You are on page 1of 32

RUMAH TRADISIONAL PAGERNGUMBUK, WONOAYU

Dosen :

Ami Arfianti, ST. MT.


Disusun oleh : Eka SuryaWulan F / 0851010001 Lili Indah Aryani / 0851010027 Yenny Triswanti / 0851010040 Yoerina Dwi O / 0851010045 Raflesia Mahendra /0851010051 Lucky M / 0851010093

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR 2011

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami telah dapat menyusun tugas portofolio ini dengan judul : RUMAH TRADISIONAL PAGERNGUMBUK, WONOAYU Seiring dengan perkembangan lingkungan, IPTEK, serta sosial budaya yang begitu kompleks, portofolio ini disusun agar dapat membantu sebagai pengetahuan dan mampu berperan serta dalam setiap perkembangan di era globalisasi. Kami menyadari bahwa tersusunnya portofolio ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak dan sumber-sumber tertentu. Semoga portofolio ini dapat memberi kontribusi bagi kemajuan pendidikan dan peradaban dalam masyarakat serta bagi perkembangan umumnya. Akhirnya segala kritik dan saran terhadap portofolio ini sangat kami harapkan, demi untuk perbaikan pada penyusunan portofolio berikutnya nanti.

Surabaya, 16 Juli 2011 Penyusun

ii 2

DAFTAR ISI

KATA ii DAFTAR iii BAB 1 LATAR 1 TUJUAN 2 BAB 3 TINJAUAN 3 Filosofi 3 Konstruksi Rumah Tradisional Rumah Tradisional II TINJAUAN I

PENGANTAR

ISI

PENDAHULUAN

BELAKANG

OBYEK

UMUM

jawa

Jawa

iii 3

5 Konsep 7 Orientasi 9 Teras 11 Pringgitan 12 Dalem 12 Gandhok 13 Teori 13 TINJAUAN 14


a.

Ruang

dan

Konfigurasi

Ruang

dan

Pendopo

Ageng

dan

Pawon

Ruang

pada

Rumah

Tradisional

Jawa

KHUSUS

Lokasi 14

Obyek

b.

Sejarah 15
4

Kawasan

Obyek

c.

Filosofi 15

Obyek

d.

Ekspresi 17
e.

Formal

Space 23 PENUTUP 24

and

Place

BAB I PENDAHULUAN

I.I. LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (kejawen) sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti: mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan antara kawulo dan gusti), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya (hubungan antara microcosmos dan macrocosmos). Kebutuhan hidup manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: pangan, sandang dan papan.Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual, rohaniah dan simbolik. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan papan, bagi orang Jawa diartikan sebagai kebutuhan akan: longkangan (ruang), panggonan (tempat untuk menjalani

kehidupan), panepen (tempat kediaman /settle -ment) dan palungguhan (tempat duduk/berinteraksi). Selain itu rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang bahwa dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial ekonominya. Konsep ruang tidak seperti yang dimiliki oleh konsep ruang barat tetapi lebih berwatak tempat (place) yang sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu dan ritual. Ruang yang terjadi memiliki hirarkhi ruang yang ditata secara unik dengan menggunakan aspek pencahayaan. Rumah tradisi Jawa juga memiliki beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hirarki ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang bersifat umum, semakin ke dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang disebut teras merupakan ruangan terbuka tanpa atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai area peralihan dari luar ke dalam rumah. Tak jauh beda dengan arsitektur rumah Jawa Timur juga hampir sama dengan arsitektur Jawa secara keseluruhan. Sama-sama masih menggunakan joglo seperti di kawasan Jawa Tengah. I.II. TUJUAN Adapun tujuan dari disusunnya laporan ini ialah a. Mengenalkan kepada masyarakat umum tentang arsitektur tradisional/local Jawa khususnya jawa timur. b. Melestarikan arsitektur local di kawasan jawa Timur dari segi filosofi maupun arsitekturalnya.

BAB II TINJAUAN OBYEK

I.II.I.TINJAUAN UMUM II.I.I. Filosofi Rumah Tradisional Jawa ` Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang bersifat konkret. Dalam kontruksinya, setiap bagian/ruang dalam rumah adat sarat dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan rumah tradisi Jawa. Konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi setiap bagian yang berbeda satu sama lain mengandung unsur filosofis yang yang sarat dengan nilai-nilai religi, kepercayaan, norma dan nilai budaya adat etnis Jawa. Selain itu, rumah tradisi Jawa memiliki makna historis yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Akibat perubahan masyarakat dewasa ini, tradisi-tradisi lama cenderung ditinggalkan. Hal ini terjadi akibat perubahan pola pikir yang didukung oleh perubahan sosial dan lingkungan masyarakat. Begitu pula dengan rumah tradisi yang semakin jarang ditemukan. Di perkotaan pada umumnya, masyarakat lebih nyaman membangun rumah dengan konsep modern atau tinggal di perumahan dan apartemen. Tidak hanya

di kota, masyarakat pedesaan pun mulai merubah tempat tinggalnya menjadi bangunan modern. Perubahan tersebut tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Maka tidak mengherankan apabila generasi muda etnis Jawa sendiri tidak mengenal secara mendalam tentang rumah adat Jawa. Selain sulit untuk menemukan rumah tersebut di lingkungan tempat tinggalnya, sedikit sekali sumber informasi yang bisa mereka peroleh. Banyak bangunan bernilai historis berarsitektur Jawa maupun etnis lain yang tidak terpelihara atau bahkan dibongkar karena tidak dapat difungsikan lagi dan diganti dengan gedung/bangunan modern. Rumah tradisi Jawa masih bisa ditemukan pada Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. berciri tropis sebagai upaya penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang beriklim tropis. Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi tersebut dengan membuat teras depan yang luas, terlindung dari panas matahari oleh atap gantung yang lebar, mengembang ke segala sudut yang terdapat pada atap joglo (Indrani, 2005: 47). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 2) Rumah tradisi Jawa yang bentuknya beraneka ragam mempunyai pembagian ruang yang khas yaitu terdiri dari pendopo, pringgitan, dan dalem. Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur, bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi pengantin baru (Widayat, 2004: 7). Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa. Rumah tradisi Jawa banyak mempengaruhi rumah tradisi lainnya, diantaranya rumah abu (bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai rumah sembahyang dan rumah tinggal untuk menghormati leluhur etnis Cina). Oleh

karena itu, struktur rumah abu memiliki banyak persamaan dengan rumah tradisi Jawa dalam berbagai segi. Tulisan ini akan mengungkap konstruksi rumah tradisi Jawa secara fisik dan meninjaunya dari segi filosofis masyarakat Jawa. Bangunan atau rumah tradisi tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal tetapi juga diharapkan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuninya melalui pernggabungan unsur makrokosmos dan mikrokosmos di dalam rumah tersebut. Dengan demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai dan membawa dampak positif bagi penghuninya. Mendalami unsur filosofi dalam rumah tradisi Jawa membuka kemungkinan usaha generasi muda sebagai pewaris kebudayaan di masa yang akan datang untuk memelihara dan melestarikan warisan generasi pendahulunya. Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu : 1. Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri 2. Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.

II.I.II. Konstruksi Rumah Tradisi Jawa Rumah tradisi Jawa mengalami beberapa fase perubahan yang panjang. Salah satunya adalah bangunan rumah Jawa yang terdapat pada relief-relief Candi Borobudur berbentuk rumah panggung (Widayat, 2004: 4). Menurut Dakung (1982), Ismunandar (1986), Hamzuri (tanpa tahun), bersumber dari Mintobudoyo, bahwa ada 5 bentuk dasar rumah Jawa yaitu Panggang Pe, Kampung, Limasan,Joglo dan Tajug seperti pada gambar 2. Bentuk yang paling sederhana adalah bentuk Panggang Pe, terdiri dari satu ruangan terbuka dengan atap satu bidang datar yang dipasang miring satu arah. Penggunaan rumah bentuk ini sifatnya sementara misalnya sebagai tempat istirahat petani di sawah.

Gambar 1. Rumah Tinggal Tradisional Jawa

Pengertian rumah bagi orang Jawa dapat ditelusuri dari kosa kata Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1984) dan Santosa (2000) kata omah-omah berarti berumah tangga, ngomahake membuat kerasan atau menjinakkan, ngomahngomahake menikahkan, pomahan pekarangan rumah, pomah penghuni rumah betah

10

menempati rumahnya. Sebuah rumah tinggal Jawa setidak-tidaknya terdiri dari satu unit dasar yaitu omah yang terdiri dari dua bagian, bagian dalam terdiri dari deretan sentong tengah, sentong kiri, sentong kanan dan ruang terbuka memanjang di depan deretan sentong yang disebut dalem sedangkan bagian luar disebut emperan.

Gambar 2. Tipologi Rumah Tinggal Tradisional Jawa

Rumah tinggal yang ideal terdiri dari 2 bangunan atau bila mungkin 3, yaitu pendopo dan peringgitan, bangunan pelengkap lainnya adalah gandok, dapur, pekiwan, lumbung dan kandang hewan

Gambar 3. Skema Rumah Tradisional Jawa

11

II.I.III. Konsep Ruang Konsep ruang dalam pandangan barat berasal dari dua konsep klasik yang bersumber pada filsafat Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles, menyatakan bahwa ruang adalah suatu medium dimana objek materiil berada, keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi objek materiil tersebut (konsep position-relation). Konsep yang kedua dari Plato kemudian dikembangkan oleh Newton yaitu konsep displacement-container yang melihat ruang sebagai wadah yang tetap, jadi walaupun objek materiil yang ada didalamnya dapat disingkirkan atau diganti namun wadah itu tetap ada (Munitz,1951). Kedua konsep tersebut mendasari pandangan Barat yang melihat ruang dari dimensi fisiknya yaitu suatu kesatuan yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi atau kedalaman, dengan demikian ruang mempunyai sifat yang terukur dan pasti. Ini dipertegas oleh Descartes dengan konsep Cartesian space yang memilah-milah ruang kedalam bentuk-bentuk geometris seperti, kubus, bola, prisma, kerucut atau gabungan dari bentuk-bentuk geometris tersebut (Van de Ven, 1978). Konsep ruang barat ini banyak sekali dipakai oleh para arsitek masa kini. Nama ruang pada rumah tinggal modern mencerminkan secara jelas fungsifungsi untuk pemenuhan kebutuhan fisik-biologis. Fungsi-fungsi yang mencerminkan kebutuhan sosial dan ungkapan budaya kurang diperhatikan karena penataan ruangruang tersebut lebih menekankan aspek ekonomis (efisiensi) dan teknis (Tjahjono,1989). Demikian pula dengan pembatas halaman pada rumah tinggal modern dipergunakan pagar-pagar besi yang tinggi sehingga membuat pemisahan teritorial yang tegas sehingga mempunyai kesan tertutup, tidak komunikatif dengan tetangga. Konsep ruang dalam rumah tinggal menurut tradisi arsitektur Jawa pada kenyataannya berbeda dengan konsep ruang menurut tradisi Barat. Tidak ada sinonim kata ruang dalam bahasa Jawa, yang mendekati adalah Nggon, kata kerjanya menjadi Manggon dan Panggonan berarti tempat atau Place. Jadi bagi orang Jawa lebih tepat pengertian tempat dari pada ruang (Tjahjono,1989, Setiawan,1991). Rumah tinggal bagi orang Jawa dengan demikian adalah tempat atau tatanan tempat, konsep ruang geometris tidak relevan dalam pengertian rumah tinggal Jawa. Pengertian tempat lebih

12

lanjut dapat dilihat pada bagian-bagian rumah tinggal orang Jawa. Pada rumah induk (omah) istilah dalem dapat diartikan sebagai keakuan orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku) dalam bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa terletak pada kesatuan dengan Illahi yang diupayakan msepanjang hidupnya dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan selalu memperdalam rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan sebagai mahluk (Magnis Suseno,1984). Sentong tengah yang terletak dibagian Omah merupakan tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan menyatu dengan Illahi sedangkan Pendopo merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan sesama manusianya (Priyotomo,1984). Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini mencakup aspek tempat, waktu dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat menyatunya jagad-cilik (micro cosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagad-gede (macro-cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago mundi (Eliade,1957) dan memenuhi aspek kosmos dan pusat (Tjahjono,1989), lihat gambar 5.

Gambar 4. Urutan Tingkat Kesakralan dan Cahaya Dalam Ruang (Gunawan Tjahjono, 1981)

II.I.IV. Orientasi dan Konfigurasi Ruang

Rumah tinggal di daerah Yogyakarta dan Surakarta kebanyakan memiliki orientasi arah hadap ke Selatan. Orientasi ini menurut tradisi bersumber pada kepercayaan terhadap Nyai Roro Kidul yang bersemayam di Laut Selatan. Demikian juga dengan arah tidur (Wondoamiseno dan Basuki, 1986). Namun rupanya makin
13

jauh dari pusat keraton (kebudayaan Jawa) kebiasaan ini makin ditinggalkan, seperti yang terjadi di daerah Somoroto, Ponorogo (Setiawan,1991). Dalam primbon Betaljemur Adammakna bab 172 dipaparkan juga cara penentuan arah rumah yang diperhitungkan berdasarkan hari pasaran kelahiran pemilik rumah berkaitan dengan arah ke empat penjuru angin. Konfigurasi ruang atau bagian-bagian rumah orang Jawa di desa membentuk tatanan tiga bagian linier belakang. Bagian depan pendopo, di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan terdalam adalah dalem. Konfigurasi linier ini memungkinkan membuat rumah secara bertahap dengan bagian dalem dibangun terlebih dahulu. Luas pendopo pada rumah tinggal orang Jawa kenyataannya cukup luas. Hal ini terjadi karena diprediksikan dapat menampung sanak-sedulur atau kindred pada hari raya Idul Fitri dimana semua anak cucu dan para kerabat akan datang. Selain itu pendopo mempunyai fungsi untuk pengeringan padi. Pada konfigurai ruang rumah Jawa dikenal adanya dualisme (oposisi binair), antara luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat placenta yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan sentong kiri. Pembagian dua ini juga terjadi pula pada saat pagelaran wayang, dimana layar diletakkan sepanjang Peringgitan, dalang dan perangkatnya di bagian pendapa dengan penonton laki-laki sedangkan perempuan menonton dari bagian belakang (bayangannya) dibagian Emperan rumah, lihat gambar.

14

Gambar 5. Posisi Pagelaran Wayang

Demikian juga pada saat pernikahan dilakukan tatanan pengantin di depan sentong tengah dan para tamu dibagi menjadi 2 bagian antara tamu laki-laki dan tamu perempuan. Rupa bangunan rumah tinggal tradisional Jawa didominasi oleh bentuk atapnya. Ada 3 bentuk dasar atap yaitu Kampung, limasan dan joglo yang disebut bucu di daerah ponorogo (Setiawan,1991). Panggang Pe tidak termasuk dalam kategori ini karena umumnya bersifat sementara dan Tajug umumnya untuk mesjid. Badan bangunan terdiri dari tiang-tiang kayu yang berukuran kecil antara 5 cm sampai dengan 20 cm, berdiri bebas tanpa dinding karena itu ruangnya terbuka (pendopo). Ukuran tinggi badan mulai dari bangunan muka lantai sampai garis atap terendah dibandingkan tinggi atap mulai dari garis atap terendah sampai puncak atap (molo) kira-kira 1:3 sampai 5 pada atap limasan dan bucu, karena badan bangunan pendek, terbuka dan berkesan ringan sedangkan atap menjulang tinggi, masif dan terkesan berat maka bentuk atap menjadi dominan.

15

Untuk ornamentatif dekoratif, bangunan di pusat kebudayaan Jawa yaitu di keratin mempunyai banyak ragam hias flora yang diwarnai merah, hitam, hijau, putih dan kuning keemasan sedangkan pada daerah pinggiran kebudayaan Jawa pada umumnya rumah tinggalnya sangat sedikit sekali diberikan ornamentatif dan dekoratif dan warna yang digunakan lebih natural. II.I.V. Teras dan Pendopo Di bagian depan, rumah tradisi Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap dan pendopo (pendhapa) yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru) yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan menerima tamutamunya. Bentuk pendopoumumnya persegi, di mana denah berbentuk segi empat selalu diletakkan dengan sisi panjang ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang ke arah dalam tetapi melebar ke samping (Indrani, 2005: 7). Pendopo pada rumah Jawa terbuka tanpa pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan sikap keterbukaan pemilik rumah terhadap siapa saja yang datang. Pendopobiasanya dibangun lebih tinggi dari halaman, ini dimaksudkan untuk memudahkan penghuni menerima tamu, bercakap-cakap sambil duduk bersila di lantai beralas tikar sesuai tradisi masyarakat Jawa yang mencerminkan suasana akrab dan rukun. Bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam dimana keberadaan pendoposebagai perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat Jawa. Pendopotidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendopo merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.

II.I.VI. Pringgitan Ruang yang masih berfungsi sebagai ruang publik adalah ruang peralihan dari pendopomenuju ke dalem ageng disebut pringgitan, yang juga berfungsi sebagai tempat mengadakan pertunjukan wayang kulit pada acara-acara tertentu.

16

Pringgitanmemiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat). II.I.VII. Dalem Ageng Semakin masuk ke bagian dalam rumah tradisi Jawa, semakin menunjukkan hirarki dalam pola penataan ruangnya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, semakin masuk ke bagian belakang ruangan tersebut bersifat khusus (pribadi/privat). Bagian dalam dari rumah tradisi Jawa disebut dalem ageng. Ruangan ini berbentuk persegi yang dikelilingi oleh dinding pada keempat sisinya. Dalem ageng merupakan bagian terpenting dalam rumah tradisi Jawa sebab di dalamya terdapat tiga senthong atau tiga kamar. Tiga senthong tersebut dinamakan senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Senthong tengah dinamakan juga krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya. Sedangkan senthong kiwa dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga. Senthong kiwa merupakan ruang tidur anggota keluarga laki-laki dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga perempuan. Berikut ini denah pembagian ruangan dalam rumah tradisi Jawa
Keterangan: 1. Pendhapa 2. Pringgitan 3. Dalem a. Senthong kiwo b. Senthong tengah c. Senthong tengen 4. Gandhok dan pawon.

Gambar 6. Denah pembagian ruang rumah tradisi 17

Jawa (Wibowo, 1987).

II.I.VIII. Gandhok dan Pawon Ruangan di bagian belakang dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan kanan pringgitan dan dalem. Juga terdapat pawon yang berfungsi seagai dapur dan pekiwan sebagai wc/toilet. Ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruanganruangan utama, apalagi dari ruangan yang bersifat sakral/suci bagi penghuninya. Pola organisasi ruang dalam rumah tradisi Jawa dibuat berdasarkan tingkatan atau nilai masing-masing ruang yang terurut mulai dari area publik menuju area private atau sakral. Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed ended plan yaitu simetris keseimbangan yang berhenti dalam suatu ruang, yaitu senthong tengah (Indrani, 2005: 11). II.II.Teori Ruang pada Rumah Tradisional Jawa Konsep ruang dalam konteks budaya Jawa banyak dipengaruhi oleh kepercayaan terdahulu dan secara konkret sering dihubungkan dengan tempat (place). Nama-nama ruang menunjukkan keadaan spesifik masing-masing ruang yang berhubungan dengan ciri fisik, fungsi, hubungan, letak atau posisi (Tjahjono, 1990:71). Menurut Tjahjono (1990), jenis ruang pada rumah tradisional Jawa yang lengkap terdiri atas Pendopo (ruang pertemuan), Pringgitan (ruang pertunjukan) dan Dalem (ruang inti keluarga). Pada rumah Kampung atau Limasan umumnya tidak memiliki pendapa dan pringgitan, sehingga rumah terdiri atas dalem saja. Dalem terdiri atas emperan, bagian tengah yang dibiarkan kosong dan senthong. Senthong terdiri atas Senthong Kiwo, Senthong Tengen dan Senthong Tengah. Dalem merupakan bagian terpenting, dimana keluarga hidup dan melakukan kegiatan seharihari. Susunan ruang dalem dapat terdiri dari 2 bagian (depan-belakang) pada rumah Kampung dan Limasan serta 3 bagian (depan-tengahbelakang) pada rumah Joglo. Hierarki ruangnya memperlihatkan adanya gradasi berurut dari depan ke belakang. Organisasi ruangnya menganut pola closed ended plan, yaitu simetri keseimbangan yang berhenti pada suatu ruang, dalam hal ini senthong tengah (Wiryoprawiro, 1986).
II.II. TINJAUAN KHUSUS II.II.I. RUMAH TRADISIONAL PAGERNGUMBUK, JAWA TIMUR

a.

Lokasi Obyek
18

Desa Pagerngumbuk lokasinya cukup jauh dari jalan utama (jalan jalur luar kota), karena harus melewati rel kereta api yang letaknya 800 m dan masih harus melalui jalan yang sepanjang sisi kirinya ialah sawah hijau. Desa Pagerngumbuk ini terdiri dari 3 dusun, yaitu dusun pager, dusun ngumbuk, dan dusun mbendet. Batas wilayah desan ini ialah Utara Selatan Timur Barat : berbatasan dengan desa Candinegoro : berbatasan dengan desa Wonoayu : berbatasan dengan desa Mulyodadi : berbatasan dengan desa Wonokalang

Gambar 7. Lokasi desa Pagerngumbuk, Wonoayu

Kondisi jalan di kawasan ini beraspal namun tidak begitu rata, dengan kondisi aspal sekitar 70%. Rumah yang akan kita bahas adalah rumah tradisional yang berada di desa Pagerngumbuk, kecamatan Wonoayu, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lokasi ke desa ini cukup memakan waktu dikarenakan lokasinya yang cukup jauh ke dalam apabila kita berada di jalan raya utama depan. Rumah ini milik Bapak Mulyorejo, dibangun sejak tahun 1937 dengan luas tanah 360 m2
b.

Sejarah Kawasan Obyek Kawasan Wonoayu ini tidak seberapa mempunyai sejarah batau mitos yang

dianut masyarakat. Namun mayoritas mata pencaharian masyarakat disini ialah petani, dimana lebih banyak berasal dari kalangan menengah ke bawah. Masyarakat yang mendiami desa Wonoayu ini rata-rata manula, dewasa, dan anak-anak.

19

Pemuda maupun remaja telah pindah di pusat kota entah untuk menganut ilmu ataupun bekerja. Mayoritas arsitektur tradisional yang berada di desa ini ialah asimilasi antara arsitektur Belanda dan Jawa. Hal ini dikarenakan desa ini dahulunya merupakan tempat bermukimnya VOC dan tempat buruh pada jaman VOC. c. Filosofi Obyek Form and Shape Disini yang dimaksud ialah bentukan dan sisi bangun entah dari sisi denah, tampak, maupun layout. Rumah ini memiliki tipologi bentuk yang memiliki ide bentuk persegi panjang. Hal ini dikarenakan rumah ini merupakan rumah adat yang semuanya memiliki bentuk geometris original. Bentukan rumah tradisonal yang dimaksud ialah joglo limas an yang mayoritas menjadi style arsitektur desa ini. Adapun tipologi yang dimaksud dapat dilihat pada gambar di bawah ini

persegi panjang

segitiga

Gambar 8. Transformasi tipologi bentuk bangun

Orientasi Obyek Orientasi arah hadap mayoritas menghadap Utara - Selatan. Orientasi ini menurut tradisi bersumber pada kepercayaan terhadap Nyai Roro Kidul yang bersemayam di Laut Selatan. Demikian juga dengan arah tidur (Wondoamiseno dan Basuki, 1986). Cara penentuan arah rumah yang diperhitungkan berdasarkan hari pasaran kelahiran pemilik rumah berkaitan dengan arah ke empat penjuru angin. Hal ini dimaksudkan agar pada arah orientasi ini dapat memebrikan efek sejuk dan ternaungi sehingga minim

20

terkena sinar matahari secara langsung. Sedangkan secara ilmiah penjelasan mengapa orientasi hadap diarahkan selatan, karena bangunan yang berada di lintang Selatan mendapat sedikit efek panas matahari yang berlebihan. Adapun penjelasan secara grafisnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 9. Orientasi Bangunan

Pemanfatan tanaman, latar (halaman) juga berpengaruh dalam orientasi rumah tradisional ini. Yang dalam arsitektur tradisional termasuk sebagai ruang yang terbuka. Keberadaan latar mengelilingi masa bangunan yang menyatu menjadi satu yang disebut omah. Keberadaan latar dapat dipakai untuk menanam beraneka tumbuhan pelindung, perdu maupun tanaman produksi. Namun karena kurang begitu serius dalam pengelolaan latar ini, maka tidak jarang yang dibiarkan gersang dan tidak teratur. Bahkan kondisi sekarang ini banyak yang didirikan bangunan rumah model sekarang. Tradisi atau Ritual Adapun tradisi disini yang dimaksud ialah kebiasaan atau mitos yang dianut masyarakat terhadap kebudayaan dan kehidupan masyarakat kesehariannya. Secara spesifikasi tradisi atau mitos di desa ini tidak terlalu banyak dan religious. Mereka hanya melaksanakan ruwat deso yang selalu dilaksanakan pada bulan ruwah (Jawa) dan bulan Syaban (Islam). Hal ini dimaksudkan untuk mensyukuri keberadaan desa mereka dengan acara ini. Acara ini biasanya hanya mengadakan syukuran layaknya mensyukuri nikmat atas ketentraman dari kehidupan desa mereka. d. Ekspresi Formal

21

Denah Denah disini sama seperti rumah tradisional Jawa yang lain. Dimana secara garis besar terdapat longkangan (ruang), panggonan (tempat untuk menjalani kehidupan), panepen (tempat kediaman /settle -ment) dan palungguhan (tempat duduk/berinteraksi). Rumah di desa Wonoayui ini telah mengalami sedikit renovasi yaitu penambahan kolom depan dan pembaharuan lantai keramik. Namun, tidak seberapa mengurangi keaslian dari rumah ini. Rumah ini memiliki ukuran 9 m x 14 m .Denah rumah ini dapat dilihat di bawah ini

Gambar 10. Denah rumah

Jenis ruang terdiri dari teras, bale, sentrong tengah, musholla, pawon, dan emperan. Bale terletak di depan sebagai ruang tamu, ruang keluarga dan ruang kegiatan ceremonial. Pawon terletak di belakang, yang berfungsi sebagai dapur. Pada teras terdapat beberapa pilar/kolom yang berukuran besar yang merupakan ciri khas rumah jaman dulu. Karakteristik masing-masing ruang disesuaikan dengan fungsi dan aktivitas sebagai wadah pemenuhan Latar
mburi hajad hidup sehari-hari, dimana mumasing-masing ruang dipengaruhi oleh

penilaian makna kegiatan yang dilakukan serta siapa yang menghuni. a


se nto bale ng teras 22 em pa per sumu wo an r n La tar we ta Latar n ngarep

sholl

La tar kul on

Gambar 11. Posisi rangkaian ruang rumah Bapak Mulyorejo

kama r
23

Gambar 12. Detail pembagian ruang rumah Bapak Mulyorejo

24

Tampak dan Potongan Adapun tampak merupakan view bangun dari depan. Dimana di tampak ini terlihat bagaimana pengolahan langgam dan bentuk pada rumah tradisional ini. Tampak secara garis besar sama seperti potongan rumah ini. Hanya diberi daun pintu-jendela sehingga terlihat massif dan tidak terpotong. Potongan rumah ini melebar dimana potongan ini memperlihatkan struktur rumah secara garis besar. Ada pun gambar detail potongan rumah ini dapat dilihat di bawah ini

Gambar 13. Potongan rumah

Detail dan Ornamen Detail dan ornament pada bangun ini tidak begitu menonjol dan bahkan tidak ada. Hal ini dikarenakan rumah tradisional ini tidak menganut rumah tradisional Jawa yang seperti di Jawa Tengah yang sangat detail ornament dan penggunaan langgam Jawanya. Disini, hanya menggunakan plafon seseg dan penggunaan daun pintu-jendela double, sehingga dapat dibuka depan-belakang (entah dari luar rumah ataupun dalam rumah). Adapun detail bentuk dan ornament plafon dapat dilihat di gambar bawah ini

Gambar 14. Detail type dan ornamen bangunan rumah tradisional Kec. Wonoayu (Kawruh Kalang R. Sosrowiryatmo)

25

Struktur dan Konstruksi Sistem ventilasi atap, Untuk tipe joglo dan limasan tidak ada lubang ventilasi yang dirancang khusus untuk mengalirkan udara ke dalam atap. Namun demikian dengan menggunakan bahan atap dari genteng, dimungkinkan angin masih dapat berembus melalui celah-celah genteng. Hal ini cukup menjadikan ruang nyaman, karena adanya plafond yang meminimalisir masuknya debu melalui celah atap genteng. Sistem ventilasi atap ini akan tidak diperlukan apa bila tiap-tiap masa ruang terpisah, dan berjarak cukup sehingga hembusan angin dapat menetralisir rambatan panas di dalam ruang. Ditemukannya masa ruang dalam survey di Pagerngumbuk (Wonoayu) yaitu pendopo dan regol dengan luas latar (halaman) ada kemungkinan bahwa awalnya setiap masa ruang untuk arsitektur tradisional Jawa saling terpisah. Dengan terpisahnya setiap masa ruang ini maka ketentuan arsitektur tradisional Jawa Timur khususnya benar-benar telah mempertimbangkan kondisi alam yang beriklim tropis lembab ini. Setiap tipe bangunan (tajug, joglo, limasan, dan kampung) pada umumnya terdiri dari sektor guru, sektor pananggap, dan sektor emper. Sehingga bila ketiga sektor ini hadir semua, bahkan untuk sektor pananggap ini dapat dihadirkan dua, maka bangunan arsitektur tradisional Jawa ini tampak besar sekali, dan dapat menampung banyak orang. Sehingga dapat digunakan untuk tempat tinggal beberapa keluarga, hal ini sesuai dalam ungkapan Jawa, mangan gak mangan sing penting kumpul. Bila dicermati pada temuan penelitian Joglo Ponorogo, peranan pananggap ini tidak penting, keberadaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pemilik omah. Artinya sebuah tipe bangunan tanpa hadirnya pananggap maka namanya tetap tipe tersebut, dengan kata lain penamaan tipe itu terfokuskan pada bentuk atap di sektor guru saja. Bahkan cukup hanya menghadirkan sektor guru saja, sudah dapat disebutkan tipe bangunannya. Rumah yang berukuran 9 m x 14 m ini memiliki atap berbetuk limasan. Hal ini dimungkinkan karena Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat termasuk kawasan eks-Karesidenan

26

Surabaya (Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, memiliki sedikit pengaruh dari Jawa Tengahan. Plafon rumahnya pun masih menggunakan anyaman bambu atau orang jawa bilang gedeg. Untuk jenis pondasi yang dipakai ialah pondasi umpak. Pada dasarnya mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk menahan atau menopang beban berat diatasnya. Pada masyarakat jawa, nenek moyangnya meninggalkan sistim pondasi yang sangat sederhana. Ciri khas dari pondasi ini adalah tampilan dan posisi pondasi yang berada diatas tanah bukan berada di dalam tanah. Pondasi ini dapat terlihat dengan mata telanjang. Pondasi Umpak sering digunakan pada Bangunan Tradisional jawa, yaitu Rumah Joglo dan Rumah Limasan. Pondasi ini diletakan diatas tanah yang telah padat atau keras. Sistim dan jenis pondasi ini samapi sekarang terkadang masih digunakan, tetapi ditopang oleh pondasi batu kali yang berada di dalam tanah dan sloof sebagai pengikat struktur, serta angkur yang masuk kedalam as umpak kayu atau umpak batu dari bagian bawah umpaknya atau tiangnya. Kesederhanaan sistim konstruksi rumah adat jawa ini ternyata juga terdapat di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kesederhanaan ini ternyata mempunyai fungsi yang sangat hebat, bahwa pondasi ini membentuk rigitifitas struktur yang dilunakkan, sehingga sistim membuat bangunan dapat menyelaraskan goyangan-goyangan yang terjadi pada permukaan tanah, sehingga bangunan tidak akan patah pada tiang-tiangnya jika terjadi gempa besar. Hal ini dapat terjadi jika kayu-kayu yang digunakan mempunyai kualitas yang baik.

Gambar 15. Pondasi Umpak rumah tradisional Jawa

27

e.

Space dan Place Menurut Roger Trancik sebuah space aka nada kalau dibatasi sebuah void.

Space disini dapat menjadi sebuah place apabila mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya. Dimana place sendiri merupakan sebuah space yang memiliki cirri khas tersendiri. Disini dapat diartikan bahwa place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki khas dan suasana tertentu bagi lingkungannya. Suasana dapat terlihat secara visual maupun abstrak seperti kultur dan religi. Dalam kasus di desa ini maka space disini ialah kabupaten Sidoarjo ujung yang didalam kawasan tersebut terdapat sebuah kecamatan/desa Wonoayu. Desa yang masih meiliki cirri khas nuansa tradisional, baik dari segi budaya, kultur, maupun arsitektural. Disini citra place pada kecamatan Wonoayu ini dapat tercipta dengan baik dikarenakan kawasan sekitarnya sudah mengalami pergeseran citra dari tradisional menjadi modern (mengikuti kawasan lain yang sudah meninggalkan sisi ketradisionalan mereka).

28

PENUTUP

KESIMPULAN Makna istilah tradisional berasal dari kata tradisi = trader <latin> yang maknanya adalah mewariskan, yaitu memberikan sesuatu berasal dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Akhirnya, menjadi adat istiadat, kebiasaan, sebuah riwayat kuno, atau turun temurun. Tradisional dalam konteks arsitektur adalah suatu kegiatan pewarisan arsitektur dari generasi sebelumnya kegenerasi berikutnya yang tertanam dalam bentuk adat istiada, kebiasaan yang turun temurun. Pewarisan dalam konteks arsitektur tradisional ada dua macam yang pertama adalah dalam bentuk prosesnya, petunjuk-petunjuk bagaimana mewujudkan arsitektur. Yang kedua adalah obyek arsitektur (produknya) sebagai benda antik warisan budaya yang layak dilestarikan. Apabila obyek arsitekturnya adalah arsitektur tradisional Jawa, maka pewarisannya adalah bagaimana proses membuat arsitektur Jawa. Sedangkan obyeknya adalah arsitektur tradisional Jawa yang ada sekarang ini yang sedang termakan usia. Rumah tradisional Jawa (khusunya Jawa Timur) biasa disebut omah. Pengertian omah dalam arsitektur tradisional adalah sebuah komplek yang dibatasi oleh pagar yang mengelilingi komplek tersebut. Di dalam komplek terdiri dari beberapa masa bangunan dan halaman antara lain regol, pendopo, pringgitan ndalem, pawon, kandang, lumbung, langgar, latar ngarep, latar etan, latar kulon, latar mburi, sumur dan sebagainya. Ini adalah ruang-ruang yang ada pada omah arsitektur tradisional Jawa Timur, ini setara dengan sebutan ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur, dapur pada arsitekur barat. Latar (halaman) adalah ruang terbuka yang bisa diberi tanaman pelindung, perdu dan sebagainya, dengan demikian dapat berfungsi sebagai filter terhadap angin dan panas matahari. Dengan rata-rata, rumah tradisional Jawa Timur merupakan type rumah tradisional Limasan.

29

Susunan ini sangat bervariasi, diantara pendopo dan ndalem dapat juga dihadirkan pringgitan, demikian juga dengan hadirnya langgar, regol dan sebagainya. Secara umum susunannya adalah seperti di atas. Penggunaan tipe untuk masing-masing masa ruang tidak ada ketentuan, didalam pengamatan dilapangkan tipe yang dijumpai dalam jenis ruangan adalah sebagai berikut: 1. Bahwa arsitektur tradisional yang ada di nusantara, keberadaannya telah teruji dan adaptif terhadap kondisi alam nusantara (iklim tropis lembab), baik itu orientasi, pemilihan bahan dan lain sebagainya, dipadu dengan unsur budaya setempat. Salah satu cirinya adalah satu masa terdiri dari satu fungsi, seperti misalnya arsitektur Madura, arsitektur Bali, arsitektur Lombok dan sebagainya. Contoh tersebut adalah memang arsitektur tradisional yang dalam satu komplek yang terdiri dari banyak masa, bagaimana untuk arsitektur tradisional dengan masa tunggal dan besar misalnya arsitektur Minang, arsitektur Rumah Panjang, arsitektur Bugis. Maka untuk arsitektur tradisional yang demikiaan agar adaptif dengan alamnya dibuat panggung sehingga angin berhembus melalui lubang bawah panggung. Bagaimana dengan arsitektur tradisional Jawa? Seperti dalam bab diskusi di atas masalahan panasnya ruang diindikasi disebabkan karena berimpitnya masa bangunan (pendopo, pringgitan, ndalem, dapur saling bergandengan). Dari kasus arsitektur tradisional yang lainnya, arsitektur Jawa seharusnya masa-masa tersebut terpisah dengan yang lainnya, dengan ditemukannya dalam penjelajahan, masa langgar, lumbung dapat menujukkan bahwa sebenarnya arsitektur tradisional Jawa terdiri dari banyak masa. 2. Pengertian omah dalam arsitektur tradisional adalah sebuah komplek yang dibatasi oleh pagar yang mengelilingi komplek tersebut. Di dalam komplek tersebut terdiri dari beberapa masa bangunan dan halaman antara lain adalah: regol, pendopo, pringgitan ndalem, pawon, kandang, lumbung, langgar, latar ngarep, latar etan, latar kulon, latar mburi, sumur dan sebagainya. Ini adalah ruang-ruang yang ada pada omah arsitektur tradisional Jawa, ini setara dengan sebutan ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur, dapur pada arsitekur barat. Latar (halaman) adalah ruang terbuka yang bisa diberi tanaman pelindung, perdu dan sebagainya, dengan demikian dapat berfungsi sebagai filter terhadap angin dan panas matahari.

30

3.

Selain sebagai sebuah pengetahuan arsitektur sekarang ini, bagaimana keberlanjutan arsitektur tradisional Jawa? ada tiga langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: a. Menghadirkan murni sesuai dengan apa adanya, permasalahannya adalah besarnya biaya yang akan dibutuhkan. Biaya tersebut digunakan untuk pembelian lahan dan pembelihan bahan kayu yang dimensinya perlu pemesanan khusus. Bagaimana apabila bahannya diganti dengan struktur beton dan dibungkus dengan panil kayu? Dapat juga disiasati demikian, yang perlu diperhatikan adalah proporsi dan ragam hias yang dihadirkannya. Pemahaman rumah dalam konteks arsitektur barat menghalangi pola pandang arsitektur masyarakat untuk terciptanya omah dalam arsitektur masyarakat. Yang mungkin adalah aleh fungsi untuk perkantoran dan sebagainya dengan format omah pada arsitektur tradisional Jawa. b. Menghadirkan ragam hias arsitektur Jawa pada arsitektur barat, sehingga mampu memberikan kesan Jawa pada suasananya. Dapat juga dipadu dengan musik dan berbusana Jawa akan mampu lebih memberikan suasana Jawa tadi. Langkah ini sering dipakai dalam menghadirkan arsitektur yang Jawa. c. Seperti apa yang dikatakan oleh Jorge Selvitti, saluran kreatifitas transformasi yang pertamakali harus dicari adalah penetapan kodeawalnya dan mencari pengendalinya. Tipe pada arsitektur traidisional Jawa dapat ditetapkan sebagai kode-awal dalam konteks arsitektur sekarang ini. Suatu misal menggunakan temuan Joglo Ponorogo, sebagai kode awalnya adalah bentukkan di sektor guru saja, dapat digunakan untuk lantai banyak dengan tetap memperhatikan proporsinya. Menghadirkan pananggap sebagai kanopi setiap lantai, yang jelas bentukan di dalam arsitektur tradisional ini dapat dimanfaatkan untuk kreatifitas berarsitektur.

4.

Harus bangga bertempat tinggal di nusantara yang penuh dengan aneka budaya dan arsitektur tradisional, seperti pesan Peter Eisenman; bagi para arsitek di negara berkembang untuk tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada umumnya Negara berkembang seperti kebanyakan negara di Asia

31

masih memiliki referensi eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisi kultural sebagai sumber konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai sumber cerita. Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat seperti halnya Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek.

32

You might also like