You are on page 1of 5

Demokrasi dan Ideologi Kita Diterbitkan Juli 7, 2011 Tag:Demokrasi dan Ideologi Kita, Marwan Jafar Oleh Marwan

Jafar Kewibawaan Pancasila sebagai ideologi belakangan ini dirasakan menyusut atau tergerus, bahkan kerap pula dilecehkan.Terutama dengan bangkitnya kelompok- kelompok keagamaan yang puritan dan radikal. Sontak, meruyak saling silang pandangan sebagai bentuk keprihatinan atas kemerosotan ideologi Pancasila.Kenyataan ini mungkin bisa dimiripkan dengan yang terjadi di Timur Tengah yang kini sedang bergolak. Islam yang menjadi agama resmipada banyak negeri di Timur Tengah ternyata belum mampu menjadi elan vital dalam mempersatukan mereka, tetapi kerap membuat pertikaian dengan munculnya banyak faksi. Bukan maksud menyamanyamakan Pancasila dengan Islam dalam melihat fenomena di negeri kita dan Timur Tengah saat ini. Kebetulan saja, dua negeri tersebut tengah mengalami nasib kemerosotan dalam memaknai urgensitas reformasi dengan visi nasional masing-masing yang berkait dengan pemaknaan terhadap ideologi. Dan, bagi bangsa kita tentu tidak fairmempersamakan Pancasila dan Islam, sebab ada wilayah tersendiri yang membatasikeduanya. Tetapi, bukan pula lantas tidak bisa mempertemukan Pancasila dan Islam. Di negeri kita, persoalan Pancasila dan Islam sudah selesai dan kalangan mayoritas muslim sudah menganggap NKRI dan Pancasila sudah harga mati. Dalam hal ini,yang lebih penting adalah meneropong kembali jalannya demokrasi sembari menekuri keberadaan ideologi. Kebersatuan dalam Ideologi Demokrasi kini telah menjelma menjadi paham politik universal, yang secara realitas telah dapat diterima dalam beraneka ragam perspektif. Kebangkitan demokrasi di negara kolonialis dan koloni jajahannya jugalah yang menjadi bahan bakarKebangkitan Nasional. Bagaimana dengan ideologi? Kita tidak bisa tergesagesa menganggap enteng makna dan pengaruh kekuatan ideologi. Terbukti dalam sejarah, banyak negara besar melesat naik, tetapi kemudian ambruk, antara lain lantaran basis keberadaannya lapuk dan terkoyak. Betapa pentingnya ideologi sampai-sampai menggiring dunia ke dalam konflik besar pada tingkat global. Perang Dingin,menyusul usainya Perang Dunia II sampai awal dasawarsa 1990- an, terlihat kentara masih pentingnya ideologi. Kita ingat, pernyataan Daniel Bell pada 1950-an tentang tamatnya ideologi (the end of ideology).Pernyataan tersebut ternyata tidak menjelaskan masalah secara substansial. Pernyataan tersebut mesti dilihat lebih bersifat provokatif ketimbang menjelaskan realitas. Setelah pernyataan itu mencuat, faktanya persoalan ideologi masih terus berlangsung hingga saat ini dan bahkan menemukan momentum kebangkitannya di tengah hiruk-pikuk globalisasi dan kompetisi mondial. Ideologi adalah sebuah landasan perjuangan, sebuah kerangka konseptual, yang mampu mempertebal semangat, mempertebal loyalitas, serta dedikasi terhadap perjuangan itu sendiri. Manakala kita bicara tentang gagasan dasar serta ideologi di dalam konteks kekinian, kita tidak ingin mengulang kembali suatu ekses-ekses yang terjadi dalam beberapa tahap dalam sejarah di masa lalu,baik di masa Orde Lama ataupun di masa Orde Baru. Artikel Pengamat Ditutup

Bangsa Indonesia sudah berjalan begitu jauh dan belajar untuk tidak kembali terperosok ke dalam jurang yang sama,yakni di satu pihak mendewakan ideologi, serta di pihak lain memaksakan dan menafsirkan ideologi secara kaku dan tertutup. Di dalam era demokrasi, kita harus menganut sebuah ideologi yang terbuka dengan tingkat fleksibilitas yang memadai, untuk menyerap keragaman dan tuntutan dari perkembangan zaman. Meski demikian,filosofi dasar,paham fundamentalnya, serta citacita luhur yang terkandung di dalam sebuah visi dan ideologi harus terus kita abadikan di dalam konteks apa pun. Inilah yang sesungguhnya mempertautkan kita dengan sejarah yang dalam ungkapan besar disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia. Dengan visi dan ideologi yang jelas, suatu bangsa akan berjalan ke tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana sebuah kapal berlayar dengan arah yang pasti. Parasit Demokrasi Jacques Derrida dalam Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International (1994) pernah menyebutkan istilah hantu sebagai segala bentuk spirit atau kekuatan dari sebuah sistem,ideologi atau rezim yang menunjukkan kembali kekuatan pengaruhnya dalam sistem atau rezim demokratis yang baru. Menurutnya,hantuhantu itu hadir dengan cara menumpang dalam sistem sebagai parasit,yang mengancam keberlanjutan sistem itu. Hantu-hantu itu bisa menyosok dalam bentuk totalitarianisme, fundamentalisme, anarkisme, serta informasionisme dengan cara manipulasi citra. Hal ini justru akan mengancam demokrasi sendiri karena mengidap keruntuhan dalam memaknai kebenaran. Nah, proses demokratisasi yang tengah berlangsung di bangsa ini jangan sampai ditumpangi atau dibayangbayangi oleh hantu-hantu tersebut yang justru hanya akan menyebabkan negara berjalan lamban, kisruh, dan terancam masa depannya. Kita tidak boleh bersikap anything goes,semua boleh. Ideologi pada tataran normatif membutuhkan juga suatu pandangan pada tingkat operasionalisasi.Visi dan ideologi yang berhenti pada tataran normatif akan menjadi sebuah dogma yang mati, dogma yang melayang di langit tanpa kaki untuk membumi dan mengarahkan serta membuat sejarah. Kita harus menghubungkan langit dengan bumi. Dan, jembatan ini adalah satu tataran ideologi yang bersifat operasional. Akhirnya, keindonesiaan harus berkaitan dengan keterbukaan yang kreatif, toleransi yang ramah, penghargaan pada ilmu pengetahuan, penghargaan pada kejujuran, pada keteguhan, pada kesungguhan, serta yang sangat penting adalah kecintaan pada Tanah Air yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Di sinilah, kita merasakan pentingnya kekuatan ideologi untuk mempersatukan keragaman serta mewaspadai segala hal yang akan mencederai demokrasi. . (Sumber: Harian Seputar Indonesia, 6 Juli 2011)

Pancasila dan Sokoguru Demokrasi Jakarta | Rabu, 25 May 2011 M. Yamin Panca Setia Iding R. Hasan*

Pembicaraan tentang pentingnya Pancasila dengan segenap nilai-nilainya dalam konteks kehidupan kebangsaan dan kenegaraan beberapa waktu belakangan ini ramai diangkat di berbagai forum. Pancasila, yang sejak masa reformasi hingga saat ini seolah telah terpinggirkan dalam dinamika kehidupan negeri ini, kini agaknya mulai dirindukan kembali kehadirannya. Realitas ini tampaknya dipicu oleh berbagai peristiwa di bumi Indonesia yang memperlihatkan dengan gamblang betapa masyarakat di republik ini telah kehilangan jiwa Pancasilanya. Berbagai fenomena kekerasan dan tindakan anarkis di kalangan masyarakat Indonesia yang dalam derajat tertentu kerap mengakibatkan korban jiwa merupakan petanda betapa nilai-nilai humanisme yang diusung Pancasila tidak lagi menjadi spirit kehidupan mereka. Dan fenomena yang paling mutakhir dan sekaligus sangat mengkhawatirkan adalah munculnya gerakan radikalisme antara lain organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang telah berhasil "menyeret" sebagian masyarakat Indonesia. Ideologi yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mendirikan negara Islam ini jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi NII bahkan disinyalir telah memasuki ranah pendidikan, baik pada tingkah sekolah maupun perguruan tinggi, yang notabene diisi generasi muda penerus bangsa, sehingga ini merupakan ancaman yang sangat serius. Dari berbagai peristiwa di atas timbullah kembali kesadaran di kalangan sebagian masyarakat Indonesia bahwa Pancasila sesungguhnya sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk menangkal berbagai macam ancaman yang justeru berasal dari kalangan internal sendiri.

"Korban" Reformasi Sebagaimana diketahui bahwa sejak runtuhnya rejim Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998 berbagai hal yang terkait dengan rejim ini diubah sedemikian rupa. Mulailah bangsa Indonesia memasuki era reformasi yang melakukan banyak perubahan fundamental, baik yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan maupun kehidupan politik secara umum. Salah satu hal yang menjadi "korban" reformasi tersebut adalah Pancasila dan hal-hal yang terkait dengannnya. Jika di masa Orde Baru Indonesia memiliki Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang bertugas untuk mengatur dan mengoordinasikan kegiatan sosialisasi Pancasila dari pusat sampai daerah, maka lembaga tersebut kini telah dihapuskan. Begitu pula penyelenggaraan penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) baik di kalangan perguruan tinggi maupun masyarakat dihapus. Bahkan mata kuliah seperti Filsafat Pancasila, Kewiraan untuk tingkat perguruan tinggi dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk tingkat sekolah juga dihapus. Yang tersisa adalah Civic Education untuk kalangan kampus dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk anak-anak sekolah.

Para pengusung reformasi melihat dengan jelas berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan Pancasila. Proses penanaman nilai-nilai Pancasila, misalnya, dilakukan secara indoktrinatif yang menekankan komunikasi satu arah (one way communication) sehingga masyarakat hanya sekadar menerima secara apa adanya (taken for granted) tanpa diberikan peluang untuk melakukan kritisisme. Tidak ada proses dialogis apalagi perdebatan seru. Sementara pada level kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, Pancasila digunakan penguasapenguasa Orde Baru sebagai alat politik untuk menakuti-nakuti warga demi melanggengkan kekuasaan mereka. Penguasa Orde Baru, misalnya, dengan mudah memberikan cap atau label kepada orang-orang yang tidak disukainya sebagai anti Pancasila atau tidak Pancasilais. Realitas seperti inilah yang tampaknya dipandang oleh para pengusung reformasi sebagai bentuk penyimpangan sehingga Pancasila kemudian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang esensial. Maka sejak era reformasi pembicaraan-pembicaraan tentang Pancasila jarang terdengar seolah raib dari benak masyarakat Indonesia. Namun setelah reformasi berlangsung selama tiga belas tahun suara kerinduan masyarakat terhadap Pancasila kembali menguat.

Sokoguru Demokrasi Pertanyaannya adalah masihkah Pancasila relevan untuk kehidupan politik Indonesia yang kini dianggap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India? Dengan kata lain, bagaimanakah sebenarnya memosisikan Pancasila dengan demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa Indonesia? Menurut hemat penulis, demokrasi yang berasal dari Barat (kapitalisme-liberal) justeru harus diadaptasikan dengan ruang di mana demokrasi itu ingin diterapkan sehingga terjadi kontekstualisasi demokrasi. Untuk kasus Indonesia yang heterogen, dari segi agama, suku, bahasa dan sebagainya, Pancasila sesungguhnya merupakan pilihan paling pas sehingga bisa menjadi sokoguru demokrasi untuk dikontekstualisasikan di negeri ini. Kelima sila yang terdapat di dalam Pancasila kalau dibedah satu persatu jelas bisa menjadi spirit demokrasi, terutama untuk diterapkan di negara Indonesia. Ketuhanan atau spiritualitas, kemanusiaan atau humanisme, keragaman, musyawarah dan keadilan adalah prinsip utama dari demokrasi. Jika kelima prinsip tersebut mampu diejawantahkan oleh segenap elemen bangsa, besar kemungkinan berbagai kasus kekerasan, radikalisme dan sebagainya tidak akan terjadi di republik ini. Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila(2011) secara tegas mengatakan bahwa Pancasila merupakan jatidiri kebangsaan Indonesia, karena itu upaya pencarian terhadap akar sejarah bangsa, dalam hal ini dengan menggali kembali nilai Pancasila, harus terus dilakukan. Tidak ada satupun negara yang dapat maju kecuali bangsa yang bisa menemukan kembali jatidirinya dengan menggali kembali akarakar sejarah bangsanya. Pengalaman-pengalaman bangsa lain seperti Eropa yang berakar pada perdebatan filsuf Yunani Kuno, India dengan salah satu karya monumentalnya "Rewriting India" pada 1979 dan Jepang dengan akar restorasi Meiji sesungguhnya bisa menjadi inspirasi yang berharga. Maka, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk merevitalisasi dan mereaktualisasikan nilainilai Pancasila sebagai akar kebangsaan negeri ini sehingga ia akan menjadi sokoguru dari demokrasi yang tengah berlangsung. Namun, tentu upaya tersebut harus dilakukan dengan

formulasi dan metode baru yang berbeda dengan yang pernah dilakukan rejim Orde Baru. Menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang perlu ditekankan dalam konteks ini. Pertama, pengkajian dalam rangka menggali akar kebangsaan Indonesia di dalam Pancasila mesti dilakukan secara ilmiah sehingga pemahaman-pemahaman yang muncul bersifat rasional. Bung Karno sebagai pencetus Pancasila pada 1 Juni 1945 sendiri sebenarnya sampai pada pemikiran brilian tersebut melalui penelusuran ilmiah. Maka, sudah bukan masanya lagi memandang Pancasila sebagai mitos yang dianggap suci atau keramat sehingga mengakibatkan ketakutan bagi siapapun yang hendak mengkajinya seperti di masa lalu. Kedua, menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan adanya tafsiran yang tidak seragam. Kesalahan Orde Baru adalah mencoba melakukan hegemonisasi makna dengan penafsiran tunggal terhadap Pancasila, sehingga penafsiran yang benar hanyalah versi pemerintah. Supaya tidak terjadi lagi hal seperti itu, maka proses penanaman ideologi Pancasila untuk saat sekarang harus bersifat dialogis dan terbuka. Ketiga, seandainya pun diperlukan lembaga seperti BP7 untuk sosialiasi Pancasila dan pilar kebangsaan lainnya, maka tugasnya tidak lagi bersifat sentralistik dari pusat sampai daerah. Cukuplah BP7 sebagai koordinator, sementara daerah diberikan keleluasaan untuk melakukan tugasnya. Yang paling penting, jangan sampai lembaga ini menjadi penafsir tunggal terhadap Pancasila karena itu akan menjadi awal penyimpangan. Dengan demikian, kalau Pancasila ditempatkan pada posisinya yang tepat dan diperlakukan secara tepat pula, maka ia akan menjadi sokoguru demokrasi yang saat ini telah menjadi pilihan seluruh anak bangsa.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.

You might also like