak ditandingkan dengan kekuatan manusia. Duel secara langsung. Face to face. Hal ini dikandung maksud agar Raja tahu, siapa pengawalnya, siapa Senopatinya dan sejauh mana kekuatan Senopati itu. Karena jawa masih banyak harimau kala itu, maka dia harus terbukti mampu mengalahkannya jika berhadapan atau berpapasan saat diutus melurug memerangi kerajaan lain. Tapi apa ya begitu? Ternyata jawabnya tidak. Perkelahian dengan harimau tanpa sebab yang jelas merupakan sebuah perilaku aib menurut pandangan penduduk lokal tepi hutan. Sebab dalam kesatuan tentara kerajaan ternyata terdapat beberapa orang prajurit, bahkan sang senopati sendiri yang memiliki kemampuan aji panyirep, sehingga kutu-kutu, walang sampai atogo tertidurkan saat tentara melintas. Hal yang tak pernah di ketahui oleh dunia, sebab ilmu tersebut sangat sinengker, disembunyikan dengan rapat, hanya kalangan batih tertentu yang boleh mendengar informasi perihal data ini dan boleh mengusai pengetahuan tersebut. Dan screening bathin digunakan mengetahui: jiwa mengendhap dan bukan jiwa bergolak yang boleh memegangnya. Demi sebuah keharmonisan tatanan komunitas alam, yang sangat dipegang teguh oleh budaya Jawa: menang tanpa ngasorake win-win solution. Pertarungan dengan harimau dalam suatu gropokan lebih diakibatkan karena pengaruh desakan dari kebo-bule. Inspirasi yang diberikan kepada Raja yang merasa dibantu oleh kebo-bule. Akibat desakan tersebut, maka para pawang harimau mengambil inisiatif lain. Inovasi ramah budaya hasil negosiasi dengan Ki Dadhung Awuk -si penggembala satwa liar di hutan Jawa. Mengingat perintah Raja adalah sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan, walaupun dianggap aib karena menciderai budaya lokal si pawang. Makanya si Pawang yang biasanya adalah penduduk pedalaman dan jelas memiliki hubungan emosi dengan harimau, saat dipaksa untuk melawan pengetahuan lokal warisan leluhurnya, mereka memeras otaknya guna meng-inovasi keterpaksaan yang harus dihadapinya. Pinisepuh sepejagongan denganku menerangkan: untuk itu maka dicarilah Syarat siapa harimau jawa yang boleh ditangkap. Tentunya setelah bernegosiasi dengan Ki Dadhung Awuk. Akhirnya pilihan dijatuhkan kepada: harimau, terutama yang memiliki sifat ganas (punya potensi membunuh orang), urakan (sulit dikendalikan egonya), dan ke-bandit-an harimau itu (karakter khusus yang paling dicari sebagai kemutlakan pilihan untuk ditangkap guna diadu). Beliau menjelaskan kriteria itu dengan seksama. Maka sebenarnya pagelaran gropyokan itu tidak saban tahun diadakan. Tergantung apakah si-pawang telah berhasil menemukan sosok harimau jawa yang mempunyai kriteria wateg sebagai harimau bandit atau gali tersebut. Beliau menguraikan lagi bahwa harimau jawa yang mempunyai criteria bandit itu mempunyai ciri-ciri: macan boro / macan lancong (pengembara, berarti tidak mempunyai home ring menetap), wajahnya merekam banyak goresan hasil luka bekas pertarungannya dengan harimau lain, berarti harus gembong (pejantan tangguh) ingat didunia felids terdapat dimorfisme sex artinya jenis yang jantan mempunyai perbedaan morfologi (biasanya tubuhnya lebih besar dan mempunyai surai dibawah dagu lebih lebat) dibandingkan dari jenis yang betina. Selain itu untuk mengetahui posisi harimau bandit ini sekali lagi harus ditanyakan dulu kepada Ki Dadhung Awuk. Makanya kapan harimau bandit ini melintas di hutan terdekat dapat terprediksikan secara akurat. Wosnya : tidak ada kamusnya untuk menangkap harimau jawa betina guna di adu dalam gropokan-macan. Gendham yang digunakan si pawang, mampu membius satwa menjadi tetap nyenyak saat diungsikan dari pedalaman hutan. Konon ilmu bius lokal alias gendham penyirepan itu mampu untuk menidurkan orang se-keraton (dalam babad Pati disebutkan saat ki Sondong Majeruk menggunakan bius lokal ini guna mencuri Kuluk Kanigoro milik Sukmayana: begini ujarannya= Pangkur:(203)Sondong Majeruk tumuli, ambukak kandhutanira, siti saking jaratane, kinarya panyirep janma, lamun mandung mangkana, siti binalangken sampun, kumreteg lir pindha jawah(206)Ana dongeng na ngrerepi, ana kang luru tegesan, cangkemku pait rasane, grayangan antuk tegesan, sigra ingakep enggal, anyingkrang anggene lungguh, dereng telas nuli nendra. (207) Kang ngrerepi saya lirih, gloyam-glayem nuli nendra, kang ndongeng meneng swarane, kang kemit tilem sedaya, warnanen jroning puro, para nyai pating prengut, ceklak-cekluk nuli nendra. (208) Sukmayana lan kang rayi, nendra aneng jroning tilem, langkung eca genya sare, kadya mina yen tinuba, sagunge para janma, rahaden Sondong Majeruk, pancen sekti mandraguno by: Ki Warsito, 1932, not publicated). Begitulah analog gambaran tentang pembiusan harimau jawa oleh para pawang jawa. Meskipun banyak metode dan macamnya bagaimana penyirepan itu dilakukan, yang jelas tak sebanding dengan penggunaan anestesia di dunia kedokteran hewan sekarang, semisal: Telazol (tiletamine hydrochloride), atau Ketaset (ketamine hydrochloride) dan Rompun (xyzaline hydrochloride) dimana pada prakteknya harus memperhatikan dosis seberapa banyak (dalam cc) yang harus ditembakkan per perkiraan berat badan satwa target. Untuk menembak sasaran harus mendekati obyek target satu-persatu, lalu setelah itu juga harus memakai antisedan sebagai obat penawarnya semisal Atipamezole. Lha kalau bius local-milik javanese itu setelah mantra pemudar diucapkan, maka se-kadhipaten akan bangun seketika: Ramah Lingkungan dan Tanpa Efek Samping, serta tak perlu memperhatikan dosis yang harus diberikan. Akan tetapi jika harimau itu masih terlalu muda dan belum mencapai umur dewasa-kuat, maka biasanya tidak boleh ditangkap dulu oleh Ki Dadhung Awuk. Kenapa begitu? Dijelaskan pinisepuh itu, bahwa kalau harimau telah mencapai dewasa kuat berarti dia telah berhasil mengawini beberapa betina dan kemungkinan telah memiliki anak sekitar 5-7 ekor dari berbagai betina dari kawasan yang jauh berbeda pula. Dari anakan itu diperkirakan ada 3-4 ekor (50%) pejantan yang berarti cukup untuk sifat banditnya terturunkan sebanding dengan pengetahuan genetika modern. Bukankah ini menunjukkan adanya sebuah metode pemanenan ramah lingkungan demi kelestarian satwa? (walaupun hanya untuk melihat dari sebuah unsur bandit dari banyak sifat-sifat yang dimiliki oleh seekor harimau, namun kelestariannya tetap dijaga oleh para pawang. Sejauh itukah dunia konservasi harimau sekarang yang diklaim sebagai peradaban

3 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

modern?) Model-model local wisdom seperti inilah yang penulis kais-kais dari javanese folklor agar kita tetap NGEH dalam konservasi hidupan liar berazaskan kebudayaan lokal, kebetulan dalam harimau jawa ini di kebudayaan jawa yang ada di pulau Jawa. Kebetulan juga P. Jawa : mempunyai suku Sunda, Badui, Jawa, Tengger, Osing, bahkan Madura pendatang. Tetapi jika Raja memaksa penangkapan harimau, maka si pawang akan melakukan negosiasi dengan Ki Dadhung Awuk (azas musyawarah mufakat tetap dilakukan, walau antar manusia dengan Ki Dadhung Awuk-yang mungkin dari dunia lain. Bukan menggunakan voting yang sekarang dianggap sebagai demoktaris ). Dan biasanya pejantan tua sesaat setelah pensiun dari menjadi pejantan alpha itulah yang diijinkan diambil. Jadi tidak sembarangan tangkap. Begitulah prilaku penduduk pedalaman yang menjadi pawang harimau. (artinya: pengamatan perilaku-ethologi benar-benar dikuasai oleh si pawang, sebab bagaimana bisa mendapatkan posisi keberadaan pensiunan pejantan alpha kalau tidak menguasai benar akan komposisi demografi populasi harimau jawa kala itu. Ditambahkan pula pensiunan pejantan alpha ini memiliki tingkat emosi yang ganas, sebab dia baru stres karena kekuasaannya direbut, dan frustasi karena tidak mungkin mengawini betina lainnya lagi. Harimau memang sportif, dia harus pergi mengembara karena telah dikalahkan oleh pejanan muda baru. Nah mungkin emosi ganas ini akan dapat dicurahkan saat beradu perkelalian dengan manusia jika arena rampokan digelar. Di alam liar dia juga akan mati dan di rampokan dia juga akan mati, tapi mati di rampokan telah melegakan luapan emosinya, di bandingkan mati di alam yang harus morag dengan memilih lokasi yang sulit diketahui manusia meski kadang posisinya diketahui pawang guna diambil bagian-bagian tubuhnya untuk di-syarati oleh dukun menjadi jimat bagi para manusia gali.) Seiring perjalanan waktu, kebo-bule telah menginfasi banyak dataran rendah untuk perkebunan, perladangan dan perkampungan. Akibatnya konflik dengan harimau jawa menjadi sebuah perang terbuka. Ditambah iming-iming uang untuk membunuh harimau, maka terjadilah dis-harmoni kepada dua penghuni jawa. Diadu domba. Konsep sanak telah mulai diserang dengan iming-iming uang. Akibatnya manusia brandal terprovokasi untuk membunuh harimau jawa. Bahkan perburuan harimau menjadi lahan pekerjaan baru yang banyak menghasilkan uang sejatinya demi keuntungan perkebunan kebo bule. Dan mereka malah terkadang mendatangkan pemburu harimau dari golongannya. Sunan Kalijaga bahkan mengajarkan ulang konsep paseduluran ekologis manusia-harimau khususnya atau satwa liar umumnya dengan cerita dalam wayang jawa sebagai Babad Alas Amerta. Ketika Pendawa kalah main dadu dengan Kurawa maka ia di usir ke hutan. Di hutan tersebut, Werkudara melakukan pembabatan hutan tanpa ampun. Akibatnya para sato kewan pada protes. Terjadilah perang antara Pendawa dengan sato kewan alas. Saking serunya pertempuran maka tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Maka diundanglah ki Semar (sebagai representatif kearifan lokal jawa) guna menengahi pertempuran itu. Maka terjadilah kesepakatan tata batas dan tata ruang yang adil antara wilayah satokewan dengan wilayah manusia. Dan barang siapa yang melanggar, maka wajib dikenakan candikolo. Inspisari kreasi Sunan Kalijaga itupun dicukil oleh Ki Ranggawarsita menjadi sebuah cerita tentang perkelahian manusia dengan raja gajah putih di daerah Herbangi (baca: Berkaca di cermin Retak, Wiratno et.al 2002). Konsep yang juga menjelaskan tentang makna untuk adanya kesadaran berbagi ruang kehidupan antara manusia dengan satwa liar. (Embah Ronggowarsito mengambil konflik manusia dengan gajah). Pada akhirnya juga terjadi kesepakatan untuk membagi kawasan yang menjadi milik manusia dan kawasan yang menjadi hunian sato kewan. Bukan membunuh semua gajah yang nota bene adalah hewan (konsep harmonis hidup). Dua orang Genius Lokal tersebut ajarannya bersumber dari kearifan lokal jawa, sekarang cenderung pudar hilang tanpa diresapi inti sari pelajarannya. Dimana manusia dan hewan merupakan sama-sama makluk ciptaan Tuhan. Jadi harus saling menghormati dan harus saling menjaga. Melanggar hak antar anggota penghuni bumi ini jelas merupakan sebagai pelanggaran kosmos (pandangan kebudayaan transendent). Akibatnya tidak heran jika banjir dan longsor (sebagai candikolo) melanda Jawadwipa. Hal itu sebagai repesentatif atas mulai longsor dan erosinya budayakonservasi orang-orang penghuni Jawa untuk hanya sekedar mendapatkan uang. Sebagai mana dengan kawasan suaka-marga satwa Meru Betiri yang oleh Steidensticker & Suyono (1976) di usulkan sebagai kawasan bagi kehidupan harimau jawa. Namun pemerintah Indonesia yang akan melakukan perlindungan harimau diserang dengan pernyataan manusia kok dikalahkan dengan 3 ekor harimau jawa. Sebab di Meru Betiri itu kawasan ideal harimau jawa telah diubah dulunya oleh kebo bule menjadi perkebunan Bande alit dan Sukamade yang dianggap menghidupi para pekerjanya. Setelah nasionalisasi maka banyak pekerja kontrak perkebunan kopi dan karet didalamnya, sejalan dengan pertambahan waktu maka jadi berkembang jumlahnya seiring dengan laju demografi manusia (meski tidak semua manusia penghuni perkebunan tersebut menjadi tenaga kerja). Bahkan tahun 1997 dua perkebunan tersebut telah diubah statusnya menjadi Zona Peyangga, walaupun posisi wilayahnya berada di dalam kawasan Taman Nasional. Para pemimpinnya bahkan sampai sekarangpun tak kuasa melakukan rekonsiliansi penetapan tata ruang yang mendukung hak hidup bagi satwa-satwa penghuni Jawa. Yang secara transendental dijelaskan oleh Sunan Kalijaga seperti pertumbuhan tumbuhnya Tepus. (Sunan Kalijaga ternyata merupakan sebagai pengamat hidupan liar) Tepus merupakan tumbuhan hutan yang termasuk golongan suku Zingiberaceae. Sistem hidupnya mempunyai rimpang yang menjulur di dalam tanah. Kenyataan tersebut dipinjam oleh sunan Kalijaga untuk menjadi perlambang atau sanepan: bahwa segala yang hidup mempunyai akar asal-usul (rimpang) yang sama. Yaitu kehidupan dari Yang Maha Kuasa ya Gusti Sing Akaryo Jagat. Yang dijelaskan lagi dengan kalimat pengikutnya: Gusti Kang Ora Keno Kinoyongopo. Budayakonservasi Jawa, ternyata mempunyai akar transendental. Kepahaman melindungi habitat sato kewan merupakan perjuangan pengabdian kepada Gusti Sing Akaryo Jagat iyo Gusti Kang Ora Keno Kinoyongopo. Maka tidak heran jika selama melakukan pengembaraannya Sunan Kalijaga meninggalkan tetenger berupa pohon beringin yang biasanya akan ada sendang di bawahnya. Artinya keberadaan tumbuhan (dalam hal ini beringin) merupakan hal yang dapat menimbulkan air (dimana pada kenyataan ada sendang di bawah beringin: jangan hanya faktor kasat mata yang diamati, tapi faktor yang tersirat diperilaku itu yang sebenarnya harus digali para budayawan untuk selanjutnya digiyawarakake marang kadang jawa, ben dileluri marang anak putu. Perilaku-ucapan para leluhur jawa sebenarnya merupakan buku pustaka contectual learning . Hanya saja perilaku dan ucapan itu terkadang dimaknai sebagai gugon tuhon dan nilai-nilai magis saja yang hemat penulis pandangan sebagai magis dan gugon tuhon itu sengaja diwacanakan oleh kebo bule, agar kita tercabut dari akar pengetahuan lokal yang super genius dalam memahami ekosistem jawa, sehingga lalu berhenti dari menggali-gali makna yang tersirat dengan pikiran logis yang kita miliki. Ha monggo kerso). Nah mampu tidak kita sebagai generasi penerus yang hidup di Jawa MEMBACA pelajaran para leluhur dahulu. Jangan hanya karena pohon besar penghasil air sendang itu di datangi para penepi untuk meminta wangsit. lalu dengan semena-mena ditebang habis. Agar manusia tidak syirik kata sebagian orang. Seperti di Trenggalek dulu. Pohon kepuh besar di makam yang diklaim keramat sering di datangi para pencari nomor (SDSB) jaman itu langsung ditebang oleh beberapa pemuda golongan tertentu. Mengabaikan kenyataan bahwa pohon kepuh besar itu juga menjadi sarang kalong. Akibatnya kalong pun musnah, entah kemana tidurnya.. Pada hal Nabi Muhammad SAW, pernah berpesan: tidaklah pohon yang kau tanam itu dimakan manusia dan binatang, kecuali menjadi shodaqoh bagimu Dan barusan saya mendapat kabar dari Jabar, ada sebuah dhanyangan dengan kerimbunan pepohonan besar dan mbregat serta singup dan suker dibabat habis biar padhang dan resik. Akibatnya: hama tikus merajalela, wereng mengganas dan banyak penyakit tersebar di kalanan masyarakat. Pikiran logis penulis: sewaktu danyangan itu rungkut, maka ular predator tikus bersembunyi aman di sini, tumbuhan mbregat dengan serasah yang suker merupakan tempat nyaman bagi serangga yang kemudian menjadi wereng padi karena rumah idealnya digusur. Kesadaran leluhur dulu memberikan semacam lokasi bagi persembunyian satwa liar, digerus dengan pandangan baru yang salah kaprah dimana suker dianggap jelek dan bersih dianggap baik. Pada kenyataannya tak digunakan sudut pandang lain, bahwa suker itu sebagai konsep toleran untuk memberikan ruang bagi kehidupan lain selain manusia. Ini sebagai gagasan penulis Oleh karena itu, untuk mengatasi gempuran terhadap budayakonservasi jawa, kita harus meluaskan pengetahuan, membaca ulang catatan sejarah hasil pemikiran

4 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

leluhur jawa terhadap kehidupan harmonis antar penghuni Jawadwipa. Sekali lagi kita harus cerdik dalam membacanya. Tidak sebatas manusia, hewan, bahkan dengan kehidupan yang paralel dengan ruang kehidupan manusia, bak layer-layer di tampilan Adobe Photoshop atau program GIS, manusia jawa dahulu telah membangun sinergitas yang akur konsep harmonis. Bahkan ada sebuah pengetahuan folklor yang penulis jumpai di Jabar bahwa manusia itu bisa tidak makan selama seratus hari atau pun setahun. Meski harus minum, dan hanya minum saja (kemarin baca di yahoo: seorang yogi di India bisa sampai 70 tahun lebih berpuasa tidak makan). Artinya kita manusia itu tidak boleh serakah bahkan sampai buas, melebihi buasnya binatang buas. Buasnya harimau hanya untuk menangkap mangsanya saat lapar. Guna mempertahankan hidup. Dimana sekali makan cukup untuk satu minggu. Maka tidak ada harimau yang ketika kenyang membunuh satwa mangsanya. Oleh orang jawa itu terekam dalam pernyataan: Mlakune koyo macan luwe. Gemulai dan luwes, indah dan cantik tapi tetap dianggap kuat wibawanya. Pernyataan yang muncul sebagai akibat adanya interaksi nyata : contextual learning antar generasi manusia jawa dengan harimau jawa. Yakni manusia jawa telah mampu membuat kesimpulan bahwa harimau loreng itu lebih banyak laparnya dari pada kenyangnya, sebab mlakune macan luwe dilihat indah untuk penyepadanan wanita yang jalannya indah gemulai. Klenggat-klenggot ning jejering jumangkah dlamakanne tetep mantheng segaris koyok macan luwe yen mlaku, ora mekeh-mekeh koyok kethek yen mlayu ning lemah. Ing telenge latri gumuk pasir kajiwan. Maos serat saking saklebeting GEN. Jaka Alas didik raharyono. 15 Jun 10

PL KAPAI 1997: PENDIDIKAN KONSERVASI MENCARI MACAN


Oleh javantiger 1 Komentar Kategori: Uncategorized Rate This Sumber Kliping: PANCAROBA, No 13 musim tanam Okt- Des 1997 PL KAPAI 1997: PENDIDIKAN KONSERVASI MENCARI MACAN Oleh: WG Prasetyo Permasalahan lingkungan terus berkembang menyertai proses pembangunan. Permasalahan tersebut banyak menimbulkan benturan kepentingan antara pelaku pembangunan dengan masyarakat. Akibat langsung dari berkembangnya permasalahan ini sangat dirasakan oleh masyarakat, terutama yang tinggal di dekat proyek pembangunan. Sementara, akses masyarakat terhadap informasi lingkungan, keberanian menyampaikan pendapat, masih lemah. Bahkan kesadaran akan permasalah lingkungan cenderung belum dimiliki, sehingga langkah-langkah pengamanan dar perlindungan lingkungan cenderung masih lemah. Di sisi lain, Pencinta Alam merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki jiwa cinta pada alam dan lingkungan. Jiwa cinta pada alam dikenal dengan diekspresikannya dalam wujud melakuan kegiatan olah raga alam bebas, petualangan dan bakti masyarakat di sekitar lokasi kegiatan. Mereka dapat dikembangkan sebagai kelompok pengamat lingkungan yang handal sekaligus sebagai pendamping masyarakat dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Berangkat dari pemikiran tersebut Pendidikan lingkungan Untuk Kelompok Pencinta Alam 1997 (PL-KAPAI 1997) diharapkan menambah kemampuan Pencinta Alam dalam membaca permasalahan lingkungan melalui sikap, mental, dan perilaku yang lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat. Pelatihan ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah untuk diterapkan setiap kegiatan petualangannya. Lebih lanjut bahkan memunculkan kader pengamat dan pengelola lingkungan dan kalangan Pencinta Alam, yang sekaligus dapat menjadi pendamping dan pemberi motivasi masyarakat. Menyelesaikan masalah Kappala Indonesia, lembaga yang rutin melaksanakan kegiatan pendidikan lingkungan ini Berpendapat : kurikulum pendidikan lingkungan harus luwes untuk diterapkan memecahkan masalah yang berkembang di lapangan. Oleh karenanya PL-KAPAI 1997, seperti juga sebelumnya, mengangkat topik, permasalahan saat hangat saat sekarang. Saat ini diangkat kasus sumberdaya TN Merubetiri yang terancam eksistensinya oleh tren tambang emas. Ada dua misi dalam materi lapang tersebut. Pertama, bersama-sama menggali dan menuai pengetahuan. Kedua, mencari data kunci sebagai upaya mempertahankan eksistensi taman nasional itu. Mengapa? Beberapa lembaga konservasi merasa pesimis tentang keberadaan Harimau Jawa. Bahkan boleh dikata, banyak yang meyakini, Harimau jawa telah punah. Benarkah demikian? Jika masih banyak cara yang dapat dilakukan, mengapa mesti patah arang? Dengan dianggap punahnya Harimau jawa tersebut, permasalahan menjadi meluas. Antara lain adanya upaya pengalihan fungsi Taman Naional Merubetiri menjadi kawasan pertambangan. Hal ini telah, dimulai dengan dikeluarkannya Ijin Eksplorasi seluas lebih dari satu juta hektar, untuk PT Hatman dan PT Timah oleh Departemen Pertambangan dan Energi. Salah satu hal yang memungkinkan dapat membatalkan pengalihan fungsi tersebut adalah keberadaan Harimau Jawa. Jika Harimau Jawa itu masih ada, pengalihan TNMB menjadi kawasan pertambangan akan menjadi permasalahan dunia yang krusial. Oleh karena itu dalam PL-KAPAI 1997, sebagai kegiatan Pendidikan Konservasi Alam (PKA) yang didukung Dana Mitra Lingkungan, ditekankan pada konservasi taman nasional. Penajaman dikhususkan tentang pendataan Harimau Jawa dan sumber daya alam TNMB. Ini merupakan alternatif terbaik untuk menyelamatkan taman nasional. Keberlanjutan program dilakukan dalam bentuk ekspedisi lanjutan ekspedisi detil pendataan Harimau jawa dan satwa langka lainnya, serta pengembangan masyarakat tepi kawasan taman nasional. Kegiatan lanjutan juga telah dilaksanakan. Akhir bulan September ini, bekerjasama dengan Sub BKSDA Jatim II dilakukan Ekspedisi Elang Jawa. Kegiatan Rombongan PL-KAPAI 1997 adalah pekerjaan rombongan. Materi ruang dilaksanakan selama lima hari di Kebun Binatang Surabaya (KBS), Universitas Surabaya (UBAYA) dan Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ). Enambelas materi disajikan oleh berbagai lembaga dan unsur terkait. Penyaji-penyaji itu antara lain ET Paripurno, Wahyu Giri Pasetyo, Siti Maimunah, dan Achmad Daenuri dari Tuan rumah KAPPALA Indonesia; Herwono dari Kebun Binatang Surabaya, Andi H SH dari LBH Surabaya, Cahyo LM dari MAPALAS UNITOMO Surabaya, Drs. Agus Lutfi Msi dari PSDALH UNEJ Jember; Ir. Indra Arinal dari (kepala) Sub BKSDA Jatim II, Sugiyono dari Bappeda Tk II Jember, serta Netran masyarakat lokal (desa penyangga TN Merubetiri). Diharapkan dengan melibatkan unsur-unsur yang terkait erat dengan permasalahan tersebut lebih memperjelas permasalahan vang akan dihadapi.

5 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Pelaksanaan lapang dilaksanakan di TNMB dengan dikoordinasikan oleh Mitra Merubetiri. Peserta di bagi menjadi 8 kelompok dengan 8 sasaran penelitian di kawasan TN Merubetiri. Kelopok I dengan sasaran Nanggelan Sukamade terdiri dari Reno Widanarti (MAPAGAMA UGM Yogyakarta), Adhi Widyatama (MAPAUS UBAYA Surabaya), Didik Setiawan (MAPENSA Fak. Pertanian UNEJ Jember), Heri Wahyudi (NIKKAPALA Poltek Kapal ITS Surabaya), serta Pak Suratman (Desa Andongrejo Tempurejo Jember) sebagai narasumber lokal dan pemandu kawasan. Kelompok II dengan sasaran pengamatan Mandilis Mandilis terdiri dari Abrar (MATALABIOGAMA Fak Biologi UGM Yogyakarta), Ahmad Rofieq (MAPALASKA IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Wardiman (CICERA Univ. Pancasila Jakarta), Wahyu Giri Prasetyo (KAPPALA Indonesia Sekretariat Jember), Pak Netran (Desa Sanenrejo, Tempurejo Jember) sebagai pemandu kawasan. Kelompok III terdiri dari Djuni Pristianto (MAPAGAMA UGM Yogyakarta), Sofyan (MAPENSA Fak. Pertanian UNEJ Jember), Ahmad Tirto Sudiro (GPA AESTHETICA ISTN Jakarta), Satrio Hariyanto (IMAPALA. STIA Mandala jember) dengan kawasan jelajah Sukamade Mulyorejo. Palempat Sarongan merupakan kawasan jelajah kelompok IV dengan tim terdiri : Didik Raharyono (MATALA BIOGAMA Fak. Biologi UGM Yogyakarta), Ibnu Sutowo (MAPENSA Fak. Pertanian UNEJ Jember KAPPALA Indonesia Sekretariat Jember), Nurkholis Yusuf (GEMPALA Pekalongan), Nova Liliyana (CICERA Univ. Pancasila Jakarta). Kelompok V dengan daerah Sarongan Suberjambe terdiri dari Muhammad Toha (GEMAPITA FIKIP UNEJ Jember KAPPALA Indonesia Sekretariat Jember), Mat Saroni (MAHAPENA Fak. Ekonomi UNEJ Jember), Kiki Pribadi (MAPALASKA Univ. Singaperbangsa Karawang), Adi Mulyono Ifnesius Silalahi (GPA AESTHETICA ISTN Jakarta). Bung Tronjol (Desa Sarongan, Pesanggrahan, Jember) sebagai pemandu kawasan. Kelompok VI yang terdiri dari Alpha Nugroho (MAPENSA Fak. Pertanian UNEJ jember), Widjan Afifi (GPA AESTHETICA ISTN jakarta). Hesto Wahyudi (ASTACA STT Telkom Bandung), Dedi Sugiantoro (SAR Stiper Jember) menyusur kawasan Sarongan-Sukamade. Kelompok VII menyusur kawasan Raung Selatan terdiri dari Ahmad Daenuri (ALFASAPA 200 KAPPALA Indonesia Sekretariat Jember), Heru Santosa Setiabudi (KAPPALA Indonesia Sekretariat Yogyakarta), Zulkarnaen (KIH regional 11 Semarang), Pak Newar dan Dulmiun (Ds. Pogung, Krikilan, Jember) sebagai pemandu kawasan. Kelompok VIII sebagai Pusat Komunikasi berlokasi di gunung Betiri terdiri dari Siti Maemunah (FK31 Jember KAPPALA Indonesia Sekretariat Jember), Susilowati (MAPAUS UBAYA Surabaya), Muhammad Suhadak (SWAPENKA Fak. Sastra UNEJ Jember), Teguh Winardhi (ARRPALA Jember), Sudibyo (IMPA AKASIA FH UNEE Jember FK31 Jatim). Temuan Dari hasil pengamatan 8 tim menyisir kawasan TNMB beberapa kekayaan Merubetiri baik flora maupun fauna dapat diinventarisasikan. Fauna temuan langsung seperti babi hutan, biawak, Banteng, Kelelawar besar, Kijang, Tupai, Jelarang, Kera ekor panjang, Lutung, Lingsang, Bintarong, Macan Kumbang, Trenggiling, Kucing hutan, Kupu-kupu banyak jenis dan berareka warna, capung banyak jenis dan beraneka ragam. Burung yang dapat terlihat antara lain Gemek, Alap- alap, Julang, Kutilang Emas,Elang laut, Alap-alap, Elang Ular, Elang Hitam, Elang Jawa, Bentit, Gesit, Pelatuk, Punglor, Kikuk, Glimukan. Rangkong gugusan, Rangkong Jongrang, Platuk Bawang, Platuk Hitam Putih, Srgunting Bendera, Beo, Gagak, Lin Aya hutan, Merak Hijau, Raja Udang, Larwo, Sriti. Jenis ikan antara lain Wader, Tawes, Uceng Dun (seperti sapu-sapu), dan udang. Temuan tidak langsung, berdasar jejak dan suara antara lain Landak (berdasarkan kotoran), Macan Tutul (kotoran dan jejak), Luak (kotoran), Kancil (jejak), Macan Sruni (bulu), dan Harimau Jawa (jejak, cakaran dan kotoran). Flora yang diidentifikasi antara Padmosari (bunga raflesia), Alang-alang, Kolonjono, Gajihan, Gajah, Duwet, Klampok, Rotan (pitik, warak, manis, pahit, siatung, cacing), Bambu (gesing, ori, rampal, bubat, wulung, buluh,mat-mat, petung, apus, tali) Gadung, Pakem, Bendo, Aren, Anggrek (25 jenis, dalam satu pohon), Gaharu, Kemukus, Cabe Jamu, Jawar, Kayu Tutup, Kateleng, Candu, Jamur. Analisis vegetasi setingkat pohon dilakukan dengan metoda kuadran. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang juga langka, dikatemukan di Pos Pantai Sukamade, Lereng timur Puncak Betiri Panggungrejo, Taman I dan Gligir Sapi untuk Raung Selatan. Gangguan TN Merubetiri ternyata sudah cukup terganggu. Bentuk-bentuk gangguan itu antara lain : darungan (tempat istirahat), pembakaran hutan, penebangan pohon (pengambilan kayu untuk kayubakar dan bangunan kulit kayu pule, buah langsep), pencari burung (dengan jala dan getah), geladak (berburu dengan membawa anjing berjumlah banyak), pengambilan rotan (batang muda, batang dan biji), pengambilan alang savana, pengambilan umbut pinang, pembuatan jebakan model string berbagai ukuran (untuk kijang, landak. macan, harimau), pengambilan batu-batuan, limbah pengolahan kopi. Masyarakat sekitar hutan mempunyai sumber pendapatan yang beragam, antara lain pekerja perkebunan (Pager Gunung, Sumber jambe dan Sumberdadi), petani dan petani kopi (Mulyorejo), penggaduh / peternak, pengrajin gula kelapa (Sarongan), pengrajin genteng (Sanenrejo), pengrajin bambu (Sarongan), nelayan (Rajegwesi), dan secara umum nyambi pengambil hasil hutan. Pergeseran sumber pendapatan menjadi pengambil hasil hutan terutama di musim kering. Kegiatan masuk / mengambil hutan dilakukan ketika kesibukan di sawah tidak ada. Sebagai pencari burung didukung oleh harga pasaran yang cukup tinggi. Punglor batu Rp. 115.000 175.000 / ekor, Rengganis 150.000 / ekor, Punglor kembang, cucak hijau Rp. 40.000 / ekor, Srigunting bendera Rp. 45.000 / ekor. Harimau itu Harimau Jawa itu? Harimaj jawa (Panthera tigris sondaica) diduga masih ada berdasarkan indikasi adanya jejak, cakaran dan kotoran antara lain berupa : jejak dengan lebar 15, 22 x 19 cm serta cakaran pada ketinggian 181 cm serta di ketinggian 500 dml. Jejak dengan ukuran 14 x 12 cm di Durenan. Jejak dengan ukuran 15 x 12 cm di antara Teluk Hijau dan Teluk Damai. Jejak dengan ukuran 15,5 x 19 cm clan 15 x 20 cm di Gunung Gendong. Jejak dengan ukuran 19 x 20 cm di Pudakan Curah Malang. Kotoran (panjang lebih 16 cm, 3 cm). Jejak dengan ukuran 12,5 x 14 cm (kaki muka belakang), Cakaran di Pohon Gintungan (tertinggi 100 cm, panjang cakaran 73 cm). Cakaran di Pohon Gedangan (tertinggi 214 cm) serta kotoran (panjang 13 cm, 2,5 cm) di Cawang Kanan Sungai Sukamade.

6 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Begitu pula menurut masyarakat. Mereka, mengenal harimau Jawa sebagai Macan Gembong. Gambaran mereka sosoknya besar seperti anak sapi, loreng, mempunyai surai (rambut kuduk / leher yang panjang). Mereka umumnya membedakan dengan Macan Lareng (lebih kecil tanpa surai) , Macan Sruni (warna loreng kemerahan, sosok lebih kecil dan langsing, cenderung memanjang). Mereka juga mengenal Macan Tutul (ceplok dan benguk, pembedaan atas motif tutulnya), Macan Kumbang, Canthel, Dawuk. Mereka juga mengenal Leo (gambaran mereka seperti Singa), serta macan Ram-ram. Persepsi masyarakat tentang Harimau Jawa umumnya sebagai penjaga / penguasa hutan. Auman sebagai pertanda musim. Ia tidak akan mengganggu manusia, asal niat ke hutannya baik, sebaliknya akan memberi sangsi kepada pemasuk hutan yang berpelaku kotor (zinah). Begitulah menurut masyarakat, Harimau itu ada. Lantas kami? Setuju. Harimau jawa memang masih ada. Ekspedisi memang telah membuktikan begitu. Sudah yakinkah kita? Keyakinan bahwa Harimau Jawa masih ada itu, memang sangat relatif. Kadang kita belum merasa yakin bila belum berhasil melihat dan memfotonya. Atau, kita belum yakin bila belum menangkapnya. Atau, kita belum yakin bila diantara kita belum menjadi korbannya. Untuk mengejar keyakinan itu, maka metoda-metoda lain akan dicoba. Data-data baru akan terus dikumpulkan. Misalnya, memasang jebakan foto. Sayang harganya mahal. Siapa-membantu? 10 Jun 10

Mount Ciremai : Javan tigers Newly Habitat


Oleh javantiger 31 Komentar Kategori: Hasil Investigasi Harimau jawa Tags: Gunung Ciremai, habitat, harimau jawa, medula rambut, sidik jidat harimau Rate This Gunung Ciremai Habitat Baru Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) oleh: Didik Raharyono. Steidensticker & Soejono (1976) luput mencantumkan Gn. Ciremai sebagai habitat harimau jawa dalam bukunya The Javan Tiger and The Meru Betiri Reserve. Diantar Pak Deddy Kermit Petakala Grage (PG), penulis menjumpai specimen kepala harimau jawa dari Gn. Ciremai. Banyak informasi ilmiah dapat dibaca atas temuan spesimen ini. Walaupun sudah dianggap punah, usaha mengendus eksistensi harimau jawa selalu mengantarkan bagi tersingkapnya tabir pengetahuan baru. Syukur tiada terkira Atas Limpahan Rahmat dari Tuhan Alam Semesta. Bagaimana tidak, semula kami Peduli Karnivor Jawa (PKJ) hanya mendiskusikan strategi riset, mekanisme pengumpulan dana pergerakan, menggagas pemikiran kreatif manajemen habitat kedepan bagi satwa dan masyarakat sekitar hutan berkarnivor besar di Petakala Grage (PG). Lalu Pak Deddy dan Pak Athok menyinggung kemungkinan masih adanya specimen tubuh harimau jawa di tetangga desanya. Kronologis Saya tertarik ingin berkunjung guna melihat opsetan loreng jawa, tetapi pada dua atau tiga hari kedepan. Pak Deddy menegaskan supaya tidak ditunda, maka saat itu juga kami meluncur ke rumah yang dimaksud. Benar adanya, sesampai lokasi kami diterima terbuka oleh tuan rumah, lalu kami memperkenalkan diri, menyampaikan maksud tujuan melakukan penelitian harimau jawa yang sudah dianggap punah. Setelah berdiskusi hampir 4 jam, Bapak yang sederhana itu menunjukkan koleksi beliau spesimen harimau jawa. Beliau seorang tokoh masyarakat, kolektor barang-budaya warisan leluhur, memperkenankan saya memotret kepala harimau jawa. Walau kondisinya hampir dipenuhi jala laba-laba, benakku berkeyakinan pasti akan ada segudang informasi ilmiah yang akan terkuak. Jikalau harimau jawa di musium, tentulah membutuhkan prosedur administrasi rumit seperti pengalaman pribadiku tahun 2000 di MZB dulu jauh-jauh dari Jember ingin belajar opsetan harimau jawa di tolak mentah-mentah karena saya dari perorangan dan bukan atas nama organisasi. Selain itu kekuatan ilmiah harimau jawa koleksi masyarakat tentulah bernilai baru dan penting, sebab memberikan gambaran vareasi pola, diskripsi ukuran tubuh, asal lokasi dan sejarah yang belum pernah terungkap apalagi tercatat. Bapak pemilik tersebut mengungkapkan: bahwa dulu, opsetan harimau jawa itu utuh dari kepala hingga ekor, namun banyak kenalan beliau dari Jendral hingga Kyai meminta sesobek demi sesobek untuk cindera mata akibatnya sekarang tinggal bagian kepala. Beliau mendapatkan hadiah specimen tersebut dari petinggi TNI kala baheula. Kemudian dijelaskan panjang kepala hingga pantat 200 cm, belum termasuk panjang ekor. Bahkan dulu sering dijadikan alas untuk istirahat beliau. Berdasar keterangan petinggi TNI yang dijelaskan kembali Beliau kepada penulis, harimau loreng ini berasal dari lereng Gn. Ciremai Jawa Barat. Ditembak sekitar tahun 1961 -bekas pelor sekitar 5 lubang di pipi, dekat hidung dan jidat depan, masih terlihat jelas. Ditambahkan lagi: harimau jawa ini jantan tua dan telah membunuh 5 orang -maka dieksekusi. Luput dari Steidenstiker Informasi ilmiah terpenting dari uraian temuan spesimen kepala di atas adalah tentang Gn. Ciremai sebagai habitat harimau jawa. Dalam bukunya (1976) Steidenstiker & Soejono menyampaikan sebaran distribusi habitat harimau jawa tahun 1940 dan 1970, walaupun untuk Gunungkidul dilabeli 1930 (?) dengan tanda tanya dibelakangnya, tapi Gn. Ciremai luput dari pencatatan beliau. Berarti kawasan Gn. Ciremai dianggap bukan habitat harimau jawa, meskipun terjadi pembunuhan tahun 1961 -mungkin informasinya tidak terdengar Pak Steidenstiker. Padahal telah berdampak terhadap penisbian informasi dari penduduk sekitar kawasan tentang terjumpainya harimau loreng yang oleh masyarakat sekitar disebut maung siliwangi, lodaya atau macan tutul turih tempe. Jangankan Gn. Ciremai, bahkan di Gn. Arjuno, Gn. Argopuro dan masih banyak lokasi lain yang juga luput dari pencatatan Steidenstiker (1976) sebagai habitat harimau jawa. Penulis berani mencantumkan nama-nama lokasi habitat baru harimau jawa (di buku Berkawan Harimau Bersama Alam, 2002) berdasarkan keterangan dari Pemburu lokal, Pecinta Alam, Pendarung, Perbakin dan Pensiunan TNI. Seperti misalnya saat silaturohmi ke pengurus Yayasan Salsabiil Faros di Cirebon (2009), penulis bertemu dengan seorang pensiunan TNI yang dulu pernah menembak seekor harimau jawa di lereng Gn. Arjuno. Beliau menembak seekor dari empat ekor harimau loreng yang diincarnya. Penembakan tersebut terjadi tahun 1967, hal itu diingat dengan cermat karena beliau ditugaskan di Koramil sekitar Gn. Arjuno 2 tahun setelah Gestok. Dan dari Wonogiri diinformasikan bahwa harimau jawa masih terlihat. Artinya: masih banyak lokasi-lokasi habitat baru harimau jawa yang luput dari catatan ilmuwan harimau dunia. Oleh karena itu, sebagai penghuni Pulau Jawa, hendaknya kita peduli terhadap kawasan yang ada disekitar kita, utamanya hutan yang menjadi habitat satwa liar. Dengan kandungan maksud: jadilah peneliti ahli yang menguasai halaman rumah sendiri. Bolehlah kita berpikir global, namun aksi kita haruslah dimulai dari

7 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

lokal. Sebab ancaman dan tekanan tinggi pada habitat-habitat alami di Jawa, tentulah akan mengancam kelestarian satwa-satwa endemik Jawa yang tersisa. Diawetkan Dengan Garam Semula saya agak ragu memegang spesimen kepala harimau jawa tersebut. Bukan apa-apa sebab berdasarkan keterangan pengopset satwa tradisional biasanya menggunakan Arsenik sebagai bahan utama pengawet opsetan, selain formalin dan alkohol. Untuk menegaskan informasi yang beredar seperti itu saya memberanikan bertanya: dulu opsetan ini diawetkan dengan apa Pak? Beliaunya tersenyum menjelaskan kalau pengopsetan kala itu hanya menggunakan garam krosok dan dijemur terbalik di sinar matahari (kulit bagian dalam dipampang langsung, sedang bagian berambut tidak terpapar sinar matahari). Informasi ilmiah tersebut penulis buktikan dengan kenyataan, dimana beberapa bagian rambut telah lepas. Bahkan bagian atas daun telinga kiri telah robek dimakan tikus. Artinya pengawetan opsetan ini memang menggunakan garam, tidak menggunakan racun arsenik. Sifat garam yang hipertonis dan hygroscopis jelas akan mempercepat terhisapnya kandungan air ditingkat seluler, maka garam dijadikan bahan pengawet tradisionil. Beda nyata jika menggunakan arsenik: opsetan tampak utuh, mulus dan tidak cacat rambutnya, sebab serangga pemakan rambut akan mati jika kontak dengan arsenik, seperti opsetan harimau sumatra yang pernah saya jumpai di Rumah dinas Bupati Temanggung tahun 2001, utuh dan bagus pastilah menggunakan racun dalam pengawetannya. Penulis lalu teringat keterangan Pak Karno Jember yang juga mengkoleksi opsetan harimau jawa ditembak tahun 1957. Setelah beliau menunjukkan foto harimau jawa dari Kendeng Lembu, saya bertanya masih adakah sisa opsetan hewan di foto itu. Beliaupun tersenyum lalu menjelaskan bahwa opsetannya tidak bagus (namun beliau tidak menjelaskan bahan penyamakannya), sejak tahun 1970-an rambutnya telah banyak yang rontok maka kemudian disimpan di gudang dan tahun 1980-an banyak dimakan ngengat. Oleh karena itu pada sekitar tahun 1990-an, opsetan harimau jawa itu dimusnahkan dengan di bakar dan dibuang di halaman belakang. Sedangkan saya berkunjung kerumah beliau sekitar tahun 1999. Merasa aman dengan opsetan yang diawetkan dengan garam, maka penulis memegang, mengambil sedikit rambut untuk dianalisis menggunakan mikroskup cahaya guna menjadi rambut pandu harimau jawa jikalau nanti ditemukan rambut dari hutan. Berkolaborasi dengan Pak Deddy, maka berbagai pose kepala opsetan harimau jawa itu kami abadikan, meliputi : kepala secara utuh, pola loreng tersisa di jidat, pipi samping kiri, dagu bawah, bekas surai dan landasan kumis. Hal itu saya lakukan untuk membantu pendiskripsian secara ilmiah perihal kenampakan fisik harimau jawa dari Gn. Ciremai. Saat memotret bagian landasan kumis, sempat terabadikan sisa kumis sepanjang 1 cm dua helai, cukup untuk memberikan wacana tentang model dan warna kumis harimau jawa. Membongkar Sepenggal Kepala Berumur Abad Dulu potongan kepala itu sering dipakai anak-anak untuk bermain dengan teman-temannya, berkejaran, bergurau dan sebagainya. Penulis bergumam, wah sumber pengetahuan sangat penting ternyata menjadi hal biasa bagi masyarakat. Mungkin karena masyarakat merasa bahwa sepenggal kepala loreng jawa itu sebagai barang lumrah, mudah dijumpai dan masih banyak di hutan, jadi sederhana saja cara memperlakukannya. Tak mau terlambat, maka saya dengan cermat memperhatikan bekas-bekas sidik jidat harimau jawa itu. Tetapi tak menemukan bekas coretan-coretan garis hitam, karena sebagian besar rambutnya telah rontok mengelupas. Perhatian kemudian saya alihkan dibagian atasnya, syukur masih ada sisa rambut yang utuh dengan garis hitam. Tebalnya tak lebih dari selebar jari telunjuk lelaki dewasa. Pola coretan garis hitam itu cenderung longgar (jaraknya renggang), tidak seperti milik harimau sumatra yang tebal dan rapat ndemblok(Jw). Kondisi ini juga diperkuat foto harimau jawa 1957 sebagai pembanding, dimana tulang tengkoraknya masih terbalut kulit dan merekam bentuk utuh satwa saat masih hidup karena diabadikan sesaat setelah mati ditembak. Meski sepenggal kepala opsetan harimau jawa ini telah terlepas dari tulang tengkorak sebagai landasan kulit yang membentuk raut muka tiga dimensi, tetap dapat terlihat rekam-bentuk tentang peseknya hidung yang sempit, dengan pangkal jidat sedikit di atas mata cenderung cembung membentuk kesan moncong memanjang. Sisa coretan ornamen di pipi juga mencirikan sebagai milik harimau jawa yang jarang, tipis dan cenderung cerah. Berbeda dengan coretan ornamen pipi harimau sumatera kebanyakan tebal, rapat sehingga memberi kesan agak gelap.

GAMBAR 01. KARAKTER WAJAH HARIMAU JAWA & SUMATERA. Berdasar pola coretan pipi dan sidik jidat, dapat dibedakan antara karakter wajah harimau jawa dan sumatera. Pola coretan pipi harimau jawa cenderung tipis dan jarang sedangkan harimau sumatera tebal dan rapat. Sidik jidat harimau jawa renggang dan tipis, sedangkan harimau sumatera rapat cenderung membentuk blok hitam. Akibatnya wajah harimau jawa cenderung cerah dan harimau sumatera cenderung gelap. Bahkan saya sempatkan untuk menghitung lubang bekas landasan kumis harimau jawa, jumlahnya baik yang besar maupun sedang sekitar 29 lubang untuk satu pipi kiri dan sekitar itu juga di pipi kanan, total 58 lubang. Hanya sekitar 10 landasan lubang berdiameter 3 mm di pipi kanan-kiri dan 14 lubang berdiameter 2 mm, lainnya 1 mm atau bahkan kurang. Landasan lubang kumis tersebut membentuk enam baris dengan komposisi jumlah baris dari bawah ke atas: 3; 6; 6; 5; 5; dan 4. Menggunakan pijakan kajian pembanding foto harimau jawa 1957 terlihat bahwa ujung kumis hingga surai di dagu, prediksi saya panjang rambut kumis harimau jawa mencapai 25 cm. Rambut dibagian dagu berwarna kuning pucat (kemungkinan dulunya putih), sedangkan rambut yang menjadi warna dasar pipi yang masih sempat terlihat berwarna kuning tembaga terang. Blok rambut berwarna putih yang dikelilingi warna hitam dibelakang daun telinga masih terlihat jelas, walau hampir samar. Setelah pengamatan secara mikroskopis di laboratorium Biologi SMA Mandiri Cirebon, terdiskripsikan bahwa medula rambut opsetan ini bertipe intermediet pola reguler, sedangkan sisik bertipe corona serrata pola irreguler wave. Hal ini semakin memperkuat data temuan kami tigabelas tahun yang lalu perihal rambut harimau jawa, dulu temuan dari TN Meru Betiri dan sekarang opsetan asli dari Gn. Cermai.

8 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Medula rambut harimau jawa dari Gn Ciremai GAMBAR 02. STRUKTUR MORFOLOGI RAMBUT HARIMAU JAWA GN. CIREMAI. Detail bagian medula rambut harimau jawa dari Gn. Ciremai ini menunjukkan tipe intermediet pola reguler. Ciri utama pada bagian medula ini membedakan dengan macan tutul yang bertipe discontinous pola cresentic. Keidentikan pola rambut harimau jawa dari Gn. Cermai dengan rambut temuan dari TN. Meru Betiri menunjukkan eksistensi harimau jawa. Morfologi medula rambut harimau jawa ini di foto menggunakan mikroskup cahaya dengan perbesaran 40 x 5. (foto: @didik R10). Seperti Apa Ekosistem Gn. Ciremai? Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat (3.078 mdpl), dikelilingi hutan dengan koordinat 108020 108040 BT dan 6040 6058 LS. Tipe iklim kawasan Gn. Ciremai berklasifikasi tipe iklim B dan C (berdasar Schmidt dan Ferguson) dengan rata-rata curah hujan 2000 4000 mm/tahun. Temperatur bulanan berkisar antara 18o 24o C. Sistem hidrologi didominasi sistem akuifer endapan vulkanik dari Gn. Ciremai. Berdasarkan geomorfologi dan litologi, karakteristik akuifer dikelompokan menjadi 3 bagian yaitu: kurang produktif pada lereng puncak; sangat produktif pada lereng badan gunung; dan produksi sedang rendah, pada kaki gunung (RPK TNGC, 2009). Keberadaan air ini sangat penting bagi eksistensi karnivor besar, sebab harimau jawa suka berendam di air jika kondisi siang hari sangat panas, namun adanya kisaran suhu yang hangat dan dingin di kawasan Gn. Cermai sepertinya harimau jawa mampu beradaptasi khususnya di lereng badan gunung.

Gunung Ciremai GAMBAR 03. PENAMPANG TIGA DIMENSI GN. CIREMAI. Kenampakan tiga dimensi Gn. Ciremai memberikan informasi bentang lahan dan topografinya. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencari daerah ideal bagi kelangsungan hidup harimau jawa dengan memperhatikan kebutuhan syarat hidup khususnya ketersediaan sumber-sumber air alami dan prey. (Sumber Gambar: Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 2009). Luas hutan di Gn. Cermai sekitar 15.500 ha dan merupakan hutan sekunder tua pasca letusan tahun 1832. Sebagian besar penutupan lahan berupa vegetasi hutan alam primer yang dikelompokan ke dalam tiga jenis yaitu: hutan hujan dataran rendah (200-1000 m dpl); pegunungan (1000-2400 m dpl); pegunungan sub alpin (> 2400 m dpl). Beberapa flora hasil inventarisasi oleh berbagai pihak di wilayah Kawasan Gn. Ciremai meliputi : 32 jenis vegetasi pohon pada ketinggian antara 1.200 2.400 m dpl; 119 koleksi tumbuhan terdiri dari 40 anggrek dan 79 non anggrek (RPK TNGC, 2009). Keberagaman vegetasi sangat tinggi tentunya menunjang sumber pakan satwa prey karnivor besar.

9 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Kawasan Gn. Ciremai selain kaya keanekaragaman flora, juga memiliki tingkat keanekaragaman fauna yang tinggi, dan beberapa jenis termasuk kategori langka. Daftar spesies satwa liar di kawasan ini meliputi 12 mamalia; 3 reptilia; 77 burung dan beberapa jenis ampibi serta serangga yang belum diteliti. Kompleksitas jenis hewan terutama golongan prey sangat menunjang bagi kestabilan populasi dan demografi karnivor besar. Berkaitan dengan luas kawasan berhutan, maka keragaman jenis prey dan populasinya jelas akan sangat penting sebagai faktor penunjang Carrying Capacity kawasan Gn. Cermai terhadap fluktuasi dan kelestarian harimau jawa kedepannya (perlu dikuatkan dengan riset menggunakan kamera trap secara permanen minimal 6 bulan). Penutup Berbekal hasil pendataan koleksi satwa liar yang dilindungi pada tahun 1992 yang telah pernah dilakukan BKSDA di seluruh Jawa, seharusnya dapat dijadikan landasan untuk mencermati berbagai kawasan yang diduga sebagai habitat satwa liar, bahkan mungkin melakukan refisi terhadap buku-buku referensi yang telah beredar. Tetapi sepertinya saat ini telah terjadi kerancuan wilayah kerja antara Balai Taman Nasional, KSDA, dan Perhutani di Jawa akibatnya tak ada sering data, informasi dan pensinergian bidang kajian khususnya satwa liar dilindungi ataupun yang terancam punah, bahkan yang sudah diklaim punah karena habitatnya yang berupa hutan telah disekat-sekat secara administrasi. Ditilik dari hanya sebuah temuan sepenggal kepala opsetan harimau jawa berumur 49 tahun, masih berpeluang ditemukan habitat baru satwa yang telah dianggap punah. Kami dari PKJ dan PG sebagai masyarakat biasa hanyalah didorong oleh rasa kepedulian yang tinggi terhadap keselamatan hutan Jawa dari tekanan dan ancaman destruktif. Dimana hutan alami tersisa di Jawa kami anggap sebagai gudang plasmanutfah sumber bagi daya kehidupan antar-lintas generasi, oleh karena itu harus dibaca, dikaji dan dijaga sekuat tenaga. Cirebon, 9 Juni 2010. Didik Raharyono, S.Si. Wildlife Biologist SEKRETARIAT PKJ. 27 Mei 10

Javan Tiger: the Opportunistic Carnivore study by macroscopic fecal components


Oleh javantiger 1 Komentar Kategori: Eksistensi Harimau jawa Abad XXI Tags: babi hutan, diameter feses, eksistensi harimau jawa, Feses, harimau jawa, javan leopard, javan tiger, kijang, komposisi feses, kuku kaki, leopard, macaca fascicularis, macan tutul, monyet ekor panjang, muntiacus muntjak, oportunis, prey, sus scrova Rate This HARIMAU JAWA : KARNIVOR YANG OPORTUNIS study komponen fekal secara makroskopis by: didik raharyono Sekali lagi saya akan berbagi pengalaman perihal eksistensi harimau jawa(Panthera tigris sondaica). Saat ini kajian yang menarik adalah identifikasi fekal secara makroskopis, artinya dengan mata telanjang tanpa bantuan alat apapun kecuali kamera untuk pendokumentasian dan alat ukur. Kumpulan feses karnivor besar yang telah saya koleksi hampir seratusan lebih. Awalnya, setiap menemukan feses berciri milik karnivor kami koleksi. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, pengkoleksian yang saya lakukan saat ini hanyalah dengan melakukan pemotretan (terutama saat perjumpaan di lapangan). Selain itu kiriman sample dan foto feses hasil perjumpaan dari teman-teman Pecinta Alam dan Masyarakat Local di Jawa Timur dan Jawa Tengah juga masih mengalir. Banyak hal yang dapat diurai dengan melakukan kajian fekal ini. METODE Pada tahap awal penelitian semua fekal kami koleksi dari hutan. Sistem penyimpanan dan pengamanan selama perjalan berhari-hari di hutan dengan cara memasukkan sample feses ke dalam ruas bambu yang memang banyak di hutan tempat telitian kami (hal ini untuk menjaga bentuk feses supaya tidak rusak). Sesampainya di flaying camp maka fekal tersebut kami keringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari langsung, dan jika sampai di base camp maka feses dimasukkan ke dalam tabung-tabung kaca berdiameter 3-4 cm (sesuai dengan ukuran sample feses), lalu dikeringkan menggunakan lampu bolam 60 W, setelah 2 hari feses akan kering. Pengeringan ini berguna untuk menghindari proses penghancuran sample oleh serangga dan jamur. Mengingat dari fekal ini dapat dipelajari sedetail mungkin perihal : jenis pakan, komposisi pakan, pola perilaku, bahkan memungkinkan pendeteksian lokasi-lokasi penyantapan prey. Pendokumentasian sample feses dilakukan baik saat pertama kali dijumpai di alam (kondisi alami saat ditemukan) maupun saat setelah pengeringan. Hal ini untuk mempertajam analisa fekal meliputi perilaku ikutan yang biasanya belum terfikirkan saat perjumpaan langsung di alam. Setelah itu baru dilakukan pembongkaran feses untuk mengetahui komposisi adanya fragmen tulang dan analisis rekam puncak gigi. STRUKTUR DASAR FECAL KARNIVOR KELUARGA KUCING BESAR Sebagai tahap awal kita harus dapat membedakan feses karnivor besar dengan feses ular dan muntahan burung hantu besar (Tito sp.). Sebagai ciri utama fekal milik keluarga kucing besar adalah komposisi fekal yang terdiri dari rambut prey, remukan tulang dan tersusun sebagai bolus (masyarakat local dengan mudah mendiskripsikan bolus feses karnivor sebagai mirip bulatan-bulatan pada kotoran kuda). Sedangkan kotoran milik ular piton strukturnya memang mengandung rambut prey, hanya saja fragmen tulang tidak ada alias telah tercerna sempurna menjadi semacam pasta (mirip pasta gigi: putih). Adapun muntahan burung hantu bentuknya mirip boli karnivor besar, hanya saja strukturnya selalu mengandung kepala tikus, tupai atau kelelawar buah yang dimangsanya dengan tulang-tulang pipa yang masih utuh. Berdasarkan pengalaman di lapangan, dari ketiga jenis fekal tersebut selain ditunjang oleh kenampakan morfologinya juga akan terdeteksi dari aroma khas masing-masing fekal tersebut. Hal ini tentunya berkaitan langsung dengan perbedaan jenis enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh karnivor, ular dan burung.

10 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Feses harimau sumatera di kebun binatang. Gambar 1. Feses harimau sumatera di kebun binatang yang diberi pakan ayam, terdiri dari empat boli. Pelajaran awal ini penting untuk melakukan pendekatan pengenalan aroma khas dari feses harimau loreng, berikut ciri besarnya diameter feses.

Muntahan burung hantu Gambar 2. Boli muntahan burung hantu besar. Sepintas strukturnya mirip dengan fekal karnivor besar, tetapi jika dicermati menunjukkan pemangsaan oleh satwa yang tidak bergigi, tetapi berparuh. Hal itu teramati dari keutuhan semua tulang-tulang pipa dan tengkorak codot (inset: kiri bawah). Sedangkan feses burung hantu bentuknya semacam pasta.

Remukan tulang di dalam feses karnivor besar Gambar 3. Remukan tulang sebagai ciri utama fekal karnivor kucing besar. Indikasi serpihan tulang ini merupakan hal utama yang dapat membedakan antara fekal carnivore dengan ular piton dan burung hantu besar (mengingat: karnivor melakuakan pengunyahan tulang prey, sedangkan ular dan burung cenderung menelan langsung satwa mangsanya). Jika memungkinkan kita bisa melakukan pengukuran rekam puncak gigi, untuk mengetahui seberapa besar gigi yang melakukan pemecahan tulang tersebut. Remukan tulang ini biasanya terbungkus rambut prey pada struktur feses.

Rambut prey ciri feses karnivor besar Gambar 4. Kandungan rambut prey, juga dapat dijadikan sebagai penciri utama fekal yang diidentifikasi sebagai milik karnivor keluarga kucing besar. Jenis rambut prey ini bisa untuk membantu identivikasi satwa pemilik fekal. Hal yang membedakan dengan muntahan burung hantu (bentuknya boli) yang meskipun mengandung rambut tetapi dari jenis tikus, tupai ataupun codot, bukan rambut kijang dan babi hutan. PEMBEDAAN FEKAL MACAN TUTUL DENGAN HARIMAU JAWA Pendekatan utama yang kita gunakan untuk dapat membedakan feses milik harimau loreng dengan macan tutul adalah diameter feses dan kandungan daun di ujung bolus. Apabila fecal tersebut mempunyai diameter lebih dari 4 cm dan diujung feses tidak mengandung daun (bisa ilalang ataupun bambu), maka kami klaim sebagai fekal milik harimau jawa. Jikalau diameter feses berkisar dari 2 3 cm dan ada dedaunan di ujung fekal maka kami identifikasi sebagai milik macan tutul. Selain itu ada ciri fekal harimau jawa yaitu apabila di dalam feses itu terkandung kuku kaki prey, dimana hal ini tidak menjadi perilaku macan tutul.

11 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Diameter feses besar ciri milik loreng jawa Gambar 5. Fekal harimau jawa. Diameter feses 6,5 cm, mengandung fragmen tulang, rambut babi hutan dan terdiri sekitar 6 boli. Fekal ini ditemukan oleh teman-teman Jagawana TNMB.

Daun di ujung feses ciri milik macan tutul Gambar 6. Fecal macan tutul, berdiater sekitar 2 cm dengan ujung feses terdapat daun bambu. Beberapa masyarakat local menambahkan informasi bahwa ciri kotoran macan tutul juga terkadang disertai dengan sedikit tanah. Pada gambar 6 diatas dijumpai tanah hitam sedikit posisinya di pangkal sendok. Feses ini dijumpai di tepi jalan aspal dari Paltuding menuju Totokan Gunung Ijen. HARIMAU JAWA OPORTUNIS Karnivor memang cenderung oportunis, artinya dia pemakan segala. Maksudnya memangsa dari jenis serangga hingga banteng. Ke-oportunisan harimau jawa bisa penulis ketahui berdasarkan analisis komposisi fekal yang ditemukan warga pendarung sekitar tahun 2004. [Catatan perjalanan feses harimau jawa: dari pendarung, temuan feses dari hutan ini diserahkan ke Pak Netran (CO-Kappala Indonesia Jawa Timur), lalu dari Pak Netran di sampaikan ke Mas Giri (Kappala Jember), dari Mas Giri diberitakan ke penulis. Oleh penulis dilakukan analisis dan pendokumentasian secara mendalam, sehingga teramati sifat oportunis harimau jawa itu.] Dikripsi singkat fekal ini : diameter sekiar 7 cm, terdiri atas 5 boli, mengandung rambut babi hutan, kijang dan monyet ekor panjang. Selain itu juga diketahui mengandung kepala kumbang hitam (serangga) dan beberapa ranting dan dedaunan bambu yang letaknya terselip di antara rambut babi hutan dan kijang bukan di ujung fekal.

Panjang sebuag boli feses harimau jawa Gambar 7. Panjang sebuah boli feses harimau jawa sekitar 18 cm.

Diameter feses lebih dari 4 cm ciri harimau jawa Gambar 8. Diameter feses harimau jawa sekitar 7 cm.

12 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Kuku kaki babi hutan di feses harimau jawa Gambar 9. Diujung sebuah boli feses harimau jawa ini terdapat dua kuku kaki babi hutan. Kalau diperhatikan dengan cermat maka teramati tiga jenis rambut dilatar bekalang gambar ini, yaitu: rambut babi hutan (terlihat hitam kaku); rambut kijang (terlihat coklat) dan rambut monyet ekor panjang (terlihat abu-abu lembut-halus).

Kuku kaki prey sebagai ciri feses harimau jawa Gambar 10. Ditemukan juga kuku kaki kijang.

kuku jari monyet di feses Gambar 11. Ujung kuku monyet ekor panjang. Bukti bahwa selain rambut monyet, juga ditemukan kuku jarinya di sebuah feses harimau jawa.

kepala serangga: kumbang hitam di dalam feses harimau jawa Gambar 12. Fragmen kepala kumbang hitam (serangga), juga ditemukan dalam sebuah boli feses harimau jawa yang sama. Rangkaian gambar diatas sudah sangat jelas untuk menggambarkan sifat oportunis harimau jawa dalam pemangsaan. Dari temuan sebuah feses kita dapat membaca banyak informasi yang terekam didalamnya. Uraian perihal komposisi jenis satwa yang dimangsa harimau jawa tersebut, terekam dengan jelas di sebuah boli. Artinya feses tersebut:menceritakan tentang adanya perilaku oportunis dari harimau jawa. Buktinya dari serangga hingga babi hutan dimangsanya terekam dari sebuah feses. Ada hal menarik yang dapat kita ketahui dari membaca feses ini: yakni perihal lokasi pemangsaan prey. Di gambar 7, 8, 10, 11 dan 12 jika kita cermati maka terlihat adanya seresah bambu yang ikut terselip di antara rambut prey yang terkandung di feses ini. Sehingga dapat diketahui bahwa pemangsaan babi hutan, kijang dan monyet tersebut berlangsung di bawah tegakan bambu. Sebagai penguat dugaan tersebut, diinformasikan oleh penemu, bahwa feses ini dijumpai dan dipungut dari bawah hutan pepohonan dengan tegakan bawahnya berupa vegetasi bamban (sejenis dengan Maranta) dan tidak dijumpai tegakan bambu. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin jikalau seresah bambu tersebut terselip saat proses defekasi berlangsung. Melainkan terikut sewaktu proses pemangsaan, dimana seresah bambu kering di lantai hutan biasanya akan lekat di daging prey seiring dengan mengeringnya darah. Hal ini diperkuat dengan temuan feses harimau jawa ini di bulan Agustus (musim kemarau untuk Pulau Jawa).

Seresah terikut saat proses pemangsaan daging prey

13 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Gambar 13 Seresah bambu yang terselip didalam rambut penyusun feses harimau jawa, menunjukkan bahwa lokasi pemangsaan berada di bawah vegetasi bambu. Hal ini dapat menjadi bahan pelajaran kita untuk melakukan kajian di bawah vegetasi bambu yang memungkinkan bagi ditemukannya sisa pemangsaan harimau, sebab harimau suka menimbun sisa pakannya jikalau sekali santap belum habis. Sebagai penguat ciri kesukan harimau jawa dalam pemangsaan tersebut dengan ditemukannya sisa penimbunan berupa kepala babi hutan dengan indikasi besarnya rekam gigi yang terdapat di bagian tulang rahang bawah bagian dagu kiri dan kanan. Seperti yang terpampang pada gambar 14 dibawah.

Rekaman gigi pada sisa pemangsaan harimau jawa Gambar 14. Besarnya gigi geraham harimau jawa terekam dengan jelas (ditunjukkan dengan 3 anak panah warna biru). Guntingan puncak-puncak tonjolan gigi geraham bawah dan geraham atas harimau jawa dapat dengan jelas teridentifikasi. Sebagai bahan garapan mendatang adalah analisis endoparasit dan analisis DNA dari temuan feses harimau jawa yang masih segar. Semoga kami diberi kekuatan dan kemudahan dari Allah SWT untuk melakukannya, Amin. Tulisan ini saya Dedikasikan untuk : 1. Mas Eko Teguh, Mas Giri, Cak Dainuri dan Kang Lethek (atas ajakannya mengenal harimau jawa 1997). 2. Pak Ti, Pak Li, Pak Hamzah, Pak Rin, Pak Min, Pak Netran, Pak Im, Pak Udin (yang dengan ketulusan dan kepercayaan Beliaubeliau mengajari penulis secara langsung contextual leaning di dalam hutan untuk mengenali bekas aktivitas harimau jawa, dari tahun 1997 2005). 26 Mei 2010, Secretariat PKJ Karang Jalak Cirebon Indonesia. 27 Apr 10

THE ETNOTIGROLOGI FRAMEWORK


Oleh javantiger Leave a Komentar Kategori: Etnotigrologi Tags: etnobiologi, etnotigrologi, etnozoologi, folklor, javan tiger, javanese, local knowledge, reog, sundanese 1 Votes Sebuah Kerangka Dasar Pemikiran ETNOTIGROLOGI Oleh: Didik Raharyono, S.Si. Wildlife Biologist

Kepala Harimau Loreng yang telah menjadi Kepala Dadak Reyog. Pendahuluan Etnotigrologi berasal dari tiga suku kata: etno = budaya, tigro dari tigris = harimau, sedangkan logi = pengetahuan. Latar belakang Sejarah Etnotigrologi Pengejaran dan pembuktian eksistensi harimau jawa (Panthera tigris sondaica) sepanjang rentang waktu hampir satu dasawarsa lebih (1997 2009) dimulai dari Jawa Timur ke Jawa Tengah dan di sebagian Jawa Barat, berdampak pada perjumpaan beragam pengetahuan lokal yang unik dan eksklusif mengenai harimau. Selain sosok eksistensi harimau jawa sebagai hewan, juga diperoleh pengetahuan tambahan mengenai eksistensi harimau sebagai satwa mistik, semangat ilmu magic dan prewangan. Berbagai suku yang dijumpai penulis baik: Jawa, Osing, Madura (urban di bagian timur Pulau Jawa) dan Sunda ternyata mempunyai kebudayan yang unik dalam interaksi mereka dengan harimau jawa. Bahkan pengetahuan itu terekam sebagai foklor turun temurun, arca, keris, batik, ukiran, gunungan wayang, peribahasa, idiom, simbol/lambang organisasi dan berbagai kegiatan kebudayaan yang lainnya.

14 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Penjelajahan dari hutan ke hutan selalu melibatkan pemandu lokal. Sedangkan sebelum masuk hutan berinteraksi dengan masyarakat tepi kawasan hutan. Dan dari merekalah penulis menemukan mutiara-mutiara pengetahuan lokal mengenai harimau sebagai simbol semangat mistik sampai foklor-foklor khas masyarakat Jawa, Madura dan Sunda. Kebetulan beragam informasi tersebut penulis kumpulkan dalam catatan lapang secara khusus maupun ceceran informasi yang terpenggal-penggal dari dalam benak penulis. Interaksi dengan masyarakat tempatan selama berlangsungnya kegiatan pemantauan eksistensi harimau jawa bermula dari daerah Banyuwangi Barat dan Jember Selatan. Banyaknya informasi baik kesaksian maupun nilai-nilai mistis yang diyakini masyarakat menimbulkan serpihan-serpihan catatan yang menarik. Bahkan berbagai Foklor, pengisahan kesaksian yang membahasakan seolah harimau berperilaku seperti manusia menggugah penulis mencetuskan gagasan kajian keilmuan dengan penamaan awal Anthro-biomacan sejak awal 2000. Kajian Anthro-biomacan mengalami perkembangan yang bersumber pada penyimbulan sosok harimau loreng yang ada di Gunungan Wayang kulit berhadapan dengan banteng. Oleh penulis informasi dikembangkan dengan pengejaran ke berbagai literatur lokal seperti Babad Pathi oleh Pak Buditarni (tidak diterbitkan), naskah relief di Candi Borobudur Jawa Tengah, Babad Cirebon, penggalian Foklor dari kerabat penulis, Reog Ponorogo, hingga Barongan. Sejalan dengan perkembangan waktu, koleksi pengetahuan lokal masyarakat semakin melimpah. Hal yang paling berkesan adalah pertemuan penulis dengan seorang budayawan di sebuah lereng Gunung di Jawa Tengah yang menunjukkan sebilah kerisnya yang bernama Singobarong. Keris tersebut diyakini sebagai peninggalan leluhurnya yaitu Sunan Kalijaga. Seorang Wali pengembang dan penyiar Agama Islam di tanah Jawa yang amat terkenal. Keris tersebut menunjukkan daya seni yang tinggi. Sedangkan dibagian depan dekat pangkal keris terdapat sebuah ukiran sosok harimau yang posisinya duduk dengan mulut yang terbuka. Konon dibagian mulut ini tertatahkan sebutir intan. Tahun 2009 penulis bertemu dengan Bapak Leon BP, seorang peneliti Angrek CIFOR Bogor di Perum Nirwana. Dari berbagai diskusi yang sangat lama, akhirnya muncul ide untuk menamai kajian anthro-biomacan sebagai etnotiger. Teranalogkan dengan bidang kajian yang beliau geluti dan akan beliau rumuskan sebagai etnoorchidologi. Dalam perjalanan di atas kereta api Cirebon Expres jurusan Jakarta-Cirebon, maka penulis terinspirasi untuk memberi nama kajian etno tiger sebagai ETNOTIGROLOGI. Semoga gugahan inspirasi ini mampu melengkapi khasanah ketinggian budaya olah cipta karsa manusia Penghuni Pulau Jawa. 23 Apr 10

THE ZONATION LANDSCAPE ECOLOGICAL FOR MAPPING JAVAN TIGER (Panthera tigris sondaica) HABITAT IN MERU BETIRI NATIONAL PARK, EAST JAVA.
Oleh javantiger 1 Komentar Kategori: Recearch Tags: habitat potention, javan tiger, prey, relief, steepness of slope, surface water, vegetation type Rate This Skripsi By : NINA NOVIRA ( 99/130641/GE/04754) NATIONAL EDUCATION DEPARTMENT GADJAH MADA UNIVERSITY FACULTY of GEOGRAFI JOGJAKARTA 2004. ABSTRACT This research located in Meru Betiri National Park, East Java Province. Meru Betiri National Park is located in south part of Java Island, administratively a part of Jember District and Banyuwangi District. The problems studied this research is that there were never been any research to determine the degree of suitability for javan tiger (Panthera tigris sondaica) habitat. In order to do that, data about natural characteristic in the research area were needed. Based on those problems, this research is aimed : (1) to find natural parameter in the research area, (2) to study the degree of suitability in the research area as Javan Tiger habitat. The method used in this research is making a criteria for Javan Tigers necessary for living as a basic for the classification. Research area is divided into 72 land unit which is the result of overlay Relief Topography Map, Steepness of Slope Map, Distribution of Surface Water Map, Vegetation Type Map, and Preys Habitat Potention Map. To determine the degree of suitability, matching analysis method is applied on each land unit. The result of this research indicated that some part of research area is potential for Javan Tiger habitat. Dominant handicap in the research area is steepness of slope, topographic relief condition, and human disturbance. Surface water and prey is well provided. Vegetation type is also supported, because big part of research area is tropical forest, which is the type of vegetation that Javan Tiger like. Potential area for Java Tiger habitat is 2.345 ha (4,1%), moderate is 24.866 ha (43,51 %), and not potential is 29.944 ha (52,39%). Key Word : habitat potention, prey, vegetation type, surface water, steepness of slope, relief, javan tiger. 17 Apr 10

Finding The Tigers Hair In Luxuriance of Java Tropical Rain Forest


Oleh javantiger Leave a Komentar Kategori: Uncategorized Tags: bekas cakaran, harimau jawa, rambut Rate This

15 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

MENCARI RAMBUT HARIMAU DI KELEBATAN HUTAN HUJAN TROPIS **ha,. mana mungkin bisa menemukan sehelai rambut di kelebatan hutan hujan tropis basah: ibarat menemukan sebutir jarum ditumpukan jerami, mustahil** itulah serangkain kalimat yang selalu muncul dari mulut orang-orang yang apatis atas publikasi temuan-temuan Pecinta Alam dari Jawa. Jangan melihat hubungan antara sehelai rambut dengan lebatnya hutan. Sebuah pendekatan pengetahuan dan pengalaman tertentu itulah yang akan bisa mengantarkan sampai ke tujuan. Sewaktu mendengar keterangan penjelasan dari Mas Giri (alumni Mapensa Faperta UNEJ) di sebuah ruang kuliah UBHARA Surabaya dalam acara kajian pencarian bekas aktivitas harimau jawa dalam rangka pembekalan materi ruang peserta Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Pecinta Alam & Ekspedisi Meru Betiri 1997, akupun bertanya-tanya? Tempat-tempat seperti apa yang sangat memungkinkan bagi ditemukannya rambut karnivor besar? Mas Giri menjelaskan:berdasarkan pengamatan di kebun binatang Surabaya, pada batang pohon asem jawa yang biasa digunakan oleh beberapa individu harimau Sumatra melakukan pencakaran, ditemukan beberapa helai rambut harimau yang terselip. Oleh karena itu teman-teman saat menemukan bekas cakaran karnivor besar, mohon dicermati perihal keberadaan rambut. Dari Rambut yang ditemukan dapat diidentifikasi asal satwa pemilik rambut tersebut. Tentunya setelah dilakukan serangkaian identifikasi dan pengamatan dengan seksama. Maka eksistensi harimau jawa bisa diidentifikasi atas temuan rambutnya. Begitulah ingatan bebas yang penulis dapatkan dari 13 tahun yang lalu.

Di sekitar cakaran memungkinkan ditemukan rambut. Gambar 1. Cakaran yang menyisakan rambut. Pada gambar 1 di atas, terlihat dengan jelas jarak garutan dua kuku yang saling berdekatan A, sedangkan helaian rambut itu jelas terlihat di dekat B. Sekali lagi untuk melakukan kajian di dalam hutan, kami selalu membekali diri dengan pengetahuan perilaku dasar harimau loreng, kebetulan loreng yang ada dan masih dapat diamati adalah harimau sumatera yang ada di kebun binatang. Pembelajaran ini juga berhasil atas beberapa saran dan masukan dan jasa baik Kebun Binatang Surabaya (untuk PL-Kapai 1997) dan kebun Binatang Gembiraloka (untuk PL-Kapai 1999). PENGEMBANGAN LEBIH LANJUT banyak kemungkinan berawal dari tidak mungkin seloroh Mas Iwak yang ketua Mitra Meru Betiri itu terngiang di telingaku saat menjejak hutan. Ditambah berbagai keterangan dari pemburu local, maka terakumulasilah berbagai pengetahuan mengenai lokasi atau tempat-tempat yang memungkinkan ditemukannya rambut karnivor. (yang saya maksud dengan pemburu local: adalah penduduk tepi kawasan hutan yang menjadi habitat karnivor besar dengan profesi sebagai pemburu harimau dan macan dengan menggunakan teknik-teknik tadisionil, bukan menggunakan senapan). Selama melakukan kegiatan pengamatan dan penjelajahan di dalam hutan, maka terminal-terminal yang sangat strategis untuk memperoleh barang sehelai dua helai rambut satwa mudah di jumpai. Terlebih jika kita menggunakan pemandu dari masyarakat tempatan yang pernah menjumpai di titik-titik mana saja harimau itu pernah ndekem. Beberapa tempat yang strategis bagi dijumpainya rambut di alam bebas adalah: 1. Di seputaran cakaran di pohon. Di alur-alur luka garutan, biasanya dapat dijumpai rontokan rambut yang terselip. Bisa di tepi goresan yang serabut serat pohonnya kasar. (catatan: beberapa hasil analisa juga berhasil diidentifikasi sebagai rambut lutung, monyet dan kijang). Hasil analisa juga menunjukkan rambut tipe halus milik harimau. Sebab di sekitar kuku kaki harimau terdapat tipe rambut ini.

Temuan rambut di sekitar cakaran Gambar 2. Helain rambut yang terdapat di sekitar goresan cakaran 2. Dibawah pohon yang di cakar. Biasanya pokok pohon cakaran bagian bawahnya terdapat tumbuhan lumut. Nah ditumbuhan ini biasanya juga dapat dijumpai beberapa helai rambut yang rontok. Kemungkinan saat mencakar, bagian isi carpal kaki depan merapat sehingga menggesek permukaan kulit pohon, akibatnya terperangkaplah beberapa helai rambut yang tanggal. 3. Perhatikan juga, bagian sarang laba-laba yang biasanya berada di samping kanan-kiri batang pohon, terkadang juga ada beberapa helai rambut yang terperangkap di benang jaring rumah laba-laba tersebut, terutama jika pengamatan musim kemarau. Kalau musim penghujan, beberapa rambut rontok terkadang

16 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

ikut tercuci turun hingga di pokok pohon berdekatan dengan tanah.

Rontokan rambut karnivor di atas batu datar tempat berjemur Gambar 3. Helaian rambut yang rontok di atas batu datar. 4. Batu datar di tepi sungai atau di bawah rumpun bambu yang teduh. Kondisi batu datar seperti ini biasanya digunakan harimau untuk melakukan pemangsaan hewan mangsanya. Bahkan terkadang batu datar yang memungkinkan terpanggang sinar matahari saat siang, sangat disukai karnivor besar untuk melakukan penghangatan tubuhnya di malam hari, ndeprok kata orang jawa.

Di pohon gosokan badan juga bisa dijumpai rontokan rambut Gambar 4. Bekas godokan badan lateral macan tutul. 5. Pohon gosokan, pangkal pohon ataupun akar banir, memungkinkan sebagai tempat untuk menggosok badan lateral harimau, terutama yang posisinya berada di tepi jalan setapak. Hanya saja harus dibedakan dengan bekas penggosokan babi hutan, kijang ataupun rusa.

Kayu roboh melintang, kadang rambut rontok tersangkut. Gambar 5. Kayu melintang di lintasan jalan setapak, beberapa helai rambut satwa yang melintas terkadang nyangkut. 6. Keberadaan pohon yang rubuh melintang di jalan setapak. Terkadang pencakaran secara horizontal juga dilakukan oleh carnivore keluarga kucing besar. Sehingga pengamatan juga dapat dilakukan.

17 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Trap di tanah, di bagian dalamnya bisa diperoleh rambut. Gambar 6. Perangkap satwa yang kadang juga menjadi terminal rambut. 7. Kadangkala kita juga bisa menjumpai sebuah perangkap local, seperti lubang galian digambar 5 dibawah. Lubang perangkap ini di buat di jalan setapak di dalam hutan. Kedalamannya bisa sampai dua meter setengah. Bagian tengah sekitar satu meter dari lantai tanah, diberi sebuah kayu horizontal yang diganjal secara menyilang. Keberadaan kayu melintang ini untuk mencegah kaki satwa menjejak lantai, dengan kaki menggantung dan tersangga seperti itu maka satwa akan tetap hidup tiga sampai empat hari kedepan. Sehingga saat dipantau, satwa masih sempat di sembelih, supaya halal untuk dikonsumsi. Jebakan ini diperunukkan bagi kijang dan rusa, tetapi terkadang babi hutan, macan dan harimau juga terperangkap. Nah di kayu yang melintang horizontal tersebut, bisanya dapat ditemukan rambut rontok.

Sisa pembantaian karnivor besar Gambar: 7. Kulit bukti sisa pembantaian karnivor besar Pulau Jawa. 8. Selain itu bukti eksistensi harimau jawa bisa diperoleh dengan melakukan identifikasi helain rambut dari sisa-sisa pembunuhan. Panduan Analisis Rambut Carnivor Besar di Jawa Setelah mendapatkan berbagai sample di hutan, maka untuk melakukan analisis harus mempunyai pembanding identivikasi. Pembanding rambut yang digunakan untuk menjadi panduan adalah rambut macan kumbang, rambut macan tutul, rambut macan jawa dari reog dan rambut harimau sumatera dari kebun binatang. Semua rambut temuan dari hutan dicuci dahulu satu persatu, kemudian diletakkan di gelas benda, lalu di beri sedikit air supaya bisa tampil tiga dimensi lalu terakhir ditutup dengan deg glass. Posisikan rambut melintang atas bawah, lalu dengan pencahayaan yang tepat, dengan fokus tertentu tergantung bagian mana yang akan kita foto, maka pemotretan bisa dilakukan. Untuk perbesarannya tersesah, selama rambut bisa menampilkan karakter sisik dan pola medulanya. Contoh Hasil Pemotretan rambut karnivor yang telah berhasil dilakukan penulis adalah sebagai berikut:

18 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Panduan Rambut Karnivor Besar Jawa Gambar 8. Beberapa foto medula dan sisik rambut sebagai pembanding temuan di lapang. Dari gambar 8 di atas, bisa diketahui seperti apa rambut yang kita temukan dari hutan. Untuk satwa mamalia yang berambut lain, tipe dan pola sisik maupun medulanya berbeda-beda. Panduan secara mikroskopis atas semua jenis satwa mamalia jawa sedang disusun penggarapannya oleh penulis. Kedepannya semoga guide semacam ini mampu memandu temuan teman-teman dari lapangan. Selamat mencermati. (Sekretariat JATAM: Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, April 2010:) 14 Apr 10

The Variation of Javan tiger Footprint in the Wild


Oleh javantiger Leave a Komentar Kategori: Eksistensi Harimau jawa Abad XXI Tags: fotprint, jejak kaki harimau jawa, plaster cast 1 Votes VARIASI BENTUK JEJAK TAPAK KAKI HARIMAU JAWA Bagiku, sangat asyik untuk marah dalam usaha advokasi spesies yang dianggap punah itu, yakni harimau jawa. Bagaimana tidak: terdapat paradikma antara OPINI dan PRAKTISI. Opini, ketika pernyataan punah itu hanya dilandasi berdasarkan kajian literer, bukan berdasar hasil riset yang sahih dan terus menerus. Celakanya pandangan ini digunakan untuk melandasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kawasan konservasi dan habitat satwa liar yang ada di Pulau Jawa dan sudah semakin menyempit dan terfragmentasi. Sementara landasan argument dari Praktisi -sebagian besar masih diusahakan oleh Pecinta Alam dan NGO-konservasi, dinisbikan tanpa ada pergumulan sengit mengkaji indikasi awal bukti-bukti temuan. Dan walaupun bukti temuan itu sebagian besar oleh PA dan warga masyarakat selalu dianggap SUMIR. Sudah begitu, mereka para PENENTANG indikasi bukti-bukti temuan yang mendukung terhadap eksistensi harimau jawa setelah penentangan itu dilakukan; cukup duduk manis di-empuknya korsi jabatan mereka, tak pernah TURBA alias turun ke bawah bin melakukan pengecekan langsung alias melakukan riset pembuktian. Alih-alih membantu membekali pengetahuan-pengetahuan dasar pelengkap ekspedisi berkaitan dengan harimau jawa (membekali ilmu pengetahuan) terhadap PA yang getol memantau; bergabung saja tidak mau. Jadi kapan mau cerdas manusia Indonesia ini. Herannya, data temuan itu walaupun sudah diseminarnasionalkan, tetap saja tak mampu mengusik jiwa riset mereka yang menyandang predikat PAKAR HIDUPAN LIAR dari berbagai Universitas yang NGENDON di Pulau Jawa. (Buktinya selama 12 tahun pasca SemNas Harja: tidak ada riset yang dihasilkan oleh mereka yang menyandang gelar PAKAR HIDUPAN LIAR perihal harimau jawa). Jangan heran nanti kalau foto harimau jawa terbaru di Abad XXI ini berharsil dipublikasikan, tentulah mereka akan ikut lantang berteriak-teriak menggunakan titelnya dalam berargumentasi mendukung eksistensi harimau jawa, -biar dijadikan sebagai penasehat dll dan dll.(latah gitu loch) Maka saat mengais-ngais koleksi majalah lama dari perpus pribadiku, aku menemukan petikan sebuah artikel lingkungan yang ditulis oleh para peliputnya sebagai berikut: **Meski bukti cukup kuat, Departemen Kehutanan, yang sedari awal mengklaim harimau jawa telah punah, tidak menerima begitu saja temuan Tim Meru Betiri. Bagi Johannes Subijanto, Kepala Sub-Direktorat Konservasi Flora dan Fauna Ditjen Pelestarian dan Konservasi Alam Dephut, cakaran, jejak, dan feses saja tidak cukup untuk membuktikan harimau jawa masih ada. Perlu ada tes DNA terhadap kotoran yang ditemukan, kata Johannes. Karena itu, Dephut mengirimkan kotoran tadi ke Amerika Serikat untuk memastikan betulkah kotoran itu milik harimau jawa. Hal yang sama disampaikan pakar kehidupan liar IPB, Hadi S Alikodra. Menurut Hadi, bentangan Taman Nasional Meru Betiri memang memenuhi syarat kehidupan jarak jelajah harimau jawa yang bisa mencapai 300 kilometer. Selain itu, di taman nasional itu juga hidup kijang, rusa, babi hutan, dan banteng, yang merupakan santapan harimau jawa. Tapi, menurut pakar yang juga Asisten Menteri Lingkungan Hidup ini, jejak harimau jawa yang ditemukan haruslah fresh. Artinya usia jejak tidak boleh lebih dari dua atau tiga hari. Selain itu, jejak juga harus merupakan jejak yang berulang, katanya. Tanpa itu, tidak bisa dipastikan hasil temuan tim Meru Betiri sahih.**{TEMPO, Edisi 12-18 Januari 1999; hal: 38; Arif Zulkifli, IG.G. Maha S. Adi (Jakarta), Munib Rofiqi (Surabaya), dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)} Petikan Dua alinea diatas, mencerminkan bagaimana gigihnya menentang bukti-bukti temuan Pecinta Alam perihal harimau jawa. Pada alinea awal di sebutkan bahwa cakaran, jejak dan feses dianggap tidak cukup untuk membuktikan eksistensi harimau jawa. APALAGI kesaksian dan penuturan masyarakat tempatan. Baguslah kalau kotoran akan dianalisis DNA-nya, tetapi bagaimana dengan tes untuk cakaran dan jejak kaki? Apakah dua temuan ini juga akan dites DNA-nya? Apa ya bisa (cobalah dibaca kembali dan diamati apa yang telah saya sampaikan di tulisan saya: Cakaran satu dan dua). Bukankah sangat jelas untuk perbedaan morfologi antara cakaran loreng dan tutul? Petikan alenia berikutnya : boleh-lah kalau itu memang syarat yang diajukan supaya data PA mempunyai nilai ilmiah. Jajak Fresh: tidak boleh berumur lebih dari dua atau tiga hari dan harus berulang. Perlu di ketahui: bahwa lantai hutan di Jawa: sebagian besar merupakan serasah dedaunan, lapisan humus dan memang kadang-kadang ada tanah yang tersingkap (terutama di jalan setapak). Ke-fresh-an suatu jejak menurut saya dapat dieliminir ketika jejak yang ditemukan TERCETAK di tanah lempung. Jejak yang fresh memang boleh dipersyaratkan untuk lantai hutan berupa pasir atau salju. Tapi salju kan tidak ada di Jawa. Kalau tanah pasir atau berpasir memang ada: terutama di tepi pantai dan di gisik sungai. Saya pernah menemukan sebuah jejak kaki macan tutul yang tercetak kuat di tanah lempung yang telah mengering. Mungkin usia jejak itu lebih dari sebulan, sebab jarak penemuan kami sudah sebulan lebih dari hujan terakhir yang turun. Lagi pula jejak itu tepat berada di tepi jalan patroli yang lebarnya sekitar 2m, hanya saja sedikit terlindungi sebuah atap dinding tebing batu. Berdasarkan pengalaman pengamatan di lapangan, untuk jejak di tanah berhumus, umurnya tak lebih dari satu hari. Terbukti saat kami menemukan jejak macan tutul di jalan setapak yang lantai hutannya berupa humus, dan penemuan itu pagi hari dimana malam harinya hujan lebat, maka keesokan harinya jejak itu telah hilang terhapus oleh hujan yang turun pada malam hari berikutnya (meski sudah kami beri tanda pohon didekat cetakan jejak kaki tersebut). Berarti: tidak mungkin temuan jejak tidak fresh jika temuan jejak tersebut di MUSIM PENGHUJAN. Perlu kita ketahui bahwa di Pulau Jawa ini terdapat 2 tipe musim: Penghujan dan Kemarau. Artinya bagaimana kita harus bisa memperhatikan saat kapan Riset dilakukan, begitupula dengan saat kapan jejak di temukan. Hal ini akan berkaitan dengan obyektivitas data temuan. Jikalau jejak terekam di lantai hutan yang tanahnya berupa tanah liat kering dan sedikit berdebu (ada lapisan debu yang tipis), maka umur jejak juga tak lebih

19 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

dari sehari. Sebab ketipisan debu akan pudar oleh hembusan angin dan pijakan orang yang melintasi hutan. Sedangkan kalau jejak di pantai berpasir, maka hanya berumur se-pagi. Artinya: jejak tersebut akan jelas terlihat di pagi hari dari jam 06.00 sampai sekitar jam 10.00 (tapi tergantung pasang perbani yang terjadi di bulan apa jejak tersebut ditemukan). Dan kalau sudah terlalu siang, maka garis pembatas bentukan jejak tapak kaki akan pudar tersebab terpaan panas sinar matahari. Dengan panas tersebut maka air menguap, padahal air ini yang mengikat partikel antar butiran pasir. Begitu air menguap, maka dinding-dinding tepi yang membentuk rekaman jejak akan longsor sehingga jejak menjadi pudar (proses ini jika terjadi pada musim kemarau). Berbeda jika pada musim penghujan: begitu hujan turun dengan deras, maka jejak yang terekam di atas pasir pantai jelas akan buyar terhapus. Dan hal ini juga akan berbeda lagi jika pantai tersebut berupa tanah Lumpur, maka jejak sulit dikenali, begitu tercetak sudah itu akan langsung hilang bentuknya. Apalagi jikalau pantainya berupa hamparan pecahan cangkang koral dan kerang, maka jejak kaki satwa apapun tak akan pernah membekas. Jejak yang paling super fresh adalah jejak yang terekam diatas batu. Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana mungkin batu yang keras dapat merekam cetakan jejak kaki harimau jawa. Kalau Anda suka masuk hutan, tentu akan dengan cepat memiliki gambaran yang utuh perihal pernyataan di atas: jejak tapak kaki memang dapat tercetak di atas batu. Dan cetakan jejak kaki tersebut justru tergolong sebagai criteria jejak paling bagus dan paling sahih. Lho, begini penjelasannya. Jejak kaki tersebut berupa bentukan yang terekam dari potsol dan bulatan bantalan jejari kaki harimau yang baru melintasi sungai. Dan batu yang merekam jejak itu adalah batu yang terdapat di tepi sungai. Jadi, saat harimau itu kakinya terangkat dari air sungai, maka sesaat setelah menginjak di bebatuan (sebagai kondisi sungai-sungai dipedalaman hutan TNMB) maka akan merekam jejak. Dan jikalau jejak yang dijumpai seperti itu, berarti jejak tersebut masih baru. Sebab, jika sudah lama (lebih dari 3 jam) maka bentukan jejak tersebut tentu sudah hapus tersebab air yang mencetak jejak tersebut telah menguap. Belum lagi jikalau kondisi lantai hutannya berupa bebatuan yang tersebar diatas tanah liat basah, maka jejak yang terekam dapat atas bentukan potsol bantalan tengah kaki, jejarinya tidak terekam. Oleh karena itu kita harus detail dalam melakukan pencatatan dan pencermatan atas temuan jejak dalam kaitannya dengan kondisi mikro edafiknya (kondisi dan jenis substrat lantai hutan). Bahkan kebalikannya, ada juga jejak yang terekam adalah hanya keempat jari kaki saja, sedangkan bagian tengah jejak kurang jelas terekam. Belum lagi jejak bertumpuk: dimana jejak kaki depan kiri terinjak kembali oleh jejak kaki kiri belang, begitupun kalau kaki kanan baik depan maupun belakang. Maka jejak yang terlihat adalah jejak kaki harimau dengan 5 rekaman jari kaki. (kalau kita tidak cermat, pasti akan bertanya-tanya: kenapa jejak kaki harimau jarinya ada lima? Oleh masyarakat, biasanya disebut sebagai harimau jejadian. Hal ini untuk menghentikan proses berpikir selanjutnya). Dan dari berbagai tipe bentukan pola jejak tapak kaki, kita akan dengan mudah mengintrepestasikan kira-kira sedang beraktifias apa saat jeejak tersebut terekam. Sebagai contoh: saat di temukan jejak bertumpuk, (dimana kaki kiri depan bertumpuk dengan kaki kiri belakang) bisa diprediksikan harimau saat berjalan dalam kondisi lapar. Orang jawa bilang: mlakune kaya macan luwe: segaris; beda jika saat ditemukan berupa jejak jejari kakinya saja, kemungkinan harimau itu sedang meloncat, sehingga tumpuan lompatan menekan bantalan lemak jejarinya. Dan masih banyak yang lainnya Memang banyak sekali fareasi jenis jejak kaki harimau yang terekam di lantai hutan. Hal itu sangat tergantung banyak factor: tanah liat (lembab, basah atau kering), tanah Lumpur, tanah humus, tanah liat kering berdebu, tanah pasir, tanah liat kering berserasah, tanah berbatu, tanah berbatu dengan landasan tanah liat lembab dan masih banyak criteria yang lainnya. MAKANYA JARANG DITEMUKAN JEJAK BERANGKAI, mengingat kondisi lantai hutan hujan tropis sebagian besar selalu memiliki seresah dedaunan. Oke-lah kalau begitu, berikut dibawah ini kami tampilkan berbagai jenis jejak yang kami koleksi dari alam liar (hutan tersisa dari tanah Jawa).

Javan tiger footprint Gambar 1: plaster cast jejak kaki harimau jawa. Dimensi ukuran jejak: 28X26 cm. jejak memperlihatkan empat bekas jari kaki yang tercetak sedangkan bagian tengah kurang jelas terekam. Jejak plaster cast ini hasil temuan teman-teman FK3I Forda Besuki Jember. (Di foto oleh didik raharyono). Perlu diketahui, biasanya jejak kaki satwa yang terekam di tanah berdebu kering akan terlihat jelas saat awal ditemukan sebelum dibuat cetakan gipsnya. Dan jangan heran jikalau terkadang hasil rekaman gips-nya kurang jelas membentuk struktur cetakan jejak kaki. Oleh karena itu, di buku Berkawan Harimau Bersama Alam saya menganjurkan untuk melakukan pengukuran terlebih dahulu, dan jikalau memungkinkan dilakukan perekaman gambar menggunakan kamera. Sebab jikalau telah dicetak plaster cast-nya maka terkadang ukuran sebenarnya menjadi sedikit berubah.

Rekaman langkah harimau jawa Gambar 2. Contoh jenis jejak harimau di lantai hutan dengan jenis tanah liat kering berserasah. Lapisan debu yang merekam jejak kaki harimau sangat tipis, tetapi untuk mendukung sebagai data agar dapat berbicara maka Saudara Ibnu Sutowo menemukan metode tabur serbuk gips. Hal ini merupakan kegeniusan

20 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

teman-teman Pecinta Alam yang selalu kreatif dan inovatif, saat menjumpai temuan di alam yang sangat jauh berbeda dengan konsep teoritis yang didiskusikan di ruangan, maka ketrampilan berimprovisasi dimiliki mereka. Inovasi-Kreasi dari ketua Mitra Beru Betiri (Iwak) ini jelas akan membantu analisis kami sebagai wildlife biologist. Sekali lagi, sertakanlah pembanting standar yang dapat membantu estimasi pengukuran morfometri dari data temuan bukti aktivitas spesies target yang Anda jumpai saat berada di hutan. (Momentum perjumpaan data bukti aktivias tidak terulang untuk perjalanan kedepan saat Anda melakukan ekspedisi penjelajahan harimau jawa, oleh karena itu, sedapat mungkin rekamlah temuan Anda dengan mengabadikannya menggunakan kamera). Dengan adanya jarak langkah sekitar 60 cm dan diameter sekitar 20X18 cm, tentu dapat kita prediksikan siapa hewan pemilik jejak ini kalau bukan harimau jawa?

Vareasi temuan plaster cast Gambar 3. Temuan jejak kaki satwa di alam liar, terkadang tidak se-sempurna dengan buku-buku petunjuk. Walaupun begitu, usaha kreatif untuk melakukan perekaman menggunakan serbuk gips sangatlah dianjurkan. Gambar 3 diatas menunjukkan rekaman plaster cast jejak kaki bagian tengah milik harimau jawa. Meskipun keempat jarinya tidak terekam, namun kita dapat melakukan sebuah estimasi dan rekontruksi seberapa besar jejak ini jikalau tercetak secara utuh. Jajak kaki yang tercetak seperti gambar di atas merupakan hasil rekaman dari lantai hutan yang berbatu-batu dengan landasan tanah lempung basah. Nah apakah ya kita tetap akan menisbikan beragam corak tipe dan pola jejak kaki harimau jawa yang terekam di lantai hutan? Kondisional dan sangat situasional, untuk itu tidak mudah memang menjadi pemulung data eksistensi harimau jawa yang sudah terkena klaim punah. Tuntutan teoritis atas model dan pola jejak yang beruntun, lebih dari satu jejak dalam satu lokasi temuan, dengan umur harus tidak boleh lebih dari satu hari, adalah tuntutan mereka yang selalu nyaman duduk dimeja dengan puluhan buku literatur. Tanpa pernah brusukan alas.

pencermatan habitat Gambar 4. Bukan memasak serbuk gips. Beginilah gambaran perjuangan teman-teman Pecinta Alam Jawa melakukan pendedahan eksistensi harimau jawa. Perhatikan kondisi lantai hutan yang berupa serasah dan bebatuan, meskipun ada sedikit singkapan-singkapan tanah lempung. Lokasi temuan jejak yang sedang di buat plaster cast-nya ini merupakan sebuah lorong anak sungai yang telah mengering, walupun tanahnya masih lembab. Nah, bagaimana mungkin bisa

21 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

menemukan jejak yang berulang? Silahkan renungkan sendiri. (Penulis adalah yang memotret momen kegiatan ini). Tulisan diatas aku dedikasikan kepada Prof Moeso (alm) dan Dr. Djuantoko (alm). Jadikanlah Alam liar itu sebagai Perpustakaan dan Laboratorium-mu, bacalah dan pelajarilah dengan sungguh-sungguh begitulah Amanat Prof. Moeso Suryowinoto (alm) Guru Besar Emeritus Fakultas Biologi UGM mewanti-wanti kepadaku di saat kami berdua berjalan-jalan di kebun biologi yang menjadi koleksi tumbuhan dari berbagai dunia yang beliau kumpulkan. Hati-hati di Hidupan Liar, Mas Didik. Itulah sms terakhir yang aku terima dari Dr. Djuantoko (alm) sehari sebelum beliau wafat. 06 Apr 10

BERKAWAN HARIMAU BERSAMA ALAM


Oleh javantiger 1 Komentar Kategori: Resensi Buku Tags: cakaran, eksistensi harimau jawa, feses harimau jawa, footprint javan tiger, harimau jawa, javan tiger, Panthera tigris sondaica Rate This

Cover Buku: Berkawan Harimau Bersama Alam Judul Buku : BERKAWAN HARIMAU BERSAMA ALAM Penulis : Didik Raharyono

Penyelaras : E. T. Paripurno Terbitan Halaman ISBN : Kappala Indonesia dan The Gibbon Fuondation, 2002. : 103 hlm.+ xvi, 63 ilus; 21 cm. : 979-3143-02-9

Harimau merupakan hewan buas yang sangat ditakuti manusia, oleh karena itu pengamat macan di Jawa hampir tidak ada. Walaupun begitu ada seorang peneliti muda yang ambisius berusaha mengentaskan harimau jawa dari predikat punah. Perjuangannya menggeluti habitat harimau selama bertahun-tahun itu akhirnya diramu menjadi satu-satunya buku pandu cara mencermati keberadaan harimau jawa yang bertajuk Berkawan Harimau Bersama Alam (BHBA). Didik Raharyono memburu harimau jawa sejak tahun 1997 tanpa mempedulikan klaim punah yang melekat pada satwa buas itu. Justru Didik bersemangat untuk menemukan harimau jawa agar orang lebih peduli terhadap kesetimbangan ekologis pulau terpadat di dunia ini. Ide segar tentang pengelolaan hutan di Jawa tanpa memperhatikan sekat administrasi merupakan dobrakan cerdas supaya orang tidak terjebak pada otonomi daerah yang sektorial dan sedang mengalami euforia ini. Jiwa pemberontakannya sebagai pengamat hidupan liar amatlah mengesankan. Penuturan pemburu lokal yang bersaksi pernah membunuh macan loreng dijadikan sebagai awal pijakan penelitiannya. Sarjana Biologi jebolan UGM ini bahkan mampu mendapatkan sampel spesimen sisa pembunuhan harimau jawa tahun 1996 dari Gunung Slamet (halaman 15), hal yang tidak pernah dilakukan peneliti dari LIPI sekalipun. Padahal opini dunia menyakini bahwa habitat terakhir harimau Jawa adalah Taman Nasional Meru Betiri di Jawa Timur. Keberanian penulis mencantumkan keterangan pemburu lokal sebagai acuan pustaka menjadikan BHBA mempunyai warna eksotis. Buku ini sangat spektakuler karena mampu menampilkan sebuah foto harimau jawa yang dibunuh tahun 1957 (hal. 20). Tampilan foto tersebut menjadi bahan sanggahan tentang punahnya harimau jawa yang diklaim mulai tahun 1980-an, seperti yang dituangkan penulis pada halaman 11. Sebagai generasi yang dilahirkan terlambat, Didik mampu menolong dunia pengetahuan untuk mengetahui seberapa besar ukuran tubuh harimau jawa yang pernah hadir di Jawadwipa.

22 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Didik terlihat sebagai peneliti muda yang sangat antusias untuk mengawinkan pengetahuan pemburu lokal dengan disiplin ilmu biologi yang digelutinya. Pengetahuan dari pengalaman pemburu lokal yang berhasil membunuh loreng jawa berdasarkan kecermatannya mengenali bekas aktivitas loreng atau tutul diilmiahkan oleh Didik dengan memperbandingkan bekas aktivitas harimau sumatera. Bab I buku BHBA ini mengungkapkan pikiran dan harapan penulis tentang hidup berbagi ruang antara harimau jawa dengan manusia penghuninya agar ekosistem Jawa dapat dijadikan sebagai habitat bersama. Pada Bab II dituangkan kriteria baku ukuran bekas aktivitas harimau jawa dan peta sebarannya sampai tahun 2000. Data sebaran habitat harimau jawa ini mengungkapkan bahwa kawasan di Jawa tidak semuanya dipadati oleh komunitas manusia, melainkan ada juga yang berupa habitat hidupan liar. Bab III berisi pendetailan bekas aktivitas harimau jawa dan cara merekamnya sehingga mampu menjadi data ilmiah. Menemukan sehelai rambut harimau di hutan sepertinya mustahil, tetapi di dalam Bab IV pembaca diajak menjelajahi dunia rasionalitas bahwa menemukan rambut di hutan itu mudah. Awalnya memang membutuhkan ketrampilan dan jam terbang penelitian yang tinggi, namun setelah membaca Bab IV orang awampun bisa menjadi peneliti harimau jawa. Rambut menjadi kajian khusus, karena kehadiran satwa dapat diketahui dari rambut yang ditinggalkannya. Dibuku ini bahkan dijelaskan tentang perbedaan rambut harimau jawa dengan rambut macan tutul. Momentum perjumpaan tidak bisa terulang kembali, oleh karena itu pada bab terakhir penulis memberikan uraian tentang cara mengabadikan temuan bekas aktivitas yang diduga sebagai kepunyaan harimau jawa. Buku ini menjadi lengkap karena disertai foto-foto bukti bekas aktivitas temuan dilapang dan beberapa sketsa jejak hewan penghuni hutan. Buku BHBA ini penggarapannya terkesan tergesa-gesa sehingga pada Bab II banyak kekurangan ketik, dimana harimau jawa di tulis haimau jawa. Selain itu beberapa keterangan gambar foto tidak lengkap bahkan kalimatnya hilang. Namun tidak mengurangi kekuatan BHBA sebagai buku pandu yang sangat monumental bagi kasanah ilmu pengetahuan hidupan liar di Indonesia, khususnya Jawa. Dibandingkan dengan Sumatera yang jelas-jelas masih memiliki harimau sumatera, namun buku pandu manual yang serupa BHBA belum ada. Sepertinya buku ini bisa dijadikan bacaan penting bagi Pecinta Alam, Jagawana, Surveyor hutan dan orang umum yang suka masuk keluar hutan. Sehingga siapapun memang bisa menjadi pengamat hidupan liar dan berperan nyata bagi konservasi ekosistem Pulau Jawa. Selamat membaca. Peresensi: D. Kurnia, S.Pd. Praktisi Hidupan Liar Book Title: TIGER BROTHERHOOD WITH NATURE Writer: Didik Raharyono Synchronizers: E. T. Paripurno Publisher: Kappala Indonesia and The Gibbon Fuondation, 2002. Pages: 103 pp. + Xvi, 63 ilus; 21 cm. ISBN: 979-3143-02-9 The tiger is a wild animal and humans is feared its animal, therefore the tigers observers in the Java almost nothing. Nevertheless there is an ambitious young researcher tried eliminating javan tiger from extinction predicates. Struggle to wrestle tiger habitat long years, were finally mixed to be the only guide book examine the existence of javan tiger show in Tiger Brotherhood with Nature (BHBA). Didik Raharyono hunting javan tiger since 1997, regardless of claims extinct attached wild animals to it. Didik just eagerly to find a javan tiger for that people cared more about the ecological equilibrium of the worlds most populous island. The fresh ideas about forest management in Java, regardless of the administration screen is bright broken open so people do not get stuck on regional autonomy and is experiencing this euphoria. The soul of rebellion was a wildlife observers is very impressive. Telling a local hunter who testified to kill the javan tiger has made the initial research platform. Bachelors Biology dropout for Gadjah Mada University is even able to get a sample of specimens remaining javan tiger killing in 1996 for Mount Slamet (page 15), something never done even researchers from LIPI. Yet world opinion believed that the last habitat of the Java tiger at Betiri Meru National Park in East Java. The courage author purpose to include information for local hunters as a reference library has made BHBA books very exotic. This book is spectacular because it can display a newly photo javan tiger killed in 1957 (p. 20). Display photos into arguments about the extinction of material javan tiger claimed began in the 1980s, as the author stated on page 11. As the generation that was born too late, Didik can help the knowledge world to know how huge size javan tiger had been present in Javadwipa. Didik to seen as a keen young researcher to mix knowledge for local hunter with of the biology discipline of that profession. Knowledge of the experiences successful local hunters to kill javan tiger, to punctilious recognize tiger or leopard activity marks of based to scientifically by Didik comparing the former sumatran tiger activity. In Chapter I this books reveals the authors mind and the hope of sharing living space between the tiger with the human inhabitants of Java so that Java ecosystem as a habitat can be used together. In Chapter II, the standard size criteria set forth former javan tiger activity and spreading maps until 2000. Javan tiger habitat distribution reveals that in Java region is not all filled by the human community, but there is also a form of wildlife habitat. Chapter III contains the former activities of the javan tiger and how to record it so as to become scientific. Finding a tiger hair in the jungle seemed impossible, but in Chapter IV the reader invited to explore the world of rationality that the hair found in the woods is easy. Initially it requires skill and hours of research a high flying, but after reading Chapter IV of people can be javan tiger researcher. Hair became a special study, because the presence of animals can be ascertained from hair he left behind. In this book, described even about differences compare javan tiger and leopard hair. Moment to the encounter could not happen again therefore the last chapter the author gives a description of how to capture the former findings of an alleged belong javan tiger activity. This book is complete because the photographs accompanied by proof of former activities and findings for wild, pug sketches forest dwellers. This book BHBA impressed finally so hasty in Chapter II, many shortcomings type, where the harimau write haimau. Also some photos captions incomplete sentence even lost. But do not reduce the strength BHBA as a very monumental guides book for wildlife science in Indonesia, especially Java. Compared with Sumatra who clearly still have a sumatran tiger, but the manual guide book similar BHBA is not yet. This book seems to be essential reading for Nature Affections, Rangers, Forest surveyors and the general people who like to go out of the forest. So anyone can become an observers wildlife and a real role for the Java ecosystem conservation. Happy read. Peresensi: D. Kurnia, S.Pd. Practitioners wildlife Entri Sebelumnya

23 of 24

04/07/2011 14:52

Javan Tiger Center's Blog

http://javantigercenter.wordpress.com/

Risearcher Kliping

Pengarang
javantiger HARIMAU JAWA: INVESTIGASI, EKSISTENSI & ADVOKASINYA* Serangan Budayakonservasi Harimau jawa di P. Jawa PL KAPAI 1997: PENDIDIKAN KONSERVASI MENCARI MACAN Mount Ciremai : Javan tigers Newly Habitat Javan Tiger: the Opportunistic Carnivore study by macroscopic fecal components

javantiger.blogspot.com

Juli 2011 S S R K J S M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Okt

Bacaan

Blog pada WordPress.com. | Theme: Redoable Lite by Dean J Robinson.

24 of 24

04/07/2011 14:52

You might also like