You are on page 1of 58

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal (Purnaman dan Rifki, 1990). Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis (PERHATI, 2001). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini (Roos, 1999). Rinosinusitis ini sendiri di klasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis. Rinosinusitis kronis adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasalis yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Rinosinusitis kronis secara nyata akan menurunkan kualitas hidup akibat obstruksi hidung dan iritasi, gangguan penghidu, gangguan tidur dan gejala pilek yang persisten (Harowi, 2007). Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronik ialah obstruksi mekanik seperti deviasi septum, hipertropi konka media, benda

asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung yang dibiarkan terus menerus tanpa penanganan pengobatan. Faktor predisposisi lain seperti rangsangan yang menahun dari lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktorfaktor fisik, kimia, saraf, hormonal atau emosional dapat juga mempengaruhi mukosa hidung yang selanjutnya dapat mempengaruhi mukosa sinus. Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa. Menurut American Academy of Otolaringology, kondisi ini menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per tahun. Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah 200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya juga (Ryan, 2006). Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di Bagian THT RS

Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi rinoinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi. Saat ini di RSUD Mataram belum ada studi epidemiologi mengenai data pasti dari kasus rinosinusitis, padahal rinosinusitis kronis tersebut merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di poli THT RSUD Mataram, sehingga sangat diperlukan data yang akurat untuk mengetahui distribusi profil subjek berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi dari rinosinusitis kronis. Propinsi NTB merupakan daerah pegunungan dengan iklim berupa udara yang dingin dan lembab, sebagian besar masyarakat NTB merupakan golongan menengah kebawah dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan yang rendah sehingga ratarata memiliki status gizi yang kurang dan tingkat higiene yang rendah. Iklim seperti udara dingin dan kering, lembab dengan suhu yang berubahubah, alergi, dan keadaan umum yang buruk (status gizi kurang), merupakan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya rinosinusitis. Dari uraian diatas dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya, maka penulis bermaksud mengangkat judul Profil Pasien Rinosinusitis Kronis di Poli THT RSUD Mataram Periode 1 Januari - 31 Desember 2007. Di NTB khususnya RSUD Mataram yang merupakan pusat rujukan dari berbagai kabupaten/kodya di NTB, belum terdapat penelitian yang melaporkan tentang angka kejadian penderita rinosinusitis kronis.

1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah profil pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007?

1. 3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Mengetahui profil pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di bagian poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007. 1.3.2. Tujuan Khusus Mengetahui rentang usia pasien rinosinusitis kronis. 2. 3. 4. 5. 6. Mengetahui jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis. Mengetahui tingkat pendidikan terakhir pasien rinosinusitis kronis. Mengetahui jenis pekerjaan pasien rinosinusitis kronis. Mengetahui keluhan utama pasien rinosinusitis kronis. Mengetahui faktor predisposisi pasien rinosinusitis kronis.

I.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi peneliti: 1. Mengetahui secara lebih mendalam profil pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007. 2. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dalam Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.

1.4.2. Bagi RSU Mataram: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pihak RSUD Mataram dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

1.4.3. Bagi para pembaca: Diharapkan bahwa hasil Karya Tulis Ilmiah ini nantinya dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan tambahan yang dapat memperluas wawasan pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kedokteran, tenaga kesehatan, maupun masyarakat pada umumnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis (Paraswati, 2007). 2.1.1. Sinus Maksilaris Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium

sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). 2.1.2. Sinus Etmoidalis Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus maksilaris, bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2003). Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma (Ballenger, 1994). 2.1.3. Sinus Frontalis Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi, di os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun. Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-

kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997). Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut dengan tulang compacta dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Ballenger, 1994). 2.1.4. Sinus Sfenoidalis Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk oleh os sfenoidale. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini, dan pasien dapat mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa dan sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)

Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)

10

1. Sinus frontal

2. Sinus etmoid anterior 3. Aliran dari sinus frontal 4. Aliran dari ethmoid 5. Sinus etmoid posterior
6. Konka media

7. Sinus sphenoid 8. Konka Inferior


9. Hard palate

Gambar 2.3. Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009) 2.2. Etiologi Rinosinusitis Kronis Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era praantibiotik, rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum, rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan tubuh yang tidak bugar, dan penyakit umum sistemik perlu dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktorfaktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan, dan kekeringan, demikian pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan faktor predisposisi.

11

Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi sebelumnya, misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti rinitis alergika. Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit rinosinusitis kronis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma. Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti, rinosinusitis, faringitis, dan sinusitis akut. Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga meluas ke sinus, yang termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan parainfluenza virus. Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang menyebabkan rinosinusitis akut. Namun, karena rinosinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang aerob, namun yang merupakan proporsi terbesar adalah bakteri anaerob (Munir dan Kurnia, 2007). Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemuphilus influenza, neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia, dan escherichia coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,

corynebacterium, bacteroides, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali juga terjadi (Hilger, 1997).

12

2.3. Patofisiologi Rinosinusitis Kronis Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik kronik, seperti hipertropi mukosa, dan poliposis (Hilger, 1997). Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung, dan pelapis sinus merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner bertingkat bersilia pada hidung, sehingga hal-hal yang terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus, karena hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakterial, yang kemudian bakteri tersebut dapat masuk melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan berkembangbiak didalamnya (Samsudin, 1991). Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, dimana sekretnya ini menebal, dan bila ditunggangi kontaminasi bakteri, mukosanya akan mengandung purulen. Virus juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia, hal ini menyebabkan silianya menjadi kurang aktif, dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental, sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi gangguan drenase dan ventilasi

13

di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-meneruslah yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis, dimana akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan (Pawankar, 2000 dan Stammberger 1997). Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid posterior atau resesus sfenoetmoid (Jareoncharsri dan Stammberger, 1997).

14

Polusi, Zat kimia

Hilangnya silia

Sumbatan Mekanis
Drenase yg tidak memadai

Alergi,
Perubaha n mukosa

defisiensi imun

Infeksi

Sepsis residual Pengobatan yang tidak memadai Gambar 2.4. Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis (Hilger, 1997)

Gambar 2.5. Purulen pada infeksi sinus maksilaris (Cody, 1991)

15

Gambar 2.6. Kista atau polip pada sinus maksilaris sinistra (Hazenfield, 2009)

Gambar 2.7. Polip hidung tampak pada rinoskopi anterior (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)

16

Gambar 2.8. Polip hidung dengan tangkainya (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)

Gambar 2.9. Nasal polip (Hazenfield, 2009)

17

Gambar 2.10.

Polipektomi hidung. Suatu pengait digunakan untuk menjerat dan menarik polip (Hilger, 1997)

2.4. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Kennedy, 1995). Yang merupakan kriteria mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa: a. b. Nyeri atau sakit pada bagian wajah. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip). c. d. Gejala faring, yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rhinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior, sedangkan pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

18

e. f. g.

Hyposmia atau anosmia. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.

Sedangkan kriteria minornya dapat berupa: a. b. c. d. e. f. Nyeri atau sakit kepala. Demam. Halitosis. Kelelahan (fatigue). Sakit gigi (dental pain). Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkial. g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba eustachius (Ryan, 2005). Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

19

2.5. Diagnosis Rinosinusitis Kronis Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran klinik, yaitu: No 1 2 Kriteria Lama gejala dan tanda Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari Rinosinusitis akut Dewasa Anak < 12 < 12 minggu minggu < 4 kali / tahun < 6 kali / tahun Rinosinusitis Kronis Dewasa Anak > 12 > 12 minggu minggu > 4 kali / tahun > 6 kali / tahun

Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy, 1995) Dari gambaran klinik ini, barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis dari rinosinusitis kronis, yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang dilakukan dengan inspeksi dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan transilumetri. Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila fasilitas radiologis tidak tersedia. Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan pemeriksaan CT-Scan (Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CTScan,

20

merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasuskasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan komplikasi, evaluasi preoperatif, dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam resolusi jaringan lunak dan sangat baik untuk membedakan rhinosinusitis karena jamur, neoplasma, dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan harganya mahal (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).

2.6. Komplikasi Rinosinusitis Kronis Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan kelainan paru. Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral. Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang dikelilingi pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial dan maksilaris

21

di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat meluas untuk melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis, tromboflebitis dan perkontinuitatum. Selain itu juga, semua sinus mempunyai hubungan sirkulasi di mata melalui pembuluh pterigodea, serta cabang-cabang arteri yang mempunyai nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan berdampingan dengan vena yang menghubungkannya dengan mata. Seperti cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil. Drenase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina, seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya yang terlibat langsug adalah termasuk juga divisi oftalmikus, misalnya bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasolabialis, yang berasal dari nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula timbul gejala pada mata, tetapi hanya karena hubungannya dengan sinus kavernosus tempat lewatnya saraf otak ketiga

22

(okulomotorius),

keempat

(troklearis),

kelima

(trigeminus)

dan

keenam

(abdusens) (Hilger, 1997). Kelainan yang dapat timbul, antara lain: a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga proptosis yang makin bertambah. d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik. Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa: a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis. b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga

23

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial. c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura. d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Sedangkan untuk kelainan paru berupa bronkitis kronik dan bronkiektasis, selain itu dapat pula timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

2.7. Terapi Rinosinusitis Kronis Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret, dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya, maka dapat dilakukan tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan konservatif, dengan pemberian antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya serta obat-obatan simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau preparat codein, dan kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk menghilangkan rasa sakit tersebut. Dekongestan, misalnya pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus. Terapi pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin (Piccirillo, 2004). Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

24

Agen Antibiotika SINUSITIS AKUT Lini pertama Amoksisilin Kotrimoxazol Eritromisin Doksisiklin Lini kedua Amoksi-clavulanat Cefuroksim Klaritromisin Azitromisin Levofloxacin SINUSITIS KRONIK Amoksi-clavulanat Azitromisin

Dosis Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis Dewasa: 3 x 500 mg Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 60 mg SMX/ kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 2 tab dewasa Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam Dewasa: 4 x 250-500mg Dewasa: 2 x 100 mg Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 875 mg 2 x 500 mg Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 250 mg 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama 4 hari berikutnya. Dewasa: 1 x 250-500 mg Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis Dewasa: 2 x 875 mg Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnya Dewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg selama 4 hari Dewasa: 1 x 250-500mg

Levofloxacin

Tabel 2.2. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo, 2004) Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini membantu memperbaiki drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk

25

sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka dapat dilakukan operasi radikal untuk menghindari komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui perubahan mukosa masih reversible atau tidak, dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum (sinus maksila) secara langsung dengan menggunakan endoskop (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Bila penanganan konservatif gagal, maka dilakukan terapi operatif yaitu dengan cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat operasi kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada rongga-rongga sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar, inilah yang disebut dengan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui

26

osteum alami. Dengan demikian sinus akan kembali normal (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

2.8. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Usia

Jenis kelamin

Tingkat pendidikan

Jenis pekerjaan

Faktor predisposisi

Rinosinusitis kronis

Gambar 2.11. Kerangka konsep penelitian

BAB III

27

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini dirancang secara deskriptif, dengan pengumpulan data bersifat retrospektif yaitu melakukan tinjauan terhadap rentang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi pada pasien rinosinusitis kronis yang berobat di Poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di RSUD Mataram NTB pada bulan Oktober 2008. Data dalam penelitian ini diambil dari kartu rekam medis pada pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di bagian Poli THT di RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007.

3.3. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007.

3.4. Definisi Operasional

28

1.

Rinosinusitis kronis merupakan peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasalis yang berlangsung lebih dari 3 bulan.

2.

Profil pasien rinosinusitis kronis merupakan gambaran umum penderita yang terdiri dari rentang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, keluhan utama, dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis yang disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau ikhtisar lainnya yang mewakili serangkaian karakteristik secara kuantitatif. 3. Usia pasien rinosinusitis kronis merupakan waktu hidup pasien sejak dilahirkan sampai datang ke poli THT dengan penyakit rinosinusitis. 4. Jenis kelamin adalah laki laki dan perempuan.

5. 6. 7.

Tingkat pendidikan merupakan pendidikan formal yang telah diselesaikan Pekerjaan merupakan mata pencaharian dari pasien rinosinusitis kronis. Keluhan utama merupakan gejala yang dirasakan oleh pasien rinosinusitis kronis saat datang berkunjung ke poli THT.

8.

Faktor predisposisi merupakan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya rinosinusitis kronis, seperti: obstruksi mekanik seperti deviasi septum, hipertropi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung yang dibiarkan terus menerus, rangsangan menahun dari lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, faktor fisik, kimia, saraf, hormonal ataupun emosional.

3.5. Alat dan Cara Pengumpulan Data

29

Sumber data dalam penelitian ini adalah informasi yang tertulis dalam rekam medis pasien rinosinusitis kronis. Pengumpulan data dilakukan dengan mencatat informasi-informasi yang penting dalam kartu rekam medis pasien. Data yang dicatat meliputi: 1. Nomor rekam medis. 2. Tanggal masuk rumah sakit. 3. Nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan alamat pasien. 4. Faktor predisposisi timbulnya rinosinusitis kronis. 5. Keluhan utama. 6. Hasil pemeriksaan penunjang.

3.6. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini, digunakan prosedur penelitian yang sesuai dengan langkahlangkah berikut: 1. Melakukan pencatatan pasien rinosinusitis dari buku registrasi di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007. 2. Melakukan pencarian rekam medik pasien rinosinusitis kronis di RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007. 3. Mencatat profil semua pasien rinosinusitis kronis di RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007. 4. Mengumpulkan data dan melakukan pengentrian data. 5. Melakukan analisa data dengan metode analisis deskriptif sederhana terhadap data yang sudah terkumpul dalam bentuk tabel dan gambar.

30

6. Membahas dan menginterprestasikan hasil data yang diperoleh yang dikaitkan dengan variable-variabel penelitian yang digunakan.

3.7. Analisis Data Data yang diperoleh disusun dan ditabulasi serta disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

3.8. Rencana Kegiatan Adapun jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan yaitu:
Rencana kegiatan Penyusunan judul Penyusunan proposal Pengumpulan data Analisis data Laporan penelitian Jun X Jul X Ags X Sep X X X X X X X X X Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

Tabel 2.3. Jadwal penelitian berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini pengumpulan data hanya berdasarkan informasi-informasi yang tertera di lembaran rekam medis pasien rinosinusitis kronis yang menjalani

31

pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007. Adapun informasi yang dicatat yaitu nomor rekam medis, tanggal masuk rumah sakit, nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, keluhan utama, faktor predisposisi dan hasil pemeriksaan penunjang. Penelitian mengenai profil rinosinusitis kronis ini dilakukan selama satu bulan yaitu pada bulan oktober dan berdasarkan hasil pengumpulan data rekam medis yang dilakukan, maka didapatkan data-data pasien rinosinusitis kronis yang menjalani pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram, yakni sebanyak 241 pasien rinosinusitis yang diperiksa di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007, dan diantaranya terdapat 120 pasien yang terdiagnosa rinosinusitis kronis. Berikut merupakan gambaran karakteristik subjek penelitian sebanyak 120 kasus yang dijabarkan dalam bentuk tabel dan grafik berdasarkan rentang usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi pasien rinosinusitis kronis yang diperiksa di poli THT RSUD Mataram periode 1 Januari 31 Desember 2007.

4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia Tabel 4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia No 1 2 3 4 Rentang usia <5 6-15 16-25 26-35 Frequency 3 8 28 26 Percent (%) 2.50 6.66 23.33 21.66

32

5 6 7

36-45 >46 Total

28 27 120

23.33 22.50 100.00

Sumber : rekam medik RSUD Mataram

Ga ba 4 . D m r .1 istribusi pa sienrinosinusitisk ronisberdasa n rka renta usia ng


30 25 20 15 10 5 0 <5 Tahun 6 - 15 Tahun 16 - 25 Tahun26 - 35 Tahun36 - 45 Tahun >46 Tahun

Dari tabel dan gambar 4.1. didapatkan bahwa usia pasien rinosinusitis kronis paling banyak pada kelompok usia 16-25 tahun dan kelompok usia 36-45 tahun yang memiliki jumlah pasien yang sama yaitu sebanyak 28 (23,33%) pasien, dan paling sedikit pada kelompok usia <5 tahun yaitu sebanyak 3 (2,5%) pasien. Dari keseluruhan data pasien rinosinusitis kronis, usia termuda 2 tahun dan usia tertua 66 tahun. Pada penelitian sebelumnya Massudi (Semarang, 1991) mendapatkan usia terbanyak adalah 21-25 tahun (38,16%), NW Nizar (Jakarta, 1994) usia terbanyak 26-30 tahun (47,21%), Moerseto (Jakarta, 1995) usia terbanyak 21-30 tahun (38,95%). Di RS Adam Malik Medan, Rizal A. Lubis (1998) usia terbanyak 18-27 tahun (60%), Alfian Taher (1999) usia terbanyak 15-24 tahun (36,85%), Elfahmi (2001) usia terbanyak adalah 35-44 tahun (30%) dan Usu (2003) mendapat usia terbanyak adalah 25-34 tahun. Menurut Hilger (1997) anak-anak cenderung lebih rentan mengalami infeksi virus dan alergi pada saluran nafas atas

33

dibanding usia dewasa. Namun, berbeda halnya dalam penelitian ini, dimana jumlah pasien anak yang berkunjung di poli THT RSUD Mataram dalam jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan usia dewasa 16-45 tahun. Penurunan jumlah kunjungan anak ini bisa terjadi dikarenakan sikap dan perilaku orangtua untuk memilih usaha preventif terhadap dampak kesehatan, didukung dengan peningkatan tingkat pengetahuan orangtua yang lebih baik sehingga dapat dilakukan penanganan sedini mungkin agar tidak mengakibatkan dampak kronis. Selain itu juga bahwa kunjungan anak usia 0-14 tahun lebih banyak datang ke poli anak. Sedangkan tingginya kasus rinosinusitis kronis pada usia dewasa 16-45 tahun terjadi akibat aktivitas sosial yang lebih banyak dilakukan diluar rumah dengan polutan atmosfer termasuk asap rokok dan kendaraan bermotor, sehingga resiko untuk tertular dengan virus dan bakteri pembawa penyakit rinosinusitis ini sangat besar dan umumnya mereka memiliki keterbatasan merawat kebugaran tubuh sehingga mereka rentan terhadap penyakit terutama ISPA. Dan juga faktor perilaku kaum dewasa ini yang mempunyai kebiasaan merokok yang dapat meningkatkan resiko terjadinya rinosinusitis kronis. 4.2. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.2.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin No 1 2 3 Jenis kelamin Wanita Laki-laki Total Frequency 57 Percent (%) 47.50

63 120

52.50 100.00

Sumber : rekam medik RSUD Mataram

34

Gam r4 .1 D ba .2 . istribusi pa sienrinosinusitiskronis berdasa njeniskela in rka m


65 60 55 50 Laki - Laki Wanita

Tabel 4.2.2. Distribusi rentang usia dan jenis kelamin pasien rinosinusitis kronis No 1 2 3 4 5 6 7 Rentang usia <5 6-15 16-25 26-35 36-45 >46 Total Jenis kelamin pasien Wanita Laki-laki Total 0 3 3 1 7 8 15 13 28 19 7 26 15 13 28 7 20 27 57 63 120

G mba 4.2.2. D tribus renta us da jeniskela a r is i ng ia n min pa ien rinos itiskronis s inus

2 0 1 5
Jumla Pa ien h s

1 0 5 0
< 5t h 6- 1 t 5h 1 -2 t 6 5h 2 -3 t 6 5h 3 -4 t 6 5h > 6t 4 h

Ren gu tan sia

La ki ki-la

Wa nita

Dari tabel dan gambar 4.2.1. didapat jenis kelamin terbanyak adalah laki laki sebanyak 63 (52,5%) pasien dan wanita sebanyak 57 (47,5%) pasien dengan

35

perbandingan kasus : = 1,1 : 1. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Usu (2003) dimana jumlah pasien laki-laki 22 orang dan wanita 19 orang dengan perbandingan kasus : = 1,2 : 1 dan Elfahmi (Medan, 2001) dari 40 penderita maksila kronis didapat laki-laki 21 (52,5%) orang dan wanita 19 (47,5%) orang dengan perbandingan kasus : = 1,1 : 1. Sedangkan pada penelitian lainnya, Massudi (Semarang, 1991) mendapatkan laki-laki 48,5% dan wanita 51,5%. Beninger MS (1996) dari 100 penderita sinusitis maksila kronis didapat laki-laki 45 orang dan wanita 55 orang dan Pramono (Semarang, 1999) mendapatkan 34 laki-laki dan 37 wanita. Jika disesuaikan dengan teori hasil ini sangat bertentangan, seperti dikutip dalam Falagas ME (2007) menyatakan bahwa wanita biasanya lebih banyak terkena infeksi saluran nafas atas yaitu sinusitis, tonsilitis dan otitis eksterna dan laki-laki sebagian besar menderita otitis media, batuk dan beberapa infeksi saluran nafas bawah. Schachter J, Higgins MW (1976) juga melaporkan bahwa ISPA pada anak perempuan lebih sering berkembang pada saat dewasa dibandingkan dengan anak laki-laki, mugkin pengaruh hormonal. Namun dalam hal ini tidak dapat dipungkiri juga bahwa struktur anatomi, gaya hidup, kebiasaan dan perbedaan sosial ekonomi antara wanita dan laki-laki sangat berperan penting. Lebih banyaknya laki-laki yang menderita rinosinusitis kronis yang melakukan pemeriksaan di poli THT RSUD Mataram mungkin dipengaruhi oleh gaya hidup dan kebiasaan masyarakat NTB. Pada umumnya laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas sosial dibanding wanita yang lebih banyak melakukan aktivitasnya dirumah, maka orang-orang yang banyak melakukan aktivitas sosial diluar akan lebih beresiko. Selain itu,

36

kebiasaan merokok sebagian besar dilakukan oleh laki-laki, dimana asap rokok akan menyebabkan iritasi saluran pernafasan yang cukup berat, dan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mencetuskan penyakit rinosinusitis kronis. Kaum wanita pada umumnya lebih memilih usaha perawatan preventif terhadap kesehatan sehingga mereka cenderung akan berusaha lebih waspada dan bergerak cepat untuk mengatasi penyakit yang timbul sehingga tidak berlanjut ke kondisi yang semakin parah. Dari distribusi rentang usia dan jenis kelamin pada tabel dan grafik 4.2.2. diatas didapat paling banyak penderita rinosinusitis kronis adalah dari kelompok laki-laki dengan rentang usia >46 tahun yaitu sebanyak 20 pasien dan pada wanita usia <5 tahun tidak ditemukan kasus. Pada kelompok rentang usia 16-45 tahun kasus rinosinusitis kronis terbanyak ditemukan pada wanita. 4.3. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan terakhir Tabel 4.3.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan terakhir No Tingkat Pendidikan Terakhir 1 Belum/tidak sekolah 2 TK 3 SD 4 SMP 5 SMA 6 Tamatan universitas 7 Total
Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram

Frequency 5 3 14 13 51 34 120

Percent (%) 4.16 3.33 11.66 10.83 42.50 28.33 100.00

37

60 50 40 30 20 10 0

Ga ba 4 .1 D m r .3 . istribusi pa sienrinosinus kronis itis berda rk nting a pendidika tera sa a kt n khir

Belum /Tidak Sekolah

TK

SD

SM P

SM A

Tam atan Universitas

Tabel 4.3.2. Distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan terakhir pasien rinosinusitis kronis
No Rentang usia

Tingkat pendidikan terakhir pasien


Belum/tidak sekolah TK SD SMP SMA Tamatan universitas Total

1 2 3 4 5 6 7

<5 6-15 16-25 26-35 36-45 >46 Total

3 0 0 1 0 1 5

0 3 0 0 0 0 3

0 5 1 2 3 3 14

0 0 4 5 4 0 13

0 0 22 10 9 10 51

0 0 1 8 12 12 34

3 8 28 26 28 26 120

38

G mba 4.3.2. D tribus renta us da ting t pendidika tera a r is i ng ia n ka n khir pa ien rinos itiskronis s inus
25 20

Jum Pas lah ien

15 10 5 0 <5t h 6- 1 t 1 - 2 t 2 - 3 t 3 - 4 t 5h 6 5h 6 5h 6 5h >4 t 6h

R entang Us ia Tidak/Belum S ekolah TK S D S MP S MA Tam atan Univers itas

Dari tabel dan gambar 4.3.1. terlihat bahwa tingkat pendidikan terakhir penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok SMA sebanyak 51 (42,5%) pasien dan terendah pada kelompok TK sebanyak 3 (3,33%) pasien. Kelompok SMA terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun dengan jumlah kasus tertinggi yaitu sebanyak 22 pasien. Untuk distribusi rentang usia dan tingkat pendidikan terakhir lainnya dapat dilihat pada tabel dan gambar 4.3.2 diatas. Namun demikian, belum ada penjelasan yang pasti mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian rinosinusitis kronis.

4.4. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan Tabel 4.4.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan No Jenis Pekerjaan 1 Belum/tidak bekerja Frequency 32 Percent (%) 26.66

39

2 3 4 5 6

Pelajar Mahasiswa Swasta PNS Total

15 16 32 25 120

12.50 13.33 26.66 20.83 100.00

Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram

Ga ba 4 .1 D tribusi pa m r .4 . is sienrinos inusitiskronis berda a njenispek a s rka erja n


35 30 25 20 15 10 5 0 Belum /Tidak Bekerjaelajar P Mahasiswa Swasta PNS

Tabel 4.4.2. Distribusi rentang usia dan jenis pekerjaan pasien rinosinusitis kronis
No Rentang usia

Jenis pekerjaan pasien


Belum/tidak bekerja Pelajar Mahasiswa Swasta PNS Total

1 2 3 4 5 6 7

<5 6-15 16-25 26-35 36-45 >46 Total

3 0 4 13 7 5 32

0 8 4 0 2 1 15

0 0 15 0 0 1 16

0 0 5 7 11 9 32

0 0 0 6 8 11 25

3 8 28 26 28 27 120

40

Gam ar 4.4 Distrib si ren g u d jen p b .2. u tan sia an is ekerjaan p asien rin u osin sitis kron is

1 5 1 0

J umlah Pasien
5 0

<5th

6- 1 th 1 - 2 th 2 - 3 th 3 - 4 th >4 th 5 6 5 6 5 6 5 6
Rentang Usia

Belum/Tidak Bekerja

Pelajar

Mahasiswa

Swasta

PNS

Pada tabel dan gambar 4.4.1. didapat jenis pekerjaan terbanyak dari kelompok belum/tidak bekerja dan kelompok swasta yang memiliki jumlah pasien yang sama sebanyak 32 (26,66%) pasien. Kelompok belum/tidak bekerja ini terdiri dari anak usia <5 tahun yang belum bersekolah, IRT dan pensiunan, sedangkan kelompok swasta antara lain terdiri dari petani, buruh, montir bengkel, sopir dan tukang ojek. Dan yang merupakan kelompok terkecil adalah kelompok pelajar sebanyak 15 (12,50%) pasien. Dalam tabel dan gambar 4.4.2. diatas terlihat bahwa pasien rinosinusitis kronis yang berkunjung ke poli THT dengan kelompok belum/tidak bekerja memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 26-35 tahun sebanyak 13 pasien, sedangkan kelompok swasta memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 36-45 tahun sebanyak 11 pasien. Untuk kelompok belum/tidak bekerja yang diketahui 26 dari 33 pasiennya adalah IRT, dimana mereka lebih banyak melakukan aktivitas di rumah, sehingga hal ini berhubungan erat dengan paparan yang terusmenerus dari alergen yang berada dalam rumah dan lingkungan sekitarnya, seperti

41

debu rumah, apalagi di daerah urban terdapat banyak pemukiman padat penduduk yang biasanya di huni oleh kalangan menengah bawah, dengan lingkungan yang buruk pada tempat tinggal mereka, karena pada umumnya rumah-rumah tersebut memiliki sedikit ventilasi sehingga sirkulasi udara berjalan tidak lancar. Namun faktor resiko non alergi seperti udara dingin, kerja berat, infeksi virus dan lain-lain dapat juga berperan dalam mencetuskan rinosinusitis kronis penghuni rumah tersebut. Kemudian untuk kelompok swasta dengan rata-rata penghasilan rendah seperti yang telah dijelaskan diatas, dimana mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di luar rumah yang boleh diprediksikan bahwa kondisi lingkungan kerja mereka kurang baik, karena mereka akan lebih sering terpapar oleh polusi udara dari kendaraan bermotor, apalagi masyarakat Indonesia kita ini yang sebagian besar penduduknya merupakan perokok aktif, sehingga perokok pasif pun akan terpapar juga oleh asap rokok yang merupakan salah satu alergen yang dapat mencetuskan rinosinusitis kronis. Kasus rinosinusitis kronis pada PNS juga cukup banyak, dimana kelompok ini menempati urutan kedua setelah kelompok belum/tidak bekerja dan kelompok swasta. Jumlah PNS yang tinggi dikarenakan RSU Mataram menerima pelayanan ASKES, sehingga banyak dari mereka yang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan gratis dari ASKES.

4.5. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama Tabel 4.5.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama
No
1 2 3

Jenis keluhan pasien rinosinusitis kronis

Frequency

Percent (%)

A B C

85 17 1

70.83 14.16 0.83

42

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z Total

6 77 8 15 18 20 11 6 25 2 10 10 60 4 7 15 4 3 8 7 2 3 2 120

5.00 64.16 6.66 12.50 15.00 16.66 9.16 5.00 20.83 1.66 8.33 8.33 50.00 3.33 5.83 12.50 3.33 2.50 6.66 5.83 1.66 5.00 1.66 100.00

Sumber : Rekam Medik RSUD Mataram

Gambar 4.5.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama

43

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

F recuency k eluha uta a n m

C E

G I

K M O Q

S U W Y

Tabel 4.5.2. Distribusi rentang usia dan keluhan utama pasien rinosinusitis kronis Keluhan utama pasien
No

Rentang usia <5 6-15 16-25 26-35 36-45 >46 Total

A 2 5 22 15 21 20 85

B 1 0 4 3 3 6 17

C D E 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 2 3 6 1 6 21 16 19 14 77

F G 0 1 1 1 2 3 0 4 1 1 4 5 8 15

H 0 1 7 4 5 3 18

I 0 1 7 4 5 3 20

J 0 0 2 1 5 3 11

K L 0 0 1 1 1 5 0 6 2 5 2 8 6 25

M N 0 0 0 1 0 2 1 3 0 1 1 3 2 10

O 0 0 2 2 2 4 10

P 0 6 12 12 18 12 60

Q R S 0 0 0 0 3 1 4 1 0 1 0 1 0 3 7 1 2 0 6 7 15

T U V W X Y Z 0 0 1 2 0 1 4 0 1 0 1 0 1 3 0 1 1 2 3 1 8 0 1 1 0 4 1 7 0 0 1 0 1 0 2 0 2 0 1 0 0 3 1 0 1 0 0 0 2

1 2 3 4 5 6 7

44

Gam 4.5.2. Dis bar tribus rentang us dan keluhan utam pas rinos i ia a ien inus itis kronis
2 5 2 0 1 5 1 0 5 0
<5th 6- 1 th 5 1 - 2 th 6 5 2 - 3 th 6 5 3 -4 th 6 5 >4 th 6
Rentang Usia

J umlah Pasien

Keterangan :
A= pilek B= ingus berbau C= sulit buang ingus D= penciuman berkurang E = hidung tersumbat F = benjolan dihidung G= nyeri/sakit hidung H= hidung bengkak I = mimisan J = nyeri/sakit pipi K= pipi bengkak L = sakit/gatal tenggorokan M = pendengaran berkurang W X Y Q N O = nyeri/sakit telinga = telinga bindeng P R S T U V = pusing = sulit bernafas = batuk = bersin-bersin = mual = panas/demam = mata kabur

= sakitgigi = bau mulut = sakit/nyeri saat menelan Z = nafsu makan berkurang

45

Dari tabel dan gambar 4.5.1. didapatkan keluhan utama pasien terbanyak adalah pilek sebanyak 85 (70,83%) pasien, diikuti hidung tersumbat sebanyak 77 (64,16%) pasien dan pusing sebanyak 60 (50%) pasien. Sedangkan keluhan utama terkecil adalah sulit buang ingus sebanyak 1 (0,83%) pasien. Beberapa keluhan utama terbanyak diatas memang merupakan kriteria mayor dari gejala klinis rinosinusitis kronis dan keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa penderita rinosinusitis kronis umumnya menderita keluhan gangguan pada hidung, gangguan pada faring dan sakit kepala (Taufik, Kusno dan Suprihati, 1989). Usu (2003) dan Benninger (1996) juga mendapatkan keluhan terbanyak penderita sinusitis maksila kronis berupa hidung tersumbat. Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan Massudi (Semarang, 1991) dimana keluhan utama penderita adalah hidung tersumbat 42,4% dan sakit kepala 15,1%. Hidung tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan oleh alergi serta sekret yang mengental karena infeksi sekunder sebelum terjadi rinosinusitis. Menurut Kennedy DW, hidung tumpat dihubungkan dengan pembengkakan dalam celah hidung dan sinus yang menyebabkan gangguan ventilasi dan drenase sinus. Untuk keluhan pilek dan hidung tersumbat ditemukan terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun berturut-turut sebanyak 22 pasien dan 21 pasien, sedangkan pusing terbanyak pada rentang usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 18 pasien dan ketiga keluhan utama terbanyak ini terendah pada rentang usia yang sama yaitu <5 tahun berturut-turut sebanyak 2 pasien, 1 pasien, dan 0 pasien, dikarenakan pada

46

usia tersebut jumlah kasusnya memang sedikit. Untuk distribusi rentang usia dan keluhan utama lainnya dapat dilihat pada tabel 4.5.2. dan grafik 4.5.2. di atas. Suatu laporan dari delapan negara Asia-Pasifik yang dilaporkan dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology (2003) menunjukan bahwa rinosinusitis mengganggu kualitas hidup, seperti gejala hidung tersumbat, pilek, tenggorokan gatal, wajah terasa bengkak, penciuman dan pendengaran menjadi terganggu. Dampak rinosinusitis terhadap kualitas hidup pun tidak dapat diabaikan, hal ini ditunjukkan pula dari laporan tersebut, seperti keterbatasan dalam berekreasi atau berolahraga 52,7%, aktivitas fisik 44,1%, pemilihan karier 37,9%, aktivitas sosial 38%, cara hidup 37,1% dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh 36,5% anak dan 26,5% orang dewasa.

4.6. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi Tabel 4.6.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Faktor Predisposisi A B C D E F G H I J K L M N Frequency 33 14 6 18 7 2 2 2 10 5 2 1 1 7 Percent (%) 27.50 11.66 5.00 15.00 5.83 1.66 1.66 1.66 8.33 4.16 1.66 0.83 0.83 5.83

47

15 16

O Total

30 120

25.00 100.00

Sumber: Rekam Medik RSUD Mataram

Gambar 4.6.1. Distribusi pasien rinosinusitis kronis berdasarkan faktor predisposisi

3 5 3 0 2 5 2 0 1 5 1 0 5 0 A B C D E F G H I J K L M N O
Frecu cy faktor en p isp sisi red o

Tabel 4.6.2. Distribusi rentang usia dan faktor predisposisi pasien rinosinusitis kronis
No
1 3 3 4 5 6 7

Rentang usia
<5 6-15 16-25 26-35 36-45 >46 Total

A
0 2 8 7 7 9 33

B
0 0 3 3 5 3 14

C
1 0 2 1 0 2 6

D
0 1 1 8 2 6 18

E
0 0 2 1 2 2 7

Faktor predisposisi pasien F G H I J K


0 1 0 1 0 0 2 0 0 0 1 1 0 2 0 0 1 0 1 0 2 1 1 2 4 1 1 10 0 0 2 1 1 1 5 0 0 0 1 1 0 2

L
0 0 0 1 0 0 1

M
0 0 0 0 1 0 1

N
0 1 1 0 4 1 0

O
1 3 13 4 4 5 30

48

Ga mba 4.6.2. D tribus renta us dan fa tor predis is pa ien rinos itis r is i ng ia k pos i s inus kronis
9 8 Jum hPa ien la s 7 6 5 4 3 2 1 0 <5th 6- 15th 16- 25th 26 - 35th 36- 45th >46th R enta Us ng ia A B C D E F G H I J K L M N O

Keterangan:
A B C D E F G H = polip = rinitis alergi = rinitis akut = rinitis kronis = faringitis kronis = tonsillitis kronis = OMSK = tinitus I J K L M N O = hipertropi konka = deviasi septum = ca nasofaring = tumor septum nasi = trauma = kelainan geligi = belum diketahui

Pada tabel dan gambar 4.6.2. terlihat faktor predisposisi terbanyak adalah polip sebanyak 33 (27,5%) pasien, diikuti dengan belum diketahuinya faktor predisposisi penyakit pasien sebanyak 30 (25%), kemudian rinitis kronis sebanyak 18 (15%) pasien dan rinitis alergi sebanyak 14 (11,66%) pasien. Dan faktor predisposisi terendah adalah tumor septum nasi dan trauma masing-masing sebanyak 1 (0,83%) pasien.

49

Polip merupakan faktor predisposisi terbesar dari sekian banyak faktor pencetus rinosinusitis kronis yang ada pada data yang telah diteliti, ini dikarenakan sebagian besar pasiennya mengalami sumbatan hidung yang berlangsung terus-menerus. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut, ini terbukti didapatkannya polip dalam semua rentang usia kecuali pasien <5 tahun. Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang

mengakibatkan rinosinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh hidung dan sinus. Secara makroskopik polip merupakan massa lunak yang tumbuh didalam rongga hidung dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, dapat tunggal atau multiple dan bilateral serta tidak sensitif, bila ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit. Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat (Lee dan Larsen, 1997). Begitu juga dengan faktor predisposisi rinitis kronis dan rinitis alergi yang cukup banyak kasusnya, dimana yang termasuk dalam rinitis kronis ini antara lain rinitis hipertropi, rinitis sika dan rinitis spesifik. Meskipun penyebabnya bukan radang, kadang-kadang rinitis alergi dimasukkan juga dalam rinitis kronis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada

50

orang dewasa, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, baik yang didapatkan dari dalam rumah maupun diluar rumah seperti debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai serta polen dan jamur, dan juga alergen ingestan yang sering merupakan penyebab pada anak-anak yang masuk ke saluran cerna berupa makanan seperti susu, telur, coklat ikan, udang. Seorang perokok mungkin alergi terhadap tembakau serta juga mengalami iritasi kimia oleh asap rokok. Selain itu, banyaknya pasien yang belum diketahui faktor predisposisinya secara jelas dengan jumlah kasus sebanyak 30 pasien ini dikarenakan pada pasien tersebut belum dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai anamnesis lanjutan, seperti pemeriksaan radiologik berupa posisi waters, PA dan bilateral, begitu juga dengan pemeriksaan mikrobiologiknya yang dilakukan di laboratorium, ini kemungkinan karena pertimbangan biaya, atau mungkin juga pada saat dilakukan anamnesis, riwayat pasien tidak ditanyakan secara lengkap sehingga sedikit informasi yang di dapatkan, padahal ini merupakan hal yang paling penting dalam membantu menentukan faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau memperhebat gambaran klinis dari penyakit rinosinusitis kronis tersebut.

51

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa angka kejadian rinosinusitis kronis di poli THT RSUD Mataram periode 1 Janurai 31 Desember 2007 adalah 120 kasus (49,79%) dari 241 kasus rinosinusitis dan profil pasien rinosinusitis kronis yang berkunjung ke poli THT tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Pada profil rinosinusitis kronis berdasarkan rentang usia, kasus tertinggi pada kelompok usia 16-25 tahun dan kelompok usia 36-45 tahun yang memiliki jumlah pasien yang sama yaitu sebanyak 28 (23,33%) pasien terendah pada kelompok usia <5 tahun sebanyak 3 (2,5%) pasien. 2. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin, terbanyak ditemukan pada kelompok laki-laki sebesar 63 (52,5%) pasien sedangkan pada wanita sebanyak 57 (47,5%) pasien dengan perbandingan kasus : = 1,1 : 1. Dan bila dihubungkan antara rentang usia dan jenis kelamin didapat laki-laki terbanyak pada rentang usia >46 tahun sebanyak 20 pasien dan wanita lebih banyak dijumpai pada rentang usia 16-45 tahun. 3. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, terbanyak didapatkan pada kelompok SMA yaitu sebanyak 51 (42,5%) pasien dan paling sedikit pada kelompok TK sebanyak 3 (2,5%) pasien. Bila

52

dihubungkan antara rentang usia dan tingkat pendidikan didapat SMA terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun yaitu sebanyak 22 pasien. 4. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan jenis pekerjaan, terbanyak dari kelompok belum/tidak bekerja dan swasta masing-masing sebanyak 32 (26,66%) pasien dan terendah adalah kelompok pelajar sebanyak 15 (12,5%) pasien. Dan bila dihubungkan antara rentang usia dan jenis pekerjaan maka didapat kelompok belum/tidak bekerja memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 26-35 tahun sebanyak 13 pasien, sedangkan kelompok swasta memiliki kasus tertinggi pada rentang usia 36-45 tahun sebanyak 11 pasien. 5. Kasus rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama, terbanyak di karenakan oleh pilek yaitu 85 (70,83%) pasien, disusul dengan hidung tersumbat 77 (64,16%) pasien dan pusing 60 (50%) pasien dan terkecil dengan keluhan sulit buang ingus sebanyak 1 (0,83%) pasien. Bila dihubungkan antara rentang usia dan keluhan utama didapat pilek dan hidung tersumbat ditemukan terbanyak pada rentang usia 16-25 tahun berturut-turut sebanyak 22 pasien dan 21 pasien, sedangkan pusing terbanyak pada rentang usia 36-45 tahun sebanyak 18 pasien dan ketiga keluhan utama terbanyak ini terendah pada rentang usia yang sama yaitu <5 tahun berturut-turut sebanyak 2 pasien, 1 pasien, dan 0 pasien. 6. Kasus berdasarkan faktor predisposisi, terbanyak adalah polip yaitu 33 (27,5%) pasien dan terkecil adalah tumor septum nasi dan trauma masingmasing sebanyak 1 (0,83%) pasien. Polip didapatkan dalam semua usia kecuali <5 tahun.

53

5.2. Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan agar hasilnya lebih maksimal sehingga didapatkan gambaran yang lebih luas tentang profil rinosinusitis, khususnya rinosinusitis kronis. 2. Setiap pasien rinosinusitis yang berkunjung ke poli THT RSUD Mataram sedapat mungkin untuk dilakukan pencatatan data rekam medik selengkaplengkapnya untuk memudahkan dilakukannya penelitian selanjutnya.

54

DAFTAR PUSTAKA

Cody, D.T.R,. Taylor. (1991), Pemeriksaan Hidung dan Sinus-Sinus, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan (Diseases of the ears, nose, and throath), alih bahasa oleh Samsudin, Sonny, EGC, Jakarta. (1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan (Diseases of the ears, nose, and throath), alih bahasa oleh Samsudin, Sonny, EGC, Jakarta. Depkes RI. (2006), Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia,_hlm /52, HTA Indonesia, Available from: http://www. yanmedik depkes. net/hta/ Hasil% 20Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20Endoscopic%20 Sinus% 20Surgery% 20di% 20Indonesia. doc. (Accessed: 2008, September 17). Dorland, W.A. Newman. (2002), Dorlands Illustrated Medical Dictionary, alih bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND, EGC, Jakarta. Falagas ME dkk. (2007), Sex differences in the incidence and severity of respiratory tract infections, Respiratory medicine, 10 (9): 1845-63. Hazenfield, Hugh N., M.D., F.A.C.S., (2009), Endoscopic Sinus Surgery by the American Board of Otolaryngology, Available from: www.dochazenfield.com/sinus_surgery.htm (Accesed: 2009, April 3). Harowi, M. Roikhan. (2007), Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronis Pasca Terapi Bedah, Thesis Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Kedokteran Klinis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Available from: http://puspasca.ugm.ac.id/files/Abst_(2781-H-2007).pdf. (Accessed: 2008, July 31).

55

Hilger, Peter. A. (1997), Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6, EGC, Jakarta. (1997), Penyakit Sinus Paranasalis, Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Kapita Selekta Kedokteran. (2002), Sinusitis Kronis, Ilmu penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, edisi ketiga, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Kennedy, DW. (1995), International Conference On Sinus Disease, Terminology, Staging, Therapy, Ann Otol Rhinol Laryngol; (Suppl. 167):7-30, dalam HTA Indonesia 2006 Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia hlm /52; 104, Available from: http://www. yanmedik depkes. net/hta/ Hasil % 20Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20Endoscopic%20 Sinus% 20Surgery% 20di% 20Indonesia. doc. (Accessed: 2008, September 17). Mangunkusumo, Endang dan Rifki, Nusjirwan. (2003). Sinusitis, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI. Jakarta. Mangunkusumo, Endang. (1999), Sinusitis, dalam Kumpulan Makalah

Simposium Sinusitis, Jakarta, Available from: http:// www. kalbe. co. id/files/cdk/files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, September 17). Munir, Delfitri dan Kurnia, Beny. (2007), Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis Maksila Kronis, Cermin Dunia Kedokteran, No. 155, Poliklinik THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, Indonesia, Available from: http:// www. kalbe. co.id/ files/ cdk/ files/ cdk_155_THT. pdf. (Accessed: 2008, July 31).

56

Nizar, Nuty W. dan Mangunkusumo, Endang. (2003). Polip Hidung, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, FKUI. Jakarta. Pawankar R., (2000), Nasal Polyposis: A Multifactorial Disease. In: Proceeding of World Allergy Forum Symposia: Non Allergic Rhinitis and Polyposis. Sydney Australia: Oct. 17, Available from: http://www.yanmedik% 20di%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic %20Sinus%20Surgery September 17). Piccirillo. (2004), Faktor-Faktor Prognosis Kesembuhan Rinosinusitis Kronis Yang Dengan Terapi Medikamentosa, Available from: http://www.google. com/search?q= cache: l5m__5v9 WEJ: puspasca.ugm. ac.id/ files(1021H2004). pdf+rhinosinusitis&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a (Acessed: 2008, July 31). PIT, PERHATI. (2001), Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis, dipresentasikan di Palembang, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20 Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus%20Surgery % 20di%20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17). Purnaman dan Rifki, Nusyirwan. (1990), Sinusitis, dalam Nurbaiti Iskandar, Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung Tenggorok, edisi pertama, FKUI, Jakarta, Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/ files/cdk_155_THT.pdf. (Accessed: 2008, September 17). Roos, K. (1999), The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis, In Rhinosinusitis: Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series 67: 3-9, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/ hta/ Hasil% 20

57

Kajian% 20HTA/ 2006/ Functional% 20 Endoscopic% 20 Sinus% 20 Surgery % 20 di % 20Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17). Ryan, Matthew. (2006), Management of Chronic Rhinosinusistis. Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology. Samsudin, Sony. (1991), Sinusitis, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta. Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. (1995), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta. Stammberger, H. dan Jareoncharsri. (1997), Examination and Endoscopy of The Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 120-36, Available from: http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20 Kajian%20HTA/2006/Functional%20Endoscopic%20Sinus% 20 Surgery% 0 di %20 Indonesia.doc. (Accessed: 2008, September 17). Taufik, M., Kusno., dan Suprihati. (1986), Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis. Lab/UPF THT/FK UNDIP, RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VIII Perhati Ujung Pandang, 927-31. USU digital library. (2003), Profil Sinusitis Maksila Kronis di Poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2000 Februari 2001. (Accessed: 2009, January 10). Wiadyana, I.G.P. et al. (1998), Pedoman Upaya kesehatan Telinga dan Pencegahan Gangguan pendengaran untuk Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Yuniandri, Tiara Paraswati. (2007), Sinusitis, November, Friday 30 [04:48:53 UTC] - last modification, FK Universitas Islam Indonesia. (Accessed: 2008, July 31).

58

You might also like