You are on page 1of 19

ASMA

I. PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang ditandai dengan mengi episodic, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di Negara maju, studi di Asia Pasifik baru -baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma lebih tinggi dibnding dengan di Amerika serikat dan Eropa. Hampir semua pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal itu disebabkan manajemen dan pengobatan asma masih jauh dari yang direkomedasikan Global Initiative for Asthma (GINA) Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan kuesioner ISAAC (International Study for Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1% sedangkan tahun2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, bandung, Semarang, Jogjakarta, Malang, dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6-12 tahun) berkisar 3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat 5.8%. berdasarkan gambaran tersebut terlihat bahwa asma menjadi masalah kesehatan yang serius.

II.

DEFINISI
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan

nafas pendek25). Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab -sebab lain sudah disingkirkan1). Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari). Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis, dan patofisiologis. Ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada

pemeriksaan fisik, tanda yang sering dijumpai adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran nafas yang ditandai dengan keterbatasan arus udara pada ekspirasi, sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran nafas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran nafas.

III.

EPIDEMIOLOGI
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun,

sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun). Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari. Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia prevalensi asma usia 811 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7% pada tahun 199227). Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8%29). Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa tempat di Indonesia, antara lain: di Palembang, dimana prevalensi asma sebesar 7,4%; di Jakarta prevalensi asma sebesar 5,7% dan di Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%9). Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan prevalensi berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SLTP, namun tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak9, 30).

IV.

KLASIFIKASI PENYAKIT

Klasifikasi asma yaitu: 1. Asma ekstrinsik Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat. 2. Asma intrinsic Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi lingkungan yang buruk seperti klembaban, suhu, polusi

udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan. Pedoman pelayanan medik dalam konsensus nasional membagi asma anak menjadi tiga tingkatan berdasarkan kriteria dalam tabel 2.1 sebagai berikut :

Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit :

APE = arus puncak ekspirasi FEV1 = volume ekspirasi paksa dalam 1 detiK Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan asma yaitu: 1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi. 2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang terdengar pada saat inspirasi. 3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop. 4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak terdengar mengi dan timbul bradikardi. Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma.Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan kematian.

V.

PATOFISIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh berbagai factor antara lain allergen, virus,

dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi hipersensitifitas tipe I(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi antibody IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru,yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup allergen, terjadi fase sensitasi, antibody IgE orang tersebut meningkat. Allergen kemudian berikatan dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan antara lain histamine dan leukotrien, factor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema local pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi

saluran nafas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah paparan allergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respon terhadap mediator sel mast histamine terutama yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi ini seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci pada pathogenesis asma Pada jalur saraf otonom, inhalasi allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeable dan memudahkan allergen masuk ke dalam sub mukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi , inhalasi udara dingin,asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui reflex saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P3 neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lender, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipersensitifitas bronkus merupakan cirri khas asma, besarnya hiperaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objek beratnya tif hiperaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi non spesifik

VI.

FAKTOR RESIKO ASMA


1. Faktor Genetik a. Atropi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya,meskipun belum diketahui bagaimana cara penularannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya juga mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya alergi, penderita menjadi mudah terkena asma bronchial bila terpapar factor pencetus. b. Hiperaktivitas Bronkus Saluran nafas sensitive terhadap berbagai rangsangan allergen maupun iritan. c. Jenis Kelamin Laki-laki merupakan factor resiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa

perbandingan tersebut sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak menderita asma. d. Ras/Etnik e. Obesitas Peningkatan Body Mass Index(BMI),merupakan factor resiko asma. Mediator tertentu asma seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran nafas dan meningkatkan kejadian asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor Lain a. Alergen Makanan Contoh: coklat, susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan b. Allergen obat-obat tertentu Contoh: penisilin,cephalosporin,golongan beta laktam lainnya, eritrosin,tetrasiklin,

analgesic, antipiretik, dan lain-lain. c. Bahan yang mengiritasi Perfume, household spray,dll d. Ekspresi emosi yang berlebihan Stress dan gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress dan gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. e. Asap rokok(perokok aktif maupun pasif) Asap rokok berhubungan erat dengan penurunan fungsi paru, paparan asap rokok pada masa kehamilan dapat meningkatkan resiko asma usia dini f. Polusi Udara

g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma mendapatkan serangan jika melakukan aktivitas berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan asma. h. Perubahan cuaca Berhubungan dengan musim,misalnya musim kemarau banyak pollen yang terbang sehingga menginduksi asma i. Status ekonomi

VII.

DIAGNOSIS
Wheezing(mengi berulang) dan atau batuk kronik berulang merupakan itik awal dalam t

menegakkan diagnose. Asma pada anak umunya menunjukkan batuk dan pada saat diperiksa tidak ditemukan mengi ataupun sesak. Diagnosis asma didasarkan pad a anamnes is,pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodic, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status aergi dapat membantu identifikasi factor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respon dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan berdasarkan berat gejala, namun untuk membantu penanganan klinis dianjurkan klasifikasi asma berdasarkan ambang control. Untuk mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
y

Anamnesis Ada beberapa hal yang perlu diketahui dari pasien asma antara lain : riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair( konjungtivitis alergi), dan eksem atropi, batuk yang disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, masalah pernafasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat asma(riwayat asma, rhinitis, atau alergi lainnya), memelihara binatang dalam rumah, banyak kecoa? Tempat lembab di rumah? Pemakaian kasur kapuk, beludru,dan banyaknya barang di kamar tidur. Apakah sesak menggunakan spray seperti parfum,atau pembunuh serangga,apakak perokok atau ada anggota keluarga yang merokok, obat yang sering digunakan pasien apakah ada beta bloker,steroid atau aspirin. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis antara lain :

Pemeriksaan Klinis Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran nafas. Pada pemeriksaan fisis pasien, sering ditemukan perubahan cara bernafas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada insspeksi ditemukan nafas cepat, kesulitan bernafas, menggunakan otot nafas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi dan auskultasi memanjang.

Pemeriksaan Penunjang

Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.

Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)


Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE). Spirometer lebih diutamakan daripada PFM,karena sensitivitas spirometer lebih bagus. Untuk diagnosis obstruksi saluran nafas,PFM mengukur terutama saluran nafas besar,dibuat untuk pemantauan, dan bukan alat diagnostic. Sedangkan spirometer digunakan sebagai diagnostic penderita yang tidak dapat melakukan

FEVI/spirometer. Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah sebagai berikut : Penuntun meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien dimin untuk menghirup napas ta dalam, kemudian diinstruksikan untuk menghembuskan napas dengan sangat keras dan cepat ke bagian mulut alat tersebut, sehingga penuntun meteran akan bergeser ke angka tertentu. Angka tersebut adalah nilai APE yang dinyatakan dalam liter/menit. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.

Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%.

Cara pemeriksaan variabilitas APE


Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. APE malam APE pagi Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100% (APE malam + APE pagi)

X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk melihat adanya penyakit yang tidak disebabkan asma.

Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut menyokong anamnesis dan mencari factor pencetus. Uji allergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan( pada dermographism)

Petanda Inflamasi
derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran nafas. Gejala klinis dan spirometer bukan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi kuantitatif inflamasi saluran nafas dapat dilakukan melalui biopsy paru, pemeriksaan selsel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan nafas.

Uji Hipersensitivitas Bronkus/HRB


Pada penderita yang menunjukkan FEVI >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronchial dengan nebulasi droplet ekstrak allergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran nafas pasa penderita yang sennsitif.

VIII. MANIFESTASI KLINIK


Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan meng Pada beberapa keadaan, batuk i. merupakan satu satunya gejala. Serangan asma sering kali terjadi pada malam hari. Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa se sak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi, laborius. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang

mendorong pasien selalu lebih susah dan panjang dibanding inspiras yang mendorong pasien untuk i, duduk tegak dan menggunakan setiap otot otot aksesories pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk pada awalnya susah dan kering tetapi segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit mukus mengandungmasa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukkan dengan susah payah. Tanda selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala gejala retensi karbondioksida termasuk berkeringat, takikardia dan tekanan nadi. Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan. Meski serangan asma jarang yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut status asmatikus . Kondisi ini merupakan keadaan yang mengancam hidup.

IX.

PENGOBATAN

Tujuan Terapi
Memungkinkan pasien menjalani hidup yang normal dengan hanya sedikit gangguan atau tanpa gejala. Beberapa tujuan yang lebih rinci antara lain adalah :
y y y y y y

Mencegah timbulnya gejala yang kronis dan menganggu, seperti batuk, sesak nafas Mengurangi penggunaan beta agonis aksi pendek Menjaga fungsi paru mendekati normal Menjaga aktivitas pada tingkat normal (bekerja, sekolah, olah raga, dll) Mencegah kekambuhan dan meminimalisasi kunjungan darurat ke RS Mencegah progresivitas berkurangnya fungsi paru, dan untuk anak-anak mencegah berkurangnya pertumbuhan paru-paru

Menyediakan farmakoterapi yang optimal dengan sesedikit mungkin efek samping

Terapi Farmakologis
Terapi jangka panjang Umum disebut sebagai pencegah, pengontrol atau pengobatan monitoring yang digunakan setiap hari untuk menangani dan mengontrol asma persisten. Contoh obat : Corticosteroids inhalasi (beclomethasone dipropionate , budesonide, fluticasone propionate), cromolyn sodium, nedocromil, long-acting 2-agonists (salmeterol, formoterol),

Methylxanthines (aminofilin, teofilin), leukotriene modifiers (montelukast, zafirlukast,zileuton), Imunomodulator (Omalizumab (anti-IgE) Prinsip terapi jangka panjang Obat anti inflamasi (kortikosteroid) merupakan treatment yang esensial untuk asma, Mengajari dan memantau teknik inhalasi obat kepada pasien sangat penting, Treatment harus disusun untuk setiap pasien sesuai dengan keparahan penyakitnya dan dimodifikasi secara fleksibel tahap demi tahap, Penggunaan kortikosteroid oral jangka pendek kadang-kadang diperlukan, Aspirin dan NSAID harus digunakan dengan hati-hati karena 1020% pasien asma alergi terhadap obat ini, Beta bloker sering memicu kekambuhan gejala asma, Terapi desensitisasi bermanfaat bagi sebagian pasien

Terapi Jangka Pendek

Quick-relief medications digunakan untuk mengobati gejala dan serangan akut. Contoh : short-acting 2-agonists (salbutamol,terbutalin), Anticholinergics (ipratropium bromide), corticosteroids (short-term use for exacerbations) Prinsip : short-acting 2-agonists (salbutamol, terbutalin) merupakan terapi pilihan untuk meredakan gejala serangan akut dan pencegahan bronkospasmus akibat exercise, Anticholinergics

(ipratropium bromide) memberi manfaat klinis sebagai tambahan inhalasi beta agonis pada serangan akut yang berat, merupakan bronkodilator alternatif bagi pasien yang tidak bisa mentoleransi beta agonis, Systemic corticosteroids dapat digunakan jangka pendek untuk mengatasi eksaserbasi yang sedang sampai berat untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah eksaserbasi berulang, Oksigen yang diberikan via kanula hidung atau masker utk menjaga SaO2 >90%(>95 % utk wanita hamil dan pasien dengan gangguan jantung), saturasi oksigen perlu dimonitor sampai diperoleh respon thd bronkodilator Rekomendasi NAEPP untuk penanganan asma
Klasifikasi keparahan : ciri klinis sebelum penanganan Gejala/siang PEF/FEV1 Gejala/malam Variabilitas PEF LANGKAH 4 Kontinyu 60% Parah Sering >30% Persistent Pengobatan yang diperlukan untuk pemeliharaan control jangka panjang Pengobatan Sehari-hari Utama: Dosis tinggi inhalasi kortikosteroid dan inhalasi 2 agonis kerja panjang, dan jika dibutuhkan kortikosteroid tab/sirup(2mg/kgBBperhari tidak boleh lebih dari 60mg/hr)(pemakaian berulang dapat mereduksi kortikosteroid sistemik dan u ntuk pemeliharaan digunakan kortikosteroid dosis tinggi Utama : dosis rendah menengah inhalasi kortikosteroid dan 2 agonis kerja panjang Alternative: meningkatkan dosis inhalasi kortikosteroid dan salah satu modifikasi leukotrien atau teophylin [eksarsebasi parah] Utama : meningkatkan inhalasi kortikosteroid range dosis sedang dan + inhalasi 2 agonis kerja panjang Alternative : : meningkatkan inhalasi kortikosteroid range dosis s edang + dan salah satu modifikasi leukotrien atau teophylin Utama : dosis rendah inhalasi kortikosteroid Alternative : kromolin, leukotrien, nedocromil, SR teofilin dengan konsentrs i serum 5-15 mcg/ml

LANGKAH 3 Sedang Persisten

Setiap hari >1malam/minggu

>60%-<80% 20-30%

LANGKAH 2 Ringan Persisten

>2/mgg tp <1x/hr >2malam/minggu

80% 20-30%

LANGKAH 1 Ringan Terkadang Penanganan cepat semua pasien

<2hr/minggu <2mlm/bulan 1. 2. 3.

80% <20%

Tidak dibutuhkan pengobatan harian, eksarsebasi akan terjadi dalam waktu lama dengan fungsi paru normal dan tidak ada gejala direkomendasikan kortikosteroid sistemik

Bronkodilator kerja pendek : inhalasi 2 agonis kerja pendek 2-4 hirupan pada yang masih gejala Intensitas pengobatan tergantung kerasnya eksarsebasi : mulai pengobatan pada interval 20 menit/ nebulizer tunggal bila perlu Penggunaan 2 agonis kerja pendek/cepat lebih dari 2xseminggu pada asma berselang/intermitten(setiap hari atau peningkatan penggunaan asma yang persisten sebagai indikasi perlu peningkatan atau terapikontrol jangka panjang.

1. Simpatomimetik Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
y

Stimulasi reseptor

adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi,

dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.


y

Stimulasi reseptor 1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.

Stimulasi reseptor

2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens

mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat simpatomimetik selektif 2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik. Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat simpatomometik yang digunakan pada terapi asma.

Keterangan : a : potensi molar relatif 1 adalah yang paling kuat b: semua obat ini mempunyai aktivitas 1 minor c: dapat digunakan melalui aerosol Agonis 2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan, bersamaan

dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis 2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah

terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak ada efek kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak berarti pengobatan dihentikan, pada beberapa kasus, perlu dilakukan penurunan dosis untuk sementara waktu.

2. Xantin Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan

demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik. Digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema.

3. Antikolinergik Ipratropium Bromida


Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung. Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.

Tiotropium Bromida
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu. Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan emfisema. Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, terdiri dari sakit perut, nyeri dada (tidak spesifik), konstipasi, mulut kering, dispepsia, edema, epistaksis, infeksi, moniliasis, myalgia, faringitis, ruam, rhinitis, sinusitis, infeksi pada saluran pernapasan atas, infeksi saluran urin dan muntah. Kontra indikasi riwayat hipersensitif terhadap atropin atau turunannya, termasuk ipratropium atau komponen sediaan.

4. Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal. Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non

steroid lain, pasien yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non asma.

5. Antagonis Reseptor Leukotrien Zafirlukast Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma. Sebagai profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan anak di atas 5 tahun. Dosisnya dewasa dan anak > 12 tahun : 20 mg, dua kali sehari Anak 5 11 tahun : 10 mg, dua kali sehari, Oleh karena makanan menurunkan bioavailabilitas zafirlukast, penggunaannya sekurang-kurangnya satu jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.

Montelukast Sodium Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma. Digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan.

Zilueton Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya menghambat pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, Lte1). Sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak > 12 tahun. Dosis zilueton untuk terapi asma adalah 600 mg, 4 kali sehari. Untuk memudahkan pemakaian, zilueton dapat digunakan bersama makanan dan pada malam hari.

6. Obat-Obat Penunjang Ketotifen Fumarat


Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara nonkompetitif dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan menghambat penglepasan mediator dari selsel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.

N-Asetilsistein
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan ke lompok sulfhidril pada molekul, yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida antara ikatan molecular mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan peningkatan pH.

Terapi non farmakologi


1. Edukasi pasien Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma.

Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk : meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asm secara umum dan pola penyakit asma a sendiri), meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penang anan asma sendiri/asma mandiri), meningkatkan kepuasan, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri, membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma

Bentuk pemberian edukasi Komunikasi/nasehat saat berobat, Ceramah , Latihan/training, Supervisi, Diskusi, Tukar menukar informasi (sharing of information group), Film/video presentasi, Leaflet, brosur, buku bacaan, dll.

Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan dengan : 1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien 2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru). 3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien. 4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma. 5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret. 6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan. 7. Mengajak keterlibatan keluarga. 8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma

2. Pengukuran peak flow meter Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampa berat. Pengukuran Arus Puncak i Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada : 1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah 2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter. 3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak

mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa. 4. Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan seperti : Mengetahui apa yang membuat asma memburuk , Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik, Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat Memutuskan kapan pasien meminta , bantuan medis/dokter/IGD. 5. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus 6. Pemberian oksigen. 7. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak. 8. Kontrol secara teratur. 9. Pola hidup sehat Dapat dilakukan dengan : Penghentian merokok, Menghindari kegemukan, Kegiatan fisik misalnya senam asma

X.

MONITORING

Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan keberhasilan terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan pasien (medication record).

XI. XII.

KESIMPULAN PUSTAKA

John Rees dkk. 1998. Petunjuk Penting Asma, Edisi III. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC Wells BG., JT Dipiro, TL Schwinghammer, CW.Hamilton, Pharmacoterapy Handbook 6th ed International edition, Singapore, McGrawHill, 2006:826-848. Farthing K., MJ Ferill, JA Generally, B Jones, BV Sweet, JN Mazur, et al. Drug Facts & Comparison 11th ed., St.Louis:Wolter Kluwer Health, 2007: 417-459 Asma, Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2004

MAKALAH FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN DAN SALURAN CERNA

ASMA

DI SUSUN OLEH Elisabeth Oriana Jawa LA (140824 A) Elsye Exelce Saudale Erly Ismawati Bayu Eko Triwartanto (14082477 A) (14082478 A) ( 14103096 A)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2011

You might also like