You are on page 1of 16

KAD atau SHH??

author : Nurina Meiriani

Definisi Ketoasidosis diabetikum (KAD)merupakan komplikasi metabolik akut pada diabetes melitus yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperketonemia, dan asidosis metabolik.1 Status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) juga merupakan gangguan metabolik akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus, yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis.2 Istilah SHH merupakan istilah yang sekarang digunakan untuk menggantikan KHH (Koma Hiperosmolar Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar non Ketotik) karena koma dapat terjadi lebih dari 50% kasus, dan ketosis ringan juga dapat ditemukan pada pasien dengan SHH.3

Etiologi Etiologi(disusun berdasarkan frekuensi) Infeksi, terutama pneumonia, ISK, dan sepsis Terapi insulin yang tidak adekuat Onset baru diabetes Obat-obatan yang dapat memicu KAD/SHH Agen antipsikotik atipikal Kortikosteroid Glukagon Interferon

Penyakit kardiovaskuler, terutama Agen simpatomimetik, seperti infark miokard albuterol, dopamin, dobutamin, dan Akantosis nigricans terbutalin. Akromegali

Trombosis arteri Kecelakaan serebrovaskuler Hemokromatosis Hipertiroidism Pankreatitis Kehamilan

Patofisiologi KAD ditandai dengan keadaan hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan konsentrasi keton dalam tubuh. Ketoasidosis terjadi karena kurangnya atau tidak efektifnya kerja insulin terhadap peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan). Hubungan antara defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator ini kemudian dapat mempengaruhi produksi glukosa, peningkatan lipolisis, dan produksi badan keton. Keadaan hiperglikemia dan tingginya kadar keton akan menyebabkan diuresis osmotik yang kemudian meembuat pasien mengalami hipovolemia dan penurunan laju filtrasi glomerulus(LFG).1 SHH ditandai dengan defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Beberapa studi mengenai perbedaan respon hormon kontra regulator pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien memiliki kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien KAD.1 Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa, namun keduanya memiliki perbedaan. Pada SHH akan terjadi keadaan dehidrasi yang lebih berat, kadar insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis besar-besaran dan kadar hormon kontra regulator yang bervariasi.3

Diagnosis Klinis Diagnosis secara klinis untuk membedakan antara KAD dan SHH tidaklah mudah. Gejala yang dialami oleh pasien dapat serupa. Anamnesis Manifestasi klinis dari KAD biasanya berlangsung dalam waktu singkat, dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan dapat berlangsung selama beberapa hari, sebelum terjadinya ketoasidosis, muntah dan nyeri perut. Nyeri perut yang menyerupai gejala akut abdomen, dilaporkan terjadi pada 40-75% kasus KAD. Dalam suatu penelitian, didapatkan hasil bahwa kemunculan nyeri perut dapat dikaitkan dengan kondisi asidosis metabolik, namun bukan karena hiperglikemia atau dehidrasi.
4

Untuk SHH, manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi.3 Nyeri perut juga jarang dialami oleh pasien SHH.

Pemeriksaan Fisik Kriteria Tanda dehidrasi Status mental Bau nafas aseton Pernafasan Kussmaul KAD Kompos mentis - koma + + SHH Stupor/koma -

Pemeriksaan Laboratorium Walaupun diagnosis KAD dan SHH dapat ditegakkan dari klinis, namun konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan. Hasil laboratorium yang dapat ditemukan: Kriteria diagnostik dan klasifikasi Glukosa plasma(dalam mg/dL) pH arteri Bikarbonat serum(dalam mEq/L) Keton urin Keton serum Osmolalitas serum (dalam mOsm/kg)* Anion Gap KAD > 250 <> <> ++ ++ Bervariasi > 12 SHH > 600 > 7,3 > 15 + ringan/+ ringan/> 320 <>

* Osmolalitas darah = 2(Na serum) + Glukosa plasma/18.1 Hasil laboratorium yang perlu dipantau pada KAD dan SHH:

Natrium : Efek osmotik dari keadaan hiperglikemia membuat cairan berpindah dari ekstravaskular ke intravaskular. Untuk setiap 100 mg/dL glukosa (jika kadar glukosa > 100 mg/dL), kadar natrium serum dapat menurun hingga 1,6 mEq/L. Ketika kadar glukosa turun, maka natrium serum dapat meningkat.1

Kalium : Kadar kalium dapat bervariasi. Kondisi asidosis pada pasien dapat menyebabkan perpindahan kalium dari intraseluler ke ekstraseluler sehingga akan terjadi hiperkalemia.1 Keadaan defisiensi insulin yang lama pada pasien DM membuat pasien mengalami hiperkalemia ringan yang kronik. Pada keadaan akut, pasien dapat mengalami ekskresi kalium yang berlebih melalui ginjal ataupun gastrointestinal karena kondisi diuresis osmotik, sehingga terjadi masking effect yang dapat membuat kadar kalium dalam kisaran normal.5 Oleh karena itu, pada penatalaksanaan keadaan akut pasien DM, baik pada pemberian kalium maupun terapi insulin, kadar kalium harus selalu dievaluasi dengan ketat agar tidak terjadi aritmia jantung. Elektrokardiogram dapat digunakan sebagai sarana evaluasi keadaan jantung.1 Peningkatan kadar BUN, sebagai pengaruh dari keadaan dehidrasi pasien. Kadarnya harus dipantau untuk melihat ada tidaknya insufusiensi renal.2,6 Urinalisis : Digunakan untuk menilai adanya glukosuria atau ketosis urin. Selain itu, urinalisis juga dapat digunakan jika dicurigai terjadi infeksi pada traktus urinarius.2,6

Tata Laksana Tujuan dari terapi KAD dan SHH, yaitu: 1. Restorasi volume sirkulasi dan perfusi jaringan 2. Penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma

3. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit 4. Perbaikan keadaan ketoasidosis pada KAD 5. Mengatasi faktor pencetus

Terapi Cairan Pasien dengan KAD memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan mencukupi volume intravaskular dan restorasi perfusi ginjal.1 Terapi cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah.5 Salin normal (NaCl 0,9%) dimasukkan secara intravena dengan kecepatan 500 1000 mL/jam selama dua jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 3 mOsm/jam. Namun, jika pasien mengalami syok hipovolemik, maka cairan isotonik ketiga atau keempat dapat digunakan untuk memberikan tekanan darah yang stabil dan perfusi jaringan yang baik.1 Setelah volume intravaskular terkoreksi, terapi dengan normal salin sebaiknya dikurangi menjadi 250 mL/jam atau diganti dengan salin 0,45% (250 500 mL/jam), tergantung pada konsentrasi natrium serum dan status hidrasi pasien.1 Jika kadar gula darah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH, penggantian cairan harus mengandung glukosa 5-10% untuk mencegah terjadinya hipoglikemia karena pemberian insulin juga akan dilakukan untuk koreksi keadaan ketonemia.1

Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengganti setengah defisit cairan selama 12 24 jam. Kegagalan koreksi keadaan dehidrasi dapat mengakibatkan penundaan pada koreksi elektrolit.1 Terapi Insulin Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah untuk meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna untuk menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan mengurangi ketogenesis.1 Pada pasien dengan klinis yang sangat berat, reguler insulin diberikan secara kontinu intravena. Bolus reguler insulin intravena diberikan dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan infus reguler insulin dengan dosis 0,1 U/kgBB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam. Jika glukosa darah telah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH, kecepatan pemberian insulin dikurangi menjadi 0,05 U/kgBB/jam (3-5 U/jam) dan ditambahkan dengan pemberian dextrosa 5-10% secara intravena. Pemberian insulin tetap diberikan untuk mempertahankan glukosa darah pada nilai tersebut sampai keadaan ketoasidosis dan hiperosmolalitas teratasi. Ketika protokol KAD atau SHH berjalan, evaluasi terhadap glukosa darah kapiler dijalankan setiap 1-2 jam dan darah diambil untuk evaluasi elektrolit

serum, glukosa, BUN, kreatinin, magnesium, fosfos, dan pH darah setiap 2-4 jam.1 Terapi Kalium Secara umum, tubuh dapat mengalami defisit kalium sebesar 3-5 mEq/kgBB. Namun, kadar kalium juga bisa terdapat pada kisaran yang normal atau bahkan meningkat. Peningkatan kadar kalium ini bisa dikarenakan kondisi asidosis, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Dengan terapi insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat ini dapat terkoreksi karena kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian kalium secara intravena dapat diberikan. Pemberian kalium intravena (2/3 dalam KCl dan 1/3 dalam KPO4) bisa diberikan jika kadar kalium darah kurang dari 5 mEq/L. Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat, pemberian insulin dapat memicu terjadinya hipokalemia dan memicu terjadinya aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Oleh karena itu, jika kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka pemberian kalium intravena harus segera diberikan dan terapi insulin ditunda sampai kadarnya 3,3 mEq/L.1 Terapi Bikarbonat Pemberian bikarbonat pada pasien SHH tidak diperlukan, sedangkan pada KAD masih kontroversial. Asidosis metabolik berat dapat mengakibatkan kerusakan kontraktilitas jantung, vasodilatasi serebri dan koma, serta komplikasi gastrointestinal. Akan tetapi, alkalinisasi darah yang agresif juga dapat mengakibatkan hipokalemia, asidosis SSP paradoks, dan asidosis intraseluler karena peningkatan produksi CO2.

Beberapa studi gagal memperlihatkan perbaikan keadaan dengan pemberian bikarbonat pada pasien KAD dengan pH darah arteri antara 6,97,1. Namun beberapa ahli tetap merekomendasikan pemberian bikarbonat pada pasien dengan pH darah <>1 Pemberian bikarbonat dapat diberikan secara bolus atau intravena dalam cairan isotonik dengan dosis 1-2 mEq/kgBB.3

Referensi:
1. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar syndrome. 2002[sitasi 20 Mei 2009] 15:28-36. Diunduh dari:http://spectrum.diabetesjournals.org/cgi/content/full/15/1/28 2. Sergot PB. Hyperosmolar hyperglycemic states. Emedicine. 2008[sitasi 20 Mei 2009. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/766804-overview 3. Kitabchi AE, Fisher JN. Hyperglycemic crises:diabetic ketoacidosis (DKA) and hyperglycemic hyperosmolar state (HHS). Dalam: Berghe GV. ed. Contemporary Endocrinology: Acute Cause to Consequence. New York, Humana Press. 119-47. 4. 5. Syahputra Dixon T. MHD. Diabetik ketoasidosis. balance. Diunduh Diunduh dari: dari:http://library.usu.ac.id/download/fk/biokimia-syahputra2.pdf Potassium http://www.uhmc.sunysb.edu/internalmed/nephro/webpages/Part_D.htm 6. Rucker DW. Diabetic Ketoacidosis. Emedicine. 2008[sitasi 20 Mei 2009]. Diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/766275-overview Posted by EIDCP at 09:59 0 comments Links to this post Labels: asam basa, asidosis, cairan, diabetes, endokrin, insulin, kalium, keton, metabolik, penyakit dalam, terapi

07 Agustus 2009
Gangguan Kesetimbangan Asam Basa (Pendekatan Henderson-Hasselbalch)

author: ruly rahadianto

Kesetimbangan Asam-Basa Perhatikan persamaan berikut CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3Persamaan ini akan membantu anda mengingat konsep dasar kesetimbangan asam basa.

Nilai normal Nilai Analisis Gas Darah (AGD) biasa disebutkan dalam pH, pO2, pCO2, HCO3-, BE, dan SaO2. Nilai-nilai ini memberikan gambaran homeostasis dari kesetimbangan asam basa, perbedaan basa, dan oksigenasi darah. AGD bisa didapatkan dari arteri, vena, maupun kapiler. Namun yang umum digunakan adalah darah arteri.

Tabel 1. Nilai AGD normal

Pengukuran

Nilai normal

(arteri) pH (rentang) 7.4 (7.36-7.44) pO2 (mmHg) (turun 80-100


sesuai usia) pCO2 (mmHg)

SaO2 (turun sesuai usia) HCO3 (mEq/L) BE

36-44 >95 22-26 -2 s.d +2

Interpretasi Interpretasi AGD secara praktis mutlak diperlukan terutama di ruang emergensi. Berikut pendekatan praktis langkah demi langkah menggunakan metode Henderson-Hasselbach.

Langkah 1: uji kelayakan Gunakan persamaan [H+] = 24 x pCO2/ [HCO3-] Bagian kanan dari persamaan tidak boleh berbeda lebih dari 10% dengan persamaan sebelah kiri. Jika angkanya tidak sesuai maka AGD ini tidak layak baca dan sebaiknya AGD diulang. Contoh: pH 7.3, pCO2 46, dan [HCO3-] 29 mmol/L Cara praktis: (i) untuk pH 7.25-7.48, [H+]= (7.80-pH) x 100

(ii) untuk pH normal 7.4 maka [H+] = 40, (iii) tiap perbedaan naik atau turun 0.3 dari pH 7.40 maka [H+] menjadi dua kali atau setengahnya. Dengan demikian pH 7.1; [H+]=80, sementara pH 7.7; [H+]=20. Untuk contoh di atas, pH 7.3 maka [H+] = (7.8-7.3) x 100 50 Dengan persamaan langkah 1: 50 = 24 x 46/29 50 = 38 persamaan berbeda lebih dari 10% (AGD tidak layak)

Langkah 2 : tentukan kelainan utama, asidosis atau alkalosis, atau pH normal. Perhatikan apakah terjadi asidosis (pH <> 7.44) ataukah justru pH normal (pH normal tidak berarti tidak ada gangguan asam basa).

Langkah 3: tentukan komponen kelainan yg utama apakah respiratorik atau metabolic Setelah kita menentukan kelainan utamanya maka tugas berikutnya adalah menentukan kelainan tersebut diakibatkan komponen respiratorik atau metabolic. Bandingkan penyimpangan terbesar diantara dua komponen pCO2 atau HCO3- yang sejalan dengan pH. Contoh: pH 7.3; pCO2 56; HCO3- 18 Contoh ini menunjukkan adanya asidosis dengan komponen utamanya respiratorik. Dimana peningkatan pCO2 jauh lebih besar dibandingkan penurunan HCO3-.

Langkah 4: tentukan derajat kompensasinya apakah sesuai dengan yang diharapkan atau ada kelainan campuran

Untuk mengetahui apakah kompensasi sudah sesuai atau belum, anda perlu mengingat tabel berikut. Tabel 2. Kompensasi yang diharapkan

Kelainan primer Asidosis metabolic Alkalosis metabolic

Kompensasi yang diharapkan pCO2 = 1.25 x HCO3 pCO2 = 0.75 x HCO3

Asidosis respiratorik akut HCO3= 0.1 x pCO2 Asidosis respiratorik HCO3= 0.4 x pCO2 kronik Alkalosis respiratorik akut HCO3= 0.2 x pCO2 Alkalosis respiratorik HCO3= 0.4 x pCO2 kronik
Contoh: pH 7.3; pCO2 56; HCO3- 18 Pada kasus ini terdapat asidosis respiratorik akut, untuk menentukan kompensasi metabolic yang diharapkan, gunakan: HCO3 = 0.1 x pCO2 HCO3 = 0.1 x (56-40) = 1.6 Seharusnya perubahan HCO3- yang terjadi adalah 24+1.6 = 25.6 Namun pada kasus ini justru HCO3 18. Hal ini menunjukkan kompensasi tidak sesuai. Kompensasi yang tidak sesuai diakibatkan oleh kelainan asam basa campuran selain kelainan utama. Pada kasus ini ditemukan kelainan utama yaitu asidosis respiratorik dengan kemungkinan kelainan campuran asidosis metabolic. Secara ringkas kemungkinan kelainan campuran ditampilkan dalam kesimpulan berikut

1. jika kompensasi kurang atau melebihi secara signifikan dari yang diharapkan maka kemungkinan ada dua kelainan a. pCO2 terlalu rendah alkalosis respiratorik konkomitan b. pCO2 terlalu tinggi asidosis respiratorik konkomitan c. HCO3 terlalu rendah asidosis metabolic konkomitan d. HCO3 terlalu tinggi alkalosis metabolic konkomitan 2. pH normal tapi a. pCO2 + HCO3 asidosis respiratorik + alkalosis metabolic b. pCO2 +HCO3 alkalosis respiratorik + asidosis metabolic c. pCO2, HCO3 normal tapi AG asid metab + alkalosis metab d. pCO2, HCO3, dan AG normal memang tidak ada gangguan, atau bisa saja asid metab non AG + alkalosis metab 3. jelas tidak mungkin terjadi asidosis respiratorik (hipoventilasi) dengan alkalosis respiratorik (hiperventilasi) bersamaan

jika kelainannya berupa asidosis metabolic lanjutkan ke langkah 5

Langkah 5: hitung anion gap (AG). Jika terdapat peningkatan lanjut langkah 6 Anion Gap dihitung dengan rumus berikut

AGhitung = Na+-(Cl-+HCO3-) normal = 8-12 mmol

Langkah 6: bandingkan perubahan AG dengan perubahan HCO3 AG = AGhitung-AGdiharapkan = {Na+-(Cl-+HCO3-)} {[Albumin] x 2.5} HCO3 = 24 - HCO3 Jika AG - HCO3 a. 1-2 => asidosis metabolic AG murni b. <1=> asidosis metabolic AG + asidosis metabolic non AG c. >2 => asidosis metabolic AG + alkalosis metabolic Langkah terakhir, selalu bandingkan dengan kondisi klinis pasien. Untuk tatalaksana dan diferensial akan menyusul di tulisan berikutnya.

Referensi 1. Gomella L, Haist S. Blood Gases and Acid Base Disorders. Dalam: Clinicians Pocket Reference 10th ed. New York, McGraww-Hill; 2004:159-164 2. Sabatine M. Acid Base Disturbances. Dalam: Pocket Medicine 3rd ed. Philadelphia, Lippincot William & Willkins; 2008 3. Setyohadi B, Salim S. Gangguan Keseimbangan Asam Basa. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid

III, edisi keempat. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 143-149.

You might also like