You are on page 1of 89

GHAZWUL FIKRI:

WESTERNISASI ISLAM
Oleh:
ADIAN HUSAINI, MA

Pengurus Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus


PP Muhammadiyah/Dosen Pasca Sarjana di
Universitas Indonesia dan Universitas Ibn
Khaldun Bogor
Peter The Venerable (1094-1156):

• “I come to meet the


Moslems, not with arms but
with words, not by force but
by reason, not in hatred but
in love.”
Delapan Peradaban
Besar Eksis Pasca
Perang Dingin
• “All of us who live in western and
central Europe, Canada, and the United
States are the direct heirs of that
culture, and move within it as do fish in
water. But the non-Western world has
been powerfully influenced and shaped
by this culture as well. Through
colonialism, trade, and the export of
ideology, the modern West has injected
components of its own civilization into
the indigenous cultures of non-Western
societies. (Lawrence E. Cahoone, The
Dilemma of Modernity, 1988)
Samuel P.
Huntington:
“Islam is the
only
civilization
which has
put the
survival of
the West in
doubt, and
it has done
at least
twice”
“… di saat sekarang ini selama
beberapa waktu dunia Islam telah
dihadapkan pada ancaman
kemurtadan yang menyelimuti
bayang-bayang di atasnya dari
ujung ke ujung…Inilah
kemurtadan yang telah
melanda muslim Timur
pada masa dominasi
Syekh Abul politik Barat, dan telah
Hasan Ali an- menimbulkan tantangan
yang paling serius
Nadwi, ulama terhadap Islam sejak
besar India: masa Rasulullah saw… Ia
telah melancarkan serangan
gencarnya dari rumah ke rumah
dan dari keluarga ke keluarga.
Sekolah-sekolah dan universitas
semua telah dibanjiri dengannya.
Hampir tak ada keluarga yang
Prof. Naquib Al-Attas: “Many
challenges have arisen in
the midst of man’s
confusion throughout the
ages, but none perhaps
more serious and
destructive to man than
today’s challenge posed
by Western Civilization”
(Powerful Ideas:
Perspectives on the Good
Society”, (Victoria, The
Cranlana Program, 2002):
“Today the most difficult
challenge comes from
the West, and Benedict
XVI is a man who comes
from the West, who
understands the history
and the culture of the
West”.

“Battling dictatorship of relativism”


TANTANGAN DARI BARAT

KOLONIALISME/
KRISTENISASI IMPERIALISME

ORIENTALISME

TRILOGI KOLONIALISME: GOLD, GOSPEL, GLORY


Program keislaman AS di Indonesia (4 Mei
2007):
• ”Dalam usaha menjangkau masyarakat
Muslim, Amerika Serikat mensponsori
para pembicara dari lusinan pesantren,
madrasah serta lembaga-lembaga
pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar
pandangan tentang pluralisme, toleransi
dan penghargaan terhadap Hak Asasi
Manusia. Kedutaan mengirimkan
sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke
Amerika Serikat untuk mengikuti suatu
program tiga-minggu tentang pluralisme
agama, pendidikan kewarganegaraan dan
pembangunan pendidikan...
• Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima
American Corners dibuka di lembaga-lembaga
pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika
Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk
mendirikan suatu pusat internasional dalam
memajukan hubungan regional dan internasional di
antara para intelektual dan aktivis Muslim progresif
dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional
tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat
juga memberikan pendanaan kepada berbagai
organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat
persamaan jender dan anak perempuan dengan
memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di
antara para pemimpin perempuan masyarakat dan
membantu demokratisasi serta kesadaran jender di
pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren
laki-laki dan perempuan. Mengembangkan suatu
lingkungan dimana orang Indonesia dapat secara bebas
menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka adalah
kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat
dalam memelihara pluralisme dan toleransi untuk
menghadapi ekstrimisme.”
http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia
•YANG TERPESONA OLEH
PERADABAN BARAT
• “There is only one
civilization, and that is
European civilization.
Therefore, we must borrow
western civilization with
both its rose and its thorn.”
(Abdullah Chevdet, pendiri
CUP, Turki Muda)
• In Christian tradition there are now three
theological approaches from which the
Christian look at other religion. The first of
these is called exclusivism, which holds
that only those who hear and respond to
the Christian gospel are entitled to
salvation. Second, inclusivism, which
argues that although Christianity
represents the normative revelation of
God, salvation is also possible for
adherents of other religious tradition.
Third, pluralism, which holds that all
religious traditions of humanity are equally
valid paths to the same core of religious
reality. In pluralism, no one religion is
superior to any other; each and every
religion is equally valid way to truth and
God.” (Alister E. Mcgrath, Christian
Theology: an Introduction, (Oxford:
Transendentalisme versi Prof. Huston Smith

GOD

Esoteric

Exoteric

H B CT J C I ? ? ?
“All paths lead to the same summit”, S.H. Nasr.
“Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada
dasarnya Islam bersifat inklusif dan
merentangkan tafsirannya ke arah yang
semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat
perenial yang belakangan banyak dibicarakan
dalam dialog antar agama di Indonesia
merentangkan pandangan pluralis dengan
mengatakan bahwa setiap agama
sebenarnya merupakan ekspresi keimanan
terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda,
pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari
itu adalah jalan dari berbagai Agama…
Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan
Banyak Jalan".” (Buku Tiga Agama Satu
Tuhan, Mizan, Bandung, 1999, hal. xix.)
“There is no religion higher than Truth.”
(Semboyan Theosofi)
•PLURALISME AGAMA
DALAM PENDIDIKAN AGAMA
Ki Hadjar Dewantara:

• Agama di dalam pengajaran


sekolah, adalah soal lama dan
terus-menerus persoalan sulit.
(Back Cover buku Problematika
Pendidikan Agama di Sekolah,
Interfidei Yogya, 2007)
Prof. Dr. H. Djohar MS, mantan Rektor IKIP
Yogya:
• ‘Pemisahan anak berdasarkan agama
di sekolah menjadi embrio
diskriminasi bangsa. Hal ini terjadi
karena sekolah tidak melaksanakan
pendidikan keagamaan, tetapi lebih
cenderung melaksanakan pelajaran
agama. Lembaga pendidikan kita
mempunyai andil terhadap
perpecahan bangsa.” (Ibid).
Budhy Munawar Rahman:
• Nah, karena kami mau menekankan Pluralisme
Agama, pada masa-masa tertentu, misalnya tiga
bulan sekali, kami adakan spiritual atau religion
fair atau "pekan raya Agama". Setiap kelas agama
akan berhias diri, simbol-simbol agama juga
ditampilkan, dan setiap anak akan datang
berkunjung, melihat, dan mungkin bertanya
kepada guru agama; apa sih artinya pohon Natal?
Di sana kita jumpai Buddha yang sedang
melakukan meditasi, tampilan Ka'bah, dan lain-
lain. Semua anak bisa melihat simbol-simbol
keagamaan yang sangat ekspresif dan penuh nilai
kesakralan. Itu menjadi pengalaman tersendiri bagi
anak-anak. Kami tak mungkin mengajarkan
wawasan Pluralisme, tetapi guru-gurunya bukan
pluralis. Bahaya sekali dan akan merusak ide besar
kami. Makanya, orang tua juga harus mendapatkan
training atau semacam acara bulanan sehingga
mereka bisa memahami Pluralisme. (
Pengembangan Pendidikan
Agama melalui program
Pasca Sarjana Center for
Religious and Cross-cultural
Studies (CRCS) UGM Yogya:
• Pendidikan
Religiusitas/keagamaan
, bukan Pendidikan
Agama (SMA Bopkri I,
Sekolah Madania, dll.).
• Mengembangkan
“Pendidikan Agama
yang Menghargai
Kemajemukan.”
Pengembangan Pendidikan Agama melalui
program Pasca Sarjana Center for Religious
and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM
Yogya:
Prof. Djohar MS (narasumber CRCS): Kalau
pendidikan agama itu berarti mempelajari satu
pemahaman keagamaan tertentu sedangkan
pendidikan keagamaan itu mempelajari agama-
agama. Kalau di madrasah misalkan itu adalah
pendidikan agama yang mempelajari hanya
agama Islam, tetapi kalau di sekolah-sekolah
umum adalah pendidikan keagamaan, yang
mencari common-ground dari semua agama…
Nah, kalau common ground ini dipelajari di
sekolah, maka persatuan dan kesatuan bangsa
ini akan bisa tercapai. Sedangkan pelajaran
agama sesuai dengan agama masing-masing
siswa dipelajari di sekolah akan bisa
memunculkan bibit-bibit perpecahan yang akan
Pendidikan Agama berwawasan
multikulturalisme:
• Indikator multikulturalisme: (1) dalam soal
penerimaan terhadap perkawinan berbeda
agama, (2) penerimaan terhadap orang
yang berbeda agama untuk mengajar
anak di sekolah, (3) penerimaan terhadap
orang yang berbeda agama dalam
melakukan kegiatan di daerah Muslim, dan
(4) penerimaan terhadap orang yang
berbeda agama untuk membangun rumah
ibadah di daerah Muslim. (Hasil penelitian
Balitbang Depag, tentang “Pemahaman
Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”, 11-12-
Pendidikan Agama berwawasan
multikulturalisme:
• ”Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya
adalah seruan pada semua umat manusia,
termasuk mereka para pengikut agama-agama,
menuju satu cita-cita bersama kesatuan
kemanusiaan (unity of mankind) tanpa
membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan,
dan agama... Pesan kesatuan ini secara tegas
disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua
penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah
menuju dialog dan perjumpaan multikultural
(kalimatun sawa’) antara kami dan kamu...
Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya
mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah
sebentuk manifesto dan gerakan yang
mendorong kemajemukan (plurality) dan
keragaman (diversity) sebagai prinsip inti
kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa
semua kelompok multikultural diperlakukan
setara (equality) dan sama martabatnya
Pendidikan Agama berwawasan
multikulturalisme:
• ”Hai manusia, sesungguhnya Kami
jadikan kalian dari jenis laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan kalian
berkelompok-kelompok dan
berbangsa-bangsa, agar kalian saling
memahami dan saling menghargai.
Sesungguhnya orang yang paling
bermartabat di sisi Allah adalah
mereka yang paling dapat
memahami dan menghargai
perbedaan di antara kamu.” (Buku
Muhsin Labib, dosen di Jakarta:

“Mukmin sejati pastilah


kafir sejati karena ia
beriman kepada Allah
sekaligus kafir kepada
orang-orang zalim
(thaghut). Karena itu,
kita mesti menjadi
kafir yang baik, kafir
profetik.” majalah
ADIL, No. 19, 28 Juni-11
Juli 2007).
Dr. Muhammad Ali, Dosen Fak.
Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta:
• ”Dalam konsep al-Qur’an, penganut
agama Yahudi, Kristen, dan Islam
adalah saudara seiman dan
sebapak, Ibrahim, meskipun mereka
saling berselisih dalam sejarahnya....
Karenanya tidak ada alasan untuk
mengafirkan dan mengutuk masuk
neraka Konfusianisme, Buddha,
Mirza Ghulam Ahmad, dan penganut-
penganut keyakinan lainnya.”
M. Hilaly Basya, dosen di Jakarta:
• ”Jadi tidak semua non-Muslim adalah
kafir. ... Jadi, kafir tidak identik dengan
non-Muslim, melainkan siapa pun dan
beragama apa pun ketika tidak adil dan
menindas maka ia disebut kafir... Akan
lebih tepat jika term kafir dimaknai
sebagai penindas, dan mukmin (orang
beriman) adalah pejuang pembebasan
dari penindasan. .” (Kembali ke-Al-Qur’an,
Menafsir Makna Zaman: Suara-suara kaum Muda
Muhammadiyah”, editor: Pradana Boy ZTF dan M. Hilmi Faiq,
pengantar oleh Moeslim Abdurrahman, diterbitkan oleh UMM
Press, 2004.)
•STUDI ISLAM: QUO VADIS?
• “Dalam masyarakat yang
sudah maju agama yang
dianut bukan lagi
dinamisme, animisme,
politeisme atau
henoteisme, tetapi
agama monoteisme,
agama tauhid. Dasar
ajaran monoteisme ialah
Buku pegangan di PT Islam Tuhan satu, Tuhan Maha
Sejak tahun 1973
Esa, Pencipta alam
semesta.” (Harun
Nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya,
Prof. HM Rasjidi:

• “Uraian Dr. Harun Nasution yang


terselubung uraian ilmiyah
sesungguhnya mengandung
bahaya bagi generasi muda
Islam yang ingin dipudarkan
keimanannya.” (ditulis tahun
1975).
”Agama adalah seperangkat
doktrin, kepercayaan, atau
sekumpulan norma dan ajaran
Tuhan yang bersifat universal dan
mutlak kebenarannya. Adapun
keberagamaan, adalah
penyikapan atau pemahaman
para penganut agama terhadap
doktrin, kepercayaan, atau
ajaran-ajaran Tuhan itu, yang
tentu saja menjadi bersifat relatif,
dan sudah pasti kebenarannya
menjadi bernilai relatif.(Adeng
Muhtar Ghazali, Ilmu Studi
Agama, (Bandung: Pustaka Setia,
2005), hal. 20)
• ”Islam yang ada di Indonesia bisa
jadi berbeda dengan di Timur
Tengah. Hal ini dikarenakan
perbedaan pemahaman
masyarakatnya akibat setting ruang
yang tidak sama. Begitu pula Islam
yang dipahami oleh generasi awal
Islam, berbeda dengan yang
dipahami gerenasi abad pertengahan
maupun abad modern ini.” (Masdar
Himly, MA dan Akh. Muzakki, M.A.g,
Dinamika Baru Studi Islam, (Surabaya:
Arkola, 2005), hal. 84).
Buku Paradigma Baru Pendidikan Islam
(Depag. RI, 2008):

• ”Melalui pengiriman para dosen


IAIN ke McGill dalam jumlah yang
sangat masif dari seluruh
Indonesia, berarti juga perubahan
yang luar biasa dari titik pandang
tradisional studi Islam ke arah
pemikiran modern ala Barat.
Perubahan yang paling menyolok
terjadi pada tingkat elit. Tingkat
elit inilah yang selalu
menggerakkan tingkat grass
• ”(Wilfred C.) Smith adalah sosok yang
kemudian selalu dikagumi Mukti Ali karena
sikap ramahnya terhadap Islam dan
metodologi yang dipakainya dalam
mempelajari Islam. Menurut Mukti Ali,
Smith tidak hanya menarik dari sisi
simpatiknya terhadap Islam tetapi juga
dari pendekatan holistik yang
digunakannya. Bahwa Islam tidak semata
fenomena normatif, tetapi harus
dipandang dari sudut lain, sebagai fakta
sejarah dan sebagaimana agama-agama
lain di dunia, Islam muncul dalam
peradaban manusia. Maka pendekatan
yang digunakan pun pendekatan
kemanusiaan. Empiris kemanusiaan
menjadi pendekatan yang dipilih untuk
• ”Terlebih selama ini pendekatan
yang digunakan dalam dunia
pendidikan secara dominan masih
bersifat normatif dan kurang historis.
Dengan demikian, program ini akan
menghasilkan sumber daya manusia
yang memiliki paradigma historis
dalam kajian Islam. Pendekatan
historis dan empirik dalam kajian
agama akan dipandang penting
untuk meningkatkan tradisi keilmuan
dan menciptakan model pemahaman
keagamaan yang bijak, demokratis
dan toleran.”
• LIBERALISASI AGAMA sebagai
RESPON TERHADAP MODERNITAS
LIBERAL JUDAISM

Sinagog Yahudi Liberal

Dr. Abraham
Geiger

Simbol
Gay Yahudi Liberal

Gay Yahudi
Liberal theology in USA 1910-1930:
Paduan dari gagasan: “Political
progressivism, confidence in reason,
science and democracy, and a
reconstructed Christian faith. The key to
their reconstruction was the ‘socio-
historical method. Sceptical in varying
degrees about abstract speculation, these
theologians interpreted Christianity as a
socio historical movement the beliefs of
which were to be understood and
evaluated pragmatically.” (Alister E. McGrath,
The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought,
(Oxford: Blackwell, 1993), hal. 327.)
“pembaruan harus dimulai
MODERNISME dengan dua tindakan yang
saling erat hubungannya,
yaitu melepaskan diri dari
nilai-nilai tradisional dan
mencari nilai-nilai yang
berorientasi ke masa depan.
PEMBARUAN AGAMA Nostalgia, atau orientasi dan
kerinduan pada masa lampau
yang berlebihan, harus diganti
dengan pandangan ke masa
depan.
Untuk itu diperlukan suatu
proses liberalisasi. Proses itu
LIBERALISASI AGAMAdikenakan terhadap “ajaran-
ajaran dan pandangan-
pandangan Islam” yang ada
sekarang ini...” (N. Madjid,
• Di Indonesia kita mengenal organisasi2
dengan aspirasi2 pembaharuan seperti
Muhammadiyah, al-Irsyad dan persis.
Tetapi sejarah mencatat pula dan harus
kita akui dengan jujur bahwa mereka itu
sekarang telah berhenti Sebagai
pembaharu-pembaharu. Mengapa? Sebab
mereka pada achirnya telah menjadi beku
sendiri, Karena mereka pada akhirnya
telah menjadi beku sendiri, Karena mereka
agaknya tidak sanggup menangkap
Semangat dari pada ide pembaharuan itu
sendiri, Yaitu dinamika dan progresivitas
Oleh karena itu diperlukan adanya suatu
Kelompok pembaharuan Islam baru yang
Pdt. Dr. Stevri Lumintang (Protestan):
• ‘’...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang
kehadirannya seperti serigala berbulu
domba, seolah-olah menawarkan teologi
yang sempurna, karena itu teologi tersebut
mempersalahkan semua rumusan Teologi
Tradisional yang selama ini dianut dan
sudah berakar dalam gereja. Namun
sesungguhnya Pluralisme sedang
menawarkan agama baru...’’ (Theologia
Abu-abu, (Malang: Gandum Mas), hal. 18-
19).
Sikap Hindu:
Bagavat Gita IV:11: “Jalan mana pun yang
ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya
Aku terima.”
Yang disebut “jalan” dalam Gita adalah
empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana
Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua
yoga ini ada dalam agama Hindu, dan
tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu
menyediakan banyak jalan, bukan hanya
satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan
kemampuan dan kecenderungannya.
(Frank Gaetano Morales dkk, Semua Agama Tidak
Sama, Media Hindu, 2006) hal. xxx.
• Setiap orang mempunyai hak
kebebasan berpendapat, keyakinan
dan agama; hak ini termasuk
kebebasan untuk mengubah
agamanya atau keyakinan, dan
kebebasan baik sendiri-sendiri atau
bersama-sama dengan yang lain dan
dalam ruang publik atau privat untuk
memanifestasikan agama dan
keyakinannya dalam menghargai,
memperingati, mempraktekkan dan
mengajarkan.” (DUHAM, pasal 18).
• LIBERALISASI AGAMA:
MENEMPATKAN AGAMA
SEBAGAI BAGIAN DARI
PROSES DINAMIKA SEJARAH
• DOMINASI PERADABAN
BARAT MELAHIRKAN
WESTERNISASI/LIBERALISASI
• LIBERALISASI ISLAM DI
INDONESIA
PROGRAM LIBERALISASI ISLAM di INDONESIA
SEJAK AWAL 1970-AN:

(a) Pentingnya konstekstualisasi


ijtihad.
(b) Komitmen terhadap
rasionalitas dan pembaruan.
(c) Penerimaan terhadap
pluralisme sosial dan pluralisme
agama-agama
(d) Pemisahan agama dari partai
politik dan adanya posisi non-
sektarian negara. (Dr. Greg Barton, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1999):
• LIBERALISASI
SYARIAT
DILAKUKAN
DENGAN
MELAKUKAN
PERUBAHAN
METODOLOGI
IJTIHAD YANG
MENEKANKAN
ASPEK
KONTEKSTUAL
HISTORIS,
SEHINGGA HUKUM
ISLAM MENJADI
RELATIF DAN
Definisi Relativisme

•the doctrine that


knowledge, truth, and
morality exist in relation to
culture, society, or
historical context, and are
not absolute
LIBERAL JUDAISM

Sinagog Yahudi Liberal

Dr. Abraham
Geiger

Simbol
Gay Yahudi Liberal

Gay Yahudi
“Hanya orang primitif saja yang melihat
perkawinan sejenis sebagai sesuatu
yang abnormal dan berbahaya. Bagi
kami, tiada alasan kuat bagi siapapun
dengan dalih apapun, untuk melarang
perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun
sudah maklum, bahwa proyeknya
menciptakan manusia sudah berhasil
bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan
mengutus Luth untuk menumpas kaum
homo karena mungkin bisa
Ijin Terbit:
Dekan Fakultas
menggagalkan proyek Tuhan dalam
Syariah IAIN penciptaan manusia (karena wakyu itu
Walisongo manusia masih sedikit), maka sekarang
Semarang. Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk
Alamat Redaksi: membolehkan kawin sejenis supaya
Gedung H.I
Lantai I Kampus
mengurangi sedikit proyek Tuhan
III IAIN tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli
Walisongo dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus
kaum homoseks. Anda di jalan yang
• ”Dalam hal orientasi seksual
misalnya, hanya ada satu pilihan,
heteroseksual. Homoseksual, lesbian,
biseksual dan orientasi seksual
lainnya dinilai menyimpang dan
distigma sebagai dosa. Perkawinan
pun hanya dibangun untuk pasangan
lawan jenis, tidak ada koridor bagi
pasangan sejenis. Perkawinan lawan
jenis meski penuh diwarnai
kekerasan, eksploitasi, dan
kemunafikan lebih dihargai
ketimbang perkawinan sejenis
walaupun penuh dilimpahi cinta,
kasih sayang dan kebahagiaan.
• ”Esensi ajaran agama adalah
memanusiakan manusia,
menghormati manusia dan
memuliakannya. Tidak peduli apa
pun ras, suku, warna kulit, jenis
kelamin, status sosial dan orientasi
seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa
pun agamanya.” (Prof. Musdah
Mulia, Jurnal Perempuan, Maret
2008).
• ”Islam mengajarkan bahwa seorang
lesbian sebagaimana manusia lainnya
sangat berpotensi menjadi orang yang
salah atau taqwa selama dia menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak
menduakan Tuhan (syirik), meyakini
kerasulan Muhammad Saw serta
menjalankan ibadah yang diperintahkan.
Dia tidak menyakiti pasangannya dan
berbuat baik kepada sesama manusia,
baik kepada sesama makhluk dan peduli
pada lingkungannya. Seorang lesbian yang
bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya
yakin ini.” (Prof. Musdah Mulia, Jurnal
Perempuan, Maret 2008).
PRODUK
PERKAWINAN
LINTAS-
MAKHLUK?
Prof. Dr. Amina
Wadud:

• “No method of
Quranic exegesis
fully objectives.
Each exegete
makes some
subjective
choices.” (Dikutip
dari Jurnal
PROFETIKA, Januari
2004, Magister
• ”Dan pernikahan beda agama
dapat dijadikan salah satu
ruang, yang mana antara
penganut agama dapat saling
berkenalan secara lebih dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari
diberlangsungkannya
pernikahan adalah untuk
membangun tali kasih (al-
mawaddah) dan tali sayang (al-
rahmah). Di tengah rentannya
hubungan antar agama saat ini,
pernikahan beda agama justru
dapat dijadikan wahana untuk
membangun toleransi dan
kesepahaman antara masing-
masing pemeluk agama.
Bermula dari ikatan tali kasih
dan tali sayang, kita rajut
kerukunan dan kedamaian.”
•LIBERALISASI KONSEP
AL-QURAN DAN TAFSIR AL-
QURAN
• Pada 5 Mei 2006, Sulhawi
Ruba, 51 tahun, dosen
mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam, di
hadapan 20 mahasiswa
Fakultas Dakwah,
menerangkan posisi Al-
Quran sebagai hasil
budaya manusia.
•"Sebagai budaya,
posisi Al-Quran
tidak berbeda
"Sebagai budaya,
dengan rumput."
Al-Quran tidak sakral.
Yang sakral
adalah kalamullah
secara substantif.”
•Ia lalu menuliskan lafaz Allah
pada secarik kertas sebesar
telapak tangan dan
menginjaknya dengan
sepatu. "Al-Quran dipandang
sakral secara substansi, tapi
tulisannya tidak sakral,"
katanya setengah berteriak,
dengan mata yang sedikit
membelalak.
Tujuan mata kuliah
Hermeneutika menjadi “Hermeneutika dan Semiotika”
Mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadis
Di Perguruan Tinggi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Sebagai alternatif metode Universitas Islam Negeri
Penafsiran al-Quran Jakarta:

“Mahasiswa dapat
menjelaskan dan
menerapkan ilmu
Hermeneutika dan
Semiotika terhadap
kajian al-Qur’an dan
Hadis”. (Referensi yang
dianjurkan: (1) Josef Bleicher,
Contemporary Hermeneutics:
Hermeneutics as Method,
Philosophy and Critique, (2)
Umberto Eco, Semiotics and the
Philosophy of Language, (3) H.G.
• “Baruch Spinoza (1632-77)… had
become the pioneer of the
historical-critical method that
would later be called the Higher
Criticism of the Bible.” (Karen
Armstrong, The Bible, New York:
Atlantic Monthly Press, 2007), p.
186).
• Friedrich Schleirmacher (1768-1834) was
initially disturbed that the Bible seemed
such a flawd document… Scripture was
essential to the Christian life because it
provided us with our only access to Jesus.
But because its authors were conditioned
by the historical circumstances in which
they lived, it was legitimate to subject their
testimony to critical scrutiny. The life of
Jesus had been a divine revelation, but the
writers who recorded it were ordinary
human beings, subject to sin and error. It
was quite possible that they had
mistakes… The scholar’s task was to peel
away its cultural shell to reveal the timeless
kernel within. Not every word of scripture
was authoritative, so the exegete must
Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid:
• “When we take the historical aspect
of that communication as divine, we
lock God’s Word in time and space.
We limit the meaning of the Qur’an
to a specific time in history.” (Jika
kita memandang aspek sejarah
dalam proses komunikasi itu sebagai
hal yang suci, maka kita telah
mengunci kata-kata Tuhan dalam
waktu dan ruang. Kita membatasi
makna al-Quran pada kurun eaktu
tertentu dalam sejarah). (Voice of an
Exile).
TERIMAKASIH, ILA AL-LIQA’….,
MAAF JIKA ADA KEKURANGAN…

•Disampaikan dalam acara pelatihan nasional


•MTDK Muhammadiyah, Purworejo,
4 Juli 2008.

You might also like