You are on page 1of 7

KODE ETIK SANTRI/ MURID (1) Share Sat at 8:35am Uploaded via Facebook Mobile KODE ETIK SANTRI

Imam al-Ghazali ra Ihya Uluumiddin I/49-55 Memang banyak kode-kode etik dan tugas-tugas seorang santri. Namun bisa diringkaskan menjadi 10 (sepuluh) saja. 1. Memulai dengan membersihkan jiwa dari segala khuluq (mentalitas) yang buruk dan perangai yang tercela. Karena, ngelmu (meng-ilmu-i diri) itu pembaktian pikiran, (sebagai) sholat batin dan ibadah jiwa kepada Allah taala. Sebagaimana Sholat sebagai ibadat anggota badan ia tak sah kecuali dengan tersucikannya badan dari hadats dan najis. Sabda Rosululloh saw: Agama (Islam) dibangun di atas kesucian. Memang begitulah zhohir (Islam) dan batinnya. Alloh berfirman: 28 Tiada lain orang-orang musyrik itu najis (Dia) mengingatkan kepada orang-orang yang mau berpikir bahwa urusan suci dan najis itu bukan monopoli bidang luar yang terindera saja. Orang musyrik itu kan bisa saja berpakaian dan berbadan bersih. Namun ia disipati najis karena berhati, berjiwa dan berpikiran yang terlumuri kekotoran kepercayaan. Idiom najis berkonotasi sesuatu yang harus dijauhi dan dihindari. Sipat-sipat batin yang busuk tentu lebih harus dijauhi lagi. Karena sekarang (di dunia) ia sudah busuk, kelak (di akhirat) ia bikin celaka lagi. Sedemikian rupa sampai Rosululloh saw pernah bersabda: Malaikat (rahmat) tak kan mau masuk rumah yang disitu ada anjing. Hati (bisa disebut) rumah juga. Ia persinggahan para Malaikat, tempat taburan benih tanaman mereka, dan tempat kediaman mereka. Dan mentalitas yang buruk seperti pemarah, hedonisme, dendam, dengki, arogan, egois dsb ibarat anjing-anjing yang menyalak. Bagaimana mungkin hati yang sedang penuh oleh anjing-anjing itu bisa dimasuki malaikat. Dan cahaya ilmu itu tidak Alloh sorotkan pada hati kecuali malaikatlah perantaranya. 51 Tak kan pernah Alloh berkomunikasi dengan manusia kecuali lewat wahyu, dibalik tirai atau mengutus utusan (malaikat) lalu malaikat itu mengirimkan wahyu sesuai kehendakNya Demikian juga proses pengiriman anugerah ilmu ke hati (setiap manusia). Hanya para malaikatlah yang melakukan tugas itu. Mereka makhluk yang tersucikan terbersihkan dan steril dari sipat-sipat yang tercela. Mereka tak menaruh simpati kecuali kepada orang suci. Mereka tak mau menggelar khazanah rahmat Allah yang mereka genggam kecuali pada orang yang suci bersih. Saya tidak berkata bahwa yang disebut rumah (pada hadits di atas) adalah hati dan anjing adalah sipat pemarah dan sipat-sipat lain yang tercela. Tetapi ingin saya katakan bahwa ia (hadits

itu) mengingatkan akan metafora tersebut. Ada perbedaan yang serius antara memaknai dzahir dengan batin dan memahami adanya dimensi batin dari dzahir dengan tetap memelihara makna aslinya. Rahasia inilah yang membedakan dengan kaum Batiniyyah (yang selalu memaknai apa pun sebagai batin). (Pemahaman akan keberadaan dimensi batin) inilah pola Itibar (mengambil pelajaran/ hikmah) dan ini budaya para ulama serta orang-orang saleh. Karena arti Itibar adalah mempertautkan satu pembahasan dengan kasus-kasus yang lain yakni tidak berhenti di pembahasan itu saja. Sedemikian rupa, seorang yang berakal akan mengambil pelajaran dari musibah orang lain yang ia saksikan untuk sadar bahwa ia pun berpeluang (tidak mustahil) tertimpa musibah yang sama. Dan bahwa dunia berikut isinya siap untuk pasang surut. Mempertautkan orang lain dengan diri sendiri, lalu diri sendiri dengan alam semesta adalah laku batin yang terpuji. Silahkan Anda pertautkan rumah bangunan kehidupan manusia dengan hati sebagai rumah bangunan (agama) Alloh. Pertautkan juga anjing sebagai pemilik sipat tercela yaitu kebuasan dan bernajis dengan jiwa keanjingan yang buas. Ketahuilah, hati yang penuh amarah, materialisme, serakah dan hobby merobek-robek harga diri orang lain adalah anjing maknawi dalam tampilan hati. Nurani selalu memandang esensi bukan muka luar. Di dunia sekarang, muka luarlah yang mengedepan dibanding esensi. Namun di akhirat kelak esensilah yang memonopoli muka luar. Sedemikian rupa kelak di akhirat setiap orang akan dikumpulkan dalam tampilan esensinya. Tukang merobek-robek harga diri manusia (di akhirat) akan dikumpulkan dalam bentuk anjing galak, orang serakah dalam bentuk serigala buas, orang arogan dalam bentuk harimau dan orang gila jabatan dalam bentuk singa. Begitulah hadits menginformasikan dan didukung penyelaman batin orang yang mata lahir dan batinnya tak diganggui rabun kebodohan. Jika Anda menyanggah, Bukankah banyak juga orang-orang yang buruk perangainya berhasil dalam belajarnya? Ooh begitu! Alangkah jauhnya jarak ilmu yang mereka dapatkan dengan ilmu hakiki yang bermanfaat di akhirat serta mengantarkan kebahagiaan! Babak awal dari ilmu yang hakiki ini adalah hadirnya kesadaran bahwa dosa itu racun pembunuh. Pernahkah Anda saksikan orang minum racun dalam kondisi sadar bahwa yang diminumnya adalah racun pembunuh? Ilmu yang suka Anda dengar dari orang yang hanya bergaya ulama hanyalah berita yang mereka ucapkan dengan mulut mereka di satu kesempatan, dan di kesempatan lain hati mereka membantahnya. Sayyidina Ibnu Masud ra pernah menyatakan, Ilmu bukan (kemampuan mengeluarkan) banyak referensi. Ilmu tiada lain adalah cahaya yang menyorot di hati. Sementara ulama berpendapat, Ilmu adalah (pengetahuan yang berdampak) rasa takut. Berdasarkan firmanNya: 28 ) ) Hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya hanyalah para Ulama (yang tahu kemandirian kuasa dan kehendakNya) Sepertinya ia (Ibnu Masud ra) menunjukkan (dengan dasar firman tersebut) kelebih-khususan dampak dari ilmu (yang hakiki). Sedemikian rupa, sehingga sementara Muhaqqiqin (orang-orang yang tekun menyelami hakikat segala sesuatu) berkomentar mengenai arti ungkapan ulama: Kami pelajari ilmu itu tidak karena Allah, tapi ia (ilmu itu) tidak mau kecuali harus karena Allah. Ilmu itu enggan dan menolak untuk kami raih. Hakikat (ilmu)) itu tak terkuak bagi

kami. Yang kami dapati hanya berita dan ungkapan-ungkapannya. Jika Anda berkata, Saya melihat sejumlah ulama ahli Fiqih Muhaqqiqin yang unggul dalam ilmu Furu (detail-detail Fiqih) dan Ushul (kaidah-kaidah fiqih) dan terhitung sebagai tokohtokoh namun akhlak mereka tercela serta tak mau memperbaikinya. Saya jawab: Jika Anda telah mengerti level-level ilmu dan Anda juga sudah memahami ilmu ukhrawi tentu jelas bagi Anda bahwa yang mereka tekuni akan sedikit sekali manfaatnya sebagai wujud ilmu semata. Ia hanya berguna sebagai sesuatu yang harus dilakukan karna Allah dengan tujuan mendekatkan diri kepadaNya. Sebenarnya isyarat ke sana sudah ada sebelumnya. Insya Alloh ke depan ada penjelasan tambahan. 2. Mengurangi keterkaitan dan keterikatan dengan urusan dunia dan menjauhi keluarga serta kampung halaman. Karena keterkaitan dan keterikatan itu meruwetkan dan membuyarkan konsentrasi. 4 ) ) Allah tak pernah membuat dua hati bagi seorang manusia di dalam tubuhnya. Ketika pikiran seseorang terbagi-bagi kepada pelbagai masalah, pasti ia banyak kesulitan untuk menemukan hakikat-hakikat sesuatu. Sedemikian rupa, ada yang yang menyatakan, Ilmu tak kan menyerahkan sebagian dirinya kepada Anda sampai Anda mau menyerahkan sepenuh diri Anda. Itupun jika Anda menyerahkan sepenuh diri Anda, ilmu mau menyerahkan sebagian dirinya masih jangan-jangan!. Pikiran yang terbagi-bagi kepada urusan-urusan yang berbeda ibarat selokan yang airnya terbagi-bagi. Sebagian diserap tanah, sebagian lagi menguap ke udara. Tak tersisalah yang bisa ditampung dan yang sampai ke sawah. bersambung... KODE ETIK SANTRI/ MURID (2) Share Sat at 10:17am 3. Jangan sombong kepada ilmu dan jangan membangkang serta kurang ajar kepada guru. Justru si santri harus menyerahkan tali kekangnya kepada sang guru dalam keseluruhan urusannya sampai yang detail sekalipun. Ia wajib tunduk dan patuh kepada gurunya bagai pasien yang bodoh terhadap dokter yang penyayang dan ahli. Dan semestinya ia tawadldlu terhadap gurunya serta mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmah (mengabdikan diri) pada sang pendidik. Imam as-Syuabi ra pernah mengisahkan, bahwa pada satu waktu Sayyidina Tsabit bin Zaid ra selesai menyembahyangkan seorang jenazah lalu saya dekatkan kepadanya bagal beliau. Tibatiba datanglah Sayyidina Ibnu Abbas ra lalu ia pegang sanggurdi bagal itu. Serahkan saja padanya (as-Syuabi) sanggurdi itu wahai sepupu Rosululloh saw!, Sayyidina Tsabit melarang. Beginilah kami diperintah bersikap kepada para ulama dan para tetua!, balas Sayyidina Ibnu Abbas ra. Lalu Sayyidina Tsabit ra menciumi tangan Sayyidina Ibnu Abbas sambil katanya, Begini juga kami disuruh bersikap kepada Ahlu Bait Rosululloh saw, Sayyidina Tsabit menimpali. HR Imam alHakim Sabda Rasulullah saw: ) )

Cari muka itu bukan sikap seorang mumin kecuali bersikap untuk mendapat perhatian guru saat belajar. Jadi tidak sepatutnya ia sombong kepada pengajar. Salah satu indikasi sombong kepada pengajar, si murid enggan menimba ilmu kecuali dari ulama yang banyak massanya dan terkenal. Ini sebuah kegoblokan. Ilmu itu kan sarana untuk keselamatan dan kebahagiaan. Seseorang yang sedang terancam binatang buas lalu mencari tempat perlindungan dari terkamannya tentu tak kan membedakan orang terkenalkah yang bisa menunjukkan tempat itu atau orang tak dikenal. Terkaman binatang buas neraka kepada orang-orang yang tak kenal Allah tentu lebih dahsyat dibanding terkaman binatang buas manapun. Dan Hikmah (ilmu sejati) itu ibarat barang yang hilang (yang terus dicari oleh) seorang mumin. Ia merasa amat beruntung kala mendapatinya. Ia akan tumpahkan rasa terima kasih kepada yang mengantarkan barang berharga itu bagaimanapun keadaannya. Ada sebuah syair: Ilmu kan menjauhi pemuda tinggi hati Bagai air, ia tak mau dekati tempat tinggi. Ilmu tak bisa diraih tanpa kerendahhatian dan besar perhatian. FirmanNya: (Qoof 37) Sungguh pada hal itu ada peringatan bagi yang punya hati atau ia tumpahkan perhatian serta ia juga melibatkan dirinya. Makna punya hati punya kemampuan menangkap pemahaman tentang sebuah ilmu pengetahuan. Lalu kemampuan itu tak kan banyak menolong tanpa ia tumpahkan perhatiannya serta melibatkan diri dan konsentrasi agar bisa menangkap setiap fenomena yang datang dengan tanggap, bersimpuh, penuh syukur, gembira dan penghargaan yang mendalam. Jadilah santri itu tanah subuh yang ia serap habis hujan deras ilmu dari gurunya dan tunduk penuh menerima titahnya. Manakala sang guru memberi arahan tentang salah satu cara belajar, patuhi saja dan tinggalkan pendapat dirinya. Karna kesalahan seorang guru bisa lebih bermanfaat dibanding kebenaran dirinya sendiri. Pengalaman sering memberi tahu tentang detail-detail fenomena kehidupan yang kadang terasa asing di telinga padahal hal itu sangat banyak gunanya. Sering kali orang yang lagi demam sewaktu-waktu oleh dokter justru diterapi dengan obat yang berefek panas agar si pasien bertambah daya tahan tubuhnya sampai tingkat ia jadi kuat terhadap reaksi obat. Orang yang belum berpengalaman bisa terbengong-bengong keheranan. Sungguh Allah taala telah mengingatkan hal itu lewat kisah alKhodlir as dan Nabi Musa as, saat alKhodlir as berkata, Kamu tak kan kuat sabar bersama saya. Bagaimana mungkin kamu bisa bersabar tentang sesuatu yang kamu belum memahaminya. Kemudian ia persyaratkan Nabi Musa as agar diam dan tunduk lalu katanya: lalu jika kamu sudah ikut saya, jangan kamu tanya apapun kepada saya sampai saya beri tahu kamu penjelasannya. Tetapi kemudian Nabi Musa as tak tahan dan terus membujuk alKhodlir as (agar masih mau diikuti) sampai hitungan yang jadi penyebab perpisahannya. Kesimpulannya, setiap santri yang masih mempertahankan pendapat dan pilihannya sendiri bukan pilihan gurunya, kegagalan dan kerugianlah yang pasti ia raih. Jika Anda bertanya,Bukankah Alloh taala berfirman:

Bertanyalah kepada ahli alQuran (yang ia adalah peringatan) jika kamu tidak tahu. Jadi bertanya itu sesuatu yang diperintahkan. Ya, memang demikian! Tapi sesuatu yang diizinkan guru bertanya tentang hal itu. Karena bertanya tentang sesuatu yang level Anda belum sampai kesana adalah sikap yang tercela. Sedemikian rupa, sehingga alKhodlir as melarang Nabi Musa as bertanya. Maksudnya, Tahan dulu Anda bertanya tentang hal itu sebelum saatnya. Karna seorang guru lebih tahu kemampuan Anda dan saat yang tepat untuk menguaknya. Sepanjang belum saat terkuaknya sesuatu pada setiap babak-babaknya, belum saatnya pula bertanya tentang itu. Imam Ali ra pernah sungguh-sungguh menyatakan Hak-hak seorang guru antara lain: (1) Anda dilarang banyak bertanya kepadanya, jangan membalas dengan jawaban yang memusingkan beliau dan merengek-rengek kepadanya saat ia sungkan. (2) Jangan menarik pakaiannya saat ia bangkit mau pergi. (3) Jangan sebarkan rahasianya. (4) Jangan Anda menggunjing seseorang di hadapannya. (5) Jangan Anda cari-cari kesalahannya. (6) Jikapun jelas-jelas beliau salah carikan pembenarannya. (7) Anda wajib menghargai dan menghormatinya karena Alloh sepanjang beliau masih mempertahankan aturan Alloh taala. (8) Jangan duduk mendahuluinya. (9) Jika beliau punya keperluan, Andalah orang pertama yang melayaninya. 4. Jangan dulu melibatkan diri dalam masalah-masalah khilafiyyah (pertentangan pendapat). Baik itu mengenai ilmu-ilmu duniawi atau pun ilmu-ilmu ukhrowi. Sikap melibatkan diri dalam pertentangan itu akan membingungkan akalnya, memusingkan pikirannya, melambankan nalarnya dan bisa membuntukan ia dalam memahami dan menguak ilmu pengetahuan. Justru seharusnya ia mantapkan dulu satu metode yang baik dan diridoi dalam bimbingan gurunya. Baru setelah itu ia mulai mempelajari berbagai madzhab dan kaidah-kaidah kontroversi yang ruwet. Jika gurunya belum menguasai salah satu metode tapi hanya mencomot dari sana-sini, waspadalah terhadapnya. Karena guru tersebut justru lebih banyak membingungkan dibanding memberi bimbingan. Orang buta tidak bisa menuntun dan membimbing sesama orang buta. Sedemikian rupa, kategorinya disebut buta kebingungan dan linglung kebodohan. Keterlarangan santri pemula terlibat dalam kontroversi serupa dengan keterlarangan orang yang baru masuk Islam bergaul dengan orang-orang non muslim. Dan dianjurkannya orang kuat (ahli) merambahi masalahmasalah khilafiyyah ibarat dianjurkannya orang yang relatif sudah teguh keimanannya bergaul dengan orang-orang non muslim. Oleh karena itu pula si pengecut jangan disuruh menyerang barisan orang-orang kafir, namun bagi sang pemberani justru disarankan. Akibat kebodohan tentang hal ini, sebagian orang yang lemah nalarnya menyangka bahwa bolehboleh saja mengikuti kemudahan-kemudahan yang kerap dilakukan manusia-manusia kuat (iman dan ilmunya). Ia tidak tahu bahwa tugas si lemah jelas berbeda dengan si kuat. Sedemikian rupa, sementara ulama menyatakan, Siapa yang melihatku sejak masih pemula, ia akan jadi shiddiq (yang benar pemahaman dan penyikapannya). Siapa yang melihatku hanya kala aku berada di puncak, ia akan jadi zindiq (sejenis aliran sesat) Karena di level puncak, perilaku banyak berkaitan dengan hal-hal yang bersipat batin. Kerap, fisik lahir hanya melakukan sholat fardlu dan rawatibnya saja. Jadi kelihatannya menganggur, malas dan tak punya kesibukan. Meleset jauh sangkaan itu. Padahal itu adalah aktifitas hati; menonton serta melibatkan diri dalam kesejatian (qudrah dan irodahNya) dan mengkonstankan dzikir yang adalah amalan utama. Penyamaan diri si lemah dengan si kuat dalam hal yang tampak lahirnya sebuah kesalahan, serupa dengan alasan seseorang yang memasukkan sedikit najis kedalam cangkir. Ia berkilah bahwa berlipat ganda najis suka dibuang ke laut. Laut lebih luas dibanding cangkir. Apa yang

boleh dimasukkan ke laut boleh di masukkan ke cangkir. Kasihan, orang ini tidak tahu bahwa laut dengan daya alamiahnya bisa mengurai senyawa najis menjadi senyawa air. Lalu berubahlah najis itu menjadi wujud air karena dominasi sipat air terhadapnya. Sedangkan dalam cangkir, meski sedikit najislah yang mendominasi sipat dan mempengaruhi air. Karena adanya perbedaan semacam ini, dibolehkan kepada Rasulullah saw apa yang terlarang bagi yang lain sehingga beliau diperkenankan beristeri 9 (sembilan) sekaligus. Karena beliau saw punya daya adil yang menaungi isteri-isterinya walaupun banyak. Adapun selain beliau sebagian daya adilpun tak mampu. Bahkan justru ia terjerumus oleh isterinya sampai berani bermaksiat demi keinginan isterinya. Tak kan bahagia orang yang mempersamakan malaikat dengan tukang pandai besi. bersambung... TAHASHSHUNAT (amalan penjagaan) dari santet dan jin. Share Tuesday, March 16, 2010 at 7:43am 1. Selalu suci dari hadats 2. Berjamaah sholat fardlu 3. Sholat Tahajjud 4. Sholat Witir 5. Mau tidur: a. berwudlu, b. membaca: 1. Basmalah 21 kali, 2. Ayat al-Kursi 3. Dua ayat terakhir dari surah al-Baqoroh 4. Surah al-Ikhlash, al-Falaq dan an-Naas (pada kedua telapak tangan lalu diusapkan ke seluruh badan serta diulang tiga kali), dan 5. Doa mau tidur 6. Setelah solat Shubuh membaca sedikitnya seratus kali: 7. Setiap pagi dan sore membaca sedikitnya tiga kali-tiga kali: 8. Setiap mau keluar rumah membaca: 9. Setiap mau masuk ke jamban membaca: 10. Setiap mau masuk ke masjid membaca:

11. Setiap mau berhubungan suami isteri membaca: 12. Setiap mau beraktifitas yang terhormat selalu ber-basmalah

You might also like