You are on page 1of 32

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : AQAD NIKAH

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas 2. Aqad Nikah Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya: 1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai 2. Izin dari wali 3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil) 4. Mahar 5. Ijab Qabul Wali Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1] Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi i, dan selainnya berkata, Wali dalam pernikahan adalah ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali. [2] Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. [3] Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Tidak sah nikah melainkan dengan wali. [4] Juga sabda beliau shallallaahu alaihi wa sallam: .

Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. [5] Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah. Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari AlQur anul Karim. Allah Ta ala berfirman: "Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. [Al-Baqarah : 232] Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka, al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata, : ! . : . : . Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka. Maka aku berkata, Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah. Kemudian Ma qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6] Hadits Ma qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu. [7] Imam asy-Syafi i rahimahullaah berkata, Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Maka nikahnya bathil (tidak sah). [8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya... [9] Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, . Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali. Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, . : : . Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya. Para Shahabat berkata, Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya? Beliau menjawab, Jika ia diam saja. [11] Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya). [12] Mahar Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. [An-Nisaa : 4] Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan. Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Syari at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam pernah bersabda: .

Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya. [13] Urwah berkata, Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan. Uqbah bin Amir radhiyallaahu anhu berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah. [14] Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur an yang dihafalnya. [15] Khutbah Nikah Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut: . Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya. Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. [Ali Imran : 102] "Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. [An-Nisaa' : 1] "Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar. [Al-Ahzaab : 70-71] Amma ba du: [17] [Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006] __________ Foote Note [1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits. [2]. Fat-hul Baari (IX/187).

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari Aisyah radhiyallaahu anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880). [4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi (VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy ari radhiyallaahu anhu. [5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam Mu jamul Kabir (XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860). [6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari Shahabat Ma qil bin Yasar radhiyallaahu anhu. [7]. Fat-hul Baari (IX/187). [8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa , tahqiq Dr. Rif at Abdul Muththalib, th. 1425 H. [9]. l-Muhalla (IX/451). [10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid. [11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86). [12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281). [13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350). [14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu jamul Ausath (I/221, no. 724), dari Uqbah bin Amir radhiyallaahu anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami (no. 3300). [15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425). [16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma arif, th. 1421 H, dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta liq Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H. [17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah ( ), yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya radhiyallaahu anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi shallallaahu alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097 dan 2118), an-Nasa-i (III/104105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya la (no. 5211), adDarimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat Abdullah bin Mas ud radhiyallaahu anhu. Hadits ini shahih. Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu: 1. Shahabat Abu Musa al-Asy ari (Majma uz Zawaa-id IV/288). 2. Shahabat Abdullah bin Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214). 3. Shahabat Jabir bin Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214). 4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215). 5. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallaahu anha. Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu alaihi wa sallam Yu allimuhaa Ash-haabahu, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-Ma arif, th. 1421 H.

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah Ta ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat: 1. Dari Asma binti Abu Bakar radhiyallaahu anha, ia berkata: ... Nabi shallallaahu alaihi wa sallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba du.... (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922) 2. Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma . (HR. Al-Bukhari, no. 923) 3. Aisyah radhiyallaahu anha berkata: ...Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma ba du... (HR. Al-Bukhari, no. 924) 4. Abu Humaid as-Sa idi berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu petang sesudah shalat ( Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma ba du... (HR. Al-Bukhari no. 925). Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang berpenyakit lepra/kusta. (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ashShahiihah no. 169). Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu anhum, yaitu: Innalhamdalillaah... (Hadits Ibnu Mas ud). Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-an, AsSunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya.... Sesungguhnya hadits Ibnu Mas ud radhiyallaahu anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hambahamba Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya... (Majmuu Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah, XVIII/286-287) Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, ...Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai pembuka setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum at, atau yang lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang... (Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma arif). Kemudian beliau melanjutkan: Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya membawakan hal ini untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga Allah merealisasikan tujuan mereka. (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma arif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu Affan/th. 1420 H.)

Rukun Dan Syarat Nikah


Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat. Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mutamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154) Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini. Rukun Nikah Rukun nikah adalah sebagai berikut: 1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syari untuk menikah. Di antara perkara syari yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah. 2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, Zawwajtuka Fulanah (Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah) atau Ankahtuka Fulanah (Aku nikahkan engkau dengan Fulanah). 3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, Qabiltu Hadzan Nikah atau Qabiltu Hadzat Tazwij (Aku terima pernikahan ini) atau Qabiltuha. Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Taala:

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid). (Al-Ahzab: 37) Dan firman-Nya:

Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri). (AnNisa`: 22) Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, Ilamul Muwaqqiin, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284) Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut: Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, Aku nikahkan engkau dengan putriku, sementara ia memiliki beberapa orang putri. Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara marfu:

Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458) Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya. Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali. (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam AlAlbani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839) Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud) Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari Umar, Ali, Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdil Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-Anbari, Asy-Syafii, Ahmad, Ishaq, dan Abu Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausuah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285) Siapakah Wali dalam Pernikahan?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafii, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya. Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil Ashabat minal Aqarib) Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu taala alam bish-shawab. Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud) Syarat-syarat Wali Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali: 1. Laki-laki 2. Berakal 3. Beragama Islam 4. Baligh 5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah. (HR. Muslim no. 3432) Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafiiyyah.

Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa. Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara lakilaki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan: Pasal 19 Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. Pasal 20 (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim Pasal 21 (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai. Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. (4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Pasal 23 (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. (2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma secara marfu:

Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami no. 7556, 7557) Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil. Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabiin dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin. (Sunan At-Tirmidzi, 2/284) Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafiiyah, sebagai berikut: Pasal 24 1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. 2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Footnote: 1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka. 2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.

3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ashabah. Seperti saudara lakilaki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu. 4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23. (Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 23-27. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=633)

Bekal-Bekal Menuju Pernikahan Sesuai Sunnah Nabi


Oleh : Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan Mukadimah Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini, melainkan telah dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah pun, melainkan telah disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan sepele. Itulah Islam, agama yang menebar rahmat bagi semesta alam. Dalam hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana cara berinteraksi dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya. Namun buku ini sebatas membahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang berkenaan tentang khitbah (meminang), akad nikah, rukun-rukun, dan syarat-syarat serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ursy. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan tersebut. Manfaat Menikah Nikah memiliki manfaat yang sangat besar, sebagai berikut : 1. Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum muslimin dan menjadikan orang kafir gentar dengan adanya generasi penerus yang berjihad di jalan Allah dan membela agamanya. 2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari perbuatan zina yang diharamkan lagi merusak tatanan masyarakat. 3. Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri dalam hal memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya. Allah berfirman (artinya): Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An Nisa : 34) 4. Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar-Ruum : 21). 5. Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji yang dapat menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan. 6. Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia lagi penuh kasih sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran. 7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak binatang menjadi kehidupan manusiawi yang mulia. Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang syari, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Quran dan As Sunnah. Menikah adalah ikatan syari yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam: Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent). Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah berfirman (artinya): Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(An Nisa : 21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya. Allah berfirman (artinya) : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah : 1) Khitbah (Meminang) Rasulullah bersabda: Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Dalam hadits lain: Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua (HR. AtTirmidzi, 1087) Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya. Para ulama berkata: Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah. Dalam hadits Jabir, dia berkata: Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya (HR. Abu Dawud, no. 2082). Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah

terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang. Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad). Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah. Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: Saya ingin menikahi Anda. Berdasarkan firman Allah Taala: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran (QS. 2: 235) Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa iddah. Misalnya dengan ungkapan: Sungguh aku sangat tertarik dengan wanita yang seperti anda atau Dirimu selalu ada dalam jiwaku. Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: Saya ingin menikahi anda karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah. Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa iddahnya. Diharamkan meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam: Janganlah seorang laki-laki meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya (HR. Bukhari dan Nasai). Dalam riwayat Muslim: Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya. Dalam hadits Ibnu Umar: Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya (Muttafaqun alaih). Dalam riwayat Bukhari: Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya. Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam: Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak kehormatannya. Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut. Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.

Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Masud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut : Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini). Setelah itu membaca tiga ayat Al-Quran berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102). Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisaa: 1) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al-Ahzab: 70-71). Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu: 1. Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebabsebab lain dari penghalang-penghalang syari. 2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria: Saya nikahkan kamu dengan Fulanah. 3. Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan : Saya terima nikahnya. Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka. Orang yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Quran. Sebagaimana firman Allah Taala: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (QS. Al-Ahzab: 37) Dan firman-Nya yang lain: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (QS. An-Nisa:22)

Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu alam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguhsungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju (HR. Tirmidzi, no. 1184). Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu: 1. Menyebutkan secara jelas (tayin) masing-masing kedua mempelai dan tidak cukup hanya mengatakan: Saya nikahkan kamu dengan anak saya apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan mengatakan: Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak lakilaki anda padahal ada lebih dari satu anak lakilakinya. Tayin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan dengan yang lainnya. 2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah: Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya?. Beliau menjawab: Bila ia diam. (HR. Bukhari dan Muslim). Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya. 3. Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam: Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali (HR. Imam yang lima kecuali Nasai). Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu (QS. An-Nuur: 32) Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (QS. Al-Baqoroh: 232) dan ayat-ayat yang lainnya. Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent), kemudian baru hakim sebagai walinya. 4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir: Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya, pent). (HR. AlBaihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).

Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil. Imam Tirmidzi berkata: Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para Tabiin, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: Tidak sah menikah tanpa ada saksi. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi utaakhirin (belakangan). Walimatul Urs (Pesta Perkawinan) Walimah asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu. Dikatakan _ _ _ (Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai lakilaki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki penamaan tersendiri. Hukum walimatul urs adalah sunnah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan walimah. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Abdurrahman bin Auf radiyallahu anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa dia telah menikah Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing (HR. Bukhari dan Muslim). Disamping hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari kejelekan dan kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya tidak lepas dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di hotel-hotel yang menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yang menutup aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang besar dari Allah. Terkadang juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah terhadap azab Allah. Allah berfirman: Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya (QS. Al-Qoshosh: 58) Makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan (Al-Arof: 31) Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan (Al-Baqoroh: 60) Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas. Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini: 1. Walimah tersebut adalah walimah yang pertamajika walimahnya dilakukan berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang selanjutnya, berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam: Walimah pertama adalah hak (sesuai dengan syariat, pent), walimah kedua adalah baik, dan walimah yang ketiga adalah riya dan sumah (HR. Abu Dawud dan yang lainnya).

Syaikh Taqiyuddin berkata: Diharamkan makan dan menyembelih yang melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah menjadi kebiasaan masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus diberi hukuman 2. Yang mengundang adalah seorang muslim 3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi. 4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum. 5. Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr (minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi dalam acara walimah sekarang. Apabila terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka wajib memenuhi undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam : Sejelek-jelek makanan adalah hidangan walimah yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi orangorang yang kaya diundang. (Meskipun emikian) barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. (HR. Muslim). Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam: Umumkanlah acara pernikahan. Dan dalam riwayat lain: Tampakkanlah acara pernikahan (HR. Ibnu Majah) Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam: Pembeda antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian dan rebana dalam acara pernikahan (HR. Nasai, Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menghasankannya).
sumber: http://ahlussunnah.web.id/11/02/2010/bekal-bekal-menuju-pernikahan-sesuai-sunnah-nabi

PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARI'AT ISLAM


Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya. [1]. Nikah Syighar Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam: : . Artinya : Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu. Atau berkata, Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu [1] Dalam hadits lain, beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Artinya : Tidak ada nikah syighar dalam Islam [2] Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak [3]. [2]. Nikah Tahlil Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa iddah wanita itu selesai. Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Artinya : Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu [5] [ ] [3]. Nikah Mut ah Nikah mut ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih. Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal! Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu anhu, ia berkata.

. Artinya : Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut ah) [7] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: ! . Artinya : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat [8] [4]. Nikah dalam masa iddah. Berdasarkan firman Allah Ta ala: Artinya : Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya [Al-Baqarah : 235] [5]. Nikah dengan wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani [9]. Berdasarkan firman Allah Ta ala: Artinya : Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (lakilaki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. [Al-Baqarah : 221] [6]. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan. Berdasarkan firman Allah Ta ala: Artinya : Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudarasaudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. [An-Nisaa' : 23] [7]. Nikah dengan wanita yang haram dinikahi di-sebabkan sepersusuan, berdasarkan ayat di atas. [8]. Nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam: . Artinya : Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanita dengan bibinya (dari pihak ibu) [10] [9]. Nikah dengan isteri yang telah ditalak tiga. Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa iddahnya selesai. Berdasarkan firman Allah Ta ala: Artinya : Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan. [Al-Baqarah : 230] Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, . Artinya : Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu [11] [10]. Nikah pada saat melaksanakan ibadah ihram. Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu alaihi wa sallam: . Artinya : Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar [12] [11]. Nikah dengan wanita yang masih bersuami. Berdasarkan firman Allah Ta ala: Artinya : Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami... [An-Nisaa' : 24] [12]. Nikah dengan wanita pezina/pelacur. Berdasarkan firman Allah Ta ala: Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. [An-Nuur : 3] Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta ala:

Artinya : Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuanperempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga). [An-Nuur : 26] Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi. Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal [13] [13]. Nikah dengan lebih dari empat wanita. Berdasarkan firman Allah Ta ala: Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat... [An-Nisaa' : 3] Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda, . Artinya : Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya [14] Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, . Artinya : Pilihlah empat orang dari mereka [15] [Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006] __________ Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu anhu. [2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1415 (60)) dari Ibnu Umar radhiyallaahu anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/165), al-Baihaqi (VII/200), Ibnu Hibban (no. 4142) dari Anas bin Malik radhiyallaahu anhu. Lihat Shahiihul Jaami (no. 7501). [3]. Lihat al-Wajiiz (hal. 296-297) dan al-Mausuu ah Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 53-56) [4]. Muhallil adalah seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas suruhan suami sebelumnya yang telah mentalaknya tiga kali. Hal ini bertujuan agar mantan suami itu dapat menikahi wanita tersebut setelah masa iddahnya selesai. [5]. Muhallala lahu adalah seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya kemudian menyuruh seorang laki-laki untuk menikahi mantan isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat menikahi mantan isterinya kembali setelah masa iddahnya selesai. [6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2076), at-Tirmidzi (no. 1119), Ibnu Majah (no. 1935), dari Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu anhu. Lihat Shahiihul Jaami (no. 1501), lihat juga al-Wajiiz (hal. 297-298) dan al-Mausuu ah al-

Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 49-52). [7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (22)). [8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (21)), dari Shahabat Sabrah al-Juhani radhiyallaahu anhu. Lihat alWajiiz (hal. 298) dan Mausuu ah al-Fiqhiyyah (hal. 47-49). [9]. Menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) diboleh-kan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maa-idah ayat 5. [10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5108), Muslim (no. 1408), at-Tirmidzi (no. 1126), an-Nasa-i (VI/96), Abu Dawud (no. 2065), Ahmad (II/401, 423, 432, 465), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu anhu. [11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5317), Muslim (no. 1433), at-Tirmidzi (no. 1118), an-Nasa-i (VI/94) dan Ibnu Majah (no. 1932). [12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi (no. 840) dan an-Nasa-i (V/192), dari Shahabat Utsman bin Affan radhiyallaahu anhu. [13]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30). [14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu Majah (no. 1953), al-Hakim (II/192-193), al-Baihaqi (VII/149, 181) dan Ahmad (II/44). [15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2241), Ibnu Majah (no. 1952), dan al-Baihaqi (VII/183). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1885). =======================================================================================================

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : KHITBAH (PEMINANGAN)


Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah: 1. Khitbah (Peminangan) Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Nabi shallallaahu alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya. [1] Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah! [2]

Al-Mughirah bin Syu bah radhiyallaahu anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu alaihi wa sallam berkata kepadanya:

Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua. [3] Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya. Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya. Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a lam. [4] Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami sebutkanmaka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, . Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar. [5] Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, Bahwasanya tatkala Hafshah binti Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. Umar bin al-Khaththab berkata, Aku mendatangi Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, Akan aku pertimbangkan dahulu. Setelah beberapa hari kemudian Utsman mendatangiku dan berkata, Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini. Umar melanjutkan, Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti Umar denganmu. Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada Utsman. Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun? Umar men-jawab, Ya. Abu Bakar berkata, Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu. [6] Shalat Istikharah Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon

kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur'an. Beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka at, kemudian membaca do a:

. ) ( ( : ) : )

Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, ..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, ...di dunia atau akhirat ) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku. [8] Dari Anas bin Malik radhiyallaahu anhu, ia berkata, Tatkala masa iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya. Zaid berkata, Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu. Zainab berkata, Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada Allah. Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9] Lalu turunlah ayat Al-Qur'an [10] dan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya. [11] Imam an-Nasa i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang). Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah: 1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah. 2. Do a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat malam. 3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan. 4. Hendaknya ikhlas dan ittiba dalam berdo a Istikharah. 5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12] [Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006] _______ Footnote [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu Umar radhiyallaahu anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari. [2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallaahu anhuma.

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511). [4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam anNawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu ah al-Fiqhiyyah alMuyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin Audah al- Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89). [5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022). [6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047). [7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al- Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh Amr Abdul Mun im Salim. [8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallaahu anhuma. [9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya. [10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini. [11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu anhu. [12]. Jaami Ahkaamin Nisaa' (III/218-222). =====================================================================================================

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas 4. Malam Pertama Dan Adab Bersenggama Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut: Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo akan baginya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: ( ) : . Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah basmalah serta do akanlah dengan do a berkah seraya mengucapkan: Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa. [1] Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka at bersama isterinya. Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi in). 1. Hadits dari Abu Sa id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid. Ia berkata: Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya Abdullah bin Mas ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: Kamulah (Abu Sa id) yang berhak! Ia (Abu Dzarr) berkata: Apakah benar demikian? Benar! jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah

kamu berdua...! [2] 2. Hadits dari Abu Waail. Ia berkata, Seseorang datang kepada Abdullah bin Mas ud radhiyallaahu anhu, lalu ia berkata, Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku. Abdullah bin Mas ud berkata, Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo alah): . Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan. [3] Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya. Hal ini berdasarkan hadits Asma binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu anha, ia berkata: Saya merias Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada Aisyah. Tetapi Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu. Asma binti Yazid berkata: Aku menegur Aisyah dan berkata kepadanya, Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam! Akhirnya Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit. [4] Keempat: Berdo a sebelum jima (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do a: . Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya. [5] Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya. Allah Ta ala berfirman: "Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman. [Al-Baqarah : 223] Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma berkata, Pernah suatu ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, lalu ia berkata, Wahai Rasulullah, celaka saya. Beliau bertanya, Apa yang

membuatmu celaka? Umar menjawab, Saya membalikkan pelana saya tadi malam. [6] Dan beliau shallallaahu alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau: "Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai... [Al-Baqarah : 223] Lalu Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . "Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7] Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam: ... . "Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8] Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu terlebih dahulu. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . "Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu terlebih dahulu. [9] Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhi-yallaahu anhu bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja? Beliau menjawab. . "Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci. [10] Seorang suami dibolehkan jima (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda, .

"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya. [12] Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang. [13] Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba. Allah Ta ala berfirman: " Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat .[An-Nuur : 30] Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam ber-sabda kepada Ali. . "Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu . [14] Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta ala: "Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, Itu adalah sesuatu yang kotor. Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri. [Al-Baqarah : 222] Juga sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam: : . "Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam. [16] Juga sabda beliau shallallaahu alaihi wa sallam: . "Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya. [17] Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang

sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda. . "Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar. [18] Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. . "Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh). [19] Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, . Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum. [20] Dari Aisyah radhiyallaahu anha, ia berkata, . "Apabila Nabi shallallaahu alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu (seperti wudhu') untuk shalat. [21] Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan. Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing. Adapun riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22] Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri. Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

. "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya. [23] Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak [24] Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin rahimahullaah berkata, Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang. Allah Ta ala berfirman: "Artinya : Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). [An-Nisaa' : 34] Nabi shallallaahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25] [Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006] __________ Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari Abdullah bin Amr radhiyallaahu anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93) [2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H. [3]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461). [4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 9192), cet. Darus Salam, th. 1423 H. [5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), atTirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari Abdullah bin Abbas radhiyallaahu anhuma. [6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan membalik pelana . (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209)) [7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta liiqatul Hisaan ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, Hadits ini hasan. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291). [8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.

[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa id al-Khudri radhiyallaahu anhu. [10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108). [11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu. [12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallaahu anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471). [13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178). [14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149). [15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh. [16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu anhu. [17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari Uqbah bin Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105). [18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122) [19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123). [20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari Aisyah radhiyallaahu anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami (no. 4659). [21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami (no. 4660). [22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109. [23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama Umar bin Hamzah al- Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, Hadits-haditsnya munkar. Lihat kitab Mizanul I tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri. [24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457). [25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).

You might also like