You are on page 1of 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal3 Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2 -5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif

berkisar15,5/100.000.4 Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun.2 Di amerika insidens nefrotik sindrom dilaporkan 2-7 kasus pada anak per 100.000 anak per tahun. Pada dewasa biasanya menderita glomerulopaty yang bersifat sekunder dari penyakit sistemik yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik1. Pada pasien sindrom nefrotik angka 3

mortalitas berhubungan langsung dengan proses penyakit primernya, tapi bagaimanapun sekali menderita sindrom nefrotik, prognosisnya kurang baik karena3 : 1. sindrom nefrotik meningkatkan insiden terjadinya gagal ginjal dan komplikasi sekunder (trombosis, hiperlipidemia, hypoalbuminemia). 2. pengobatan berkaitan dengan kondisi; peningkatan insidens infeksi karena pemakaian steroid, dan dyscaria darah karena obat imunosupresif lain. Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan kebanyakan kasus nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi minimal3,4.Prevalensi penyakit lesi minimal berkurang secara proprosional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada anak yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak dan adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.4 2.2.Etiologi Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit sistemik, atau sekunder karena beberapa penyebab. Penyebab primer diantaranya3: 1. post infeksi 2. Colagen vaskular disease (SLE, rheumatoid arthritis, polyarteritis nodosa)

3. Henoch-Schnlein purpura 4. Hereditary nephritis 5. Sickle cell disease 6. Diabetes melitus 7. Amyloidosis 8. Malignancy (leukemia, lymphoma, Wilms tumar, pheochromocytoma) 9. Toxin (sengatan lebah, racun ular)5 10. obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin,

penicilamine, mercury, gold, trimethadione, para metadione, AINS) 5 11. Penggunaan Heroin Penyebab sekunder berhubungan dengan keadaan post infeksi mencakup1 : 1. Group A beta-hemolytic streptococcus 2. syphilis 3. Malaria 4. Tuberkulosis 5. infeksi virus (varicella, hepatitisB, HIV tipe1, infeksi mononukleosis) Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik idiopatik, diantaranya ; penyakit lesi minimal sekitar 85%, proliferasi mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis. Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.6

2.3.Patofisiologi Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus. 8 Perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan filtrasi glomerulus begantung pada tipe kelainan glomerulus. Tetapi secara garis besar dapat diterangkan bahwa, pada orang normal filtrasi plasma protein berat molekul rendah bermuatan negatif pada membran basal glomerulus normalnya

dipertahankan oleh muatan negatif barier filtrasi. Muatan negatif tersebut terdiri dari molekul proteoglikan heparan sulfat. Pada orang dengan nefrotik sindrom, konsentrasi heparan sulfat mucopoly sakarida pada membrana basal sangat

rendah. Sehingga banyak protein dapat melewati barier. Selain itu terjadi pula terjadi perubahan ukuran celah (pori-pori) pada sawar sehingga protein muatan netral dapat melalui barier.4,5,8 Pada Sindrom Nefrotik terjadi hipoproteinemia terutama albumin, hal ini disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya degradasi dalam tubulus renal yang melebihi daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya didalam plasma adalah menurunnya -1 globulin. Sedangkan -2globulin, -globulin dan fibrinogen meningkat secara relatif atau absolut. -2globulin

meningkat disebabkan oleh retensi selektif protein dengan berat molekul tinggi oleh ginjal sedangkan laju sintesisnya relatif normal.8

Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga memperberat edema. 4,5,8

Kelainan Glomerulus Albuminuria Hipoalbuminemia Tekanan onkotik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na di tubulus distal & sekresi ADH

Edema Gambar 1. Skema teori underfilled

Pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial.

Kelainan Glomerulus

Retensi Na renal primer

Albuminuria Hipoalbuminemia

Volume plasma

Edema

Gambar 2. Skema teori overfilled Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia. Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1)

hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.8 2.4 Manifestasi Klinik Dari anamnesis dapat didapatkan gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, dan kencing berbusa. Sesak napas dapat dikeluhkan karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Keluhan lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Keluhan bengkak dapat dirasakan berpindah-pindah dikarenakan seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri.7,8 Keluhan lainnya yang juga bisa didapatkan adalah sedikit kencing. Diare sering dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitan dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. Pada pemeriksaan fisik kita bisa mendapatkan abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura)

ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani.2 Pada anak tekanan darah umumnya rendah dan tekanan darah dapat turun sekali saat berdiri (orthostatic hypotension), dan shock mungkin dapat terjadi. Produksi urin dapat menurun dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam pembuluh darah kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya produksi urin terjadi tiba-tiba.8,9 Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang.2,10 Hal ini bisa didapatkan dari pengukuran status gizi. Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial yang merupakan akibat stess nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang.8 Dari pemeriksaan penunjang Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. Fungsi

10

ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.2,3,7

2.5. Klasifikasi Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3 Tetapi bagaimanapun pengetahuan mengenai penyebab spesifik sindrom nefrotik sangat terbatas, varians nefrotik sindrom akan diketahui manifestasi klinisnya dengan memastikan proses histopatologinya. Tipe

histopatologi juga menentukan dalam hal respon terapi, dan prognosis dari penyakit. 11 Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindroma nefrotik yang digunakan sesuai dengan rekomendasi komisi internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunoflorosensi.

11

2.6. Komplikasi 1. Infeksi Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh5 : penurunan kadar imunoglobulin kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun, dimana pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar IgM meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada konversi yang diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM cairan edema yang berperan sebagai media biakan.2 defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit, imunosupresif karena pengobatan, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang meng oponisasi bakteria tertentu. Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria tertentu seperti3 : Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli,

12

Dan bakteri gram negatif lain

Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya. Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia, selulitis dan ISK. Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting untuk mencegah terjadinya peritonitis. 6,10 2. Kelainan koagulasi dan trombosis Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan minimal jarang menimbulkan komplikasi

tromboembolism1,2. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan faktorfaktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkan oleh meningkatnya sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis albumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein S meningkat dalam plasma5. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda2: peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan: meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti anti trombin III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin

13

hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatkan sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan tekanan fibrinolisis. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit. 3. Pertumbuhan abnormal Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena edem saluran gastrointestinal.2,3 Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier; terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan produksi atau sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin.
3,4

14

4. Perubahan hormon dan mineral Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan menetap.2 5. Anemia Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik. Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia nya terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin dalam jumlah besar.

2.7. Diagnosis Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis4. Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1-8 tahun agaknya menderita penyakit lesi minimal yang responsif terhadapt kortikosteroid. Penyalit lesi minimal tetap lazim pada anak usia diatas 8 tahun, tetapi glomerulonefritis membranosa dan membranoploriferatif frekuensinya

15

menjadi semakin sering. Pada kelompok ini biopsi ginjal dianjurkan biopsi ginjal untuk menegakan diagnostik sebelum pertimbangan terapi.8,9,10 Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hemeturia mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserid serum naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.6

2.8. Penatalaksanaan 1. Terapeutik Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik. 4,5 ISKDC melaporkan sekitar 91,8% pasien yang berespon terhadap kotikosteroid mempunyai kelainan minimal glomeruloneprithis,

dibandingkan dengan 25% pasien yang tidak respon. Pada pasien yang tidak berespon terhadap kortikosteroid dan berusia dibawah 6 tahun, 50 % merupakan kelainan minimal glomerulonepritis. Dan pada usia lebuh dari 6 tahun hanya 3,6% yang mempunyai kelainan minimal glomerulonepritis. The Southwest Pediatric Nephrology Study Group melaporkan sekitar

16

63% pasien dengan diffuse membranous hypercellularity, dan 30% pasien dengan focal glomeruralscerosis berespon terhadap kortikosteroid. 3 Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m2/24jam (maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan pemberian prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang tepat.2,3 Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak. 2,4 Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan ini menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian disebut tergantung steroid.2,3

17

Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid (muka cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif lain. Siklofosfamid, Dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal, selama total pemberian 12 minggu (8 minggu 1). Terapi prednison tetap diteruskan selama pemberian siklosfosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah 5000/mm3. komplikasi lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss, azoospremia, hemorrhagic cystitis, keganasan, mutasi dan infertilitas. Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah sehingga perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5 mg/kg selama 4-12 bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan dapat terjadi neutropenia dan

encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan. Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi relaps setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin

lebih disukai digunakan pada anak laki-laki dalam masa pubertas yang beresiko menjadi azoospermia akibat induksi siklosfosfamid. Cyclosporin dapat bersifat nefrotoksik, dan dapat menyebabkan hisurtism, hipertensi dan hipertropi ginggiva.

18

2. Pengobatan supotif Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan farmakologis terhadap penyakit glomerular yang

mendasarinya. Tapi juga ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang berkepanjangan. Terapi yang dapat dilakukan antara lain 2,3,8 terapi dietetik 2,3 masukan garam dibatasi 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium yang positif diet tinggi kalori, protein dibatasi 2 gram/kgBB/hari. Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan hiperlipidemia. Pengobatan terhadap edema. Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium (spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furesemid, asam etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling sering dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis tinggi. Proteinuria dan hipoalbuminemia ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada dosis, lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan

19

ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi maksimal. Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai 50%, efek ini disebabkan karena menurunnya

permeabilitas kapiler terhadap protein, nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena menurunnya luas permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari) dan meklofenamat (200-300mg/hari) merupakan obat yang sering dipakai. n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti. Hiperlipidemia Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati

hiperlipidemia pada sindrom nefrotik. Hiperkoagulabilitas Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat pemberian kortikosteroid iv dosis tinggi. 2.9. Prognosis Prognosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal.

20

Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal.8 Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun. 9,10 Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan

keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun. 3

21

22

23

You might also like