You are on page 1of 13

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA[1] Oleh: Abdul Fickar Hadjar[2] Pendahuluan Mengapa sebagian besar orang biasanya lebih

memilih berbelanja di pasar ketimbang di toko atau kios di dekat rumahnya? Pertanyaan ini nampaknya sederhana, tetapi ternyata jawabannya mengandung pengertian yang dalam tentang dunia usaha dan perekonomian pada umumnya. Kecenderungan orang berbelanja di pasar pada umumnya disebabkan oleh harga barang-barang di pasar lebih murah dibandingkan dengan barang-barang yang dijual di toko, mengapa ? Karena ternyata di pasar terdapat banyak penjual yang menjual produk yang sama dengan harga bersaing, penjual tak akan berani menjual barang dagangannya lebih mahal dari penjual lainnya. Hal ini disebabkan konsumen memiliki banyak pilihan. Di sisi lain lebih mahalnya barang atau produk yang dijual ditoko atau kios dekat rumah, akibat tak adanya pesaing, sehingga mereka bebas menentukan harga sekehendak hatinya lebih mahal dari yang dijual di pasar. Ilustrasi diatas menggambarkan kepada kita bahwa persaingan jelas akan memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi kehidupan manusia, namun untuk menghindarkan sisi negatif dari persaingan , maka diperlukan aturan main (hukum) yang jelas, sehingga persaingan dapat berjalan dengan baik dan pada gilirannya akan tercipta suatu keadaan dimana pelaku-pelaku usaha kecil dapat menjalankan usaha disamping pelaku-pelaku usaha besar tetap dapat menjalankan usahanya juga. Latar Belakang UU No. 5/1999 Krisis moneter yang berlanjut kepada krisis ekonomi 1997 telah melahirkan kesadaran kita betapa lemahnya fundamental ekonomi Indonesia, hal ini disebabkan oleh antara lain kurang tepatnya kebijakan ekonomi yang kemudian menyebabkan pasar terdistorsi, dan mengakibatkan harga di pasar tidak merepleksikan hukum penawaran dan permintaan yang riil. Proses pembentukan harga sepihak oleh produsen, tanpa memperhatikan kualitas produk yang mereka tawarkan kepada konsumen.[3] Demikian halnya kebijakan pemerintah di sektor ekonomi belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat oleh pemerintah , sehingga berdampak pada semaikin luasnya kesenjangan sosial. Disii yang lain perkembangan usaha swasta sebagian besar merupakan perwujudan kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.[4] Kedudukan monopoli yang ada lahir karena kebijakan pemerintah, antara lain melalui tata niaga serta bisnis yang tidak sehat (unfair business) seperti pesekongkolan untuk menetapkan harga (price fixing) melalui kartel[5], menetapkan mekanisme yang menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakan barrier to entry[6], dan terbentuknya integrasi baik harizontal[7] dan vertikal. Kemudahan-kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah dengan alasan klasik, melindungi industri bayi, stabilisasi harga, telah melahirkan konglomerasi yang bertumpu pada hutang, tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati jua merupakan faktor lemahnya fundamental ekonomi Indonesia dan tidak mampu bersaing.[8]

Beberapa fakta yang menunjukan Pemerintah dominan menciptakan monopoli & persaingan usaha tidak sehat: - Penunjukan usaha swasta sebagai produsen & importir tunggal tepung terigu (Bogasari ditunjuk oleh Bulog). - Izin dan dorongan berkembangnya asosiasi produsen yang berfungsi sebagai kartel / mengatur harga (sebgai contoh: Organda, Apkindo, Asosiasi Produsen Semen, dsb), - Sengaja membiarkan satu perusahaan menguasai pangsa pasar mie instan 50% lebih (Indofood), - Entry barrier bagi pemain baru pada industri tertentu (kebijakan Mobil Nasional) , - Proteksi pada industri hulu produksi barang tertentu dgn menaikan bea masuk terhadap barang yang sama yang diimpor dari luar negeri (PT. Candra Asri : Bahan Kimia) Keadaan perekonomian seperti inilah yang apada akhirnya menuntut pemerintah untuk menata kembali kegiatan usaha di Indonesia yang keliru dimasa lalu, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan dan kelompok tertentu, antara lain monopoli dan persaingan tidak sehat yang merugikan masyarakat, dengan membuat Undang-undang Persaingan usaha. Asas-asas Hukum Persaingan Usaha Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum (pasal 2). Demokrasi ekonomi: menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi atau pemasaran barang atau jasa. Tujuan UU Perlindungan Usaha (Pasal 3) Tujuan pembentukan undang-undang ini merupakan penjabaran dari asas Demokrasi Ekonomi, yaitu: a. b. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

1. Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan 2. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha Membahas Hukum Acara Persaingan Usaha tidak akan lengkap jika tidak membahas hukum materiilnya yang sesungguhnya telah ada di berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHPerdata, UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, UU tentang erseroan Terbatas (No. 1 / 1995), UU Pasar Modal (No. 8 / 1995), UU

Usaha Kecil (No. 9 / 1995), UU Perdagangan Berjangka Komoditi (No. 32/1997), UU Perbankan (No.10 / 1998 jo No. 7 /19992). Kedudukan Hukum Persaingan Usaha dalam sistem Hukum Indonesia Dari ruang lingkupnya, Hukum Pesaingan Usaha merupakan bagian daripada Hukum Ekonomi. Bahkan dari sudut materi diperlukan kajian secara interdisipliner dan transnasional, selain mempelajari ilmu hokum juga penting mempelajari ilmu ekonomi khususnyaekonomi industri untuk dapat memahami secara baik hukum persaingan usaha. Materi yang terkandung dalam UU No. 5 tahun 1999 perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Penegakan hukum, dan ketentuan-ketentuan lain.

Prinsip-Prinsip Umum dalam Hukum Persaingan Usaha 1. Rule of Reason (ROR) dan Per se (Ps) ROR : untuk melihat apakah suatu perbuatan yang dituduhkan melangar hukum peraingan usaha, maka harus dilihat adakah akibat dari satu perbuatan yg melanggar hukum persaingan itu telah terjadi (Pasal 4 ayat 1); Ps : rumusan mengenai perbuatan tertentu yang dilarang sudah dapat terbukti tanpa harus menunjukan akibat atau kerugian yang nyata terhadap persaingan (Pasal 6) 2. Pendekatan Struktur Pasar (SP) & Tingkah Laku (TL); SP: penguasan pasar oleh pelaku usaha menjadi ukuran/bahan analisis apakah Pelaku Usaha melangar hukum persaingan (merger & monopolis) TL: Pelaku Usaha tidak dilarang menjadi besar sepanjang posisinya tidak mengakibatkan terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Pengertian-pengertian Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuasaan ekonomioleh satu/lebih pelaku usaha yang mengakibatlan dikuasainya produk dan/atau pemasaran dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat & merugikan kepentingan umum. Persaingan Usaha Tidak Sehat (PUTS) adalah persaingan antar pelau usaha dalam menjalankan

kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang/jasa yang dilaksanakan dengan cara tidak jujur / melawan hukum /menghambat persaingan usaha. Posisi dominan: adalah keadaan dimana tidak ada pesaing yang berarti di pasar bersangkutan atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya pada pasar ybs daalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau ermintaan barang / atau tertentu. Persaingan Sempurna: - penjual dan pembeli banyak, - barang sama, - penjual dan pembeli penentu harga, -informasi tentang barang yang dijual jelas; PERJANJIAN YG DILARANG Oligopoli (pasal 4 UU No.5/1999); Penetapan Harga: Price Fixing (ps 5 UU No.5/1999) Diskriminasi harga (ps 6 UU No.5/1999) Predatory pricing (ps 7 UU No.5/1999) Resale Price Maintenance (ps 8 UU No.5/1999) Pembagian Wilayah (ps 9 UU No.5/1999) Pemboikotan (ps 10 UU No.5/1999) Kartel (ps 11 UU No.5/1999) Trust (ps 12 UU No.5/1999) Oligopsoni (ps 13 UU No.5/1999) Integrasi vertikal (ps 14 UU No.5/1999) Perjanjian tertutup (ps 15 UU No.5/1999) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri OLIGOPOLI (Pasal 4) Pelaku usaha (PU) dilarang membuat perjanjian dengan PU lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang / jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kelompok PU melakukan penguasaan pasar, bila mengauasai lebih dari 75% pangsa pasar barang sejenis. Struktur pasar yang terdiri dari sedikit perusahaan yang memiliki posisi dominan yang disebabkan oleh adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke dalam pasar. PENETAPAN HARGA y Price Fixing Agreement: penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha sehingga meniadakan persaingan dari segi harga terhadap produk yang mereka jual yang dapat berakibat pada consumer s surplus (Psl 5) y Price Discrimination Agreement: perjanjian yang dibuat oleh antara pelaku usaha untuk produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda (Psl 6) y Predatory Pricing: pelaku usaha menjual produk dengan sangat rendah untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan mencegah pelaku usaha yang berpotensi bersaing

untuk masuk kedalam pasar yang sama (Psl 7) (harga pemangsa) y Resale Price Maintenance / Real of Reason (Psl 8 UU No. 5/199): pelaku usaha tdk diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual kembali produk yang diterimanya dengan harga rendah ; Pembagian Wilayah / market division Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran dengan tujuan untuk menghindari terjadinya persaingan diantara mereka, sehingga pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus melalui pesaingnya. (Pasal 9) Dirumuskan secara Rule of Reason Pemboikotan Bentuk strategi yang dilakukan di antara pelaku usaha untuk mengusir pelaku usaha lain dari pasar yang sama atau juga untuk mecegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut. (Pasal 10) Dirumuskan secara Per se Kartel Strategi yang diterapkan di antara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi. Praktek monopoli terselubung di Indonesia diduga di motori atau melalui asosiasi-asosiasi pelaku usaha sebagai contoh: Organisasi angkutan beberapa waktu lalu pernah memaksakan kepada Pemda Ibu Kota Jakarta untuk memberlakukan tarif taksi di JABOTABEK seragam, yang besarnya telah ditentukan terlebih dahulu oleh organisasi tsb, tanpa memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan. (Pasal 11) Dirumuskan secara Rule of Reason

TRUST Wadah antar perusahaan yang didisain untuk membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu yang dimaksudkan untuk secara kolektif mengendalikan pasokan dengan melibatkan trustee sebagai koordinator penentu harga. Dengan menempatkan saham-saham dari berbagai badan usaha dalam suatu trust maka dapat di jamin tdk hanya kesatuan langkah kolektif tetapi juga pembagian keuntungan bersama yang lebih besar dibandingakan tiadanya trust. (Pasal 12) Oligopsoni PU dilarang membuat perjanjian dengan PU lain yang bertujuan secara bersama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan Usaha tidak sehat. (Pasal 13)

Integrasi Vertikal Usaha untuk melakukan penggabungan pelaku usaha dengan pelaku-pelaku usaha lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi dengan tujuan agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan & perolehan laba perusahaan meningkat, tingkat efisiensi semakin tinggi dan mengurangi ketidakpastian akan pasokan bahan baku. (Pasal 14) Dirumuskan secara Rule of Reason Efek negatif: Upstream: dapat mengurangi kompetisi diantara para penjual ditingkat hulu Memfasilitasi kolusi diantara pelaku usaha ditingkat hulu (upstream level) Downstream Integration: dapat memfasilitasi diskriminasi harga Entry Barriers Perjanjian Tertutup (pasal 15) a. Exclusive Distribution Agreement: Pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur; b. Tying Agreement: Pelaku usaha dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli pada tying product ke tyied product; c. Vertical Agreement on Discount: Jika pelaku usaha ingin mendapatkan harga discount untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing

Kegiatan Yang Dilarang y Monopoli (Pasal 17 UU No. 5/1999) y Monopsoni (pasal 18 UU No. 5/1999) y Penguasaan Pasar (pasal 19, 20, 21 UU No. 5/1999) y Persekongkolan (pasal 22 UU No. 5/1999) Monopoli Pelaku usaha patut di duga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. Barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Monopsoni Merupakan keadaan dimana hanya terdapat satu pembeli. Contoh: Pada pasar cengkeh, dimana BPPC dibawah Koordinasi Tomy Soeharto memaksa semua petani untuk menjual cengkeh mereka pada badan tersebut dengan berbagai alasan yang dipaksakan Kasus penambangan pasir laut bagi kepentingan reklamasi di Singapura, sehingga Singapura dapat

mendikte harga pasir di pasar Penguasaan Pasar Tindakan yang mungkin dilakukan penguasa pasar: 1. Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan 2. Menghalangi konsumen/pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing 3. Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan 4. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu 5. Menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya 6. Melakukan kecurangan dalam mnetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa. Persekongkolan Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Bentuk persekongkolan: 1. Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (pasal 22 UU No. 5/1999) 2. Persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan (pasal 23 UU No. 5/1999) 3. Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya (pasal 24 UU No. 5/1999)

Posisi Dominan Suatau keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan berkaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Contoh: Perusahaan Aluminium Amerika (ALCOA) merupaka satu-satunya perusahaan nasional Amerika serikat yang memproduksi batangan Aluminium dari biji Aluminium sebelum Perang Dunia II Pasal 25 (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Pasal 25 (2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Posisi Dominan dalam pasar bisa terjadi karena beberapa hal: 1. Memiliki jabatan baik sebagai direksi ataupun komisaris di beberapaperusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 26); 2. memiliki saham secara mayoritas di beberapa perusahaanyang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 27); 3. melakukan pengabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan penngambilalihan (akuisisi) badan usaha (Pasal 28); Jabatan Rangkap: prilaku perusahaan-perushaan tsb menjadi seragam di dalam pasar, dan terlihat seperti satu perusahaan sj, menjadi dominan di pasar, saling berkolusi dan akan melakukan tindakan anti persaingan. Pemilikan saham secara mayoritasdi beberapa perusahan sejenis pada pasar yg sama, PU dapat juga melakukan tindakan sbgmn dilakukan PU yg menduduki jabatan rangkap; Pasal 28 Penggabungan (merger): perbuatan hukum yg dilakukan satu perseroan atau lebih utk menggabungkan diri dgn perseroan lain yg tlh ada dan pers yg menggabungkan diri menjadi bubar; Peleburan (konsolidasi): perbuatan hukum yg dilakukan satu perseroan atau lebih utk meleburkan diri dgn membentuk perseroan baru dan pers yg meleburkan diri menjadi bubar; Pengambil alihan (akuisisi): perbuatan hukum badan hukum atau perseorangan yg mengambilalih seluruh atau sebagian besarsaham perseorangan yg dpt mengakibatkan beralihnya pengendalian thdp perseroan tsb. Merger, konsolidasi dan akuisisi tidak dilarang sepanjang tdak menjadi perusahan yg memiliki posisi dominan yg dilarang UU (pasar yg sama, keterkaitan bidang/jenis usaha /produk yg sama yg menguasai pangsa pasar tertentu) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Status : lembaga Independen ( Pasal 30) Keanggotaan Pasal 31 34 Tugas Pasal 35 (pasal yang sangat komprehensif karena memberikan kewenangan yang multifungsi kepada KPPU) - penlaian thdp perjanjian (sbgmana diatur Psl 4 s/d 16); - penilaian thdp kegiatan usaha (sbgmn diatur Psl 17 s/d 24); - penilaian thdp ada tidaknya posisi dominan ( sbgmn diatur Psl 25 s/d 28);

- tindakan sesuai kewenangan (Psl 36); - saran & pertimbangan thdp kebijakan pemerintah; - menyusun pedoman (regulasi) dan publikasi; - laporan berkala kepada Presiden & DPR; Fungsi:1) Quasi Eksekutif : pelaksana UU, 2) Quasi Yudikatif : penegakan hukum, 3) Quasi Legislatif : pembuat pedoman, 4) Konsultatif : memberi nasehat kepada eksekutif tentang persaingan usaha Wewenang (Pasal 36) - menerima laporan dugaan monopoli / persaingan usaha tidak sehat; - penelitian atas laporan; - penyelidikan atau pemeriksaan kasus; - menyimpulkan hasil penyelidikan; - memanggil (Pelaku Usaha, Saksi, Ahli; - memutuskan & menetapkan ada/tdknya kerugian; - memberitahukan dan menjatuhkan - sanksi; Prosedur Penanganan Laporan di KPPU Dasar Hukum : Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang: Larangan Praktek Monopoli & Persaingan Usaha Tidak Sehat; PERMA No. 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan upaya hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU; Keputusan KPPU: Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Di KPPU; KUHP, yaitu ketentuan hukum acara pidana jika perkara tersebut dilimpahkan kepihak penyidik sesuai dengan pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999 Laporan Laporan dapat disampaikan ke KPPU oleh: - masyarakat umum (Psl 38 ayat 1); - Pihak yang dirugikan (Psl 38 ayat 2); - Inisiatif KPPU melalui monitoring(Psl 40) (90 hr + 60 hr) Laporan dibuat tertulis , ditandatangani oleh Pelapor, dibuat dalam Bahasa Indonesia dengan memuat keterangan yang jelas dan lengkap mengenai telah terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang denga menyertakan identitas diri; Laporan disampaikan kepada Ketua KPPU, dalam hal Komisi telah memiliki kantor perwakilan di daerah laporan disampaikan pada perwakilan komisidi daerah.

Penelitian dan Klarifikasi Penelitian dan klarifikasi dilakukan untuk menemukan kejelasan dan kelengkapan tentang dugaan pelanggaran. Sekretariat Komisi melakukan penelitianterhadap Laporan dan/atau meminta klarifikasi kepada Pelapor dan/atau pihaklain. Hasil Penelitian dan Klarifikasi ( 60 hari dpt ditambah 30 hr) Sekretariat Komisi dalam bentuk Resume Laporan, sekurang-kurangnya memuat uraian yang menjelaskan: a. Identitas pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran; b. Perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar; c. Cara perjanjian dan/atau kegiatan usaha dilakukan atau dampak perjanjian dan/atau kegiatan terhadap persaingan, kepentingan umum, konsumendan/atau kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya pelanggara d. Ketentuan Undang-undang yang diduga dilanggar. Terhadap Laporan yang telah memenuhi ketentuan dilakukan Pemberkasan untuk dilakukan Gelar Laporan. PeLaporan yang tidak memenuhi kriteria dihentikan. Hasil Pemberkasan Hasil Pemberkasan dituangkan dalam bentuk LaporanDugaan Pelanggaran yang berisi data dan informasimengenai dugaan pelanggran meliputi Sekurang-kurangnya: a. Identitas pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran; b. Perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar; c. Cara perjanjian da/atau kegiatan usaha dilakukan atau dampaknya terhadap persaingan, kepentingan umum, konsumen dan/atau kerugian yang ditimbulkan; d. Ketentuan UU yg diduga dilanggar; e. Rekomendasi perlu tidaknya dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan.

Pemberkasan (30 hari) (1) Sekretariat Komisi melakukan Pemberkasan terhadap Resume Laporan atauResume Monitoring; (2) Apabila diperlukan Sekretariat Komisi dapat membentuk Tim Pemberkasan. Kegiatan Pemberkasan (1) Pemberkasan Resume Laporan atau Resume Monitoring dilakukan untuk menilai layak atau tidaknya dilakukan Gelar Laporan; (2) Untuk penilaian itu, Sekretariat Komisi meneliti kembali kejelasan dan kelengkapan Resume Laporan atau Resume Monitoring. Gelar Laporan (14 hari) Skretariat Komisi memaparkan Laporan Dugaan Pelanggaran dalam suatu Gelar Laporan yg dihadiri oleh Pimpinan Komisi dan sejumlah anggota komisi. Berdasarkan pemaparan, Komisi menlai layak atau tidaknya dilakukan Pemeriksan Pendahuluan, dalam hal laporan tdk layak Komisi menetapkan utk tidak diteruskan. Pemeriksan Pendahuluan dilakukan dengan penetapan yg ditandatangani Ketua Komisi

Pemeriksaan Pendahuluan (30 hr) Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan sekurangkurangnya 3 org anggota Komisi; Pemeriksaan thdp Terlapor dan meminta Kesediaan mengakhiri perjanjian; Memeriksa pihak-pihak terkait yg mengetahui; Memeriksa surat, dokumen dan alat bukti lain; Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan (LHPP) berisi : a. Dugaan Pelangaran yg dilakukan Terlpr b. Pengakuan Terlapor atas dugaan c. Rekomendasi perlu tidaknya dilakukan Pemeriksaan Lanjutan. Rapat Komisi menetapkan dilakukannya Pemeriksaan Lanjutan dgn menetapkan status Terlapor, perjanjian/kegiatan yg dilaggar serta ketantuan UU yg dilanggar; Penetapan disampaikan kpd Terlapor dgn lampiran LHPP, jika Terlapor tdk bersedia mengakhiri perjanjian/kegiatan diberikan kesempatan utk mengajukan pembelaan; Pembelaan disampaikan pada Pemeriksan Lanjutan, dgn melakukan: a) memberi keterangan lisan/tertulis, b) menyampaikan bukti pendukung, c) menajukan Saksi dan Ahli Perubahan Prilaku (60 hr) Dalam hal Terlapor bersedia melakukan perubahan prilaku, Komisi memonitornya selama 60 hari; Jika Komisi menilai Terlapor sdh melaksanakan penetapan Komisi, maka ditetapkan tidak melanjutkan Pemeriksaan Lanjutan, namun jika Terlapor dinilai tdk melaksanakan penetapan Komisi, maka ditetapkan untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan. Pemeriksaan Lanjutan (60 + 30 hr) Pemeriksaan Lanjutan oleh sekurangnya 3 org anggota komisi, melakukan kegiatan: a) memeriksa/ minta ktrgan Terlapor; b) saksi, Ahli dan Instansi Pemerintah; c) menilai surat, dokumen dan alat bukti lain; d) melakukan penyelidikan thdp kegiatan Terlapor atau pihak lain terkait pelanggaran; Tim menyimpulkan ada/tdknya bukti pelanggaran utk disampaikan dalam Hasil Pemeriksaan Lanjutan (HPL) kepada Komisi utk diputuskan. Sidang Majelis Komisi (30 hr) Komisi membentuk Majelis sekurangnya 3 org yg satu diantaranya anggota yg menangani dalam pemeriksaan Lanjutan; Terlapor diberi kesempatan menyampaikan pendapat/pembelaannya secara tertulis /lisan dan menyampakan bukti tambahan; Atas persetujuan / permintaan Terlapor dalam menyampaikan pembelaan dalam sidang yg terbuka utk umum;

Putusan Komisi (30 hr) Putusan Komisi yg memutuskan tlh terjadi pelanggaran/tdk didasarkan pd: penilaian HPL, surat, dokumen & alat bukti, dan pendapat /pembelaan Terlapor; Putusan Komisi berisi terbukti tlh terjadi pelanggaran ketentuan UU dan menjatuhkan sanksi administratif berupa: a. b. c. d. e. f. g. pembatalan perjanjian yang dilarang; perintah menghentikan integrasi vertikal; perintah menghentikan kegiatan yang dilarang; perintah menghentikan posisi dominan; penetapan pembatalan atas penggabungan atau eeburan ; penetapan pembayaran ganti rugi, dan aau penenaan denda minimal Rp. 1.000.000.000,- maksimal Rp.25.000.000.000,-

Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (PERMA No.03/2005) Dalam 14 hr sejak menerima putusan KPPU/Pengumuman Website dapat mengajukan Keberatan yg disampaikan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata; Salinan keberatan diberikan kepada KPPU; Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari satu pelaku usaha, tetapi berbeda wilayah hukumnya, KPPU dapat mengajukan permohonan kepada MA menunjuk salah satu pengadilan negeri (14 hr); Pengadilan Negeri yg tidak ditunjuk harus mengirimkan berkas perkara ke pengadilan negeri yang ditunjuk (7 hr); PN yang ditunjuk membentuk Majelis Hakim; Pemeriksaan Keberatan di PN (30 hr) KPPU wajib menyerahkan putusan dan berkas perkara ke PN; Pemeriksaan tanpa proses mediasi; Dasar pemeriksaan hanya putusan & berkas perkara, jika PN memerlukan pemeriksaan tambahan dimintakan ke KPPU (sisa waktu ditangguhkan); Permintaan disertai hal-hal yg harus diperiksa & alasannya, serta jangka waktu KASASI ke MA RI (30 hr) Putusan PN disampaikan kepada Pelaku Usaha, dlm waktu 14 hr Pelaku Usaha dapat mengajukan KASASI ke Mahkamah Agung Republik Indonesia; MA RI harus memberikan putusan 30 hari sejak permohonan diterima. PELAKSANAAN PUTUSAN (Eksekusi) (1) Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, diajukan KPPU kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara keberatan bersangkutan; (2) Permohonan penetapan eksekusi putusan yang tidak diajukan keberatan, diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum pelaku usaha.

Fungsi Peradilan : y Mereview seluruh proses pemeriksaan Komisi dalam mengambil putusan, tetapi tidak mempertimbangkan adanya bukti baru / Novum atau menciptakan catatan baru dalam proses pemeriksaan; y Memeriksa apakah dasar kesimpulan yang diambil oleh Komisi berdasarkan fakta yang ada adalah wajar dan rasional; y Mereview kesimpulan putusan Komisi terhadap penerapan hukum dengan memberikan pengakuan respek dan hormat terhadap kesimpulan yang telah diambil oleh Komisi; y Menguatkan putusan Komisi bahwa putusan itu tepat dan rasional sehubungan perkara yang diputusnya; Peradilan hanya ikut campur tangan bila: y Putusan yang dijatuhkan sama sekali tidak memiliki hubungan rasional dengan pelanggaran hukum yang dilakukan ; y Putusan Komisi sumir dan tidak tepat penerapan hukumnya Contoh Kasus: PERKARA TELKOM Putusan KPPU No.02/KPPU-I/2004, Telkom terbukti telah melanggar pasal 15 (3) huruf b dan pasal 19 huruf a dan b UU No.5/1999. Selanjutnya, Telkom diperintahkan untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dengan cara: 1. Menetapkan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak penyelenggara atau pengelola warung Telkom hanya boleh menjual jasa dan atau produk Telkom dalam perjanjian kerja sama antara Terlapor dengan penyelenggara atau pengelola warung Telkom. 2. Memerintahkan Telkom untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dengan cara (a) meniadakan persyaratan PKS atas pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk Telkom di wartel (b) membuka akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk Telkom di warung Telkom PERKARA CARREFOUR Putusan KPPU No. 02/KPPU-L/2005, Carrefour terbukti telah melanggar pasal 19 huruf a UU No.5/1999. Selanjutnya PT. Carrefour Indonesia diperintahkan untuk menghentikan kegiatan pengenaan persyaratan minus margin kepada pemasok; serta menghukum PT. Carrefour Indonesia membayar denda sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I

You might also like