You are on page 1of 9

Manajemen rumah sakit Di samping masalah-masalah manajemen, rumah sakit kita juga menghadapi masalah-masalah yang lebih mendasar,

yaitu aspekaspek filosofi. Apakah RS harus tetap merupakan instansi social yang non-profit making atau boleh profit making? Dalam Majalah Manajemen (No. 4, Mei 1981) telah dikemukakan sebuah artikel: Organisasi Rumah Sakit Mengapa Kurang Efektif? Artikel tersebut ditulis oleh J. Sadiman, dan mengemukakan aspekaspek hubungan antara pengurus/yayasan yang memiliki rumah sakit dengan direksi rumah sakit serta kemungkinan adanya kekaburan mengenai menajemen organisasi rumah sakit. Masalah manajemen rumah sakit pada akhir-akhir ini memang banyak disorot. Tidak saja atas keluhan-keluhan masyarakat yang merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit, baik dari segi mutu, kemudahan, dan tarif, tetapi juga perkembangan zaman yang memang sudah mendesak ke arah perbaikan-perbaikan itu. Setidak-tidaknya ada beberapa alasan untuk meningkatkan kemampuan manajemen rumah sakit: 1. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang cepat. Dalam 10-20 tahun terakhir, ilmu kedokteran (termasuk di Indonesia) telah berkembang tidak saja ke tingkat spesialisasi dalam bidang-bidang ilmu kedokteran, tetapi sudah ke superspesialisasi. Sejalan dengan ini, teknologi yang dipergunakan juga semakin meningkat. Bisa dipahami bahwa investasi dalam dunia kedokteran dan rumah sakit akan semakin mahal (termasuk human invesmentnya). Karena itu, manajemen rumah sakit yang tidak baik akan menimbulkan pelayanan kesehatan yang semakin mahal atau sebaliknya, bahwa rumah sakit tidak dapat berjalan dan bangkrut. Dalam hal ini perlu disadari bahwa dengan perkembangan tersebut, pelayanan rumah sakit pada dasarnya memang cenderung menjadi mahal. 2. Demand masyarakat yang semakin meningkat dan meluas. Masyarakat tidak saja menghendaki mutu pelayanan kedokteran yang baik, tetapi juga semakin meluas. Masalahmasalah yang dahulu belum termasuk bidang kedokteran sekarang menjadi tugas bidang kedokteran. Terjadi apa yang disebut proses medicalization. Dapat dimengerti bahwa karenanya beban rumah sakit akan semakin berat. 3. Dengan semakin luasnya bidang kegiatan rumah sakit, semakin diperlukan unsur-unsur penunjang medis yang semakin luas pula, misalnya: masalah-masalah administrasi, pengelolaan keuangan, hu-bungan masyarakat dan bahkan aspek-aspek hukum/legalitas. Belum lagi kehendak pasien yang menghendaki unsur penunjang nonmedis yang semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan manusia masa kini. Manajemen rumah sakit dengan demikian akan semakin kompleks. Makin lama makin dirasakan perlunya peningkatan pengelolaan rumah sakit secara profesional. Ada kesan bahwa kecenderungan di atas kurang diperhitungkan. Rumah sakit seolah-olah ketinggalan kereta menanggapi kecenderungan itu. Di samping itu, juga masalah-masalah yang elementer banyak yang belum terselesaikan, misalnya seperti yang ditulis oleh J. Sadiman, yaitu

hubungan antara direksi rumah sakit dan pemilik rumah sakit (yayasan) sehingga sering terjadi kesalahpahaman di antara keduanya. Rumah sakit di Indonesia untuk sebagian besar ( 70%) dimiliki oleh Pemerintah. Sebagian rumah sakit swasta didirikan oleh lembaga-lembaga/yayasan, khususnya dengan latar belakang keagamaan atau lembaga-lembaga sosial lainnya, yang biasanya diprakarsai oleh kalangan masyarakat atau orang-orang yang terhormat. Sudah tentu, rumah sakit seperti ini membawa missi sosial dan karena itu tidak profit making. Mungkin karena sifat non-profit making inilah, ada kesan bahwa rumah sakit seperti ini dikelola asal jalan dan sematamata mengutamakan pelayanan medis pasien-pasien yang dirawat. Kerugian yang ada biasanya akan ditangani lembaga-lembaga keagamaan/sosial yang bersangkutan, dari donasi/sumbangan yang diperolehnya. Baru pada akhir-akhir ini, terutama pada sekitar tahun 1975, muncul rumah sakit swasta di kotakota besar, yang dikelola dengan motivasi yang agak berlainan. Meskipun rumah sakit ini tidak secara berterus terang merupakan lembaga yang profit making, akhirnya toh tidak dapat disembunyikan bahwa rumah sakit ini mempunyai kemampuan finansial yang kuat yang tentunya sulk untuk menyatakan bahwa rumah sakit ini adalah non-profit making dan sosial sematamata. Fenomena ini telah menumbuhkan polemik baru dari segi filosofis, yaitu apakah rumah sakit dimungkinkan dikelola secara bisnis dalam arti menjadi suatu instansi yang profit making? Polemik ini sudah tentu menyangkut landasan kenegaraan/falsafah kenegaraan kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Meskipun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, rumah sakit toh tidak mungkin dikelola semata-mata sosial. Dalam keadaan sekarang, hampir seluruh rumah sakit swasta menghadapi realita kehidupan yang semakin meterialistis. Rumah sakit harus membayar teknologi kedokteran, listrik, air, dapur, dan bahkan imbalan jasa dokter dan paramedic dengan mengikuti harga pasar. Dalam keadaan inilah, dari segi manajemen, rumah sakit yang selama ini memang lebih mementingkan aspek sosial, seolah-olah ketinggalan kereta. Tidak terlepas dalam hubungan ini adalah rumah sakit pemerintah di mana meskipun seluruh biaya eksploitasi/personel/gedung dan lain sebagainya ditanggung oleh pemerintah (secara teoretis), keperluan mengelola rumah sakit sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen adalah sangat mutlak. Hubungan DokterRumah Sakit Masalah ini juga sangat pelik. Seperti dikatakan di atas, hampir seluruh rumah sakit yang besar sekalipun tidak memiliki dokter ahli yang tetap. Dewasa ini mereka bekerja secara lepas dan tersendiri dan rumah sakit semata-mata memberikan hak kepada dokter-dokter untuk merawat pasien di rumah sakit. Sebagian rumah sakit me-nyelenggarakan hubungan kerja secara part time untuk suatu jabatan rumah sakit tertentu, misalnya untuk direksi medis atau kepala-kepala bagian. Namun sudah ada rumah sakit swasta yang justru melepas keterikatan dengan dokterdokter ahli ini. Hubungan ini membawa implikasi yang pelik dalam hubungan keuangan. Menjadi pertanyaan, pasien yang dirawat di rumah sakit itu pasien dokter atau pasien rumah sakit? Apabila mereka itu pasien para dokter, bukankah rumah sakit harus berterima kasih kepada dokter-dokter? Dokter-dokter dengan demikian benar-benar tamu rumah sakit. Artinya,

orang yang dihormati, berada di luar organisasi rumah sakit, tetapi menentukan jalannya rumah sakit, karena 80% dari biaya rumah sakit pada hakikatnya dikontrol oleh dokter-dokter. Dengan peranan yang besar dari para dokter dan sebaliknya, begitu kendornya hubungan antara dokter dan rumah sakit dewasa ini tidak saja memberi dokter posisi unik di rumah sakit, tetapi juga sangat berpengaruh dalam memberikan warna terhadap pengelolaan rumah sakit secara keseluruhan. Karena itu, banyak direktur rumah sakit yang sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi dokter-dokter. Meskipun demikian, dengan adanya kebutuhan untuk mening- katkan manajemen rumah sakit seperti di atas, pola-pola hubungan itu sudah harus diletakkan dari sekarang. Dalam menghadapi masalah ini, rumah sakit (sebenarnya) lebih banyak harus menyesuaikan dini dengan kebijalcsanaan pemerintah, karena hampir semua dokter spesialis berada dalam kewenangan pemerintah. Dan i segi manajemen, rumah sakit dapat saja bertahan -dalam ke- adaan sekarang, artinya mempertahankan status hubungan sebagai dokter tamu atau status part timer dengan dokterdokter ahli, atau sebagai konsultan, namun (akhirnya) masyarakat yang menjadi korban. Seperti yang kita lihat sekarang, di mana terjadi disparitas yang besar antara rumah sakit pemerintah dan swasta. Rumah sakit pemerintah mampu memberikan pelayanan yang murah, sehingga banyak dimanfaatkan rang, tetapi berakibat kualitas pelayanannya sering dianggap kurang. Sebaliknya, dari segi pengabdian merupakan tempat pengabdian yang utama. Sedangkan di rumah sakit swasta, mereka memperoleh insentif dari aspek-aspek material. Disparitas ini mengesankan bahwa rumah sakit swasta untuk golongan yang mampu dan rumah sakit pemerintah untuk melayani golongan yang kurang mampu. Tetapi, dalam perkembangan waktu, rumah sakit pemerintah pun didorong untuk memiliki fasilitas golongan yang mampu dengan timbulnya fasilitas-fasilitas khusus di rumah sakit pemerintah. Di sini, juga diakomodir kepentingan dokter dari segi material. Keadaan seperti ini, pada akhir-akhir ini telah memperoleh perhatian. Konon sedang dipikirkan, bagaimana rumah sakit juga dapat memiliki dokter-dokter ahli yangfid/ time, sehingga pelayanan rumah sakit semakin dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Pengelolaan Rumah Sakit Pengelolaan rumah sakit sehari-hari menjadi wewenang dan tugas di- reksi rumah sakit sendiri. Pada dasarnya, betapapun (mungkin) ke- bijaksanaan yang diberikan oleh pengurus yayasan/pemilik rumah sakit mungkin sudah baik, citra rumah sakit akan terbentuk oleh pelaksanaan tugas sehari-hari. Scperti dikatakan di atas, masalah-masalah ini menjadi semakin komplelcs. Pelayanan administrasi/penunjang/hubungan masyarakat dan aspek-aspek hukum/peraturan rumah sakit semakin luas. Hal ini memerlukan penanganan manajemen secara lebih profesional. Hospital management telah berkembang menjadi ilmu yang tersendiri. Sebaliknya, dengan peningkatan ilmu kedokteran ke tingkat super- spesialisasi, ada anggapan bahwa dokter-dokter (secara profesional) sayang apabila menangani masalah-masalah yang nonmedis.

Masalah itu perlu dikemukakan, karena peranan dokter adalah sangat kuat dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia dewasa ini, yang dengan sendirinya mempengaruhi jalannya organisasiorganisasi rumah sakit, yaitu penyelenggaraan organisasi diagnostik, therapy, perawatan pasien, penyediaan/logistik, adiminstrasi/keuangan, rumah tangga, perlengkapan dan lain sebagainya. Tentunya akan sangat ideal, apabila seorang direktur adalah se- orang dokter yang telah memperoleh pendidikan dalam Hospital Management. Tidak berlebihan bahwa para manajer rumah sakit di Indonesia telah banyak belajar dari pengalaman, namun dalam meng- hadapi perumahsakitan yang semakin komplelcs, masalah ini perlu dipecahkan, sehingga kemampuan rumah sakit menyelenggarakan rumah sakit itu dapat ditingkatkan. Struktur Organisasi Dengan memperhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa ada tiga badan yang semestinya sangat penting dengan tugas dan wewenang yang cukup jelas, yaitu: 1. Pemilik Rumah Sakit/Yayasan/Governing Board. 2. Direksi Rumah Sakit. 3. Staf Kedokteran (Medical Staff). Ketiga Badan ini, sesuai dengan fungsi dan wewenangnya, saling mengisi dan mengontrol, sehingga tercapai keseimbangan untuk mengarahkan tujuan yang hendak dicapai oleh rumah sakit itu. Tetapi, khusus di Indonesia, ketiga badan ini pada umumnya masih sering terjadi semacam conflict of interest dari masing-masing anggota badan tersebut, karena dari segi personalia sering tidak dapat dipisahkan tugas seorang dokter yang menjadi direksi rumah sakit yang sekaligus merawat pasien. Atau anggota yayasan yang juga merawat pasien. Dalam tahap sekarang masalah ini memang (dalam batas-batas tertentu) tidak dapat dihindari, karena peranan yang besar dari para dokter dalam badan-badan tersebut. Masalah ini dalam tahap pertama tentunya dapat dikurangi dengan suatu job discription yang sejelas-jelasnya. Di masa depan, dengan perkembangan rumah sakit yang semakin kompleks, tentunya dianjurkan adanya pemisahan yang jelas. Dalam hubungan ini, untuk kemudahan komunikasi, ketiga badan ini dapat membentuk semacam Badan Musyawarah yang merumuskan dan menampung permasalahanpermasalahan yang ada, sebelum diputus oleh yayasan/ Governing Board/pemilik rumah sakit. Kepentingan untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan rumah sakit memang sudah mendesak. Dalam tahap pertama, perlu disadari pentingnya keseragaman pandangan di antara pendukung suatu rumah sakit, baik pengurus yayasan, direksi dan para dokter, rumah sakit, lambat atau cepat, semakin dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin pelik. Untuk itu pengelolaan rumah sakit harus semakin ditingkatkan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang berlaku. Apabila masalah ini sudah dicapai, direksi rumah sakit yang bertugas mengelola rumah sakit akan banyak didorong dan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip Hospital Administration secara semestinya. Pustaka
Manajemen kesehatan Oleh Sulastomo

Upaya Kesehatan Dalam Pelayanan Kebidanan

Ilmu kebidanan adalah ilmu yang mempelajari tentang kehamilan, persalinan, dan kala nifas serta kembalinya alat reproduksi ke keadaan normal. Tujuan ilmu kebidanan adalah untuk mengantarkan kehamilan, persalinan, dan kala nifas serta pemberian ASI dengan selamat dengan kerusakan akibat persalinan sekecil-kecilnya dan kembalinya alat rcproduksi kekeadaan normal. Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan dengan perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. Dikemukakan bahwa angka kematian perinatal lebih mencerminkan kesanggupan satu negara untuk memberikan pelayanan kesehatan. Indonesia, di lingkungan Asean, merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi, yang berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan masih memerlukan perbaikan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu. Dengan perkiraan persalinan di Indonesia setiap tahunnya sekitar 5.000.000 jiwa dapat dijabarkan bahwa: 1. Angka kematian ibu sebesar 19.500-20.000 setiap tahunnya atau terjadi setaip 26-27 menit. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan 30,5 %, infeksi gestosis 17,5 %, dan anestesia 2,0 %. 2. Kematian bayi sebesar 56/10.000 menjadi sekitar 280.000 atau terjadi sctiap 18-20 menit sekali. Penyebab kematian bayi adalah asfiksia neonatorum 49-60 %, infeksi 24-34 %, prematuritas/BBLR 15-20 %, trauma persalinan 2-7 %, dan cacat bawaan 1-3 %. Memperhatikan angka kematian ibu dan bayi, dapat dikemukakan bahwa: 1. Sebagian besar kematian ibu dan perinatal terjadi saat pertolongan pertama sangat dibutuhkan. 2. Pengawasan antenatal masih belum memadai sehingga penyulit hamil dan hamil dengan risiko tinggi tidak atau terlambat diketahui. 3. Masih banyak dijumpai ibu dengan jarak hamil pendek. terlalu banyak anak, terlalu muds, dan terlalu tua untuk hamil. 4. Gerakan keluarga berencana masih dapat digalakkan untuk meningkatkan cumber daya manusia melalui norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS).

5. Jumlah anemia pada ibu hamil cukup tinggi. 6. Pendidikan masyarakat yang rendah cendrung memilih pemeliharaan kesehatan secara tradisional, dan belum slap menerima pelaksanaan keschatan modern. Kalau disimak ternyata faktor-faktor tersebut dapat dibagi dua yaitu: 1. Yang bersifat ilmu kebidanan murni: Pelaksanaan pengawasan hamil belum menjangkau masyarakat menyeluruh dan bermutu. Pertolongan pertama hamil dan persalinan yang belum memadai. Lemahnya sistem rujukan. 2. Faktor sosial, yang meliputi: Gerakan keluarga berencana masih dapat ditingkatkan penerimaannya. Faktor gizi masyarakat belum mcmenuhi untuk kesehatan ibu hamil, dan menyusui. Pendidikan masyarakat yang masih rendah. Berdasarkan tingginya angka kematian ibu dan perinatal yang diatami sebagian besar negara berkembang, maka WHO dan UNICEF di Alma Ata, Uni Sovyet 1978 telah menyelenggarakan pertemuan dengan menghasilkan gagasan untuk menerapkan Primary health care yaitu upaya kesehatan utama dengan teknologi berdaya guna dan tepat guna, sesuai dengan kemampuan masyarakat sehingga dicapai Health for all by year the 2000. Gagasan Pelayanan Kesehatan Utama tersebut mempunyai unsur: Meningkatkan pelaksanaan pengawasan hamil. Meningkatkan penerimaan keluarga berencana. Meningkatkan gizi ibu hamil dan menyusui. Meningkatkan pelaksanaan imunisasi. Meningkatkan upaya kesehatan lingkungan. Meningkatkan upaya sistem rujukan. Menerapkan pelayanan kesehatan yang terjangkau masyarakat. Indonesia sebagai negara berkembang menerima gagasan pelayinan kesehatan utma dan memasukkannya ke dalam Sistem Kesehatan Nasional yang telah dikeinukakan tahun 1982. Mulai tahun itu pelayanan kesehatan kebidanan tidak terbatas ditingkat klinik tetapi telah menyebarkan upaya promotif, preventif dan rehabilitasi ke dalam gagasan Ilmu Kebidanan Sosial. Melalui gagasan ilmu kebidanan sosial, diharapkan dapat mengendalikan faktor dalam masyarakat sehingga mampu memberikan pelayanan yang lebih bermutu dan menyeluruh dengan tujuan menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. Salah satu usaha yang sangat penting untuk dapat mencapai peningkatan pelayanan kebidanan yang menyeluruh dan bermutu adalah menyebarkan Bidan di desa dengan polindesnya sesuai dengan gagasan Bapak Presiden Soeharto pada pembukaan World congress on human reproduction, Nusa Dua, Bali 1994 . Di masa yang akan datang Bidan di Desa diharapkan dapat memberikan pelayanan kebidanan yang lebih bcrmutu dan menyeluruh dan sebagai pengganti dukun beranak.

Etika Profesi Bidan Berbeda dengan profesi tenaga kesehatan lainnya, bidan dapat berdiri sendiri dalam memberikan pertolongan kesehatan kepada masyarakat khususnya pertolongan persalinan normal. Oleh karena itu, bidan mengucapkan janji atau sumpah saat menamatkan diri dari pendidikannya. Bidan merupakan mata rantai yang sangat penting karena kedudukannya sebagai ujung tombak dalam upaya meningkatkin sumber daya manusia melalui kemampuannya untuk melakukan pengawasan, pertolongan, dan pengawasan neonatus dan pada persalinan ibu postpartum. Di samping itu upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia dapat dibebankan kepada bidan melalui pelayanan keluarga berencana. Peranan penting bidan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian maternal dan perinatal melalui pendekatan kepada dukun beranak dengan membcrikan bimbingan pada kasus yang memerlukan rujukan medis. Kerja sama dengan masyarakat melalui posyandu, bersama Program Kesehatan Keluarga (PKK) penting artinya dalam menapis kehamilan risiko tinggi, sehingga mampu menekan angka kesakitan dan kematian maternal dan perinatal. Berdasarkan peranan bidan yang vital itulah diperlukan pengaturan profesi bidan dalam memberikan pertolongan yang optimal. Secara umum tenaga profesi kesehatan dibatasi oleh tiga kaedah utama, yaitu sumpah profesi, kaedah hukum yang mengatur tata nilai di dalam masyarakat, dan kaedah masyarakat dalam bentuk tertulis atau kebiasaan yang perlu dihormati pula. Oleh karena itu, profesi tenaga kesehatan yang selalu berkaitan dengan manusia geraknya sangat terbatas. Pelayanan kesehatan didasari atas kerahasiaan dan kepercayaan yang mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Mereka yang memerlukan pertolongan profesi berada pada pihak yang tergantung pada pemberi pertolongan. 2. Atas dasar kepercayaan berarti bahwa yang meminta pertolongan akan memberikan keterangan yang diperlukan untuk dapat menegakkan penyakitnya dan sekaligus pengobatannya. 3. Mereka yang meminta pertolongan tidak dapat menilai sampai scberapa jauh keahlian pemberi pertolongan. 4. Mereka yang mempunyai profesi sebagai tenaga kesehatan hampir dapat dipastikan bebas, tidak tergantung kepada orang lain sehingga hanya bila ada tuntutan hukum saja pihak yang berwenang dapat melakukan tindakan. 5. Sifat pekerjaan profesi ini tidak mampu mcmberikan jaminan pasti, tctapi akan diupayakan agar tercapai tingkat maksimal. Dengan dasar demikian berarti masyarakat sulit untuk memberikan penilaian kemampuan profesi. Oleh karena itu, jaminan yang diharapkan dilandasi pada sumpah profesi dan etika profesi yang mengatur tingkah laku seseorang. Cara Menurunkan Angka Kematian Anak Balita Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan kesehatan anak, khususnya unhuk menurunkan angka kematian anak, di antaranya sebagai berikut: 1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pemerataan pelayanan kesehatan

Untuk meningkatkan mutu pelayanan serta pemerataan pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat telah dilakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan meletakkan dasar pelayanan kesehatan pada sektor pelayanan dasar. Pelayanan dasar dapat dilakukan di puskesmas induk, puskesmas pembantu, posyandu, serta unit-unit yang terkait di masyarakat. Semua bentuk pelayanan kesehatan perlu didorong dan digerakkan untuk menciptakan pelayanan yang prima. Selain itu, cakupan pelayanan diperluas dengan pemerataan pelayanan kesehatan untuksegala aspekatau lapisan masyarakat. Bentuk pelayanan tersebut dilakukan dalam rangka jangkauan pemerataan pelayanan kesehatan. Upaya pemerataan tersebut dapat dilakukan dengan penyebaran bidan desa, perawat komunitas, fasilitas balai kesehatan, pos kesehatan desa, dan puskesmas keliling. Berkaitan dengan kematian bayi akibat persalinan, maka upaya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki pelayanan kebidanan serta menyebarkan buku KIA, alat monitor kesehatan oleh tenaga kesehatan, dan alat komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien. Di Jepang, buku KIA yang digunakan sejak tahun 1948 mampu menurunkan secara signifikan angka kematian bayiAKB dan angka kematian ibuAKI (Hapsari, 2004). . Meningkatkan status gizi masyarakat Peningkatan status gizi masyarakat inerupakan bagian dari upaya untuk mendorong terciptanya perbaikan status kesehatan. Dengan pemberian gizi yang baik diharapkan pertumbuhan dan perkembangan anak akan baik pula, di samping dapat memperbaki status kesehatan anak. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, di antaranya upaya perbaikan gizi keluarga atau dikenal dengan nama UPGK. Kegiatan UPGK tersebut didorong dan diarahkan pada peningkatan status gizi, khususnya pada masyarakat yang rawan atau memiliki risiko tinggi terhadap kematian atau kesakitan. Kelompok risiko tinggi terdiri atas anak balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia yang golongan ekonominya rendah. Melalui upaya tersebut, peningkatan kesehatan akan tercakup pada semua lapisan masyarakat klnisusnya pada kelompok risiko tinggi. 3. Meningkatkan peran serta masyarakat Peningkatan peran serta masyarakat dalam membantu perbaikan status kesehatan ini penting, sebab upaya pemerintah dalam rangka menurunkan kematian bayi dan anak tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah, melainkan peran serta masyarakat dengan keterlibatan atau partisipasi secara langsung. Upaya masyarakat tersebut sangat menentukan keberhasilan program pemerintah sehingga mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan. Melalui peran serta masyarakat diharapkan mampu pula bersifat efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan. Upaya atau program pelayanan kesehatan yang membutulikan peran serta masyarakat antara lain pelaksanaan imunisasi, penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, perbaikan gizi, dan Upaya tersebut akan memudahkan pelaksanaan program kesehatan yang tepat pada sasaran yang ada. 4. Meningkatkan manajemen kesehatan Upaya pelaksanaan program pelayanan kesehatan anak dapat berjalan dan berhasil dengan baik bila didukung dengan perbaikan dalam pengelolaan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini adalah peningkatan manajemen pelayanan kesehatan melalui pendayagunaan tenaga kesehatan profesional yang mampu secara langsung mengatasi masalah kesehatan anak. Tenaga kesehatan yang dimaksud antara lain tenaga perawat,bidan,serta dokter yang berada di puskesmas yang

secara langsung berperan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Sumber Pustaka


- Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Gde Manuaba - Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan Oleh A. Aziz Alimul

You might also like