You are on page 1of 7

PENGEMBANGAN USAHA PENJEMURAN ONGGOK DI KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

Oleh: Chairullah Ahmad [H252100055]

Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan yang diambil tersebut memiliki posisi strategis dan fundamental dalam pelaksanaan pembangunan secara utuh dan terintegrasi dengan berbagai aspek baik sosial, ekonomi, politik, dan kelestarian lingkungan. Bratakusumah (2003) menegaskan bahwa pembangunan daerah harus memperhatikan hal-hal yang bersifat mendasar, prosesnya harus

memperhitungkan kemampuan sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, sumberdaya alam, keuangan dan sumberdaya lainnya. Dengan kata lain pembangunan daerah harus berbasiskan potensi atau keunggulan lokal. Kabupaten Tulang Bawang Barat adalah kabupaten termuda di propinsi Lampung dan merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Tulang Bawang. Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu daerah yang secara umum masih mengedepankan pembangunan pada sektor pertanian terutama budidaya ubikayu. Kabupaten Tulang Bawang Barat merupakan kabupaten penyokong terbesar dengan luas area tanaman ubikayu mencapai 37.576 ha. Komoditas ini tersebar relative merata di seluruh kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Luas lahan dan besarnya produktivitas tanaman pangan ubikayu juga berimbas pada jumlah pabrik pengolahan ubikayu di wilayah Tulang Bawang Barat. Terdapat enam pabrik tapioka yang tersebar di wilayah Tulang Bawang Barat. Keenam pabrik ini berproduksi dengan kapasitas besar. Rata-rata bahan baku yang dibutuhkan dalam proses produksi per harinya mencapai 450-500 ton ubi kayu per pabrik. Pengolahan ubikayu ini akan menghasilkan tepung tapioka dan hasil sampingan yang lainnya. Hasil sampingan yang dimaksud berupa ampas singkong yang lebih popular dengan sebutan onggok. Onggok merupakan salah satu hasil sampingan industri pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak

melalui pengolahan lanjutan yang sangat sederhana. Onggok merupakan bahan sumber energi yang mempunyai kadar protein kasar rendah tetapi kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak (Sutardi, 1981). Kemudian Karto (1994) mengatakan onggok dapat dijadikan sumber energi yang mudah terpakai dan mengandung kerangka karbon bercabang untuk pembentukan protein mikroba. Kandungan karbohidrat yang mudah larut merupakan sumber energi yang dapat memacu pertumbuhan ternak dan produksi dagingnya. Formulasi pakan tambahan untuk penggemukan sapi bakalan, bahan pakan onggok hanya dapat menggantikan jagung sampai 15% dan angka ini merupakan angka yang paling ekonomis (Boer et al., 2003). Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Ahmad (2010) menyebutkan bahwa onggok yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan ubikayu di wilayah Tulang Bawang Barat sebesar 13% dari bahan baku yang diolah. Selanjutnya juga disampaika bahwa potensi onggok yang dapat dihasilkan di wilayah Tulang Bawang Barat memiliki kapasitas tampung berdasarkan bahan kering Kabupaten Tulang Bawang Barat sebesar 57.825,07 ST. Nilai ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tulang Bawang Barat dapat menampung sebanyak 57.825,07 ST. Besarnya potensi hasil sampingan industri pertanian yang ada di Kabupaten Tulang Bawang Barat merupakan kekuatan yang dapat dikembangkan. Memperhatikan paradigm pembangunan dan potensi hasil sampingan industri ubikayu yang ada di Tulang Bawang Barat maka diperlukan satu upaya khusus untuk mengembangkan usaha pengelolahan onggok. Pengembangan usaha pengolahan onggok harus didorong dalam upaya meningkatkan perekonomian di tingkat local, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan pabrik pengolahan tapioka. Kondisi Umum Lokasi Kabupaten Tulang Bawang Barat merupakan salah satu kabupaten penyokong produksi ubikayu di Provinsi Lampung. Selain itu produktivitas budidaya ubikayu di Kabupaten Tulang Bawang Barat dapat di Kategorikan baik, yaitu sebesar 35 ton/ha. Tanaman ubikayu tersebar relatif merata di seluruh kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Besarnya produksi dan

produktivitas ubikayu di Kabupaten Tulang Bawang Barat merupakan potensi yang besar dan dapat dimanfaatkan untuk keperluaan pengembangan

perekonomian di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Luas lahan dan Produksi Ubikayu Tulang Bawang Barat tahun 2008 Kecamatan Luas Panen (ha) TB. Udik Tumi Jajar TB. Tengah Lambu Kibang Pagar Dewa WayKenanga Gunung Terang Gunung Agung Jumlah 11.919,00 4.578,00 3.310,00 6.262,00 800,00 373,00 7.474,00 2.860,00 37.576,00 Produksi (ton) 551.194,00 166.639,00 99.422,00 171.112,00 20.174,00 77.714,00 172.313,00 56.994,00 1.315.562,00

Sumber: DP4K Kabupaten Tulang Bawang Barat (2009)

Berdasarkan hasil perhitungan sederhana dapat kita peroleh angka produksi hasil sampingan berupa onggok kering sebesar 171.023 ton onggok kering (13% dari bahan baku). Jumlah ini diperkirakan akan bertambah mengingat ubikayu yang masuk ke pengolahan ubikayu di Kabupaten Tulang Bawang Barat tidak hanya berasal dari lahan yang ada di wilayah kabupaten, tetapi juga berasal dari luar wilayah ini. Terdapat enam pabrik tapioka yang tersebar di wilayah Tulang Bawang Barat. Keenam pabrik ini berproduksi dengan kapasitas besar. Rata-rata bahan baku yang dibutuhkan dalam proses produksi per harinya mencapai 450-500 ton ubi kayu per pabrik. Keenam pabrik pengolahan ini adalah 1). PT. Bumi Tapioka Jaya, kecamatan Tulang Bawang Udik, 2). PT. Budi Jaya Murni, kecamatan Gunung Agung, 3). PT. Huma Indah Mekar, kecamatan Tulang Bawang Tengah, 4). PT. Sungai Budi Unit VI, Kecamatan Lambu Kibang, 5). PT. Sungai Budi, Gunung Terang, dan 6). PT. Mentari Jaya, Way Kenanga.

Pabrik pengolahan ubikayu menghasilkan onggok dalam bentuk basah. Onggok basah ini yang kemudian diolah menjadi onggok kering oleh masyarakat di sekitar lingkungan. Umumnya pengolahan onggok dilakukan oleh masyarakat di sekitar pabrik dengan radius 1,5 Km. Hal ini menjelaskan bahwa pengolahan onggok terkonsentrasi hanya di lingkungan pabrik. Pengolahan dilakukan secara sederhana, hanya dengan menjemur onggok basah di lapangan terbuka (lantai tanah). Lokasi penjemuran onggok umumnya berada di lingkungan pemukiman masyarakat (Ahmad, 2010). Letak penjemuran yang sangat dekat dengan masyarakat sangat merugikan masyarakat karena menimbulkan bau yang kurang sedap. Mekanisme penjemuran. Secara umum terdapat tiga proses dalam mekanisme penjemuran yaitu proses perolehan bahan baku, proses p enjemuran, dan proses penjualan onggok kering yang dihasilkan. Mekanisme perolehan bahan baku onggok basah dilakukan secara jual beli. Mekanisme jual beli onggok basah dapat terjadi melaluai dua cara yaitu mekanisme beli langsung dari pabrik tapioka atau mekanisme pembeliaan melalui perantara. Mekanisme pembelian langsung ke pabrik tapioka hanya dapat diakses oleh sebagian orang yaitu pihak yang telah bermitra ke pabrik tapioka bersangkutan. Keuntungan yang paling dirasakan oleh pihak mitra pabrik adalah akses harga yang lebih murah dibandingkan dengan pihak yang membeli melalui perantara. Sebaliknya penjemur yang membeli melalui perantara akan mendapatkan harga yang relative lebih tinggi yang kemudian berakibat pada berkurangnya keuntungan yang diperoleh penjemur. Proses pengeringan, proses pengeringan onggok dilakukan di lapak penjemuran tidak menggunakan alas penjemur. Onggok basah langsung dijemur di atas tanah. Manajemen penjemuran tanpa alas dilakukan oleh penjemur dengan alasan 1). Lebih efisien secara ekonomi, penjemur tidak harus mengeluarkan investasi penjemuran yang lebih besar untuk membeli alas penjemur, 2). Penjemur beranggapan bahwa jika menggunakan alas, onggok akan membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama. Karena pengeringan hanya dipengaruhi oleh evaporasi. Pengeringan tidak dipengaruhi oleh serapan tanah. Pola penjemuran onggok tanpa alas sangat berkaitan dengan kualitas onggok yang dihasilkan. Pola penjemuran onggok tanpa alas ini menghasilkan onggok yang relatif lebih sering

terkontaminasi oleh benda asing, misal tanah, pasir, kerikil, kayu, dan daun. Akibatnya onggok menjadi relatif lebih murah, bahkan tak jarang onggok harus dibuang karena tidak diterima oleh pabrik pengolahan selanjutnya. Pola penjemuran tanpa alas merupakan kelemahan bagi pengembangan pemanfaatan hasil sampingan industri pertanian sebagai pakan ternak. Proses penjemuran onggok yang dilakukan dengan sangat sederhana ini hanya mengandalkan panas matahari dan cuaca sebagai energy untuk mengeringkan onggok tersebut. Proses penjemuran seperti ini sering menjadi kendala pada kontinuitas onggok kering yang siap digunakan. Onggok akan sangat sulit dicari jika pada musim hujan dan kemudian akan mengurangi penghasilan penjemur onggok. Kondisi proses penjemuran seperti ini

membutuhkan perbaikan dalam upaya perbaikan kualitas onggok kering dan nilai tambah. Proses Penjualan Onggok Kering, onggok yang dihasilkan langsung dijual setelah onggok dijemur dan kering. Onggok kering yang dihasilkan langsung dikemas dalam karung sederhana dan diangkut untuk dijual. Onggok kering yang dihasilkan tidak dilakukan penggudangan atau pengolahan lebih lanjut. Proses pasca pengeringan sangat sederhana dan mengakibatkan para penjemur tidak memiliki nilai tawar yang lebih dari produk yang dihasilkan. Penetapan harga onggok yang dijual hanya didasarkan pada kadar air onggok dan benda kontaminan. Penetapan harga tidak didasarkan pada kriteria yang lain misal kandungan nutrient bahan makanan. Berdasarkan kriteria kadar air, onggok di Tulang Bawang Barat hanya digolongkan pada onggok B, onggok C, dan onggok mamel. Onggok B di perkirakan memiliki kadar air kurang dari 18% dan Onggok C memiliki kadar air 18-25%. Sedangkan onggok mamel memiliki kadar air berkisar 30%. Namun, umumnya onggok B sangat jarang dihasilkan oleh

penjemur di wilayah Tulang Bawang Barat. Pemanfaatan onggok, onggok kering yang dihasilkan di Tulang Bawang Barat tidak dimanfaatkan oleh peternak untuk kebutuhan pakan di wilayah Tulang Bawang Barat. Onggok kering yang diproleh umumnya dijual ke peternakan atau pengolahan onggok di luar wilayah Tulang Bawang Barat dan bahkan di luar Lampung. Akibatnya nilai tambah tidak berpengaruh lebih terhadap

perekonomian Tulang Bawang Barat secara umum. Pemanfaatan onggok sebagai pakan ternak dapat dilakukan untuk kebutuhan pakan di wilayah Tulang Bawang Barat dalam upaya membangun perekononian masyarakat. Membangun Usaha Rakyat Melihat potensi dan kondisi pemanfaatan hasil sampingan industri pertanian, dibutuhkan upaya strategis yang perlu dilakukan bersama-sama dalam upaya membangun perekonomian daerah dan meningkatkan perolehan nilai tambah masyarakat. Besarnya potensi onggok adalah kekuatan yang dapat mendorong pembangunan sektor peternakan khususnya ruminansia di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya mengembangankan usaha penjemuran onggok di Kabupaten Tulang Bawang Barat: 1. Membangun kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud adalah

kelembagaan yang tidak hanya terfokus pada teknologi dan hal teknis namun perlu diperkuat dengan kelembagaan permodalan dan pemasaran. Penjemur onggok perlu dihimpun dalam satu kelembagaan yang dapat menjalankan kepentingan bersama. Beberapa upaya sederhana yang dapat dilakukan oleh kelompok penjemur ini antara lain: 1). Sebagai alat untuk dapat mengakses perusahaan pengolahan ubikayu yang tak lain adalah sumber onggok basah. Upaya ini bertujuan untuk mendapatkan harga bahan baku yang lebih murah. 2). Membangun unit pemasaran yang dapat membangun jaringan dalam upaya mengakses harga yang relative sesuai. 2. Rekayasa teknologi. Upaya ini dilakukan dengan tujuan perbaikan

kualitas onggok, Perlakuan yang dapat dilakuakan meliputi perlakuan fisik, perlakuan kimia, dan perlakuan biologis. Kualitas onggok sangat dipengaruhi oleh kondisi penjemuran dan perlakuan pasca penjemuran. Perbaikan manajemen penjemuran onggok dan perlakuan pasca penjemuran sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas onggok. Perbaikan kualitas onggok merupakan bagian yang tak terpisah dari upaya yang dilakukan oleh unit pemasaran. Pangsa pasar bahan pakan sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan pakan itu sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kendala yang dihadapi oleh penjemur dalam

mengakses harga onggok kering yang lebih tinggi adalah kualitas onggok yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. 3. Rekayasa sosial, upaya ini bertujuan untuk pelembagaan manajemen

kualitas dan pemanfaatan hasil sampingan industri pertanian sebagai pakan ternak. Jumlah kelompok tani dan penyuluh yang memadai serta efektivitas transfer teknologi adalah peluang yang sangat besar sebagai faktor yang dapat dimanfaatkan. Beberapa tahapan rekayasa sosial yang dapat dilakukan: 1). Menanamkan kepahaman tentang pentingnya pembangunan pertanian sebagai penopang dan mendorong ekonomi rakyat, 2). Membangun paradigma pembangunan pertanian berbasis sumber daya lokal, 3). Membangun kesadaran partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian, 4). Membangun kesadaran masyarakat dalam upaya hidup sehat dan sadar lingkungan. 4. Membangun keterkaitan antara penjemur onggok, peternak (swasta), pemangku kebijakan. Keempat pihak ini merasa

pabrik ubikayu dan

berkepentingan dalam upaya pengembangan usaha penjemuran onggok. pihak penjemur sangat berkepentingan dalam upaya menambah penghasilannya secara individu. Peternak (perusahan peternakan) merasa berkepentingan dalam upaya ketersediaan bahan pakan yang pasti dibutuhkan dalam peternakannya. Pihak pabrik ubikayu sangat berkepentingan dalam pengelolaan onggok (sebagai bagian dari proses produksi, pengelolaan limbah). Membangun kerjasama adalah fungsi yang dapat dilakukan oleh kelembagaan yang dijelaskan pada tahapan pertama. Bacaan Ahmad, C. 2010. Potensi Ketersediaan Limbah Tanaman Pangan Dan Hasil Sampingan Industri Pertanian Sebagai Pakan Ternak Di Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan IPB. Boer, M, Arizal, P.B. Yanovi., H. Ermidias. 2003. Tingkat penggunaan onggok sebagai bahan pakan penggemukan sapi bakalan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Hlm 99-103. Karto., A.A. 1994. Pemanfaatan pakan dan permasalahan pada ternak ruminansia. Media Peternakan. 18(2): 68-80. Sutardi, T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

You might also like